Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI GAGAL JANTUNG

Gagal jantung merupakan suatu sindroma klinis kompleks yang didasari ketidakmampuan
jantung untuk memompakan darah ke seluruh jaringan tubuh secara adekuat akibat adanya
gangguan struktural dan atau fungsional jantung. Pasien dengan gagal jantung harus
memenuhi kriteria sebagai berikut :

Gejala-gejala (symptoms) dari gagal jantung berupa sesak nafas spesifik pada saat
istirahat atau saat beraktivitas dan atau rasa lemah dan tidak bertenaga

Tanda-tanda (signs) dari gagal jantung berupa retensi air seperti kongesti paru, edema
tungkai

Bukti objektif, ditemukannya abnormalitas dari struktur dan fungsional jantung


seperti kardiomegali, S3, murmur kardiak, abnormalitas ekokardiogram, peningkatan
konsentrasi peptide natriuretik.

Heart Failure is Clinical Syndrome in Which Patients Have The Following Features
Symptoms typical of heart failure
(breathlessness at rest or on exercise, fatigue, tiredness, ankle swelling)
and
Signs typical of heart failure
(tachycardia, tachypnoea, pulmonary rates, pleural effusion, raised JVP, peripheral oedema,
hepatomegaly)
and
Objectives evidence of a structural or functional abnormality of the heart at rest
(cardiomegaly, third heart sound, cardiac murmurs, abnormality on the echocardiogram, raised
natriuretic peptide concentration)

Klasifikasi Gagal Jantung


Beberapa istilah digunakan dalam gagal jantung yaitu :

Gagal jantung Sistolik dan Diastolik


Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan
aktivitas fisik menurun, dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung diastolic adalah
gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel atau gagal jantung dengan frasi
ejeksi lebih dari 50%. Tidak dapat dibedakan GJ sistolik maupun diastolic dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Untuk itu deperlukan pemeriksaan Dopplerekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis.

Gagal jantung Akut dan Kronis


Gagal jantung akut adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, ataupun infark miokardium luas. Curah jantung menurun
mendadak menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Gagal
jantung kronis adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi
perlahan. Kongesti perifer sangat mencolok, namun tekanan darah masih terpelihara

baik.
Gagal Jantung Kanan dan Kiri
6

Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel akan meningkatkan tekanan


vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak nafas dan ortopnea. Gagal
jantung kanan terjadi jika kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada
hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi
kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi
vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimiawi gagal jantung terjadi pada
miokard kedua ventrikel.

Gagal Jantung Kiri


Left ventricular hypertrophy
S3/S4
Rales paru
Efusi pleura
Chyne-Stokes
Pulsus alternans
Takikardia
Kongesti vena sistemik

Gagal Jantung Kanan


Right ventrukular heave
S3
Bendungan vena jugularis
P2 menguat (bila kausanya adalah gagal
jantung kiri)
Edema pretibial & pergelangan kaki
Hidrotoraks
Hepatomegali

Klasifikasi NYHA (New York Heart Assosiation) untuk Gagal Jantung Kronis
Kapasitas
Fungsional
Class I

Penilaian Objektif
Pasien dengan penyakit jantung namun tanpa keterbatasan pada aktivitas fisik.
Aktivitas fisik biasa tidak menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, atau nyeri

Class II

angina
Pasien dengan penyakit jantung yang menyebabkan keterbatasan aktivitas fisik
ringan. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik biasa

Class III

mengakibatkan kelemahan, palpitasi, sesak, atau nyeri anginal.


Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan keterbatasan bermakna
pada aktivitas fisik. Pasien merasa nyaman pada waktu istirahat. Aktivitas fisik
yang lebih ringan dari biasanya menyebabkan keletihan, palpitasi, sesak, dan

Class IV

nyeri anginal.
Pasien dengan penyakit jantung yang mengakibatkan ketidakmampuan untuk
menjalani aktivitas fisik apapun tanpa rasa tidak nyaman. Gejala gagal jantung
atau sindroma angina dapat dialami bahkan pada saat istirahat. Jika aktivitas
fisik dilakukan, maka rasa tidak nyaman semakin meningkat.

Klasifikasi AHA/ACC
7

Stage gagal jantung berdasarkan struktur dan kerusakan otot jantung:


Stage A

: risiko tinggi berkembangnya HF, namun tidak ada abnormalitas struktur dan
fungsi, tidak ada tanda dan gejala

Stage B : berkembangnya penyakit jantung struktural yang berhubungan kuat dengan


berkembangnya HF, tetapi tidak ada tanda dan gejala.
Stage C

: HF simptomatik yang berhubungan dengan penyakit jantung struktural yang


mendasarinya.

Stage D

: penyakit jantung struktural tahap lanjut dan ada gejala HF saat istirahat

padahal sudah dilakukan terapi maksimal

2. ETIOLOGI GAGAL JANTUNG


Berbagai macam penyakit jantung baik yang congenital maupun didapat bisa
menimbulkan komplikasi gagal jantung. Suatu mekanisme fisiologis yang bisa menimbulkan
gagal jantung adalah:
1) Peningkatan beban awal atau preload
2) Peningkatan beban akhir atau afterload
3) Dan penurunan kontraktilitas miokardium.
Kondisi yang bisa meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta serta cacat
septum interventrikularis. Sedangkan kondisi yang bisa menimbulkan peningkatan beban
akhir seperti stetosis aorta dan hipertensi sistemik. Penurunan kontraktilitas miokard bisa
menurun pada keadaan iskemia miokard dan kardiomiopati.
Selain hal diatas, kondisi lain yang bisa menyebabkan terjadinya gagal jantung adalah
pada penyakit katup jantung seperti stenosis katup atrioventrikularis yaitu penyakt katup
tricuspid atau katup mitral. Factor lainnya bisa berupa tamponade janung , perikarditis
konstriktif dan emboli paru.
Factor-faktor yang dapat mencetuskan terjadinya gagal jantung secara mendadak
adalah disritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru serta adanya emboli paru.
-

Disritmia: disritmia akan menggangu fungsi mekanis jantung dengan cara mengubah
rangsangan listrik respon mekanis. Jika respon mekanis ini diubah, akan
menghasilkan irama jantung yang tidak sinkron dan regular.
8

Infeksi: tubuh akan memberikan respon terhadap infeksi dengan cara memaksa

jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme yang meningkat.


Emboli paru: jika terjadi emboli paru secara mendadak, maka akan meningkatkan
resistensi terjadap ejeksi ventrikel kanan yang akan memicu terjadinya gagal jantung
kanan.
Karena itu, pada penanganan gagal jantung terapi yang diberikan tidak hanya

dipertimbangkan berdasarkan mekanisme fisiologis dari penyakitnya, tetapi juga perlu dilihat
dari sisi penyebab yang mencetuskan penyakit tersebut.

3. MANIFESTASI KLINIS GAGAL JANTUNG


Dispnea
Gawat pernafasan yang terjadi akibat dari meningkatnya usaha pernafasan adalah
gejala yang paling umum. Pada gagal jantung awal, dispnea dialami hanya selama
aktivitas, namun dengan semakin berlanjutnya gagal jantung dispnea semakin agresif
dengan aktivitas yang tidak begitu berat sampai akhirnya sesak nafas timbul walaupun
pasien sedang beristirahat. Perbedaan utama antar dispnea pada orang normal dan orang
dengan gagal jantung adalah derajat aktivitas fisik yang menimbulkan gejala. Dispnea
jantung diamati paling sering pada pasien dengan peningkatan vena pulmonalis dan
tekanan kapiler. Pasien mengalami pembendungan pembuluh darah pulmonal dan
edema paru interstisialis (yang mungkin terbukti pada pemeriksaan radiologik) dan
penurunan kelenturan paru yang oleh sebab itu meningkatkan kerja otot-otot penafasan
yang dibutuhkan untuk mengembangkan paru. Aktivasi reseptor dalam paru ditunjukan
dengan adanya pernafasan cepat dan dalam yang khas dari dispnea jantung. Kebutuhan
akan oksigen semakin meningkat sebagai akibat dari kerja keras otot-otot pernafasan
untuk memasukan atau mengeluarkan udara dari paru yang mengalami kongesti
(bendungan), ini diperparah dengan berkurangnya aliran oksigen ke otot-otot ini
sebagai konsekuensi dari adanya penurunan curah jantung (cardiac output).
Ketidakseimbangan ini menyebabkan kelelahan otot-otot pernafasan dan sensasi sesak
nafas.

Orthopneu
Dispnea dalam posisi berbaring biasanya merupakan manifestasi akhir dari gagal
jantung dibanding dengan dispnea pada saat aktivitas. Ortopnea terjadi karena
9

redistribusi cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke dada ketika berbaring yang
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler paru yang dikombinasikan dengan elevasi
diagfragma. Pasien dengan ortopnea harus meninggikan kepalanya dengan beberapa
bantal pada malam hari dan seringkali terbangun karena sesak nafas atau batuk
(sehingga disebut batuk malam hari). Sensasi sesak nafas biasanya dapat hilang dengan
duduk tegak karena posisi ini mengurangi aliran balik vena (venous return) dan
menurunnya tekanan hidrostatik pada bagian atas paru sehingga menambah vital
capacity paru. Bila gagal jantung berlanjut, ortopneu dapat menjadi begitu berat
sehingga pasien tidak dapat berbaring sama sekali dan harus tidur malam dengan posisi
duduk.

Disisi lain, pada pasien lain dengan gagal ventrikel kiri berat yang telah

berlangsung lama, gejala kongesti paru dapat menghilang bersamaan dengan


terganggunya fungsi ventrikel kanan.

Paroksismal Noktural Dyspnea


Menunjukan kepada sesak nafas berat dan batuk yang umumnya terjadi pada
malam hari, yang biasanya membangunkan pasien dari tidur dan membuat pasien takut
untuk melanjutkan tidurnya. Walaupun pada ortopnea sederhana dapat dikurangi
dengan duduk tegak pada tempat tidur dengan tungkai tergantung, pada pasien PND ,
batuk dan mengi seringkali menetap bahkan dalam posisi ini. Bronkospasme akibat
kongesti pada mukosa dan udema interstitial menekan bronki, menambah kesukaran
ventilasi dan nafas sehingga PND dan batuk malam hari yang ditandai oleh mengi
sekunder terhadap bronkospasme-terutama pada malam hari, disebut sebagai asma
kaudinal. PND dapat terjadi karena depresi pusat pernafasan selama tidur yang
mengurangi ventilasi untuk menurunkan tekanan oksigen arteri, terutama pada pasien
dengan edema paru interstisial dan penurunan compliance paru. Selain itu juga mungkin
disebabkan terganggunya fungsi ventrikel pada malam hari akibat berkurangnya
rangsangan adrenergik pada fungsi miokard

Batuk dapat menyertai sesak. Batuk biasanya berdahak berwarna merah muda, dahak
berbusa dan kadang-kadang ada serat darah sebagai akibat edema (pembengkakan)
paru. Pasien juga tampak cemas.

Fatigue and Weakness

10

Keluhan ini tidak spesifik tetapi merupakan symptom umum pada gagal jantung
karena kekurangan perfusi pada otot skeletal.

Abdominal symptoms
Penderita gagal jantung mungkin mengeluh anorexia, nausea, vomiting,
distensi,

rasa

penuh,

sakit.

Keluhan-keluhan

ini mungkin disebabkan

bendungan liver dan sistem vena porta.

Cerebral symptoms
Pada gagal jantung berat terutama pada usia lanjut biasanya disertai
dengan arterosklerosis serebral, terjadi penurunan perfusi serebral, hipoksemia,
kemungkinan confusion, daya ingat berkurang, kurang konsentrasi, sakit kepala dll.

Nocturia
Adalah eksresi melalui ginjal yang bertambah pada posisi baring, berawal dari
udema yang terjadi pada siang hari. Cairan udema masuk ke intravaskuler,
menambah venous return, C.O dan diuresis pada malam hari.

Gagal Ventrikel Kiri


- Manifestasi klinis:
a. Dispnea
b. Ortopnea
c. Dispnea nocturnal paroksismal
d. Kadang mengi/wheezing
e. Batuk
f. Sputum merah muda berbusa
g. Toleransi aktivitas menurun (sulai darah jaringan menurun metabolism anaerob
asidosis metabolic ATP menurun Fatigue toleransi aktivitas menurun)
Gagal Ventrikel Kanan
a. Edema perifer
b. Asites
c. Ikterik
d. Nyeri hati
e. Mual (Tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari
sirkulasi vena pembesaran vena di abdomen mual)
f. Nafsu makan berkurang (akibat edema usus)
g. Efusi pleura yang jarang terjadi
h. Distensi vena jugular

11

4. PATOFISIOLOGI GAGAL JANTUNG


Fungsi sistolik jantung ditentukan oleh 4 hal utama: keadaan kontraktilitas
miokardium, preload ventrikel (volume akhir diastolic dan resultan panjang serabut
ventrikel sebelum mulai kontraksi), afterload ke arah ventrikel (tahanan pada saat ejeksi
ventrikel) dan frekuensi denyut jantung.
Fungsi jantung dapat menjadi tidak adekuat jika terjadi beberapa perubahan pada
determinan tersebut. Pada sebagian besar keadaan, perubahan utama adalah depresi
kontraktilitas miokardial karena menurunnya fungsi otot miokardial untuk berkontraksi
dengan baik yang dapat diakibatkan oleh infark miokard dan beberapa penyebab lainnya.
Selain penurunan kontraktilitas, jantung juga dapat gagal berfungsi sebagai pompa yang
optimal akibat preload yang sangat meningkat, yang dapat terjadi pada kasus regurgitasi
katup, atau jika afterload sangat meningkat, seperti yang terjadi pada stenosis aorta atau
hipertensi yang sangat berat. Selain hal-hal yang telah disebutkan, fungsi pemompaan
juga dapat terganggu jika frekuensi jantung sangat lambat atau sangat cepat. Apabila
jantung normal dapat mentoleransi variasi preload, afterload, dan frekuensi jantung dalam
rentang yang lebar, jantung yang terganggu hanya memiliki kapasitas cadangan yang
sangat terbatas untuk mengatasi perubahan ini yang akan mengakibatkan fungsi
pemompaan jantung menjadi tidak normal.
Secara umum gagal jantung dapat dibagi dalam 2 komponen:
1. Gagal miokardium yang ditandai dengan menurunnya kontraktilitas
2. Respon sistemik terhadap menurunnya fungsi miokardium, diantaranya:
a. Meningkatnya aktivasi sistem simpatetik
b. Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron dan stimulasi pelepasan vasopressin
c. Vasokonstriksi arteria renalis

Pada gagal jantung terjadi berbagai penyesuaian kompensatorik yang


bertujuan untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi jaringan. Mekanisme
intrinsic jantung berupaya meningkatkan curah jantung dengan cara mekanis, yang
mengakibatkan terjadinya hipertrofi dan perubahan bentuk ventrikel. Bila perubahan12

perubahan tersebut efektif, secara klinik tidak akan nampak adanya sindrom gagal
jantung meskipun ventrikel sudah mengalami perubahan seperti hipertrofi dan
perubahan bentuk. Stadium ini disebut dengan stadium disfungsi ventrikel kiri
asimptomatik (compensated failure).
Jika perubahan-perubahan kompensatorik pada jantung masih tidak cukup
untuk menunjang sirkulasi, selanjutnya akan terjadi perubahan-perubahan autoregulatorik, melalui sistem neuro-endokrin untuk mempertahankan tekanan darah
dengan vasokonstriksi, retensi cairan dan meningkatnya stimulasi adrenergik. Terjadi
redistribusi aliran darah dari daerah yang mengalami vasokonstriksi seperti ginjal dan
otot skelet yang akan mengakibatkan edema, kelelahan dan sesak nafas. Stadium ini
disebut stadium disfungsi ventrikel simptomatik, sindroma klinik gagal jantung
(decompensated heart failure).
Aktivasi sistem simpatetik terjadi pada masa awal gagal jantung, mula-mula
untuk menstimulasi kontraktilitas intrinsic miokard dan frekuensi jantung, namun
kemudian akan menimbulkan vasokonstriksi perifer. Dasar perubahan sistem neuroendokrine pada gagal jantung kongestif adalah aktivasi sistem renin-angiotensinaldosteron yang menyebabkan vasokonstriksi renal, sistemik dan retensi cairan.
Disamping itu angiotensin II mempunyai efek jaringan yang kuat yang menstimulasi
hipertrofi dan fibrosis pada ventrikel.
Perubahan-perubahan auto-regulatorik ini meskipun pada awalnya dapat
menstabilkan tekanan darah, akan tetapi kemudian dapat mengakibatkan perubahanperubahan kompensatorik pada jantung dan sirkulasi yang pada akhirnya dapat
tampak sebagai sindroma gagal jantung.

PENEGAKKAN DIAGNOSIS

13

Kriteria Mayor

Kriteria Minor

Paroxysmal nocturnal dyspnea

Bilateral ankle edema

Neck vein distension

Nighttime cough

Rales

Dyspnea on ordinary exertion

Cardiomegaly on chest radiograph

Hepatomegaly

Pulmonary edema on chest radiograph

Pleural effusion

S3 gallop

Heart rate > 120 bpm

Central venous pressure > 16 cm H2O


Hepatojugular reflux
Weight loss > 4.5 kg in 5 days in response to
treatment

Kriteria Framingham dapat digunakan untuk diagnosis gagal jantung kongestif.


Menurut Framingham kriterianya gagal jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor
dan kriteria minor. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut:
Dalam menegakkan diagnosis, diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis HF relatif tidak sulit jika pasien datang dengan gejala dan
tanda klasik untuk HF; akan tetapi, gejala dan tanda HF kebanyakan tidak spesifik dan tidak
sensitive. Karena hal tersebut, kunci untuk mendiagnosis adalah mempunyai tingkat
kecurigaan tinggi terutama pada pasien beresiko. Ketika pasien datang dengan gejala dan
tanda HF, pemeriksaan laboratorium penunjang sebaiknya dilakukan.
Anamnesis
Biasanya pasien HF datang dengan keluhan sesak dan penurunan toleransi aktifitas. Pada
anamnesis ditanyakan berbagai keluhan dan riwayat terkait Heart Failure.
Pemeriksaan Fisik
14

Pemeriksaan fisis yang teliti selalu penting dalam mengevaluasi pasien dengan HF.
Tujuan pemeriksaan adalah untuk membantu menentukan penyebab dari HF, begitu pula
untuk menilai keparahan dari sindrom yang menyertai. Memperoleh informasi tambahan
mengenai keadaan hemodinamika dan respon terhadap terapi serta menentukan prognosis
merupakan tujuan tambahan lainnya pada pemeriksaan fisis. Pemeriksaan fisik yang
dilakukan terkait Gagal jantung dan kemungkinan hasil temuan akan dibahas sebagai
berikut:

Keadaan Umum dan Tanda Vital.


Pada gagal jantung ringan dan moderat, pasien sepertinya tidak mengalami gangguan
pada waktu istirahat, kecuali perasaan tidak nyaman jika berbaring pada permukaan
yang datar dalam beberapa menit. Pada HF yang lebih berat, pasien harus duduk
dengan tegak, dapat mengalami sesak napas, dan kemungkinan tidak dapat
mengucapkan satu kalimat lengkap karena sesak yang dirasakan. Tekanan darah
sistolik dapat normal atau tinggi pada HF ringan, namun biasanya berkurang pada HF
berat, karena adanya disfungsi LV berat. Tekanan nadi dapat berkurang atau
menghilang, menandakan adanya penurunan stroke volume. Sinus takikardi
merupakan tanda nonspesifik disebabkan oleh peningkatan aktivitas adrenergik.
Vasokonstriksi perifer menyebabkan dinginnya ekstremitas bagian perifer dan sianosis
pada bibir dan kuku juga disebabkan oleh aktivitas adrenergik berlebih.

Pemeriksaan Vena Jugular


Pemeriksaan vena jugularis memberikan informasi mengenai tekanan atrium kanan.
Pada HF stadium dini, tekanan vena jugularis dapat normal pada waktu istirahat
namun dapat meningkat secara abnormal seiring dengan peningkatan tekanan
abdomen (abdominojugular reflux positif). Gelombang v besar mengindikasikan
keberadaan regurgitasi trikuspid.
Cara pengukurannya:
15

pasien berbaring dengan sudut 45 derajat (sumber lain menyebutkan 30-60


derajat) dengan posisi kepala pada bantal.

Vena yang dilakukan pengukuran adalah venu jungularis dan tersering


dilakukan pada ven ajungularis eksterna.

Pasien diminta menolehkan muka kontralateral dari sisi vena yang akan
diperiksa.

Titik nol ditetapkan pada angulus sternalis dan dilakukan penekanan pada
vena serta melihat ketinggian pulsasi maksimum dari vena.

Tekanan RA adalah 5 cm dibawah sternum pada semua posisi tubuh. Nilai


normal JVP adalah 2-3 cm atau 7-8 cm dia atas atrium kanan. Jika JVP
melebihi 3-4 di atas normal atau

Pemeriksaan Pulmoner
Ronchi pulmoner (rales atau krepitasi) merupakan akibat dari transudasi cairan dari
ruang intravaskuler kedalam alveoli. Pada pasien dengan edema pulmoner, rales dapat
terdengar jelas pada kedua lapangan paru dan dapat pula diikuti dengan wheezing
pada ekspirasi (cardiac asthma). Jika ditemukan pada pasien yang tidak memiliki
penyakit paru sebelumnya, rales tersebut spesifik untuk HF. Perlu diketahui bahwa
rales seringkali tidak ditemukan pada pasien dengan HF kronis, bahkan dengan
tekanan pengisian LV yang meningkat, hal ini disebabkan adanya peningkatan
drainase limfatik dari cairan alveolar. Efusi pleura terjadi karena adanya peningkatan
tekanan kapiler pleura dan mengakibatkan transudasi cairan kedalam rongga pleura.
Karena vena pleura mengalir ke vena sistemik dan pulmoner, efusi pleura paling
sering terjadi dengan kegagalan biventrikuler. Walaupun pada HF efusi pleura
seringkali bilateral, namun pada efusi pleura unilateral yang sering terkena adalah
rongga pleura kanan.

Pemeriksaan Jantung
Pemeriksaan pada jantung, walaupun esensial, seringkali tidak memberikan informasi
yang berguna mengenai tingkat keparahan HF. Jika kardiomegali ditemukan, maka
apex cordis biasanya berubah lokasi dibawah ICS V (interkostal V) dan/atau sebelah
lateral dari midclavicular line, dan denyut dapat dipalpasi hingga 2 interkosta dari
16

apex. Pada beberapa pasien suara jantung ketiga (S 3) dapat terdengar dan dipalpasi
pada apex. Pasien dengan pembesaran atau hypertrophy ventrikel kanan dapat
memiliki denyut oarasternal yang berkepanjangan meluas hingga systole. S 3 (atau
prodiastolic gallop) paling sering ditemukan pada pasien dengan volume overload
yang juga mengalami takikardi dan takipneu, dan seringkali menandakan gangguan
hemodinamika. Suara jantung keempat (S4) bukan indicator spesifik untuk HF namun
biasa ditemukan pada pasien dengan disfungsi diastolic. Bising pada regurgitasi mitral
dan tricuspid biasa ditemukan pada pasien dengan HF tahap lanjut.

Pemeriksaan Abdomen dan Ekstremitas


Hepatomegaly merupakan tanda penting pada pasien HF. Jika ditemukan, pembesaran
hati biasanya nyeri pada perabaan dan dapat berdenyut selama systole jika regurgitasi
trikuspida terjadi. Ascites sebagai tanda lajut, terhadi sebagai konsekuensi
peningkatan tekanan pada vena hepatica dan drainase vena pada peritoneum.
Jaundice, juga merupakan tanda lanjut pada HF, diakibatkan dari gangguan fungsi
hepatic akibat kongesti hepatic dan hypoxia hepatoseluler, dan terkait dengan
peningkatan bilirubin direct dan indirect.
Edema perifer merupakan manifestasi cardinal pada HF, namun namun tidak spesifik
dan biasanya tidak ditemukan pada pasien yang diterapi dengan diuretic. Edema
perifer biasanya sistemik dan dependen pada HF dan terjadi terutama pada daerah
Achilles dan pretibial pada pasien yang mampu berjalan. Pada pasien yang melakukan
tirah baring, edema dapat ditemukan pada daerah sacral (edema presacral) dan
skrotum. Edema berkepanjangan dapat menyebabkan indurasi dan pigmentasi ada
kulit.

Cardiac Cachexia
Pada kasus HF kronis yang berat, dapat ditandai dengan penurunan berat badan dan
cachexia yang bermakna. Walaupun mekanisme dari cachexia pada HF tidak
diketahui, sepertinya melibatkan banyak faktor dan termasuk peningkatan resting
metabolic rate; anorexia, nausea, dan muntah akibat hepatomegali kongestif dan
17

perasaan penuh pada perut; peningkatan konsentrasi sitokin yang bersirkulasi seperti
TNF, dan gangguan absorbsi intestinal akibat kongesti pada vena di usus. Jika
ditemukan, cachexia menandakan prognosis keseluruhan yang buruk.
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk memastikan diagnosa, mengetahui tahap


penyakit dan kondisi pasien, menentukan etiologi, memantau prognosis dan sebagai
pertimbangan pemberian terapi. Beberapa pemeriksaan yang dilakukan pada pasien Gagal
Jantung:
Radiologi
Pemeriksaan ini memberikan informasi berguna mengenai ukuran jantung dan
bentuknya, begitu pula keadaan vaskuler pulmoner dan dapat mengidentifikasi
penyebab nonkardiak pada gejala pasien. Walaupun pasien dengan HF akut memiliki
bukti adanya hipertensi pulmoner, edema interstitial, dan/atau edema puloner,
kebanyakan pasien dengan HF tidak ditemukan bukti-bukti tersebut. Absennya
penemuan klinis ini pada pasien HF kronis mengindikasikan adanya peningkatan
kapasitas limfatik untuk membuang cairan interstitial dan/atau cairan pulmoner
EKG
Pemeriksaan EKG 12-lead dianjurkan. Kepentingan utama dari EKG adalah untuk
menilai ritme, menentukan keberadaan hypertrophy pada LV atau riwayat MI (ada
atau tidak adanya Q wave). EKG Normal biasanya menyingkirkan kemungkinan
adanya disfungsi diastolic pada LV.
Pemeriksaan Labolatorium Rutin
Pasien dengan onset HF yang baru atau dengan HF kronis dan dekompensasi akut
sebaiknya melakukan pemeriksaan darah rutin lengkap, elektrolit, blood urean
nitrogen (BUN), kreatinin serum, enzim hepatik, dan urinalisis. Pasien tertentu
sebaiknya memiliki pemeriksaan tertentu seperti pada Diabetes Mellitus (gula darah
puasa atau tes toleransi glukosa), dislipidemi (profil lipid), dan abnormaltas thyroid
( kadar TSH).
18

Pemeriksaan Fungsi Ventrikel


Pencitraan kardiak noninvasive penting untuk mendiagnosis, mengevaluasi,
dan menangani HF. Pemeriksaan paling berguna adalah echocardiogram 2D/Doppler,
dimana dapat memberikan penilaian semikuantitatif terhadap ukuran dan fungsi LV
begitu pula dengan menentukan keberadaan abnormalitas pada katup dan/atau
pergerakan dinding regional (indikasi adanya MI sebelumnya). Keberadaan dilatasi
atrial kiri dan hypertrophy LV, disertai dengan adanya abnormalitas pada pengisian
diastolic pada LV yang ditunjukkan oleh pencitraan, berguna untuk menilai HF
dengan EF yang normal. Echocardiogram 2-D/Doppler juga bernilai untuk menilai
ukuran ventrikel kanan dan tekanan pulmoner, dimana sangat penting dalam evaluasi
dan penatalaksanaan cor pulmonale. MRI juga memberikan analisis komprehensif
terhadap anatomi jantung dan sekarang menjadi gold standard dalam penilaian massa
dan volume LV.

Petunjuk paling berguna untuk menilai fungsi LV adalah EF

(stroke volume dibagi dengan end-diastolic volume). Karena EF mudah diukur


dengan pemeriksaan noninvasive dan mudah dikonsepkan. Pemeriksaan ini diterima
secara luas oleh para ahli. Sayangnya, EF memiliki beberapa keterbatasan sebagai
tolak ukur kontraktilitas, karena EF dipengaruhi oleh perubahan pada afterload
dan/atau preload.

Penilaian dengan Biomarker pada Heart Failure


Biomarker yang dimaksud disini ialah biomarker darah dan urin selain dari pada
pemeriksaan labolatorium rutin. Adapun menurut Morrow dan de Lemos, terdapat
tiga kriteria yang harus dipenuhi suatu biomarker untuk dapat digunakan sebagai
pemeriksaan suatu penyakit. Yaitu: (1) ada metode pengukuran yang akurat dan
berulang untuk biomarker tersebut, (2) harganya terjangkau, dan (3) dapat membantu
keputusan klinis. Adapun Braunwald telah mengidentifikasi beberapa kelas
biomarker yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi pasien gagal jantung
dengan baik. Antara lain:
Biomarker Inflamasi: protein C-reaktif, TNF , APO-1, IL-1, IL-6, dan IL-8.

19

Biomarker Stres Oksidative : Lipopretein densitas rendah yang teroksidasi,


Myeloperoxidase,

Urinary

biopyrrins,

Isoprostanes

plasma

dan

urin,

Malondialdehid plasma.
Biomarker Remodeling Jantung : Matrix Metaloproteinase, tissue-inhibitor
Metaloproteinase, Collagen propeptides.
Biomarker neurohormon : NE, renin, Angiotensin II, Aldosteron, Arginine
vasopressine, Endothelin.
Biomarker injuri miosit : Troponin I dan T, Myosin light-chain reaction, Hearttype fatty-acid protein, Creatinine Kinase MB fraction.
Biomarker Stress miosit : BNP, N-terminal pro-BNP, ST2, midregion fragment of
proadrenomeduline.
Biomarker baru (masih perlu penelitian lebih lanjut) : Chromogranin, Galectine 3,
Osteoprotegrin, Adiponectin, Growth differential factor 15.

Adapun diantara banyak biomarker yang umum digunakan dalam klinis adalah BNP,
protein C-reaktif, troponin I dan T, dan TNF. Kadar peptide natriuretik yang
bersirkulasi berguna sebagai alat tambahan dalam diagnosis HF. Baik B-type
natriuretic peptide (BNP) dan N-terminal pro-BNP, yang dikeluarkan dari jantung
yang mengalami kerusakan, merupakan marker yang relative sensitif untuk
menentukan keberadaan HF dengan EF yang rendah; peptide ini juga meningkat pada
pasien HF dengan EF yang normal, walaupun dengan kadar yang lebih sedikit.
Namun demikian, penting untuk diketahui bahwa kadar peptide natriuretik juga
meningkat seiring umur dan dengan gangguan ginjal, lebih meningkat pula pada
wanita, dan dapat meningkat pada HF kanan dari penyebab apapun. Kadar ini dapat
terlihat lebih rendah pada pasien obesitas dan kadarnya dapat normal pada beberapa
pasien setelah pengobatan yang tepat dijalani. Konsentrasi peptide natriuretik yang
normal pada pasien yang tidak ditangani sangat bermanfaat untuk menyingkirkan
diagnosis HF. Biomarker lainnya seperti troponon T dan I, C-reactive protein,
reseptor TNF, dan asam urat, dapat meningkat pada HF dan memberikan informasi
penting mengenai prognosis. Pemeriksaan berkala dari salah satu (atau lebih)
biomarker tersebut sangat membantu untuk mengarahkan terapi pada HF, namun
tidak dianjurkan untuk tujuan ini.
20

5. FAKTOR RISIKO GAGAL JANTUNG


Faktor risiko independen untuk terjadinya gagal jantung serupa dengan faktor risiko
pada penyakit jantung koroner (peningkatan kolesterol, hipertensi, dan diabetes) ditambah
adanya hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy/LVH) pada elektrokardiogram
(EKG) istirahat. LVH dikaitkan dengan 14 kali risiko gagal jantung pada orang berusia lebih
dari 65 tahun. Data kohort dari studi Framingham, yang dimulai tahun 1940-an,
mengidentifikasi riwayat hipertensi pada >75% pasien dengan gagal jantung, sementara
penelitian yang lebih baru menyatakan prevalensi yang lebih rendah (10-15%). Faktor risiko
yang lain adalah: infeksi; kelebihan volume cairan tubuh; penurunan fungsi ginjal;
penyalahgunaan obat; penggunaan alkohol, sifatnya yang kardiotoksik; perokok berat;
obesitas.
9 TERAPI FARMAKOLOGI
o

Diuretik

Bekerja meningkatakan ekskresi natrium, air, dan klorida sehingga menurunkan volume darah dan
cairan ekstraseluler. Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain mekanisme
tersebut, diuretik juga untuk mengatasi gejala dan menurunkan resistensi perifer sehingga menambah
efek hipotensi. Efek ini diduga akibat penurunan natrium diruang intestisial dan di dalam sel otot
polos pembuluh darah yang selanjutnya menghambat influks kalsium.

21

ACE Inhibitors

ACE Inhibitors merupakan obat yang diberikan sejak awal diduganya gagal jantung (first line).
Menghambat perubahan Angiotensin I menjadi Angiotensin II, sehingga terjadi vasodilatasi dan
menurunkan sekresi aldosteron. Selain itu degradai bardikinin juga dihambat sehingga kadar
bradikinin dalam darah meningkat dan berperan dalam efek vasodilatasi ACE Inhibitor. Vasodilatasi
22

secara langsung akan menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan
menyebabkan ekskresi air dan retensi kalium. Contoh obat : Captopril.

-adrenergik reseptor blocker

Beta blocker therapy mewakili kemajuan utama pengobatan pada pasien dengan depresi EF. Cara
kerjanya yaitu, pertama, dengan menurunkan frekuensi denyut jantung jantungdan kontraktilitas
miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung. Kedua, yaitu dengan menghambat sekresi renin di
sel jukstaglomeruler ginjal sehingga menurunkan produksi angiotensin II. Ketiga, yaitu efek sentral
yang mempengaruhi aktivitas saraf simpatis, perubahan pada sensitivitas baroreseptor, dan perubahan
aktivitas neuron adrenergik. Jika Beta blocker dikombinasikan dengan ACE inhibitor, disini Beta
blocker menghambat proses remodeling LV, menyembuhkan gejala pasien, mencegah pasien untuk
dirawat di rumah sakit, dan memperpanjang hidup. Oleh karena itu Beta blocker diindikasikan untuk
pasien dengan simptomatik atau asymptomatic HF dan depresi EF<40%.

Angiotensin reseptor blockers

Obat ini diberikan pada pasien yang intolerant terhadap ACE inhibitors karena dapat mengakibatkan
batuk, ruam pada kulit, dan angioedema. ARB sebaiknya digunakan terhadap pasien simptomatik dan
asimptomatik dengan EF<40% pada pasien yang intoleran terhadap ACE inhibitors yang mengalami
hyperkalemia atau insufficiency renal. Meskipun ACE inhibitors dan ARB menghambat sistem reninangiotensin, tetapi keduanya memiliki mekanisme kerja yang berbeda. Dimana ACE inhibitors
memblok enzim yang merubah angiotensin I menjadi angiotensin II, sedangkan ARB memblok efek
dari angiotensin II pada reseptor angiotensin tipe 1. Beberapa percobaan klinik mendemonstrasikan
keuntungan terapi untuk menambahkan ARB pada pasien dengan CHF. Jika ARB dikombinasikan
dengan Beta blockers, disini ARB menghambat proses remodeling LV, menyembuhkan gejala pasien,
mencegah pasien untuk dirawat di rumah sakit, dan memperpanjang hidup. ARB tidak bisa
dikombinasikan dengan ACE Inhibitors karena menyebabkan hiperkalemi yang dapat mengakibatkan
aritmia.

Antagonis reseptors aldosteron

Meskipun digolongkan dalam diuretik hemat kalium, obat yang memblok efek dari aldosterone
(spironolactone atau eplerenone) memiliki efek yang berguna yaitu sebagai agen dalam sodium
balance. Meskipun ACE inhibitor menurunkan sekresi aldosterone, dengan therapy chronic disini
23

aldosterone akan cepat kembali ke level serupa sebelum penghambatan ACE. Jadi, aldosterone
antagonists direkomendasikan untuk pasien dengan NYHA class IV atau class III HF yang memiliki
depresi EF<35% dan yang mendapatkan terapi yang standard, meliputi diuretik, ACE inhibitors, dan
Beta blocker.

Digoxin

Digoxin diberikan pada lini terakhir (last line). Digoxin direkomendasikan untuk pasien dengan gejala
LV systolic dysfunction yang disertai atrial fibrillation, dan perlu dipertimbangkan untuk diberikan
pada pasien yang memiliki tanda dan gejala HF saat diberikan terapi standard, meliputi ACE
inhibitors dan Beta blockers. Digoxin memacu kontraksi jantung. Terapi dengan digoxin biasanya
24

dengan dosis 0,125-0,25 mg per hari. Untuk beberapa pasien, dosisnya sebaiknya diberikan 0,125 mg
per hari, dan level serum digoxin sebaiknya<1,0 ng/mL, terutama pada pasien tua, pasien dengan
penurunan fungsi renal, dan pasien dengan massa lemak tubuh yang rendah.

Algoritma pengobatan berdasarkan stage gagal

25

BAB III
ANALISIS KASUS
A. Gambaran Umum Pasien
Pasien laki-laki berumur 26 tahun sudah mengalami sesak yang sering kambuh sejak
1,5 tahun yang lalu, dan juga mengeluhkan terdapat nyeri dada. Pasien sudah berada
di rumah sakit sejak seminggu yang lalu, namun sebelumnya diketahui bahwa pasien
sudah sering keluar masuk rumah sakit sejak mengeluhkan sesak yang terus menerus
kambuh sejak 1,5 tahun yang lalu. Sehari sebelum kunjungan lapangan, pasien
didapatkan demam pada malam hari dan didapatkan juga kemerahan dan nyeri pada
paha pasien. Pada awal masuk di rumah sakit juga terdapat penumpukan cairan di
perut yang sekarang sudah berkurang, namum masih terdapat adanya edema pada
kaki. Pasien memiliki riwayat merokok sejak umur 16 tahun dan suka minum kopi,
namun keduanya dihentikan sejak 1,5 tahun yang lalu. Tidak ada riwayat asma dan
penyakit jantung lainnya pada pasien maupun pada kedua orang tua pasien. Pasien
mengeluhkan susah beraktifitas dalam melakukan hal-hal yang cukup mudah seperti
berjalan beberapa langkah dan memerlukan beberapa bantal pada saat tidur agar tidak
merasa sesak. Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 110/40
mmHg, nadi 88 kali/menit dan RR 36 kali/menit.
B. Identitas Pasien
a. Nama
: Tn. A
b. Jenis Kelamin
: Laki-laki
c. Umur
: 26 tahun
d. Alamat
: Selong
e. Pekerjaan
: Kontrak di PU
C. Anamnesis
a. Keluhan Utama
Sesak napas
b. Riwayat Penyakit Sekarang atau Keluhan Penyerta
Nyeri dada yang hilang timbul, sesak jika tidur dengan bantal rendah, sesak yang
biasanya timbul pada cuaca dingin dan musim hujan
c. Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien sudah cukup sering keluar masuk rumah sakit dalam 1,5 tahun yang
terakhir, dalam jangka waktu 4 bulan pasien masuk rumah sakit hingga 8 kali.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada
26

e. Riwayat Sosial & Analisis Faktor Resiko


- Pasien bekerja di PU
- Pasien mengaku merokok hingga 1 bungkus tiap harinya sejak umur 16 tahun,
dan juga mempunyai kebiasaan minum kopi, namun sudah dihentikan sejak
1,5 tahun yang lalu
D. Pemeriksaan Fisik
- GCS
- Keadaan umum
- Tekanan darah
- Nadi Radialis

: 15 (compos mentis)
: kadang sesak, lemah, pucat, dan terdapat edema
: 110/40 mmHg
: frekuensi 88 x/menit, irama teratur, regular, kuat

angkat
-

cukup baik, tidak didapatkan adanya bruit atau thrill


Frekuensi Pernapasan : 36x/menit
Inspeksi umum
Kaki bengkak (+)
jari tabuh/clubbing fingers (-)
Pemeriksaan kepala
Jaundice (-)
Xanthelasma (-)
Eksoptalmus (-)
Pemeriksaan leher
Kedua nadi carotis kiri dan kanan kuat angkat cukup baik, irama teratur
Tida didapatkan adanya struma maupun pembesaran kelenjar tiroid.
Pemeriksaan Tangan
Clubbing finger (-)
Pembengkakan (-)
Pendarahan pada ujung kuku (-)
Kedua ujung ekstremitas atas pasien teraba dingin
Pemeriksaan abdomen
Hepatomegali (-)
Pemeriksaan ekstremitas bawah
Palpasi arteri tibialis posterior tidak teraba
Palpasi arteri dorsalis pedis teraba cukup, tidak didapatkan adanya bruit atau
thrill
Didapatkan adanya edema pitting pada tungkai bawah
Kedua ujung ekstremitas bawah pasien teraba dingin
Pemeriksaan Paru
Tidak didapatkan adanya ronkhi
Pemeriksaan Jugular Venous Pressure
Pada pemeriksaan JVP didapatkan hasil 5+4 , yang menunjukkan hasil JVP
positif
Pemeriksaan Reflux Hepatojugular
Pemeriksaan reflux hepatojugular tidak dilakukan karena pasien merasa nyeri
pada saat dilakukan penekanan pada abdomen.
Pemeriksaan Jantung
o Inspeksi
Luka atau scar bekas operasi (-)
27

Apeks cordis terlihat di ICS 6 axillaris anterior yang menunjukkan


adanya kardiomegali
o Palpasi
Pada saat palpasi apeks jantung denyut teraba kuat di ICS 6 axillaris
anterior
o Perkusi
Pada perkusi didapatkan batas atas jantung pada ICS 4 parasternal, dan
ICS 6 mid axillaris sebagai batas bawah
o Auskultasi
S1 dan S2 terdengar normal
Terdapat bunyi murmur sistolik

E. Pemeriksaan Penunjang
a. EKG

Analisis EKG :
Didapatkan HR = 300/3,5 = 85,7 x/menit (nilai normal 60-100 x/menit).
Didapatkan ST elevasi pada V4, V5, V6
Menunjukkan infark pada bagian anteroseptal

b. Foto polos dada


Analisis Foto toraks PA :
1. Kardiomegali
Cardio-thoracis ratio (CTR) =
CTR

Lebar jantung terlebar


Lebar dada (dekat diafragma)
= 21,5 x 100% = 72 %

28

29,5
Batas CTR normal ada 48-50 %, sedangkan pada foto toraks PA pasien didapatkan
nilai CTR 72% hal ini menunjukan bahwa ukuran jantung pasien mengalami
pembesaran.
2. Gambar tidak menunjukkan adanya edema padu
3. Terlihat gambaran pembesaran ventrikel kiri

c. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan lab yang dilakukan meliputi :


Pemeriksaan

Hasil mgl/dl

Nilai Normal

Glukosa Puasa

91

<160

Kreatinin

1,5

L ; 0,9-1,3 P; 0,6-1,1

Ureum

103

10-15

SGPT

952

< 41

29

Hasil Lab menunjukkan bahwa kreatinin , kadar ureum melebihi batas normal,
menunjukkan bahwa ginjal tidak mampu mengeliminasi nitrogen dalam darah yang
tinggi. Hal ini mungkin berperan dalam peningkatan tekanan darah pada pasien.

F. Diagnosis Pasien
Pada kasus ini, pasien Tn. A (26 tahun) mengeluhkan sesak nafas. Untuk
menentukan apakah penyebab sesak nafas pada pasien akibat cardiac atau non
cardiac, dilakukan anamnesis dan serangkaian pemeriksaan.. Berdasarkan anamnesis,
sesak nafas pasien lebih mengarah ke cardiak, hal ini terbukti dari sesak nafas yang
timbul saat berbaring, sesak berkurang apabila duduk atau ketika berbaring pasien
menggunakan beberapa bantal agar posisi kepala lebih tinggi dari badan. Selain sesak
nafas, pasien juga mengeluhkan nyeri dada yang lokasinya menjalar dari dada,
punggung, tangan serta pinggang dan sering disertai berkeringat terus menerus, mual
dan juga muntah dengan frekuensi yang cukup sering. Sesak nafas timbul secara
berulang, jika dalam aktivitas yang berat ataupun ringan, dan berkurang saat pasien
beristirahat sehingga aktivitas pasien sangat terbatas dan lebih sering menghabiskan
waktu di tempat tidur. Hal ini menggambarkan terjadi suatu ketidakseimbangan antara
suplai oksigen dan beban kerja jantung Tn. A.Dari hasil pemeriksaan vital sign
didapatkan tekanan darah 110/40 mmHg, nadi 88 kali/menit dan RR 36 kali/menit
yang menandakan takipneu dan dari gambaran foto toraks didapatkan CTR = 72%
yang menunjukan bahwa terjadi pembesaran ukuran jantung. Auskultasi pada
permukaan tidak terdengar ronkhi.Namun terdengar bunyi murmur sistolik.

G. Terapi yang telah diberikan


Furosemide 20- 40 mg dan spironolakton 25 mg
Obat deuretik yang bekerja meningkatakan ekskresi natrium, air, dan
klorida sehingga menurunkan volume darah dan cairan ekstraseluler.
Akibatnya terjadi penurunan curah jantung dan tekanan darah. Selain
mekanisme tersebut, diuretic juga menurunkan resistensi perifer sehingga
30

menambah efek hipotensi. Efek ini diduga akibat penurunan natrium diruang
intestisial dan di dalam sel otot polos pembuluh darah yang selanjutnya
menghambat influks kalsium.

Digoksin 0,25 mg
Digoxin direkomendasikan untuk pasien dengan gejala LV systolic
dysfunction yang disertai atrial fibrillation, dan perlu dipertimbangkan untuk
diberikan pada pasien yang memiliki tanda dan gejala HF saat diberikan
therapy standard, meliputi ACE inhibitors dan Beta blockers. Therapy dengan
digoxin biasanya dengan dosis 0,125-0,25 mg per hari. Untuk beberapa pasien,
dosisnya sebaiknya diberikan 0,125 mg per hari, dan level serum digoxin
sebaiknya<1,0 ng/mL, terutama pada pasien tua, pasien dengan penurunan
fungsi renal, dan pasien dengan massa lemak tubuh yang rendah.

31

BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yaitu EKG dan
Foto thoraks maka diagnosa pasien adalah Acute Heart Failure Class III. . Pasien
mengeluhkan susah beraktifitas dalam melakukan hal-hal yang cukup mudah seperti
berjalan beberapa langkah dan memerlukan beberapa bantal pada saat tidur agar tidak
merasa sesak. Dari hasil pemeriksaan vital sign didapatkan tekanan darah 110/40
mmHg, nadi 88 kali/menit dan RR 36 kali/menit yang menandakan takipneu dan dari
gambaran foto toraks didapatkan CTR = 72% yang menunjukan bahwa terjadi
pembesaran

ukuran

jantung.

Auskultasi

pada

permukaan

tidak

terdengar

ronkhi.Namun terdengar bunyi murmur sistolik.


4.2 Saran
Diharapkan untuk kunjungan lapangan selanjutnya agar setiap mahasiswa
didampingi oleh petugas yang lebih ahli (perawat, co-ass, atau dokter) agar dapat
mengobservasi pasien dengan baik dan dapat melakukan pemeriksaan dengan tepat.

32

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 2007. Jilid II, Edisi kelima. Editor Kepala: Aru W.
Sudoyo et.al. Pusat Penerbitan IPD FKUI. Jakarta.
Katzung, Bertran G. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik, Edisi IV. EGC: Jakarta
Gray, Dawkins, Morgan, & Simpson. 2005. Lecture Note Kardiologi. Edisi ke-4.
Jakarta. Penerbit Erlangga.
Joewono, BS. 2003. Ilmu Penyakit Jantung. Airlangga University Press. Surabaya
Lilly, L.S. (editor), Naik, H., Sabatine. 2007. Fourth Edition. Pathophysiology of
Heart Disease. Philadelphia. Lippincott Williams &Wilkins

33

Anda mungkin juga menyukai