Anda di halaman 1dari 2

Pakar: Hukuman Mati di Indonesia Masih

Relevan
Senin, 17 Desember 2007 00:11 WIB | Peristiwa | | Dibaca 3933 kali
Medan (ANTARA News) - Pakar Hukum Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH berpendapat, penerapan
hukuman mati di Indonesia masih relevan dan tidak perlu dihapuskan karena hukuman
tersebut sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM), yakni untuk melindungi masyarakat luas.
"Jadi penerapan hukuman mati itu masih tetap diperlukan dan sampai sekarang masih
tercantum dalam hukum positif Indonesia," katanya menjawab pertanyaan ANTARA News di
Medan, Minggu.
Hingga Februari 2007 tercatat hanya 69 dari 197 negara seluruh dunia yang masih
menerapkan hukuman mati. Selain itu ada 88 negara yang menghapus hukuman mati untuk
seluruh kategori kejahatan, 11 negara menghapus hukuman mati untuk kejahatan pidana biasa
dan 29 negara melakukan moratorium hukuman mati.
Suhaidi yang juga Guru Besar pada Fakultas Hukum USU menilai hukuman mati perlu
diterapkan terhadap pelaku kejahatan berat seperti pembunuhan secara sadis dan bandar
narkoba. Tujuannya adalah untuk membuat efek jera, sehingga masyarakat merasa takut
melakukan perbuatan salah dan melanggar hukum itu.
"Jadi penerapan hukuman mati itu janganlah dianggap sebagai suatu balas dendam atau
pelanggaran HAM terhadap pelaku kejahatan. Penilaian seperti ini tidak dapat diterima,
apalagi dikait-kaitkan pula bahwa tindakan itu tidak manusiawi," katanya.
Menurut dia, pemberlakuan hukuman mati juga diatur dalam ketentuan Undang-Undang yang
berlaku di Indonesia. "Penerapan hukuman mati juga telah dikaji baik-buruknya.

Undang-Undang Penodaan Agama Masih Relevan


March 3, 2010 8:31 pm admin Artikel

Undang-Undang Penodaan Agama Masih Relevan


Staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Eddy OSH, sependapat dengan
Andi Hamzah Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti. Substansi UU Penodaan Agama
telah terdapat dalam Rancangan KUHP Bab VII.
Namun, kata Eddy OSH, UU No. 1 PNPS Tahun 1965 masih relevan karena tidak bertentangan
dengan konstitusi. Selain itu, undang-undang tersebut berkontribusi dalam mewujudkan
ketertiban umum.
UU Penodaan Agama bersifat a quo yang selalu digunakan untuk mengadili pemikiran dan
keyakinan seseorang. Untuk masalah agama ini, a quo masih dibutuhkan untuk melindungi
kepentingan umat beragama, agar tidak terjadi konflik, kata Eddy OSH.
Inilah beritanya:

UU Penodaan Agama Bisa Ditafsirkan Sesukanya


Rabu, 03 Maret 2010, 16:07 WIB

JAKARTAGuru Besar Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Andi Hamzah, berpendapat UU No.
1 PNSP Tahun 1965 Tentang Penodaan Agama bersifat karet, bisa ditafsirkan sesukanya,
karena ada pelanggaran yang dibuat dalam aplikasinya.
Sanksi yang diberikan jika melanggar undang-undang ini awalnya berupa sanksi administrasi,
yaitu berupa teguran. Tindak pidana diberikan jika pelanggaran tetap terjadi, maka bisa
mendapat sanksi kurungan selama 5 tahun. Di situlah pelanggarannya. Biasanya sanski
kurungan dalam perundang-undangan administrasi berupa 1 tahun kurungan, kata Andi
Hamzah dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu.
Menurut Andi Hamzah, UU No. 1 PNPS Tahun 1965 ada hubungannya dengan perumusan delik
hukum pidana. Di seluruh dunia, tindak pidana diberlakukan untuk pelanggaran yang bersifat
netral, seperti pembunuhan dan pemerkosaan.
Namun, ada tiga hal yang tidak bersifat netral, yakni delik kesusilaan, delik agama, dan delik
ideologi. Indonesia, kata Andi Hamzah, masih menganut delik agama di mana persoalaan
penodaan terhadap agama masih diatur dalam undang-undang.
Rancangan UU Penodaan Agama ini dibuat pada tahun 1965 oleh Kejaksaan Agung.
Sebenarnya UU ini dibuat karena adanya ancaman bagi Jaksa Agung. Jika tidak dibuat undangundang tentang penodaan agama, maka Jaksa Agung akan disantet, tutur Andi Hamzah
sebagai saksi ahli yang dihadirkan MK.
Andi Hamzah menuturkan, UU No. 1 PNPS Tahun 1965 ini tak perlu ada jika Rancangan KUHP
Bab VII tentang tindak pidana terhadap agama dan kehidupan bernegara disahkan.
Sementara itu, staf pengajar di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Eddy OSH,
sependapat dengan Andi Hamzah. Substansi UU Penodaan Agama telah terdapat dalam
Rancangan KUHP Bab VII.
Namun, kata Eddy OSH, UU No. 1 PNPS Tahun 1965 masih relevan karena tidak bertentangan
dengan konstitusi. Selain itu, undang-undang tersebut berkontribusi dalam mewujudkan
ketertiban umum.
UU Penodaan Agama bersifat a quo yang selalu digunakan untuk mengadili pemikiran dan
keyakinan seseorang. Untuk masalah agama ini, a quo masih dibutuhkan untuk melindungi
kepentingan umat beragama, agar tidak terjadi konflik, kata Eddy OSH.
Senada dengan Eddy OSH, Pengajar Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Philipus K.
Wijaya, berpendapat, UU No.1 PNPS 1965 dibutuhkan sebagai alat pegangan bagi penegak
hukum untuk bertindak. Saat ini undang-undang tersebut masih dibutuhkan, kata Philipus K.
Wijaya.
Akan tetapi, kata Philipus K. Wijaya, perumusan undang-undang yang mengatur agama tidak
bisa disamakan antarnegara. Budaya dan kearifan lokal perlu juga diperhatikan.

Anda mungkin juga menyukai