Resep awal :
Dr. FIRDAUS
SIP No:
Praktek:
Tlp:
9 Juni 2010
R/ Lapicef 500 no. VI
S. 1 d.d. I
Paraf
R/ Tab. DMP 15 mg
Ambroxol 15 mg
CTM 1 mg
Codein 5 mg
Dexamethason 0,5 mg
Salbutamol 3 mg
m.f. caps. d.t.d. XV
S. 3 d.d. 1
Paraf
Pro
: Fatia
Umur : 11 tahun
Alamat : Sekarbela 2
Identitas dokter
Superskripsio
R/1
Lengkap
Tidak Jelas
R/2
Lengkap
Tidak Jelas
Keterangan
1. Alamat pasien tidak jelas
2. Alamat praktek/rumah
dokter tidak ada
3. Nomor praktek dokter tidak
ada
1. Alamat pasien tidak lengkap
R/1
Tidak lengkap
Tidak jelas
R/2
Lengkap
Jelas
R/1
Tidak lengkap
Jelas
R/2
Lengkap
Jelas
R/1
Tidak lengkap
Tidak jelas
R/2
Tidak lengkap
Tidak jelas
R/1
Tidak ada
Tidak jelas
R/2
Tidak ada
Tidak jelas
Lengkap
Tidak jelas
Inskripsio
Subskripsio
Signatura
Paraf/tanda
tangan
Identitas pasien
2. Alamat praktek/rumah
dokter tidak ada
3. Nomor praktek dokter tidak
ada
1. Tidak ada satuan berat untuk
bahan padat
2. Tidak bisa dibaca satuan
beratnya (500 atau 50)
Bisa dibaca per masing-masing
obat
1. Bentuk sediaan obat tidak
tercantum pada nama obat
(apakah benar dalam bentuk
tablet)
Nama, jumlah obat yang
dicampur jadi satu, dan bentuk
sediaan ada
1. Tidak ada bentuk sediaan
obat
2. Waktu minum tidak
dicantumkan
3. Diminum sampai habis tidak
dicantumkan (antibiotik)
1. Harus ditulis dicampur
menurut aturan pembuatan
kapsul
2. Tidak ada perintah untuk
membuat puyer yang
selanjutnya dikemas dalam
bentuk kapsul
3. Keterangan waktu minum
tidak dicantumkan
4. Tidak dicantumkan
diminumnya bila timbul
keluhan
Tidak terdapat paraf dokter di
resep
Tidak terdapat paraf dokter di
resep
Alamat pasien tidak jelas
R/
Pro
: Fatia Ariani
Umur : 11 tahun
Alamat : Jl. Lumba-lumba 2, Sekarbela
Indikasi : menekan batuk dengan reaksi sentral pada pusat batuk di medulla;
untuk batuk tidak berdahak (antitusif), menekan inflamasi dan gangguan akibat
reaksi alergi; diagnosis penyakit Cushing, hyperplasia adrenal congenital, edema
serebral terkait keganasan; nausea dan muntah terkait kemoterapi; penyakit
reumatik
Dosis anak : 10 100 g/kg/hari (BNF)
Dosis anak : 5 - 10 mg diberikan 1 - 4 jam sekali (A Z drug facts)
Perhatian : untuk batuk kronis, tidak digunakan untuk batuk persisten (kronis) seperti
merokok, asma, emfisema, atau jika batuk disertai dengan secret berlebih
3. Ambroxol
Indikasi : mukolitik (pengencer dahak dengan memecah polisakarida sehingga
dahak tidak kental)
Dosis anak : 28 57 mg; 2-3 kali dosis terbagi
Diminum bersamaan dengan makanan
4. CTM
Indikasi : meredakan simtomatik alergi, urtikaria, terapi emergensi reaksi
anafilaktik
Dosis anak 6-12 tahun = 2 mg per hari
5. Codein
Indikasi : preparat obat batuk (analgesic opioid)
Dosis anak : 7 14 mg; 3-4x/ hari
Pemberian : bisa diberikan bersamaan atau tanpa makanan
Kontraindikasi : depresi respiratorik, penyakit obstruksi jalan nafas, asma,
alkoholisme akut, gangguan konvulsif, cedera kepala, pasien koma, peningkatan
tekanan intracranial
Hati-hati pada : Hypothyroidism, adrenocortical insufficiency; asthma, gangguan
fungsi hepar atau renal, hyperplasia prostat, hipotensi, syok, gangguan obstruksi
usus, myasthenia gravis
6. Dexametasone
Indikasi : manajemen insufisiensi koretks adrenal, gangguan reumatik, gangguan
kolagen, penyakit dermatologic, alergi, penyakit respiratorik, gangguan
hematologik, penyakit neoplastik, edema serebral dengan tumor otak primer atau
metastatic, status edema (sindroma nefrotik), penyakit GI, multipel sklerosis,
meningitis tuberkulosa, trichinosis dengan gangguan enurologis atay myocardium
kerja cepat
Dosis anak : 2 mg 34 kali sehari
Pemberian : diberikan saat lambung kosong (diminum 1-2 jam sebelum makan)
KASUS 2
Tina, 11 tahun, dibawa ke UGD RSU Bima karena sesak sejak tadi malam. Sesak sampai nafas
berbunyi ngik..ngik. selain itu sudah 2 hari ini ia mengalami batuk berdahak dan demam yang
tidak terlalu tinggi. Tina mempunyai riwayat asma bronkiale yang sering kambuh. Serangan kali
ini memberat karena persediaan obatnya habis. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan TD : 110/70
mmHg, RR 36x/menit, suhu aksiler 37,8o C, nadi 100x/menit. Pada pemeriksaan fisik juga
didapatkan hasil faring hyperemia dan penggunaan otot bantu nafas dan wheezing pada paruparu. Pemeriksaan lain dalam batas normal. Dokter memutuskan untuk memberikan salbutamol,
prednisone, gliseril guaikolat, dan parasetamol.
a.
b.
c.
d.
PERMASALAHAN
2. Mengontrol dan meredakan demam dan batuk berdahak yang ditinjau sebagai faktorfaktor presipitasi yang dapat mencetuskan serangan asma sehingga untuk selanjutnya
dapat dihindari (kontroler)
3. Meredakan reaksi inflamasi yang berupa hiperremia faring dan demam
4. Memberikan penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit asma,
baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga penderita mengerti
tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan dokter atau perawat yang
merawatnnya.
5. Mengontrol pemberian obat dan memastikan tersedianya obat di rumah untuk mengatasi
eksaserbasi akut
6. Mencegah eksaserbasi akut berulang dan komplikasinya pada saluran nafas.
TUJUAN SPESIFIK
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
eosinofil, neutrofil, dan limfosit. Secara umum, stimulasi reseptor 2 adrenergik pada sel-sel
bronkus akan meningkatkan siklik AMP intraseluler, mengaktivasi kaskade sinyal yang
menginhibisi pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Paparan yang lama terhadap b 2
agonis akan menimbulkan desensitisasi pada jalur-jalur reseptor ini sehingga penggunaannya
yang kronis akan menurunkan inflamasi jalan nafas.
Agonis reseptor 2 adrenergik kerja cepat. Obat-obat ini diberikan rata-rata
secara inhalasi dengan onset kerja 1 5 menit dan menimbulkan bronkodilatasi paling sedikit
selama 2 6 jam. Jika diberikan dalam dosis oral, durasinya akan semakin lama.
Obat yang paling selektif untuk merelaksasikan otot polos jalan nafas dan memulihkan
bronkokonstriksi adalah agonis reseptor b2 adrenergik. Terapi dengan obat ini lebih disukai
untuk meredakan simtom dispneu yang dikaitkan dengan bronkokonstriksi asma.
Beberapa studi telah meneliti mengenai efek terapi agonis reseptor 2 adrenergik kerja lama
yang dikombinasikan dengan inhalasi glukokortikoid untuk pasien dengan asma persisten.
Kombinasi yang dilakukan misalnya pada salmeterol-flutikason dan formoterol-budesonide.
Data yang ada menunjukkan bahwa penambahan agonis reseptor 2 adrenergik dengan
steroid inhalasi lebih efektif dibandingkan menggandakan dosis steroid. Disebabkan karena
terapi kronik dengan inhalasi agonis reseptor b2 adrenergik kerja lama tidak menurunkan
inflamasi jalan nafas secara signifikan, kebanyakan ahli tidak menggunakan agen-agen
tersebut untuk terapi asma.
Walaupun melalui stimulasi reseptor 2 adrenergik bisa menginhibisi pelepasan mediatormediator inflamasi dari sel mast, pemberian agonis reseptor 2 adrenergik dalam jangka
waktu lama, baik melalui oral maupun inhalasi, tidak akan menurunkan hiperresponsivitas
bronchial. Oleh karena itu, kecekderungan pengobatan lebih ditekankan terapi simtomsimtom yang kronis.
Korteks adrenal melepaskan sejumlah besar steroid ke dalam sirkulasi. Beberapa memiliki
aktivitas biologis minimal dan fungsi primer sebagai precursor, dan beberapa lainnya
fungsinya belum diketahui. Hormone steroid dibagi berdasarkan efek utamanya:
1. pada metabolisme perantara dan fungsi imun (glukokortikoid)
2. yang mempunyai aktivitas utama menahan garam, dan
3. yang mempunyai aktivitas adronergek dan estrogenik
Kebanyakan efek glukokortikoid yang diketahui dimediasi oleh luasnya distribusi reseptor
glukopkortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada penyimpanan glikogen hepar dan
efek anti inflamasi.
Efek anti infalamasi dan immunosupresi:
Glukokortikoid mempunyai kapasitas mengurangi manifestasi peradangan secara dramatis.
Ini disebabkan oleh efeknya yang hebat terhadap konsentrasi, distribusi, dan fungsi leukosit
perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase A2. Setelah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid kerja singkat, konsentrasi netrofil meningkat sedangkan jumlah limfosit (sel T
dan B), monosit, eusinofil, dan basofil dalam sirkulasi menurun. Peningkatan netrofil
disebabkan oleh peningkatan influksdari sumsum tulang dan penurunan migrasi dari
pembuluh darah, yang menyebabkan penurunan jumlah sel pada daerah peradangan.
Pengurangan limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil dalam sirkulasi adalah sebagai akibat
perpindahannya dari vascular bed ke jaringan limfoid.
Glukokortikoid menghambat fungsi leukosit dan jaringan makrofag. Kemampuan sel ini
untuk menimbulkan respon terhadap antigen dan mitogen dikurangi. Efek terhadap makrofag
sangat jelas dan membatasi kemampuan memfagositosis dan membunuh organism serta
memproduksi IL1, pirogen, kolagenase, elastase, TNF, dan aktivator plasminogen. Limfosit
menghasilkan sedikit IL2.
Glukokortikoid juga mempengaruhi respon peradangan dengan mengurangi sintesis Pg dan
leukotrien yang diakibatkan aktivasi fosfolipase A2. Kortikosteroid juga meningkatkan
konsentrasi lipokortin, protein anggota family aneksin yang mengurangi sediaan substrat
fosfolipid fosfolipase A2. Akhirnya, glukokortikosteroid dapat mengurangi ekspresi
siklooksigenase, jadi mengurangi jumlah enzim yang tersedia untuk memproduksi Pg.
Glukokortikoid tampaknya menghambat ekspresi COX II, yang mungkin merupakan enzim
yang lebih terlibat dalam efek peradangan eikosanoid. Efeknya kurang terhadap ekspresi
COX I.
aktif fenasetin. Asetaminofen merupakan alternative efektif sebagai agen analgesicantipiretik; akan tetapi efek antiinflamasinya lebih rendah. Diindikasikan untuk meredakan
nyeri pada osteoarthritis, tetapi tidak relevan untuk mensubstitusikan aspirin atau NSAID lain
pada kondisi inflamasi kronis seperti arthritis reumatoid.
Asetaminofen merupakan memiliki efek analgesic dan antipiretik yang sama dengan aspirin.
Dosis maksimal per hari, 1000 mg, menghasilkan suatu inhibisi kasar baik pada COX-1 dan
COX-2. Hal ini akhirnya menimbulkan penyaranan bahwa penggunaan terutama inhibisi
COX pada otak, menjelaskan efikasi antipiretiknya. Varian COX-1 yang diekspresikan pada
otak, COX-3, menunjukkan suseptibilitas inhibisinya oleh asetaminofen secara in vitro. Akan
tetapi, hal ini belum diujicobakan pada manusia sehingga belum diketahui apakan inhibisinya
terkait dengan efikasi asetaminofen pada manusia.
Dosis tunggal atau berulang asetaminofen tidak memiliki efek pada system kardiovaskular
dan respirasi, pada plateket, atau koagulasi. Perubahan asam basa dan urikosuria tidak terjadi,
begitu juga dengan iritasi gaster, erosi, atau perdarahan yang terjadi saat pemberian asam
salisilat.
Teofilin modifikasi
2. Prednisone
Glukokortikoid oral yang digunakan untuk eksaserbasi khususnya bila
sebelumnya telah mendapatkan terapi agonis reseptor beta kerja singkat yang
oksigen,
bronkodilator
agonis),
(beta
glukokortikoid
ada
perbaikan
efektif
Kontraindikasi : hipersensitivitas, infeksi serius (kecuali meningitis tuberculosis),
tromboembolik, ulserasi peptic, gangguan hepar; hati-hati pada lansia, anak yang
4. Parasetamol
FK : diabsorpsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna; konsentrasi tertinggi
plasma dicapai dalam waktu setengah jam, waktu paro 1-13 jam; 25% terikat
dalam protein plasma, metabolism oleh enzim mikrosom hati, 80% dikonjugasi
R/
R/
R/
Pro
: Tina
Umur : 11 tahun
Alamat : Jl. Lumba-lumba 2, Bima