1. ETIKA DEONTOLOGI
tindakan itu, melainkan berdasarkan tindakan itu sendiri adalah baik untuk
dirinya sendiri. Melakukan perbuatan baik adalah suatu keharusan, orang
sering menyebutnya sebagai suatu kewajiban. Keyakinan untuk melakukan
yang baik dan dilakukan dengan sendirinya demi hubungan baik dan buruk
dapat mengelakkan perilaku buruk. Hal ini sudah demikian dalamnya
tertanam pada hati manusia, yang merupakan manifestasi dari sebuah
kesadaran etis manusia. Dengan kata lain, suatu tindakan itu bernilai moral
karena tindakan itu dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang
harus dillaksanakan terlepas dari tujuan atau akibat dari tindakan itu.
Atas dasar tersebut, Etika Deontologi sangat menekankan motivasi,
kemauan baik dan watak yang kuat dari pelakunya. Sebagaimana
diungkapkan seorang seorang pakar etika bernama Immanuel Kant ( 1734
1804 ), kemauan baik harus dinilai baik pada dirinya sendiri terlepas dari
apapun juga. Oleh karena itu, di dalam menilai seluruh tindakan kita,
kemauan baik harus selalu dinilai paling pertama dan menjadi kondisi
dari segalanya.
2. ETIKA TELEOLOGI
Teleologis, dalam bahasa Yunani artinya tujuan. Berbeda dengan Etika
Deontologi, Etike Teleologi justru mengukur baik buruknya suatu tindakan
berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu
Menurut Kant, setiap norma dan kewajiban moral tidak bisa berlaku
begitu saja dalam setiap situasi, jadi sejalan dengan pendapat Kant
dimaksud bahwa Etika teleologi lebih bersifat situasional, karena tujuan
dan akibat suatu tindakan bisa sangat tergantung pada situasi khusus
tertentu.
Berdasarkan pembahasan Etika Teleologis ini, muncul aliran aliran
Teleologis, yaitu :
a. Egoisme :
Egoisme adalah pandangan bahwa tindakan setiap orang bertujuan
untuk mengejar kepentingan atau memajukan dirinya sendiri.
Egoisme bisa menjadi persoalan serius ketika secara signifikan
berhubungan dengan hedonisme, yaitu ketika kebahagian dan
kepentingan pribadi semata mata hanya kenikamatan fisik yang
KEPUSTAKAAN :
1. K. Bertens, Etika, Seri Filsafat Atma Jaya : 15, Jakarta 1996
2. Dr. A. Sonny Keraf, Etika Bisnis Tuntutan dan Relevansinya, Kanisius, Yogyakarta,
1998
3. I.R. Poerdjawijatna, Etika Filsafat Tingkah Laku, Jakarta 1977
Utilitarisme
Teori ini menjadi terkenal sejak disistematisasikan oleh filsuf Inggris bernama John Stuart Mill
dalam bukunya yang berjudul On Liberty. Sesuai dengan namanya utilitarisme berasal dari kata
utility dengan bahasa latinnya utilis yang artinya bermanfaat. Teori ini menekankan pada
perbuatan yang menghasilkan manfaat, tentu bukan sembarang manfaat tetapi manfaat yang
paling banyak membawa kebahagiaan bagi banyak orang.
Dikaitkan dengan demokrasi tampaknya teori ini erat kaitannya. Dalam pemilihan suara pada
Pemilihan Umum (PEMILU) suatu negara yang menganut asas demokrasi, calon presiden
dengan suara terbanyak adalah presiden yang memenangkan pemilu. Meski pun
perbandingannya hanya 49% dengan 51% tetap saja calon yang memperoleh suara terbanyak
akan menang. Demikian pula dengan implementasi utilitarisme
Meski pun sudah dialami manfaat dari utilitarisme bukan berarti utilitarisme secara teoritis tidak
memiliki masalah. Jika semua yang dikategorikan sebagai baik hanya diperoleh dari manfaat
terbanyak bagi orang terbanyak, maka apakah akan ada orang yang dikorbankan? Anggap saja
ada anjing gila, anjing tersebut suka menggigit orang yang lewat. 7 dari 10 orang menyarankan
anjing tersebut dibunuh sedangkan 3 lainnya menyarankan dibunuh. Penganut utilitarisme akan
menjawab tentu yang baik jika anjing itu dibunuh. Lalu saran 3 orang tadi dikemanakan? Apakah
mereka harus menerima itu begitu saja? Kalau menurut teori ini YA.
Kasus di atas hanyalah sebatas anjing bagaimana jika manusia? Bukan tidak mungkin hal ini
terjadi bahkan sudah terjadi, tentu dalam perkembangan peradaban ada sejarah diskriminasi ras
mau pun etnis. Kasus diskriminasi ras kulit hitam dan diskriminasi etnis Tionghoa sebelum tahun
1997 tampaknya tidak terdengar asing lagi di telinga. Salah satu sebab mereka didiskriminasikan
karena mereka minoritas, dan mayoritas berhak atas mereka. Oleh utilitarisme hal ini dibenarkan
selama diskriminasi membawa manfaat.
Dibalik kengerian dari aplikasi teori utilitarisme ini, ada pula hal yang melegakan. Salah satunya
adalah ketika berkenaan dengan bisnis dan keuangan. Perhitungan ala utilitaris ini dapat berlaku
sebagai tinjauan atas keputusan yang akan diambil. Mengingat dalam keuangan yang ada
kebanyakan adalah angka-angka, jadi keputusan dapat diambil secara mudah berdasarkan jumlah
terbanyak bagi manfaat terbanyak.
Teori ini juga dikatakan sebagai konsekuensionalisme karena segala keputusan diambil atas
tinjauan konsekuensi. Konsekuensi paling menguntungkan adalah konsekuensi yang akan
diambil.
Deontologi
Teori deontologi sebenarnya sudah ada sejak periode filsafat Yunani Kuno, tetapi baru mulai
diberi perhatian setelah diberi penjelasan dan pendasaran logis oleh filsuf Jerman yaitu
Immanuel Kant.
kata deon berasal dari Yunani yang artinya kewajiban. Sudah jelas kelihatan bahwa teori
deontologi menekankan pada pelaksanaan kewajiban. Suatu perbuatan akan baik jika didasari
atas pelaksanaan kewajiban, jadi selama melakukan kewajiban berarti sudah melakukan
kebaikan. Deontologi tidak terpasak pada konsekuensi perbuatan, dengan kata lain deontologi
melaksanakan terlebih dahulu tanpa memikirkan akibatnya. Berbeda dengan utilitarisme yang
mempertimbangkan hasilnya lalu dilakukan perbuatannya.
Lalu apa itu kewajiban menurut deontologi? Sulit untuk mendefinisikannya namun pemberian
contoh mempermudah dalam memahaminya. Misalnya, tidak boleh menghina, membantu orang
tua, membayar hutang, dan tidak berbohong adalah perbuatan yang bisa diterima secara
universal. Jika ditanya secara langsung apakah boleh menghina orang? Tidak boleh, apakah
boleh membantu orang tua? Tentu itu harus. Semua orang bisa terima bahwa berbohong adalah
buruk dan membantu orang tua adalah baik. Nah, kira-kira seperti itulah kewajiban yang
dimaksud.
Jika dibandingkan dengan utilitarisme coba perhatikan lagi contoh anjing yang akan dieksekusi
karena voting terbanyak mengatakan demikian. Dalam deontologi tidak demikian, jumlah
terbanyak bukanlah ukuran yang menentukan kebaikan tetapi prinsiplah yang menentukan yaitu
prinsip bahwa pembunuhan adalah perbuatan buruk dan bagaimana pun juga anjing itu tidak
boleh dibunuh.
DUA TEORI ETIKA
Dengan demikian, ihwal rokok menjadi masalah yang amat serius. Sudah tidak
dapat diperdebatkan lagi bahwa merokok sangat membahayakan bagi keselamatan
jiwa manusia. Tetapi sebagai masyarakat yang baik dan bijak apakah kita akan
secara mentah-mentah menelan pelarangan tersebut? Tentu saja tidak, kita perlu
melakukan pertimbangan-pertimbangan etis tentang larangan ini. Sebab
pelarangan merokok juga memiliki ekses yang negatif seperti berpeluang
melahirkan pengangguran baru akibat efisiensi tenaga kerja yang dilakukan oleh
perusahaan rokok. Dalam hal ini, penulis berusaha mengkaji ihwal larangan
merokok dalam dua perspektif etis.
Menurut perspektif etis, setidaknya ada dua teori yang dapat dijadikan sebagai
pisau bedah berkaitan dengan perilaku merokok. Dua perspektif etis tersebut
adalah etika deontologis dan etika teleologi.
Pertama, etika deontologi. Kata deontologi berasal dari kata Yunani deon, yang
berarti kewajiban. Maka dari itu, etika deontologi menekankan kewajiban manusia
untuk bertindak secara baik. Menurut etika ini, suatu tindakan dianggap baik bukan
berdasarkan tujuan maupun dampak dari perbuatan itu, tetapi berdasarkan
tindakan itu sendiri.
Dengan bahasa lain, perbuatan tersebut bernilai moral karena tindakan itu
dilaksanakan berdasarkan kewajiban yang memang harus dilaksanakan terlepas
dari tujuan atau akibat dari tindakan itu. Salah satu tokoh terkenal dari teori ini
adalah Immanuel Kant (1734-1804) seorang filosof Jerman abad delapan belas.
Jadi, menurut etika deontologi menolak rokok melalui fatwa haram atau kebijakan
apapun adalah suatu tindakan yang baik. Karena merokok adalah perbuatan yang
buruk, seperti halnya didasarkan kepada data dan fakta yang telah dipaparkan di
atas. Menurut akal sehat pun, merokok adalah perbuatan yang sangat buruk karena
dapat membahayakan kesehatan seseorang.
Ukuran baik atau buruk ihwal pelarangan merokok tidak didasarkan kepada dampak
negatif yang dapat muncul akibat pelarangan tersebut. Meskipun pelarangan
merokok dapat berdampak kepada lahirnya kelompok miskin baru karena lahirnya
pengangguran, hal ini tidak menjadi pertimbangan baik atau buruk pelarangan
tersebut. Ini sama artinya dengan menilai bahwa mendirikan perusahaan rokok itu
baik karena memang suatu aktivitas bisnis itu adalah baik. Tidak perduli apakah
distribusi rokok yang tidak terbatas pada kelompok usia, dapat mengancam
kesehatan dan keselamatan anak-anak ataupun remaja.
Kedua, etika teleologi. Berlainan dengan etika deontologi, etika teleologi justru
mengukur baik buruknya suatu tindakan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu. Suatu tindakan dinilai baik,
kalau bertujuan mencapai sesuatu yang baik, atau kalau akibat yang
ditumbulkannya baik dan berguna. Oleh karena itu, etika teleologi juga diidentikkan
dengan teori utilitarian yakni baik buruknya sesuatu berdasarkan berguna atau
tidaknya.
Menurut etika teleologi, baik atau buruk pelarangan merokok diukur dari dampak
yang ditimbulkan dari aksi penolakan tersebut. Semua orang tentu mengetahui
bahwa pelarangan merokok melalui fatwa haram dari MUI ataupun berbagai
kebijakan pemerintah lainnya dapat berdampak buruk terhadap kondisi sosial
masyarakat. Pelarangan merokok dapat mengakibatkan pembatasan dan
pengurangan produksi rokok dari suatu perusahaan rokok. Ketika produksi rokok
dibatasi, otomatis perusahaan akan menerapkan langkah untuk melakukan efisiensi
dengan mengurangi tenaga kerja. Artinya, langkah perusahaan ini akan melahirkan
pengangguran baru di kalangan masyarakat.
Lahirnya pengangguran akibat efisiensi yang dilakukan perusahaan akibat
pelarangan merokok tentu saja menambah suram kondisi sosial dan ekonomi
masyarakat Indonesia. Perlu dicatat bahwa kondisi sosial ekonomi masyarakat
Indonesia sangat tidak menggembirakan. Bank Dunia melaporkan jumlah penduduk
miskin Indonesia pada 2007 sebanyak 105,3 juta jiwa atau 45,2 persen dari total
penduduk Indonesia sebanyak 232,9 juta jiwa. Sedangkan Badan Pusat Statistik
menyebut angka kemiskinan sebesar 37,2 juta jiwa. Dengan adanya angka
kemiskinan yang sangat tinggi ini tentu kita tidak ingin menambah jumlahnya
dengan menciptakan pengangguran-pengangguran baru.
Andaikan kondisi sosial ekonomi masyarakat Indonesia tidak seburuk ini, tentu
lahirnya pengangguran baru tidak menjadi masalah. Tapi faktanya, kondisi sosial
13
14
o
15
16
Deontologi lebih mendasarkan kepada ajaran agama, tradisi dan budaya, sedangkan teleologi
lebih ke arah penalaran (reasoning) dan pembenaran (justifikasi) kepada azas manfaat (aliran
utilitarian).