Anda di halaman 1dari 5

Upacara Tahlilan Pada Masyarakat Jawa

Kritik Budaya

Imam Abdul H

Oleh ;
11/316310/FI/03588

Dosen Pengampu ;
Reno Wikandaru. S.Fil., M.Fil.
FAKULTAS FILSAFAT
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG

Kebudayaan

merupakan

unsur

penting

bagi

suatu

bangsa

untuk

menunjukkan identitas jati dirinnya. Eksistensi budaya memberikan warna


tersendiri, menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan, membentuk ciri khas, serta
menjadi subjek dalam perkembangan manusia menuju peradaban modern.
Budaya daerah di Indonesia selain mempunyai tujuan, fungsi dan manfaat
juga mengandung nilai-nilai dan filosofi tertentu yang dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang
dijadikan milik diri manusia dengan belajar (Koentjaraningrat 1990:204). Salah satu
kebudayaan Indonesia, khususnya yang ada di masyarakat Jawa adalah upcara
Tahlilan.
Tahlilan adalah ritual yang dilakukan setelah meninggalnya seseorang
berupa pembacaan dzikir, doa dan bacaan-bacaan Al-Quran dengan melibatkan
kerabat dan masyarakat sekitar yang dipimpin oleh seorang modin (ulama desa).
Biasanya ritual ini dilakukan pada malam hari setelah menjalankan shalat isya
dengan periode waktu tertentu, yakni pada saat kematian (selametan atau geblag),
hari keempat puluh (selametan patang puluh dina), hari keseratus hari (selametan
nyatus), peringatan satu tahun (mendak sepisan), peringatan kedua tahun (mendak
pindo), dan hari keseribu (nyewu) sesudah kematian, namun ada juga yang
melakukan peringatan saat kematian seseorang untuk terakhir kalinya (selametan
nguwis-uwisi) (Ismawwati, 2000:7).

Upacara ini tidak diketahui secara pasti asal-usulnya. Para pelaku hanya bisa
mengatakan bahwa tradisi ini merupakan warisan dari nenek moyang mereka. Akan
tetapi menurut penyelidikan para ahli, upacara tahlilan diadopsi para dai terdahulu
dari kepercayaan Animisme, agama Hindu dan Budha. Dalam kepercayaan
Animisme, Hinduisme dan Budhisme ketika seseorang meninggal dunia maka
ruhnya akan datang ke rumah pada malam hari untuk mengunjungi keluarganya.
Apabila dalam rumah tidak ada orang ramai berkumpul dan mengadakan upacara
sesaji, seperti membakar kemenyan, dan sesaji terhadap yang ruh atau ghaib, maka
ruh yang meninggal akan marah dan masuk (sesurup) ke dalam jasad orang yang
masih hidup dari keluarga jenazah (www.syariahonline.com).
Setelah masuknya Islam, masyarakat tetap melakukan upacara tahlilan.
Sebagai langkah awal, para dai terdahulu tidak memberastasnya, tetapi
mengalihkan dari upacara yang bersifat Hindu dan Budha menjadi bernafaskan
Islam.
Akulturasi budaya dari Animisme, Hindu dan Budha menjadi Islam inilah
yang sekarang menjadi perdebatan yang rumit di kalangan masyarakat. Perbedaan
muncul terutama pada status hukum tahlilan, apakan melakukan upacara tahlilan
merupakan sebuah amalan ibadah atau bidah dan apakah haram atau halal
melakukan upacara tahlilan.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, rumusan makalah ini
sebagai berikut ;
1. Apa yang mendasari perbedaan pendapat mengenai upacara tahlilan ?
2. Bagaimana argumen masing-masing kelompok mengenai upacara tahlilan ?
C. TUJUAN
1. Menjelaskan apa yang mendasari perbedaaan mengenai upacara tahlilan
2. Memaparkan pendapat masing-masing kelompok, baik yang menyetujui atau
yang tidak menyetujui upacara tahlilan.
D. TINJAUAN PUSTAKA
Kebudayaan itu bukan benda dan bukan objek rekayasa karena kebudayaan
adalah ungkapan dialog terus menerus yang berlangsung dalam masyarakat.
Kebudayaan hanya dapat berkembang dalam suasana terbuka dan bebas tekanan
(Suseno. 1992: 31).
Pada upacara kematian, sedekahan dilakukan dengan niat pahala
shodaqohnya dilimpahkan kepada almarhum/almarhumah dijauhkan dari siksa
kibur. Sedekahan bukan hanya sekedar makna ritual saja, toleransi dan kerukunan
beragama adalah hal terpenting dalam menilai arti sebuah tradisi (Rofangi, 1980).
Ritual kematian mempunyai makna toleransi dan keukunan beragama yang
tinggi dan mempunyai fungsi dan pengaruh yang sarat dengan norma-norma
kehidupan bermasyarakat (Salam, 1996).
Koentjaraningrat (1994) memaparkan

secara

komprehensip

tentang

kebudayaan orang Jawa dari akar budayanya sampai dengan ritual dalam lingkaran
kehidupan sampai dengan kematian.
E. METODE
1. Jenis
Makalah mengenai Upacara Tahlilan. Ojek formal pada makalah ini
adalah fenomenologi agama, untuk menganalisa objek material yakni, upacara
tahlilan. Makalah ini menggunakan studi kepustakaan.
2. Bahan

Berdasarkan studi kepustakaan, bahan makalah ini mencakup naskahnaskah akademis dan buku-buku yang berkaitan dengan objek material dan
objek formal.
3. Alur
a. Investarisasi data ; Tahap awal dalam penulisan makalah ini, yakni
pengumpulan data yang berkaitan dengan upacara tahlilan berupa buku,
artikel yang dikaji lebih lanjut. Kemudian dihubungkan dengan analisis
fenomenologi agama.
b. Pengklasifikasian data ; Tahap selanjutnya yang berkaitan dengan
pemilahan data berdasarkan sumber utama dan sumber pendukung.
Sumber utama tentunya digunakan sebagai data utama dalam makalah
ini.
c. Penyusunan makalah ; Tahap akhir ini menyusun secara sistematis dan
lugas data-data yang telah diklasifikasi. Selanjutnya, data disusun secara
kritis disertai dengan argumen.

Anda mungkin juga menyukai