Anda di halaman 1dari 25

Referat

POST CONCUSSION SYNDROME

Oleh
Gita Pramadewi Fitriani
I1A004017

Pembimbing
Dr. Lily Runtuwene, Sp. S

BAGIAN / SMF ILMU PENYAKIT SARAF


FK UNLAM - RSUD ULIN
BANJARMASIN
Agustus 2009
0

BAB I
PENDAHULUAN

Spektrum cedera traumatik pada otak bervariasi dari cedera ringan dan
kadang-kadang tak disadari sampai cedera berat dengan morbiditas dan mortalitas
yang nyata. Angka kejadian pasti dari cedera kepala sulit ditentukan karena berbagai
faktor, misalnya sebagian kasus-kasus yang fatal tidak pernah sampai ke RS, dilain
pihak banyak kasus yang ringan tidak datang pada dokter kecuali bila kemudian
timbul komplikasi. Dari penelitian di Skotlandia dan Kanada ditemukan bahwa
perbandingan pasien cedera kepala yang tidak dirawat di RS terhadap pasien yang
dirawat adalah 4-5 : 11.
Insiden cedera kepala yang nyata yang memerlukan perawatan di RS dapat
diperkirakan 480.000 kasus pertahun (200 kasus/100.000 orang), yang meliputi
concussion, fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial, laserasi otak, hematoma dan
cedera serius lainnya. Dari total ini 75-85% adalah concussion dan sekuele cedera
kepala ringan. Cedera kepala paling banyak terjadi pada laki-laki berumur antara 1524 tahun, dan biasanya karena kecelakaan kendaraan bermotor. Menurut Rimer et al
dari 1200 pasien yang dirawat di RS dengan cedera kepala tertutup, 55% diobati
untuk cedera kepala ringan (minor)1.
Banyak pasien-pasien dengan cedera ringan yang datang kedokter untuk
pertama kalinya karena gejala yang terus berlanjut, dikenal sebagai sindroma
postconcussion. Berdasarkan informasi statistik yang diketahui, masalah cedera
kepala ringan adalah gangguan sekuele pasca trauma dan dengan akibat gangguan
produktivitas1.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Cedera akibat benturan pada kepala sering muncul sebagai keluhan subjektif.
Postconcussion Syndrome juga dapat disebabkan oleh karena masalah ekonomi atau
masalah psikologis. Penulis ingin menjelaskan patologi tentang trauma kepala, gejala
dari postconcussional syndrome, dan kriteria diagnosis. Sebagai tambahan, sering
dijumpai defisit somatis, psikologis dan masalah kogitif yang menyertai. Penderita
dan tingkat keparahan dari postconcussional syndrome lebih besar pada wanita.
Kepura-puraan dapat diduga pada kasus yang melibatkan perkara dan tersedia tes
untuk mendeteksinya. Perawatan untuk postconcussional syndrome tergantung pada
gejala spesifik. Obat-obatan dapat membantu, tapi harus berhati-hati dalam pemberian
obat yang dapat menganggu dan berefek pada SSP2.
Fakta bahwa benturan pada kepala akan menganggu kesehatan seseorang telah
diketahui sejak dahulu kala. Muncul kontroversi di berbagai bidang akademik dan
klinik selama bertahun-tahun telah mencoba mencari jawaban dari pertanyaaan
berikut : Kekuatan sebesar apa yang mampu mencederai kepala? Bagaimana
manifestasinya? Dan apa yang diharapkan bila setelah cedera tersebut terjadi?.
Sebagai tambahan, sebagian besar kondisi berupa keluhan subjektif, apakah efek dari
cedera tersebut didramatisir atau pura-pura akibat masalah psikologis primer atau
sekunder? Pada tahun 1866, kontroversi ini mulai terjawab ketika Erichsen
mempublikasikan hasil tentang pasien yang mengeluh hal yang sama terus menerus
setelah mengalami cedera kepala sedang. Dia mengemukakan bahwa gangguan
tersebut karena perubahan molekuler pada saraf tepi yang diinduksi oleh trauma.
2

Karena kebanyakan gangguan ini terjadi akibat pekerjaan membangun jalur kereta
Prussian, kondisi tersebut dinamakan railroad spine. Pada tahun 1879, Rigler
menolak konsep tersebut dan mengajukan pendapat bahwa cedera tersebut karena
kompensasi neurosis. Dia berpendapat bahwa alasan meningkatnya kecacatan
jangka panjang akibat dari cedera kepala ringan merupakan awal dari kompensasi dari
cedera pada pekerja rel kereta Prussian. Charcoat kemudian mengajukan pendapatnya
bahwa keluhan jangka panjang dari cedera kepala sedang akibat dari histeria dan
neurasthenia (misalnya kelelahan dan kebingungan yang disebabkan faktor
psikologis). Pada tahun 1934, diagnosis dari railroda spine, kompensasi neurosis,
dan hysteria disamakan dengan nama diagnosis postconcussional syndrome.
Sayangnya, perubahan pada nomenklatur hanya berpengaruh sedikit dalam menjawab
pertanyaan tentang keadaan sebenarnya dari kondisi tersebut, patofisiologi, prognosis,
dan faktor psikologis lainnya (misalnya akibat primer dan sekunder)2.

A. Definisi
Post concussion syndrome atau post concussive syndrome (PCS) dulu dikenal
dengan shell shock, adalah sekelompok gejala yang di alami seseorang, setelah
seminggu, sebulan atau bahkan setahun setelah suatu trauma (gegar) ringan dari
trauma otak (traumatic brain injury / TBI). PCS juga bisa terjadi pada trauma otak
sedang dan berat. Gejala-gejala PCS biasanya didiagnosis pada orang yang
menderita TBI, dan 38-80% biasanya terjadi pada trauma kepala ringan. Diagnosis
dibuat berdasarkan gejala yang ditimbulkan dari riwayat trauma 3 bulan setelah
mendapat trauma yang terakhir, bisa juga didiagnosis dalam hitungan minggu bahkan
10 hari setelah trauma. Pada trauma yang sudah lama terjadi (late,persistent atau

prolonged PCS / PPCS), biasanya didiagnosis setelah menderita 3-6 bulan setelah
terjadi trauma3,4.
Sindroma postconcussion adalah kumpulan gejala yang terdiri atas nyeri
kepala, pusing (dizziness), iritabilitas, mudah lelah, ansietas, gangguan memori,
menurunnya konsentrasi dan insomnia, yang merupakan sekuele setelah cedera
kepala ringan tertutup. Istilah lain yang digunakan untuk keadaan ini adalah post
traumatic instability, post traumatic headache, traumatic neurasthenia,traumatic
psychasthenia, post traumatic syndrome. Yang dimaksud dengan cedera kepala
ringan adalah suatu trauma yang terjadi dengan gangguan kesadaran sesaat atau
gangguan fungsi neurologik lain (misalnya memori, penglihatan) dengan GCS 13151,5.
Postconcussional syndrome secara umum didefinisikan sebagai kondisi yang
muncul setelah cedera kepala yang berakibat defisit pada tiga area fungsi SSP : 1)
somatik (neurologis-umumnya berupa nyari kepala, kecenderungan merasa cepat
lelah), 2) psikologis (perubahan afek, kurangnya motivasi, ansietas, atau emosi yang
labil), 3) kognitif (kelemahan dalam mengingat, perhatian dan konsentrasi) (Tabel 1)2

Postconcussional syndrome sulit didefinisikan secara medis, karena gejalanya


berupa keluhan subjektif. Muncul beberapa kriteria diagnosis, yang bentuk oleh
spesialisasi dari dokter yang merawat (neurologis, psikiater, rehabilitasi medik dan
lain-lain), lokasi klinis pasien tersebut diperiksa (IGD, rumah sakit, evaluasi forensik
dan lain-lain) dan ada atau tidaknya penerapan kriteria yang lebih teliti. Penelitian
menunjukkan bahwa gejala postconcussional umumnya muncul dalam 38 sampai
80% orang yang mengalami cedera kepala ringan (Tabel 2)2.

The American Psychiatric Associations (APAs) kriteria untuk gangguan


postconcussional, yang masih dalam tahap penelitian, menentukan bahwa adanya
gangguan fungsi kognitif yang didapat, diikuti dengan gejala perilaku neurologis,
yang muncul sebagai konsekuensi dari cedera kepala tertutup dengan tingkat
keparahan yang cukup untuk menyebabkan terjadinya gangguan serebral yang
signifikan (Tabel 3). APA mencatat bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk
menentukan batas yang jelas terhadap tingkat keparahan cedera kepala tertutup,
namun menyarankan setidaknya dua dari tiga hal harus terdapat, yaitu sebagai
berikut : 1) periode tidak sadar yang berlangsung lebih dari 5 menit, 2) periode
amnesia postrauma yang berlangsung selama lebih dari 12 jam setelah cedera kepala
tertutup, 3) onset baru berupa kejang (atau kejang yang semakin memburuk pada
pasien yang mempunyai riwayat kejang) yang muncul dalam 6 bulan pertama setelah
cedera kepala tertutup. APA juga memerlukan adanya gangguan kognitif untuk
menentukan perhatian (konsentrasi, memindahkan fokus perhatian, menjalankan tes
kognitif yang berulang-ulang) yang harus terdapat jelas gejalanya. Sebagai tambahan
dari gangguan kognitif, tiga atau lebih gejala sebagai berikut harus ada terus menerus
setidaknya dalam 3 bulan setelah cedera kepala tertutup : mudah lelah, gangguan
tidur, nyeri kepala, vertigo atau pusing, mudah tersinggung atau mudah marah,
depresi, ansietas, atau afek labil, kurang spontan atau apatis; atau perubahan perilaku
(seperti perubahan perilaku sosial atau seks yang tidak pantas). Kriteria ini juga
memerlukan bahwa gejala kognitif, somatik atau gejala perubahan perilaku yang
muncul setelah trauma kepala mengalami perburukan gejala atau keluhan dan harus
disertai dengan penurunan yang signifikan dari fungsi sosial dan pekerjaan dan
menunjukkan penurunan yang signifikan dari fungsi pasien saat sehat2.
6

APA menambahkan bahwa diagnosis banding dari gangguan postconcussional


adalah kelainan berupa pura-pura, ketika pasien memerlukan peran berpura-pura
sakit, yang memberikan kompensasi dari tanggung jawab sosial dan sengaja berpurapura, dimana terdapat harapan untuk kompensasi sehingga mengarah kepada muncul
atau perpanjangan gejala. Diagnosis lain yang dapat dipertimbangkan menyangkut
gangguan kognitif, demensia, gangguan somatisasi, gangguan stress post trauma, dan
gangguan somatoform yang tidak dapat diklasifikasikan2.
Berita baik tentang postconcussional syndrome adalah pada penelitian dan
literatur terdahulu menyebutkan bahwa sebagian besar orang akan pulih secara
sempurna dalam waktu 3 sampai 6 bulan. Hanya 7-15% dari semua penderita dari
7

kasus yang lebih buruk mengalami gejala selama 1 tahun setelah cedera dan hal
tersebut dapat dianggap mengalami postconcussional syndrome jangka panjang atau
persisten. Faktor yang dapat diprediksi dapat mengakibatkan postconcussional
syndrome persisten adalah jenis kelamin wanita, konflik berkepanjangan, sosial
ekonomi rendah, umur lebih dari 40 tahun, riwayat penyalahgunaan alkohol, riwayat
gangguan jiwa, riwayat cedera kepala terdahulu, riwayat kemampuann kognitif yang
rendah sebelum trauma, fungsi psikososial yang rendah sebelum cedera, gangguan
kepribadian (antisosial, histerikal, dependen), dan riwayat nyeri kepala terdahulu atau
sakit jiwa. Pasien yang mengalami gejala lebih ringan dari postconcussional
syndrome adalah yang mempunyai motivasi yang bagus, pasien usia muda yang tidak
megalami gangguan kesadaran. Umumnya individu akan pulih dalam waktu 6-12
minggu bila mengalami gangguan kesadaran singkat, amnesia post trauma yang
berlangsung kurang dari 1 jam, dan GCS skor sebesar 15. Bila pasien mengalami
keluhan yang persisten dan dramatis, atau keluhan tidak wajar, faktor lain seperti
gangguan

kepribadian,

masalah

psikologis,

atau

faktor

sekunder

dapat

dipertimbangkan sebagai penyebabnya 2.

B. Patologi
Cedera patologis yang primer pada trauma kepala adalah penipisan axon dan
kerusakan ketegangan strain, yang umumnya disebabkan oleh kekuatan akselerasi
rotasi. Tingkat cedera axon berhubungan dengan durasi amnesia post trauma dan
kehilangan kesadaran. Bila neuron mengalami kerusakan, neurotransmiter inhibitor
seperti -amino asam butirat, juga pada neurotransmiter eksitator, seperti asetikolin,
glutamat, dan aspartat, akan terlepas. Neurotransmiter tersebut akan mengakibatkan

kerusakan neuron lebih lanjut. (misalnya runtutan cedera). Perubahan setelah cedera
dapat mengarah kepada cedera difus neurologis berupa influks kalsium yang
berebihan pada neuron yang rusak, pelepasan sitokin, kerusakan oleh radikal bebas,
kerusakan pada reseptor dinding sel, inflamasi dan perubahan pada asetilkolin,
katekolamin, dan sistem neurotransmiter serotonergik. Penelitian post mortem pada
manusia dengan nyeri kepala kronik post trauma menunjukkan kerusakan axon difus,
pengelompokan mikroglia, dan adanya bukti berupa perdarahan petekie yang kecil
yang tidak mengakibatkan defisit neurologis fokal. Penelitian berupa trauma cedera
kepala buatan pada hewan menunjukkan bahwa baik neuron dan axon akan pulih
dalam waktu beberapa bulan setelah cedera2,4,6.
Gangguan kesadaran yang signifikan dapat menunjukkan tidak ada kelainan
pada CT scan atau pada MRI karena kerusakan difus yang alamiah. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa MRI lebih sensitif pada kerusakan SSP dengan
gangguan kesadaran bila dibandingkan CT scan. MRI lebih baik dalam mendeteksi
abnormalitas seperti kontussio, edema fokal, dan lesi mikroskopis (misalnya
perdarahn mikropetekie), terutama bila pemeriksaan dilaksanakan beberapa hari
setelah kejadian trauma. Penelitian Single-photon emission computed tomography
(SPECT) telah menunjukkan penurunan atau aliran darah regional yang asimetris
selama 3 tahun setelah cedera, terutama pada pasien yang mengalami nyeri kepala
post trauma, yang menunjukkan bahwa terjadi perubahan jangka panjang fisiologis
setelah cedera. Penelitian dengan positron emission tomography (PET) menunjukkan
adanya reduksi dalam tingkat metabolik glukosa pada individu yang didiagnosa
postconcussional syndrome. PET scan, walaupun mahal, mungkin dapat bermanfaat
dalam menunjukkan kasus kemungkinan adanya

kepura-puraan, namun tidak

spesifik atau sensitif untuk memberikan diagnosis definitif. Elektroensefalogram


dapat menunjukkan gelombang aktifitas rendah yang asinkron setelah cedera kepala
sedang, namun umumnya menunjukkan hasil yang normal dan bukan tes skreening
yang baik dalam postconcussional syndrome2.
C. Gejala-Gejala PCS
1. Defisit Somatik
Nyeri kepala merupakan keluhan pasien tersering yang mengalami cedera
kepala ringan. Peningkatan nyeri kepala dilaporkan terdapat pada 30-90% pasien
dengan postconcussional syndrome; 8 sampai 32% dilaporkan masih mengalami nyeri
kepala 1 tahun setelah trauma kepala. Umumnya, tipe nyeri kepala (misalnya tension,
migrain) yang dirasakan oleh individu dengan postconcussional syndrome, serupa
dengan nyeri kepala yang mereka rasakan sebelum trauma. Pasien dengan
postconcussional syndrome umumnya mengatakan bahwa nyeri kepala terasa lebih
lama dan muncul lebih sering bila dibandingkan dengan sebelum mengalami trauma.
The international headache society kriteria diagnostik untuk nyeri kepala post trauma
membagi menjadi dua kategori yaitu akut dan kronis. Nyeri kepala akut muncul
dalam 2 minggu setelah trauma dan sembuh dalam 2 bulan. Nyeri kepala post trauma
kronik muncul dalam 2 minggu setelah trauma dan berlangsung selama lebih dari 8
minggu. 85 % dari nyeri kepala berhubungan dengan postconcussional syndrome
digambarkan sebagai terus menerus, nyeri, dan tension type headache. Nyeri kepala
tersebut diyakini diakibatkan oleh cedera pada jaringan lunak dan keras, seperti
cedera miofasial, cedera sendi temporomandibular, cedera diskus intervertebralis, dan
spasme otot trapezius.walaupun lebih jarang, migrain, dengan atau tanpa aura,
dilaporkan dapat muncul dalam beberapa jam atau hari setelah gegar otak. Migrain
10

sering ditemukan pada dewasa muda yang berpartisipasi dalam oleh raga yang
menyebabkan cedera kepala minor multipel, seperti sepakbola, tinju dan hoki. Jenis
nyeri kepala ini sering disebut footballers migraine. Cluster headache jarang
berkembang setelah cedera kepala sedang2,5,7,8.
Keluhan kedua yang sering ditemukan pada postconcussional syndrome
adalah pusing, yang dilaporkan sekitar 50% pada kasus, dalam 1 tahun prevalensi
sekitar 19-25%. Umur diketahui sebagai faktor resiko. Semakin tua individu tersebut,
semakin besar kemungkinan mengalami pusing, baik bersumber dari sentral atau
perifer (misalnya gegar labirin, benigna positional vertigo, cedera batang otak)2,8.
Postconcussional syndrome sering menimbulkan gangguan pada panca indera.
Pandangan kabur muncul pada 14% dari pasien dan umumnya disebabkan gangguan
fokus penglihatan. 10% dari pasien dengan postconcussional syndrome dilaporkan
mengalami lebih sensitif pada cahaya dan bunyi; 5% mengalami kerusakan pada nervi
kranialis I dan menyebabkan sensitifitas pada indera pembauan dan perasa2,8.
2. Gejala Psikiatri
Setengah dari pasien yang mengalami gegar otak dilaporkan mengalami gejala
psikologis non spesifik, seperti perubahan kepribadian, ansietas, dan depresi. Sering
perubahan ini terjadi dalam 3 bulan pertama setelah cedera dan mempunyai CT scan
yang normal2,8.
Gangguan ansietas berkaitan dengan gangguan ansietas secara umum,
diantaranya gangguan panik, gangguan obsesif kompulsif dan gangguan stress post
trauma, telah dilaporkan muncul pada 11% sampai 70% dari penderita cedera kepala.
Yang sering dilaporkan berupa gejala adalah free-floating ansietas, kecemasan yang
berlebihan, menarik diri dari sosial, sensitif yang berlebihan dan bermimpi tentang

11

kecemasan. Gangguan ansietas dilaporkan terjadi pada cedera trauma pada kedua
hemisfer otak2.
Apatis umum didapatkan pada postconcussional syndrome.Apatis dapat
berupa sindrom isolasi primer atau akibat sekunder dari depresi. Apatis primer dapat
didefinisikan sebagai kurangnya motivasi dengan berkurangnya emosi, kognitif, dan
perilaku yang tidak mengarah kepada gangguan kecerdasan, distress emosional, dan
berkurangnya tingkat kesadaran. Apatis primer sering ditemui didapatkan pada 10%
penderita cedera kepala tertutup, sedangkan apatis sekunder muncul hanya
sementara, terjadi pada 60% pasien dengan cedera kepala tertutup. Kerusakan
neurologis pada regio subcortical-frontal, ganglia basalis, dan talamus telah
dihubungkan dengan patogenesis dari apatis primer2.
Walaupun jarang ditemukan pada postconcussional syndrome, namun psikosis
juga didapatkan pada cedera kepala berat. Psikosis mirip-skizofrenia didapatkan pada
0,7 sampai 9,8% pada penderita cedera kepala berat. Faktor resiko dapat berkembang
menjadi psikosis adalah benturan hebat pada trauma awal, riwayat epilepsi pada
lobus temporal, adanya kelainan neurologis sebelum trauma, dan ada trauma kepala
pada usia remaja. Pengobatan kondisi ini masih sulit, karena obat antipsikotik
atipikal seperti haloperidol kurang efektif bila dibandingkan pada penggunaan
kondisi psikosis lainnya. Obat tersebut dapat berpengaruh pada pemulihan neuron
setelah trauma. Ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa obat risperidon
dan clozapin mempunyai efek yang bagus terhadap psikosis post trauma2.
Orang yang sebelumnya dengan diagnosis gangguan afektif (depresi,
gangguan bipolar), gangguan ansietas secara umum, gangguan somatoform,
gangguan

kepribadian,

lebih

tinggi

kemungkinan

mengalami

keluhan

postconcussional syndrome daripada tanpa gangguan mental sebelumya. Banyak

12

gejala berupa gangguan afek, seperti perubahan mood, mood yang labil, gangguan
pada perhatian dan konsentrasi, gangguan tidur, dan ansietas memiliki gejala yang
sama yang terlihat pada postconcussional syndrome. Keadaan penyakit tersebut
sebelum trauma dapat mengarah kepada diagnosis yang salah pada postconcussional
syndrome. Pasien mengatakan keluhan lebih buruk, bila membandingkan keadaan
sebelum dan sesudah trauma. Keadaan tersebut dinamakan recall biases atau
fenomena good old days, didapatkan bila pasien tidak mampu mengingat secara
akurat level fungsinya serebelum terjadi trauma. Sangatlah penting, terutama bila
terdapat perkara yang terlibat, untuk dokter mendapat tes kejiwaan sebelumnya,
rekaman akademik, keadaan penilaian fungsi kerja, dan berbicara dengan keluarga
dan teman pasien untuk menentukan secara akurat tingkat fungsi pasien saat sebelum
dan sesudah trauma2.
3. Defisit Kognitif
Kognitif dapat didefinisikan sebagai proses yang melibatkan fungsi otak dalam
menerima, menganalisis data dan mengatur informasi. Fungsi kognitif yang klasik
adalah perhatian, memori, bahasa, penjabaran, fungsi penilaian, dan tingkat persepsi.
Defisit pada kognitif didefinisikan sebagai ketidak mampuan untuk berkonsentrasi,
memproses informasi, kesulitan menentukan kata yang tepat, dan ketidakmampuan
proses menyatukan pendapat. Pasien dengan postconcussional syndrome terbukti
mengalami penurunan dalam kecepatan memproses informasi, perhatian dan waktu
reaksi yang dapat ditemukan melalui tes neuropsikologis. Indeks menunjukkan
bahwa tes Stroop color test dan 2&7 Processing speed test memiliki spesifitas yinggi
dan nilai prediksi yang positif untuk menilai defisit kognitif dari postconcussional
syndrome, kedua tes tersebut menilai proses kecepatan mental. The Continous

13

Performance Test of Attention merupakan tes lain yang mempunyai sensitifitas tinggi
untuk memprediksi hasil negatif dari defisit kognitif setelah gegar otak. Di IGD,
pemeriksaan Digin Span Forward dan Hopkins Verbal Learning menunjukkan
mampu memprediksi perkembangan dari postconcussional syndrome, dan dalam
populasi tertentu juga memprediksi durasi dari gejala tersebut2.
Defisit kognitif yang paling umum ditemukan setelah cedera kepala adalah
gangguan memori verbal dan nonverbal. Tergantung pada tingkat keparahan cedera
kepala tertutup, persentase orang yang menderita gangguan memori berkisar 20-79%.
Telah dapat diperkirakan bahwa 4-25% penderita postconcussional syndrome akan
mengalami defisit memori setelah 1 tahun. Satu penjelasan bahwa penurunan dalam
membentuk memori baru akan mengurangi efektifitas pengumpulan memori. Defisit
pada memori jangka pendek (sebagai contoh lupa menempatkan barang, kesulitan
mengingat pembicaraan) adalah hal sering ditemui pada postconcussional syndrome.
Bila individu dengan defisit memori dihubungkan dengan cedera kepala berat
menjalani tes neuropsikologis, episodik memori atau deklaratif memori mengalami
gangguan, sedangkan prosedural memori tidak terganggu2.
Pasien dengan cedera otak juga mengalami gangguan dalam perhatian menerus
dan terbagi, sedangkan perhatian selektif jarang terganggu. Hal ini terlihat jelas
berupa pasien yang kesulitan berkonsentrasi, masalah dalam memfokuskan pada satu
tugas, dan mudah dialihkan atau terganggu. Disfungsi kolinergik yang mengarah
kepada gangguan mengatur sensoris dan ketidakmampuan

untuk menghentikan

stimulus diduga sebagai penyebab defisit perhatian2.


Defisit kognitif dianggap sebagai akibat dari kerusakan kortikal, terutama
gangguan yang melibatkan lobus anterotemporal dan orbitofrontal, yang sering
muncul karena dekatnya lobus tersebut pada protuberantia pada tulang tengkorak.

14

Lamanya muncul defisit ini bervariasi mengikuti jenis trauma, yang akan pulih
sempurna dalam 6 bulan. Gangguan dalam memori, perhatian, berbahasa, dan fungsi
keputusan yang muncul lebih menetap, dan akan pulih dalam waktu setelah 1 tahun
setelah mengalami trauma kepala2.
D. Diagnosis
The International Statistical Classification of Disease and Related Health
Problems (ICD-10) dan The American Psychiatric Associations Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder memiliki kriteria untuk PCS ataupun PCD
(postconcussinal disorder)1,3,9.
Symptom
Headache
Dizziness
Fatigue
Irritability
Sleep problem
Concentration problem
Memory problem
Problems tolerating

ICD-10

DSM-IV

stress/emotion/alcohol
Affect changes, anxiety, or
depression
Changes in personality
Apathy

ICD-10 menetapkan kriteria diagnosis untuk PCS pada tahun 1992.


Kriterianya antara lain mempunyai riwayat cedera kepala disertai penurunan
kesadaran 3-8 gejala yang diberi tanda cek di atas pada kolom ICD-10 selama 4
minggu. Sekitar 38% menderita cedera kepala dengan gejala concussion dan tidak ada
lesi otak pada pemeriksaan radiologis. Sebagai tambahan, penderita PCS berdasarkan
criteria ICD-10 dikhawatirkan akan mengalami kerusakan otak permanen dengan

15

gejala yang terus memburuk. Preekupasi dengan cedera yang menyertainya


diasumsikan sebagai sick hole dan hipokondriasis. Kriteria focus terhadap gejalagejala subjektif dan menyebutkan bahwa bukti kerusakan neuropsikologikal tidak ada.
Dengan fokus terhadap faktor psikologis, kriteria ICD-10 menunjukkan bahwa
penyebab PCS adalah fungsional3.
Pada daftar kriteria berdasarkan DSM-IV untuk diagnosis PCD pada penderita
yang menderita cedera kepala dengan persisten amnesia post traumatik, kehilangan
kesadaran, atau kejang post traumatik. Sebagai tambahan, untuk mendiagnosis PCD,
penderita harus mengalami kerusakan neuropsikologis ditambah dengan 3 gejala
yang tertera pada tabel DSM-IV. Gejala-gejala ini harus ada selama 3 bulan setelah
cedera dan memang tidak ada sebelum terjadinya cedera. Penderita

juga harus

mengalami kesukaran dalam interaksi sosial dan tidak harus memenuhi kriteria
untuk gangguan lain yang menjelaskan gejala-gejala membaik3.
Tes neuropsikologis dapat digunakan untuk mengukur defisit fungsi kognitif
yang dapat diakibatkan oleh PCS. The Stroop Colot Test dan The 2&7 Processing
Speed Test (dimana keduanya dapat mendeteksi defisit dalam proses kecepatan
mental) dapat memprediksi perkembangan kognitif akibat PCS. Sebuah tes yang
disebut Rivermead Postconcussion Symptomps Questionnaire, suatu rancangan
pertanyaan-pertanyaan yang mengukur keparahan dari 16 gejala post-concussion
yang berbeda, dapat digunakan dalam interview. Tes lain yang dapat memprediksi
perkembangan PCS termasuk Hopkins Verbal Learning A Test (HVLA) dan The
Digit Span Forward Examination. Tes HVLA verbal learning dan memori dihasilkan
dari seri-seri kata dan tanda-tanda berdasarkan nomor yang di recall, dan rentang
digit mengukur efisiensi atensi dengan diuji untuk mengulang kembali digit angka

16

yang telah disebutkan. Tes neuropsikologikal juga dapat mendeteksi adanya gejala
yang pura-pura atau berlebihan dari penderita3.
E. Diagnosis Banding
PCS dapat

muncul

dengan

gejala-gejala

yang

bervariasi

dapat

mengakibatkan salah diagnosis pada penderita dengan berbagai kondisi. Gejala


kognitif dan afektif yang muncul setelah trauma dapat disebabkan adanya MTBI
(mild traumatic brain injury), tetapi pada kenyataannya, faktor lain seperti gangguan
stress setelah trauma sering menyebabkan salah diagnosis sebagai PCS dan tingkah
laku buruk. Gangguan afektif seperti depresi mempunyai beberapa gejala seperti
mimik wajah seperti pada PCS dan dapat menyebabkan salah diagnosis. Dalam hal
ini termasuk juga gangguan konsentrasi, emosi yang labil, cemas dan gangguan tidur.
Depresi umumnya ditemukan pada penderita PCS, gejala-gejala PCS yang dapat
memburuk seperti nyeri kepala, gangguan konsentrasi, gangguan memori dan
gangguan tidur. Gejala PCS juga terdapat pada sindrom kelelahan kronik,
fibromyalgia, dan paparan toksin. Trauma otak dapat menyebabkan kerusakan pada
hipotalamus atau kelenjar pituitary, defisiensi hormon pituitary (hypopituitarism)
memiliki gejala yang mirip denga gejala PCS tetapi gejala ini dapat hilang dengan
pemberian atau terapi hormon tersebut3,9,10.
F. Hal yang Berpengaruh terhadap Gejala PCS

1. Jenis Kelamin
Jenis kelamin wanita mempunyai kemungkinan lebih besar mengalami
postconcussional syndrome, dan umumnya wanita mempunyai gejala lebih berat dan
waktu penyembuhan lebih lama. Penelitian meta analisis oleh Farance dan Alves
menunjukkan bahwa wanita memiliki hasil yang lebih buruk dibandingkan pria pada
postconcussional syndrome. Wanita menunjukkan tingkat keparahan 58% lebih

17

tinggi dibandingkan pria. Berbagai teori dikemukakan mengenai hal ini, salah
satunya adalah karena ukuran tubuh dan berat yang lebih kecil, akan mengalami
kekuatan cedera rotasi lebih besar daripada pria. Teori lain mengatakan bahwa otak
pria dan wanita diperngaruhi oleh hormon seks yang mengakibatkan berbeda dalam
kemampuan pemulihan setelah cedera kepala. Corrigan et al. mengatakan bahwa
wanita lebih berat gejala postconcussional syndrome karena lebih rentan dalam
mengalami cedera pada penganiayaan atau penyerangan fisik dan cedera tersebut
mengakibatkan kekuatan cedera rotasi yang lebih besar, dan mengakibatkan cedera
lebih besar pula2.
2. Pengaruh Sosial
Postconcussional syndrome diduga memiliki komponen sosial. Banyak
peneliti menemukan bahwa tingkat dan durasi cedera di US, dimana ganti rugi
diperoleh, adalah lebih besar bila dibandingkan dengan negara seperti Lithuania,
diaman masalah ganti rugi sulit diperoleh. Di Lithuania, Mickeviciene et al,
membagikan kuisioner kepada 200 orang penderita gegar otak dengan keluhan
kehilangan kesadaran dan populasi pembanding yang sehat. Penelitian menunjukkan
bahwa 96% responden mengeluh nyeri kepala dan pulih total dalam waktu 1 tahun
setelah mengalami gegar otak, dan tidak ada perbedaan dalam keluhan nyeri kepala,
pusing dan disfungsi kognitif bila antara dua kelompok tersebut. Kelompok ini juga
menunjukkan peningkatan yang signifikan pada depresi, penggunaan alkohol dan
kepedulian terhadap kerusakan otak2.
3. Kepura-puraan (Malingering)
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pasien yang terlibat dalam perkara
menunjukkan pemanjangan dan keluhan yang lebih berat pada postconcussional
syndrome bila dibandingkan dengan dengan pasien yang tidak memiliki perkara.
18

Penjelasan yang mungkin untuk keadaan tersebut adalah 1) pasien yang mengalami
perkara telah mengerti tentang kondisi mereka dan terpengaruh oleh symptom
knowledge, 2) pasien tersebut dilatih oleh pengacara mereka untuk melebihlebihkan gejala tersebut. 3) Gejala yang dialami diperburuk oleh stress karena
perkara, 4) mereka secara sadar atau tidak sadar dipengaruhi oleh pengaruh sekunder,
5) mereka berpura-pura untuk memperoleh uang (dengan berbohong)2.
Usaha untuk membedakan bahwa pasien tersebut berpura-pura atau tidak,
sangat sulit karena keluhan postconcussional syndrome adalah keluhan yang bersifat
subjektif. Mittenber et al. mencoba untuk menentukan frekuensi dari berpura-pura
dengan menganalisa 33.31 kasus pengadilan. Mereka mendapatkan bahwa 30% kasus
kecacatan, 29% kasus kecelakan pribadi, 19% kasus kriminal, dan 8% kasus
malpraktek medis yang kemungkinan melibatkan sikap berpura-pura atau keluhan
yang dilebih-lebihkan. Ketika menganalisa kasus yang melibatkan cedera kepala
sedang, peneliti merasa bahwa 35% terdapat sikap berpura-pura atau keluhan yang
dilebih-lebihkan2.
Beberapa tes psikiatri dan neurologis telah tersedia untuk mendeteksi adanya
individu yang berpura-pura. Roget et al melakukan meta-analisis tes tersebut dan
mengatakan bahwa tes yang paling sensitif dengan MMPI-2 adalah tes F scale, F-K
indeks, dan O-S inerval. Halstead-Reitan battery dilaporkan keakuratan sebesar 93,8%
untuk mengetahui adanya gejala keluhan palsu pada cedera kepala. Tes ukur lain yang
dapat digunakan untuk menentukan sikap berpura-pura adalah Dissimulation scale,
Ego Streght scale, dan Fake Bed scale2.
G. Terapi
Biasanya PCS tidak diterapi, terapinya hanya ditujukan pada gejala-gejala yang
muncul, misalnya penderita diberi penghilang nyeri untuk keluhan nyeri kepala dan

19

obat-obat untuk mengurangi depresi, dizziness atau muntah. Penderita disarankan


istirahat yang cukup, karena hal ini cukup efektif. Terapi fisik dan tingkah laku juga
dilakukan untuk masalah kehilangan keseimbangan atensi dan respon2,3,11.
1. Obat-obatan
Pengobatan dari postconcussional syndrome tergantung pada gejala yang
muncul pada tiap-tiap pasien. Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah
melakukan edukasi kepada pasien dan keluarganya tentang postconcussional
syndrome, menjelaskan bahwa gejala tersebut akan pulih sempurna dalam waktu 6
bulan. Penelitian menunjukkan bahwa keterlambatan mendiagnosa dan kurangnya
edukasi kepada pasien mengarah kepada perburukan gejala psikogenik penyakit dan
memperpanjang waktu pemulihan. Untuk keluhan nyeri kepala yang terus menerus,
terapi standar nyeri kepala dapat dimulai dari NSAID sampai terapi profilaksis
migrain, seperti fluoxetine dan verapamil, dikatakan dapat membantu. Bila perlu,
terapi fisik dan Transcutaneus Electrical Nerve Stimulators (TENS) dapat digunakan
pada pasien dengan tension headache yang berhubungan dengan kekakuan otot.
Pasien dengan gejala psikologis dapat diberi terapi psikoterapi suportif, edukasi, dan
farmakoterapi, seperti obat antidepresi atau antiansietas diberikan dalam waktu yang
terbatas. Selective serotonin inhibitor merupakan antidepresan pilihan pada sebagian
besar kasus dan dapat mengatasi gejala nyeri kepala, ansietas, tekanan dan depresi.
Agonis dopamin, psikostimulan, amantadine dan cholinestrase inhibitor telah
digunakan dalam mengobati penurunan kemampuan fokus atau memori, dan defisit
dalam fungsi kognitif, tapi hanya memberikan keuntungan setengah dari pasien yang
mengalami cedera kepala. Dokter harus berhati-hati dalam meresepkan obat yang
mempengaruhi SSP seperti phenitoin, haloperidol, barbiturat, dan benzodiazepin.

20

Obat ini dapat memberikan efek samping, seperti terhambatnya penyembuhan


neuron, dan gangguan pemulihan memori, yang dapat memperburuk gejala
postconcussional syndrome atau memperpanjang waktu pemulihan2,11.
2. Psikoterapi
Psikoterapi pada sekitar 40% penderita PCS dapat mengurangi gejala-gejala.
Terapi ini membantu penderita agar dapat melakukan aktivitas kerjanya. Protokol
terapi PCS dibuat berdasarkan prinsif yang terdapat dalam Cognitif Behavioral
Therapy (CBT), suatu metode psikoterapi yang berpengaruh untuk gangguan
emosional yang muncul atas dasar pikiran dan tingkah laku. CBT membantu
mencegah timbulnya gejala iatrogenik persisten3.
Dalam situasi seperti kecelakaan kendaraan bermotor, gejala PCS bisa
menyebabkan penyakit stress pasca trauma (PTSD) yang sangat penting untuk
diterapi dengan benar. Penderita dengan PTSD, depresi dan cemas dapat diterapi
dengan obat-obatan dan psikoterapi3.
3. Edukasi
Salah satu pengobatan yang paling efektif adalah melakukan edukasi kepada
pasien dan keluarganya tentang postconcussional syndrome, menjelaskan bahwa
gejala tersebut akan pulih sempurna dalam waktu 6 bulan. Edukasi mengenai gejala
sangat efektif dilakukan segera setelah cedera. Sejak stress mulai muncul sebagai
gejala PCS, edukasi diperlukan untuk mengatasi kerusakan tersebut. Edukasi dini
dapat mengurangi gejala pada anak dengan baik2,3.
H. Prognosis
Pada umumnya prognosis PCS adalah baik, berdasarkan total resolusi dari
gejala pada kebanyakan kasus-kasus mayor. Pada kebanyakan penderita, gejala PCS
akan menghilang dalam beberapa hari hingga beberapa minggu setelah cedera. Pada
sebagian penderita yang lain, gejala PCS dapat menghilang dalam waktu 3-6 bulan3.
21

Gejala-gejala pada umumnya menghilang pada sekitar separuh penderita PCS


1 bulan setelah trauma dan sekitar 2/3 penderita dengan trauma kepala minor, gejalagejalanya menghilang dalam 3 bulan. Jika gejala tidak hilang dalam 1 tahun, gejala
tersebut menjadi permanen, maka kemajuannya akan dapat terlihat dalam waktu 2-3
tahun, bahkan kadang-kadang setelah lama sekali tanpa ada kemajuan. Pada penderita
yang berusia tua dan orang yang mengalami trauma kepala berulang akan sulit
sembuhnya3.
Jika ada pukulan pada kepala setelah terjadi concussion dan gejala sebelumnya
sudah menghilang, maka hal ini bisa mengakibatkan second-impact syndrome (SIS).
Pada SIS, otak menjadi edema dan terjadi peningkatan tekanan intracranial. Penderita
dengan cedera kepala berulang setelah beberapa lama, misalnya seperti pada petinju,
mempunyai resiko menderita demensia serta dapat berkembang menjadi gangguan
fisik dan mental yang berat3.

22

BAB III
PENUTUP

Sindroma postconcussion adalah suatu keadaan yang merupakan akibat dari


cedera kepala ringan tertutup. Gejala-gejalanya bervariasi namun mempunyai suatu
pola yang tertentu. Terdapat banyak faktor yang terkait dalam sindroma ini, yang
dapat memberikan prognosa yang berbeda-beda dari yang baik sampai yang
menimbulkan gangguan yang berkepanjangan sehingga menyebabkan gangguan
psikososial. Upaya penanggulangannya dilakukan secara menyeluruh baik terhadap
gejalanya maupun terhadap faktor-faktor yang menjadi latar belakang yang
memperberat keadaan penyakit.

23

DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi, Iskandar. Sindroma Post Concussion. Fakultas Kedokteran Bagian


Bedah Universitas Sumatra Utara. USU, 2002.
2. Ryan CW, Richard CW, Chapman MJ. Definition, Diagnosis and Forensic
Implication of Postconcussion Syndrome Review Article. Psychosomatic 46:3,
May-June 2005. http: //psy.psychiatryonline.org.
3. Anonymous. Post-concussion Syndrome. Diakses tanggal 4 Agustus 2009,
http: //en.wikipedia.org.
4. Ropper AH, Gorson KC. Concussion. The New England Journal of Medicine. N
Engl J Med 256: 2. January 11, 2007. http: //www.nejm.org.
5. King NS. Post-concussion Syndrome: Clarity and the Controversy. British
Journal of Psychiatry (2003), 183, 276-278.
6. Lishman WA. Physiogenesis and Psychogenesis in the Post-concussion
Syndrome Review Article. British Journal of Psychiatry (1988) 153, 460-469.
7. Goldstein S. Legal Update #07 Post Concussion Syndrome (PCS). 10 Januari
2000. Diakses tanggal 4 Agustus 2009, http: //www.samgoldstein.com.
8. Anonymous. Post Concussion Syndrome. 2002. Diakses tanggal 4 Agustus
2009, http: //www.healthline.com.
9. Lubit RH. Post Concussive Syndrome. 1 Oktober 2008. Diakses tanggal 4
Agustus 2009, http: //emedicine.medscape.com.
10. Douglas, David. Brain Trauma is not the Basis for Postconcussive Syndrome. J
Neurol Neurosurg Psychiatry 2008; 79: 237, 300-306, http: //medscape.com.
11. Lubit RH. Post Concussive Syndrome: Treatment and Medication. Diakses
tanggal 4 Agustus 2009, http: //emedicine.medscape.com.

24

Anda mungkin juga menyukai