Anda di halaman 1dari 18

PERANAN FORENSIK KLINIK DALAM KASUS KEKERASAN

TERHADAP ANAK dan PEREMPUAN


AUTHORS : Yayan Akhyar Israr, S.Ked, Yance Warman, S.Ked, Rizki
Kurniati, S.Ked, Apriani Dewi, S.Ked. Fakultas Kedokteran Universitas Riau.
http://reproduksiumj.blogspot.com/2009/12/peranan-forensik-klinik-dalamkasus.html

PENDAHULUAN
Interaksi antara bidang medis dan hukum pada saat ini tidak dapat diragukan
lagi, yang mana semakin meluas dan berkembang dari
waktu ke waktu.
Di sinilah peranan forensik klinis yang merupakan
suatu ruang lingkup keilmuan yang berintegrasi antara
bidang medis dan bidang hukum diperlukan.
Berbeda dengan forensik patologi, seorang dokter di
forensik klinik lebih banyak menghabiskan waktunya
menangani korban hidup.1,2 Kasus-kasus yang ada di
forensik klinik meliputi perkosaan (rape), pencabulan
(molestation), kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence), dan kekerasan pada anak (child
abuse).3
-Kekerasan pada anak (child abuse) merupakan perlakuan dari orang dewasa
atau anak yang usianya lebih tua dengan menggunakan kekuasaan atau
otoritasnya, terhadap anak yang tidak berdaya yang seharusnya berada di bawah
tanggung-jawab dan atau pengasuhnya, yang dapat menimbulkan penderitaan,
kesengsaraan, bahkan cacat. Penganiayaan bisa fisik, seksual maupun
emosional.4 Pada tahun 1998, di Amerika Serikat lebih kurang 1100 anak
meninggal dengan rata-rata 3 anak meninggal per hari dari 2,8 juta kasus
kekerasan pada anak yang dilaporkan di agensi perlindungan (child protective
agencies) anak pada tahun tersebut.5 Berdasarkan bentuk kekerasannya, terjadi
53,5% kasus penelantaran, 22,7% kasus kekerasan fisik, 11,5% kasus kekerasan
seksual, 6% kasus kekerasan emosi, dan 6 % kasus penelantaran medis. 6
-Kekerasan pada wanita adalah segala bentuk kekerasan berbasis jender yang
berakibat atau mungkin berakibat, menyakiti secara fisik, seksual, mental atau
penderitaan terhadap wanita, termasuk ancaman dari tindakan tersebut,
pemaksaan atau perampasan semena-mena kebebasan, baik yang terjadi
dilingkungan masyarakat maupun dalam kehidupan pribadi. 4 Seringkali
kekerasan pada perempuan terjadi karena adanya ketimpangan atau
ketidakadilan jender. Ketimpangan jender adalah perbedaan peran dan hak
perempuan dan laki-laki di masyarakat yang menempatkan perempuan dalam
status lebih rendah dari laki-laki. Hak istimewa yang dimiliki laki-laki ini seolah-

olah menjadikan perempuan sebagai barang milik laki-laki yang berhak untuk
diperlakukan semena-mena, termasuk dengan cara kekerasan. 7
-Di Indonesia, tindak kekerasan terhadap perempuan sampai saat ini belum
cukup mendapat perhatian dari institusi terkait, seperti kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan. Meski perempuan rentan dan rawan terhadap tindak kekerasan,
upaya penyusunan peraturan perundang-undangan untuk melindungi perempuan
sering terbentur pada keterbatasan data kuantitatif dan kualitatif pendukung. 8

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Forensik Klinik
-Forensik Klinik adalah bagian dari ilmu kedokteran forensik yang mencakup
pemeriksaan forensik terhadap korban hidup dan investigasinya, kemudian aspek
medikolegal, juga psikopatologinya, dengan kata lain forensik klinik merupakan
area praktek medis yang mengintegrasikan antara peranan medis dan hukum. 3
-Secara internasional, organisasi forensik klinik dapat dibagi menjadi 3 resimen
inti. Regimen pertama di UK dan Australia, kedokteran forensik klinik dijalankan
oleh kelompok dokter yang bukan merupakan patologis forensik. Kebanyakan
dari mereka adalah praktisi umum. Dahulu mereka dikenal sebagai police
surgeon, namun sekarang mereka juga dikenal dengan nama forensic medical
examiners (FMEs). Regimen kedua ada di bagian Eropa, dimana dokter di
institute of legal medicine menggambil peranan tersebut, biasanya mereka juga
merupakan ahli forensik patologi. Regimen ketiga adalah Amerika serikat, dimana
tidak mudah untuk menentukan mana kelompok dokter yang mempberikan
pelayanan forensik klinik. Yang paling dekat yang dapat ditemukan adalah dokterdokter yang bekerja di ruangan emergensi. Pada akhir tahun 80-an, peranan ini
secara berangsur-angsur diambil alih oleh perawat forensik. 2
-Secara teori forensik klinik berkaitan dengan berbagai begitu banyak aspek,
namun umumnya forensik klinik terlibat dalam hal-hal sebagai berikut : 9
1.

Pengobatan/perawatan terhadap seseorang yang memiliki keterbatasan

2.

Pemeriksaan medis dan penilaian korban dan pelaku tindakan kejahatan

3.

Pemeriksaan medis dan terhadap penilaian pengendara yang


mengendarai kendaraan bawah pengaruh alkohol dan atau obat-obatan.

4.

Pemeriksaan medis dan penilaian terhadap pengendara mengenai


deklarasi dari pelaku untuk mengakui kelayakaan untuk mengemudi

5.

Pemeriksaan medis dan penilaian korban penganiayaan.

6.

Pemeriksaan medis dan penilaian kompensasi terhadap pekerja oleh


pekerjaannya.

7.

Pemeriksaan medis dan penilaian kesehatan mental untuk kepentingan


hukum dan peradilan.

2.2 Kekerasan Pada Anak (Child Abuse)


-Secara umum kekerasan didefinisikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan
satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau
mental.
-Anak ialah individu yang belum mencapai
usia 18 tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan seperti tertera dalam pasal
1 UU No 23 tahun 2002 tentang perlindungan
anak. Kekerasan pada anak adalah tindakan
yang di lakukan seseorang atau individu
pada mereka yang belum genap berusia 18
tahun yang menyebabkan kondisi fisik dan
atau mentalnya terganggu.
-Kekerasan pada anak atau perlakuan salah pada anak adalah suatu tindakan
semena-mena yang dilakukan oleh seseorang yang seharusnya menjaga dan
melindungi anak (caretaker) pada seorang anak baik secara fisik, seksual,
maupun emosi. Pelaku kekerasan di sini karena bertindak sebagai caretaker,
maka mereka umumnya merupakan orang terdekat di sekitar anak. Ibu dan
bapak kandung, ibu dan bapak tiri, kakek, nenek, paman, supir pribadi, guru,
tukang ojek pengantar ke sekolah, tukang kebun, dan seterusnya. 10
-Seringkali istilah kekerasan pada anak ini dikaitkan dalam arti sempit dengan
tidak terpenuhinya hak anak untuk mendapat perlindungan dari tindak kekerasan
dan eksploitasi. Kekerasan pada anak juga sering kali dihubungkan dengan lapis
pertama dan kedua pemberi atau penanggung jawab pemenuhan hak anak yaitu
orang tua (ayah dan ibu) dan keluarga. Kekerasan yang disebut terakhir ini di
kenal dengan perlakuan salah terhadap anak atau child abuse yang merupakan
bagian dari kekerasan dalam rumah tangga (domestic violence).10,11
-Menurut WHO (World Health Organization) kekerasan dan penelantaran pada
anak merupakan semua bentuk perlakuan menyakitkan secara fisik ataupun
emosional, penyalahgunaan seksual, penelantaran, eksploitasi komersial atau
eksploitasi lain, yang mengakibatkan cedera atau kerugian nyata ataupun
potensial terhadap kesehatan anak, kelangsungan hidup anak, tumbuh kembang
anak, atau martabat anak, yang dilakukan dalam konteks hubungan tanggung
jawab, kepercayaan atau kekuasaan.
Banyak teori yang berusaha menerangkan bagaimana kekerasan ini terjadi,
salah satu di antaranya teori yang behubungan dengan stress dalam keluarga
(family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua,
atau situasi tertentu. 12
1.

Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan
perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia
balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah
satu penyebab stres.

2.

Stres yang berasal dari orang tua misalnya orang tua dengan gangguan
jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu,

orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang
tua yang terbiasa dengan sikap disiplin.
3.

Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena PHK (pemutusan


hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering
bertengkar.
-Dengan adanya stres dalam keluarga dan faktor sosial budaya yang kental
dengan ketidaksetaraan dalam hak dan kesempatan, sikap permisif terhadap
hukuman badan sebagai bagian dari mendidik anak, maka para pelaku makin
merasa sah untuk menyiksa anak. Dengan sedikit faktor pemicu, biasanya
berkaitan dengan tangisan tanpa henti dan ketidakpatuhan pada pelaku,
terjadilah penganiayaan pada anak yang tidak jarang membawa malapetaka bagi
anak dan keluarganya.12
-Perlukaan bisa berupa cedera kepala (head injury), patah tulang kepala, geger
otak, atau perdarahan otak. Perlukaan pada badan, anggota gerak dan alat
kelamin, mulai dari luka lecet, luka robek, perdarahan atau lebam, luka bakar,
patah tulang. Perlukaan organ dalam (visceral injury) tidak dapat dideteksi dari
luar sehingga perlu dilakukan pemeriksaan dalam dengan melakukan otopsi.
Perlukaan pada permukaan badan seringkali memberikan bentuk yang khas
menyerupai benda yang digunakan untuk itu, seperti bekas cubitan, gigitan, sapu
lidi, setrika, atau sundutan rokok. Karena perlakuan seperti ini biasanya berulang
maka perlukaan yang ditemukan seringkali berganda dengan umur luka yang
berbeda-beda, ada yang masih baru ada pula yang hampir menyembuh atau
sudah meninggalkan bekas (sikatriks). Di samping itu lokasi perlukaan dijumpai
pada tempat yang tidak umum sepertihalnya luka-luka akibat jatuh atau
kecelakaan biasa seperti bagian paha atau lengan atas sebelah dalam,
punggung, telinga, langit langit rongga mulut, dan tempat tidak umum lainnya. 2,12
-Saat perlakuan salah pada anak terjadi, lantaran perbuatan itu, pelaku tidak
sadar bahkan mungkin tidak tahu bahwa tindakannya itu akan diancam dengan
pidana senjata atau denda yang tidak sedikit, bahkan jika pelaku ialah orang
tuanya sendiri maka hukuman akan ditambah sepertiganya yakni pada pasal 80
Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, sebagai berikut :
1. Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman
kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 tahun 6 bulan dan/atau denda paling banyak Rp. 72.000.000.00.
2. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 100.000.000.00.
3. Dalam hal anak yang dimaksud ayat 2 mati, maka pelaku dipidana penjara
paling lama 10 tahun dan/atau denda paling banyak RP. 200.000.000.004.
Pidana dapat ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3) apabila yang melakukan penganiayaan tersebut orang
tuanya).10
Undang-undang no 23/2002 Perlindungan Anak10

Pasal

Tindakan

Hukuman

77

Diskriminasi Penelantaran Anak

5 tahun, 100 juta

78

Sengaja anak dalam situasi darurat

5 tahun, 100 juta

Kekerasan terhadap anak,

3,5 tahun, denda 72 juta

luka berat,

5 tahun, 100 juta

mati

10 tahun, 200 juta

83

Menjual, menculik

3-15 tahun, 60-300 juta

88

Eksploitasi ekonomi/seksual

10 tahun, 200 juta

80

Bentuk Kekerasan pada Anak


- Terdapat lima bentuk kekerasan pada anak (1999 WHO Consultation on child
abuse prevention) yaitu :13
1. Kekerasan fisik (physical abuse)
Merupakan kekerasan yang mengakibatkan cedera fisik nyata ataupun potensial
terhadap anak, sebagai akibat dari interaksi atau tidak adanya interaksi, yang
layaknya berada dalam kendali orang tua atau orang dalam posisi hubungan
tanggung jawab, kepercayaan atau kekuasaan. Bentuk kekerasan yang sifatnya
bukan kecelakaan yang membuat anak terluka.
Contoh: menendang, menjambak (menarik rambut), menggigit, membakar,
menampar.
2. Kekerasan seksual (sexual abuse)
Merupakan pelibatan anak dalam kegiatan seksual dimana ia sendiri tidak
sepenuhnya memahami, tidak mampu memberikan persetujuan atau oleh karena
perkembangannya belum siap atau tidak dapat memberi persetujuan, atau yang
melanggar hukum atau pantangan masyarakat, atau merupakan segala tingkah
laku seksual yang dilakukan antara anak dan orang dewasa.
Contoh, pelacuran anak-anak, intercourse, pornografi, eksibionisme, oral sex,
dan lain-lain.

3. Mengabaikan(Neglect)
Merupakan kegagalan dalam menyediakan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk tumbuh kembangnya, seperti kesehatan, perkembangan emosional, nutrisi,
rumah atau tempat bernaung dan keadaan hidup yang aman di dalam konteks
sumber daya yang layaknya dimiliki oleh keluarga atau pengasuh, yang
mengakibatkan atau sangat mungkin mengakibatkan gangguan kesehatan atau
gangguan perkembangan fisik, mental, moral dan sosial, termasuk didalamnya
kegagalan dalam mengawasi dan melindungi secara layak dari bahaya
gangguan.
4. Kekerasan emosi (Emotional Abuse)
Merupakan kegagalan penyediaan lingkungan yang mendukung dan memadai
bagi perkembangannya, termasuk ketersediaan seorang yang dapat dijadikan
figur primer sehingga anak dapat berkembang secara stabil dengan pencapaian
kemampuan sosial dan emosional yang diharapkan sesuai dengan potensi
pribadina dalam konteks lingkungannya. Segala tingkah laku atau sikap yang
mengganggu kesehatan mental anak atau perkembangan sosialnya.
Contoh : tidak pernah memberikan pujian/ reinforcemen yang positif,
membandingkannya dengan anak yang lain, tidak pernah memberikan pelukan
atau mengucapkan aku sayang kamu.
5. Eksploitasi anak (child exploitation)
Merupakan penggunaan anak dalam pekerjaan atau aktivitas lain untuk
keuntungan orang lain. Dampak dari tindak kekerasan terhadap anak yang paling
dirasakan yaitu pengalaman traumatis yang susah dihilangkan pada diri anak,
yang berlanjut pada permasalahan-permasalahan lain, baik fisik, psikologis
maupun sosial.
Stigma yang melekat pada korban :13
1. Stigma Interna

Kecenderungan korban menyalahkan diri.

Menutup diri.

Menghukum diri.

Menganggap dirinya aib


2. Stigma Eksternal

Kecenderungan masyarakat menyalahkan korban.


Media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban
secar terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban.

Faktor-faktor kausalitas yang signifikan : 14


1.

Masalah kemiskinan

2.

Masalah gangguan hubungan sosial keluarga dan komunitas

3.

Penyimpangan perilaku dikarenakan masalah psikososial

4.

Lemahnya kontrol sosial primer masyarakat dan hukum

5.

Pengaruh nilai sosial budaya di lingkungan sosial tertentu

6.

Keengganan masyarakat untuk melaporkan kasus-kasus


-Kompleksitas faktor-faktor penyebab dan beban permasalahan yang demikian
berat dalam diri para korban tindak kekerasan, menuntut diambilnya langkah
penanganan yang holistik dan komprehensif melalui pendekatan interdisipliner,
interinstitusional dan intersektoral dengan dukungan optimal dari berbagai
sumber dan potensi dalam masyarakat.14

2.3 Kekerasan Terhadap Perempuan (Woman Abuse)


- Kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di berbagai
daerah di Indonesia. Pada tahun 2000, Kantor Menteri Negara Pemberdayaan
Perempuan mencatat tingkat kekerasan yang dialami perempuan Indonesia
sangat tinggi. Sekitar 24 juta perempuan atau 11,4 persen dari total penduduk
Indonesia pernah mengalami tindak kekerasan.
-Diperkirakan angka-angka yang tercatat di LSM, kantor polisi dan media
massa tidak mencerminkan keadaan yang sesungguhnya, mengingat seperti
masalah perkosaan masih dianggap tabu. Selain itu hukum negara kita yang
mengatur hal tersebut secara khusus dan rinci juga belum maksimal. Selama ini
pelaku hanya bisa dijerat dengan beberapa pasal dalam KUHP, yaitu kasus
persetubuhan diluar perkawinan yang merupakan kejahatan seksual yang diatur
dalam pasal 284, 285, 286, dan 287 KUHP dan kasus persetubuhan dalam
perkawinan yang dianggap sebagai kejahatan diatur dalam KUHP pasal 288.
Sebagai dokter tentunya kita harus mengetahui hal-hal apa saja yang
berhubungan dengan kasus perkosaan, baik dari segi hukum maupun segi
medis, sehingga keterangan yang dibuat oleh dokter dapat memiliki kekuatan
hukum dan berguna di peradilan.15
Bentuk Kekerasan pada Perempuan
-Bentuk kekerasan yang sering terjadi pada perempuan berupa perlukaan
akibat kekerasan fisik dan kekerasan seksual. Khusus kasus kekerasan seksual
bentuk perkosaan, sebuah LSM perempuan mencatat bahwa setiap lima jam
terjadi satu kasus perkosaan di Indonesia.15 Kekerasan perempuan dapat terjadi
dalam bentuk :7

1. Tindak kekerasan fisik


Tindak kekerasan fisik adalah tindakan yang bertujuan melukai, menyiksa atau
menganiaya orang lain. Tindakan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan
anggota tubuh pelaku (tangan, kaki) atau dengan alat-alat lainnya
2. Tindak kekerasan non-fisik
Tindak kekerasan non-fisik adalah tindakan yang bertujuan merendahkan citra
atau kepercayaan diri seorang perempuan, baik melalui kata-kata maupun
melalui perbuatan yang tidak disukai/dikehendaki korbannya.
3. Tindak kekerasan psikologis atau jiwa
Tindak kekerasan psikologis/ jiwa adalah tindakan yang bertujuan mengganggu
atau menekan emosi korban. Secara kejiwaan, korban menjadi tidak berani
mengungkapkan pendapat, menjadi penurut, menjadi selalu bergantung pada
suami atau orang lain dalam segala hal (termasuk keuangan). Akibatnya korban
menjadi sasaran dan selalu dalam keadaan tertekan atau bahkan takut.
A. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasi
seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diinginkan oleh orang yang
menjadi sasaran. Pelecehan seksual bisa terjadi dimana saja dan kapan saja,
seperti di tempat kerja, di kampus/sekolah, di pesta, tempat rapat, dll.
Pelaku pelecehan seksual bisa teman, pacar, atasan di tempat kerja, dokter,
dukun, dan lain-lain. Akibat pelecehan seksual, korban merasa malu, marah,
terhina, tersinggung, benci kepada pelaku, dendam kepada pelaku, shok/trauma
berat, dan lain-lain.7
B. Perkosaan
Pengertian perkosaan di Indonesia mengacu pada pasal 285 KUHP, yang berarti
adalah suatu kejahatan seksual yang ditandai dengan adanya persetubuhan
yang dilakukan oleh laki-laki terhadap wanita yang bukan merupakan istri dari
pelaku, disertai dengan pemaksaan yang berupa kekerasan atau ancaman akan
kekerasan.15 Berdasarkan pelakunya, perkosaan bisa dilakukan oleh : 7

Orang yang dikenal: teman, tetangga, pacar, suami, atau anggota


keluarga (bapak, paman, saudara).

Orang yang tidak dikenal, biasanya disertai dengan tindak kejahatan,


seperti perampokan, pencurian, penganiayaan, atau pembunuhan.
-Tindakan perkosaan membawa dampak emosional dan fisik kepada
korbannya. Secara emosional, korban perkosaan bisa mengalami stress, depresi,
goncangan jiwa, menyalahkan diri sendiri, rasa takut berhubungan intim dengan
lawan jenis, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Secara fisik, korban mengalami
penurunan nafsu makan, sulit tidur, sakit kepala, tidak nyaman di sekitar vagina,

berisiko tertular PMS, luka di tubuh akibat perkosaan dengan kekerasan, dan
lainnya.
-Pemeriksaan terhadap kasus yang diduga perkosaan bertujuan untuk
membuktikan ada tidaknya tanda-tanda persetubuhan, ada tidaknya tanda-tanda
kekerasan, perkiraan umur serta pembuktian apakah seseorang sudah pantas
atau sudah mampu untuk dikawini atau tidak. Sebelum membahas tentang
kejahatan seksual lebih lanjut, ada beberapa hal yang harus dipahami yang
berkaitan dengan senggama atau persetubuhan (koitus).
C. Kekerasan Dalam Rumah Tangga
-Kekerasan dalam rumah tangga merupakan kekerasan yang terjadi dalam
lingkungan rumah tangga. Pada umumnya, pelaku kekerasan dalam rumah
tangga adalah suami, dan korbannya adalah istri dan/atau anak-anaknya.
Kekerasan dalam rumah tangga bisa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik,
kekerasan psikologis/emosional, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. 7
-Secara fisik, kekerasan dalam rumah tangga mencakup: menampar,
memukul, menjambak rambut, menendang, menyundut dengan rokok, melukai
dengan senjata, dan sebagainya. Secara psikologis, kekerasan yang terjadi
dalam rumah tangga termasuk penghinaan, komentar-komentar yang
merendahkan, melarang istri mengunjungi saudara maupun teman-temannya,
mengancam akan dikembalikan ke rumah orang tuanya, dan lain-lain. Secara
seksual, kekerasan dapat terjadi dalam bentuk pemaksaan dan penuntutan
hubungan seksual. Secara ekonomi, kekerasan terjadi berupa tidak memberi
nafkah istri, melarang istri bekerja atau membiarkan istri bekerja untuk
dieksploitasi.
-Korban kekerasan dalam rumah tangga biasanya enggan/ tidak melaporkan
kejadian karena menganggap hal tersebut biasa terjadi dalam rumah tangga atau
tidak tahu kemana harus melapor.7

2.4 Peranan Forensik Klinik dalam Kekerasan Terhadap Anak dan


Perempuan
-Para dokter yang diberikan dihadapkan untuk memberikan penilaian terhadap
kasus-kasus yang dicurigai merupakan kasus child abuse haruslah mempunyai
keterampilan dasar. Keterampilan dasar yang harus dimiliki tersebut adalah : 9
1.

Kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik kepada anak-anak dan


pengasuh mereka mengenai hal ini yang mungkin sangat sensitif bagi mereka.

2.

Mau mengerti dan sensitif dengan mempertimbangkan perkembangan


anak, keburuhan sosial dan emosional dan tingkat kemampuan intelektual anak.

3.

Mengerti mengenai persetujuan dan kerahasiaan mengenai hal-hal yang


berhubungan dengan anak tersebut.

4.

Kompetensi untuk melakukan pemeriksaan fisik umum dan genitalia


secara keseluruhan pada anak dan berbagai keahlian untuk dapat memfasilitasi
pemeriksaan genitalia.

5.

Pemahaman mengenai genitalia normal dan anatomi anus, dan variannya


berbadasarkan usia dan jenis kelamin anak yang diperiksa

6.

Pemahaman mengenai diagnosis dan diferensial diagnosis dari tandatanda fisik.

7.

Mampu menggunakan kolposkopi dan memperoleh dokumentasi gambar


untuk meyakinkan mengenai temuan dari pemeriksaan klinis sebelumnya dan
mendokumentasikannya kalau pun hasilnya tidak seusai.

8.

Mengetahui sampel apa yang harus diperoleh untuk kepentingan


investigasi, bagaimana cara memperolehnya, dan bagai mana cara menyimpan
serta pemindahannya.

9.

Mempunyai kemampuan mendokumentasikan temuan klinis secara


menyeluruh dan tepat pada sebuah buku catatan mereka.

10.

Mempunyai kemampuan untuk memberikan pernyataan secara detail/


melaporkan temuan dan menginterpretasikan temuan klinis.

11.

Kemauan untuk berkomunikasi dan bekerjasama dengan agensi dan


profesional lain yang terlibat dalam perawatan anak (korban).

12.

Ketepatan untuk menghadirkan bukti dan melakukan uji silang, berkaitan


dengan proses sipil dan kriminal

13.

Kemampuan untuk mendiskusikan keadaan dan temuan dalam konteks


tingkat perkembangan anak dan literatur medis yang relevan.

-Sebagai tambahan, ada beberapa keterampilan yang bergantung pada kasus


kadang dibutuhkan, keterampilan tersebut antara lain: 9
1.

Pemahaman mengenai jenis-jenis kontrasepsi post-koital yang tersedia


serta indikasi dan kontraindikasi banyak metoda.

2.

Pelatihan untuk pencegahan (termasuk hepatitis B, HIV), skrining dan


diagnosis penyakit menular seksual
-

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Pemeriksaan13


1. Memiliki permintaan tertulis dari penyidik
-Untuk dapat melakukan pemeriksaan yang berguna untuk peradilan, dokter
harus melakukannya berdasarkan permintaan tertulis dari penyidik yang
berwenang. Korban harus diantar oleh polisi karena tubuh korban merupakan
benda bukti. Apabila korban datang sendiri dengan membawa surat permintaan
dari polisi, korban jangan diperiksa dahulu tetapi diminta untuk kembali kepada
polisi dan datang bersama polisi.

-Visum et Repertum dibuat hanya berdasarkan atas keadaan yang didapatkan


pada tubuh korban pada saat permintaan Visum et Repertum diterima oleh
dokter. Jika dokter telah memeriksa korban yang datang di rumah sakit, atau di
tempat praktek atas inisiatif korban sendiri tanpa permintaan polisi, lalu beberapa
waktu kemudian polisi mengajukan permintaan untuk dibuatkan Visum et
Repertum, maka hasil pemeriksaan sebelumnya tidak boleh dicantumkan dalam
Visum et Repertum karena segala sesuatu yang diketahui dokter tentang diri
korban sebelum ada pemintaan untuk dibuatkan Visum et Repertum merupakan
rahasia kedokteran yang wajib disimpannya (KUHP pasal 322). 10
-Dalam hal demikian, korban harus dibawa kembali untuk diperiksa dan Visum
et Repertum dibuat berdasarkan keadaan yang ditemukan pada waktu
permintaan diajukan. Hasil pemeriksaan yang lalu tidak dicantumkan dalam
bentuk Visum et Repertum, tetapi dalam bentuk surat keterangan.
2. Informed Consent
-Sebelum memeriksa, dokter harus mendapatkan surat ijin terlebih dahulu dari
pihak korban, karena meskipun sudah ada surat permintaan dari polisi, belum
tentu korban menyetujui dilakukannya pemeriksaan atas dirinya. Selain itu,
bagian yang akan diperiksa meliputi daerah yang bersifat pribadi. Jika korban
sudah dewasa dan tidak ada gangguan jiwa, maka dia berhak memberi
persetujuan, saudaranya atau pihak keluarga tidak berhak memberikan
persetujuan. Sedangkan jika korban anak kecil dan jiwanya terganggu, maka
persetujuan diberikan oleh orang tuanya atau saudara terdekatnya, atau walinya.
-Dalam melakukan pemeriksaan, tempat yang digunakan sebaiknya tenang
dan dapat memberikan rasa nyaman bagi korban. Oleh karena itu, perlu dibatasi
jumlah orang yang berada dalam kamar pemeriksaan, hanya dokter, perawat,
korban, dan keluarga atau teman korban apabila korban menghendakinya. Pada
saat memeriksa, dokter harus didampingi oleh seorang perawat atau bidan.
3. Pemeriksaan sebaiknya dilakukan secepat mungkin
-Korban sebaiknya tidak dibiarkan menunggu dengan perasaan was-was dan
cemas di kamar periksa. Pemeriksa harus menjelaskan terlebih dahulu tindakantindakan yang akan dilakukan pada korban dan hasil pemeriksaan akan
disampaikan ke pengadilan.Visum et Repertum diselesaikan secepat mungkin
agar perkara dapat cepat diselesaikan.
-

2.4.1 Kekerasan Fisik


-Pemeriksaan fisik yang mungkin dapat dilakukan oada korban yang di duga
mendapatkan kan kekerasan fisik antara lain :4
1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.
2. Anamnesis :

Umur.

Urutan kejadiaan.

Jenis penderaan.

Oleh siapa, kapan, dimana, dengan apa, berapa kali.

Akibat pada anak.

Orang yang ada disekitar.

Waktu jeda antara kejadian dan kedatangan ke RS.

Kesehatan sebelumnya.

Trauma serupa waktu lampau.

Riwayat penakit lampau.

Pertumbuhan fisik dan psikis.

Siapa yang mengawasi sehari-hari.


3. Pemeriksaan fisik :

Gizi, higiene, tumbuh kembang anak.

Keadaan umum, fungsi vital.

Keadaan fisik umum.

Daftar dan plot pada diagram topografi jenis luka yang ada.

Perhatikan daerah luka terselubung : mata, telinga,mulut dan kelamin.

Kasus berat bisa dipotret.

Raba dan periksa semua tulang.

2.4.2 Kekerasan Seksual


-Pemeriksaan secara medis pada korban kejahatan seksual, baik pada anakanak maupun dewasa pada dasarnya sama dengan pada pasien lain, yaitu
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang : 4
1. Ambil data-data Polisi, korban dokter dan perawat terkait.

2. Anamnesis :

Umur.

Status perkawinan.

Haid : siklus, terakhir.

Penyakit kelamin dan kandungan.

Penyakit lain seperti ayan dll.

Pernah bersetubuh? Waktu persetubuhan terakhir? Menggunakan


kondom ?

Waktu kejadian.

Tempat kejadian.

Apakah korban melawan ?

Apakah korban pingsan ?

Apakah terjadi penetrasi

Apakah terjadi ejakulasi ?


3. Periksa pakaian :

Robekan lama / baru / memanjang / melintang ?

Kancing putus.

Bercak darah, sperma, lumpur dll.

Pakaian dalam rapih atau tidak ?

Benda-benda yang menempel sebagai trace evidence.


4. Pemeriksaan badan :
Umum :

Rambut / wajah rapi atau kusut.

Emosi tenang atau gelisah.

Tanda bekas pingsan, alkohol, narkotik. Ambil contoh darah.

Tanda kekerasan : Mulut, leher, pergelangan tangan, lengan, paha

Trace evidence yang menempel pada tubuh.

Perkembangan seks sekunder.

Tinggi dan berat badan.

Pemeriksaan rutin lainnya.


Genitalia :
-Pada pemeriksaan fisik anak, temuan tidak spesifik yaitu temuan yang
mungkin sebagai akibat dari seksual abuse, tergantung pada jarak saat
pemeriksaan dan saat abuse, tetapi mungkin juga akibat sebab lain atau
merupakan varian yang normal

Eritema (kemerahan) vestibulum atau jaringan sekitar anus(dapat akibat


zat iritan, infeksi atau iritan)
Adesi labia ( mungkin akibat iritasi atau rabaan)

Friabilitas (retak) daerah posterior fourchette (akibat iritasi, infeksi atau


karena traksi labia mayor pada pemeriksaan)

Penebalan selaput dara (mungkin akibat estrogen, terlipatnya tepi selaput,


bengkak karena infeksi ataun trauma)

Kulit genital semu (mungkin jumbai kulit atau kulit bukan genital mungkin
condyloma acuminata yang didapat bukan dari seksual)

Fisura ani (biasanya akibat konstipasi atau iritasi perianal)

Pendataran lipat anus (akibat relaksasi sfingter eksterna)

Pelebaran anus dengan adanya tinja (refleks normal)

Kongesti vena atau pooling vena (biasanya akibat posisi anak, juga
ditemuka pada konstipasi)

Perdarahan pervaginam (mungkin berasal dari sumber lain, seperti uretra,


atau mungkin akibat infeksi vagina, benda asing atau trauma yang aksidental
Dugaan kekerasan seksual (suggestive of sexual abuse) :1
-Temuan pada anak yang telah memiliki riwayat abuse, mungkin ada abuse,
tetapi tidak cukup data yang menunujukkan bahwa abuse adalah satu-satunya
penyebab.

Riwayat sangat krusial dalam menentukan makna keseluruhannya :


Pelebaran anus (notch atau cleft) selaput dara di daerah posterior, mencapai
dekat dasar (sering merupakan artefak pada posisi pemeriksaan tertentu, tetapi
bila konsisten pada beberapa posisi, maka mungkin akibat kekerasan tumpul
atau penetrasi sebelumnya)

Lecet akut, laserasi atau memar labia, jaringan sekitar selaput dara atau
perineum (mungkin akibat trauma aksidental, keadaan dermatologis seperti
lichen sclerosus atau hemangioma)

Jejak gigitan atau hisapan di genitalia atau paha bagian dalam

Jaringan parut atau laserasi baru daerah posterior fourchette tanpa


mengenai selaput dara( dapat akibat trauma aksidental)

Jaringan parut perianal (jarang, mungkin akibat keadaan medis lain


seperti chrons disease atau akibat tindakan medis sebelumnya)
Pemeriksaan ekstra genital

Pemeriksaan terhadap pakaian dan benda-benda yang melekat pada


tubuh

Deskripsikan luka

Pemeriksaan rongga mulut pada kasus oral sex

Scrapping pada kulit yang memiliki noda sperma

Pemeriksaan kuku jari korban untuk mencari material dari tubuh pelaku

Pemeriksaan anal
5. Deskripsikan mengenai adanya robekan, iregularitas, keadaan fissura. Apabila
terjadi hubungan seksual secara anal, maka dapat terjadi perlukaan pada anus.
6. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan seperti :

Pemeriksaan darah

Pemeriksaan cairan mani (semen)

Pemeriksaan kehamilan

Pemeriksaan VDRL

Pemerikaan serologis Hepatitis

Pemeriksaan Gonorrhea

Pemeriksaan HIV

Pemeriksaan rambut, air liur, dan pemeriksaan pria tersangka.


-

2.4.3 Penelantaran/ mengabaikan (Neglected)


-Seorang anak yang ditelantarkan bisa mengalami kekurangan gizi (malnutrisi),
lemas atau kotor atau pakaiannya tidak layak. Pada kasus yang berat, anak
mungkin tinggal seorang diri atau dengan saudara kandungnya tanpa
pengawasan dari orang dewasa. Anak yang ditelantarkan bisa meninggal akibat
kelaparan. Seorang anak yang ditelantarkan atau dianiaya mungkin perlu dirawat
di rumah sakit. Dilakukan penanganan tertentu sesuai dengan keadaan anak. 16

2.4.4 Kekerasan Dalam Rumah Tangga (Domestic Violent)


-Pemeriksaannya serupa dengan kekerasan anak dan seksual. Visum et
repertum Harus tertulis dan diantarkan oleh polisi. 7
1.

Visum et repertum dibuat bila korban setelah diperiksa diperbolehkan


pulang dan dapat bekerja seperti biasa serta tidak ada halangan untuk
melakukan pekerjaan.

2.

Visum sementara dibuat setelah pemeriksaan ternyata korban


membutuhkan perawatan dan mendapat gangguan untuk melakukan pekerjaan.
Tidak dibuat kualifikasi luka. Kegunaan bagi penyidik untuk menahan tersangka.

3.

Visum et repertum lanjutan dibuat setelah korban selesai menjalani


pengobatan, pindah rumah-sakit / dokter, pulang paksa atau meninggal.
Luka Berat :

1.

Penyakit atau luka yang tidak boleh diharap akan sembuh lagi dengan
sempurna atau dapat mendatangkan bahaya maut.

2.

Terus menerus tidak cakap lagi melakukan jabatan atau pekerjaan.

3.

Tidak lagi memakai (kehilangan) salah satu panca indera secara lengkap.

4.

Kudung (rompong, buntung), cacat sehingga jelek rupanya karena ada


suatu anggota badan yang putus, misalnya hidung, telinga, jari tangan.

5.

Lumpuh, artinya tidak bisa menggerakkan anggota badan.

6.

Berubah pikiran lebih dari 4 minggu.

7.

Menggugurkan atau membunuh bakal anak kandungan ibu. 7

DAFTAR PUSTAKA
1.

Stark MM. Medical Forensic Medicine A Physicians Guide. 2 nd Edition.


New Jersey : Humana Press Inc. 2005.

2.

Philip SL. Clinical Forensic Medicine : Much Scope for Development in


Hong Kong. Hongkong : Department of Pathology Faculty of Medicine University
of Hong Kong. 2007.

3.

Webmaster. Forensik Klinik. Disitasi tanggal : 2 November 2008 dari :


http://www.Forensikklinikku.webs.com. [Update : Oktober 2008]

4.

Saanin S. Aspek-Aspek Fisik/ Medis Serta Peran Pusat Krisis dan Trauma
dalam Penanganan Korban Tindak Kekerasan. Disitasi Tanggal : 5 November
dari : http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/kekerasan.htm. [Update :
Januari 2007]

5.

Webmaster. Preventing Child Abuse Trough Education and Awereness. Di


Sitasi tanggal 8 November 2008 dari : Http://www.childabuse.com. [Update :
January 2008]

6.

U.S. Department of Health and Human Services, Childrens Bureau. Child


Maltreatment 1998: Reports from the States to the National Child Abuse and
Neglect Data System (NCANDS). Washington, D.C.: U.S. Government Printing
Office. 2000.

7.

Fauzi A, Lucyanawati M, Hanifa L, et al. Kekerasan Terhadap Perempuan.


Disitasi Tanggal 8 November 2008 dari : http://www.situs.kesrepro.info/
gendervaw/referensi2.htm . [Update : July 2008]

8.

Webmaster. Negara dan Kekerasan Terhadap Perempuan. Disitasi


Tanggal 8 November 2008 dari : http://www.solusihukum.com. [Update : Januari
2004]

9.

The Royal College of Paediatrics and Child Health and The Association of
Forensic Physicians. Guidance on Paediatric Forensic Examinations in Relation
to Possible Child Sexual Abuse. Disitasi tanngal 2 November 2008 dari :
http://www.afpweb.org.uk. [Update : September 2004]

10.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2002 tentang


Perlindungan Anak. Unicef, Indonesia.

11.

Hobbs CJ, Hanks HGI, Wynne JM: Violence and criminality. Dalam: Child
Abuse and Neglect A Clinicians Handbook. 2nd Edition. Churchill Livingstone,
London. 1999.

12.

Bittner S, Newberger EH: Pediatric understanding of child abuse and


neglect. Pediatric Rev 2:198, 1981.

13.

Meadow R: ABC of child abuse. Edition. BMJ, 1993.

14.

Sugiarto I. Aspek Klinis Kekerasan Pada Anak dan Pencegahannya.


Disitasi tanggal 2 November 2008 dari : http://www.lcki.org/images/seminar
/anak/tatalaksana.pdf. [Update : Juli 2007]

15.

Aziz AR. Perempuan Korban di Ranah Domestik. Disitasi tanggal 6


November 2007 dari http://www.nusantara.co.id [Update 21 Agustus 2007]

16.

Nurcahyo. Penganiayaan & Penelantaran anak. Disitasi tanggal 8


November 2008 dari : http://www.indosnesiindonesia.com. [Update Juli 2008].

Anda mungkin juga menyukai