OLEH:
QURROTU AINI S.ked
09700351
PEMBIMBING:
Dr. Hj. SUBIYATI Sp, A
Periode 2013-2014
BAB I
PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit endemis di indonesia yang disebabkanoleh infeksi
sistemik salmonella typhi. Prevalens 91% kasus demam tifoid terjadi pada umur 3-19 tahun,
kejadian meningkat setelah umur 5 tahun. Pada minggu pertama sakit, demam tifoid sangat
sukar dibedakan dengan penyakit demam lainnya sehingga untuk memastikan diagnosis
diperlukan pemeriksaan biakan kuman untuk konfirmasi.
96% kasus demam tifoid disebabkan salmonella typhi sisanya disebabkan salmonella
paratyphi. Kuman masuk melalui makanan/minuman, setelah melewati lambung kuman
mencapai usus halus (ileum) dan setelah menembus dinding usus sehingga mencapai folikel
limfoid usus halus (plaque peyeri). Kuman ikut aliran limfe mesenterial ke dalam sirkulasi
darah (bakterial primer) mencapai jaringan RES(hepar, lien, sumsum tulang untuk
bermultiplikasi). Setelah mengalami bakterimia sekunder, kuman mencapai sirkulasi darah
untuk menyerang organ lain (intra dan ekstra intestinal). Masa inkubasi 10-14 hari.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan
oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan
bakteremia tanpa keterlibatan struktur endotelia atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus
multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan
peyers pathc.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella entereditis
sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.
2.2
Epidemiologi
Menurut data World Health Organization (WHO) tahun 2003, terdapat 17 juta kasus
demam tifoid di seluruh dunia dengan angka kematian mencapai 600.000 kasus. Insiden di
Indonesia rata-rata 900.000 kasus/tahun dengan angka kematian > 20.000 dan 77% kasus
terjadi pada umur 3-19 tahun. Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS)
tahun 2007, demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua
umur. Pada tahun 2009 kasus demam tifoid di Indonesia meningkat menjadi 80.850 dengan
angka kematian 1.013 kasus.
Demam Tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Penyakit ini termasuk
penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang banyak orang sehingga dapat
menimbulkan wabah. Menurut surveilans Departemen Kesehatan RI, frekuensi kejadian
demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi
peningkatan frekuensi menjadi 15,4 per 10.000 penduduk. Dari survei berbagai rumah sakit
di Indonesia dari tahun 1981 sampai dengan 1986 memperlihatkan peningkatan jumlah
penderita sekitar 35,8% yaitu dari 19.596 menjadi 26.606 kasus.
Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi
lingkungan, di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di
daerah urban ditemukan 760-810 per 100.000 penduduk. Perbedaan insiden di perkotaan
berhubungan erat dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi
lingkungan dengan pembuangan sampah yang kurang memenuhi syarat kesehatan
lingkungan. Menurut data Bulletin Kewaspadaan Dini dan Respons Departemen Kesehatan,
insiden demam tifod di Bali pada minggu ke 51 pada tahun 2009 mencapai 47 kasus
(proporsi 0,2%).
2.3
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram- negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagellar antigen (H) yang terdiri dari
protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang berbentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan
dengan resistensi terhadap multiple antibiotik.
Patogenesis
3.
4.
Peran endotoksin:
Perannya tidak jelas, hal ini terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam
sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin darin Slamonella typhi
menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe
mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum
tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.
Respon imunologik
Pada demam tifoid terjadi respon imun humoral maupun selular baik di tingkat lokal
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam
menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan
pasti. Diperkirakan bahwa imunitas selular lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T
ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan
reaktivitas selular terhadap antigen Salmonella typhi pada uji hambatan migrasi leukosit.
Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam
feses,tanpa memasuki epitel pejamu.
2.5
Manifestasi klinis
Pada anak periode antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari. Semua pasien
demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Penampilan demam pada kasus
demam tifoid mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai
titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada
minggu ke-4 demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti
kolesistisis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien
demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan
dengan pagi harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai
gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau
penurunan kesadaran mulai apatis sampai koma.
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus dengan klinis
yang berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/ sakit berat.bahkan dapat dijumpai
penderita demam tifoid yang datang dengan syok dan hipovolemik sebagai akibat kurangnya
masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid pasien dapat
mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi yang disusul episode diare, meteorismus banyak
dijumpai, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah, sedangkan di tepi
dan ujungnya kemerahan (hiperemi). Kadang-kadang dijumpai hepatomegali dan
splenomegali.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 15 mm,
sering dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke
7-10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid, bradikardi
relatif jarang dijumpai pada anak.
2.6
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasakan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal, dan
mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seseorang
klinisi dapat membuat dignosis tersangka demam tifoid.
Anamnesis :
-
Demam naik secara bertahap tiap hari, mencapai suhu tertinggi pada akhir minggu
pertama, minggu kedua demam terus menerus tinggi.
Anak sering mengigau (delirium), malaise, letargi, anoreksia, nyeri kepala, nyeri
perut, diare, atau konstipasi, muntah, perut kembung.
Pada demam tifoid berat dapat dijumpai penurunan kesadaran, kejang, dan ikterus.
Pemeriksaan fisik:
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu dibagian tengah kotor
dan di bagian pinggir merah atau hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering
dijumpai daripada spelnomegali. Kadang- kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.
Pemeriksaan penunjang:
Darah tepi
Anemia normokromi mikrositik terjadi sebagai akibat pendarahan usus atau supresi
pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang dibawah 3.000/l3.
Apabila terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai
20.000-25.000/l3. Trombositopenia sering dijumpai, kadang- kadang berlangsung
beberapa minggu.
Pemeriksaan serologi
Uji Widal
Adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita demam tifoid, pada orang
yang pernah tertular Salmonella typhi dan pada orang yang pernah mendapatkan vaksin
demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji Widal adalah suspensi Salmonella typhi yang sudah
dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum penderita yang diduga menderita demam tifoid.
Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar pula
kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
aglutinin akan meningkat pada waktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan titer agglutinin empat
kali lipat selama 1 sampai 3 minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil
uji Widal adalah sebagai berikut :
a. Titer O yang tinggi ( >1/200) menunjukkan adanya infeksi akut
b. Titer H menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.
Beberapa faktor yang mempengaruhi uji Widal antara lain :
1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan penderita
a. Keadaan umum gizi penderita
Gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.
b. Waktu pemeriksaan selama perjalanan penyakit
Aglutinin baru dijumpai dalam darah setelah penderita mengalami sakit selama satu
minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam sakit.
c. Pengobatan dini dengan antibiotik
Pemberian antibiotik dengan obat antimikroba dapat menghambat pembentukan
antibodi.
d. Penyakit-penyakit tertentu
Pada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan
antibodi, misalnya pada penderita leukemia dan karsinoma lanjut.
e. Pemakaian obat imunosupresif atau kortikosteroid dapat menghambat pembentukan
antibodi.
f. Vaksinasi
Pada orang yang divaksinasi demam tifoid, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin
O biasanya menghilang setelah 6 bulan sampai 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H
menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu titer aglutinin H pada
seseorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.
g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya
Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun titer aglutininnya rendah.
Di daerah endemik demam tifoid dapat dijumpai aglutinin pada orang-orang yang sehat.
2. Faktor-faktor teknis
a. Aglutinasi silang
Karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama,
maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada
spesies lain. Oleh karena itu spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan
dengan uji widal.
b. Konsentrasi suspensi antigen
Konsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji widal akan mempengaruhi
hasilnya.
c. Strain salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
Kadar IgM dan IgG (Typhi-dot)
Pemeriksaan radiologik
Foto toraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia, foto abdomen apabila
diduga terjadi komplikasi intraintestinal seperti perforasi usus atau pendarahan
saluran cerna. Pada perforasi usus tampak :
- distribusi udara tak merata
- airfluid level
- bayangan radiolusen di daerah hepar
- udara bebas pada abdomen
Kriteria diagnosis
Berikut ini kriteria diagnosis Demam Tifoid :
1. Gambaran klinis demam tifoid tanpa uji Widal, didiagnosis dengan possible demam
tifoid.
2. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal titer O dan H 1/160
pada 1 kali pemeriksaan, didiagnosis dengan probable demam tifoid.
3. Kultur darah (biakan empedu) positif atau peningkatan titer uji Widal >4 kali lipat
setelah satu minggu, memastikan diagnosis atau definitif demam tifoid.
4. Gambaran klinis demam tifoid disertai dengan hasil uji Widal tunggal dengan titer
antibodi O 1/320 atau H 1/640, memastikan diagnosis atau definitif demam tifoid.
5. Kultur darah negatif tidak menyingkirkan diagnosis.
2.7
Diagnosis banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu inffluenza, gastroenteritis, bronkitis, dan
bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular
seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga
perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma, dan penyakit
Hodkin dapat sebagai diagnosis banding.
2.8
Tatalaksana
Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan peenyakit demam tifoid,
karena makanan yang kurang akan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan
semakin menurun dan proses penyembuhan akan menjadi lama.
Di masa lampau penderita demam tifoid diberi diet bubur saring, kemudian
ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi, yang perubahan diet tersebut
disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan
untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini
disebabkan oleh pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan
bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk pauk rendah selulosa
(menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien
demam tifoid.
Pemberian Antimikroba
Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai
berikut :
a. Kloramfenikol
Di Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan utama untuk mengobati
demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 4 x 500 mg per hari dapat diberikan secara
oral atau intravena. Diberikan sampai dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan
intramuscular tidak dianjurkan karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan
tempat suntikan terasa nyeri. Dari pengalaman penggunaan obat ini dapat
menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penulis lain menyebutkan penurunan demam
dapat terjadi rata-rata setelah hari ke 5.
b. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitas tiamfenikol pada demam tifoid hampir sama dengan
kloramfenikol, akan tetapi komplikasi hematologi seperti kemungkinan terjadinya
aplastik lebih rendah dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis tiamfenikol adalah 4
x 500 mg, demam rata-rata menurun pada hari ke-5 sampai ke-6.
c. Kotrimoksazol
Efektivitas obat ini dilaporkan hampir sama dengan kloramfenikol. Dosis untuk orang
dewasa adalah 2 x 2 tablet (1 tablet mengandung sulfametoxazol 400 mg dan 80 mg
trimetoprim) diberikan selama 2 minggu.
d. Ampisilin dan Amoksisilin
Kemampuan obat ini untuk menurunkan demam lebih rendah dibandingkan dengan
kloramfenikol, dosis yang dianjurkan berkisar antara 50-150 mg/kgBB dan digunakan
selama 2 minggu.
e. Sefalosporin Generasi Ketiga
Hingga saat ini golongan sefalosporin generasi ketiga yang terbukti efektif untuk
demam tifoid adalah seftriakson, dosis yang dianjurkan adalah antara 3-4 gram dalam
dekstrosa 100 cc diberikan selama jam per infus sekali sehari, diberikan selama 3
hingga 5 hari. Dapat pula diberikan sefotaksim 2-3 x 1 gram, sefoperazon 2 x 1 gram.
f. Golongan Fluorokuinolone.
Berikut beberapa jenis bahan sediaan dan aturan pemberiannya :
-
Demam pada umumnya mengalami lisis pada hari ketiga atau menjelang hari
keempat. Hasil penurunan demam sedikit lebih lambat pada penggunaan norfloksasin
yang merupakan fluorokuinolon pertama yang memiliki bioavailabilitas tidak sebaik
fluorokuonolone yang dikembangkan kemudian.
g. Kombinasi Obat Antimikroba
Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja
antara lain toksik tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septik, yang pernah
terbukti ditemukan 2 macam organisme dalam kultur darah selain kuman Salmonella.
h. Kortikosteroid
Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid atau demam tifoid yang
mengalami syok septik dengan dosis 3 x 5 mg.
2.9
Komplikasi
Pada intraintestinal dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3% atau pendarahan saluran
cerna yang ditandai dengan suhu menurun, nyeri abdomen, muntah, nyeri tekan, bising usus
menurun sampai menghilang, defance musculaire, dan pekak hati menghilang.
Vaksin pertama kali ditemukan tahun 1986 dan setelah tahun 1960 efektivitas vaksinasi
telah ditegakkan, keberhasilan proteksi sebesar 51-88% (WHO) dan sebesar 67%
(Universitas Maryland) bila terpapar 105 bakteri tetapi tidak mampu proteksi bila terpapar
107 bakteri.
Vaksinasi tifoid belum dianjurkan secara rutin di USA, demikian juga di daerah lain.
Indikasi vaksinasi adalah bila :
1.
Hendak mengunjungi daerah endemik, risiko terserang demam tifoid semakin tinggi
untuk daerah berkembang (Amerika Latin, Asia, Afrika)
Pemilihan Vaksinasi
Pada beberapa penelitian vaksin oral Ty21a diberikan 3 kali secara bermakna menurunkan
66% selama 5 tahun, laporan lain sebesar 33% selama 3 tahun. Usia sasaran vaksinasi
berbeda efektivitasnya, dilaporkan insiden turun 53% pada anak > 10 tahun sedangkan pada
anak usia 5-9 tahun insidennya turun 17%.
Vaksin parenteral non-aktif relatif lebih sering menyebabkan reaksi efek samping
serta tidak seefektif dibandingkan dengan ViCPS maupun Ty21a oral. Jenis vaksin dan jadwal
pemberiannya, yang ada saat ini di Indonesia hanya ViCPS (Typhim Vi)
Indikasi Vaksinasi
Tindakan preventif berupa vaksinasi tifoid tergantung pada faktor risiko yang berkaitan, yaitu
individual atau populasi dengan situasi epidemiologisnya:
-
Populasi: anak usia sekolah di daerah endemik, personil militer, pertugas rumah
sakit, laboratorium kesehatan, industri makanan/minuman.
Pada anak usia 2-5 tahun, toleransi dan respon imunologisnya sama dengan anak usia lebih
besar.
Kontraindikasi Vaksinasi
Vaksin hidup oral Ty21a secara teoritis dikontraindikasikan pada sasaran yang alergi atau
yang mengalami reaksi efek samping berat, penurunan imunitas, dan kehamilan (karena
sedikitnya data). Bila diberikan bersamaan dengan obat anti-malaria (klorokuin, meflokuin)
dianjurkan minimal setelah 24 jam pemberian obat baru dilakukan vaksinasi. Dianjurkan
tidak memberikan vaksinasi bersamaan dengan obat sulfonamide atau antimikroba lainnya.
Efek Samping Vaksinasi
Pada vaksin Ty21a demam timbul pada orang yang mendapat vaksin 0-5%, sakit kepala (05%), sedangkan pada ViCPS efek samping lebih kecil (demam 0,25%; malaise 0,5%, sakit
kepala 1,5% , rash 5%, reaksi nyeri local 17%). Efek samping terbesar pada vaksin parenteral
adalah heat phenol inactivated, yaitu demam 6,7% - 24%, nyeri kepala 9-10%, reaksi lokal
nyeri dan edema 3-35% bahkan reaksi berat termasuk hipotensi, nyeri dada, dan syok
dilaporkan pernah terjadi meskipun sporadik dan sangat jarang terjadi.
Efektivitas Vaksinasi
Serokonversi (peningkatan titer antibody 4 kali) setelah vaksinasi dengan ViCPS terjadi
secara cepat yaitu sekitar 15 hari-3 minggu dan 90% bertahan selama 3 tahun. Kemampuan
proteksi sebesar 77% pada daerah endemik dan sebesar 60% untuk daerah hiperendemik.
2.11
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typhi, maka setiap individu harus
memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 570C untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/ klorinasi.
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 570C beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara / daerah tergantung
pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat
kesadaran individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menentukan
angka kejadian demam tifoid.
2.12
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%,biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi seperti
BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas
Nama
: An.M
Umur
: 10 tahun
Jenis Kelamin
: Perempuan
Berat badan
: 27 kg
Tinggi badan
: 131 cm
Alamat
: ibu Kasiati
Status
: swasta
Agama
: Islam
Pasien MRS
: 28-04-2014
Anamnesa
Pasien datang dengan keluhan panas sejak 5 hari yang lalu panasnya naik turun, tidak
menggigil, dirumah pasien sudah mendapatkan obat penurun panas, panas disertai sakit
kepala, nyeri perut di seluruh lapang abdomen nyeri dirasakan hilang timbul. Hari pertama
panas disertai buang air besar cair disertai lendir, namun setelah masuk rumah sakit sudah
tidak BAB cair. Disertai mual dan muntah saat dirumah pasien muntah 3x tiap makan. Nafsu
makan menurun, minum banyak, buang air kecil banyak.
Riwayat penyakit keluarga : keluarga tidak ada yang sakit seperti pasien
Riwayat sosial : Anak tampak aktif dan lincah, hobi berenang setiap minggu.
Pemeriksaan fisik
Keadaan Umum
: tampak lemas
Kesadaran
: compos mentis
GCS
: 4/5/6
Turgor
Vital sign
TekananDarah
Nadi
Pernapasan
: 24 x/menit
Kepala
Hidung
Mulut : lidah tampak kotor di tengah dan pada bagian pinggir merah/
hiperemi, bibir pucat (-), bibir cianosis (-), bibir kering, gusi berdarah (-).
Leher
: < 2 detik
Thorax
Jantung
Inspeksi
Palpasi
pendengaran berkurang
Perkusi
: redup
Paru
Inspeksi
Depan
Ka
Simetris
Simetris
-
Bentuk
Gerak nafas
Penonjolan
Retraksi
Penyempitan ics
Palpasi
Gerak nafas
Ics
Retraksi
Fremitus suara
Perkusi
Suara
Auskultasi
Suara nafas
Depan
Ka
Simetris
N
Ka=ki
Belakang
Ki
Simetris
Simetris
-
Ka
Simetris
Simetris
-
Ki
Simetris
Simetris
-
Ki
Simetris
N
Ka=ki
Belakang
Ka
Simetris
N
Ka=ki
Ki
Simetris
N
Ka=ki
Sonor
Sonor
Sonor
Sonor
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Vesikuler
Rhonki
wheezing
Abdomen :
Inspeksi
: flat
Auskultasi
: BU(+) meningkat
Palpasi :
Splenomegali (-)
Hepatomegali (-)
Nyeri tekan (+)
Bimanual ballotement (-)
Perkusi
Meteorismus (+)
Ekstremitas
Akral hangat -
oedem -
Pemeriksaan penunjang
Darah lengkap
Hb
Leukosit
Trombosit
Pcv
Uji widal
Typi O
Typi H
Paratypi A
Paratypi B
Hasil
Nilai normal
13,3
4600
138.000
40,4
12-17 mg/dl
4-10 ribu/cmm
150-450 ribu
40-50 %
1/206
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Diagnosa
Diagnosa kerja
Demam tyfoid
Diagnosa banding
Gastroenteritis
Dengue fever
Planning diagnosa
Darah lengkap dan uji widal
Planning terapi
Medikamentosa
Inf 1:2 500cc/3 jam => 1.800cc/24 jam
Inj ceftriaxone 2x 750mg
Inj ranitidine 2x30mg
Inj ondancetron 3x2mg
Nonmedikamentosa
Tirah baring
Minum air putih yang banyak
Kebutuhan kalori dan cairan tercukupi