Anda di halaman 1dari 25

KEARIFAN BUDAYA INDONESIA

UNTUK SOLUSI MASALAH GLOBAL


PENGGUNAAN OBAT

UNIVERSITAS GADJAH MADA


Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar
pada Fakultas Kedokteran
Universitas Gadjah Mada

Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar


Universitas Gadjah Mada
pada tanggal 25 Juni 2012
di Yogyakarta

Oleh:
Prof. Dr. Dra. Sri Suryawati, Apt.

3
Bismillahirrahmaanirrahiim
Assalaamu alaikum warrahmatullahi wabarrakaatuh
Salam sejahtera untuk kita semua
Yang saya hormati,
Ketua, Sekretaris, Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Gadjah Mada,
Ketua, Sekretaris, Anggota Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada,
Ketua, Sekretaris, dan Anggota Senat Akademik Universitas Gadjah Mada,
Rektor, Wakil Rektor Senior, dan Wakil Rektor Universitas Gadjah Mada
Dekan dan Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada
Kepala Pusat Studi di Universitas Gadjah Mada
Teman Sejawat, Mitra Kerja, Sahabat, Sanak-saudara, dan Hadirin
sekalian,

Segala puja dan puji dipersembahkan ke Hadirat Allah yang


Maha Kuasa, karena atas perkenanNya pagi ini kita dapat berada di
ruangan ini dalam keadaan sehat walafiat. Merupakan kehormatan
yang sangat besar bagi saya atas kesempatan untuk menyampaikan
pidato pengukuhan ini, yang merupakan pertanggungjawaban atas
pengangkatan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Farmakologi dan Terapi
pada Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dengan
perkenan hadirin sekalian, judul pidato yang akan saya sampaikan
adalah:
KEARIFAN BUDAYA INDONESIA
UNTUK SOLUSI MASALAH GLOBAL
PENGGUNAAN OBAT
Masalah ini saya pilih sebagai materi pidato dengan harapan
dapat membangkitkan kembali rasa kebangsaan dan nasionalisme kita,
di tengah galaunya situasi politik dan ekonomi negara ini. Semoga
dapat menjadi stimulus agar kita semua tetap bangga sebagai orang
Indonesia dan dengan penuh keyakinan berdiri di forum internasional.
Pidato akan diawali dengan pemaparan masalah global dalam
penggunaan obat. Kemudian akan disampaikan berbagai upaya yang
telah dilakukan untuk memperbaiki situasi penggunaan obat. Akan

4
dipaparkan bagaimana kearifan budaya Indonesia telah memberikan
inspirasi dan membentuk kerangka pengembangan model-model
solusi yang diapresiasi dan diadopsi dunia global. Pidato akan saya
akhiri dengan butir-butir pemikiran dan harapan untuk memelihara
kearifan budaya, agar negara Indonesia makin diminati sebagai
sumber belajar dunia.
Hadirin yang saya muliakan,
Masalah global penggunaan obat
Penggunaan obat dikatakan rasional apabila pasien menerima
obat sesuai dengan kebutuhan klinis mereka, dengan dosis dan cara
pemberian yang tepat, dan dengan harga yang terjangkau bagi pasien
dan masyarakat. Namun data global menunjukkan bahwa situasi
tersebut masih belum sepenuhnya tercapai. Di antara berbagai
masalah yang dihadapi, yang paling sering dijumpai adalah
terhambatnya akses terhadap obat esensial, penggunaan antibiotika
yang berlebihan atau tidak sesuai, dan penggunaan injeksi yang
berlebihan.
Padahal, akses terhadap obat esensial adalah salah satu hak azasi
manusia. Kalimat ini bukanlah retorika semata, namun membawa
konsekuensi tanggungjawab yang sangat besar karena pemerintah
mempunyai kewajiban menjamin ketersediaan dan keterjangkauannya.
Landasannya adalah Universal Declaration of Human Rights
(UDHR)1 Pasal 25, yang berbunyi: Everyone has the right to a
standard of living adequate for the health and well-being of himself
and of his family, including food, clothing, housing and medical care
and necessary social services, and the right to security in the event of
unemployment, sickness, disability, widowhood, old age or other lack
of livelihood in circumstances beyond his control. International
Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights 2 Pasal 12
1

United Nations, 1948, The Universal Declaration of


Human Rights. Adopted by the General Assembly of the United Nations on 10
December 1948. Tersedia di http://www.un.org/en/documents/ udhr/, diakses 8
Maret 2012.
2
International Covenant on Economic, Social and Cultural

5
berbunyi: The States Parties to the present Covenant recognize the
right of everyone to the enjoyment of the highest attainable standard
of physical and mental health. Commission on Economic, Social and
Cultural Rights3 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan the
highest attainable standard adalah pelayanan kesehatan yang terbaik
dengan obat terbaik, yaitu obat esensial sebagaimana didefinisikan
oleh Badan Kesehatan Dunia WHO.4
Obat esensial adalah obat-obat yang diperlukan untuk pelayanan
kesehatan prioritas.4 Proses seleksinya harus didasarkan pada hasil
penelaahan sistematis dan komprehensif terhadap kemanfaatan dan
keamanan, pertimbangan kebutuhan kesehatan masyarakat,
ketersediaan produk, dan pertimbangan harga, serta harus melalui
proses seleksi yang transparan. Dengan perkembangan ilmu dan
teknologi kesehatan, obat baru dapat dimasukkan atau menggantikan
yang sudah ada di dalam daftar apabila terbukti lebih baik sesuai
kriteria seleksi tersebut. WHO menyediakan Model List of Essential
Medicines (WHO-EML) sejak 1977, sebagai acuan negara-negara
pada waktu menyusun atau merevisi daftar obat esensial mereka.
Sambutan terhadap pentingnya obat esensial sangat
menggembirakan. Dalam kurun waktu 3 dekade, 86% negara di dunia
telah mempunyai Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN), termasuk
Indonesia. Upaya terus dilakukan oleh semua negara agar obat
esensial diutamakan penggunaannya dalam pelayanan kesehatan, baik
di pelayanan kesehatan publik maupun swasta. Survei WHO yang
dipublikasi tahun 2011 (WHO, 2011) telah menunjukkan keberhasilan
di sektor publik. Dari 156 negara dengan tingkat pendapatan rendah,
Rights (ICESCR), 1966. Adopted and opened for signature, ratification and
accession by General Assembly resolution 2200A (XXI) of 16 December 1966.
Entered into force 3 January 1976, according to Article 27.
http://www2.ohchr.org/english/law/cescr.htm

Commission on Economic, Social and Cultural Rights,


1990.
General
Comment
No.3,
para
10.
http://www.unhchr.ch/tbs/doc.nsf/0/94bdbaf59b43a424c
12563ed
0052b664?
Opendocument
4
WHO, 2011, The World Medicines Situation: Selection of
Essential Medicines, Doc. WHO/EMP/MIE/2011.2.8, WHO, Geneva.

6
sedang, maupun tinggi, hampir semua negara menggunakan obat
esensial untuk pengadaan obat publiknya. Sangat menarik bahwa
justru semua (100%) negara dengan tingkat pendapatan tinggi
menggunakan obat esensial untuk pengadaan obat publiknya. Untuk
sektor swasta, datanya masih memprihatinkan karena hanya sekitar
13% negara saja yang mengutamakan obat esensial. Beberapa faktor
penghambat telah diidentifikasi, misalnya masalah geografi, distribusi,
jaminan ketersediaan, jaminan mutu obat, persepsi penyedia
pelayanan kesehatan dan masyarakat, serta komitmen penyelenggara
pelayanan. Untuk mengatasi dan mengantisipasi hambatan tersebut,
diperlukan kerjasama yang baik dari penyedia pelayanan swasta.
Hadirin yang saya muliakan,
Selain masalah akses obat esensial di pelayanan swasta, dunia
juga menghadapi masalah penggunaan antimikroba yang seringkali
tidak sesuai dengan kaidah ilmiah. Penggunaan antimikroba secara
kurang tepat yang dilakukan di masa lalu dampaknya baru dirasakan
bertahun-tahun kemudian, yaitu berkembang pesatnya resistensi
kuman terhadap antimikroba andalan maupun antimikroba yang
terbaru sekalipun. Berkembang pesatnya resistensi kuman juga secara
tidak langsung mengakibatkan lesunya riset pengembangan
antimikroba baru karena investasi yang telah ditanam sulit kembali.
Selain penggunaan obat esensial dan antimikroba, masih banyak
lagi masalah terkait penggunaan obat, seperti penggunaan
kortikosteroid pada anak yang berlebihan, penggunaan psikotropika
yang berlebihan, swamedikasi dengan antimikroba, dan sebagainya.
Masalah-masalah tersebut dapat terjadi di mana saja, baik di negara
dengan tingkat pendapatan rendah, sedang, ataupun tinggi. Karena
latar belakang masalah yang berbeda-beda, upaya pengatasan masalah
seyogyanya juga perlu disesuaikan dengan situasi setempat.
Masalah penggunaan obat di Indonesia
Hadirin yang saya muliakan,
Dibandingkan dengan tahun 1990an, situasi penggunaan obat di
Indonesia sudah berangsur membaik, utamanya di sektor pelayanan

7
publik. Data nasional yang dikompilasi dari berbagai laporan
menunjukkan prosentase pasien yang menerima antibiotika di
Puskesmas berangsur menurun dari 88% di tahun 1987 5 menjadi
sekitar 50% di tahun 1997, 1998, 1999, 2002,6 dan sekitar 50% di
tahun 2010.7 Demikian pula, prosentase pasien yang menerima injeksi
telah berhasil dikendalikan, dari 74% di tahun 1987 turun drastic
menjadi 4-11%,6 dan kemudian bertahan sekitar 3% di tahun 2010. 7
Persentase penggunaan obat esensial selalu baik, yaitu berkisar antara
93-100%.6,7 Perubahan di sektor swasta tidak dapat dilihat secara jelas
karena terbatasnya data yang komprehensif, namun dari berbagai
laporan dapat ditunjukkan bahwa mutu penggunaan obat di fasilitas
pelayanan kesehatan swasta masih perlu ditingkatkan. Persentase
penggunaan obat esensial hanya sekitar 34-49%. Penggunaan obat
non-esensial ini ikut memberikan kontribusi terhadap besarnya biaya
obat, yaitu sekitar 3-5 kali lebih banyak daripada yang seharusnya.6
Dalam upaya meningkatkan mutu penggunaan obat, kita perlu
bersikap kritis. Namun demikian, diperlukan juga kearifan untuk tidak
serta merta menyalahkan penyedia pelayanan kesehatan yang
menggunakan obat secara kurang tepat. Kita perlu memahami bahwa
ada berbagai situasi dan kondisi yang mempengaruhi keputusan
penggunaan obat. Kadang-kadang pengetahuan dan keyakinan
penyedia pelayanan bukanlah faktor yang dominan. Dalam banyak
situasi, faktor-faktor lain dapat sangat berperan, misalnya karena
mengikuti permintaan pasien, memenuhi target pelayanan yang
ditetapkan institusi, tidak tersedianya pedoman pengobatan terkini,
terpengaruh promosi obat, ada kesenjangan informasi, beban tugas
5
Management Sciences for Health, Yayasan Indonesia
Sejahtera, Ministry of Health of Indonesia, 1987. Child Survival Pharmaceuticals in
Indonesia. Opportunities for Therapeutic and Economic Efficiencies in
Pharmaceutical Supply and Use. Final Report.
6
CCPDPS-UGM, 2004. Impact of the Currency
Crisis on Medicine Cost, Availability, and Use of Key Essential
Medicines in Indonesia 1997-2002, Report to the Ministry of Health
of Indonesia. Centre for Clinical Pharmacology and Medicine Policy
Studies, Universitas Gadjah Mada.
7
Anonymous, 2011, Pharmaceutical Country Profile:
Indonesia. WHO/Global Fund, Jakarta.

8
yang menyita waktu, atau tidak tersedianya obat esensial.
Dengan kata lain, ada tiga aspek yang perlu kita cermati, yakni
dari aspek penyedia pelayanan, aspek pasien, dan aspek lingkungan
kerja. Tanpa memahami faktor mana yang dominan, agak sulit bagi
kita untuk melakukan upaya perbaikan secara tepat sasaran, nyaman
bagi target, dan dalam suasana yang menyenangkan.
Masuknya konsep budaya Indonesia dalam jejaring internasional
penggunaan obat rasional
Hadirin yang saya muliakan,
International Network for Rational Use of Drugs (INRUD Jejaring internasional untuk penggunaan obat rasional) dibentuk dan
dilahirkan di Indonesia oleh pemikir Indonesia8 bersama dengan mitra
internasional mereka. Konsep upaya perbaikan penggunaan obat yang
mereka bentangkan sangat sarat dengan budaya Indonesia yang
menekankan musyawarah dan mufakat, dengan menekankan
pentingnya pemahaman terlebih dahulu faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya masalah sebelum melakukan suatu upaya
atau tindakan pengatasan masalah. Dengan demikian, upaya perbaikan
atau intervensi yang dilakukan secara berhati-hati tersebut akan lebih
tepat pada sasaran, dan strategi yang dipilih dapat disesuaikan dengan
pokok permasalahan dan faktor penyebabnya (INRUD, 1990).
Secara ringkas, konsep upaya perbaikan penggunaan obat yang
dirancang oleh INRUD ini terdiri atas empat tahap kegiatan yang
8
Ide pembentukan jejaring internasional untuk
meningkatkan penggunaan obat secara rasional muncul sewaktu Dr.
Budiono Santoso PhD (Universitas Gadjah Mada), Dr. Bimo MPH
(Yayasan Indonesia Sejahtera), bersama dengan Dr. Jonathan Quick
(Management Sciences for Health), dan Dr. Dennis Ross-Degnan
(Harvard Medical School) sedang melakukan kegiatan peningkatan
penggunaan obat rasional di propinsi Sumatera Barat pada tahun 1987.
Ide tersebut disambut baik dan ditindaklanjuti oleh Dr. Hans Hogerzeil
(World Health Organization - Geneva). Peresmian jejaring
berlangsung di Yogyakarta tahun 1989, dengan nama International
Network for Rational Use of Drugs (INRUD).

9
berlangsung
terus
menerus,
membentuk
siklus
yang
berkesinambungan. Tahap pertama adalah Pemeriksaan, tahap kedua
adalah Diagnosis, tahap ketiga adalah Tindakan perbaikan, dan tahap
keempat adalah Evaluasi hasil tindakan. Apabila tindakan perbaikan
tidak memberikan hasil yang memuaskan, perlu dikaji kembali apakah
ada kekurangan dalam tahap Diagnosis atau tahap Tindakan. Konsep
INRUD ini kini telah digunakan di seluruh dunia dan sangat
mempermudah upaya-upaya peningkatan mutu penggunaan obat.
Hadirin yang saya muliakan,
Perlu digarisbawahi bahwa inspirasi budaya Indonesia sangat
kental mewarnai pengembangan teknik-teknik pengukuran perilaku
yang digunakan dalam tahap Diagnosis. Telah kita ketahui bersama,
sikap segan dan tidak tega berterus terang (Jw: sungkan, rikuhpakewuh) untuk menyampaikan hal yang sebenarnya adalah suatu
kebiasaan yang telah melekat pada diri kita, dan merupakan ciri khas
budaya kita. Memahami hal tersebut, tahap Diagnosis ini dipersiapkan
sebagai proses untuk memahami mengapa seseorang memutuskan
untuk melakukan sesuatu. Teknik penggalian informasinya tentu saja
harus dengan cara yang baik, nyaman, sopan, serta jauh dari cara-cara
interogatif apalagi supresif.
Pada tahun 1990, seorang pakar ilmu perilaku Indonesia
memimpin suatu tim kecil INRUD yang berasal dari berbagai negara 9
untuk mengadaptasi, mengujicoba, dan membuat pedoman teknik
wawancara, observasi, diskusi kelompok kecil, dan kunjungan
simulasi untuk kebutuhan diagnosis tersebut. Walaupun teknik-teknik
kualitatif ini sudah lama dikenal, namun pedoman yang
dikembangkan oleh kelompok ini sangat khas karena memasukkan
berbagai aspek psikologi, sosial, dan antropologi kedalam
instrumennya. Pada waktu pedoman ini diuji coba di lingkungan
Dinas Kesehatan Kabupaten Gunungkidul dengan koordinasi oleh
9
Qualitative Group of INRUD, terdiri atas Prof.
Johana Prawitasari (Indonesia-koordinator), Prof. Bosede F. Iyun +
(Nigeria), Dr. Daniel K. Arhinful (Ghana), Prof. Ananda M. Das
(Bangladesh), Dr. Dennis Ross-Degnan dan Dr. Kris Heggenhougen
(USA), Prof. Nick Higinbottam (Australia)

10
Kepala Dinas Kesehatan setempat,10 dengan mudahnya teknik ini
diadopsi dan dinikmati oleh fasilitator maupun para penyedia
pelayanan kesehatan yang menjadi target kegiatan, karena dirasakan
sebagai teknik yang memanusiakan manusia (Jw: nguwongke).

Konsep budaya Indonesia dalam model peningkatan mutu


penggunaan obat
Diyakini banyak hasil karya anak bangsa yang telah berhasil
mendunia karena kekhasannya dari Indonesia. Tanpa mengurangi rasa
hormat kepada para Sejawat tersebut, berikut ini dipaparkan tiga
model upaya perbaikan mutu penggunaan obat yang dikembangkan di
Indonesia dan kemudian berhasil menarik perhatian dunia, diadopsi
oleh banyak negara dan digunakan dalam program nasional mereka.
CBIA (Cara Belajar Ibu Aktif, Community-Based Interactive Approach)

CBIA adalah nama yang diberikan pada suatu metode


pemberdayaan masyarakat yang dikembangkan dan diujicoba pada
tahun 1993. Metode ini bertujuan meningkatkan kemampuan
masyarakat agar dapat menelaah informasi secara kritis dan mandiri
dalam mencari informasi obat, sehingga swamedikasi menjadi lebih
aman dan efisien. Kekhasan metode ini adalah dengan memanfaatkan
paguyuban yang begitu banyak di masyarakat Indonesia, sehingga di
mana saja kita bisa menemukan kelompok arisan, perkumpulan
keagamaan, kelompok PKK, Dharmawanita, karang taruna, remaja
masjid, dan bahkan kelompok ronda. Forum-forum sosial semacam ini
bisa menjadi media yang sangat bagus untuk melakukan berbagai
kegiatan pemberdayaan masyarakat.
Metode CBIA diujicoba kemanfaatannya dengan bekerjasama
dengan Dharmawanita Dinas Purbakala Jawa Tengah di Prambanan.
Desain penelitian adalah randomized controlled trial, dibandingkan
10
Dr. H.Sunartono, M.Kes., kini Sekretaris
Daerah Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman

11
dengan seminar konvensional dan tanpa perlakuan. Hasil uji coba
menunjukkan bahwa CBIA efektif meningkatkan kemampuan
responden memilih obat, dan membuat belanja obat lebih efisien. Skor
pengetahuan kelompok CBIA meningkat dari 4,9+0,3 menjadi 8,3+0,2
(P<0,001, skor maksimum 10), sedangkan pada kelompok Seminar
meningkat dari 4,5+0,6 menjadi 6,4+0,3 (P<0,05). Jumlah nama
dagang obat yang dikonsumsi keluarga dalam satu bulan menurun
drastis pada kelompok CBIA (dari 5,3+0,3 menjadi 1,5+0,3, P<0,001),
sedangkan di kelompok Seminar relatif tidak terjadi penurunan.
Kelompok yang tidak menerima CBIA maupun Seminar tidak
menunjukkan perubahan dalam skor pengetahuan maupun belanja
obat. Hasil ujicoba ini menunjukkan bahwa CBIA tidak hanya
meningkatkan pengetahuan, namun juga mengubah perilaku belanja
obat secara lebih selektif dengan mempertimbangkan bahan aktifnya.
CBIA ternyata kemudian sangat diminati dan digunakan dalam
berbagai kegiatan pengabdian masyarakat baik di instansi pemerintah
maupun non-pemerintah. Dari umpan balik yang diterima, ternyata
CBIA juga dapat digunakan untuk semua kalangan, berbagai tingkat
pendidikan, usia, gender, maupun latar belakang sosial ekonomi. Jadi
tidak sebatas di kalangan ibu-ibu saja. Karena fleksibilitas tersebut,
maka Yayasan Kanker Indonesia Cabang Yogyakarta kemudian
menyarankan agar kepanjangan CBIA diganti menjadi Cara Belajar
Insan Aktif.
Kepopuleran CBIA menarik perhatian internasional sehingga
WHO meminta pengalaman implementasi CBIA tersebut ditulis dalam
bulletin WHO Essential Drugs Monitor (Suryawati, 2003). Sebagai
dampak dari publikasi ini, banyak negara yang berminat
menggunakan CBIA dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Di
Mongolia, CBIA digunakan dalam program pemberdayaan
masyarakat berbasis rumahsakit di semua rumah sakit rujukan di 15
provinsi. CBIA juga dikembangkan sebagai program pendidikan anak
sekolah, dan diformalkan dalam bentuk kerjasama antara kementrian
kesehatan dan kementrian pendidikan Mongolia. Di Filipina, CBIA
digunakan dalam penguatan masyarakat untuk meningkatkan
penggunaan obat generik dalam program Botica ng Barangai. Suatu
lembaga swadaya masyarakat di Davao, Filipina Selatan mengusulkan
agar kepanjangan CBIA dibuat bahasa Inggrisnya, yaitu Community-

12
Based Interactive Approach. Dalam program nasional pemberdayaan
masyarakat untuk meningkatkan penggunaan obat rasional,
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia juga menggunakan metode
ini (Direktorat Bina POR, 2008), sehingga kini CBIA menjadi agenda
pemerintah daerah di 33 propinsi. Pengalaman dalam proses
implementasi CBIA ini dikompilasi dalam bentuk buku CBIA: a
Community-Based Interactive Approach towards safe, effective, and
less-costly self-medication (Suryawati, 2010).
Dalam perjalanannya, CBIA juga menginspirasi banyak
Sejawat mengadaptasi metode tersebut untuk berbagai tujuan lain,
misalnya untuk meningkatkan ketaatan pasien terhadap pengobatan
tuberkulosis paru (Susantini, 2006), meningkatkan ketaatan
penyandang diabetes mellitus terhadap program pengobatan (Hartayu
dkk, 2011), meningkatkan ketrampilan memilih obat flu bagi ibu
hamil (Hidayati dkk., 2011), dan meningkatkan pemahaman risiko
swamedikasi dengan antibiotika (Rossetyowati, 2012).
IGD (Interactional Group Discussion)
Interactional Group Discussion, disingkat IGD, dikembangkan
pada tahun 1992 dan dipublikasikan di jurnal internasional terkemuka
(Hadiyono dkk., 1996). Konsepnya adalah mengembangkan suatu
forum diskusi yang melibatkan kelompok yang telah diketahui
berbeda pendapat, agar kelompok tersebut kemudian saling
berargumentasi untuk mencari kebenaran informasi dan selanjutnya
membuat konsensus untuk upaya perbaikan. Ide IGD ini pada waktu
itu disangsikan keberhasilannya oleh para pakar perilaku
internasional, karena dianggap tidak lazim dan nabrak pakem teori
intervensi untuk perubahan perilaku, yang beranggapan bahwa
kelompok yang berbeda pendapat tidak boleh diadu.
Pada waktu diujicoba, ternyata kekhawatiran itu tidak terbukti.
Para responden yang terdiri atas dokter, perawat, bidan, juru suntik,
dan kelompok masyarakat justru sangat antusias mengikuti diskusi. Di
antara peserta diskusi banyak saling melakukan koreksi dalam suasana
nyaman, santai, dan cenderung ger-geran. Suasana seperti ini tidak
mungkin terjadi kalau konsep metodenya nabrak pakem. Kita
semua sangat faham bahwa musyawarah dan mufakat, ana rembug

13
dirembug adalah prinsip budaya Indonesia yang secara tak terasa
sudah melekat dalam kehidupan kita sehari-hari. Untuk hal-hal yang
kontroversial sekalipun, ternyata kita dapat mendiskusikannya dengan
baik.
Data uji coba menunjukkan bahwa di 12 Puskesmas yang
mengikuti IGD, prosentase pasien yang menerima injeksi berkurang
drastis dari sekitar 69,5% menjadi 42,3% hanya dalam waktu tiga
bulan. Penurunan ini berbeda bermakna dibandingkan dengan
penurunan yang ditunjukkan 12 Puskesmas yang tidak menjalani IGD,
yaitu dari 75,6% menjadi 67,1%. Penurunan jumlah rata-rata obat
perpasien memperkuat hasil ujicoba, bahwa injeksi yang tidak
diberikan tersebut tidak diganti dengan obat lain.
Hasil studi ini menarik minat para pakar internasional sehingga
diminta untuk dipublikasi dalam jurnal terkemuka Social Science in
Medicine (Hadiyono dkk, 1996). Publikasi penelitian ini mendapat
sambutan yang hangat, karena sasaran uji coba adalah penggunaan
injeksi yang berlebihan, yang pada saat itu merupakan masalah
penggunaan obat paling serius karena penyebaran penyakit hepatitis
dan HIV. Hasil penelitian juga membawa harapan baru bagi para
penyelenggara pelayanan kesehatan, bahwa ternyata penggunaan
injeksi dapat diturunkan, sesuatu yang selama ini dirasakan mustahil.
Dalam waktu singkat, publikasi tersebut menjadi artikel terbanyak
yang disitir di lingkungan jejaring internasional penggunaan obat
rasional. Pemerintah Indonesia juga sangat cepat menangkap peluang
upaya perbaikan ini, sehingga dalam waktu singkat penggunaan
injeksi yang tak diperlukan menurun drastis di semua Puskesmas di
Indonesia.
Di Kabupaten Gunungkidul, manfaat IGD dalam menurunkan
penggunaan injeksi kemudian ditindaklanjuti oleh Dinas Kesehatan
setempat sehingga dalam waktu dua tahun penggunaan injeksi yang
berlebihan berhasil dikurangi. Pengalaman ini dipublikasi di jurnal
WHO, dan terkenal dengan sebutan The Gunungkidul Experience
(Sunartono & Darminto, 1995). Data yang disajikan dalam artikel
tersebut menunjukkan bahwa setelah hasil IGD disosialisasikan,
semua Puskesmas sepakat menurunkan injeksi yang tidak diperlukan,
dan berhasil menurunkan lebih lanjut menjadi sekitar 20% dalam
kurun waktu dua tahun.

14
Karena keberhasilan tersebut, Safe Injection Global Network
(SIGN), suatu konsorsium internasional untuk mengurangi
penggunaan injeksi yang berlebihan, mengadopsi teknik IGD untuk
program-programnya di berbagai negara di Asia dan Afrika.
Hadirin yang saya muliakan,
MTP (Monitoring-Training-Planning)
Monitoring-Training-Planning adalah suatu model diskusi
terstruktur yang dikembangkan untuk menyelesaikan masalah
penggunaan obat di instutusi pelayanan kesehatan. Idenya berasal dari
metode pembelajaran orang dewasa (adult learning) yang digunakan
oleh Management Sciences for Health dalam program perbaikan
manajemen obat di Bangladesh. MTP yang dikembangkan di
Universitas Gadjah Mada ini konsepnya dimodifikasi dengan
memasukkan filosofi Jawa. Yaitu bahwa setiap upaya perbaikan perlu
selalu mempertimbangkan bagaimana yang betul, bagaimana yang
nyaman, dan bagaimana yang baik (Jw: kepiye benere, kepiye penake,
kepiye apike).
Interpretasi dari filosofi ini adalah sebagai berikut. Setiap upaya
penyelesaian masalah perlu dilandasi dengan pertimbangan ilmiah
(kepiye benere), dengan memahami interaksi sosial di antara penyedia
pelayanan kesehatan dan pasien (kepiye penake), dan dapat difasilitasi
dalam sistem manajerial institusi pelayanan kesehatan (kepiye apike).
Artinya dalam mencari solusi untuk mengatasi masalah penggunaan
obat perlu dipertimbangkan berbagai faktor penyebab yang berasal
dari ketiga aspek tersebut, yaitu aspek penyedia pelayanan kesehatan,
pasien, dan lingkungan kerja institusi pelayanan.
Diskusi MTP dapat menjadi pilihan untuk mengisi pertemuan
rutin di institusi pelayanan kesehatan. Komponen diskusinya terdiri
atas tiga tahap yaitu tahap Monitoring (M), tahap Training (T), dan
tahap Planning (P). Tahap M adalah diskusi tentang seberapa besar
masalah yang dihadapi, dengan menggunakan indikator penggunaan
obat. Tahap T adalah diskusi untuk memahami mengapa terjadi
masalah dan bagaimana sebaiknya cara mengatasinya secara bersama,
sedangkan tahap P adalah pembahasan rencana langkah perbaikan,
siapa yang melakukan, dan menentukan target perbaikan. Lama

15
diskusi perlu dibatasi tidak lebih dari dua jam agar pelayanan tidak
terganggu. Pada pertemuan rutin berikutnya, hasil pemantauan
dipresentasikan (M), kemudian dibahas (T), dan direncanakan
eksekusinya (P). Demikian seterusnya sehingga kegiatannya
menyerupai alur spiral. Dalam kurun waktu 3-4 pertemuan rutin,
masalah diharapkan sudah dapat diatasi.
MTP diujicoba dengan bekerjasama dengan rumahsakit
pemerintah dan swasta di Yogyakarta dan Semarang. Hasil ujicoba
dipresentasikan dalam konferensi internasional Farmakologi Klinik di
Florence (Suryawati dkk., 2000), dan menarik perhatian forum.
Beberapa negara seperti Lao dan Cambodia langsung menyatakan
minat untuk mengimplementasikan MTP dalam program nasional
mereka. Pengalaman implementasi kedua negara tersebut
dipresentasikan dalam Konferensi Internasional ICIUM tahun 2004 di
Chiangmai (Srun, 2004; Sisounthone, 2004), dan menyedot perhatian
peserta konferensi. Konsep MTP didiskusikan secara intensif, dan
disepakati sebagai salah satu strategi pilihan yang direkomendasikan
oleh konferensi tersebut untuk meningkatkan mutu penggunaan obat.11
Dalam perjalanan selanjutnya, MTP kemudian digunakan oleh
Mongolia (Ministry of Health of Mongolia, 2008), PR China
(INRUD/China/Zhuhai, 2007), dan Bangladesh (Chowdhury dkk,
2007) dalam program nasional peningkatan mutu penggunaan obat di
rumahsakit rujukan. Implementasi MTP di negara-negara tersebut
dapat terlaksana karena difasilitasi oleh pemerintah negara yang
bersangkutan, World Health Organization, dan para donor
internasional. Pengalaman implementasi MTP di berbagai negara ini
telah dipublikasi oleh mitra kerja, dan proses implementasinya
dikompilasi dalam buku berjudul MTP: Quality improvement
management cycle for better medicine use in hospital (Suryawati,
2009).

11

ICIUM, 2004 Policies and Programmes to Improve Use


of
Medicines:
Recommendation.
Tersedia
di:
http://archives.who.int/icium/icium2004/ recommendations.html

16
Kearifan budaya Indonesia modal kuat untuk go international
Hadirin yang saya muliakan,
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, budaya adalah hasil
pikiran atau akal budi, juga berarti adat istiadat, atau sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan dan sulit diubah. Arif adalah bijaksana,
cerdik, pandai, berilmu. Arif juga berarti paham atau mengerti.
Dengan demikian, kearifan budaya Indonesia adalah kebiasaankebiasaan baik kita, untuk memahami dan mengerti berbagai
fenomena, kejadian, atau masalah dalam kehidupan, sehingga kita
dapat melihat segala sesuatunya dari berbagai aspek, tidak subjektif,
dan juga tidak menghakimi. Kebiasaan baik itu membuat kita lebih
mudah memetakan suatu masalah, memahami mengapa terjadi
masalah, agar kemudian dapat mengupayakan solusinya secara
berhati-hati, selektif dan fokus pada sumber permasalahan. Sudut
pandang seperti itu ternyata merupakan modal kuat dalam kiprah kita
di dunia global. Pengenalan konsep-konsep budaya Indonesia dalam
diskusi dan sumbang saran di forum internasional menunjukkan ciri
khas kita sebagai orang Indonesia. Dari pemaparan sebelumnya,
kearifan tersebut ternyata dapat menginspirasi munculnya solusi untuk
berbagai masalah penggunaan obat di skala global.
Contoh lain masih banyak tersedia. Munawaroh (Munawaroh
dkk., 2001) dalam studinya untuk meningkatkan kerasionalan
penggunaan obat pada pasien anak menempatkan penyedia kesehatan
yang paling disegani di posisi narasumber, hasilnya sangat baik
walaupun penyedia senior tidak selalu mendukung. Keputusan ini
sangat dimotivasi oleh adat Jawa nglungguhake wong atuwa.
Dengan sendirinya seseorang yang ditempatkan di posisi tinggi akan
lebih berhati-hati menentukan sikap karena posisinya.
Menengok ke bidang lain, kita mengetahui bahwa walikota Solo
mendapat penghargaan sebagai walikota terbaik. Salah satu
penyebabnya adalah dalam menjalankan tugasnya, yang bersangkutan
menggunakan pemahamannya terhadap adat istiadat dan budaya
masyarakat. Dari Jogjakarta, kita belajar dari proses pembangunan
jalan layang Pengok yang tanpa ribut-ribut, karena Kepala Dinas
Pekerjaan Umum pada saat itu menggunakan cara-cara pendekatan
yang sesuai dengan adat kebiasaan setempat, termasuk untuk

17
memahami mengapa pemilik lahan yang telah sepakat secara
administratif tidak segera pindah dari lokasi. Ternyata penyebabnya
sangat sederhan. Warga mempunyai cara penilaian yang berbeda.
Mereka belum melihat tumpukan material dan pekerja, suatu petanda
yang mereka pahami sebagai kegiatan pembangunan jalan layang.
Jadi, model-model penggusuran penduduk dan pedagang yang kurang
manusiawi memang seharusnya dihindari. Menggunakan cara-cara
atau pendekatan yang sejalan dengan nafas kehidupan dan budaya
masyarakat setempat tentu lebih mudah diterima.

Penutup
Hadirin yang saya muliakan,
Dengan contoh-contoh model pendekatan yang telah dipaparkan
di atas, saya ingin menyampaikan bahwa konsep-konsep kearifan
budaya Indonesia perlu kita perhatikan kembali, kita hidupkan
kembali, kita lestarikan terus, agar kita mampu berkiprah di dunia
global sebagai bangsa Indonesia. Jangan sampai kita pergi ke luar
negeri untuk mempelajari budaya Indonesia dan kemudian
mengimportnya ke Indonesia. Jangan sampai mahasiswa Indonesia
kuliah di luar negeri untuk belajar The Gunungkidul Experience.
Contoh-contoh yang saya paparkan dalam pidato ini agak terbatas
pada budaya Jawa, lingkungan yang melahirkan dan menumbuhkan
saya. Namun saya yakin sangat banyak contoh-contoh lain yang dapat
kita gali dari budaya-budaya di Indonesia. Marilah kita menjadi
pejuang bagi negeri tercinta ini. Pejuang bukan hanya seseorang yang
berjasa membawa sesuatu kepada kita, tetapi juga seseorang yang
dapat menyadarkan kita bahwa kita mempunyai budaya yang
membanggakan. Pengalaman yang telah dipaparkan di depan
menunjukkan bahwa minat masyarakat global sangat besar untuk
belajar dan mengadopsi metode-metode yang kita kembangkan, sejauh
kita mampu meramu dalam format ilmiah yang logis. Saya meyakini
bahwa Indonesia sangat pantas menjadi sumber belajar dunia.

18
Dalam kesempatan ini saya ingin mengajak generasi muda,
adik-adikku, anak-anakku yang saat ini sedang mencari jatidiri,
berusaha dengan penuh semangat memperoleh posisi nyaman dalam
pergaulan nasional maupun internasional. Jati itu ternyata adanya di
dalam diri kita sendiri. Jadilah orang Indonesia dengan segala ciri
khas budayanya, dan bersikaplah orisinil. Yang orisinil ternyata jauh
lebih menarik daripada yang polesan. Sebelum berangkat ke luar
negeri, sebaiknya dipahami terlebih dahulu kearifan budaya dan hasilhasil karya anak bangsa, agar kita makin berbangga dan dengan penuh
percaya diri memposisikan diri di percaturan global.

Ucapan terimakasih
Hadirin yang sangat saya muliakan,
Di penghujung pidato ini, perkenankanlah saya mengucap
terimakasih kepada para sahabat yang telah bekerja dalam suka dan
duka selama lebih dari 25 tahun, yaitu dr. Rustamaji, M.Kes., Ibu Tina
Fariana, SE, Bp Supono, dan Bp Slamet Haryono, juga kepada seniorsenior saya di Farklin dr. Budiono Santoso, PhD dan dr. H. Sulanto
Saleh-Danu, Sp.FK. Kepada para sahabat yang telah berjuang
bersama-sama di bidang kebijakan dan manajemen obat, baik di
PSFKKO, MKO, maupun di Divisi Kebijakan Obat, saya
mengucapkan terimakasih. Ucapan terimakasih disampaikan kepada
Sejawat di Bagian Farmakologi dan Terapi FK-UGM, dan kepada
Prof. Dr. Rianto Setiabudi SpFK dan Prof. Dr. MT Kamaluddin SpFK
yang telah merekomendasikan pengangkatan gurubesar saya. Kepada
para senior di IKAFI saya mengucapkan terima kasih.
Kepada para pinisepuh, sesepuh, pembimbing tesis, guru, dan
senior saya, utamanya yang telah berkenan hadir dalam rapat terbuka
ini, terimakasih atas semua keteladanan, bimbingan, dan pembelajaran
yang telah diberikan. Bp Adjum beserta teman-teman sangat saya
hargai untuk dedikasinya yang tanpa putus memperlancar kenaikan
pangkat kita semua.

19
Hadirin yang saya muliakan,
Perkenankanlah saya memanjatkan doa bagi para mentor yang
telah mendahului kita. Alm. Prof Ahmad Muhammad Djojosugito dan
almh. Prof Sumiati Ahmad, pendiri Komisi Penelitian FK-UGM,
menjadi pemicu semangat saya sebagai dosen muda sewaktu tahun
1986 memilih artikel saya sebagai publikasi terbaik. Almarhum Prof.
Sardjoko dan Prof. Moh Makin Ibnu Hadjar sebagai promotor S3
selalu mendorong saya untuk mempresentasikan setiap potong hasil
penelitian saya. Beliau meyakini proses pematangan emosi seorang
kandidat doktor bukanlah di laboratorium, namun di forum-forum
ilmiah internasional. Alm. Dr. Imono Argo Donatus adalah sahabat
saya, kami bersama-sama mencari jatidiri, bersama-sama menempuh
program doktor, sepakat menunda keinginan jadi professor, dan
kemudian sepakat merevisi keinginan itu beberapa tahun kemudian.
Namun Tuhan lebih sayang kepada almarhum. Dalam ketenangannya
di alam sana, saya dapat merasakan dia tertawa riang dengan gayanya
yang khas.
Ilmu yang saya peroleh di ruang-ruang kuliah jelas tidak cukup
untuk menjalani kehidupan nyata. Justru dari para mitra kerja, melalui
interaksi positif selama ini saya memperoleh pengayaan untuk
mengamalkan ilmu. Pengetahuan tanpa disertai pengembangan emosi
juga akan sulit diaplikasikan. Saya juga bersyukur selalu berada di
lingkungan yang suportif, terutama dari sahabat di Angkatan 1970
SMA Negeri I Teladan Yogyakarta dan Angkatan 1973 Fakultas
Farmasi UGM.
Dukungan keluarga sangat bermakna. Anak-anak saya
Aditya+Amy, Bagus+Siska, Nia dan Eka, terima kasih atas
kebersamaan dalam suka dan duka. Sungkem untuk Ibunda Hj. Sri
Sundari dan alm. Ayahanda R. Suyud Pringgodiharjo, sebagai
kepanjangan tangan Allah swt untuk mengarahkan jalan hidup saya.
Almh. Dr. Hj. Kusumastuti dan dr. H. Bambang Suryatmojo, Sp.S.,
dengan kedua beliau ini saya sering mendiskusikan berbagai pilihan
untuk mewujudkan mimpi-mimpi saya. Adik-adik, pakde, bude,
paklik, bulik, dan saudaraku sekalian, terimakasih atas dukungannya.
Butir-butir pemikiran untuk pidato ini kami diskusikan dengan
dr. Rustamaji, M.Kes. dan dr. Setyo Purwono, Sp.PD. Terimakasih
kepada Prof. dr Ngatidjan, MSc., Sp.FK(K), Prof. dr. Iwan

20
Dwiprahasto, M.Med.Sci, PhD., Prof. Dr. Dra. Mae Sri Hartati Apt.,
Prof. Johana Prawitasari PhD, dan Ibunda Hj. Sri Sundari yang telah
memberikan masukan bermakna terhadap manuskrip pidato ini.
Hadirin yang sangat saya muliakan,
Di akhir kata, sekiranya ada tutur kata yang kurang berkenan di
hati, saya mohon maaf yang sebesar-besarnya. Terima kasih atas
kesabarannya mendengarkan pidato ini. Semoga kita semua selalu
dalam tuntunan dan petunjuk Allah swt.
Wassalaamu alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

21
DAFTAR PUSTAKA
Chowdhury AKA, Sayedur-Rahman M, Faroque ABM, 2007.
Studying and implementing the Monitoring-Training-Planning
strategy to ensure the rational use of injections in the hospitals
of the Upazila Health Complexes of Bangladesh. Safe Injection
Global Network (SIGN) Annual Meeting Report, WHO Geneva.
Direktorat Bina POR, 2008. Modul II. Materi Pelatihan Peningkatan
Pengetahuan dan Ketrampilan Memilih Obat Bagi Kader.
Direktorat Jenderal Binfar dan Alkes, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta.
Hadiyono JEP, Suryawati S, Danu SS, Sunartono, Santoso B, 1996,
Interactional group discussion: Results of a controlled trial using
a behavioral intervention to reduce the use of injections in
public health facilities. Soc. Sci. Med. 42(8): 1177-83
Hartayu TS, Rustamaji A, Nurita P, Suryawati S, 2011. Improving
diabetic patients adherence to treatment program by using
CBIA-DM strategy in hospital-based patient community.
Abstract Book, 3rd International Conference on Improving Use
of Medicines. November 14-18, Antalya (Turkey).
Hidayati S, Hartayu TS, Munawaroh S, Suryawati S, 2011. CBIAPregnancy to improve skills of pregnant mothers in selecting
OTC common cold preparations. Abstract Book, 3rd
International Conference on Improving Use of Medicines
(ICIUM). November 14-18, Antalya (Turkey).
INRUD/China/Zhuhai, 2007. Report, Effect Analysis on Rational Use
of Drug for Single Disease by Using The MTP Approach in 6
hospitals from ZH area. http://www.wpro.who.int/entity/
health_technology/documents/effect_analysis_on_use_of_drug/e
n/index.html
Ministry of Health of Mongolia, 2008. Report of Workshop on
Evaluation of MTP and CBIA Intervention to Improve Rational
Use of Medicines in the Community and Hospital. Ministry of
Health, Ulaan Baatar.
Munawaroh S, Sunartono, Suryawati S, 2001, Upaya menurunkan
penggunaan antibiotika pada pengobatan ISPA melalui diskusi
kelompok kecil paramedis puskesmas di Kabupaten Bantul.

22
Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan: 4(2): 111-119
Rossetyowati DA, Sunarsih IM, Rustamaji, 2012. Meningkatkan
pengetahuan, sikap, dan perilaku penggunaan antibiotika dengan
metode CBIA di Kabupaten Jember. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan: in press
Sisounthone B, 2004, Using Monitoring-Training-Planning (MTP) to
Reduce Irrational Use of Drugs in Hospitals in Lao PDR.
Abstract Book, 2nd International Conference on Improving the
Use of Medicines (ICIUM), Chiangmai.
Srun S, 2004 Cambodia Experience: Monitoring-Training-Planning
(MTP) to Reduce Inappropriate Medicine Use in Hospitals.
Abstract Book, 2nd International Conference on Improving the
Use of Medicines (ICIUM), Chiangmai.
Sunartono & Darminto, 1995 (salah cetak Santoso B), From research
to action: The Gunungkidul Experience. Essential Drugs
Monitor 20:21-22
Suryawati S, 2003. CBIA: improving the quality of self-medication
through mothers active learning. Essential Drugs Monitor,
32:22-23
Suryawati S, 2004, The MTP Approach is Effective in Reducing
Inappropriate Medicines Use in Hospitals. Abstract Book,
International Conference on Improving the Use of Medicines
(ICIUM), Chiangmai.
Suryawati, 2009, MTP: Quality improvement management cycle for
better medicine use in hospital. Yayasan Melati Nusantara,
Yogyakarta. ISBN: 978-602-95936-2-4
Suryawati S, 2010, CBIA: a Community-Based Interactive Approach
towards safe, effective, and less-costly self-medication. Yayasan
Melati Nusantara, Yogyakarta. ISBN: 978-602-95936-1-7
Suryawati S & Setiyawati E, Saleh-Danu S, Wibowo S, Santoso B,
2000. Indicator-based monitoring strategies to improve drug use
in health facilities. Presented at International Conference on
Clinical Pharmacology and Therapeutics, Florence, July 2000.
Susantini A, 2006. Ketaatan minum obat pada penderita TB paru
dengan metode Cara Belajar Ibu Aktif (CBIA) di kota
Yogyakarta. Tesis S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

23
BIODATA
Kualifikasi:
Lahir 27 Mei 1955, warganegara Indonesia.
Apoteker (UGM, 1979), Spesialis Farmakologi
(UGM, 1985), Doktor (UGM, 1994), Sertifikat
Medicine Policy Issues in Developing Countries
(Boston University School of Medicine/School of
Public Health, 1997).
Keluarga:
Ibu/ayah:
Hj. Sri Sundari/Alm. H.R. Suyud Pringgodiharjo
Anak/menantu: Aditya Ari Wibowo, SE,MM/Dewi Utami Larasati,
ST.MM, Bagus Susetyo Nugroho/Dwi Fransiska
Dewi, SH, Drh. Kurnia, Eka Datu Febrianto
Cucu
: Kayra, Nayla, Reysha, Aletha, Queensha, Leon.
Alamat kontak:
Divisi Kebijakan dan Manajemen Obat, Bagian Farmakologi dan
Terapi, Fakultas Kedokteran UGM. Hp: 0813-28434959, email
suryawati.farklin@gmail.com, website www.suryawati.com
Jabatan di Universitas Gadjah Mada:
Pengelola S2-Minat Manajemen & Kebijakan Obat FK, sejak 1996.
Ketua Divisi Pengembangan Ilmu Manajemen dan Kebijakan Obat.
Bagian Farmakologi dan Terapi FK-UGM, 2009-sekarang
Peneliti pada Pusat Studi Farmakologi Klinik dan Kebijakan 1996sekarang, Kepala (2001-2003)
Kontribusi kepada Pemerintah RI:
Mitra Badan POM dan Ditjen Binfar Kementrian Kesehatan RI
dalam peningkatan kapasitas staf, penyusunan kebijakan strategis
dan teknis, evaluasi implementasi Kebijakan Obat Nasional,
evaluasi Transparansi Penyelenggaraan Farmasetika di Sektor
Publik, penyusunan Phamaceutical Country Profile dan
Pharmaceuticals dan Health Product Management Country Profile
untuk program vertikal (TB, HIV/AIDS, Malaria).

24
Jabatan dan pengalaman internasional:
Dewan Pengawas Narkotika Internasional PBB 2007-2012, Vice
President/Chair of Standing Committee of Estimates, Chair Joint
Expert Group WHO/INCB, menghasilkan 2 dokumen resmi INCB:
Availability of internationally controlled substances for medical
purposes (2011), dan Guide on estimating requirements for
substances under international control (2012)
Dewan Penasehat WHO (WHO Advisory Panel, Geneva) di bidang
Medicine Policy and Management sejak 1999-sekarang
Executive Board, International Network for Rational Use of Drugs
(INRUD) sejak 2005-sekarang
Global Advisory Group, Good Governance in Medicines (20062010)
WHO Expert Committee, Selection and Use of Essential Medicines
(2002, 2003, 2005, 2007), WHO Expert Committee, Medicines
Causing Dependency (2002, 2006)
Tim Penyusun UN Millennium Development Goal Task Force 5:
Access to Essential Medicines (2001-2005).
Konsultan internasional terkait kebijakan obat di berbagai Negara,
meliputi Bangladesh (2006-2007), Cambodia (2001-2008), China
(2003, 2006-2008), Fiji (2009), Lao PDR (2001-2003), Mongolia
(2006-2008), Philippines (2006-2007), Vietnam (2003).
Plenary speaker pertemuan ilmiah internasional 3 tahun terakhir:
Symposium on Consumer Empowerment and Health Literacy,
Asia-Pasific Conference on National Medicine Policy. Sydney,
May 2012.
Workshop on Improving Access of Opioid Analgesics in Palliative
Care in Latin American Countries, Lima, March 2010
4th Asian Conference in Pharmacoepidemiology, Taiwan, Oct 2009
Publikasi dalam peer-reviewed journals 3 tahun terakhir:
Higuchi M, Okumura J, Aoyama A, Suryawati S, Porter J, 2012. Use
of Medicines and Adherence to Standard Treatment Guidelines
in Rural Community Health Centers, Timor-Leste. Asia-Pacific
Journal of Public Health XX(X) 114

25
Widayati A, Suryawati S, de Crespigny C, Hiller JE, 2011, Self
medication with antibiotics in Yogyakarta City Indonesia: a
cross sectional population-based survey. BMC Research Notes
4:491-8
Higuchi M, Okumura J, Aoyama A, Suryawati S, Porter J, 2011,
Application of standard treatment guidelines in rural community
health centres, Timor-Leste. Health Policy and Planning 1-9
Suryawati S, 2011, Improving access to narcotic analgesics: the
international control system and options for quantification
method. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan, 14(1):3-10
Wiedyaningsih C, Priyatni N, Munawaroh S, Suryawati S, 2011.
CEMA-community to improve knowledge and skills in
evaluating medicine advertisements. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 14(1):20-7
Suryawati S, 2010, Measuring transparency to improve good
governance of pharmaceuticals in Indonesia. Jurnal Manajemen
Pelayanan Kesehatan, 13(1):9-15
Buku dalam 3 tahun terakhir:
Penulis, 2010, CBIA: a Community-Based Interactive Approach
towards safe, effective, and less-costly self-medication. Yayasan
Melati Nusantara, Yogyakarta. ISBN: 978-602-95936-1-7
Penulis, 2009, MTP: Quality improvement management cycle for
better medicine use in hospital. Yayasan Melati Nusantara,
Yogyakarta.
Penulis, 2009, Rifampisin: Profil farmakokinetika pada orang
Indonesia, pengaruh dosis, penyakit, status gizi, usia, dan
interaksi. Yayasan Melati Nusantara, Yogyakarta.
Penghargaan:
2007 Piagam Tanda Kehormatan Satyalancana Karya Satya 20
tahun, Presiden Republik Indonesia
2005 Piagam Penghargaan Kesetiaan 25 tahun, Rektor Universitas
Gadjah Mada.
2000 Piagam penghargaan Manajemen Kepemimpinan Wanita,
Menteri Peranan Wanita Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai