Anda di halaman 1dari 10

BERPIKIR KRITIS PEMBELAJARAN SEJARAH

Oleh : Zafri

ABSTRAK
Tulisan ini disari dari draf awal buku saku pembelajaran sejarah yang
sedang ditulis, sebagai bahan pengantar untuk meningkatkan kompetensi
calon pendidik dalam pembelajaran sejarah. Ide pokok dari tulisan ini
merupakan bagian kedua dari tujuan pembelajaran sejarah pada Standar Isi
setelah berpikir proses yang juga di muat dalam jurnal ilmiah ini. Maka
khusus pada tulisan ini dibahas tentang berpikir kritis dalam pembelajaran
sejarah. Banyak orang mengatakan bahwa salah satu ciri orang pintar
adalah mampu berpikir kritis. Berpikir kritis ialah berpikir dengan konsep
yang matang dan mempertanyakan segala sesuatu yang dianggap tidak
tepat dengan cara yang baik. Tulisan ini bertujuan memberikan kajian
tentang cara melatih berpikir kritis dalam pembelajaran materi sejarah,
tentunya untuk membantu siswa menjadi seorang yang mampu berpikir
kritis.
Pendahuluan
Pada prakteknya penerapan proses belajar mengajar kurang
mendorong pada pencapaian kemampuan berpikir kritis. Dua faktor
penyebab berpikir kritis tidak berkembang selama pendidikan adalah
kurikulum yang umumnya dirancang dengan target materi yang luas
sehingga guru lebih terfokus pada penyelesaian materi dan kurangnya
pemahaman guru tentang metode pengajaran yang dapat meningkatkan
kemampuan berpikir kritis.
Persoalannya, apakah berpikir kritis dapat dilatih? Menurut para ahli,
melatih berpikir kritis dapat dilakukan dengan cara mempertanyakan apa
yang dilihat dan didengar. Setelah itu, dilanjutkan dengan bertanya mengapa
dan bagaimana tentang hal tersebut. Intinya, jangan langsung menerima
mentah-mentah informasi yang masuk. Dari mana pun datangnya, informasi
yang diperoleh harus dicerna dengan baik dan cermat sebelum akhirnya
disimpulkan. Karena itu, berlatih berpikir kritis artinya juga berperilaku hatihati dan tidak grusa-grusu dalam menyikapi permasalahan.
Ada pandangan lain untuk meningkatkan sikap kritis. Menurut
penelitian para ahli neurolinguistik, cabang ilmu yang mengkaji bahasa dan

fungsi saraf, otak manusia bisa dilatih fungsi-fungsinya, termasuk untuk


melahirkan sikap kritis. Menurut mereka, otak manusia dibagi dua, yakni
otak kiri yang memproduksi bahasa verbal, imitatif dan repetitif, dan otak
kanan yang memperoduksi pikiran yang bersifat imajinatif, komprehensif,
dan kontemplatif. Muncul dugaan bahwa orang-orang agung para pembuat
sejarah besar adalah orang yang memiliki otak kanan yang aktif.
Pengertian
Berpikir kritis (critical thinking) adalah proses mental untuk
menganalisis atau mengevaluasi informasi. Informasi tersebut bisa
didapatkan dari hasil pengamatan, pengalaman, akal sehat atau komunikasi.
Arthur L. Costa (1985:310) menggambarkan bahwa berpikir kritis adalah:
"using basic thinking processes to analyze arguments and generate insight
into particular meanings and interpretation; also known as directed
thinking". R. Matindas (1996:71) menyatakan bahwa: "Berpikir kritis adalah
aktivitas mental yang dilakukan untuk mengevaluasi kebenaran sebuah
pernyataan. Umumnya evaluasi berakhir dengan putusan untuk menerima,
menyangkal, atau meragukan kebenaran pernyataan yang bersangkutan".
Steven (1991) memberikan pengertian berpikir kritis yaitu berpikir
dengan benar dalam memperoleh pengetahuan yang relevan dan reliable.
Berpikir kritis adalah berpikir nalar, reflektif, bertanggung jawab, dan mahir
berpikir. Dari pengertian Steven tersebut, seseorang yang berpikir dengan
kritis dapat menentukan informasi yang relevan. Berpikir kritis merupakan
kegiatan memproses informasi yang akurat sehingga dapat dipercaya, logis,
dan kesimpulannya meyakinkan, dan dapat membuat keputusan yang
bertanggung jawab. Seseorang yang berpikir kritis dapat bernalar logis dan
membuat kesimpulan yang tepat.
Memang banyak cara kita dalam mendefinisikan berpikir kritis, misalnya
Dewey mengartikan berpikir kritis sebagai "... essentially problem solving";
Ennis (dalam L.Costa,1985): "the process of reasonably deciding what to
believe"; atau juga dapat didefinisikan sebagai :"... a search for meaning, not
the acquisition of knowledge" (Arendt,1977). Ennis (dalam L.Costa,1985)
dalam bentuk working definition menggambarkan bahwa : "critical thinking
is reasonable, reflective thinking that is focused on deciding what to
believe". Gega (1977:78) Orang yang berpikir kritis adalah ".... who base
sugesstion and conclusions on evidence ..." yang ditandai dengan:
menggunakan bukti untuk mengukur kebenaran kesimpulan, menunjukkan
pendapat yang kadang kontradiktif dan mau mengubah pendapat jika
ternyata ada bukti kuat yang bertentangan dengan pendapatnya. Senada
dengan apa yang dikemukakan Gega, The Statewide History-social science

Assesment Advisory commitee (USA) mendefinisikan berpikir kritis sebagai "


... those behaviors associated with deciding what to believe and do".
Proses berpikir kritis dapat digambarkan seperti metode ilmiah. Steven
(1991) mengutarakan bahwa berpikir kritis adalah metode tentang
penyelidikan ilmiah, yaitu: mengidentifikasi masalah, merumuskan hipotesis,
mencari dan mengumpulkan data-data yang relevan, menguji hipotesis
secara logis dan evaluasi serta membuat kesimpulan yang reliable. Krulik
dan Rudnick (1993) mendefinisikan berpikir kritis adalah berpikir yang
menguji, menghubungkan, dan mengevaluasi semua aspek dari situasi
masalah. Termasuk di dalam berpikir kritis adalah mengelompokan,
mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis informasi. Berpikir kritis
memuat kemampuan membaca dengan pemahaman dan mengidentifikasi
materi yang diperlukan dengan yang tidak ada hubungan. Hal ini juga berarti
dapat menggambarkan kesimpulan dengan sempurna dari data yang
diberikan, dapat menentukan ketidakkonsistenan dan kontradiksi di dalam
kelompok data. Berpikir kritis adalah analitis dan reflektif.
Menurut Ennis (1996) berpikir kritis adalah suatu proses berpikir yang
bertujuan untuk membuat keputusan yang rasional yang diarahkan untuk
memutuskan apakah meyakini atau melakukan sesuatu. Dari definisi Ennis
tersebut dapat diungkapkan beberapa hal penting. Berpikir kritis difokuskan
ke dalam pengertian sesuatu yang penuh kesadaran dan mengarah pada
sebuah tujuan. Tujuan dari berpikir kritis akhirnya memungkinkan kita untuk
membuat keputusan.
R. Matindas Juga mengungkapkan bahwa banyak orang yang tidak
terlalu membedakan antara berpikir kritis dan berpikir logis padahal ada
perbedaan besar antara keduanya yakni bahwa berpikir kritis dilakukan
untuk membuat keputusan sedangkan berpikir logis hanya dibutuhkan untuk
membuat kesimpulan. Pada dasarnya pemikiran kritis menyangkut pula
pemikiran logis yang diteruskan dengan pengambilan keputusan.
Dari pendapat-pendapat di atas dapat dikatakan bahwa berpikir kritis itu
meliputi dua langkah besar yakni melakukan proses berpikir nalar
(reasoning) dan diikuti dengan pengambilan keputusan/ pemecahan masalah
(deciding/problem solving). Dengan demikian dapat pula diartikan bahwa
tanpa kemampuan yang memadai dalam hal berpikir nalar (deduktif, induktif
dan reflektif), seseorang tidak dapat melakukan proses berpikir kritis secara
benar. Berpikir kritis berfokus pada apakah meyakini atau melakukan
sesuatu mengandung pengertian bahwa siswa yang berpikir kritis tidak
hanya percaya begitu saja apa yang dijelaskan oleh guru. Siswa berusaha

mempertimbangkan penalarannya
memperoleh kebenaran.

dan

mencari

informasi

lain

untuk

Keterampilan Intelektual dan Perkembangan Kognitif


Kegiatan berpikir kritis terdiri dari merumuskan, menganalisis,
memecahkan masalah, menyimpulkan dan mengevaluasi. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1) Merumuskan: memberikan batasan dari objek yang diamati. Misalnya dalam
mata pelajran sejarah kegiatan merumuskan ini digunakan siswa untuk
mengemukakan fakta dari materi yang dipelajari, karena fakta merupakan
kerangka berpikir dalam sejarah. Menurut Mestika Zed (2003:51) fakta
adalah tulang punggung bangunan pengetahuan sejarah. Dapat
dicontohkan dengan; Adipati Unus menyerang Portugis di Malaka pada
tahun 1513 M. Pernyataan atau kalimat tersebut memang telah terjadi
penyerangan Adipati Unus ke Malaka yang dikuasai oleh Portugis pada tahun
1513 M atau adanya usaha Adipati Unus untuk menyerang Portugis pada
tahun 1513 M.
2)

Menganalisis: proses menelaah, mengupas, ulasan, atau menguraikan ke


dalam bagian-bagian yang lebih terperinci. Oleh sebab itu, pertanyaan
mengapa (why) yang dikemukakan dalam menganalisis suatu peristiwa
sejarah. Dalam hal ini yang dianalisis adalah sebab-akibat suatu peristiwa
yang terjadi setelah merumuskan fakta.

3) Memecahkan Masalah: proses berpikir yang mengaplikasikan konsep kepada


beberapa pengertian baru. Tujuannya adalah agar siswa mampu memahami
dan menerapkan konsep-konsep dalam permasalahan atau ruang lingkup
baru. Dalam hal ini konsep-konsep digunakan dalam menjelaskan hubungan
sebab-akibat dari suatu peristiwa sejarah.
4) Menyimpulkan: proses berpikir yang memperdaya pengetahuan sedemikian
rupa untuk menghasilkan sebuah pemikiran atau pengetahuan baru.
Menurut Mestika Zed (2003:3) penarikan kesimpulan tujuannya adalah
mencari atau menguji pengeahuan yang bersifat umum yang disebut
generalisasi (pernyataan yang menyatakan hubungan antara konsep-konsep
dan berfungsi sebagai pembantu untuk berpikir dan mengerti) yang tidak
harus terikat dengan waktu dan tempat. Salah satu contohnya adalah:
Keruntuhan Kerajaan Majapahit adalah alasan-alasan yang serupa yang telah
menghancurkan kerajaan-kerajaan lainnya, terutama karena lemahnya
kepemimpinan raja dan perpecahan yang terjadi dalam lingkungan kerajaan.
5)

Mengevaluasi: proses penilaian objek yang diamati. Penilaian ini bisa


menjadi netral, positif, dan negatif atau gabungan dari keduanya. Saat
sesuatu dievaluasi biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan
tentang nilai atau manfaatnya. Dalam taksonomi belajar Bloom
mengevaluasi merupakan tahap berpikir kognitif yang tinggi. Pada tahap

siswa dituntut agar mampu mensinergikan aspek-aspek kognitif lainnya


dalam menilai sebuah fakta atau konsep.
Pendekatan belajar yang diperlukan dalam meningkatkan pemahaman
terhadap materi yang dipelajari dipengaruhi oleh perkembangan proses
mental yang digunakan dalam berpikir (perkembangan kognitif) dan konsep
yang digunakan dalam belajar. Perkembangan merupakan proses perubahan
yang terjadi sepanjang waktu ke arah positif. Jadi perkembangan kognitif
dalam pendidikan merupakan proses yang harus difasilitasi dan dievaluasi
pada diri siswa sepanjang waktu mereka menempuh pendidikan termasuk
kemampuan berpikir kritis.
Salah satu komponen berpikir kritis yang perlu dikembangkan adalah
keterampilan intelektual. Keterampilan intelektual merupakan seperangkat
keterampilan yang mengatur proses yang terjadi dalam benak seseorang.
Berbagai jenis keterampilan dapat dimasukkan sebagai keterampilan
intelektual yang menjadi kompetensi yang akan dicapai pada pogram
pengajaran. Keterampilan tersebut perlu diidentifikasi untuk dimasukkan
baik sebagai kompetensi yang ingin dicapai maupun menjadi pertimbangan
dalam menentukan proses pengajaran.
Bloom mengelompokkan keterampilan intelektual dari ketrampilan
yang
sederhana
sampai
yang
kompleks
antara
lain
pengetahuan/pengenalan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan
evaluasi. Keterampilan menganalisis, mensintesis, dan mengevaluasi pada
taksonomi Bloom merupakan keterampilan pada tingkat yang lebih tinggi
(Higher Order Thinking) (Cotton K.,1991). Kesepakatan yang diperoleh dari
hasil lokakarya American Philosophical Association (APA, 1990) tentang
komponen keterampilan intelektual yang diperlukan pada berpikir kritis
antara lain interpretation, analysis, evaluation, inference, explanation, dan
self regulation (Duldt-Battey BW, 1997).
Masing-masing komponen tersebut merupakan kompetensi yang perlu
disusun dan disepakati oleh para pendidik tentang perilaku apa saja yang
seharusnya dapat ditunjukkan oleh siswa pada tiap-tiap komponen di tiaptiap tingkat sepanjang program pendidikan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi berpikir kritis
Ada beberapa
diantaranya:
1)

faktor

yang

mempengaruhi

berpikir

kritis

siswa,

Kondisi fisik: menurut Maslow dalam Siti Mariyam (2006:4) kondisi fisik
adalah kebutuhan fisiologi yang paling dasar bagi manusia untuk menjalani
kehidupan. Ketika kondisi fisik siswa terganggu, sementara ia dihadapkan

pada situasi yag menuntut pemikiran yang matang untuk memecahkan


suatu masalah maka kondisi seperti ini sangat mempengaruhi pikirannya. Ia
tidak dapat berkonsentrasi dan berpikir cepat karena tubuhnya tidak
memungkinkan untuk bereaksi terhadap respon yanga ada.
2) Motivasi: Kort (1987) mengatakan motivasi merupakan hasil faktor internal
dan eksternal. Motivasi adalah upaya untuk menimbulkan rangsangan,
dorongan ataupun pembangkit tenaga seseorang agar mau berbuat sesuatu
atau memperlihatkan perilaku tertentu yang telah direncanakan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Menciptakan minat adalah cara yang
sangat baik untuk memberi motivasi pada diri demi mencapai tujuan.
Motivasi yang tinggi terlihat dari kemampuan atau kapasitas atau daya serap
dalam belajar, mengambil resiko, menjawab pertanyaan, menentang kondisi
yang tidak mau berubah kearah yang lebih baik, mempergunakan kesalahan
sebagai kesimpulan belajar, semakin cepat memperoleh tujuan dan
kepuasan, mempeerlihatkan tekad diri, sikap kontruktif, memperlihatkan
hasrat dan keingintahuan, serta kesediaan untuk menyetujui hasil perilaku.
3)

Kecemasan: keadaan emosional yang ditandai dengan kegelisahan dan


ketakutan terhadap kemungkinan bahaya. Menurut Frued dalam Riasmini
(2000) kecemasan timbul secara otomatis jika individu menerima stimulus
berlebih yang melampaui untuk menanganinya (internal, eksternal). Reaksi
terhadap kecemasan dapat bersifat; a) konstruktif, memotivasi individu
untuk belajar dan mengadakan perubahan terutama perubahan perasaan
tidak nyaman, serta terfokus pada kelangsungan hidup; b) destruktif,
menimbulkan tingkah laku maladaptif dan disfungsi yang menyangkut
kecemasan berat atau panik serta dapat membatasi seseorang dalam
berpikir.

4)

Perkembangan intelektual: intelektual atau kecerdasan merupakan


kemampuan mental seseorang untuk merespon dan menyelesaikan suatu
persoalan, menghubungkan satu hal dengan yang lain dan dapat merespon
dengan baik setiap stimulus. Perkembangan intelektual tiap orang berbedabeda disesuaikan dengan usia dan tingkah perkembanganya. Menurut Piaget
dalam Purwanto (1999) semakin bertambah umur anak, semakin tampak
jelas kecenderungan dalam kematangan proses.
Rath et al (1966) menyatakan bahwa salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi perkembangan kemampuan berpikir kritis adalah interaksi
antara pengajar dan siswa. Siswa memerlukan suasana akademik yang
memberikan kebebasan dan rasa aman bagi siswa untuk mengekspresikan
pendapat dan keputusannya selama berpartisipasi dalam kegiatan
pembelajaran.
Strategi pembelajaran berpikir kritis

Kember (1997) menyatakan bahwa kurangnya pemahaman pengajar


tentang berpikir kritis menyebabkan adanya kecenderungan untuk tidak
mengajarkan atau melakukan penilaian keterampilan berpikir pada siswa.
Seringkali pengajaran berpikir kritis diartikan sebagai problem solving,
meskipun kemampuan memecahkan masalah merupakan sebagian dari
kemampuan berpikir kritis (Pithers RT, Soden R., 2000).
Faktor
yang
menentukan
keberhasilan
program
pengajaran
keterampilan berpikir adalah pelatihan untuk para pengajar. Pelatihan saja
tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan berpikir jika
penerapannya tidak sesuai dengan harapan yang diinginkan, tidak disertai
dukungan administrasi yang memadai, serta program yang dijalankan tidak
sesuai dengan populasi siswa (Cotton K., 1991).
Secara umum pembelajaran IPS harus mengikuti aturan yang ada
dalam Standar Isi, salah satunya berpikir kritis. Namun, dalam materi sejarah
strategi pembelajaran berpikir kritis ini dapat dilakukan melalui sajian
sejumlah fakta yang didapat dari bacaan atau sumber lainnya. Anak didik
dilatih menginterpretasikan untuk membangun suatu struktur proses
perubahaan peristiwa. Dalam hal ini secara langsung telah dilatih anak didik
memahami bahwa suatu peristiwa memiliki proses perubahan. Ini salah satu
ciri khas yang tidak diperoleh anak didik melalui pembelajaran lainnya.
Setelah terbentuk pola perubahan, anak dilatih berpikir kritis pada
setiap perubahan. Latihan pertama, adalah anak disuruh mencari fakta,
membuat konsep dan menemukan sebab-akibat dari setiap proses
perubahan dalam peristiwa sejarah. Latihan pertama, anak didik ditantang
untuk membuktikan terjadi perubahan melalui fakta (kejadian) masingmasing proses perubahan (how), kapan terjadinya perubahan (when),
dimana terjadinya (where) dan siapa pelakunya (Who). Latihan kedua,
peserta didik dilatih menginterpretasi untuk menentukan konsep setiap fakta
(kejadian) dengan memunculkan pertanyaan apa namanya itu (What)?
Terakhir, peserta didik dilatih mencari penyebab dari masing-masing
perubahan, dengan menggunakan pertanyaan-pertanyaan, mengapa terjadi
perubahan (Why)? Demikian selanjutnya untuk perkembangan setiap
perubahan dalam peristiwa sejarah latihan berulang ini akan membentuk
keterampilan berpikir kritis seperti yang dimuat dalam kurikulum 2006. Salah
satu contohnya yaitu, Kerajaan Samudera Pasai mencapai puncak
kejayaannya pada tahun 1297 1326 M? apa penyebabnya? Siapa rajanya?
bagaimana pemerintahannya? mengapa ia mencapai puncak kejayaan?
kapan terjadinya?

Strategi tersebut membuktikan dua hal dalam pengajaran yang dapat


meningkatkan kemampuan berpikir kritis, yaitu:
1. Dengan menggunakan konteks yang relevan dapat meningkatkan
kemampuan
berpikir
kritis
sekaligus
meningkatkan
prestasi
akademisnya.
2. Cara penilaian yang memerlukan telaah yang lebih dalam, mendorong
siswa untuk belajar secara lebih bermakna daripada sekedar belajar
untuk menghapal.
Pertanyaan diberikan setelah memperoleh fakta-fakta dari setiap
peristiwa sejarah yang akan dipelajari. Hal ini menunjukkan bahwa informasi
yang diberikan telah disusun oleh pendidik dengan konsep yang jelas
sehingga tidak memberikan pengalaman bagi siswa untuk menentukan
informasi yang diperlukan untuk membangun konsep sendiri. Salah satu
karakter seorang yang berpikir kritis adalah self regulatory, sehingga
pengajaran tersebut dapat dikombinasikan dengan strategi lain agar siswa
dapat menentukan informasi secara mandiri. Sehingga setiap siswa
memperoleh kesempatan untuk menyampaikan argumentasi dari jawaban
pertanyaan yang diberikan. Penulis beranggapan bahwa pertanyaanpertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk berpikir kritis dapat
dimasukkan ke dalam study guide sebagai salah satu sumber belajar.
Pembelajaran kolaboratif melalui diskusi kelompok kecil juga
direkomendasikan sebagai strategi yang dapat meningkatkan kemampuan
berpikir kritis (Resnick L., 1990; Rimiene V., 2002; Gokhale A.A., 2005).
Dengan berdiskusi siswa mendapat kesempatan untuk mengklarifikasi
pemahamannya dan mengevaluasi pemahaman siswa lain, mengobservasi
strategi berpikir dari orang lain untuk dijadikan panutan, membantu siswa
lain yang kurang untuk membangun pemahaman, meningkatkan motivasi,
serta membentuk sikap yang diperlukan seperti menerima kritik dan
menyampaikan kritik dengan cara yang santun.
Evaluasi kemampuan berpikir kritis
Evaluasi merupakan proses pengukuran pencapaian tujuan yang
diinginkan dengan menggunakan metode yang teruji validitas dan
reliabilitasnya. Beberapa penelitian mengevaluasi kemampuan berpikir kritis
dari aspek keterampilan intelektual seperti keterampilan menganalisis,
mensintesis, dan mengevaluasi dengan menggunakan pertanyaanpertanyaan yang berbasis taxonomi Bloom. Sedangkan tujuan pengajaran
berpikir kritis meliputi ketrampilan dan strategi kognitif, serta sikap.
Colucciello menggabungkan berbagai elemen yang digunakan dalam
penelitian dan komponen pemecahan masalah serta kriteria yang digunakan

dengan komponen ketrampilan dan sikap berpikir kritis. Elemen tersebut


antara lain menentukan tujuan, menyusun pertanyaan atau membuat
kerangka masalah, menunjukkan bukti, menganalisis konsep, interpretasi,
asumsi, perspektif yang digunakan, keterlibatan, dan kesesuaian. Dengan
kriteria antara lain: kejelasan, ketepatan, ketelitian, keterkaitan, keluasan,
kedalaman, dan logika. Dia juga membandingkan dengan inventory yang
sudah ada seperti California Critical Thinking Test (CCTT) untuk
mengevaluasi ketrampilan berpikir kritis dan Critical Thinking Disposition
Inventory (CTDI) untuk mengevaluasi sikap berpikir kritis.
Kesimpulan
Strategi pengajaran yang mendorong siswa berpikir kritis terhadap
pokok bahasan materi pelajaran sejarah dapat menggunakan berbagai
strategi pengajaran yang menggunakan pendekatan di bawah ini:

Pembelajaran Aktif
Pembelajaran Kolaboratif

Pembelajaran Kontekstual

Menggunakan pendekatan higher order thinking

Self directed learning

Kombinasi dari berbagai strategi di lebih dianjurkan oleh karena dapat


mencapai berbagai aspek dari komponen berpikir kritis. Teknologi
pengajaran yang menerapkan kombinasi dari berbagai strategi yang ada
saat ini misalnya Problem Based Learning (PBL). Para pendidik perlu
mengembangkan strategi pengajaran tersebut dalam pengajaran agar siswa
dapat belajar materi pembelajaran sejarah melalui proses berpikir kritis.
Dengan demikian siswa dapat memberi makna yang lebih dalam (bukan
sekedar mendapat materi yang dalam) dari materi yang dipelajari.
Berpikir kritis dalam proses pembelajaran sejarah ini dapat terlaksana
jika seluruh fakta-fakta mengenai peristiwa sejarah tersebut dapat
ditemukan, dengan cara guru dan siswa memiliki sumber dan bahan materi
yang lengkap.
Daftar Bacaan
Belth, Marc.(1977) The Process Of Thinking.New York: David Mc Kay Company
Costa, Arthur L.,(ed.) (1985) Developing Minds, A Resource Book for Teaching
Thinking. Virginia: ASCD
De Bono, Edward. (1990). Berpikir Lateral, alih Bahasa oleh Budi. Jakarta: Binarupa
Aksara.
Didin Wahidin. Makalah disajikan dalam seminar mahasiswa FKIP Uninus 18 Juni 1998.

Dirmawa,Dikti.(1996).Buku Peserta Pelatihan Pembimbing Kelompok Diskusi


Mahasiswa (OPPEK- TIPE B). Dikti Jakarta.
Gega, Peter C., (1977) Science in elementary education. New York : John Wiley And
Sons Inc.
Mestika Zed. 2003. Metodologi Sejarah. Padang: Fakultas Ilmu-ilmu Sosial UNP
Nickerson, Raymond S., (1985) The Teaching Of Thinking. New Jersey: Lawrence
Erlbaum
Raths, Louis E., et.al. (1986) Teaching for thinking (2'nd ed.). New York: Teacher
College Columbia University.
Sudaryanto, Kajian Kritis tentang Permasalahan Sekitar Pembelajaran Kemampuan
Berpikir Kritis Selasa, 26 Agustus 2008 12:50.

Anda mungkin juga menyukai