Anda di halaman 1dari 19

GANGGUAN

PSIKOLOGIS MASA
NIFAS

Dr. I Made Putra Juliawan, SpOG


Bag/SMF Obgin FK UNRAM/RSU Provinsi NTB

PENDAHULUAN

Dalam masa postpartum , lebih dari 85% wanita mengalami


gangguan mood. Kebanyakan gejala-gejala yang terjadi biasanya
transien dan relatif ringan (mis :postpartum blues).
Akan tetapi, 10-15% dari wanita -wanita tersebut mengalami
gangguan mood yang lebih berat dan persisten (mis : depresi
postpartum, psikosis postpartum).
Gangguan psikiatri postpartum pada awalnya dikelompokkan
dalam suatu kelompok tersendiri /gangguan yang khusus
berhubungan dengan masa kehamilan dan pasca bersalin,
sehingga dianggap secara diagnosis terpisah dari gangguan
psikiatri lainnya.
Bukti terbaru menunjukkan bahwa gangguan psikiatri postpartum
tidak dapat dipisahkan dari gangguan psikiatri yang terjadi pada
periode lain kehidupan pasien.
Jenis:
Postpartum blues.
Depresi Postpartum .
Psikosis Postpartum.

POSTPARTUM BLUES:

Lebih dari 85% wanita mengalami


ketidakstabilan afektif postpartum.
Mood yang berubah cepat, sering menangis,
iritabilitas, dan kecemasan merupakan gejala
yang sering.
Mencapai puncaknya pada hari ke-4 sampai ke-5
setelah melahirkan dan berlangsung selama
beberapa hari, biasanya akan mereda dengan
sendirinya dalam 2 minggu pertama pasca
bersalin.
Gejala-gejala tersebut tidak mempengaruhi
aktivitas dan kemampuan merawat bayi.

DEPRESI POSTPARTUM :

Depresi postpartum terjadi pada 10-15% dari populasi umum.


Biasanya, depresi postpartum terjadi setelah 3 bulan pasca
bersalin , walaupun bisa juga terjadi lebih awal. Depresi
postpartum lebih persisten dan berat daripada postpartum
blues.
Tanda dan gejala secara klinis tidak berbeda dari gangguan
depresi mayor yang terjadi di luar masa pasca bersalin.
Gejala meliputi mood yang tertekan, sering menangis,
ketidakmampuan menikmati aktivitas yang menyenangkan,
insomnia, fatigue, menurunnya nafsu makan, suicidal
thoughts, dan pikiran yang berulang-ulang tentang kematian.
Kecemasan menonjol, termasuk kekhawatiran dan obsesi
tentang kesehatan bayinya.
Sang ibu mungkin bisa ambivalen atau mempunyai perasaan
negatif terhadap bayinya. Bahkan bisa mempunyai ketakutan
yang tidak menyenangkan atau pikiran untuk mencelakai
bayinya sendiri.
Depresi postpartum sering mempengaruhi kemampuan ibu
merawat diri sendiri dan bayinya.

PSIKOSIS POSTPARTUM:

Merupakan gangguan mental postpartum yang paling


berat.
Kejadiannya jarang dan terjadi pada kira-kira 1-2 per 1000
wanita pasca melahirkan.
Psikosis postpartum mempunyai onset yang dramatik, bisa
terjadi dalam 48-72 jam awal setelah melahirkan. Pada
kebanyakan wanita, gejala-gejala terjadi dalam 2 minggu
pertama setelah melahirkan.
Keadaannya berupa episode manik yang terjadi secara
cepat dengan disertai gejala seperti susah beristirahat dan
insomnia, iritabilitas, berubah cepat menjadi depresi atau
mood yang menurun, serta perilaku yang tidak terorganisir.
Si ibu mungkin mempunyai delusi/waham yang berkaitan
dengan bayi (misal : si bayi sakit atau akan mati, bayinya
adalah setan atau Tuhan ), atau mengalami halusinasi
suara yang memerintahkannya untuk mencelakai dirinya
sendiri atau bayinya.
Risiko pembunuhan bayi dan bunuh diri tinggi pada wanitawanita yang mengalami gangguan ini.

PATOFISIOLOGI:

Faktor hormonal

Faktor psikososial

Kadar estrogen, progesteron, dan kortisol menurun secara drastis dalam


48 jam setelah melahirkan.
Wanita dengan depresi postpartum dibandingkan dengan yang tidak ,
tidak berbeda bermakna dalam hal kadar estrogen, progesteron,
prolaktin, dan kortisol atau dalam derajat perubahan hormon-hormon
ini ; akan tetapi, wanita yang terkena mungkin sensitif secara tidak
normal terhadap perubahan-perubahan hormonal dan mungkin
mengalami gejala depresi saat diobati dengan estrogen atau progesteron
eksternal.
Wanita-wanita dengan dukungan sosial yang kurang, masalah rumah
tangga atau baru mengalami peristiwa buruk dalam hidupnya cenderung
lebih berisiko mengalami depresi post partum.

Kerentanan biologis

Wanita-wanita dengan riwayat depresi sebelumnya atau riwayat


gangguan mood keluarga berisiko lebih tinggi mengalami depresi post
partum.
Wanita-wanita dengan riwayat depresi postpartum atau psikosis berisiko
mengalami rekurensi lebih dari 90%.

SKRINING GGN MOOD POSTPARTUM :

Memprediksi yang berisiko mengalami depresi postpartum


merupakan hal yang sulit. Individu-individu dengan risiko
tertinggi sering mempunyai riwayat depresi postpartum
sebelumnya, mempunyai riwayat gangguan mood atau
depresi selama kehamilan personal atau keluarga. Faktor
risiko lainnya termasuk kurangnya dukungan sosial,
masalah dalam rumah tangga, dan baru mengalami
peristiwa buruk dalam hidupnya seperti : kematian dalam
keluarga, kesulitan finansial taua kehilangan pekerjaan.
Skrining untuk seluruh ibu pasca melahirkan disarankan.
Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS); berupa 10item pertanyaan/kuesioner yang bisa diisi sendiri;
digunakan untuk mendeteksi depresi postpartum. Skor
EPDS 12 atau jawaban ya untuk pertanyaan No. 10
(adanya pikiran untuk bunuh diri) memerlukan evaluasi
lebih lanjut. Termasuk EPDS dalam kunjungan anak rutin.

PENANGANAN :

Gangguan afektif postpartum yang tidak


ditangani membuat baik ibu maupun bayinya
berada dalam risiko dan dihubungkan dengan
efek jangka panjang pada perkembangan
perilaku anak; karenanya , pengenalan dan
penanganan dari depresi post partum
merupakan hal yang sangat penting untuk
kesehatan ibu maupun bayi.

PENANGANAN
POSTPARTUM BLUES

Postpartum blues biasanya ringan dan


mereda dengan sendirinya.
Tidak ada penanganan khusus diperlukan,
kecuali dukungan keluarga dan sekitar.
Evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan bila
gejala menetap lebih dari 2 minggu.

DUKUNGAN KELUARGA

PENANGANAN
DEPRESI POSTPARTUM

Singkirkan penyebab medis (misal : thyroid


dysfunction, anemia).
Berat ringannya kelainan menentukan penanganan.
Depresi yang lebih ringan mungkin cukup dengan
psikoterapi suportif. Gangguan yang lebih berat
memerlukan penanganan farmakologi.
Penanganan non farmakologi berguna untuk depresi
ringan sampai sedang. Modalitas ini terutama untuk
ibu yang merawat bayi dan menghindari minum
obat . Group Psychoeducational mungkin
membantu. Psikoterapi Individual atau kelompok
(cognitive-behavioral and interpersonal therapy)
efektif.

PENANGANAN
DEPRESI POSTPARTUM (CONT)

Penanganan farmakologi diindikasikan untuk gejala depresi


sedang sampai berat atau kegagalan penanganan non farmakologi
. Pengobatan farmakologi juga bisa dikombinasikan dengan non
farmakologi.
Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) terapi lini pertama dan
efektif pada wanita-wanita dengan depresi postpartum . Berikan dosis
standar antidepressant , mis : fluoxetine 10-60 mg/hr sertraline 50200 mg/hr, paroxetine 20-60 mg/hr, atau citalopram 20-60 mg/hr. Efek
samping obat-obat ini antara lain : insomnia, jitteriness, nausea,
nafsu makan menurun , sakit kepala, dan disfungsi seksual.
Serotonin-norepinephrine reuptake inhibitors (SNRIs) atau tricyclic
antidepressants (TCA) bisa diberikan untuk wanita-wanita dengan
kesulitan tidur , meski beberapa studi menunjukkan wanita-wanita
tersebut lebih berespon terhadap obat-obat golongan SSRI.
Nortriptyline 50-150 mg/hr dan venlafaxine 37.5-150 mg/hr mungkin
efektif. Efek samping dari TCA meliputi : sedasi, BB meningkat, mulut
kering, konstipasi, dan disfungsi seksual Biasanya, gejala-gejala mulai
menghilang dalam 2-4 minggu. Remisi total mungkin memerlukan
waktu beberapa bulan. Pada pasien-pasien dengan respon parsial,
diperlukan penambahan dosis.
Obat-obat anti cemas seperti lorazepam dan clonazepam mungkin
berguna sebagai terapi tambahan pada pasien-pasien dengan gangguan
kecemasan dan tidur.
Data awal menunjukkan estrogen, secara sendiri atau bersama dengan
antidepresan, mungkin bermanfaat; Antidepresan tetap merupakan
terapi lini pertama.

PENANGANAN
DEPRESI POSTPARTUM (CONT)

Jika ini merupakan episode depresi pertama ,


direkomendasikan perawatan selama 6-12 bulan.
Pasien dengan depresi mayor berulang,
pengobatan maintenance dengan anti depresan
jangka panjang.
Penanganan inadekuat meningkatkan risiko
morbiditas baik ibu maupun bayinya.
Penanganan secara dini memberi prognosis lebih
baik.
Rawat inap di RS mungkin perlu bila depresi post
partum berat.
Electroconvulsive therapy (ECT) berefek cepat,
aman, dan efektif untuk wanita-wanita dengan
depresi post partum berat, khususnya bila dengan
adanya pikiran untuk bunuh diri.

PENANGANAN
PSIKOSIS PUERPERALIS

Psikosis Puerperalis merupakan keadaan emergensi


psikiatrik yang biasanya memerlukan rawat inap.
Kebanyakan pasien dengan psikosis puerperalis
menderita gangguan bipolar. Penanganan akut
diantaranya dengan mood stabilizer (mis : lithium,
valproic acid, carbamazepine) dikombinasikan
dengan pengobatan antipsikotik dan
benzodiazepin.
ECT (biasanya bilateral) ditoleransi baik dan
hasilnya cepat dan efektif.
Risiko bunuh diri cukup bermakna pada pasienpasien dengan gangguan ini.
Angka pembunuhan bayi dihubungkan dengan
psikosis puerperalis yang tidak diobati sebanyak
4%.

PERHATIAN KHUSUS:

Menyusui dan obat-obat psikotropika


Wanita-wanita yang berkeinginan untuk menyusui bayinya
harus diberi tahukan bahwa semua obat-obat psikotropika,
termasuk antidepresan, disekresikan lewat ASI. Konsentrasi
dalam ASI bervariasi.
Data tentang penggunaan obat-obat golongan tricyclic
antidepressant, fluoxetine, sertraline, dan paroxetine
selama menyusui menunjukkan hal yang menggembirakan,
dan kadar anti depresan serum pada bayi rendah atau tak
terdeteksi sama sekali. Laporan tentang toksisitas pada bayi
jarang, walaupun efek jangka panjangnya belum diketahui.
Hindari menyusui pada wanita-wanita dengan pengobatan
lithium karena obat ini disekresi dalam kadar yang tinggi ke
ASI dan bisa menyebabkan toksisitas yang bermakna pada
bayi.
Hindari menyusui pada bayi-bayi prematur atau bayi dengan
insufisiensi hepatik yang mungkin mengalami kesulitan
memobilisasi obat yang ada dalam ASI.

PERHATIAN KHUSUS:(CONT)

Pengaruh depresi postpartum pada perkembangan anak


Banyak literatur menunjukkan bahwa perilaku ibu kepada
bayinya berpengaruh bermakna terhadap perkembangan
ikatan ibu dan bayi. Depresi postpartum bisa berpengaruh
negatif terhadap proses interaksi ibu dan bayi ini.
Ibu-ibu dengan depresi postpartum lebih sering
mengekspresikan perilaku negatif tentang bayi mereka dan
melihat bayinya lebih banyak merepotkan dan meyulitkan.
Ibu-ibu yang menderita depresi mengalami kesulitan
berhubungan dengan bayinya, apakah itu lebih menarik diri
atau kontak wajah yang negatif. Gangguan dini pada ikatan
ibu dan bayi ini mungkin berefek cukup berat pada
perkembangan anak.
Anak-anak dari ibu-ibu yang mengalami depresi postpartum
cenderung akan menunjukkan gangguan perilaku bila
dibandingkan dengan anak-anak dari ibu-ibu yang normal(mis
: gangguan tidur dan makan, temper tantrums, hiperaktif),
keterlambatan perkembangan kognitif, disregulasi emosional
dan sosial, seta onset dini dari gangguan depresi.

TERIMA KASIH
ATAS PERHATIANNYA

Anda mungkin juga menyukai