Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seorang pria berusia 19 tahun masuk IGD RSU diantar oleh mobil ambulan. Pasien
merupakan korban kecelakaan bis. Bis yang ditumpangi masuk jurang dan
terguling. Hasil anamnesis memberi gambaran bahwa tangan kanan, perut, dan
bagian bawah tubuh pasien terjepit. Pasien mengeluh pusing, mual, dan muntah.
Tangan kanan terasa lemas serta kedua kaki sangat sulit digerakkan. Pasien tidak
pingsan dan tidak didapatkan amnesia retrograde (AR) maupun amnesia
anterograde (AA).
Pemeriksaan fisik menunjukkan kondisi umum pasien nampak kesakitan dengan
kesadaran compos mentis. Tekanan darah menunjukkan nilai 110/60 mmHg dengan
denyut nadi 126 kali/menit, respiration rate 40 kali/menit, dan suhu tubuh 35,8OC
per axilla. Glasgow Coma Scale (GCS) dengan skor E 4 V 5 M 6. Pemeriksaan kepala
didapatkan bentuk yang mesochepal dan tidak ditemukan hematom. Kedua
conjunctiva palpebra tidak pucat, tidak ditemukan sclera icteric, serta pupil isokhor.
Bentuk hidung simetris, tidak didapatkan deformitas, epistaksis, maupun secret.
Bibir tidak nampak sianosis dengan mukosa bibir lembab. Telinga tidak didapatkan
deformitas serta sekret. Leher tidak didapatkan Jugular Veins Pressure (JVP),
pembesaran limfonodi, maupun hematom.
Pemeriksaan fisik thorak didapatkan hasil bentuk dinding thorak simetris statisdinamis, dengan palpasi fremitus suara paru kanan sama dengan paru kiri, serta
tidak ditemukan ketinggalan gerak dari kedua paru. Perkusi menunjukkan hasil
sonor dengan auskultasi suara vesikuler murni pada kedua lapang paru. Abdomen
menunjukkan adanya jejas pada seluruh lapang abdomen serta terdapat bekas
tekanan pada region ingunalis kanan. Auskultasi didapatkan peristaltik usus positif
(+) dengan perkusi yang timpani dan tidak didapatkan pekak alih. Palpasi
menunjukkan nyeri tekan yang positif dan tidak ditemukan massa. Pemeriksaan
pada keempat ekstremitas tidak ditemukan akral dingin dan sianosis. Skor kekuatan
otot bernilai 2 untuk kedua kaki, 4 untuk tangan kanan, dan 5 untuk tangan kiri.
Status lokalis pada regio abdomen menunjukkan adanya jejas dengan darah kering
dan vulnus excoriation (VE). Peristaltik usus yang positif (+) ditunjukkan dengan
pemeriksaan auskultasi. Didapatkan nyeri tekan pada region inguinalis kanan dan
kiri. Perkusi memberikan hasil timpani tanpa pekak alih. Pada pemeriksaan kedua
kaki didapatkan bahwa kedua kaki sangat sulit digerakkan. Pasien sudah dipasang
kateter urin dan ditemukan hematuria pada urine bag.
Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan serial
Hb. Pemeriksaan darah lengkap yang dilakukan bersama serial Hb pertama
menunjukkan angka Haemoglobin sebesar 14.5 g/dL, hematokrit sebesar 45%,
angka leukosit 27.9 x 103/uL, angka eritrosit 4.94 x 106/uL, angka trombosit 281 x
103/uL, MCV sebesar 81.7 IL, MCH 26.9 pg, MCHC 32,9g/dL. Hitung jenis leukosit
menunjukkan hasil limfosit 15.9%, MXD 4.4% dan neutrofil 79.7%. Laju endap darah
(LED) 1 jam menunjukkan angka 5 mm dan LED 2 jam menunjukkan angka 10mm.
Pada serial Hb kedua didapatkan hasil kadar haemoglobin sebesar 15,6 g/dL dan
hematokrit sebesar 24,6 %. Serial Hb ketiga menunjukkan hasil Hb sebesar 16,4
g/dL dan hematokrit sebesar 28,2%. Pemeriksaan serial Hb keempat didapatkan
kadar hemoglobin sebesar 16,9 g/dL dan hematokrit sebesar 22,1%.
Pemeriksaan foto polos pelvis AP view tidak didapatkan lesi litik ataupun sklerotik,
tak tampak tanda-tanda fraktur/dislokasi, tak tampak kelainan pada sistem tulang
yang tervisualisasi, serta joint space tak melebar/menyempit. Pada pemeriksaan
ultrasonography (USG) tidak didapatkan cairan bebas pada hepatorenal,
splenorenal, serta retrovesika urinaria. Pada gambaran hepar menunjukkan ukuran,
bentuk dan echostructure parenchym normal, homogen, tepi licin, capsula intact,
tak tampak pelebaran sistema bilier, et vascular intra hepatal, tak tampak
nodul/cyst. Pada gambaran vesica fellea didapatkan ukuran normal, dinding tak
menebal, regular, tak tampak massa. Gambaran lien menunjukkan ukuran, bentuk,
dan echostructure parenchyma normal, dinding licin, hilus tak prominen, tak
tampak massa. Gambaran ginjal kanan dan kiri menunjukkan ukuran dan
echostructure parenchyma normal, kapsula intak, batas kortek dan medulla tegas,
SPC tak melebar, tak tampak massa/nodul. Gambaran vesika urinaria nampak terisi
cairan, terpasang balon vesika urinaria, dinding licin, tak tampak batu/massa.
Gambaran prostat memberikan hasil ukuran dan ekostruktur parenkim normal, tak
tampak nodul, tak tampak limpadenopati paraaortisi.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini untuk mengetahui manifestasi klinik, diagnostik,
penatalaksanaan, komplikasi dan prognosis trauma tumpul abdomen.
.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Abdomen
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas dari
diafragma hingga pelvis (Agung, 2010). Rongga ini berisi visera dan dibungkus
dinding (abdominal wall) dari otot-otot, kolumna vertebralis, dan ilia (Dorland,
2002). Pada bagian superior, dinding abdomen dibentuk oleh diafragma yang
memisahkan kavitas abdominalis dari kavitas thorakalis. Pada bagian inferior,
kavitas abdominalis melanjutkan diri menjadi kavitas pelvis melalui apertura pelvis
superior. Di bagian posterior, dinding abdomen di garis tengah dibentuk oleh kelima
vertebra lumbales dan diskus intervertebralisnya, bagian lateral dibentuk oleh 12
kosta, bagian atas oleh muskulus psoas mayor, muskulus kuadratus lumborum, dan
aponeurosis origo muskulus transverses abdominis. Dinding abdomen dibatasi oleh
selubung fascia dan peritoneum parietale (Snell, 2006).
Abdomen terbagi menjadi sembilan daerah yang dibatasi oleh empat garis
bayangan pada dinding anterior, dua diantaranya berjalan horizontal mengelilingi
badan (yang atas setinggi tulang rawan iga kesembilan, yang bawah setinggi
bagian atas krista iliaka), dan dua lainnya vertikal di kiri dan kanan tubuh yaitu dari
tulang rawan iga kedelapan hingga ke pertengahan ligamentun inguinale (Dorland,
2002).
Berdasarkan letaknya, organ dalam abdomen terbagi menjadi dua, yaitu organ
intraperitoneal dan retroperioneal. Organ-organ intraperitoneal diantaranya
lambung, hepar, duodenum, pankreas, kolon, dan organ-organ saluran pencernaan
yang lain. Adapun organ yang terletak retroperitoneal seperti ginjal, aorta, dan
venakava inferior (Srivathsan, 2009).
B. Trauma
Trauma adalah sebuah mekanisme yang disengaja ataupun tidak disengaja
sehingga menyebabkan luka (Amro, 2006). Trauma pada abdomen terbagi
berdasarkan kejadian, yaitu trauma tumpul dan trauma tembus (Srivathsan, 2009).
Pada trauma tembus perbedaan antara benda-benda berkecepatan tinggi dan
rendah mempunyai arti penting. Luka kecepatan rendah yang biasa terjadi ialah
pada penikaman dengan senjata tajam. Proses penikaman dapat dibedakan menjadi
dua macam berdasarkan energinya, yaitu tikaman dengan energi kinetik rendah
dan energi kinetik tinggi. Pada tikaman dengan energi kinetik yang rendah, korban
sering dapat melihat datangnya dan mengelak pada saat tikaman tersebut terjadi.
Dengan demikian, penetrasi rongga perut yang dalam jarang terjadi. Tikaman
dengan energi kinetik yang tinggi dipakai dengan maksud terang-terangan
membunuh. Luka-luka tersebut menembus dalam dan sering kompleks. Peluru
berkecepatan tinggi dari pistol atau pecahan-pecahan granat yang meledak dapat
menembus dalam dan mengikuti jalan yang aneh, secara luas merusak segala
sesuatu atau apa saja di sekitar lintasannya (Dudley, 1992).
Trauma tumpul meliputi benturan langsung, pukulan, kompresi, dan deselerasi
(cedera perlambatan). Dapat juga terjadi counter coup, yaitu trauma tumpul yang
berat, tidak ada luka di luar, tapi ada jejas organ di visera akibat desakan luka atau
organ viscera. Trauma intra abdomen karena hantaman sering dikaitkan dengan
faktor tumbukan antara orang yang cedera dan kondisi di luar tubuh individu
tersebut, serta kekuatan akselerasi dan deselerasi yang bekerja terhadap organ
dalam abdomen (Rahmawati, 2006).
Pada penderita ini mengalami trauma dalam kecelakaan bis dikarenakan benturan
langsung dan proses kompresi akibat himpitan kursi. Bagian tubuh penderita yang
terhimpit adalah bagian perut hingga kaki serta tangan kanan. Himpitan
meninggalkan jejas dan menyebabkan tangan kanan serta kaki penderita terasa
lemah untuk digerakkan.
C. Trauma Tumpul Abdomen
1. Mekanisme
Trauma yang didapat dari kecelakaan menjadi penyebab terbanyak dari trauma
abdomen. Kecelakaan mobil dengan mobil dan antara mobil dengan pejalan kaki
menduduki 50-75% dari keseluruhan kasus trauma tumpul abdomen (Udeani &
Steinberg,2011).
Cedera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan ke dalam 2 mekanisme utama,
yaitu tenaga kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi. Tenaga kompresi
(compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Hal yang sering terjadi hantaman
menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga
dan menyebabkan ruptur (Salomone & Salomone,2011).
Tenaga deselerasi menyebabkan regangan dan sobekan linier organ-organ yang
2. Patofisiologi
Menurut Anonim (2008), patofisiologi dari trauma tumpul abdomen terdiri dari :
a. Kehilangan darah
i. Limpa dan hati memiliki banyak suplai dan simpanan darah sehingga terjadi
kehilangan darah dengan cepat.
ii. Konsistensi jaringan hati dan lien menyebabkan jaringan sulit melakukan proses
homeostasis.
iii. Perdarahan pada kavum retroperitoneal sulit untuk dievaluasi dan di diagnosis.
b. Nyeri
i. Nyeri, kekakuan, tegang pada abdomen merupakan tanda klasik patologi
intraabdomen.
ii. Nyeri tekan dan defans muscular disebabkan karena pergerakan yang tiba-tiba
dan iritasi membrane peritoneal hingga ke dinding abdomen.
iii. Iritasi disebabkan adanya darah atau isi lambung pada kavum peritoneal.
iv. Cidera duodenum dan pankreas menyebabkan perdarahan dan berefek
mengaktifkan enzim di sekitar jaringan sehingga memicu peritonitis kimiawi area
retroperitoneal.
v. Tanda dan gejalan cidera pankreas dan duodenum adalah :
Nyeri tekan abdomen yang difus
penjalaran nyeri pada area epigastrium sampai ke punggung.
D. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Secara umum, jangan menanyakan riwayat lengkap hingga cidera yang
mengancam nyawa teridentifikasi dan mendapatkan penatalaksanaan yang sesuai.
AMPLE sering digunakan untuk mengingat kunci dari anamnesis, yaitu
b. Inspeksi :
i. Pemeriksaan abdomen untuk menentukan tanda-tanda eksternal dari cedera.
Perlu diperhatikan adanya area yang abrasi dan atau ekimosis.
ii. Catat pola cedera yang potensial untuk trauma intra abdomen (seperti abrasi
karena sabuk pengaman, hantaman dengan papan kemudi-yang membentuk
contusio). Pada banyak penelitian, tanda (bekas) sabuk pengaman dapat
dihubungkan dengan ruptur usus halus dan peningkatan insidensi cidera intra
abdomen.
iii. Observasi pola pernafasan karena pernafasan perut dapat mengindikasikan
cedera medulla spinalis. Perhatikan distensi abdomen, yang kemungkinan
berhubungan dengan pneumoperitoneum, dilatasi gastrik, atau ileus yang
diakibatkan iritasi peritoneal.
iv. Bradikardi mengindikasikan adanya darah bebas di intra peritoneal pada pasien
dengan cedera trauma tumpul abdomen.
v. Cullen sign (ekimosis periumbilikal) menandakan adanya perdarahan peritoneal,
namun gejala ini biasanya muncul dalam beberapa jam sampai hari. Memar dan
edema panggul meningkatkan kecurigaan adanya cedera retroperitoneal.
vi. Inspeksi genital dan perineum dilakukan untuk melihat cedera jaringan lunak,
perdarahan, dan hematom.
c. Auskultasi :
i. Bising pada abdomen menandakan adanya penyakit vaskular atau fistula
arteriovenosa traumatik.
ii. Suara usus pada rongga thoraks menandakan adanya cedera diafragmatika.
iii. Selama auskultasi, palpasi perlahan dinding abdomen dan perhatikan reaksinya.
d. Palpasi :
i. Palpasi seluruh dinding abdomen dengan hati-hati sembari menilai respon pasien.
Perhatikan massa abnormal, nyeri tekan, dan deformitas.
ii. Konsistensi yang lunak dan terasa penuh dapat mengindikasikan perdarahan
intraabdomen.
iii. Krepitasi atau ketidakstabilan kavum thoraks bagian bawah dapat menjadi tanda
potensial untuk cidera limpa atau hati yang berhubungan dengan cedera tulang
rusuk.
iv. Ketidakstabilan pelvis merupakan tanda potensial untuk cedera traktus urinarius
bagian bawah, seperti hematom pelvis dan retroperitoneal. Fraktur pelvis terbuka
berhubungan tingkat kematian sebesar 50%.
v. Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dilakukan untuk menilai perdarahan dan
cedera. Feces semestinya juga diperiksa untuk menilai adakah perdarahan berat
atau tersamar. Tonus rectal juga dinilai untuk mengetahui status neurologis dari
pasien.
vi. Pemeriksaan sensori pada thorak dan abdomen dilakukan untuk evaluasi adanya
cedera medulla spinalis. Cedera medulla spinalis bisa berhubungan dengan
penurunan atau bahkan tidak adanya persepsi nyeri abdomen pada pasien.
vii. Distensi abdomen dapat merupakan hasil dari dilatasi gastrik sekunder karena
bantuan ventilasi atau terlalu banyak udara.
viii. Tanda peritonitits (seperti tahanan perut yang involunter, kekakuan) segera
setelah cedera menandakan adanya kebocoran isi usus.
e. Perkusi :
i. Nyeri pada perkusi merupakan tanda peritoneal
ii. Nyeri pada perkusi membutuhkan evaluasi lebih lanjut dan kemungkinan besar
konsultasi pembedahan.
ix. Pipa nasogastrik seharusnya dipasang (jika tidak ada kontraindikasi seperti
fraktur basal kranii) untuk menurunkan tekanan lambung dan menilai apakah ada
perdarahan. Jika pasien mengalami cidera maxillofacial, lebih baik dipasang pipa
orogastrik. Selanjutnya kateter foley juga dipasang untuk mengetahui produksi urin
dan pengambilan sample urinalisis untuk pemeriksaan hematuri mikroskopis. Jika
cedera urethra atau vesika urinaria diduga karena fraktur pelvis, maka perlu
dilakukan retrograde urethrogram terlebih dahulu sebelum pemasangan kateter.
Karena luasnya spektrum cidera pada trauma tumpul abdomen, maka frekuensi
evaluasi ulang menjadi komponen penting dari menejemen pasien dengan trauma
tumpul abdomen. Survei tersier merupakan pengulangan survei primer dan
sekunder serta revisi semua hasil laboratorium dan radiografi. Pada sebuah
penelitian, survey tersier pada trauma dapat mendeteksi 56% cidera yang
beberapa hal.
ii. Radiografi dada bisa digunakan untuk diagnosis cedera abdomen seperti ruptur
hemidiafragmatika atau pneumoperitoneum.
iii. Radiografi dada dan pelvis dapat digunakan untuk menilai fraktur vertebra
torakolumbar
iv. Udara bebas intraperitoneal atau udara yang terjebak pada retroperitoneal dari
perforasi usus kemungkinan bisa terlihat.
Pada penderita ini dilakukan pemeriksaan foto polos pervis, sedangkan untuk
abdomen 3 posisi belum dilakukan. Pada foto polos pelvis AP view tidak didapatkan
lesi litik ataupun sklerotik, tak tampak tanda-tanda fraktur/dislokasi, tak tampak
kelainan pada sistem tulang yang tervisualisasi, serta joint space tak
melebar/menyempit.
b. Ultrasonografi
Ultrasonografi dengan focused abdominal sonogram for trauma (FAST) sudah
digunakan untuk mengevaluasi pasien trauma lebih dari 10 tahun di Eropa. Akurasi
diagnostik FAST secara umum sama dengan diagnostic peritoneal lavage (DPL).
Penelitian di Amerika dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan FAST sebagai
pendekatan noninvasif untuk evaluasi cepat hemoperitoneum (Feldman, 2006).
Pada pasien dengan trauma tumpul abdomen dan cidera multisystem,
ultrasonografi portabel dengan operator yang berpengalaman dapat dengan cepat
mengidentifikasi cairan bebas di intraperitoneal. Cidera organ berongga jarang
teridentifikasi, namun cairan bebas bisa tervisualisasi pada beberapa kasus
(Salomone & Salomone,2011).
Evaluasi FAST abdomen terdiri visualisasi perikardium (dari lapang pandang
subxiphoid), rongga splenorenal dan hepatorenal, serta kavum douglas pada pelvis.
Tampilan pada kantong Morrison lebih sensitive, terlebih jika etiologinya adalah
cairan (Jehangir et al., 2002).
Cairan bebas pada umumnya diasumsikan sebagai darah pada trauma abdomen.
Cairan bebas pada pasien yang tidak stabil mengindikasikan perlu dilakukan
laparotomi emergensi, akan tetapi jika pasien stabil dapat dievaluasi dengan CT
scan (Feldman, 2006).
Pada penderita ini, pemeriksaan ultrasonography (USG) tidak didapatkan cairan
bebas pada hepatorenal, splenorenal, serta retrovesika urinaria. Pada gambaran
hepar menunjukkan ukuran, bentuk dan echostructure parenchym normal,
homogen, tepi licin, capsula intact, tak tampak pelebaran sistema bilier, et vascular
intra hepatal, tak tampak nodul/cyst. Pada gambaran vesica fellea didapatkan
ukuran normal, dinding tak menebal, regular, tak tampak massa. Gambaran lien
menunjukkan ukuran, bentuk, dan echostructure parenchyma normal, dinding licin,
hilus tak prominen, tak tampak massa. Gambaran ginjal kanan dan kiri
menunjukkan ukuran dan echostructure parenchyma normal, kapsula intak, batas
kortek dan medulla tegas, SPC tak melebar, tak tampak massa/nodul. Gambaran
vesika urinaria nampak terisi cairan, terpasang balon vesika urinaria, dinding licin,
tak tampak batu/massa. Gambaran prostat memberikan hasil ukuran dan
ekostruktur parenkim normal, tak tampak nodul, tak tampak limpadenopati
paraaortisi.
c. Computed Tomography (CT) Scan
Meskipun mahal dan membutuhkan banyak waktu, namun CT scan banyak
empedu atau kadar amylase tinggi yang abnormal (indikasi perforasi usus), serat
makanan, atau bakteri pada pemeriksaan bakteri (King&Bewes,2002).
Komplikasi DPL termasuk perdarahan dari insisi dan tempat masuk kateter, infeksi
(luka peritoneal), dan cidera pada struktur intra abdomen (seperti vesika urinaria,
usus halus, uterus). Infeksi pada insisi, peritonitis dari tempat kateter, laserasi pada
vesika urinaria, atau cidera organ-organ lain intra abdomen dapat muncul dan
mengakibatkan hasil positif palsu. Hasil positif palsu dapat memicu laparotomi yang
tidak diperlukan (King&Bewes,2002).
Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok
yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL (Feldman, 2006).
E. Penatalaksanaan
1. Tatalaksana inisiasi (Salomone&Salomone,2011) :
Fokus penatalaksanaan sebelum di rumah sakit pada penilaian dan penangangan
masalah yang mengancam nyawa, termasuk inisiasi resusitasi dan transport ke
rumah sakit terdekat. Penggunaan intubasi endotrakeal untuk membebaskan jalan
nafas pada pasien yang tidak mampu mempertahankan jalan nafas atau yang
berpotensial terjadinya gangguan pada jalan nafas. Perdarahan eksternal jarang
dihubungkan dengan trauma tumpul abdomen. Jika ada, kontrol perdarahan dengan
tekanan langsung. Perhatikan tanda-tanda kurangnya perfusi sistemik. Inisiasi
resusitasi cairan dengan cairan kristaloid.
Diagnosis tension pneumothoraks diobati dengan kompresi jarum diikuti dengan
penempatan pipa torakostomi. Faktor mekanis lain yang berhubungan dengan
ventilasi termasuk hemotorak, dan kontusio pulmonal.
2. Tatalaksana non operatif (Udeani&Steinberg,2011) :
Manajemen non operatif berdasarkan diagnosis CT scan dan stabilitas hemodinamik
pasien. Pada trauma tumpul abdomen, termasuk cedera organ padat yang parah,
pilihan manajemen non operatif menjadi perawatan standar.
Angiografi merupakan modalitas manajamen non operatif pada trauma tumpul pada
organ padat dewasa. Angiografi digunakan untuk melihat perdarahan secara non
operatif.
3. Tatalaksana bedah
Resusitasi thorakotomi pada UGD hanya bersifat menyelamatkan jiwa. Survival
dengan penyembuhan neurologis lebih diharapkan pada pasien dengan trauma
tajam dibandingkan trauma tumpul. Torakotomi dapat berperan pada beberapa
pasien dengan trauma tajam pada leher, dada, atau ekstermitas dengan tandatanda kehidupan (Dudley, 1992).
Pasien dengan trauma tumpul torakoabdominal dengan pulseless electrical activity
(PEA) merupakan pertanda buruk untuk dilakukan resusitasi torakotomi. Pada
pasien dengan hemoperitoneum dari trauma tumpul torakoabdominal, tujuan
resusitasi torakotomi pada IGD adalah (1) klem aorta, mengalihkan darah ke
koroner dan pembuluh darah otak selama resusitasi, (2)evakuasi tamponade
pericardial,(3)mengontrol perdarahan thoraks secara langsung, dan (4)membuka
dada untuk pijat jantung (Udeani&Steinberg,2011).
Indikasi dilakukan laparotomi diantaranya tanda peritonitis, perdarahan atau syok
yang tidak terkontrol, penurunan secara klinis selama observasi, ditemukannya
hemoperitoneum setelah pemeriksaan FAST atau DPL. Ketika sudah ada indikasi
untuk dilakukan laparotomi, antibiotik spektrum luas diberikan. Insisi pada garis
tengah biasanya lebih disukai. Ketika abdomen dibuka, kontrol perdarahan
dilakukan dengan mengeluarkan darah dan bekuan darah, dan mengeklem struktur
vaskuler. Setelah intra abdomen diperbaiki dan perdarahan dikontrol,eksplorasi
abdomen dilakukan untuk mengevaluasi seluruh lapangan
abdomen(Udeani&Steinberg,2011).
Setelah cedera intraperitoneal terkontrol, retroperitoneum dan pelvis harus
diperhatikan. Jangan pernah melakukan eksplorasi pada hematom pelvis. Gunakan
fiksasi eksterna pada fraktur pelvis untuk menurunkan atau menghentikan
perdarahan. Setelah sumber perdarahan dihentikan, kemudian stabilisasi pasien
dengan cairan merupakan hal penting (Udeani&Steinberg,2011).
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan refer ke rumah sakit dengan tipe yang
lebih tinggi untuk mencari penyebab hematuria dikarenakan keterbatasan
peralatan.
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat muncul dari trauma tumpul abdomen adalah cedera yang
terlewatkan, terlambat dalam diagnosis, cedera iatrogenic, intra abdomen sepsis
dan abses, resusitasi yang tidak adekuat, rupture spleen yang muncul kemudian
(King et al, 2002 ; Salomone&Salomone,2011).
G. Prognosis
Prognosis untuk pasien dengan trauma tumpul abdomen bervariasi. Tanpa data
statistik yang menggambarkan jumlah kematian di luar rumah sakit, dan jumlah
pasien total dengan trauma tumpul abdomen, gambaran spesifik prognosis untuk
pasien trauma intra abdomen sulit. Angka kematian untuk pasien rawat inap
berkisar antara 5-10% (Udeani&Steinberg,2011).
BAB III
KESIMPULAN
Abdomen adalah rongga terbesar dalam tubuh, bentuknya lonjong dan meluas dari
diafragma hingga pelvis (Agung, 2010). Trauma yang didapat dari kecelakaan
menjadi penyebab terbanyak dari trauma abdomen. Kecelakaan mobil dengan
mobil dan antara mobil dengan pejalan kaki menduduki 50-75% dari keseluruhan
kasus trauma tumpul abdomen (Udeani & Steinberg,2011).
Cidera struktur intraabdomen dapat diklasifikasikan ke dalam 2 mekanisme utama,
yaitu tenaga kompresi (hantaman) dan tenaga deselerasi. Tenaga kompresi
(compression or concussive forces) dapat berupa hantaman langsung atau kompresi
eksternal terhadap objek yang terfiksasi. Hantaman merupakan hal yang paling
menyebabkan sobek dan hematom subkapsular pada organ padat visera. Hantaman
juga dapat menyebabkan peningkatan tekanan intralumen pada organ berongga
dan menyebabkan rupture (Salomone & Salomone,2011).
Penegakan diagnosis pada trauma tumpul abdomen dapat dilakukan dengan