Anda di halaman 1dari 12

ANALISA PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENANGANAN TINDAK

PIDANA BERDASARKAN PANDANGAN HUKUM ALAM, AUFKLARUNG,


POSITIVISME HUKUM DAN PROGRESIF.

I.

Latar Belakang Masalah

Tuntutan bagi kepastian hukum saat ini begitu berlebihan, sehingga menghasilkan
prasangka-prasangka yang berlebihan pula. Walaupun diakui kebutuhan akan perlindungan
hukum, kebutuhan praktis secara kolektif bergeser secara perlahan kepada individu-individu,
sangat diharapkan. Proses perlindungan hukum dapat salah satunya yang paling utama dari tubuh
Polri, dimana garda terdepannya adalah Badan Reserse Kriminal. Langkah terhadap proses
perlindungan tersebut dimulai dari proses Penyelidikan dan Penyidikan tindak pidana. Hal
tersebut pun merupakan tugas pokok Polri sesuai kedudukannya selaku aparat penegak hukum.
Menurut pasal 1 Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam KUHAP untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
bukti itu membuat terang tentang tindak pidana dan guna menemukan tersangkanya.
Sedangkan penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-undang untuk melakukan tindakan
penyidikan.
Terkait hal tersebut diatas maka dalam penulisan makalah ilmiah ini mencoba
memberikan gambaran bagaimana sebuah penanganan tindak pidana yang telah dilakukan oleh
Penyidik dalam hal Ini Satuan Fungsi Reskrim, baik itu tingkat mabes mauapun di wilayah
secara utuh, baik itu tindak pidana yang konvensional maupun penanganan tindak Pidana
transnasional. Sebab disini penulis ingin menggambarkan apa yang selama ini telah dilakukan
dan mengapa masih saja terjadi penyimpangan, yang akhirnya menimbulkan suatu keluhan atau
complain dari masyarakat.
Berangkat dari permasalahan tersebut maka kita perlu memahami Tentang apa yang
dimaksud sebagai Tindak Pidana. Pengertian Tindak pidana (strafbaar feit) Menurut Prof.
Moeljatno S.H., Tindak Pidana adalah, perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,

larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang
melanggar aturan tersebut.
Terdapat 3 (tiga) hal yang perlu diperhatikan :
Perbuatan pidana adalah perbuatan oleh suatu aturan hukum dilarang dan
diancam pidana.
Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang
ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada
orang yang menimbulkan kejadian itu.
Antara larangan dan ancaman pidana ada hubungan yang erat, oleh karena antara
kejadian dan orang yang menimbulkan kejadian itu ada hubungan erat pula.
Kejadian tidak dapat dilarang jika yang menimbulkan bukan orang, dan orang
tidak dapat diancam pidana jika tidak karena kejadian yang ditimbulkan
olehnya.
Maka dalam hal penanganannya pun membutuhkan suatu keahlian dan keterampilan
terkait fungsi penyidikan tindak Pidana. Kita ketahui bersama, seorang penyidik saat ini
senantias didengungkan untuk meningkatkan kemampuan dan keterampilannya dalam hal
penyidikan, dengan pelatihan, dengan pendidikan kejuruan, dan sebagainya. Namun penulis
melihat hal ini ternyata masih kurang menyentuh suatu landasan berpikir atau dari mana
seharusnya penyidik berangkat dalam mempersiapkan sebuah rangkaian proses penyidikan
terhadap laporan atau perkara Pidana.
LANDASAN TEORI HUKUM
Terkait keadaan masyarakat saat ini sebaiknya kita memahami ide atau Pendasar daripada
hukum alam yang rasional adalah Hugo de Groot atau Grotius yang hidup pada tahun 15831645, ia mewariskan buah pikirannya dalam dua bukunya yang termashur yaitu De Jure Belli ac
Pacis dan Mare Liberum. Pemikirannya banyak dipengaruhi kaum Stoa dan Scholastik.

Menurut Grotius, sifat manusia yang khas adalah keinginannya unuk bermasyarakat, untuk hidup
tenang bersama, hal ini sesuai dengan watak intelektualnya. Prinsip hukum alam berasal dari
sifat intelektual manusia yang menginginkan suatu masyarakat yang penuh damai. Di atas
prinsip-prinsip hukum alam, Grotius membangun sistemnya mengenai hukum internasional.
Prinsip-prinsipnya yang paling fundamental adalah pacta sun servanda, yaitu tanggung jawab
atas janji-janji yang diberikan dan perjanjian-perjanjian yang ditandatangani. Peraturan-peraturan
lain dari hukum alam adalah menghormati milik rakyat dan mengembalikan keuntungan yang
diperoleh daripadanya, membetulkankerusakan yang disebabkan oleh kesalahan seseorang, dan
pengakuan atas hal-hal tertentu sebagai hukuman yang memang seharusnya didapat. Hukum
alam dapat dibedakan ke dalam hukum alam sebagai metode dan hukum alam sebagai
substansi. Pertama, hukum alam sebagai metode merupakan yang tertua yang dapat dikenali
sejak zaman kuno sampai kepada abad permulaan abad pertengahan.
Hukum alam memusatkan dirinya pada usaha untuk menemukan metode yang dapat
dipakai untuk menciptakan peraturan-peraturan yang mampu untuk menghadapi keadaan yang
berlainan. Artinya , tidak mengandung norma-norma sendiri melainkan hanya memberi tahu
tentang bagaimana membuat peraturan yang baik. Kedua, berbeda dengan hukum Alam sebagai
metode, sebagai substansi Hukum Alam justru berisi norma-norma. Dengan anggapan ini, orang
dapat menciptakan sejumlah besar peraturan-peraturan yang dialirkan dari beberapa asas yang
absolut, yang lazim dikenal sebagai hak-hak asasi manusia. Hukum Alam yang kedua ini
merupakan ciri dari abad ketujuh belas dan kedelapan belas. ( Bernard L, Tanya, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia Lintas ruang dan Generasi, cetakan IV, hal 79) GENTA, 2013
Aliran Utilitiarianisme, aliran ini dipelopori oleh Jeremi Bentham (1748-1783) Jhon
Stuart Mill (1806-1873), dan Rudolf von Jhering ( 18..-1889). Dengan memegang prinsip
manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan
mengurangi penderitaan, Bentham mencoba menerapkannya di bidang Hukum. Atas dasar ini,

baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu mendatangkan kebahagiaan atau
tidak. ( Bernard L, Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas ruang dan Generasi,
cetakan IV, hal 79) GENTA 2013
Teori Hukum Positif Sebelum lahirnya aliran ini berkembang suatu pemikiran dalam ilmu
hukum dikenal sebagai legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan
dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, termasuk Indonesia. Aliran ini mengidentikkan
hukum dengan Undang-undang. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Tokohnya
yang terkenal dalam penerapan hukum positif atau aliran Positivisme hukum yang analistis,
John Austin (1790-1859). Ada 2 (dua) buku John Austin yang terkenal, yakni, The province of
jurisprudence determined dan Lectures on Jurispredence. Buku kedua berisikan kuliah-kuliah
Austin semasa hidup tentang Jurisprudence. Tentang Hukum, Austin berkata dalam kumpulan
kuliah tersebut sebagai berikut :Law is a command of the lawgiyer. Hukum merupakan
perintah dari penguasa dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kedaulatan.
Selanjutnya, Austin berkata bahwa hukum adalah perintah yang dibebankan untuk mengatur
makhluk berpikir yang memegang dan mempunyai kekuasaan. Austin menganggap dan
mempunyai kekuasaan. Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan
bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak
didasarkan pada nilai-nilai yang baik dan buruk. Sebab penyidik saat ini cenderung hanya
menggunakan satu kitab sucinya dan itu ternyata masih berlaku hampir diseluruh wilayah
Indonesia, bahkan juga terjadi di level Bareskrim, Mabes Polri. Dengan kata lain penyidik masih
mengagungkan teori Positivisme Hukum dari John Austin. Dengan gagasan yang utama dari
Austin bahwa , setiap hukum adalah sebuah perintah- perintah seorang raja atau penguasa untuk
rakyatnya dalam keadaan tunduk kepada wewenangnya. Hukum, tulisnya,bersumber dari
atasan dan mengikat bawahanIstilah perintah adalah kunci bagi ilmu yurisprudensi.

Artinya jika kita yakinkan bahwa undang-undang Kitab Hukum Pidana yang ada saat ini
serba cukup,maka bagaimana dengan sifat masyarakat yang terus berubah dan suatu hal yang
pasti, perubahan terhadap setiap orang, seakan-akan tidak pernah puas. Sebuah kacamata hukum
tidak berupa kaca mata kuda yang memandang setiap permasalahan pidana hanya bisa
diselesaikan melalui penerapan hukum positif.
Terkait dengan perbandingannya maka penulis mencoba menggunakan teori Dean
Roscoe Pound, dimana kita bisa menghargainya dengan banyaknya saat ini sekumpulan undangundang baru yang berisikan aturan secara efektif, atau dapat dikatakan memangkas birokrasi
yang panjang. Artinya dalam memepercepat institusi kita, lembaga tinggi kita untuk
mengesahkan undang-undang guna hukum dapat bermanfaaat lebih efektif bagi tugas rekayasa
social yang relative lebih bijaksana. Pandangan Pound terhadap hukum sebagai sarana untuk
menjamin kepentingan social. Dengan kata lain Pound menilai tuntutan akan stabilitas
keseragaman kepastian keamanan terutama sebagai respon atas kebutuhan social prkatis bagi
penghapusan peperangan dan perselisihan maupun upaya menciptakan keamanan dan ketertiban
dalam kelompok social. Keinginan Pound adalah menciptakan suatu hukum untuk kebutuhan
praktis akan stabilitas dan kebutuhan praktis akan perubahan, namun juga mengakui tuntutan
akan kepastian dapat menjadai terlalu berlebihan dan bahkan cenderung akan merugikan diri
sendiri.
Terkait pandangan, terhadap

masalah sanksi sebagai aktivitas hukum, Soerjono

Soekanto (1985:82) mengemukakan bahwa kalangan hukum lazimnya kurang memperhatikan


masalah sanksi positif. Sanksi negatif lebih banyak dipergunakan karena adanya anggapan kuat
bahwa hukuman lebih efektif. Dapatlah dikatakan bahwa sanksi-sanksi tersebut tidak mempunyai
efek yang bersifat universal. Efek suatu sanksi merupakan masalah empiris, oleh karena itu
manusia mempunyai persepsi yang tidak sama mengenai sanksi-sanksi tersebut.

Teori progesif dimana diartikan oleh, Satjipto Rahardjo pemidanaan itu hanya dapat
diterima bila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang lebih besar. Teori yang
mengutamakan asas manfaat ini dirasakan memadai bagi konsep penindakan tipikor, jika
memang penindakan tipikor yang dilakukan pada kenyataannya bermanfaat, berfaedah dan
berdaya guna bagi bangsa dan negara, maka keadilan dan kesejahteraan akan tercapai, khususnya
dalam mencegah kebocoran penggunaan anggaran dan mengembalikan uang negara yang telah
diselewengkan
II.

Permasalahan Dan Contoh Kasus

Sebagaimana disampaikan diawal, penulis mencoba untuk tidak hanya terjebak dengan
memandang satu contoh kasus yang kemudian akan dijabarkan atau dipaparkan, namun disini
keinginan penulis untuk dapat mencoba mendeskrepsikan sebuah penanganan yang selama ini
dilakukan oleh penyidik Polri. Memang akan nada beberapa contoh-contah kasus yang
disebutkan dan penulis anggap mampu mewakili dari keadaan saat ini terkait penangan perkara
tindak pidana. Karena harapan dari penulisan ini adalah mampu mendeskripsikan sebuah
penegakan hukum saat ini dan harapan lain adalah mampu memberikan solusi terkait penerapan
landasan berpikir terhadap setiap penyelesaian perkara tindak pidana.
Jika kita menyimak sebuah pemberitaan di media berita on line saat ini yang tergambar
adalah bagaimana Polri masih merupakan ujung tombak yang terdepan dalam penangan perkara
tindak Pidana Konvesional. Namun tidak lagi sebagai yang terdepan untuk perkara-perkara yang
membutuhkan penerapan undang undang khusus. maka penulis mengangkat contoh kasus yang
di ambil dari media elektonik digital, Jakarta - Kepala Bareskrim Polri Komjen Sutarman
membantah penilaian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang menganggap polisi lambat
dalam menangani kasus korupsi meski anggarannya naik. "Untuk kasus 2013 ini, Bareskrim
anggaran untuk 23 kasus. Dan kita sudah menyidik 34 kasus, sehingga sudah melebihi dari

anggaran. Yang sudah selesai perkaranya 18 kasus," kata Sutarman di Sekretariat Kompolnas, Jl
Tirtayasa, Jakarta Selatan, Kamis(5/9/2013). Dia mengatakan, biaya anggaran untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi, pihaknya mengalokasikan Rp 208 juta untuk satu
perkara. Jumlah ini merupakan hasil peningkatan guna menggenjot kinerja penyidik Direktorat
Tindak Pidana (Tipid) Korupsi. Sebelumnya, Kompolnas menilai belum ada prestasi Direktorat
Tipikor Bareskrim Polri dalam mengungkap kasus dugaan korupsi. Intervensi dan rendahnya
komitmen dianggap sebagai penyebabnya. "Belum ada kasus besar korupsi yang diungkap
Polri," kata Komisioner Kompolnas M Naseer, dalam jumpa pers di Sekretariatnya, Jl Tirtayasa,
Jakarta Selatan, Selasa (20/8/2013). Dia menuding ada campur tangan dalam proses penegakan
hukum kasus korupsi. "Kondisi yang melatarbelakangi, Polri terbiasa diintervensi kekuatankekuatan politik. Ini yang menjadi sebuah catatan," kata Naseer. Dia mencotohkan kasus dugaan
korupsi pengadaan alat kesehatan yang melibatkan mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah
Supari. Sejauh ini proses di Polri tidak terdengar perkembangannya. ( kamis, 05/09/2013 13 : 32
WIB

http://news.detik.com/read/2013/09/05/133209/2350177/10/dinilai-lamban-tangani-

korupsi-ini-jawaban-polri?nd771104bcj.
Kemudian penanganan kasus konvensional yang dimuat Pos Kota news.com jumat 17
mei 2013, 66 preman dirazia, puluhan Senajta Tajam Disita Polisi, dimana Wakapolres Jakarta
Pusat, Hendro Pandowo, didampingi kasat Reskrim AKBP. Rahmat menuturkan terjaringnya 66
preman dan anak jalanan ini merupakan tindak lanjut Pimpinan yang mau membersihkan
kejahatan premanisme yang nota bene sudah membahayakan bagi keamanan maupun pejalan
kaki. lanjutnya ada enam puluh preman yang terjaring dalam operasi preman, setelah dipilahpilah hanya 31 orang yang akan diproses karena terbukti melakukan dan memiliki senjata tajam
sedang 35 orang lagi akan dibina. tegas Pandowo.

Dari berita online detiknews, senin 25/11/2013, berita terkait penanganan kasus
malpraktik, mengakibatkan meninggalnya pasien atas nama Julia Fransiska Makatey

yang

meninggal saat menajalani operasi Caesar, medio April 2010, dengan tersangka dr. Dewa Ayu
Sasiary Prawani dan Kolega. Dimana putusan hakim sebelumnya membebaskan tersangka dr.
ayu dan koleganya namun berdasarkan kasasi akhirnya divonis 10 bulan penjara, akibat dari
laporan ibunda Julia, Yulin Mahengkeng, kepihak kepolisian dan diproses selama 8 bulan, yang
kemudian dilimpahkan kekejaksaan, dan berujung dipengadilan pada tanggal 15 september
2011, dimana tuntutan selama 10 bulan penjara berkahir bebas dipengadilan negeri manado,
namun MA menajtuhkan dengan penjara 10 bulan(menerima kasasi).
Namun berita ini ternyata memilki evek akan adanya demo oleh dokter kandungan di
Indonesia dengan melakukan mogok dikarenakan alasan kriminalisasi terhadap Dokter. Yang
rencananya akan digelar Rabu 27 November 2013.
Dari beberapa kasus tersebut kita pun masih ingat bagaimana penangana terhadap kasus
sandal jepit dan kasus buah kakao yang berujung manjadi bulan-bulanan media massa.
Dari beberapa cuplikan berita dan contoh kasus tersebut sebenanrnya masih banyak lagi,
namun dalam batasan ini penulis mencoba melihat permasalahan yang timbul dan gambaran
penanganan suatu tindak pidana ternyata tidak semudah membalikan telapak tangan, dan juga
evek atau dampak yang dihasilkan ternyata sangat luas dan besar.
III.

Analisa

Bila kita lihat Terhadap beberapa cuplikan berita diatas maka sebenarnya Polri dalam hal
ini Penyidik Reskrim, telah melaksanakan tugasnya dengan mengusung hukum positif dan
sampai tuntas menurut pandanganm Positivisme hukum. Namun ada juga beberapa tindakan
kepolisan juga sedikit mengarah kepada upaya penyelesaian perkara criminal dengan

menggunakan konsep manfaat, namun ternyata penjelasan yang disampaikan atau statement
terhadap tindakan tersebut masih kurang tepat bahkan kembali terasa nuansa positviseme
hukumnya.
Sebagaimana yang disampaikan oleh wakapolres Jakarta Pusat, mengenai upaya
pemberantasan premanisme, yang merupakan tindak lanjut dari kebijakan pimpinan, untuk dapat
memberantasan premanisme.
Kecenderungan takut untuk menggunakan opsi atau alasan terhadap penerapan teori-teori
yang lebih bisa menerima dan menanungi keinginan masyarakat atai social sangat

yang

merupakan Kodrat sebagai mahluk Tuhan yang harus mengedapankan Moral dan sebagai
dukungan terhadap ratio, serta menekankan bahwa hukum itu berlaku universal dan abadi.
Sebagaimana kutipan dari teori , sejarah Hukum alam adalah sejarah umat manusia dalam
usahanya untuk menemukan apa yang dinamakan absolute justice (keadilan mutlak). Dalam arti
sudut Pandang penegak hukumnya, yang seharusnya dapat melihat bahwa perbuatan yang telah
diatur dalam UU seharusnya digunakan secara matang, mengedepankan moral dalam mencari
suatu kebenaran dalam hal ini penyidikan, menggunakan ratio sebagai mahluk Tuhan yang harus
mengedapankan Moral. Dalam proses penyidikan berguna untuk mengungkap fakta-fakta secara
benar dan pemahaman tentang keadilan merupakan batasan moral yang akan menimbulkan
keadaan tanpa merasa takut adanya interfensi, penyidik memiliki tugas yang mulia dalam
menegakan hukum karena berdasarakan pemahaman untuk menegakan kebenaran dan
kebahagiaan masyarakat secara luas.
Membaca Contoh kasus penegakan hukum yang terdapat pada berita diatas dikaitkan
dengan Teori-teori Hukum tersebut adalah Menurut Grotius, bahwa sifat manusia yang khas
adalah keinginannya unuk bermasyarakat, untuk hidup tenang bersama, hal ini sesuai dengan
watak intelektualnya. Maka Pelaku Subsider tersebut sebenarnya memang memiliki kemampuan

Intelektual, berpendidikan, memiliki Jabatan dalam suatu lembaga Kementerian Pusat. Dapat
diakatakan posisi yang bersangkutan merupakan posisi mapan. Namun begitu dihadapkan
kepada pertanggung jawaban pidananya maka tokoh Intelektual tersebut seakan-akan berada
dalam suatu keadaan yang tidak bisa mengelak. Namun dorongan, keinginan untuk hidup
berkecukupan dan tenang justru, maka si terpidana memilih jalan yang tindakannya tanpa
didasari pertimbangan moral sebagai mahluk Tuhan.
Sebagaimana pandangan kaum Aufklarung yang memandang suatu keadilan juga harus
bermanfaat dan dalam hal ini tokohnya telah membagi system kekuasaan dalam tiga bagian yang
merupakan wujud menghindari adanya penyalahgunaan wewenang. Dengan harapan bahwa bila
memang ternyata ada kekurangan atau penyimpangan dalam kegiatan pemerintahan maka dapat
diawasi dan diingatkan. Termasuk dalam upaya penegakan hukum Tindak Pidana Korupsi, tidak
bisa berjalan hanya dari segi Penegakan Hukum ataupun dengan mengandalkan peran kepolisian
sebagai alat pemerintah mencibtakan keteraturan masyarakat dan tertib Hukum. Dan harus bisa
dirasakan terhadap rakyat banyak. Bukan sebaliknya hanya untuk kepentingan suatu kelompok.
Sehingga sebagaimana contoh kasus diatas seharusnya tidak terjadi bila diawal penyidikan
memahami kondisi dan keadaan masyarakat secara luas, sehingga dapat menentukan sekala
prioritas terhadap penanganannya. Dan dengan Penerapan terhadap Vonis yang cukup maksimal
terhadap pelaku Subsider tersebut kiranya dapat pula diikuti atau menjadi rujukan dari aparat
penegak hukum lainnya untuk mewujudkan kepastian hukum.
Dari pandang penganut Teori progesif dimana mengutamakan asas manfaat, sehingga
dirasakan memadai bagi konsep penindakan tipikor, jika memang penindakan tipikor yang
dilakukan pada kenyataannya bermanfaat, berfaedah dan berdaya guna bagi bangsa dan negara,
maka keadilan dan kesejahteraan akan tercapai, khususnya dalam mencegah kebocoran
penggunaan anggaran dan mengembalikan uang negara yang telah diselewengkan. Kejar dan cari

keberadaan, atau penyimpanan harta dari hasil korupsi sita dan kembalikan ke Kas Negara,
kemudian hal tersebut akan menjadi pembelajaran bagi warga masyarakat lain agar tidak
mengulangi perbuatan yang sama. Jika memang pembantu pelaku saja di vonis dengan hukuman
yang bisa dikatakan setimpal, mengapa tidak bagi pelaku Primernya untuk disiapkan penerepan
dan pembuktian yang mengarah kepada hukuman yang juga setimpal.
IV.

Kesimpulan

Sehingga benang merah terhadap upaya penegakan hukum dalam memberantas tindak
pidana Korupsi harus dengan memahami beberapa aspek teori hukum yang digunakan, dari
kacamata moral sipelaku, rasa keadilan dalam pemidanaan, kemudian setelah mengetahui serta
memahami perkara yang ditangani maka dapat menentukan prioritas Penyidikan, sehingga
berujung kepada untuk dapat diterapkan sanksi yang sesuai dengan perbuatannya sehingga
mendatangkan manfaat yang lebih besar lagi terhadap kesejahteraan orang banyak dan juga
terciptanya keteraturan masyarakat dan tertib Hukum.
Disini supremasi hukum dapat ditegakan oleh Penegak Hukum yang mahir dan
profesional, dalam hal Ini Polri, yang dijalankan oleh Fungsi Penyidikan yaitu Reserse Kriminal
Polri sebagai ujung tombak Penyidikan.

Daftar Pustaka
1. Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Jakarta, PT. Kompas Media Nusantara,
2010.
2. Romli Atmasasmita, Teori Hukum Integratif, Rekonstruksi Terhadap Teori Hukum
Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Genta Publishing, Maret 2012
3. Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi,
Genta Publishing, 2010
4. Sutikno, Filsafat Hukum,Pradnya-Paramita, Jakarta, 1976, Jilid II

5. Haliamtusdayah:http://halimasadyah.blogspot.com/2010/02/aliran-aliran-teorihukum.html

Anda mungkin juga menyukai