Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Adanya perubahan paradigma pendidikan dari teacher center menuju

student center menuntut para pendidik untuk lebih kreatif dan inovatif dalam
menciptakan suasana belajar yang menitikberatkan pada siswa. Pada era sekarang
ini banyak dikembangkan strategi dan metode pembelajaran yang mengarah ke
student center. Seorang pendidik perlu untuk mengetahui dasar-dasar dalam
penyusunan peragkat pembelajaran yakni beberapa macam teori belajar yang
melandasinya. Teori-teori belajar itu seperti teori Behavioristik, Kognitivistik,
konstruktivistik, Humanisme, dan lain-lain.
Selain itu, karakteristik manusia masa depan yang dikehendaki adalah
manusia-manusia yang memiliki kepekaan, kemandirian, tanggung jawab
terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek
potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri
dan menjadi diri sendiri yaitu suatu proses(to) learn to be. Mampu melakukan
kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian
dan kejayaan bangsanya (Joni dalam Budiningsih, 2005: 55).
Pendidikan saat ini ditantang untuk memusatkan perhatian

pada

terbentuknya manusia masa depan yang memiliki karakteristik di atas. Kajian


terhadap teori-teori belajar terutama kognitivisme dan konstruktivisme dalam
kegiatan belajar dan pembelajaran memungkinkan kepada tujuan tersebut
(Budinigsih, 2005: 56)
Berdasarkan latar belakang di atas makalah ini akan menyajikan mengenai
teori kognitif dan teori belajar konstruktivistik sehingga dapat dipahami kedua
teori tersebut.
B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dirumuskan beberapa masalah

diantaranya:
1.

Apakah pengertian teori belajar kognitivisme?

2.

Apakah pengertian teori belajar konstruktivisme?

3.

Bagaimana peran guru dan murid dalam pembelajaran berbasis filosofi


konstruktivisme?

C.

Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk :
1. Mengetahui pengertian teori belajar kognitivisme
2. Mengetahui pengertian teori belajar konstruktifisme.
3. Mengetahui peran guru dan murid dalam pembelajaran berbasis filosofi
konstruktivisme.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Prinsip-Prinsip Teori Belajar Kognitivisme
Menurut Sukardjo dan Komarudin (2009), dasar pemikiran teori belajar
kognitivisme adalah rasional. Teori belajar kognitivisme menjelaskan bahwa
dalam belajar terjadi proses bagaimana orang-orang berfikir. Sehingga dapat
dikatakan bahwa belajar melibatkan proses berfikir yang kompleks. Trianto
(2007) menyatakan bahwa perkembagan kognitif sebagian besar ditentukan oleh
proses meniru dan berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Budiningsih (2005),
model belajar kognitif sering disebut sebagai model perseptual dan menyatakan
bahwa tingkah laku seseorang ditentukan oleh persepsi serta pemahamannya
tentang situasi yang berhubungan dengan tujuan belajarnya.
Teori kognitif berpandangan bahwa belajar merupakan suatu proses
internal yang menyangkut ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi dan
aspek-aspek kejiwaan lainnya (Budiningsih, 2005). Menurut Hitipeuw (2009),
teori kognitif berpandangan bahwa belajar adalah proses perubahan pada struktur
kognitif seseorang individu sebagai hasil konstruksi pengetahuan yang bersifat
individual dan internal.
Suciati dan Irawan (2001) menyatakan bahwa teori belajar kognitivisme
mengutamakan perubahan persepsi dan pemahaman melalui struktur kognitif
(pengalaman dan pengetahuan yang tertata) yang berasal dalam diri masingmasing individu. Sehingga proses belajar akan berjalan baik bila materi pelajaran
beradaptasi secara maksimal dengan struktur kognitif yang telah dimiliki oleh
siswa.
Menurut Suciati dan Irawan (2001), tokoh-tokoh teori belajar kognitivisme
adalah Piaget, Bruner dan Ausubel. Berikut akan diuraikan lebih rinci beberapa
pandangan dari tokoh-tokoh di atas.
1. Teori Perkembagan Kognitif Piaget
Menurut Piaget, perkembagan kognitif merupakan suatu proses genetik,
yaitu

suatu

proses

yang

didasarkan

atas

mekanisme

biologis

perkembangan sistem saraf. Dengan semakin bertambah umur seseorang


maka semakin kompleks susunan sel sarafnya dan makin meningkat pula
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan akan
mengalami

adaptasi

biologis

dengan

lingkungannya

yang

akan
3

menyebabkan perubahan kualitatif di dalam struktur kognitifnya


(Budiningsih, 2005). Menurut Suciati dan Irawan (2001), proses belajar
terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan
umur siswa. Budiningsih (2005) menyatakan bahwa proses adaptasi
dengan lingkungan mempunyai dua bentuk dan terjadi secara simultan,
yaitu asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses penyesuaian
pengetahuan baru dengan struktur kognitif, sedangkan akomodasi adalah
proses penyesuai struktur kognitif siswa dengan pengetahuan baru (Suciati
dan Irawan, 2001). Hitipeuw (2009) menyatakan bahwa equilibrium,
schemata merupakan konsep utama dalam model Piaget. Equilibrium dan
adalah dorogan untuk menata ketidak teraturan yang melibatkan pengujian
akan pemahaman siswa akan dunia nyata. Schemata adalah bagian-bagian
dari struktur-struktur kognitif.
Crain (2007 dalam Fahrudin,2012) menyatakan bahwa terdapat 4 periode
perkembangan kognitif menurut Piaget, yaitu:
a) Periode 1: kepandaian sensorik-motorik (0 th-2 th), perilaku terikat
oleh panca indra dan gerakan motorik. Menurut Budiningsih (2005),
kemampuan yang dimiliki saat kepandaian sensorik-motorik antara
lain; melihat dirinya sebagai mahkluk yang berbeda dengan objek di
sekitarnya, mencari rangsangan melalui sinar lampu dan suara dan
melihat objek sebagai hal yang tetap, lalu ingin merubah tempatnya.
b) Periode 2: pikiran pra operasional (2 th-7 th), berfikir dengan
menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah, namun pikiran
masih belum sinergis dan logis.
c) Periode 3: berfikir konkrit (7 th-11 th), mengembangkan kemampuan
berfikir sistematis, namun hanya untuk memecahkan masalah konkrit
atau mengacu objek.
d) Periode 4: berfikir

formal

(11

th-dewasa),

mengembangkan

kemampuan berfikir sistematis sesuai dengan rancangan abstrak dan


bisa memprediksi serta memberikan hipotesa. Budiningsih (2005)
menyatakan pada periode ini, anak sudak berfikir proporsional yaitu
menentukan macam-macam tingkat kesulitan tetang C1, C2 dan R
misalnya. Menurut Hitipeuw (2009), periode ini mulai mampu

menentukan aturan-aturan (moral) yang dikenakan orang-orang


dewasa kepadanya.
2. Teori Perkembangan Kognitif Bruner
Budiningsih (2005) menyatakan bahwa perkembangan kognitif manusia
ditandai degan hal-hal sebagai berikut:
a) Perkembangan intelektual ditandai dengan adanya kemajuan dengan
menghadapi suatu rangsangan.
b) Peningkatan pengertahuan tergantung pada perkembangan sistem
penyimpanan informasi secara realis.
c) Interaksi secara sistematis antara pembimbing, guru atau orang tua.
d) Bahasa adalah kunci perkembangan koknitif karena bahasa merupakan
alat komunikasi antara manusia.
Menurut Suciati dan Irawan (2001), perkembangan kognitif anak melalui
tiga tahapan yang ditentukan oleh caranya melihat lingkungan, yaitu:
1) Enaktif, aktivitas siswa untuk memahami lingkungan, biasanya dengan
tindakan. Menurut Budiningsih (2005), dalam memahami dunia
sekitarnya anak menggunakan pengetahuan motoriknya. Misalnya
melalui gigitan, sentuhan, pegangan dan sebagainya.
2) Ikonik, siswa melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi
verbal. Budiningsih (2005) menyatakan bahwa dalam memahami
dunia sekitarnya anak belajat melalui bentuk perumpamaan (tampil)
dan perbandingan (komparasi).
3) Simbolik, siswa memahami dunia melalui gagasan-gagasan abstrak.
Dalam memahami dunia sekitarnya anak belajar melalui simbolsimbol bahasa, logika, matematika dan sebagainya.
3. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Suciati dan Irawan (2001) menyatakan proses belajar terjadi jika siswa
mampu

mengasimilasikan

pengetahuan

yang

dimilikinya

dengan

pengetahuan baru. Menurut Budiningsih (2005), materi yang dipelajari


diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki
siswa dalam bentuk struktur kognitif. Suciati dan Irawan (2001)
menyatakan bahwa proses belajar menurut Ausubel terjadi melalui tiga
tahapan, yaitu:
1) Memperhatikan stimulus yang diberikan.
2) Memahami makna stimulus.
3) Menyimpan dan menggunakan informasi yang sudah dipahami.
4. Model Mengelola Informasi (Information Prosessing Theory)

Information Prosessing adalah sebuah pendekatan dalam belajar yang


mengutamakan

berfungsinya

memory.

Memproses

informasi

meliputi;

mengumpulkan dan menghadirkan informasi (encoding), menyimpan informasi


(storage), mendapatkan informasi dan menggali informasi kembali pada saat
dibutuhkan (retrieval).
Bagan Model Information Prosessing Theory
kasi tempat secukupnya buat bagan pada buku burhanuddin hal 100
Sensory memory menerima informasi atau stimuli dari lingkungan terusmenerus melalui alat-alat penerima (receptors) kita. setah stimuli diterima otak
kita mulai bekerja untuk member makna terhadap informasi atau rangsangan
tersebut. Proses ini disebut memersepsi. Setelah itu informasi akan dikirim ke
dalam komponen yang kedua dari system memori, yaitu short term memory.
Iwwnformasi yang masuk ke dalam short term memory mungkin berasal dari
sensory memory atau dari komponen dasar ketiga system memori, yaitu long
term memory. Keduanya seringkali terjadi bersamaan (Burhanuddin, 2007).
5. Model

Tingkatan-tingkatan

Mengelola

Informasi

(Levels

of

Information Prosessing Models).


Craik dan Lockhart mengenalkan teori tingkatan-tingkatan mengelola
emosi (levels of prosessing theory) sebagai alternatif untuk model tiga
penyimpanan (three store models). Mereka menyatakan apakah yang menentukan
dan bagaimanakan informasi yang panjang dapat diingat dan bukan dimana
informasi tersebut tersimpan, tetapi bagaimana informasi secara luas dianalisis
dan dihubungkan dengan informasi yang lain. Craik menyatakan, three store
models dan levels of prosessing theory tidak dapat saling dipertukarkan atau
diganti, karena ada perbedaan struktural komponen-komponen atau persamaan
tahap-tahap memori untuk sensori, short term memory, dan pembedaan long term
memory, seperti srategi-strategi atau tungkatan-tingkatan memproses informasi
dari satu tahap ke tahap berikutnya (Burhanuddin, 2007).
6. Connectionisme: Alternatif Lain untuk Three Store Models

Model ini mengasumsikan bahwa semua ilmu pengetahuan disimpan


dalam bentuk-bentuk hubungan antara unit-unit dasar prosessing dalam sebuah
tempat jaringan-jaringan kerja dalam otak. pemrosesan informasi diasumsikan
dilakukan oleh jaringan-jaringan kerja ini. dengan demikian, model ini
menggunakan jaringan fisik otak dari neuron-neuron sebagai sebuah metaphor
bagi jaringan memori (Burhanuddin, 2007).
Fungsi Kognitif
Sebagaimana dijelaskan di tempat lain melalui fungsi kognitif manusia
menghadapi obyek-obyek dalam bentuk-bentuk representatif yang menghadirkan
obyek-obyek itu dalam kesadaran. Hal ini paling jelas nampak dalam aktivitas
mental berfikir.
1) Taraf intelegensi-daya kreativitas Istilah intelegensi dapat diartikan dengan
dua cara yaitu:
Arti Luas:

kemampuan untuk mencapai prestasi yang di dalamnya

berfikir memegang peranan. Prestasi itu dapat diberikan dalam berbagai


bidang kehidupan, seperti pergaulan sosial, teknis, perdagangan,

pengaturan rumah tangga dan belajar di sekolah.


Arti Sempit: kemampuan untuk mencapai prestasi di sekolah yang di
dalamnya berpikir memegang peranan pokok intelegensi dalam arti ini,
kerap disebut kemampuan intelektual atau kemampuan akademik.
Di dalam intelegensi terdapat beberapa komponen, seperti intelegensi

sosial, intelegensi praktis, ineregensi teoristis. Komponen-komponen itu tidak


berperan sama besar dalam memberikan prestasi di berbagai kehidupan, misalnya
dalam pergaulan sosial komponen intelegensi soaial berperan lebih banyak.
Komponen-komponen itu juga tidak sama-sama kuat dalam intelegensi yang
dimiliki seseorang, pada orang A komponen intelegensi teoristis lebih kuat, pada
orang B komponen intelegensi praktis lebih kuat. Maka mungkin saja bahwa
siswa A berprestasi lebih tinggi dalam semua bidang studi yang menuntut banyak
pemikiran teoritis, sedangkan siswa B berprestasi lebih tinggi dalam banyak
bidang studi yang bersifat praktis (perbedaan inter individual). Bahkan siswa C
mungkin lebih tinggi dalam banyak bidang studi yang pertama dan berprestasi

lebih rendah dalam semua bidang studi yang kedua (perbedaan intra-individual)
(Asnaldi, 2008).
Mengenai hakikat intelegensi, belum ada kesesuaian pendapat di antara
para ahli. Variasi dalam pendapat nampak bila pandangan ahli satu dibandingkan
dengan pendapat ahli yang lain. Meskipun semua pandangan yang dikemukanan
sangat bervariasi kebanyakan psikologi dewasa ini cenderung sependapat bahwa
tiga komponen inti dalam intelegensi adalah kemampuan untuk menangani
representasi mental dalam alam pikiran seperti konsep dan kaidah (berfikir
abstrak), kemampuan untuk belajar. Dari pihak lain adanya perbedaan dalam
pandangan mengenai hakikat intelegensi, harus membuat tenaga kependidikan
sangat hati-hati dalam membentuk pendapat di bidang ini. Bil seorang siwa dalam
testing intelegensi di sekolah mendapat hasil yang tinggi ( IQ-nya tinggi), tidak
harus berarti bahwa siswa yang bersangkutan sekaligus memiliki daya kreativitas
bagi guru yang berfikir terlalu kaku dan tidak berani keluar dari jalur yang
lazimnya yang tinggi pula (Asnaldi, 2008).
Dalam macam tes yang kedua subyek disuruh untuk mengerjakan
beberapa tugas tanpa menggunakan bahasa misalnya membuat sebuah gambar
yang masing-masing memuat dua garis vertikal yang paralel. Semua soal itu
diberi skor dalam tiga komponen, yaitu orisinalitas (sangat sedikit orang
menghasilkan pikiran seperti itu), variasi (berapa jumlah jawaban yang berbeda),
dan fleksibilitas (berapa jumlah golongan jawaban yang berbeda).
a. Bakat khusus merupakan kemampuan yang menonjol di suatu bidang tertentu
misalnya di bidang studi matematika atau bahasa asing. Orang sering
berpendapat bahwa semua bakat khusus merupakan sesuatu yang langsung
diturunkan oleh orang tua, misalnya bakat khusus di bidang matematika
diperoleh dari orang tua melalui proses generasi biologis. Namun yang
terakhir ini tidak akan nampak kalau tidak dikembangkan melalui pendidikan
keluarga dan sekolah. Adanya bakat khusus di suatu bidang studi akademik,
biasanya baru nampak jelas pada awal masa remaja, karena baru pada masa
itu anak telah memperoleh cukup banyak pengalaman, sehingga terbentuk
suatu bakat khusus.

b. Organisasi kognitif menunjuk pada cara materi yang sudah dipelajari,


disimpan dalam ingatan; apakah tersimpan secara sistematis atau tidak. Hal
ini bergantung pada cara materi dipelajari dan diolah, makin mendalam dan
makin sistematis pengolahan materi pelajaran, makin baiklah taraf organisasi
dalam ingatan itu sendiri.
c. Kemampuan berbahasa mencakup kemampuan untuk menangkap inti suatu
bacaan dan merumuskan pengetahuan dan pemahaman yang diperoleh itu
dalam bahasa yang baik, sekurang-kurangnya bahasa tertulis, Mengingat
kaitan yang ada antara berpikir yang tepat dan berbahasa yang benar, maka
tidak mengherankan bahwa siswa yang kurang mampu berbahasa, tertinggal
di belakang dibanding dengan siswa yang berbahasa baik.
d. Daya fantasi berupa aktivitas kognitif yang mengandung pikiran-pikiran dan
tanggapan-tanggapan, yang bersama-sama menciptakan sesuatu dalam alam
kesadaran. Dalam alam fantasi orang tidak hanya menghadirkan kembali halhal yang pernah diamati tetapi menciptakan sesuatu yang baru. Misalnya,
tanggapan semut sebesar gajah bukanlah sesuatu yang pernah diamati,
meskipun materi untuk tanggapan itu, yaitu semut dan gajah. Berasal dari
pengalaman sensorik yang kongkret.
e. Daya fantasi mempunyai kegunaan kreatif, antisipatif, rekratif dan sosial.
Fantasi dapat berguna dalam menciptakan sesuatu yang baru (Kreasi) dalam
membayangkan kejadian mendatang dan mempersiapkan diri menghadapi
kejadian itu ( antisipasi) dalam melepaskan diri dari ketegangan hidup seharihari (rekreasi) dan dalam menempatkan diri dalam situasi hiosup orang lain
(sosial).
f. Gaya belajar merupakan cara belajar yang khas bagi siswa. Gaya belajar
mengandung beberapa komponen, antara lain gaya kognitif dan tipe belajar.
Gaya kognitif adalah cara kognitif digunakan seseorang dalam mengamati
dan beraktivitas mental di bidang kognitif. Cara khas ini bersifat sangat
individual yang kerapkali tidak disadari dan sekali terbentuk, cenderung
bertahan terus.
g. Teknik-teknik studi atau cara-cara belajar secara efisien dan efektif jelas
membantu siswa dalam belajar lebih-lebih bila belajar diu rumah. Siswa yang
telah terbiasa mengikuiti cara belajar yang tepat akan meningkatkan
kemampuan belajar. Sebagaimana dikatakan oleh Van Parreren, siswa yang

tidak berkemampuan intelektual tinggi pun dapat belajar menggunakan cara


belajar yang tepat.
Pertanyaan yang perlu dijawab ialah sampai berapa jauh butir (a) sampai
(g) dapat berubah, lebih-lebih hal yang menguntungkan bagi siswa selama proses
belajar mengajar menjadi lebih baik misalnya teknik-teknik studi dan kemampuan
berbahasa, daya fantasi dan teknik studi, dapat dipengaruhi secara positif atau
ditingkatkan oleh guru dan siswa sendiri. Selama proses-proses belajar-mengajar
dalam kurun waktu cukup lama, guru mendapat kesempatan untuk membantu
siswa untuk meningkatkan semua itu. Sehingga lama kelamaan keadaan siswa,
dibidang kognitif, menjadi lebih baik. Dengan demikian siswa memperoleh bekal
yang lebih menguntungkan bagi belajar di masa yang akan datang. Siswa sendiri
dapat melatih diri di luar proses belajar mengajar di sekolah, misalnya pada
waktu mengerjakan pekerjaan rumah, dengan dibantu oleh keluarga. Namun,
usaha-usaha itu harus dimulai seawal mungkin, sejak siswa masuk sekolah dasar
(Asnaldi, 2008).

B. Teori belajar yang mendukung filosofi konstruktivisme


Konstruksi berarti bersifat membangun, dalam konteks filsafat pendidikan,
Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang
berbudaya modern konstruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi)
pembelajaran konstektual yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia
sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan
tidak sekonyong-konyong. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta,
konsep, atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus
mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata.
Teori konstruktivis menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan
mentransformasikan informasi kompleks, mengecek informasi baru dengan
aturan-aturan lama dan merevisinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai.
Bagi siswa agar benar-benar memahami dan menerapkan pengetahuan, mereka

10

harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya,


berusaha dengan susah payah dengan ide-ide (Slavin dalam Trianto, 2007:13).
a. Konsep Dasar Teori Belajar Konstruktivisme
Pandangan konstruktivis mengemukakan bahwa belajar merupakan usaha
memberi makna oleh siswa terhadap pengalamannya melalui asimilasi dan
akomodasi yang menuju kepada pembentukan struktur kognitifnya. Proses belajar
sebagai usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proes
asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang
menuju kepada kemutakhiran struktur kognitifnya. Guru-guru konstruktivistik
yang

mengakui

dan

menghargai

dorongan

diri

manusia/siswa

untuk

mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.


1) Teori Belajar Kontruktivisme Piaget
Jean Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat
kontruktivisme, yang teori pengetahuannya dikenal dengan adaptasi kognitif.
Manusia berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan
yang harus ditanggapi secara kognitif (mental). Untuk itu, manusia harus
mengembangkankan skema pikirannya lebih umum atau rinci, atau perlu
perubahan, menjawab dan menginterpretasikan pengalaman-pengalaman tersebut.
Teori Piaget berlandaskan gagasan bahwa perkembangan anak bermakna
membangun struktur kognitifnya atau peta mentalnya yang diistilahkan
schema/skema (jamak = schemata/schemata), atau konsep jejaring untuk
memahami dan menanggapi pengalaman fisik dalam lingkungan sekelilingnya.
Konsep skema sendiri sebenarnya sudah banyak dikembangkan oleh para ahli
linguistik, psikologi kognitif dan psikolinguistik yang digunakan untuk
menjelaskan dan memahami adanya interaksi sejumlah faktor kunci yang
berpengaruh terhadap proses pemahaman. Secara ringkas dijelaskan bahwa
menurut teori skema, seluruh pengetahuan diorganisasikan menjadi unit-unit,
didalam unit-unit pengetahuan ini, atau schemata ini disimpanlah informasi.
Sehingga skema dapat dimaknai sebagai suatu deskripsi umum atau suatu system

11

konseptual untuk memahami pengetahuan tentang bagaimana pengetahuan itu


dinyatakan atau tentang bagaimana pengetahuan itu diterapkan (Suyono dan
Hariyanto, 2011: 107).
Sehubungan dengan itu, Tasker (1992:30) seperti yang dikutip oleh Hamzah
(2008) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar konstrukivisme sebagai
berikut:
1.
2.

Peran aktif siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna,


Pentingnya membuat kaitan antar gagasan dalam pengkonstruksian secara

3.

bermakna,
Mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterimanya
Menurut Piaget, mengkonstruksi pengetahuan dilakukan melalui proses

asimilasi dan akomodasi. Proses merespon lingkungan sesuai dengan struktur


kognitif seseorang dinamakan assimilation (asimilasi), yakni sejenis pencocokan
atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur
kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh
organisme. Misalnya, jika skema menghisap, menatap, menggapai, dan
memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak
akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur berubah maka anak mungkin
bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingklungan fisik. Skema
yang dimaksud oleh Piaget dalam hal ini adalah potensi umum untuk melakukan
satu kelompok prilaku. Skema adalah istilah yang amat penting dalam teori
piaget. Suatu skema dapat dianggap sebagai elemen dalam struktur kognitif
organisme. Skemata (istilah jamak dari skema) yang ada dalam organisme akan
menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik.
Jelas, jika asimilasi adalah satu-satunya proses kognitif, maka tak akan ada
perkembangan intelektual sebab organisme hanya akan mengasimilasikan
pengalamnnya ke dalam struktur kognitif. Namun, proses penting kedua
menghasilkan mekanisme untuk perkembangan intelektual yaitu accomodation
(akomodasi), proses memodifikasi struktur kognitif.

12

Setiap pengalaman yang dialami seseorang akan melibatkan asimilasi dan


akomodasi. kejadian-kejadian yang berkoresponden dengan skemata oragnisme
membutuhkan akomodasi. Jadi, semua pengalaman melibatkan dua proses yang
sama-sama penting: pengenalan atau mengetahui, yang berhubungan dengan
asimilasi dan akomodasi, yang menghasilkan modifikasi struktur kognitif.
modifikasi ini dapat disamakan dengan proses belajar. dengan kata lain, kita
merespon dunia berdasarkan pengalaman yang kita alami sebelaumnya. Aspek
unik dari pengalaman ini menyebabkan perubahan dalam struktur kogniti
(akomodasi).

Akomodasi

karenanya

menyediakan

sarana

utama

bagi

perkembangan intelektual.
Dampak teori Konstruktivisme Piaget terhadap pembelajaran (Suyono dan
Hariyanto, 2011: 109) :
Kurikulum

: Pendidik harus merencanakan kurikulum yang berkembang


sesuai dengan peningkatan logika anak dan pertumbuhan

Pengajaran

konseptual anak.
: Guru harus lebih menekankan pentingnya peran pengalaman
bagi anak, atau interaksi anak dengan lingkunga sekitarnya.
Misalnya guru harus mencermati peran penting konsep-konsep
fundamental, seperti kelestarian objek-objek, serta permainanpermainan yang menunjang struktur kognitif.

2) Teori belajar Konstrukrivisme sosial dari Vygotsky


Sebagai seseorang yang dianggap pionir dalam filosofi konstruktivisme,
Vygotsky lebih suka menyatakan teori pembelajarannya sebagai pembelajaran
kognisi sosial (social cognition). Pembelajaran kognisi social meyakini bahwa
kebudayaan merupakan penentu utama bagi pengemabangan individu. Manusia
merupakan satu-satunya spesies diatas dunia ini yang memiliki kebudayaan hasil
rekayasa sendiri, dan setiap anak manusia

berkembang dalam konteks

kebudayaannya sendiri. Oleh karenanya, perkembangan pembelajaran anak


dipengaruhi banyak maupun sedikit oleh kebudayaannya, termasuk budaya dari
lingkungan keluarganya, di mana ia berkembang.

13

Beberapa kunci pemikiran kognisi social dari Vygotsky antara lain adalah:
1. Kebudayaan menciptakan dua macam konstribusi terhadap perkembangan
intlektual anak.
2. Perkembangan kognitif yang dihasilkan dari sebuah proses dialektika di
mana seseorang siswa belajar melalui pengalaman pemecahan masalah.
3. Pada awalnya seseorang yang berinteraksi dengan anak beranggapan
bahwa dia lebih dibebani tanggung jawab untuk memandu anak-anak
dalam menyelesaikan masalah, tetapi secara bertahap tanggung jawab ini
akan lebih dibebankan kepada anak.
4. Bahasa adalah bentuk primer dari interaksi, melalui orang dewasa
membagi kekayaan pengetahuan yang terkandung dalam kebudayaan
kepada anak.
5. Sebagai hasil kemajuan belajar, anak-anak memiliki bahasanya sendiri
yang

dipergunakannya

sebagai

perangkat

primer

bagi

adaptasi

intektualnya.
6. Internalisasi mengacu kepada proses pembelajaran, dengan demikian
dalam mengacu internalisasi terhadap kebudayaan yang kaya akan
pengetahuan serta dipergunakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk
bagaimana berpikir yang semula ada diluar diri anak, berlangsung awal
sekali melalui diri anak.
7. Ada perbedaan antara apa yang dapat dilakukan anak sendiri dengan apa
yang dapat dilakukan oleh siswa dengan bantuan guru ataupun orang tua.
Vygotsky menyebutnya dengan ZPD (zona of proximal development).
8. Karena umumnya apa-apa yang harus dipelajari siswa berasal dari
kebudayaan di sekelilingnya, dan umumnya pemecahan masalah dimediasi
oleh bantuan orang dewasa, adalah keliru untuk fokus kepada siswa yang
terisolasi (tidak dalam interaksi dengan masyarakat). Fokus semacam itu
tidak mampu mengungkap proses-proses dengan cara mana siswa
memperoleh keterampilan-keterampilan baru
9. Interaksi dengan kebudayaan sekelilingnya dan agen-agen masyarakat,
seperti orang tua dan teman sebaya yang lebih kompeten, menyumbang
secara signifikan kepada perkembangan intelektual anak.
b. Proses Belajar Menurut Teori Konstruktivisme

14

Menurut cara pandang teori konstruktivisme bahwa belajar adalah proses


untuk membangun pengetahuan melalui pengalaman nyata dari lapangan. Artinya
siswa akan cepat memiliki pengalaman jika pengetahuan itu dibangun atas dasar
realitas yang ada di dalam masyarakat. Penekanan teori konstruktivisme bukan
pada membangun kualitas kognitif, tetapi lebih pada proses untuk menemukan
teori yang dibangun dari realitas lapangan (Muchith, 2008: 71).
Belajar bukanlah proses tekonologisasi (robot) bagi siswa, melainkan
proses untuk membangun penghayatan terhadap suatu materi yang disampaikan
sehingga proses pembelajaran tidak hanya meyampaikan materi yang bersifat
normatif (tekstual) tetapi juga harus juga menyampaikan materi yang bersifat
kontekstual.
Teori konstruktivisme membawa implikasi dalam pembelajaran yang harus
bersifat kolektif atau kelompok. Proses sosial masing-masing siswa harus
diwujudkan. C. Asri Budiningsih menyatakan bahwa keberhasilan belajar sangat
ditentukan oleh peran sosial yang ada pada diri siswa. Dalam situasi sosial akan
terjadi situasi saling berhubungan, terdapat tata hubungan, tata tingkah laku dan
sikap di antara sesama manusia. konsekuensinya, siswa harus memiliki
keterampilan untuk menyesuaikan diri (adaptasi) secara tepat.
C. Peran Guru dan Siswa dalam pembelajaran berbasis filosofi
Kontruktivisme
1.

Peranan siswa (si belajar)


Menurut pandangan kontruktivistik belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh si belajar.
Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berpikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang dipelajari. Pandangan kontruktivistik
memandang siswa sebagai pribadi yang sudah memiliki kemampuan awal
sebelum mempelajari sesuatu. Kemampuan awal tersebut akan menjadi dasar
dalam mengkontruksi pengetahuan yang baru. Oleh sebab itu, meskipun
kemampuan awal tersebut masih sangat sederhana atau tidak sesuai dengan

15

pendapat guru, sebaiknya diterima dan dijadikan dasar pembelajaran dan


pembimbingan.
2.

Peranan Guru
Dalam belajar kontruktivistik guru atau pendidik berperan membantu agar
proses pengkontruksian pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Guru tidak
menstransferkan pengetahuan yang telah dimilkinya, melainkan membantu
siswa untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Guru dituntut untuk lebih
memahami jalan pikiran atau cara pandang siswa dalam belajar. Guru tidak
dapat mengklaim bahwa satu-satunya cara yang tepat adalah sama dengan
kemauannya.
Peranan kunci guru dalam interaksi pendidikan adalah pengendalian, yang
meliputi:
1) Menumbuhkan kemandirian dengan menyediakan kesempatan untuk
mengambil keputusan dan bertindak.
2) Menumbuhkan kemampuan mengambil kputusan dan bertindak, dengan
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan siswa.
3) Menyediakan system dukungan yang memberikan kemudahan belajar
agar siswa mempunyai peluang optimal untuk berlatih (Budiningsih,
2005:58-60).

3.

Sarana Belajar
Pendekatan konstruktivistik menekankan bahwa peranan utama dalam
kegiatan belajar adalah aktivitas siswa dalam mengkontruksi pengetahuannya
sendiri. Segala sesuatu seperti bahan, media, peralatan, lingkungan dan
fasilitas lainnya disediakan untuk membantu pembentukan tersebut. Siswa
diberi kebebasan untuk mengungkapkan pendapat dan pemikirannya tentang
sesuatu yang dihadapi. Dengan cara seperti ini siswa akan terbiasa dan
terlatih untuk berpikir sendiri, memecahkan masalah yang dihadapi, mandiri,
kritis, kreatif dan mampu mempertanggungjawabkan pemikirannya secara
rasional (Budiningsih, 2005:58-60).

4.

Evaluasi Belajar
Pandangan konstruktivistik mengemukakan bahwa lingkungan belajar
sangat mendukung munculnya berbagai pandangan dan interpretasi terhadap

16

realitas, konstruksi pengetahuan, serta aktivitas-aktivitas lain yang didasarkan


atas pengalaman. Evaluasi belajar pandangan kontruktivistik menggunakan
goal-free evaluation, yaitu konstruksi untuk mengatasi kelemahan evaluasi
pada tujuan spesifik. Evaluasi akan lebih obyektif jika evaluator tidak diberi
informasi tentang tujuan selanjutnya. Jika tujuan belajar diketahui sebelum
proses belajar dimulai, proses belajar dan evaluasinya mengakibatkan
pengaturan pada pembelajaran. Tujuan belajar mengarahkan pembelajaran
yang juga akan mengontrol aktifitas belajar siswa.
Pembelajaran dan evaluasi yang menggunakan kriteria merupakan
prototype obyektif, yang tidak sesuai bagi teori kontruktifistik lebih tepat
dinilai dengan metode goal-free. Evaluasi yang digunakan untuk menilai hasil
belajar konstruktifistik, memerlukan proses pengalaman kognitif bagi tujuantujuan konstruktifistik.
Bentuk-bentuk evaluasi konstruktivistik dapat diarahkan pada tugas-tugas
autentik, mengkonstruksi pengetahuan yang menggambarkan proses berpikir
yang lebih tinggi seperti tingkat penemuan pada taksonomi Merril atau
strategi kognitif dari Gegne. Juga mengkontruksi pengalaman siswa dan
mengarahkan evaluasi pada konteks yang luas dengan berbagai perspektif
(Budiningsih, 2005:58-60).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa peran siswa dalam
pembelajaran adalah sebagai individu yang aktif belajar dan berupaya untuk dapat
mengkonstruk pengetahuannya sendiri melalui pengalaman-pengalaman fisik dan
pengalaman mentalnya. Peran guru adalah membantu siswa untuk mengkonstruk
pengetahuannya atau disebut juga sebagai fasilitator dan mediator, guru harus
lebih memahami dan mengerti jalan berpikir siswa dan tidak boleh mengklaim
bahwa satu-satunya cara yang baik adalah menurut kemauan guru. Guru juga
membiarkan siswa-siswanya untuk belajar menemukan cara yang paling
menyenangkan untuk memecahkan persoalan yang dihadapi. Guru juga harus
menyiapkan segala sarana, media, dan lingkungan belajar yang memungkinkan
siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya.

17

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Menurut pandangan kognitif, belajar adalah perubahan persepsi dan
pemahaman melalui struktur kognitif (pengalaman dan pengetahuan
yang tertata) yang berasal dalam diri masing-masing individu yang
akan terus berkembang sesuai dengan tingkatan umur masing-masing
individu.
2. Menurut

pandangan

konstruktivistik

belajar

adalah

proses

mengkonstruk pengetahuan dari pengalaman masing-masing individu


melalui proses asimilasi dan akomodasi, sehingga siswa sendirilah
yang

mengkonstruk

pengetahuannya

pengalaman yang didapatkannya.


3. Siswa berperan sebagai pebelajar

berdasarkan
aktif

yang

pengalamanmengkonstruk

pengetahuan sedangkan guru berperan sebagai mediator dan fasilitator


dalam membantu siswa dapat mengkonstruk pengetahuannya, guru
juga menyediakan sarana, fasilitas, media dan lingkungan belajar yang
mendukung untuk siswa sehingga evaluasi belajar tidak menekankan
pada

hasil

tetapi

pengetahuannya.
B. Saran
Sebaiknya guru/

pada

dosen

proses

perlu

siswa

untuk

dalam

lebih

mengkonstruk

memahami

teori

konstruktivisme karena sesuai dengan tujuan pendidikan saat ini


sehingga menghasilkan generasi yang berwawasan luas, berkarakter
dan berdaya saing global.

18

DAFTAR PUSTAKA
Budiningsih, Asri. 2005. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka Cipta.
Fahrudin, Adi. 2012. Teori Perkembagan Kognitif Piaget. http://www.google.co
.id/url?sa=t&rct=j&q=4%20tahap%20perkembangan%20kognitif
%20piaget&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CGMQFjAI&url=http%3A
%2F%2Fkapanjadibeda.files.wordpress (online). (Diakses 2 September 2012).
Hasanudin, 2011. Teori Belajar Behaviorisme, Kognitif, Konstruktivistik dan
Humanistik. http://hasanudin-bio.blogspot.com/ (online). (Diakses 01
September 2012).
Hitipeuw, Imanuel. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Malang: FIP Universitas
Negeri Malang.
Pannen, Paulina, dkk. 2001. Konstruktivisme Dalam Pembelajaran. Jakarta: PAUPPAI, Universitas Terbuka.
Suciati dan Irawan. 2001. Teori Belajar dan Motivasi. Jakarta: PAU-PPAIUniversitas Terbuka.
Sukardjo dan Komarudin. 2009. Landasan Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers.
Suyono dan Hariyanto, 2011. Belajar Dan Pembelajaran (teori dan konsep
dasar). Remaja Rosdakarya. Surabaya.
Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik.
Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Zaif. 2010. Teori-teori belajar behaviorisme, gestalt, kognitivisme, konstruktivis
me, CBSA, Keterampilan Proses, sosial, CTL, pendekatan komunikatif, pende
katan tematik-integratif. http://zaifbio.wordpress.com/2010/04/29/teori-teori
belajar-behaviorisme-gestalt-kognitivisme-konstruktivisme-cbsa keterampilan
-proses-sosial-ctl-pendekatan-komunikatif-pendekatan-tematik integratif/
(online). (Diakses 01 September 2012).

19

Anda mungkin juga menyukai