ISSN 2086-4604
rencana
pengelolaan
sampah
perlu
dibuat
dengan
tujuan
untuk
mengembangkan suatu sistem pengelolaan sampah yang modern, dapat diandalkan dan efisien
dengan tehnologi yang ramah lingkungan. Dalam sistem tersebut harus dapat melayani seluruh
penduduk, meningkatkan standar kesehatan masyarakat dan memberikan peluang bagi
masyarakat dan pihak swasta untuk berpartisipasi aktif. Untuk itu perlu dilakukan usaha untuk
mengubah cara pandang sampah dari bencana menjadi berkah. Hal ini penting karena pada
hakikatnya pada timbunan sampah itu kadang-kadang masih mengandung komponenkomponen yang sangat bermanfaat dan memiliki nilai ekonomi tinggi namun karena tercampur
ISSN 2086-4604
secara acak maka nilai ekonominya hilang dan bahkan sebaliknya malah menimbulkan
bencana yang dapat membahayakan lingkungan hidup (Suriawira, 2002).
Salah
satu
sumber
sampah
perkotaan
adalah
kampus,
termasuk
banyak
menyumbangkan sampah di daerah sekitarnya. Adapun sampahnya adalah sisa sisa kertas,
dos makanan, kaleng, dan berbagai sampah organik seperti sisa makanan dari kantin, ranting
ranting dan dedaunan. Di Unhas sendiri, tampaknya dedaunan dapat menjadi sumber sampah
yang besar, mengingat banyaknya pula pohon pohon dan tanaman hias lainnya yang tumbuh
di dalam lingkungan Unhas. Adanya sampah daun yang melimpah, sangat potensial untuk
dijadikan kompos yang dapat memberikan manfaat ekonomi berbasis lingkungan, sehingga
perlu dibuat Tempat Pengolahan Sampah Organik di Kampus (TPK) menjadi kompos.
Penelitian ini dilakukan untuk mendayagunakan sampah organik dikampus untuk menghasikan
kompos secara khusus bertujuan untukMembandingkan efektifitas pengomposan dari setiap
jenis daun melalui penambahan bioaktivator dari kotoran ternak.
METODE KERJA
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan adalah kotoran sapi,sampah organik berupa dedaunan dari
wilayah kampus Unhas yaitu: daun bungur, jati putih, dan kihujan; dan larutan EM4; Alat
alat yang digunakan adalah Sekop untuk mencampur atau membalikkan kotoran sapi, ember
untuk membuat larutan EM4, karung goni, dan untuk pembuatan kotak pengamposan
diperlukan balok, papan, dan paku.
Cara kerja
a. Pembuatan Kotak Pengomposan
Pengomposan dilakukan dalam kotak-kotak/bak skala besar. Bahan-bahan mentah akan
dihaluskan dan dicampur secara mekanik. Adapun pembuatan kotak pengomposan adalah
kotak dibuat dengan ukuran 80 x 80 cm dan ketinggian 1 m. Terbuat dari kerangka balok yang
dipasangan dinding dari papan, setiap jarak 15 cm dibuat celah untuk pengudaraan. Kotak
pengomposan dibuat 3, atau dibuat sesuai dengan jumlah perlakuan.
b.Perlakuan
Proses pengomposan dilakukan selama 30 hari dengan penambahan bioaktivator
10% berdasarkan pada beberapa hasil penelitian sebelumnya (Isroi, 2008), selama proses
tersebut dilakukan pengukuran karakteristik fisika-kimia seperti suhu, pH, kelembaban,
penyusutan berat atau reduksi limbah dedaunan dan indikator lainnya seperti bau, warna serta
10
ISSN 2086-4604
ukuran partikel kompos. Daun yang digunakan adalah berasal dari tanaman yang dominan
tumbuh di dalam wilayah kampus Unhas dan dipilih tiga jenis daun. Adapun perlakuan dari
proses dekomposisi sampah daun yaitu:
P1 = Sampah campuran daun + 10% Kotoran sapi
P2 = Sampah campuran daun + 10% EM4
P3 = sampah campuran daun + 5% kotoran sapi + 5% EM4
c. Analisis Hasil Pengomposan
Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji
dilaboratorium untuk atau pun pengamatan sederhana di lapang. Berikut ini disampaikan cara
sederhana untuk mengetahui tingkat kematangan kompos :
-
Penyusutan
Besarnya penyusutan tergantung pada karakteristik bahan mentah dan tingkat
Suhu
Suhu kompos yang sudah matang mendekati dengan suhu awal pengomposan. Suhu
o
kompos yang masih tinggi, atau di atas 50 C, berarti proses pengomposan masih berlangsung
aktif.
-
11
ISSN 2086-4604
dapat direkomendasikan sebagai perlakuan yang memberikan hasil yang lebih baik
berdasarkan parameter fisika-kimia dan besarnya reduksi sampah.
Proses dekomposisi dilakukan selama 30 hari, selama proses tersebut dilakukan
pengukuran karakteristik fisika-kimia seperti suhu, pH, kelembaban, penyusutan berat atau
reduksi limbah dedaunan dan indikator lainnya seperti bau, warna serta ukuran partikel
kompos. Daun yang digunakan adalah berasal dari tanaman yang dominan tumbuh di dalam
wilayah kampus Unhas dan dipilih tiga jenis daun yaitu daun bungur, jati putih, dan kihujan.
Suhu
Pada awal dekomposisi atau hari ke-0, rata-rata suhu limbah setelah percampuran
adalah 250C. Pada hari ke-5 suhu proses dekomposisi sampah organik pada semua perlakuan
ada peningkatan yang menandakan proses dekomposisi sudah berjalan, yaitu sekitar 32 - 340C.
Suhu tertinggi adalah 340C pada perlakuan campuran bioaktivator antara kotoran sapi dengan
EM4. Penurunan suhu perlahan lahan mulai terjadi pada hari ke-20 yaitu pada semua
perlakuan. Selama proses dekomposisi sampah daun pada semua perlakuan, dilakukan
pengamatan terhadap suhu dan hasilnya seperti pada Gambar 1.
Suhu
Hari
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari hari ke-0 suhu mulai meningkat yang
menandakan dimulainya proses dekomposisi. Peningkatan suhu maksimum selama proses
dekomposisi mencapai 480C terlihat pada hari ke-15 untuk perlakuan campuran bioaktivator
P3. Menurut Ruskandi (2006) temperatur tinggi yaitu 550C perlu dipertahankan sekurang-
12
ISSN 2086-4604
kurangnya 15 hari berturut turut, dan tumpukan dibalik 5 kali selama proses dekomposisi.
Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu. Bioaktivator inokulum campuran berbagai jenis
mikriorganisme selulllitik dan lignolitik untuk mempercepat laju pengomposan.
Suhu mempengaruhi jenis mikrorganisme yang hidup di dalam media. Suhu
poengomposan yang dicapai dalam penelitian ini sekitar 28-300C dan berlangsung secara
optimal sampai hari ke-30. Menurut Ruskandi (2006) dalam proses pengomposan aerobik
terhadap dua fase yaitu fase mesofilik 23-450C dan fase termofilik 45-650C. Kisaran
temperatur ideal tumpukan kompos adalah 55-650C. Kisaran temperatur ideal tumpukan
kompos adalah 55-650C. Pada temperatur tersebut perkembangbiakan mikroorganisme adalah
yang paling baik sehingga populasinya baik, disamping itu, enzim yang dihasilkan untuk
menguraikan bahan organik paling efektif daya urainya. Suhu yang selama awal proses
dekomposisi sangat penting, karena: membunuh bibit penyakit,menetralisir bibit hama,
mematikan bibit rumput atau molekul organik yang resisten.Selain itu, temperatur yang tinggi
dalam tumpukan mengakibatkan pecahnya telur serangga pada sampah, serangga dan bakteri
patogen akan mati. Temperatur udara luar tidak akan mempengaruhi temperatur dalam
tumpukan kompos.
pH
Nilai pH pada hari ke-0 relatif sama pada setiap perlakuan yaitu antara pH 6,6 -6,7.
Fluktuasi perubahan pada masing masing perlakuan disajikan pada Gambar 2. Selama proses
dekomposisi sampah organik daun pada hari ke-0 mengalami penurunan, pH terendah adalah
4,6 pada perlakuan penambahan hanya kotoran sapi pada hari ke-15 disusul pada perlakuan
penambahan EM4 yaitu pH 5 pada hari ke-20, sedangkan pada perlakuan campuran yaitu pH
5,5 dicapai pada hari ke-10. Pada akhir proses dekomposisi pH akan mengalami peningkatan
ke arah pH netral, dari pengamatan mulai terjadi peningkatan pH pada hari ke -20 untuk
perlakukan penambahan kotoran sapi P1 sampai hari ke-30 dari pH 4,6 menjadi pH 6,8 dihari
ke-30, pada perlakuan campuran bioaktivatot P3 lebih cepat mengalami peningktan pH yaitu
sejak hari ke-15 yaitu pH 6,1, sedangkan pada perlakuan penambahan EM4 P2 relatif tidak
terjadi peningkatan pH yang menonjol sejak hari hari ke-20 hingga hari ke-30.
Derajat keasaman atau pH pada awal dekomposisi turun karena sejumlah mikroba
tertentu bahan limbah organik menjadi asam organik, namun proses selanjutnya, mikroba jenis
lainnya menggunakan asam organik yang akan menyebabkan pH menjadi naik kembali.
13
ISSN 2086-4604
Menurut Shiddieqy (2005), aktifitas mikroba indigenous di dalam sampah organik. Selanjutnya
asam organik digunakan mikroba jenis lain sehingga derajat keasaman kembali netral. Hal ini
disebabkan sejumlah mikroorganisme tertentu mengubah sampah organik menjadi asam
organik. Setelah beberapa hari pH kembali naik karena asam- asam organik dikonsumsi oleh
mikroorganisme sehingga pH menjadi naik kembali sampai kompos tersebut matang.
pH
Hari
Rata-rata hasil perubahan pH yang memperlihatkan peningkatan kembali pH masingmasing perlakuan.Menurut Ruskandi (2006) pH yang terlalu basa akan mengeluarkan amonia
yang berbau tida sedap. pH yang terlalu basa maupun terlalu asam akan mengeluarkan bau dan
ini akan mengundang lalat. Dalam proses ini diperkirakan aktivitas biologis berkurang,
nitrogen habis dan sebagian mikroorganisme mati.
Rata-rata pH akhir dari proses dekomposisi bahan sampah pada semua perlakukan
hampir sama, yaitu sekitar pH 6,4-6,8. Menurut Hadisumarno (1992) menyatakan bahwa pH
ideal dekomposisi aerobik antara 6,0-8,0, karena pada derajat tersebut mikroba dapat tumbuh
dan mengadakan aktifitasnya dalam mendekomposisi bahan organik.
Kelembaban
Selama proses dekomposisi sampah daun mencapai 26-30% untuk semua perlakuan
hingga hari ke-30. Pada hari ke-15 kelembaban perlakuan sekitar 43-48%. Kelembaban mulai
menurun pada hari ke-20, terutama pada perlakuan campuran bioaktivator.Nilai kelembaban
disajikan pada Gambar 3. Menurut Shiddieqy (2005) jika tumpukan terlalu lembab maka
14
ISSN 2086-4604
proses dekomposisi kan terhambat, ini dikarenakan kandungan air akan menutupi rongga udara
di dalam tumpukan. Kekurangan oksigen mengakibatkan mikrorganisme aerobik mati dan akan
tergantikan oleh mikroorganisme anaerobik.
Kandungan
Air(%)
Hari
ISSN 2086-4604
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan berat dari berat awal
sampah pada semua perlakuan sangat maksimal terjadi pada hari ke-20. Rerata reduksi sampah
daun terjadi paling maksimal pada perlakuan penambahan bioaktvator kotoran sapi P1 yaitu
sebesar 22 cm .
Menurut Syukur et al., ( 2006) bahan organik diurai menjadi unsur unsur yang dapat
diserap oleh mikroorganisme, maka ukuran bahan organik berubah menjadi partikel kecil, yang
menyebabkan volume tumpukan menyusut kurang lebih tiga perempatnya sepanjang proses
pencernaan tersebut. Berat berkurang sampai setengahnya, ini karena proses perombakan
tersebut menghasilkan panas yang menguapkan kandungan air dan CO2 dalam pengolahan
sampah.
Volume
(cm)
Hari
16
ISSN 2086-4604
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai pendayagunaan sampah daun sebagai bahan
pengomposan maka dapat disimpulkan bahwa berdasarkan hasil pengomposan menunjukkan
perlakuan dengan hanya penambahan kotoran sapi 10% paling baik dibandingkan pada dua
perlakuan lainnya.
UCAPAN TERIMA KASIH
Diucapkan Terima Kasih Kepada Dekan Fakultas Mipa Atas Bantuan Biaya
Penelitianya Melalui Proyek Penelitian Berbasis Laboratorium Dana PNBP Tahun Anggaran
2009.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional (BSN). 2004. Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik
Domestik. SNI 19-7030-2004
Benot Pharand, Odile Carisse, and Nicole Benhamou. 2002. Cytological Aspects of CompostMediated Induced Resistance Against Fusarium Crown and Root Rot in Tomato.
Biochemistry and Cell Biology Vol. 92, No. 4, 2002 p. 424 - 438
CIWBM (The California Integrated Waste Management Board). 2003. The Important of
Compost Maturity. Publication #443-03-007, February 2003.
Craig Coker. 200. Composting Industrial and Commercial Organics. Waste Reduction
Partners, Quarterly Meeting.
Crawford. J.H. . Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology Applications and
Research, Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed). p. 68-77.
Hadisumarno, D. 1992. Tehnik Pembuatan Kompos. Penerbit CIPS, Jakarta
Isroi, 2008. Kmpos. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor.
Ruskandi. 2006. Tehnik Pembuatan Kompos Limbah Kebun Pertanaman Kelapa Polikultur.
Buletin Tehnik Pertanian Vol.11 (10).pp. 112-115.
Shiddieqy, M.I. 2005. Sayang, Sampah Organik Tidak Dikomposkan. www. pikiranrakyat.com (10 oktobor 2009)
Sulistiorini,L. 2008. Pengelolaan sampah dengan cara menjadikan kompos. Jurnal Kesehatan
Lingkungan. Vol.2.
Suriawira, U. 2002. Pupuk organik kompos dari sampah. Penerbit Alumni. Bandung.
Syukur, A dan Nur I. 2006. Kajian Pengaruh Pemberian Macam Pupuk Organik Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jahe. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan. Vol.6(2) p.
124-131.
17