REKONSTRUKSI KESINAMBUNGAN TRADISI BABAD MANGIR
DALAM KARYA SASTRA INDONESIA
Trisna Kumala Satya Dewi”
Abstract
This research aims to find out the way the continuing tradition of Babad Mangir is
reconstructed in Indonesian literary work, entitled Mangir composed by Pramoedva
Ananta Toer: and the kinds of Babad component result in the continuing traditions of
Babad Mangir in Mangir. The method of analysis used in this research is hermeneutics.
Based on the research, it is argued that Mangir drama by Pramoedya Ananta Toer
contains babad Mangir traditions which can be reconstructed from babad manuscripts,
which are Serat Babad Mangir and Babad Tanah Jawi. It is also shown that the aspect
related to Mangir drama by Pramoedya Ananta Toer are associated with legend
constituents, in this case the legend component belonging to dominant babad traditions.
The legendary figures in babad traditions, particularly Babad Mangir Traditions, amon
others are Ki Ageng Mangir Nanabaya, Panembahan Senapati, Putri Pambayun, Bart
Klinthing, and Ki.Juru Martani
Keywords: continuing traditions, Babad Mangir, Indonesian literary work
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui rekonstruksi kesinambungan tradisi Babad
Mangir dalam karya sastra Indonesia, yaitu Mangir yang ditulis oleh Pramoedya Ananta
‘oer, dan jenis komponen tradisi Babad Mangir yang ada di Mangir. Metode analisis
yang digunakan dalam penelitian ini adalah hermeneutika. Berdasarkan hasil penelitian,
@apat disimpulkan bahwa drama Mangir oleh Pramoedya Ananta Toer mengandung
tradisi babad Mangir yang dapat direkonstruksi dari naskah babad, yaitu Serat Babad
Mangir dan Babad Taniah Jawi. Kedua, aspek yang berkaitan dengan drama Mangir oleh
Pramoedya Ananta Toer berhubungan denigan konstituen legenda, dalam hal. ini
Komponen legenda milik tradisi babad dominan. Tokoh legenda dalam tradisi babad,
terutama dalam Babad Tradisi Mangir, yaitu Ki Ageng Mangir Wanabaya, Panembahan
Senapati, Putri Pambayun, Baru Klinthing, Ki Juru Martani, dan sebagainya.
Kata kunei: kesinambungan tradisi, Babad Mangir, karya sastra Indonesia
Pendahuluan
Peran sastra amatlah penting dalam rangka
menggalang kesatuan dan persatuan
nasional bangsa Indonesia yang pluralitas.
Penelitian dan penghayatan sastra daerah
melampaui batas bahasa dan batas suku
merupakan syarat mutlak untuk
menjadikan sasira daerah ini sungguh-
sungguh warisan budaya nasional (Teeuw,
1982:13)
Karya-karya sastra saduran semakin
mempunyai peran dan makna_penting
tethadap perkembangan sejarah_ sastra
Indonesia. Sejarah sastra Indonesia telah
mencatat bahwa sastra sebagai_unsur
budaya yang hidup terus-menerus dihayati
kembali oleh seniman, kemudian dituang
dalam wujud yang ‘baru yang sesuai
dengan zamannya, Banyak hasil sastra
modern merupakan transformasi teks lama
dalam bentuk saduran, penciptaan
kembali cerita lama (Teeuw, 1998:1982:
12-34).
Kisah Panembahan Senapati dan Ki
Ageng Mangir dalam karya sastra lama
babad, (Ekadjati, 1978:2). yaitu Babad
Mangir merupakan cerita yang menarik,
Khususnya dari segi sastra dan sejarah,
*) Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Jl Darmawangsa
Dalam Selatan Surabaya
17Persoalan historisitas tokoh Senapati
Ingalaga sebagai pendiri Kerajaan
Mataram pada abad ke-16 merupakan
persoalan yang hangat diperdebatkan oleh
para sejarawan. (Suryo 1992:103;106-
107) mengatakan bahwa Babad Mangir
setidak-tidaknya diharapkan dapat
memberikan penjelasan hubungan antara
Kerajaan Mataram dengan ikatan desa
yang ada sebelumnya.
Kisah tokoh Ki Ageng Mangir dan
hubungannya dengan Panembahan
Senapati dalam tradisi babad, setidak-
tidaknya terdapat dalam tiga buah naskah,
yaitu Babad Mangir, Serat Babad Mangir
dan Babad Bedhahing Mangir. Dalam
kaitannya dengan rekonstruksi teksnya,
dimungkinan akan terkait juga dengan
karya-karya yang monumental seperti
Babad Tanah Jawi, Serat Centhini, dan
lainnya. Dengan demikian, dari sisi sastra
tradisi babad (Babad Mangir)
sesungguhnya merupakan karya sastra
serajarah yang menarik. Tradisi babad
(Babad Mangir) ditinjau dari sisi pembaca
masa kini, juga merupakan hal yang
menarik dengan adanya sambutan Karya
tersebut ke dalam karya sastra Indonesia
yang berjudul Mangir sebuah karya sastra
bber-genre drama karya Pramoedya Ananta
Toer (2000). Dengan demikian, masalah
kesinambungan tradisi dalam karya babad
dan_kaitannya dengan Sastra Indonesia,
‘menjadi hal yang penting dalam penelitian
ini, schingga perlu dilakukan penelitian,
Penelitian ini berkaitan dengan
karya sastra sejarah_babad, yaitu tentang
kesinambungan tradisi Babad Mangir
berkaitan dengan tradisi naskahnya dan
karya sambutannya dalam sastra
Indonesia, yaitu Mangir karya Pramoedya
Ananta Toer (2000). Dalam karya
Pramoedya disebutkan bahwa hubungan
Mangir dan Mataram sebelumnya
harmonis, yaitu ketika Ki Ageng
Pemanahan, ayah Sang Senapati masih
aktif mengelola pemukiman di Mataram,
Situasi berubah, ketika cerita Mangir ini
dimulai. Ketidakharmonisan timbul
karena Senapati membutuhkan daya
tambahan untuk menopang gaya hidup
istana yang mahal.
18
Masalah penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut: (1)
bagaimanakah rekonstruksi
kesinambungan tradisi Babad Mangir
dalam Sastra Indonesia, yaitu Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer; (2) unsur-
unsur babad apakah yang merupakan
kesinambungan tradisi. Babad Mangir
dalam Sastra Indonesia, yaitu. Mangir
karya Pramoedya Ananta Toer.
Tujuan penelitian dalam kerangka
sejarah sastra_Indonesia_kedudukan
Mangir karya Pramoedya Ananta Toer
(2000) cukup penting. Kesinambungan,
tradisi babad (Babad Mangir) dalam
karya Pramoedya tersebut menjadi pokok
pembicaraan dalam penelitian ini, Dengan
demikian, tujuan penelitian ini dapat
dikemukakan sebagai berikut: (1)
merekonstruksi_kesinambungan_tradisi
Babad Mangir dalam karya Sastra
Indonesia, yaitu Mangir karya Pramoedya
Ananta Toer; (2) mengungkapkan unsur-
unsur tradisi babad yang merupakan
kesinambungan tradisi| Babad Mangir
dalam karya Sastra Indonesia, yaitu
Mangir karya Pramoedya Ananta Toer.
Penelitian ini diharapkan
bermanfaat untuk menambah khazanah
penelitian dalam bidang ilmu sastra,
Khususnya sastra Indonesia dan sastra
Nusantara atau sastra lokal keadaerahaan
(dalam hal ini sastra Jawa Tradisional),
Dalam kerangka yang lebih luas maka
penelitian ini juga dapat dipakai sebagai
bahan dalam penyusunan Sejarah Sastra
Tinjauan pustaka; konsep
“pembaca” dalam kegiatan bersastra
menunjuk pada sasaran yang dituju oleh
ciptaan yang bernama sastra. Jadi, kata
“pembaca” di sini tifak hanya dikaitkan
dengan karya sastra yang tertulis, tetapi
juga pada Karya sastra lisan, Berdasarkan
sejarah penerimaanya karya sastra, terlihat
bahwa karya sastra tidak selalu mendapat
penerimaan yang sama dari waktu ke
waktu dari satu masyarakat pembaca ke
masyarakat pembaca yang lain, Hal ini
dapat diperjelas dengan memperhatikan
penerimaan dan sambutan karya-karya
sastra Indonesia dalam serangkaian
penerimaannya. Situasi iniRekonstruksi Kesinambungan Tradisi Babad Mangir dalam Karya Sastra Indonesia
‘memperlihatkan serangkaian penerimaan
dan sambutan tethadap karya sastra yang
menyimpan sejumlah faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam melihat karya
sastra sebagai suatu sistem (Chamamah-
Soeratno, 1994:192).
Hans Robert Jausz seorang ahli
filologi modern dan ahli Abad
Pertengahan mengatakan bahwa karya-
karya sastra lama yang dalam sejarah
perekembangan penerimaanya dari waktu
ke waktu muncul dalam bentuk sambutan
yang bervariasi (Selden,
1986:114—118). Pada masyarakat sasatra
di Indonesia, fungsi karya sastra sebagai
sarana berkomunikasi selama ini
‘mendapat perhatian utama. Hal ini terlihat
pada perhatian terhadap aspek pragmatis
karya sastra, baik pada masyarakat
tradisional maupun pada masyarakat masa
kini. Gejala demikian menempatkan
pembicaraan terhadap karya sastra dalam
rangka fungsi, yaitu sebagai alat
komunikasi. Dalam hal ini, faktor-faktor
yang terlibat dalam komunikasi,
khususnya faktor pembaca menjadi
penting (Chamamah-Soeratno, 2010:75).
Dalam pembicaraan karya. sastra
dan pembaca sastra, karya sastra lama
sering digarap kembali oleh pengarang
modern agar sesuai dengan konteks
kemasyarakatannya. Sejarah_ sastra
Indonesia mencatat betapa sastra sebagai
unsur budaya yang hidup terus-menerus
dihayati kembali oleh seniman, kemudian
dituang dalamm wujud yang baru, yang
sesuai dengan tuntutan’ zaman, dengan
norma dan ukuran manusia sezaman
(Teeuw, 1982:34). Dalam teks tertentu
sering terungkap semacam kreasi_ yang
sekaligus merupakan resepsi karya sastra
(Teeuw, 1988: 213).
Dalam kerangka kritik sastra,
resepsi tidak didasarkan pada tanggapan
individual, tetapi pada tanggapan yang
mewakili norma yang terikat pada masa
tertentu, Dengan demikian, dapat
diketahui pertentangan dan ketegangan
yang muncul antara pemakaian suatu
konvensi yang telah mapan dalam suatu
masyarakat dengan inovasi_ yang
dilakukan oleh pengarang. Penelitian
resepsi dilihat dari fisik teks, yaitu
intertekstual, penyalinan, penyaduran dan
penerjemahan (Soeratno, 2010:83).
Karya sastra lama babad, yaitu
Babad Mangir ditulis dalam bentuk sastra
modem ber-genre drama berjudul Mangir
oleh Pramoedya Ananta Toer (2000).
Dalam kerangka kritik sastra, Mangir
karya Pramoedya tersebut karya saduran,
Salah satu bentuk resepsi pembaca adalah
penyaduran. Penyaduran adalah
pemindahan teks dari satu kode yang lain
memperlihatkan salah satu macam
bentuk-bentuk ressepsi_ (Chamamah-
Soeratno, 2010:83). Penyaduran adalah
proses yang kita ketahui dalam berbagai
bentuk dalam sejarah sastra: sebuah teks
digarap oleh seorang penulis kemudian,
dengan menyesuaikan norma-norma baru
dan perubahan-perubahan yang
membuktikan pergeseran horizon harapan
pembaca dengan penyesuaian jenis-jenis
sastra baru, bahasa baru dan lain-lain,
Dalam hal ini seringkali sastra tidak hanya
mengikuti perkembangan norma sosio
budaya yang lebih luas; sebaliknya
penyair (penulis) sastra dapat
membayangkan perubahan
kemasyarakatan yang baru (Tecuw,
1988:215). “Horizon harapan” karya
sastra yang memungkinkan pembaca
memberi makna terhadap karya tersebut,
sebenarnya telah diarahkan oleh penyair
lewat sistem konvensi sastra_yang
dimanfaatkan di dalam karyanya (Teeuw,
1984:21). Berdasarkan_ penelitian
tethadap karya-karya Pramoedya Ananta
Toer yang lain, dapat dikatakan bahwa dari
sisi pembaca, Pramoedya adalah seorang
pengarang yang melalui proses kreatifnya
mengingatkan kembali kepada pembaca
masa kini akan cerita lama (dongeng,
mitos) melalui media bahasa yang
dipahami oleh_masyarakat_masa_ kini
(Dewi, 2011:272).
Berdasarkan uraian tersebut maka
penelitian ini berpijak dari_pemikiran
Hans Robert Jausz, yaitu estetika resepsi.
Estetika resepsi Jauss banyak dipengaruhi
oleh faktor sejarah menurut Schiller dan
teori_hermeneutik menurut Gadamer.
Schiller, seorang sejarawan tidak hanya
19secara pasif mendeskripsikan fakta masa
lampau, tetapi juga fakta sekarang,
Hermeneutika menurut Gadamer ialah
cara. menemukan sesuatu dalam teks.
Jausz berpendapat bahwa hermeneutika
meliputi_pemahaman, penafsiran, dan
penerapan (Chamamah-Soeratno, 2011;
Teeuw, 1985).
Metode penelitian; metode dalam
penelitian ini berkaitan dengan studi
tentang dokumen atau_sumber-sumber
tertulis. Dalam studi filologi sumber-
sumber tertulis itu disebut naskah lama
(kuno). Naskah-naskah lama dalam
jan ini adalah naskah Jawa yang
atau berkaitan dengan tradisi Babad
Mangir, yang tersimpan di berbagai
perpustakaan atau museum. Di samping
itu, penelitian ini juga memanfaatkan
kajian-kajian filologis yang. berkaitan
dengan tradisi Babad Mangir.
Dalam kaitannya dengan karya
sastra_sambutannya (saduran), dalam
kerangka Sastra Indonesia, penelitian ini
memanfaatkan Mangir karya Pramoedya
Ananta Toer (2000).
Sumber Data dan Data
Sumber data penelitian ini adalah
naskah-naskah Jawa yang memuat tentang
tradisi Babad Mangir. Naskah-naskah
Jawa tersebut diperoleh dari perpustakaan
dan museum di Yogyakarta, yaitu Kraton
Kasultanan Yogyakarta, Pakualaman,
Museum Sonobudoyo dan Balai Bahasa
Yogyakarta dan di Surakarta, yaitu
Sanapustaka Kraton Kasunanan
Surakarta, Reksapustaka dan
Radyapustaka,
Sumber data yang berupa sumber
tertulis (naskah-naskah Jawa) yang
terksnya mengandung tradisi Babad
Mangir tersebut, yaitu Babad Mangir,
Serat Babad Mangir, Babad Bedhahing
Mangir. Di samping itu, peneliti:
memanfaatkan sumber tertulis. lainnya,
yaitu Babad Tanah Jawi, dan lain-lain
yang diperkirakan teksnya mengandung
iradisi babad Mangir.
Sumber data lain yang dipakai
dalam penelitian ini adalah karya sastra
Indonesia yang berjudul, Mangir karya
20
Pramoedya Ananta Toer (2000), karya
sastra ber-genre drama diterbitkan ‘di
Jakarta oleh KPG (Kepustakaan Populer
Gramedia), Yayasan Adikarya IKAPI dan
‘The Toyota Foundation.
Data penelitian ini adalah
kesinambungan tradisi. Babad Mangir
dalam karya sastra Indonesia dan unsur-
unsur tradisi tradisi babad (Mangir) yang
terdapat dalam karya sastra Indonesia,
yaitu Mangir karya Pramoedya Ananta
Toer.
Rekonstruksi
Dalam merekonstruksi_ tradi
Babad Mangir perlu dilakukan melalui
sumber-sumber tertulis berupa naskah-
naskah lama, yaitu naskah-naskah Jawa
yang teksnya mengandung tradisi babad
(Mangir), yaitu naskah Babad Mangir,
Serat Babad Mangir dan Serat Bedhahing
Mangir serta Babad Tanah Jawi.
Dalam merekonstruksi teks trai
Babad Mangir diperlukan_ penelitian
tentang karakter masing-masing naskah
secara seksama dengan metode filologis,
yaitu (1) menginventarisasikan naskah ,
(2) pembacaan teks, dan (3) membuat
sejarah teksnya (tradisi). Rekonstruksi
teks tersebut diharapkan dapat
memberikan gambaran sejarah teks
tentang kesinambungan tradisi Babad
Mangir dalam kerangka Sastra Indonesia,
yaitu Mangir karya Pramoedya Ananta
Toer (2000).
Analisis Data
Deskripsi; langkah deskrips'
terhadap karya sastra tidak dapat lepas dai
kerja analisis mengingat bahwa deskri
yang dilahirkan oleh peneliti pada
hakikatnya merupakan hasil_ interaksi
peneliti dengan teksnya (Chamamah
Soeratno, 2011: 85).
Hermeneutika; hermeneutika
digunakan sebagai analisis teks dalam
penelitian ini, yaitu- menginterpretasi
karya sastra dan ungkapan bahasa dalam
arti yang lebih Iuas menurut maknanya.
Langkah kerja hermeneutika meliputi
pemahaman, penafsiran dan penerapan
(Newton, 1990: 40-48).Rekonstruksi Babad Mangir dalam
Karya Sastra Indonesia (Drama
Mangir)
Rekonstruksi Teks Babad Mangir
Dalam Babad Mangir kisah
Panembahan Senapati dan Ki Ageng
Mangirmerupakan kisah yang melegenda.
Panembahan Senapati sebagai _pendiri
kerajaan Mataram secara_historis
merupakan tokoh yang tetap menarik
dibicarakan oleh para ilmuwan sejarah.
Persoalan tokoh Senapati Ingalaga meurut
Berg (hampir sama dengan tokoh Ken
Arok dan Anusapati dalam awal
berdirinya sejarah Mataram). Hipotes
Berg memancing perdebatan, sebab tokoh
Ken Arok dan Anusapati demikian juga
Senapati bukanlah tokoh_ histories
Namun, melalui kajian babad H.J.de Graaf
telah berhasil_ mengungkap peranan
Senapati dalam membangun Kerajaan
Mataram Islam setelah keruntuhan Pajang
dan Demak sebagai pendahulunya.
Babad semula mengandung arti
cerita yang melukiskan pembukaan suatu
daerah atau hutan untuk dijadikan suatu
ibukota kerajaan atau pusat pemerintahan
(Ekadjati, 1978:2). Babad juga
‘mempunyai arti riwayat, sejarah, tambo.
Pengertian lain kata babad ialah puisi
kisahan berbahasa Jawa yang menyajikan
rangkaian peristiwa sejarah,
kepahlawanan, peperangan, dan lain-lain.
Istilah ini juga digunakan dalam cerita
yang berkaitan dengan sastra dan sejarah
idaerah Sunda, Madura, dan Bali
Dalam Babad Tanah Jawi
ketokohan Ki Ageng Mangir memang
tidak banyak disinggung seperti halnya
Senapati. Apalagihubungan seputar
perselisihan Mangir dan Senapati. Surya
(1992: 106-107) pernah menyinggung
masalah ini, dalam pembicaraannya
tentang Babad Mangir dikatakan bahwa
setidak-tidaknya diharapkan dapat
memberikan penjelasan hubungan antara
kerajaan Mataram dengan ikatan desa
yang ada sebelumnya.
Dalam pembicaraannya Suryo
(1992:102-103) telah menggunakan tiga
versi babad, yaitu Babad Mangir), Serat
Babad Mangir dan Babad Bedhahing
Mangir. Babad Mangir tersebut pada
umumnya memiliki kesamaan dalam
mengisahkan hubungan antara tokoh
Senapati dan Ki Ageng pada sekitar abad
ke-16. Pada dasamya kisah tersebut
berkisar pada masalah pembangkangan Ki
Ageng Mangir terhadap Senapati
Ingalaga, Raja Mataram yang baru saja
membangun istananya di Pasar Gede
(Kota Gede) dalam versi babad dikatakan
bahwa KiAgeng Mangir tidak mau datang
menghadap ke istana Senapati di Kota
Gede, untuk menunjukkan
ketundukkannya kepada Mataram,
sedangkan daerah-daerah lainnya seperti
Kedu, Bagelen, Pati, Madiun, Jepara,
Kediri, Pajang dan Semarang sudah
tunduk kepada Mataram. Dalam hal ini Ki
Ageng Mangir memberi alasan sebagai
berikut. Pertama, alasan keyakinan
agamanya, bahwa ia tidak mau
menyembah kepada siapa pun (manusia)
selain Allah swt, sebagaimana dikatakan
dalam babad “Pan Allah kang andarbeni
bumi, aku suwita ing Allah huta‘ala, ora
suwita Senapati, jer pada titahing
Pangeran. (Bukanlah Allah yang
memiliki bumi ini, dan aku hanya
menghamba kepada Allah Swt saja, bukan
kepada Senapati, karena Senapati
hanyalah umat Tuhan. Kedua, Ki Ageng
Mangir ingin mempertahankan warisan
nenek moyang, sebab nenek moyangnya
telah membuka tanah dengan susah payah.
Ketiga, Mangir merasa cukup kuat karena
memiliki warisan pusaka yang ampuh dan
sakti bernama Kiai Barukuping. Siapa saja
yang terkena tombak, baik manusia
maupun binatang akan mati, Menurut
cerita babad, pada dasamya kekuatan
Mangirini diakui oleh Senapati
Sebagai seorang Ki Ageng, yaitu
orang yang memimpin daerah pedesaan Ki
Ageng Mangir sesungguhnya mempunyai
pengaruh yang besar terhadap wilayah
(daerah) bawahannya, khususnya daerah
sepanjang Sungai Praga. Ki Ageng Mangir
adalah putra Ki Ageng Wanabaya. Suryo
(1992:112-113) mengatakan bahwa
berdasarkan sejarah berdirinya Mataram
21dapat ditunjukkan bahwa sebelum otoritas
kerajaan terbentuk telah terdapat lebih
dahulu desa-desa yang memiliki otoritas
dan kekuasaan masing-masing dalam
kepemimpinan orang-orang. terkemuka
desa, semacam “landed gentry” yang
memakai sebutan Ki Gede atau Ki Ageng.
Dalam naskah babad seperti
halnya babad Tanah Jawi juga telah
diceritakan mengenai kekuasaan-
kekuasaan Ki Ageng, seperti halnya Ki
Ageng Selo mempunyai wilayah daerah
Grobogan, Purwodadi, Ki Ageng
Pamanahan mempunyai wilayah daerah
Manahan, dan sebagainya. Demikian pula
Ki Ageng Wanabaya, pembuka daerah
‘Mangir dekat muara Sungai Praga.
Dalam babad (Babad Tanah Jawi,
Babad Mangir) diceritakan_bahwa
sebetulnya, baik Senapati dan Ki Ageng
berasal dari keturunan yang sama, yaitu
Brawijaya V, Raja Majapahit. Babad telah
meneeritakan bahwa yang mendapat
“wangsit” kelak adalah keturunan
Brawijaya V dari garis Bondan Kejawan.
atau Lembu Peteng alias Ki Ageng Tarub.
Ki Ageng Pamanahan (ayah Senapati)
berdasarkan garis keturunan ini.
Ki Ageng Wanabaya berasal dari
keturunan putra Brawijaya V,
Lembumisani, yang kemudian merupakan
Ki Ageng Wanabaya yang telah membuka
daerah Mangir dan bergelar Ki Ageng
Mangir I, kemudian menurunkan Ki
Ageng Mangir II, dan keturunan yang
ketiga Ki Ageng Mangir III, penentang
Senapati dan tidak mau tunduk pada
Mataram.
Legitimasi Senapati sebagai
penguasa Mataram dalam babad sudah
diceritakan sejak awal. Misalnya,
peristiwa ketika Ki Ageng Pamanahan
bertandang ke rumah Ki Ageng Giring
yang mempunyai wilayah Gunung Kidul
dan sekitarnya. Pada saat itu Ki Ageng
Giring yang sedang bekerja membuka
Jahan di hutan Wanantara bertemu dengan
Sunan Kalijaga, beliau berpesan agar Ki
Ageng Giring mengambil buah kelapa
muda dan meminum aiyya sampai habis.
Sunan Kalijaga juga berpesan agar buah
22
tersebut tidak diminum oleh siapa pun
kecuali Ki Ageng Giring. Setelah sampai
dirumah ia berpesan kepada istrinya, Nyai
Ageng Giring bahwa ia akan mandi di
sungai dan setelah itu akan berbuka puasa
dan minum air kelapa muda. Pada saat itu
datanglah Ki Ageng Pamanahan, sangat
haus karena baru saja_mengadakan
perjalanan jauh, ia meminta izin kepada
Nyai Ageng untuk meminum buah kelapa
muda. Namun, Nyai Ageng belum sempat
memberikan jawaban, maka sudah
habislah air kelapa muda itu diteguk oleh
Ki Ageng Pamanahan. Ketika Ki Ageng
Giring mengetahui hal tersebut dengan
ikhlas ia berkata bahwa sudah suratan
kehendak Allah swt. Bahwa kelak
keturunan Ki Pamanahan lah yang
mendapatkan “pulung” bahwa
keturunannya kelak akan menguasai tanah
Jawa (menjadi raja di Jawa).
Legitimasi Senapati sebagai
penguasa yang syah Mataram dalam
Babad Tanah Jawa juga ditunjukkan
dengan lambing-lambang wahyw atau
pulung kraton dan ramalan-ramalannya.
Demikian juga hubungannya dengan Ratu
Kidul, tokoh mitos yang ikut memberikan
tujuan yang sama. Pulung keraton
menurut Babad Tanah Jawa telah acuh ke
tempat Senapati ketika sedang bersemadi
di atas batu Lipura. Adapun ramalan
mengenai Senapati cukup banyak
dikemukakan dalam babad, baik yang
dikatakan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan
Giri maupun yang diterima langsung oleh
Senapati sendiri. Demikian pula mengenai
kesaktian dan pusaka keraton yang ikut
memberi pengesahan atas kedudukannya
sebagai Raja Mataram juga cukup banyak
diceritakan di dalam babad.
Dalam babad diceritakan_ pula
bahwa, baik Ki Ageng Wanabaya maupun
Ki Ageng Pamanahan sebetulnya sama-
sama seperguruan, yaitu murid Sunan.
Kalijaga. Namun, iegitimasi Senapati
sebagai penguasa yang syah di Mataram
tertulis pula dalam Babad Mangir. Dalam
Babad Mangir impian atau ramalan
diperoleh oleh nenek Ki Ageng Mangir.
Lembumisani orang tua Ki AgengWanabaya (Ki Ageng Mangir) pada waktu
bersemadi di Dander (Gunung Kidul)
setelah pelariannya dari Majapahit
mendapat wangsit bahwa ia keturunan
raja. Namun, sekalipun tidak menjadi raja
keturunannya akan menjadi orang mulia.
Peringatan tidak akan menjadi raja juga
diperoleh dari Sunan Kalijaga seielah
berguru padanya, Ramalan mengatakan
bahwa keturunannya akan memiliki
kedudukan terkemuka di desa dan akan
‘mendapatkan pusaka ampuh atau sakti
Drama Mangir Karya Pramoedya
Ananta Toer
Drama Mangir ditulis oleh
Pramoedya Ananta Toer pada tahun 1976;
karya ini baru diterbitkan pada tahun 2000
(cetakan_pertama) oleh Grafika Mardi
Yuana, Bogor. Savitri Scherer (2004)
dalam prakata drama ini mengatakan
bahwa Pramoedya menulis berdasarkan
cerita tutur yang masih diingat oleh
masyarakat di Jawa Tengah (Ananta Toer,
2004:ix). Berbeda dengan pendapat
tersebut berdasarkan beberapa penelitian
Trisna Kumala Satya Dewi tethadap
beberapa karya Pramoedya dapat
dikatakan bahwa Pramoedya adalah
seorang yang pemahamannya sangat
mendalam tethadap karya-karya sastra
lama, seperti sastra Jawa Kuno Pararaton,
karya sastra Jawa Tengahan Calon Arang,
sejarah Kartini dan surat-suratnya kepada
sahabat-sahabatnya seperti Stella
Sehandelar dan Mr.Abendanon dan karya-
karya sastra Jawa seperti Babad Tanah
Jawa, Babad Mangir dan sebagainya. Di
samping itu, Pramoedya juga mewarisi
tradisi isan yang baik “dari berbagai
daerah, khususnya tradisi lisan Jawa yang
terekam dalam cerita prosa rakyat seperti
dongeng, legenda, dan mitos.
Dalam drama Mangir karya
Pramoedya Ananta Toer ini tokoh yang
dominan disebut-sebut adalah Ki Ageng
Mangir Wanabaya pemilik dan penguasa
tanah perdikan Mangir tokoh
tandingannya yaitu penguasa Mataram,
Panembahan Senapati (Senapati Ing
Ngalaga). Seperti karya-karya terdahulu
yang merupakan interteks dari Babad
Mangir maka tokoh mitos Baru Klinthing
cukup berperan dalam pertikaian antara Ki
Ageng Mangir dan Panembahan Senapati.
Di samping itu, tokoh Pembayun, putri
Panembahan Senapati merupakan tokoh
yang dikorbankan demi ambisi kekuasaan
Sang Senapati menyertai kemelut antara
Ki Ageng Mangir dan penguasa Mataram
tersebut,
Interpretasi Teks Drama Mangir
Dalam rangka rekonstruksi Babad
Mangir maka teks drama Mangir perlu
dinterpretasi dengan menggunakan
hermeneutika, Hermeneutika perlu
didefinisikan secara longgar sebagai suatu
teori atau filsafat interpretasi_-makna.
Akhir-akhir ini hermeneutika telah
muncul sebagai topik utama dalam filsat
ilmu-ilmu sosial, filsafat seni dan bahasa,
dan dalam kritik sastra (Bleicher,
2003:vii).
Filsafat Gadamer melengkapi teori
pemahaman eksistensial ontologis dan
pada waktu yang sama menyediakan
landasan bagi supercesion-nya dengan
menekankan linguistilalitas untuk
memahaminya. Kontribusi Gadamer
terhadap teori hermeneutika akan
emngikuti pengembangan dengan
memusatkan diri, pertama pada teorinya
mengenai_historikalitas,_memahami
sebelum membahas linguistikalitasnya,
Khususnya dalam hubungannya dengan
universalitas persoalan_hermeneutik
(Bleicher, 2003:157),
Kritik Gadamer yang termasuk
poststrukturalis adalah pencarian makna
strukturalis linguistik atau strukturali
sosial menjadikan manusia sebagai
produk struktur (Muhadjir, 2000:315).
Gadamer mengetengahkan empat unsur
dalam kaitannya dengan hermeneutik,
yaitu bildung, sensus communis, practical
reason, dan taste.
Bildung (culture) merupakan
bentukan mempribadi tentang peristiwa
lingkungannya, termasuk sejarahnya,
menyisihkan yang kasuistis serta memilih
yang esensi, menyisihkan yang tidak
indah dan merekam yang lebih indah,
menyisihkan yang tidak bermoral dan
23mengembangkan yang bermoral,
semuanya individual
Sensus comunis (pendapat umum)
merupakan kebijakan sosial, kearifan hati
nurani agar tumbuh keserasian hidup
amsyarakat atas nama kemanusiaan dan
kebaikan umum, yang tampil secara
individual tidak kolektif.
Practical reason (pertimbangan
praktis), yaitu petimbangan bagi
pembinaan estetik dan pembinaan moral.
Pertimbangan praktis Gadamer adalah
pertimbangan neo-kantian yang
mengkomprehensifkan teoretis. dan
pertimbangan praktis.
Taste (sclera) menjangkau selera
estetis dan moral. Menemukan harmoni
dalam seni rupa berupa kombinasi wama,
struktur, dan komposisi merupakan taste
yang bersifat individual. Demikian pula
harmoni dalam musik menampilkan
kombinasi melodi, tempo, dan karakter
lainnya, Karya seni, termasuk karya sastra
dalam pemahaman_ poststrukturalis
hermeneutik dievaluasi_berdasarkan
empat hal tersebut (Muhadjir, 2000:316).
Interpretasi tokoh terhadap teks
Drama Mangir. Tokoh Ki Ageng Mangir
dan Perdikan Mangir tidak dapat
dipisahkan keberadaannya, tokoh dan
latar ini merupakan hal yang_penting
dalam drama ini, Dalam drama disebutkan
sebagai berikut.
“Siapa belum pernah dengar,
Cerita, lama tentang. Perdikan
Mangir'
Sebelah barat daya Mataram?
Dengar, dengar, dengar: aku punya
cerita,
Tersebut Ki Ageng Mangir Tua, Tua
Perdikan
Wibawa ada dalam dadanya
Bijaksana ada pada lidahnya
Rakyat Mangir hanya tahu bersuka
dan bekerja
Semua_usaha kembang, bumi
ditanami jadi.
Dalam drama ini juga terdapat
peristiwa penting yaitu tersebutlah
perawan Mendes yang dalam hajatan pesta
awal Sura meminjam sebilah pisau kepada
KiAgeng namun melupakan “pesan” Ki
24
Ageng Mangir dan melanggar larangan
sehingga menyebabkan dirinya hamil.
“Datang perawan Mendes mohon
ada Ki Ageng,
injami si Mendes ini pisau sebelah
Hanya tinggal belati pusaka
Boleh kau menggunakan, tapi
jangan kau Lupa
Dipangku dia jadi bahala
“Perawan Mendes terlupa
Belati pusaka dipangkunya
Ah, ah bayi mendadak terkandung
dalam rahimnya
Lahir ke atas bumu berwujud ular
sanca
Inilah aku, ampuni, Bunda, jasadku
begini rupal
(Ananta Toer, 2000:3)
Ki Ageng Mangir Tua amat malu
dengan peristiwa itu, malu kepada
perdikan yang dipimpin dan
masyarakatnya. Ki Ageng Mangir Tua
akhimya menyepi seorang diri di Gunung
Merapi untuk memohon ampun kepada
Yang Maha Kuasa. Dalam penyepianya Ki
Ageng Mangir Tua didatangi seekor ular
yang datang menyembah dan mengaku
sebagai putranya. Namun, Ki Ageng
Mangir Tua tidak percaya begitu saja ia
meminta agar ular tersebut_bertapa
melingkari Gunung Merapi (Toer,
2000:3),
“Tepat di hadapan Ki Ageng Mangir
Tua
Baru Klinting lingkari Gunung
Merapi
Tinggal hanya sejengkal
Lidah dijelirkan untuk penyambun,
Ki Ageng | memenggalnya untul
keris pusa
Ular lari menghilang
Tinggalsejengkal lida
Dijadikannya tombak pusaka
Ttulah konon tombak pusaka
Si Baru Klinting.
(Toer, 2000: 4)
Dalam karya Pramoedya drama
Mangir, keberadaan Baru Klinting baik
dari peristiwa maupun perannya cukup
penting dalam kaitannya dengan
pertikaian antara Panembahan Senopatisebagai penguasa Mataram dan Ki Ageng
Mangir. Baru Klinting mempunyai
kepercayaan seorang pandai_tombak
bernama Suriwang. Konon, setiap mata
tombak buatan Suriwang maka
tebusannya adalah sebelas prajurit
Mataram (Ananta Toer, 2000:4-5). Baru
Klinting yang juga mempunyai tombak
pusaka sakti yang berasal dari lidah ularn
yang dipenggal oleh Ki Ageng Mangir Tua
terkenal amat sakti dan pemberani dalam
perlawanannya terhadap Mataram
“Mataram takkan lagi mampu melangkah
ke selatan. Kepungan Mangir sama
tajam dengan mata pedang pada lehernya.
Pada akhirnya bakal datang dia meangkal
pada kaki kita, minta hidup dan na:
(Toer, 2000:5).
Pada babak pertama drama ini juga
diungkapkan mengenai keberadaan tanah
Perdikan Mangir bahwa Mangir akan tetap
menjadi tanah Perdikan tidak akan
menjadi kerajaan. Perdikan Mangir
ibaratya tanah bertuah yang mampu
berdiri di atas kaki sendiri dengan
menyandang otonomi dari leluhurnya
yaitu Majapahit. Dalam drama Mangir ini
diceritakan bahwa, “Perdikan Mangir
sudah lima turunan berdiri. Lapanglah
jalan bagi Sri Maharatu Dewi Suhita
Majapahit. Demak tak berani raba, Pajang
tak pemah jamah. Panembahan Senapati,
anak ingusan kemarin, kini mau mencoba-
coba kuasai Mangir” (Toer, 2000:6). Pada
bagian ini juga diceritakan tentang
Panembahan Senapati. Ia yang
pembangkang pada Sultan Pajang, ayah
angkatnya yang mendidik dan
membesarkannya kemudian
membunuhnya agar bisa menjadi Raja
Mataram (Ananta Toer, 2000:7).
Perhatikan juga kutipan berikut
“Mataram telah mengubah diri jadi
kerajaan, Suriwang, Setiap kerajaan
adalah Negeri telik. Panembahan
Senapati bunuh ayahnya, sultan
pajang, bukanlah juga dengan telik-
Teiknya? Luka’ para. dibawa
pulang dan mati di bilik sendiri
(Ananta Toer, 2000:11).
‘Tanah perdikan Mangir adalah tanah
bertuah yang dipimpin oleh seorang
Ki Ageng Wanabaya baik ketika
Wanabaya Tua maupun Wanabaya
Muda, Perdikan Mangir bukan
kerajaan namun sebuah tanah
perdikan yang paling sulit
ditaklukkan oleh Mataram. Berikut
adalah dialog antara Baru Klintin;
dan Suriwang, tukang atau abit
pembuat tombak yang mumpuni
“Mangir bukan Pajang, Klinting,
Wanabaya bukan Hadiwijaya. Tua
Perdikan bukan Sultan bukan raja
Telik Mataram takkan bisa kiprah di
Mangir. Lolos dua empat
Kena! Semua akan masuk
erangkap, Huh, huh, budak raja
Bakar orang mardika” Seribu telik
Mataram, tak bakal bikin Mangir
merangkak, seperti keong memikul
upeti- persembahan. Klinting
bukanlah tak ada orang perdikan
butuhkan raja? (Ananta Toer,
2000:13).
Mangir juga mempunyai perwira
setangguh Baru Klinting dengan formasi
perangnya yang terkenal dengan
Ronggeng Jaya Manggilingan lengkap
dengan dua puluh gegeduk siap
memporakporandakan Mataram
Gegeduk yaitu komandan perang yang
bukan berasal dari kerajaan,
“Siapa tidak pereaya? Di medan
parang Klinting perwira i Perdikan
hinting bijaksana, Ronggeng Jaya
Manggilingan dengan dua puluh
gegeduk bikin porak-poranda
Maiaram. Tapi hari Mataram belum
dapat dihitung dengan jari. Bukan
wktunya untuk bersuka. Kerahkan
balatentara. Mangir, biar bersuka
dalm benteng Mataram, berjoged
ronggeng dalam asrama” (Ananta
Toer, 2000:17).
Pada akhir babak pertama drama
ini adalah tentang Ki Ageng Mangir
Wanabaya Muda yang terpesona kepada
Putri Pembayun yang menyamar sebagai
seorang waranggana yang mengamen dari
desa ke desa bersama rombongannya ,
yaitu Tumenggung Mandaraka, Pangeran
Purbaya, Tumenggung Jagaraga dan
Tumenggung Pringgalaya. Keempatnya
diperintah untuk menjaga Putri Pembayun
dalam penyamarannya sebagai seorang
25waranggana, yang terkenal dengan nama
Adisaroh (Ananta Toer, 2000:32).
Ki Ageng Mangir Wanabaya Muda
amat tergila-gila pada Adisaroh yang tidak
lain adalah Putri Pembayun, demikian
pula ibaratnya gayung bersambut cintanya
diimbangi oleh Sang Putri. Percintaannya
dengan Adisaroh_menggemparkan
Perdikan Mangir karena asal-usul
waranggana tersebut masih menjadi
perbincangan bagi orang-orang penting
Perdikan seperti Demang Patalan,
Demang Pandak, Demang Jodog lebih-
lebih Baru Klinting yang merupakan
saudara tua, Ki Ageng Mangir Muda, anak
di luar nikah Ki Ageng Mangir Tua (Lihat
Ananta Toer, 2000:20-38). Dalam drama
ini dipaparkan mengenai_keberadaan
Adisoroh yang tidak lain Putri Pembayun.
Berikut dialog antara Tumenggung
Mandaraka, Baru Klinting dan Putri
Pembayun.
‘Tumenggung Mandaraka: “Anakku
dia, penari tanpa tandingan dari
berpuluh desa
Baru Klintin; Penari tanpa
tandingan dari berpuluh desa. Siapa
tak Percaya? Bicara dengan
mulutmu sendiri, kau, perawan
jelita!
Putri Pambayun: Adapun diri ini,
dari sebuah dukuh sebelah timur,
seberang tujuh sungai
(Ananta Toer, 2000:23)
Pada babak ini Ki Ageng Wanabaya
Muda meminta persetujuan tentang
kepada saudaranya, Baru Klinting tentang
percintaannya kepada Adisaroh yang
rencananya akan berakhir di pelaminan.
Namun, baik Baru Klinting maupun para
demang yang lain masih meragukannya
dan menganggap sikap keperwiraan Ki
Ageng menipis karena perempuan seperti
waranggana Adisaroh . “Lihatlah ini,
Klinting, Ki Ageng Muda datang padamu
menggandeng dara waranggana, untuk
dapatkan anggukan kepala darimu, dari
Baru Klinting yang bijaksana (lihat
Ananta Toer, 2000: 25).
Ki Ageng Mangir Wanabaya Muda
akhirnya mengambil keputusan yang bulat
memperistri Adisoroh yang. ternyata
bukan seorang ronggeng biasa (Putri
26
Pambayun).
Waranggana ini hanya
mempersembahkan satu-satunya cinta
kepada seorang laki-laki yang bernama
Wanabaya penguasa perdikan Mangir.
Berikut adalah kutipannya.
“Anggukanmu_belum_ kulihat,
Klinting, juga kalian Patalan, Jodog,
Pandak dan Pajangan.keliru kalau
kalian ‘angeap, aiu, datang
menggandeng. perawan ini, untul
mengemis sepotong kemurahan.
Dara _adisoroh hanya untukku
seorang. Bumi dan langit tak kan
bisa ingkari. (pada Putri Pambayun),
Sejak detik ini kau tinggal di sin,
jadi rembulan bagi hicupku, jad!
‘matahari bagi rumahku.
(Ananta Toer, 2000:27).
Keputusan Ki Ageng Mangir
Wanabaya Muda yang_ kontroversial
dengan tetap memeristri Adisoroh sempat
menimbulkan perpecahan di antara
saudaranya dan para demang (lihat Ananta
Toer, 2000: 32-33). Peristiwa ini
‘merupakan hal penting bagi kelangsungan
otonomi Mangir yang selama ini menjadi
duri sekaligus kecemasan bagi
Panembahan Senapati penguasa Mataram.
Pada babak kedua drama Mangir
dilukiskan tentang kebahagiaan Putri
Pambayun sebagai istri Ki Ageng
Wanabaya Muda dan menjadi satu-
satunya perempuan yang ada di hati Ki
Ageng, sebab dalam tradisi perdikan
Mangir tidak ada (jarang) laki-laki
mendukan istrinya. Hal ini merupakan
kebanggaan tersendiri bagi Putri
Pambayun sebuah kebahagiaan yang tiada
tara yang tidak akan dijumpainya dalam
tradisi istana. Berikut dalam Mangir
disebutkan, “Puri Pambayun: Tak ada
suami lebih baik dari Ki Ageng Mangir
Muda Wanabaya, “Wanabaya: Bukan aku
lebih baik dari yang lain, Setiap wanita
Perdikan berbahagia dengan suaminya,
seorang untuk dirinya semata” (Ananta
Toer, 2000:43). Adisaroh yang tidak lain
Putri Pambayun tampak bahagia dalam
buaian kasih sayang sang suami, “Putri
Pambayun: Kakang diriku merasa hidup di
sorga, tanpa duka tanpa senhgsara, setiap
hari -kesukaan semata” (Ananta Toer,2000:43).
Di balik kebahagian Putri
Pambayun sebagai istri sah Ki Ageng
Wanabaya Muda dan kehamilannya yang
telah menginjak usia empat kali tiga puluh
hari terselip rasa gundah. Putri Pambayun
feringat akan janji-janjinya dan niatnya
datang jauh-jauh dari Mataram ke Mangir
yang tidak lain sebagai seorang mata-mata
(telik sandi) yang menyamar sebagai
seorang waranggana dan penari berserta
rombongannya yang tidak lain adalah,
Tumenggung Pringgalaya, Tumenggung
Mandaraka, Tumenggung Jagaraga,dan
Pangeran Purbaya. Sebuah kecemasan dan
firasat_ akan perpisahan dengan suami
yang dicintainya tak dapat dipungkiri oleh
Putri Pambayun. Perhatikan kutipan
berikut.
“Putri Pambayun: Setiap malam,
akangku Wanabaya, bila, semua
sidah ep, pepolionan teringuguk
‘mengantuk, dan angin tak juga jera
berkelana. Adisaroh istrimu bangun
hati mengueap syukur dapatkan
suami seperti Kakang. Aku
memohon, ya, Kau Sang Pembikin
Nyawa, Kecuali mati, jangan
isahkan kami berdua, jangan Kau
Biarkan’ kami bercerai ‘sendiri-
sendiri.
“Wanabaya: Tak pernah kau bicara
tentang perpisahan atau. tentan;
erceraian. Bukankah kau tak
langi si Kakang berangkat ke
medan_perang?” (Ananta Toer,
2000:48).
‘Tumenggung Mandaraka yang tidak
lain adalah Tura Martant menagih
janji kepada Putri Pambayun dan
memperingatkan akan tugas
ayahandanya, yaitu Panembahan
Senapati. Putri, Pembayun amat
bersedih mengingat_perseteruan
antara Mataram dan Mangir, antara
Panembahan Senapati, Sang ayah
dan Ki Ageng Wanabaya Muda,
suaminya, Berfkut int adalah dialog
antara Putri Pambayun dan
Tumenggung Mandaraka.
“Tumenggung Mandaraka: Tidak
mengapa, si Wanabaya telah dalam
kekuasaan Gusti Puiri, perpecahan
telah terjadi dengan Si ular Baru
Klinting”,
“Putri Pambayun: Dusta! Semua
dusta, Patutkah putri raja, sulung
permaisuri, didustai seperti ini
‘Tumenggung Mandaraka”: Bukan
dustai_sulung permaisuri, Tak ada
dusta dalam mengemban tugas.
Ayahandamu baginda. Semua titah
berasal dari takhta, kalis dari dosa
bersih dari nista, harus dilaksanakan
sebaiknya, tak’ peduli bagaimana
caranya”
“Putri Pambayun: Sahaya suka pada
Perdikan ini, sahaya hanya cintal
suami sendiri”
(Ananta Toer, 2000:49)
Setelah semua utusan yang
merupakan rombongan Putri Pambayun
kembali ke Mataram maka tinggal Juru
Martani (Tumenggung Mandaraka)
mengingatkan Sang Putri akan pesan
ayahandanya, Panelbahan Senapati.
Bahwa di istana ayahanda dan ibunda
telah menunggu dengan suka cita dan
penuh klerinduan kepada putri dan bayi
dalam kandungannya serta menantunya Ki
Ageng Mangir Wanabaya Muda. Juru
Martani membujuk Sang Putri Pambayun,
bahwa ayahandanya benar-benar
menerima kehadiran Ki Ageng Mangir
Wanabaya, menantunya. Juru Martani
juga menyinggung mengenai masa depan
takhta Mataram bahwa kelak putra yang
sedang dikandung Sang Putri Pambayun
adalah pewaris takhta kerajaan Mataram,
Kelak Mangir pun akan dikukuhkan
menjadi Perdikan dan permusuhan pun
akan diakhiri
“Tumenggung Mandaraka: Akan
nenenda’ persembahkan, dalam
seminggu lagi pada hari yang sama
Putri Pambayun akan ‘Jatang
bersujud dengan putra menant Ki
Ageng Muda Wanabaya””
“Putri Pambayun: Takkan sahaya
biarkan bayi ini tiada berbapa”.
“Tumenggung Mandaraka:
Sebaliknya, hanya putra kelahiran
Putri Pambayun, sulung gusti
permaisuri, bakal gantikan
ayahandamu ‘baginda, marak jadi
raja Mataram, raja seluruh bumi dan
manusia Jawa.
27“Putri Pambayun: Dengan jiwa
Pambayun_ tebusannya. Tidak!
Suamiku lebih berharga dari empat
takhta’”
“Tumenggung Mandaraka:
Sebaliknya, putra Pambayun akan
naik ke takhta, Mangir akan
dikukuhkan jadi Perdikan,
permusuihan akan segera
dihentikan””
“Putri Pambayun: Yang memulai
dengan dusta akan mengakhirinya
dengan merampas nyawa (Ananta
Toer, 2000:55).
Putri Pambayun berada dalam
kebimbangan rindu akan panggilan
ayahanda dan restu pernikahannya dengan
Ki Ageng Mangir Wanabaya Muda (lihat
Ananta Toer, 2000:50). Tumenggung
Mandaraka mengingatkan kepada Putri
Pambayun akan janjinya kepada ayahnya,
Panembahan Senapati. Demikian dalam
teks drama Mangir disebutkan,” Cucunda,
cucunda Gusti Putri Pambayun, tak
ingatkah kau kala bersujud pada kaki
baginda? Bukankah cucunda sendiri
mempersembahkan kanji bakti, sedia
lakukan apa saja untuk ayahanda raja
Mataram?” (Lihat Ananta Toer, 2000:50).
Panembahan Senapati Ing
Ngalaga penguasa tunggal Mataram
dalam drama Mangir ini adalah serorang
raja yang sangat ambisius, haus akan
kekuasaan dan ambisinya menaklukkan
wilayah-wilayah di sekitar Mataram,
Panembahan Senapati dalam teks drama
ini juga terkesan sebagai seorang raja yang
tidak pandang bulu dalam menjatuhkan
keputusan dan hukuman sekali pun kepada
putranya sendiri. Sebagaimana hukuman
mati yang telah dijatuhkan kepada
kakanda Putri Pambayun, Rangga yang
digantung dengan tali pada sebuah pohon
ara. Peristiwa itu sangat menghantui Putri
Pambayun sehingga ia berjanji dan selalu
memenuhi perintah ayahandanya agar
terbebas dari hukuman,
“Putri Pambayun: Masih ingat
sahayam witu itu ayahanda baginda habis
titahkan bunuh kakanda Rangga, agar
digantung dengan tali pada puncak pohon
ara, Kemudian datang warta tiotah telah
terlaksana, tubuhnya tergantung-gantung
28
ditiup angin dari Laut Kidul, bakal habis
dimangsa gagak dan clang. Menggigil
ketakutan sahaya bersujud pada ayahanda,
takut dibunuh maka persembahkan janji
bakti, apa saja baginda kehendaki”
(Ananta Toer, 2000:50).
Pada akhir babak kedua drama ini,
gambaran ketakutan dan kecemasan Putri
Pambayun akhirnya datang juga
‘Tumenggung Mandaraka tetap bersikukuh
mendesak pada Putri Pambayun agar
pulang ke istana Mataram memenuhi
panggilan ayahandanya. Di sisi lain,
Tumenggung Mandaraka atau Juru
Martani adalah seorang yang ambisius.
Sebagaimana kata-kata Putri Pambayun
bahwa tidak percuma dari agul-agul
Demak terangkat jadi Juru Martani Sultan.
Hadiwijaya dengan warta dan kata
menanggulangi negara (lihat Ananta Toer,
2000:51).
Pada akhir babak kedua drama ini,
gambaran ketakutan dan kecemasan Putri
Pambayun akhirnya datang juga
‘Tumenggung Mandaraka tetap bersikukuh
mendesak pada Putri Pambayun agar
pulang ke istana Mataram memenuhi
panggilan ayahandanya (lihat Ananta
Toer, 2000:56). Di sisi lain, Tumenggung
Mandaraka atau Juru Martani adalah
seorang yang ambisius. Sebagaimana
kata-kata Putri Pambayun bahwa tidak
percuma dari agul-agul Demak terangkat
jadi Juru Martani Sultan Hadiwijaya
dengan warta dan kata: menanggulangi
negara (Lihat Ananta Toer, 2000:51).
“Tapi Mataram kerajaan yang
dijanjikan, kubina sejak umbut sampai
batang. Orang setua ini, tak patut mati
tanpa peninggalan. Kelak di kemudian
hari, bila orang bicara tentang Mataram,
diaakan berkata Mataram? Itulah kerajaan
bikinan Ki Juru Martani, Tumenggung
Mandaraka, pujangga dan_penasihat
Panembahan Senapati. Inilah aku,
Kerajaan tenggelam, kerajaan_bangun
karena tanganku (Ananta Toer, 2000:58).
Tumenggung Mandaraka akhirnya
meninggalkan perdikan Mangir dengan
mencuri kuda Ki Ageng Mangir Wanabaya
Muda. Putri Pambayun tampak gelisahkarena_membiarkan kuda_suaminya
dibawa oleh Tumenggung Mandaraka
menuju Mataram. Dari sinilah semuanya
terungkap tentang siapa sebenarnya
Adisaroh yang tidak lain Putri Pambayun,
anak permaisuri raja Mataram,
Panembahan Senapati Ing Ngalag a.
Dalam drama Mangir disebutkan, “Putri
Pambayun: Inilah aku. Pambayun, putri
permaisuri Mataram” (Ananta Toer,
2000:66). Wanabaya merasa_tertipu,
hatinya galau, cintanya terhadap Adisaroh
yang tidak lain Putri Pambayun, telik sandi
yang dikirim oleh Raja Mataram membuat
Mangir kehilangan segala-galanya
Selama ini Ki Ageng Mangir Wanabaya
baik tua maupun muda adalah musuh
besar Mataram, duri bagi kelangsungan
hidup Mataram hanya dengan tipu
muslihat Mangir yang perdikan itu dapat
dikalahkan,
Pada babak ketiga drama Mangir
diakhiri adanya pertikaian Panembahan
Senapati dengan Ki Ageng Mangir
Wanabaya, yaitu kematian Ki Ageng
Mangir Wanabaya. Perhatikan kutipan
berikut.
Wanabaya dengan Baru Klinting
tombak pusaka,
Dua belas depa panjang tangkai.
Pambayun diiringi, benteng
dimasuki
Gapura-gapura_penyambutan_ ini,
mengapa?
Semakin dekati
sempit dan rendah?
Baru Kliting sang tombak pantang
menunduk,
Setiap lewat tangkai dipotong biar
tetap tegak.
Di bawah kaki
Senapati sang mertua
Baru Kliting tombak pusaka tiada
bertangkai lagi
Dengan Putri Pambayun Wanabaya
bersembah-bakti,
Senapati Mataram sambut kepala
‘menantu.
Dihantamkan pada Watu Gilang di
bawah kaki
Pecah,
Wanabaya menjelapah di bawah
takhta.
Dikota Gede adalah kuburan raja
Hanya satu makam diterjang tengah
kraton. semakin
Panembahan
agar tembok
Bisita Wanabaya distirahatkan
Dari pusat ke kaki diakui dia
menanturaja
Dan pusat ke kapala dianggap dia
musuh Mataram.
Membujursunyi
Di luar wilayah kuburan keluarga
raja
Selesai disini aku punya cerita
Seorang panglima tak terkalahkan di
medan-perang
Tertipu tewas di kaki musuh karena
cinta.
(Ananta Toer, 2000:78-79).
Ki Ageng Mangir Wanabaya Muda
akhimya menyerah dengan kematiannya
yang tragis, yaitu tewas di hadapan Sang
Penguasa Mataram, Panembahan Senapati
akibat tipu daya yang licik. Penguasa
Mataram itu, telah mengorbankan segala-
galanya, anaknya, Putri Pembayun dan
bayi yang sedang dikandungnya akan
kehilangan ayahnya untuk selamanya-—
semuanya demi ambisi kekuasaannya
“bumi Mataram”.
Simpulan
Berdasarkan penelitian maka dapat
disimpulkan beberapa hal, sebagai
berikut: (1) drama Mangir karya
Pramoedya Ananta Toer mengandung
tradisi Babad =~ Mangir yang dapat
direkonstruksi dari naskah-naskah babad,
yaitu Serat Babad Mangir, Serat
Bedhahing Mangir, dan Babad Tanah
Jawa; (2) unsur-unsur yang terdapat
dalam drama Mangir karya Pramoedya
Ananta Toer berkaitan erat dengan unsur
legenda. Dalam hal ini unsur legenda
merupakan tradisi babad yang dominan.
Legenda dalam tradisi babad khususnya
tradisi Babad Mangir, yaitu tokoh Ki
Ageng Mangir Wanabaya, Panembahan
Senapati, Putri Pambayun, Baru Klithing,
Ki Juru Martani, dan sebagainya.
29Daftar Pustaka
Adisasmita, Sumadi. 1979. Pustaka
Centhini Ikhtisar Seluruh Isinya.
Yogyakarta: UP Indonesia.
Ananta Toer, Pramoedya. 2000. Mangir:
Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, Yayasan Adikarya IKAPI
dan The Ford Foundation.
Bleicher, Jocef. 2003. Hermeneutika
Kontemporer. Yogyakarta: Fajar
Pustaka Baru,
Chamamah-Soeratno, Siti. 2010.
“Penelitian Resepsi Sastra_ dan
Problematikanya”. Sastra Teori dan
Metode. Yogyakarta: Jurusan Sastra
Indonesia dan Program $2 Fakultas
limu Budaya Univetrsitas Gadjah
Mada.
Dewi, Trisna Kumala Satya, 2011. “Cerita
“Calon Arang”: Reinterpretasi dan
Resepsi Pramoedya Ananta Toer
terhadap Sastra Jawa Pertengahan”
Prosiding Seminar Nasional
Linguistik Sastra Dahulu, Sekarang
dan Akan Datang. Madura: Program
Studi Sastra Inggris, Fakultas mu
Sosial dan IImu Budaya Universitas
Trunojoyo.
Ekadjati, Edi Suhardi. 1978. “Babad
(Karya Sastra Sejarah) sebagai
Objek Studi Lapangan Sastra,
Sejarah, dan Antropologi
Bandung: Lembaga Kebudayaan
Universitas Padjajaran.
30
Muhadjir. Noeng. 2003. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta:
Rahe Sarasin.
Newton, 1990. Interpreting the Text A
Critical Introduction to the Theory
and Practice of Literary
Interpretation. New York: Harvester
Wheatsheaf.
Saktimulya, Sri Ratna (Peny.). 2005.
Katalog Naskah-Naskah
Perpustakaan Pura Pakwalaman.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-
The Toyota Foundation.
Selden, Raman. 1989. A Readers Guide to
Contemporary Literary Theory.
Great Britain: The Harvester Press
Limite.
Suryo, Djoko. 1992. “Kisah Senapati Ki
‘Ageng Mangir dalam Historiografi
Babad”. Dalam Dari Babad dan
Hikayat Sampai Sejarah Kritis
Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra
Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya.
1984, Membaca dan Menilai
Sastra, Gramedia: Jakarta.
1985. Sastra dan Imu Sastra
Pengantar Teori Sastra. Jakarta:
Pustaka Jaya.