Anda di halaman 1dari 6

Clostridium tetani

A. Sejarah penemuan clostridium tetani


Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang
hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan
pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan sifat
mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam
tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik syaraf mereka di pangkal paha dengan nanah
dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun
1889, C.tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang
kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika
disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat
darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan
bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia,
dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin
tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan
untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama Perang
Dunia II

B. Klasifikasi dan Morfologi Clostridium tetani


Adapun klasifikasi pada bakteri ini adalah:
Kingdom : Bacteria
Division : Firmicutes
Class : Clostridia
Order : Clostridiales
Family : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : Clostridium tetani

Clostridium tetani Bentuk batang, berukuran panjang 2-5 mikron, lebar 0,4-0,5
mikron, dapat bergerak, termasuk gram positif anaerob berspora, membentuk exotoxin
yang disebut tetanospasmin (tetanus spasmin), dan ketika bakteri ini mengeluarkan
eksotoxin maka akan menghasilkan 2 eksotoxin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Tetanospasminlah yang dapat menyebabakan penyakit tetanus karena bersifat neurotoxin
yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf parifer setempat, hidup
anaerob, bentuk sporanya lebih besar dari pada selnya, dan letaknya terminal (diujung)
menyerupai sendok. Bentuk sporanya dapat betahan hidup sampai bertahun-tahun.
Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tenospamin) adalah 2,5 nanogram
per kilogram berat badan atau 175 nanogram untuk 70 kilogram (154lb) manusia.
Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah
protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H 2S.
Menghasilkan gelatinase, dan indol positif. Spora dari Clostridium tetani resisten
terhadap panas dan juga biasanya terhadap antiseptis. Sporanya juga dapat bertahan pada
autoclave pada suhu 249.8F (121C) selama 1015 menit. Juga resisten terhadap phenol
dan agen kimia yang lainnya. Timbulnya tetanus ini terutama oleh clostiridium tetani
yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah.
Clostridium tetani sangat tahan terhadap desinfektan kimia, pemanasan dan
pengeringan. Bakteri ini terdapat dimana-mana, dalam tanah, debu jalan dan pada
kotoran hewan terutama kuda. Spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif dalam suasana
anaerobik. Bentuk vegetatif ini menghasilkan dua jenis toksin, yaitu tetanolisin dan
tetanospasmin. Tetanolisin belum diketahui kepentingannya dalam patogenesis tetanus

dan menyebabkan hemolisis in vitro, sedangkan tetanospasmin bekerja pada ujung saraf
otot dan sistem saraf pusat yang menyebabkan spasme otot dan kejang
C. Patogenesis dan Patofisiologi
Tetanus disebabkan neurotoksin (tetanospasmin) dari bakteri Gram positif anaerob,
Clostridium tetani, dengan mula-mula 1 hingga 2 minggu setelah inokulasi bentuk spora
ke dalam darah tubuh yang mengalami cedera (periode inkubasi). Penyakit ini merupakan
1 dari 4 penyakit penting yang manifestasi klinis utamanya adalah hasil dari pengaruh
kekuatan eksotoksin (tetanus, gas ganggren, dipteri, botulisme).
Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan Dialam, tanah, kotoran manusia dan
hewan terutama kuda peliharaan dan di daerah pertanian. Tempat masuknya kuman
penyakit ini bisa berupa luka yang dalam yang berhubungan dengan kerusakan jaringan
lokal, tertanamnya benda asing atau sepsis dengan kontaminasi tanah, lecet yang dangkal
dan kecil atau luka geser yang terkontaminasi tanah, trauma pada jari tangan atau jari kaki
yang berhubungan dengan patah tulang jari dan luka pada pembedahan.
Clostridium tetani masuk ke dalam tubuh manusia biasanya melalui luka dalam
bentuk spora. Penyakit akan muncul bila spora tumbuh menjadi bentuk vegetatif yang
menghasilkan tetanospasmin pada keadaan tekanan oksigen rendah, nekrosis jaringan atau
berkurangnya potensi oksigen.
Masa inkubasi dan beratnya penyakit terutama ditentukan oleh kondisi luka. Beratnya
penyakit terutama berhubungan dengan jumlah dan kecepatan produksi toksin serta jumlah
toksin yang mencapai susunan saraf pusat. Faktor-faktor tersebut selain ditentukan oleh
kondisi luka, mungkin juga ditentukan oleh strain Clostridium tetani. Pengetahuan tentang
patofisiologi penyakit tetanus telah menarik perhatian para ahli dalam 20 tahun terakhir
ini, namun kebanyakan penelitian berdasarkan atas percobaan pada hewan.
D. Penyebaran toksin
Toksin yang dikeluarkan oleh Clostridium tetani menyebar dengan berbagai cara,
sebagai berikut :
1. Masuk ke dalam otot
Toksin masuk ke dalam otot yang terletak dibawah atau sekitar luka, kemudian ke
otot-otot sekitarnya dan seterusnya secara ascenden melalui sinap ke dalam susunan
saraf pusat.
2. Penyebaran melalui sistem limfatik

Toksin yang berada dalam jaringan akan secara cepat masuk ke dalam nodus
limfatikus, selanjutnya melalui sistem limfatik masuk ke peredaran darah sistemik.
3. Penyebaran ke dalam pembuluh darah.
Toksin masuk ke dalam pembuluh darah terutama melalui sistem limfatik, namun
dapat pula melalui sistem kapiler di sekitar luka. Penyebaran melalui pembuluh darah
merupakan cara yang penting sekalipun tidak menentukan beratnya penyakit. Pada
manusia sebagian besar toksin diabsorbsi ke dalam pembuluh darah, sehingga
memungkinkan untuk dinetralisasi atau ditahan dengan pemberian antitoksin dengan
dosis optimal yang diberikan secara intravena. Toksin tidak masuk ke dalam susunan
saraf pusat melalui peredaran darah karena sulit untuk menembus sawar otak. Sesuatu
hal yang sangat penting adalah toksin bisa menyebar ke otot-otot lain bahkan ke organ
lain melalui peredaran darah, sehingga secara tidak langsung meningkatkan transport
toksin ke dalam susunan saraf pusat.
4. Toksin masuk ke susunan saraf pusat (SSP)
Toksin masuk kedalam SSP dengan penyebaran melalui serabut saraf, secara retrograd
toksin mencapai SSP melalui sistem saraf motorik, sensorik dan autonom. Toksin
yang mencapai kornu anterior medula spinalis atau nukleus motorik batang otak
kemudian bergabung dengan reseptor presinaptik dan saraf inhibitor.
E. Mekanisme kerja toksin tetanus:
1. Jenis toksin
Clostridium tetani menghasilkan tetanolisin dan tetanospsmin. Tetanolisin mempunyai
efek hemolisin dan protease, pada dosis tinggi berefek kardiotoksik dan neurotoksik.
Sampai saat ini peran tetanolisin pada tetanus manusia belum diketahui pasti.
Tetanospasmin mempunyai efek neurotoksik, penelitian mengenai patogenesis
penyakit tetanus terutama dihubungkan dengan toksin tersebut.
2. Toksin tetanus dan reseptornya pada jaringan saraf

Toksin tetanus berkaitan dengan gangliosid ujung membran presinaptik, baik pada
neuromuskular junction, mupun pada susunan saraf pusat. Ikatan ini penting untuk
transport toksin melalui serabut saraf, namun hubungan antara pengikat dan toksisitas
belum diketahui secara jelas.
Lazarovisi dkk (1984) berhasil mengidentifikasikan 2 bentuk toksin tetanus yaitu
toksin A yang kurang mempunyai kemampuan untuk berikatan dengan sel saraf
namun tetap mempunyai efek antigenitas dan biotoksisitas, dan toksin B yang kuat
berikatan dengan sel saraf.
3. Kerja toksin tetanus pada neurotransmitter
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf pusat, yaitu
dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin, Gamma
Amino Butyric Acid (GABA), dopamin dan noradrenalin. GABA adalah
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah
pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau
penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan
kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi
sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.
F. Perubahan akibat toksin tetanus:
1. Susunan saraf pusat
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan listrik yang
terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance excitation.
Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP ke perifer,
sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang. Semakin banyak saraf inhibisi yang
terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba dan
cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis
berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala
ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf
inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.
a. Rasa sakit

Rasa sakit timbul dari adanya kekakuan otot dan kejang. Kadang kala ditemukan
neurotic pain yang berat pada tetanus lokal sekalipun pada saat tidak ada kejang. Rasa
sakit ini diduga karena pengaruh toksin terhadap sel saraf ganglion posterior, sel-sel
pada kornu posterior dan interneuron.
b. Fungsi Luhur
Kesadaran penderita pada umumnya baik. Pada mereka yang tidak sadar biasanya
brhubungan dengan seberapa besar efek toksin terhadap otak, seberapa jauh efek
hipoksia, gangguan metabolisme dan sedatif atau antikonvulsan yang diberikan.
2. Aktifitas neuromuskular perifer
Toksin tetanus menyebabkan penurunan pelepasan asetilkolin sehingga mempunyai efek
neuroparalitik, namun efek ini tertutup oleh efek inhibisi di susunan saraf pusat.
Neuroparalitik bisa terjadi bila efek toksin terhadap SSP tidak terjadi, namun hal ini sulit
karena toksin secara cepat menyebar ke SSP. Kadang-kadang efek neuroparalitik terlihat
pada tetanus sefal yaitu paralisis nervus fasialis, hal ini mungkin n. fasialis lebih sensitif
terhadap efek paralitik dari toksin atau karena axonopathi.

Anda mungkin juga menyukai