Bab I
Bab I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan upaya yang dilaksanakan oleh semua
komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang. Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan
Dunia dan secara nasional dalam Amandeman UUD 1945 pasal 28-H dan UU No.
23 tahun 1992 tentang kesehatan disepakati bahwa diperolehnya derajat kesehatan
yang setinggi-tingginya adalah hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa
membedakan ras, agama, politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya.
(Depkes RI, 2009)
Pembangunan kesehatan yang dilaksanakan secara berkesinambungan
telah berhasil meningkatkan status kesehatan masyarakat secara cukup bermakna,
walaupun masih dijumpai berbagai masalah dan hambatan (Depkes RI, 2009).
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang
terus berkembang. Saat ini, penyakit infeksi masih merupakan penyebab utama
mortalitas dan morbiditas pada masyarakat di negara berkembang khususnya
(PERMENKES no. 2406, 2011). Penyakit infeksi sendiri mempunyai kemampuan
menular pada orang lain yang sehat sehingga populasi penderita dapat meluas
(Brooks et al., 2007).
Salah satu jenis mikroorganisme yang dapat menimbulkan infeksi adalah
Staphylococcus aureus. Bakteri S. aureus merupakan flora normal yang terdapat
di kulit, hidung dan saluran pernafasan. Hampir setiap orang akan mengalami
berbagai tipe infeksi S. aureus sepanjang hidupnya, bervariasi dalam beratnya
mulai dari keracunan makan atau infeksi kulit ringan sampai infeksi berat yang
mengancam jiwa (Brooks et al., 2007). Selain itu berdasarkan hasil penelitian, S.
aureus merupakan bakteri yang mempunyai angka insidensi paling tinggi dalam
menyebabkan infeksi nosokomial sebesar 34% (Tortora et al., 2001).
Pada sebagian kasus infeksi pengunaan antibiotik sangat diperlukan, tetapi
bila berlebihan dan kurang tepat indikasi dapat menyebabkan beberapa bakteri
resisten (Hadi, 2009). Contohnya adalah S. aureus yang tergolong bakteri gram positif
resisten terhadap metisilin (MRSA/ Methiciline Resistance Staphylococcus aureus)
(Rao et al., 2012). Pada tahun 1944, sebagian besar S. aureus peka terhadap penisilin.
Setelah penggunaannya meluas, tahun 1948, 65-85% S. aureus telah resisten terhadap
penisilin-G (Hadi, 2009). Saat ini ada sekitar 90% strain S. aureus yang resisten
terhadap penisilin-G pada komunitas di Amerika ( Brooks et al., 2007).
sativum
Linn)
dan
antibiotik
amoksisilin
dalam
menghambat