Anda di halaman 1dari 5

CARA KERJA DAN TUJUAN PEMBERIAN OBAT

1. Salbutamol
Salbutamol merupakan agonis reseptor selektif untuk pengobatan asma.
Dengan beberapa kriteria, sediaan ini diberikan secara inhalasi. Salbutamol
bersifat agonis selektif jangka pendek untuk meredakan simtom asma.
Mekanisme antiasma agonis reseptor beta adalah untuk merelaksasikan otot
polos jalan nafas sehingga terjadi bronkodilatasi.

Walaupun otot polos

bronkus manusia menerima inervasi simpatis sedikit atau bahkan tidak ada,
tetapi kadar reseptor beta sangat banyak. Agonis resepor beta juga akan
meningkatkan konduktansi sejumlah besar kanal Ca2+-sensitif K+ pada otot
polos jalan nafas yang kemudian menimbulkan hiperpolarisasi dan relaksasi.
Sebagian kecil mekanisme ini melibatkan aktivitas adenilat siklase dan
prosuksi siklik AMP. Adanya stimulasi reseptor b 2 adrenergik akan
menghambat aktivitas sel mast, basofil, eosinofil, neutrofil, dan limfosit.
Secara umum, stimulasi reseptor 2 adrenergik pada sel-sel bronkus akan
meningkatkan siklik AMP intraseluler, mengaktivasi kaskade sinyal yang
menginhibisi pelepasan mediator inflamasi dan sitokin. Paparan yang lama
terhadap b2 agonis akan menimbulkan desensitisasi pada jalur-jalur reseptor
ini sehingga penggunaannya yang kronis akan menurunkan inflamasi jalan
nafas.
Agonis reseptor 2 adrenergik kerja cepat. Obat-obat ini
diberikan rata-rata secara inhalasi dengan onset kerja 1 5 menit dan
menimbulkan bronkodilatasi paling sedikit selama 2 6 jam. Jika diberikan
dalam dosis oral, durasinya akan semakin lama.
Obat yang paling selektif untuk merelaksasikan otot polos jalan nafas dan
memulihkan bronkokonstriksi adalah agonis reseptor b2 adrenergik. Terapi
dengan obat ini lebih disukai untuk meredakan simtom dispneu yang dikaitkan
dengan bronkokonstriksi asma.

Beberapa studi telah meneliti mengenai efek terapi agonis reseptor 2


adrenergik kerja lama yang dikombinasikan dengan inhalasi glukokortikoid
untuk pasien dengan asma persisten. Kombinasi yang dilakukan misalnya
pada salmeterol-flutikason dan formoterol-budesonide. Data yang ada
menunjukkan bahwa penambahan agonis reseptor 2 adrenergik dengan
steroid inhalasi lebih efektif dibandingkan menggandakan dosis steroid.
Disebabkan karena terapi kronik dengan inhalasi agonis reseptor b 2 adrenergik
kerja lama tidak menurunkan inflamasi jalan nafas secara signifikan,
kebanyakan ahli tidak menggunakan agen-agen tersebut untuk terapi asma.
Walaupun melalui stimulasi reseptor 2 adrenergik bisa menginhibisi
pelepasan mediator-mediator inflamasi dari sel mast, pemberian agonis
reseptor 2 adrenergik dalam jangka waktu lama, baik melalui oral maupun
inhalasi, tidak akan menurunkan hiperresponsivitas bronchial. Oleh karena itu,
kecekderungan pengobatan lebih ditekankan terapi simtom-simtom yang
kronis.

Polimorfisme reseptor b2 adrenergik juga memberikan kontribusi

terhadap efek terapi dan efek samping agonis b2 adrenergik.


2. Prednison
Prednisone merupakan prodrug yang dengan cepat diubah menjadi
prednisolone, bentuk aktifnya dalam tubuh.
Korteks adrenal melepaskan sejumlah besar steroid ke dalam sirkulasi.
Beberapa memiliki aktivitas biologis minimal dan fungsi primer sebagai
prekursor, dan beberapa lainnya fungsinya belum diketahui. Hormon steroid
dibagi berdasarkan efek utamanya:
1. pada metabolisme perantara dan fungsi imun (glukokortikoid)
2. yang mempunyai aktivitas utama menahan garam, dan
3. yang mempunyai aktivitas adrenergik dan estrogenik
Kebanyakan efek glukokortikoid yang diketahui dimediasi oleh luasnya
distribusi reseptor glukopkortikoid. Efek utama glukokortikoid ialah pada
penyimpanan glikogen hepar dan efek anti inflamasi.

Efek anti infalamasi dan immunosupresi:


Glukokortikoid mempunyai kapasitas mengurangi manifestasi peradangan
secara dramatis. Ini disebabkan oleh efeknya yang hebat terhadap konsentrasi,
distribusi, dan fungsi leukosit perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase
A2. Setelah pemberian dosis tunggal glukokortikoid kerja singkat, konsentrasi
netrofil meningkat sedangkan jumlah limfosit (sel T dan B), monosit,
eusinofil, dan basofil dalam sirkulasi menurun. Peningkatan netrofil
disebabkan oleh peningkatan influksdari sumsum tulang dan penurunan
migrasi dari pembuluh darah, yang menyebabkan penurunan jumlah sel pada
daerah peradangan. Pengurangan limfosit, monosit, eosinofil, dan basofil
dalam sirkulasi adalah sebagai akibat perpindahannya dari vascular bed ke
jaringan limfoid.
Glukokortikoid menghambat

fungsi leukosit dan jaringan makrofag.

Kemampuan sel ini untuk menimbulkan respon terhadap antigen dan mitogen
dikurangi. Efek terhadap makrofag sangat jelas dan membatasi kemampuan
memfagositosis dan membunuh organism serta memproduksi IL1, pirogen,
kolagenase, elastase, TNF, dan aktivator plasminogen. Limfosit menghasilkan
sedikit IL2.
Glukokortikoid juga mempengaruhi respon peradangan dengan mengurangi
sintesis Pg dan leukotrien yang diakibatkan aktivasi fosfolipase A2.
Kortikosteroid juga meningkatkan konsentrasi lipokortin, protein anggota
family aneksin yang mengurangi sediaan substrat fosfolipid fosfolipase A2.
Akhirnya, glukokortikosteroid dapat mengurangi ekspresi siklooksigenase,
jadi mengurangi jumlah enzim yang tersedia untuk memproduksi Pg.
Glukokortikoid tampaknya menghambat ekspresi COX II, yang mungkin
merupakan enzim yang lebih terlibat dalam efek peradangan eikosanoid.
Efeknya kurang terhadap ekspresi COX I.
Efek terhadap pasien asthma:
Tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator, tapi sebagai anti
inflamasi, dengan menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosanoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil, dan leukosit
lain di jaringan paru, serta menurunkan permeabilitas vaskular.

3. Gliseril Guaikolat
Gliseril guaikolat adalah obat golongan ekspektoran yang bekerja merangsang
pengeluaran dahak dari saluran nafas (ekspektorasi). Mekanismenya diduga
berdasarkan stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks
merangsang sekresi kelenjar saluran napas lewat N. Vagus, sehingga
menurunkan viskositas dan mempermudah pengeluaran dahak. Gliseril
guaikolat ini mempunyai efek samping berupa kantuk mual dan muntah.
4. Parasetamol
Asetaminofen

(paracetamol;

N-acetyl-p-aminophenol;

TYLENOL)

merupakan metabolit aktif fenasetin. Asetaminofen merupakan alternatif


efektif sebagai agen analgesic-antipiretik; akan tetapi efek antiinflamasinya
lebih rendah. Diindikasikan untuk meredakan nyeri pada osteoarthritis, tetapi
tidak relevan untuk mensubstitusikan aspirin atau NSAID lain pada kondisi
inflamasi kronis seperti arthritis reumatoid.
Asetaminofen merupakan memiliki efek analgesic dan antipiretik yang sama
dengan aspirin. Dosis maksimal per hari, 1000 mg, menghasilkan suatu
inhibisi kasar baik pada COX-1 dan COX-2. Hal ini akhirnya menimbulkan
penyaranan bahwa penggunaan terutama inhibisi COX-3 pada otak,
menjelaskan efikasi antipiretiknya. Varian COX-1 yang diekspresikan pada
otak, COX-3, menunjukkan suseptibilitas inhibisinya oleh asetaminofen
secara in vitro. Akan tetapi, hal ini belum diujicobakan pada manusia sehingga
belum diketahui apakan inhibisinya terkait dengan efikasi asetaminofen pada
manusia.
Dosis tunggal atau berulang asetaminofen tidak memiliki efek pada system
kardiovaskular dan respirasi, pada plateket, atau koagulasi. Perubahan asam
basa dan urikosuria tidak terjadi, begitu juga dengan iritasi gaster, erosi, atau
perdarahan yang terjadi saat pemberian asam salisilat.

Penggunaan terapeutik. Asetaminofen cocok digunakan untuk mengganti


aspirin sebagai agen analgesik dan antipiretik pada pasien tertentu yang
kontraindikasi terhadap aspirin. Dosis konvensional oral asetaminofen sekitar
325 hingga 1000 mg; dosis total harian tidak boleh melebihi 4000 mg.

Anda mungkin juga menyukai