Jurnal v3 Suplemen2 September 2006

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 63
ISSN : 1629-6327, Ne Ses OURO BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN Pe oN ISSN 1829-6327 JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol. 3 Suplemen No.02, September 2006 Jurnal Penelitian Hutan ‘Tanaman adalah media resmi publikasi ilmiah hasil penelitian dalam bidang hutan tanaman dari Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman dengan frekwensi terbit tiga kali setahun Fenanggung Jawab Kepala Pusat Litbang Hutan Tanaman Dewan Redaksi Ketua Merangkap Anggota Dr. Anto Rimbawanto Anggota Prof. Dr. Sumardi Prof. Dr. Darmadi Dr. Cahyono Agus Dr. Eko Bhakti Hardiyanto Dr. Nastullah Dr. Haridjanto Dr. Bambang Hero Saharjo Dr. Iskandar Zulkarnaen Siregar Dr. Noor Farikhah Haneda Sekretariat Redaksi Ketua Merangkap Anggota Kepala Bidang Pelayanan dan Evaluasi Penelitian P3HT Anggota Kepala Sub Bidang Pelayanan Penelitian P3HT Drs. Priyaina Wiraadinata, BSc Drs. Wijanarko Rina Sulistyanti erbitkan oleh: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Fanaman Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kekutanan Terbit pertama kali September 1996 dengan judul Buletin Penelitian Pemuliaan Pohon (ISSN 1410-1165), sejak April 2003 berganti judu! menjadi Jurmal Pemuliaan Tanaman Hlutan (ISSN 1693-7147), an sejak April 2004 berganti judul menjadi Jurnal Penclitian Hutan Tanaman (ISSN 1829-6327) Alamat Kampus Balitbang Kehutanan JI. Gunung Batu Nomor 5 Bogor Po. Box. 331 Telp. (0251) 631238 Fax. (0251) 7520005 E-mail: forplan@indo.net.id JI, Palagan Tentara Pelajar Km. 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yoryakacta 5: Telp. (0274) 896080, 895954 Fax. (0274) 896080 E-mail: breeding@indo.net.id, Website: ww: biotiforda.orid ISSN 1829-6327 JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN Vol. 3 Suplemen No. 02, September 2006 DAFTAR ISI 1, POTENSI AMBALUN SEBAGAI BAHAN INSEKTISIDA BOTANI Potency of Ambalun as Material of Botanical Insecticides Endah Suhaendah, Benyamin Dendang, Illa Anggraenidan Wida Darwia 285-291 DETERMINASI FUNGSI FISIOLOGIS DAUN PADA KEMAMPUAN ADAPTASI Lithocarpus celebicus (Miq.) Rehd TERHADAP INTENSITAS CAHAYA The Determination of Physiological Function on The Adaptation Mechanism of Lithocarpus celebicus (Mig.) Rehd to Light Intensity Tati Rostiwati dan Tania June. 293 303 3. UJI SILVIKULTUR SENGON ASAL TUJUH SUMBER BENIH Silvicultural Test of Sengon from Seven Seed Sources Aditya Hani dan M. Yamin Mile 316 4. UJI PENINGKATAN GENETIK Acacia mangium ASAL SUMBER BENTH PARUNGPANJANG DI RPH GUNUNG KENCANA SELATAN, KPH BANTEN Genetic Gain Test Acacia mangium from Parungpanjang Seed Orchard in RPH Gunung Kencana Selatan, KPH Banten Kurniawati P. Putri dan Yalianti B ——__________ 317-322 5, SERANGAN ULAT KANTONG TERHADAP TUJUH PROVENAN SENGON DI CIAMIS Bag Worm Attack at Seven Sengon Provenans in Cianis Endah Suhaendah, Benyamin Dendang, tla Anggraeni dan Wida Darwiati——____323 - 329 6. AKURASI METODA UJI CEPAT DALAM MENDUGA VIABILITAS BENIH SENGON Accuration of Rapid Test Methods on Estimated of Sengon Seeds Viability M. Zanzibar dan Nanang Herdiana —_____________ 331.338 PENGARUH JENIS TANAMAN INANG TERHADAP PERTUMBUHAN CENDANA DI PERSEMAIAN Effect of Hostplant Species to Growth of Santalum album Linn at Nursery 1a Hani dan Encep Rachman—— 339-46 POTENSI AMBALUN SEBAGAI BAHAN INSEKTISIDA BOTANL Potency of Ambalun as Material of Botanical Insecticides Endah Suhaendah”, Benyamin Dendang?, Illa Anggraen® dan Wida Darwiati? »Loka Litbang Hutan Monsoon Pusat Litbang Hutan Tanaman ABSTRACT The observation of Dysoxylum acutangulum toxicity was done on the larva of Crocidolomia binotalis. This experiment was conducted at insect physiology and toxicology laboratory, IPB Bogor. The aim of this research was to know the influence of D. acutangulum extract to mortalities and growth period of C. binotalis larva. The examination of D. acutangulum extract done with residue leaf method. The result showed that D. acutangulum extract do not cause high death at instar 2, but at instar 3 make-up death which striking. LC,, and LCy, chloroform fraction D. acutangulum at instar 2 was 0.13% and 0.39% and at instar 2+3 was 0.05% and 0.09%, Treatment with D. acutangulum crude extract 0.5% could extend larva growth from instar 2 to instar 4 for 2.81 days and at D. acutangulum methanol fraction 0.5% Sor 2.24 days. Keywords: Botanical pesticides, Crocidolomia binotalis, Dysoxylum acutangulum, mortalities, toxicity ABSTRAK Pengujian toksisitas Dysoxylum acutangulum dilakukan terhadap larva Crocidolomia binotalis. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi Serangga, IPB Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh ekstrak D. acutangulum terhadap mortalitas dan lama perkembangan larva C. binotalis. Pengujian ckstrak D. acutanguluin dilakukan dengan metode residu daun, Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak D. acutangulum tidak menyebabkan kematian yang tinggi pada larva instar 2, tetapi pada larva instar 3 terjadi peningkatan kematian yang mencolok. LC,, dan LC,, fraksi kloroform D. acutangulum tethadap instar 2 masing-masing 0,13% dan 0,39%, sedangkan terhadap instar 2+3 masing-masing 0,05% dan 0,09%. Perlakuan dengan ekstrak kasar D. acutangulum 0,5% dapat memperpanjang lama perkembangan larva dari instar 2 ke instar 4 selama 2,81 hari, sedangkan pada fraksi metanol D. acutangulum 0,5% selama 2,24 hari Kata kunci: Crocidolomia binotalis, Dysoxylum acutangulum, mortalitas pestisida botani, toksisitas Jurnol Penelitian Huton Tanamen Vol. 3 Suplemen No, 02, September 2006, 285-291 I. PENDAHULUAN Pengelolaan hutan dengan tujuan produksi kayu memerlukan struktur egakan yang baik dan sehat, Namun serangan hama dan penyakit seringkali menjadi fsktor penghambat pertumbuhan tanaman, Kesadaran tentang pentingnya perlindungan dalam pengelolaan hutan baru muncul ketika pembangunan hutan tanaman dilakukan dalam skala beser, Pada tahun 1980-an di Indonesia, saat dimulainya program pembangunan HTS menunjukkan bahwa masing-masing daerah pengembangan HTI mempunyai masalah kerusakan hutan yang berbeda-beda, salah satunya serangan hama dan penyakit (Sumardi dan Widyastuti, 2004), Pengendatian hama yang sering dilakukan adalah secara kimiawi, karena cara tersebut mudah dan dapat mengurangi populasi hama dengan cepat, namun penggunaan inscktisida yang tidak tepat dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di antaranya keracunan pada manuisia, temak peliharaan, polusi lingkungan dan hama menjadi resisten (Kardinan, 2005). Melalui Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman, pengendalian hama terpadu (PHT) ditetapkan sebagai dasar dari setiap praktek pengendalian hama di Indonesia. Pestisida hanya digunakan ketika pengendalian biologi serta teknik pengendalian non-kimiawi lain tidak dapat menurunkan populasi hama di bawah ambang ekonomi. Jenis pestisida yang dapat digunakan harus mempunyai selektivitas fisiologi, yaitu Jenis pestisida yang efektif terhadap hama sasaran, tetapi aman terhadap musuh alami hama, Pestisida botani merupakan salah satu jenis pestisida yang umumnya bersifat selektif dan dapat digunakan dalam sitem PHT (Untung 1998). Dalam 30 tahun terakhir, tidak kurang dari 1500 jenis tumbuhan telah dilaporkan aktif berpengaruh terhadap serangga. Famili-famil tumbuhan yang potensial sebagai sumber insektisida botani antara lain Meliaceae, Annonaceae, Asteraceae, Piperaceae dan Rutaceae (Isman, 1995). Beberapa jenis tumbuhan Meliaceae merupakan sumber insektisida botani yang potensial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai saat ini lebih dari 300 senyawa limonoid sudah Giisolasi dati tumbuhan Meliaceae. Dysoxylum acutangulum merupakan salah satu tanaman hhutan dari jenis Meliaceae yang berpotensi dikembangkan sebagai sumber insektisida botani Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas ambalun (D. acutangulum) terhadap mortalitas dan lama perkembangan larva C. binotalis sebagai salah satu sumber insektisida botani. II. BAHAN DAN METODE. A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun D. acutangulum (diperoleh dari Hutan Lindung Yan Lappa, Kecamatan Jasinga, Bogor), metanol, kloroform, aquades, Latron 77 L, kertas saring dan daun brokoli sebagai pakan serangga uji. Serangga uji yang digunakan adalah larva Crocidolomia binotalis instar 2 yang dipilih seumur dan tanpa seleksi jenis kelamin karena mudah diperbanyak di laboratorium dan diharapkan dapat menjadi model untuk serangga lain, sedangkan peralatan yang digunakan antara lain rotary evaporator, labu pemisah, labu erlenmeyer, timbangan, blender, corong gelas dan cawan petri Potensi Ambalun Sebagai Bahan Inseitiside Botan! Endoh Sutoendt, Benyonin Dendong, lo Anggrae dan Wida Dariad B. Prosedur Penelitian 1. Ekstraksi D. acutangulum Daun dan metanol dengan perbandingan 1:10 diblender, kemudian direndam selama 3 x 24 jam. Campuran disaring dengan corong gelas yang telah dialasi kertas saring dan diuapkan dengan rotary evaporator pada tekanan 580 mmHg - 600 mmHg vakum dan suhu 55°C - 60°C. Ekstrak yang dihasilkan dipartisi dalam sistem pelarut heksana-metanol 95% selama 6 jam, Fase metanol diuapkan dengan rotary evaporator. Fraksi metanol yang diperoleh dipartisi lebih lanjut dalam sistem pelarut kloroform-air (1:1) dalam labu pemisah selama 6 jam. Fase kloroform diuapkan pelarutnya dan fraksi yang diperoleh disimpan dalam lemari es sampai saat siap digunakan 2. Uji Mortalitas Ekstrak diyji dengan empat perlakuan yaitu uji ekstrak kasar,fraksi metanol. fraksi Kloroform dan kontrol. Ekstrak dan fraksinya dicampur dengan Latron 77 L sebagai pengemulsi dan diencerkan dengan air hingga diperoleh suspensi dengan konsentrasi 0,5%. Daun brokoli yang telah dipotong dicelup dalam suspensi ekstrak dan dikeringanginkan, Daun kontrol dicelup dalam air yang mengandung Latron, Daun perlakuan atau kontrol diletakkan dalam cawan petri kemudian 15 ekor larva C. binotalis dimasukkan ke dalamnya, Setelah 24 jam, daun perlakuan atau kontrol ditambahkan dan 24 jam berikutnya, sisa daun dibuang dan larva diberi makan daun tanpa perlakuan, sedangkan percobaan dilakukan dengan lima ulangan dan ekstrak yang mematikan larva e” 80% diuji lebih lanjut. Uji lanjut dilakukan pada enam taraf konsentrasi yaitu 0,02%-0,03%-0,04%, (05%-0,075% dan 0,1% yang diharapkan dapat menyebabkan kematian larva C. binotalis 20% - 95%. C. Analisis Data Pengamatan dilakukan setiap hari sampai larva mencapai instar 4 dan jumlah larva yang mati 90%) dan aktivitas ekstrak kasar cukup kuat (mortalitas sekitar 70%). Hasil pengujian lebih lanjut dengan D. acutangulum fraksi kloroform pada konsentrasi 0,02% - 0,1% menunjukkan bahwa tingkat kematian larva pada 2 hari pertama setelah perlakuan masih rendah dan meningkat pada hari berikutnya, Kematian larva terakhir terjadi 287 Jornal Penelitian Hutan Tenaman Vol 3 Suplemen No. 02, September 2006,285.291 pada 10 hari setelah perlakuan. Hal ini meaunjukkan bahwa senyawa aktif dalam ekstrak D. acutangulum bekerja lambat. Pada selang konsentrasi yang diuji, perlakuan dengan konsentrasi 0, 1% dapat mematikan farva sampai 100%, Berdasarkan pengamatan, tingkat kematian larva terpaut onsentrasi (persentase kematian larva meningkat dengan meningkatnya konsentrasi bahan uji) yang disajikan pada Gambar | Tabel 1, Pengaruh ekstrak kasar, fraksi metanol dan fraksi klorofom D. acutangulum terhadap mortalitas larva C. binotalis. Bahan wi Konsentrasi | Jumleh larva Mortalitas (%) %) Tnstar | Inston 213 Bkstrak kasar Fraksi metanol Fraksi kloroform Keterangan: *satu atau lebih larva hilang jika jumlahnya kurang dari 75 “semua larva mati sebelum mencapai instar 3 A ct) 0 ° ‘ Oo ‘a Te ts Te ot Pog 4s 6 7 8 8 ari setelahpetakuan Gambar 1. Perkembangan tingkat kematian larva C. binotalis pada perlakuan dengan fraksi kloroform D. acutangulum. Hasil analisis probit data kematian larva menunjukkan bahwa LC,, dan LC,, ferfiadap instar 2 +3 jauh lebih rendah dibandingkan dengan instar 2 saja seperti disajikan pada Tabel 2. Hal ini menunjukkan bahwa eksirak D. acutangulum memiliki sifat penghambat perkembangan yang kuat. Tabel 2, Parameter hubungan konsentrasi-mortalitas fraksi kloroform D. acutangulum terhadap larva C. binosalis Monaliataslava | 22GB | b+GB | LCw(SK 95%) | LC (SK 95%) yang dianalisis | |e | c Wistar2 13.03 T 186 | 0,13 (0,09-0,65) | 0,39 (0,19-20,72) | | instar 2 +3 8.23 4 | 0,05 (0,04-0,06) | 0,09 (0.07-0.23) | Keterangan:* Jumlah larva uji pada setiap taraf konsentrasi dan kontrol sebanyak 75 ckor, kecuali pada konsentrasi 0,05% dan 0,04% sebanyak 74 dan pada konsentrasi 6,03% sebanyak 73 ekor. 288 Potensi Ambalun Sebagai Bahan Insektisida Botan Endoh Suhoendoh,Beryonin Dendong. lo Angeraeniden Wide Dorwio a= intersep garis regresi, b = kemiringan garis regresi, GB = galat baku, SK = selang kepercayaan. Dari pengamatan visual, larva yang mati akibat perlakuan ekstrak kasar D. acutangulum dan fraksinya’ menunjukkan gejala-gejala keracunan yang sama, Kematian larva umuninya terjadi menjelang atau pada saat ganti kulit. Sejumlah larva menunjukkan tanda-tanda akan ganti kulit seperti wama tubuh memucat dan kepala larva mulai terpisah dari kutikula kepala Jama, tetapi larva gagal ganti kulit dan akhimya mati 2. Pengaruh Ekstrak D. acutangulum terhadap Lama Perkembangan Larva C. binotalis Semua perlakuan yang diuji memperpanjang lama perkembangan larva C. binotalis dati instar 2 ke instar 4. Perlakuan dengan ekstrak kasar dan fraksi metanol D. acutanguslum pada konsentrasi 0,5% tidak mampu memperpanjang lama perkembangan larva dari instar 2 ke instar 3 secara nyata dibandingkan kontrol, tetapi mampu memperpanjang lama perkembangan, larva dari instar 2 ke instar 4 masing-masing selama 2,81 dan 2,24 hari dibandingkan kontrol seperti disajikan pada Tabel 3, Pada perlakuan dengan fraksi kloroform, lama perkembangan larva yang diberi perlakuan semakin panjang dengan meningkatnya taraf konsentrasi Perlakuan pada konsentrasi 0,01% - 0,075% belum dapat memperpanjang lama perkembangan dari instar2 ke instar 3 secara nyata dibandingkan kontrol, tetapi dapat memperpanjang lama perkembangan larva dari instar 2 ke instar 4 selama 0,05 - 1,66 hari. Perlakuan pada konsentrasi 0,1% mampu memperpanjang lama perkembangan dari instar 2 ke instar 3 selama 1,13 hari dan tidak satu pun larva yang diberi perlakuan pada konsentrasi tersebut dapat mencapai instar 4 Tabel 3. Pengaruh ekstrak kasar, fraksi metanol dan fraksi kloroform D. acutangulum terhadap lama perkembangan larva C. binotalis Konsentrasi L Rata-rata lama perkembangan + SB (hari) (ny" Bahan uji |) nstar2ke3Instar2ke4 | Ekstrak kasar 0 [2000.00 (73) | ~ 3,00 0.0073) | | 05 | 200200066) | ssizosiai | Fraksi metanol | } 2,00£0,00(75) | 3,76 # 0,43 (75) \ 2,16 £0.43 (43) | 6,00 0,00 (7) Fraksi kloroform 2,00 + 0,00 (75) 3,81 =0,39(75) | 2,00 = 0,00 (75) 3,8540,35(74) | | 2,00 # 0,00 (75) 421+0,50(75) | 2,01 + 0,12 (72) 4,78 + 0,79 (68) | 2,00 + 0,00 (69) 5,11 40,74 (46) 2,00 + 0,00 (69) 5,47 = 0,79 (19) | | 2,03 + 0.17 (69) 5,30 # 0,66 (20) 13 40,35 (5) Keterangan: *SB : simpangan baku; n : jumlah larva bertahan hidup pada periode perkembangan yang éitunjukkan, 'Semua larva mati sebelumn mencapai instar-4 Jornal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 Suplemen No. 02, September 2006,285.291 B. Pembahasan Ekstrak D, acutangulin memiliki aktivitas insektisida yang kuat karena memiliki sitatterutama sebagai racun perut dengan efek kontak terbatas, Hasi ini sesuai dengan hasil penelitian Syahputra (2001) yang menuijuckan bahwa ekstrak D. acutangulum memiliki potensi yang tinggi sebagai insektisida, Dari pengantatan visual, larva yang mati akibat perlakuan dengan ckstrak kasar dan fraksinya menunjukkan gejala-gejala keracunan yang sama. Sejumlah larva menunjukkan tanda- tanda akan ganti kulit seperti wama tubuh memucat dan kepala larva mulai terpisah dari kutikula kepala lama, tetapi larva gagal ganti kulit dan akhimya mati, Sebagian larva berhasil menanggalkan kutikula kepala lama tetapi tidak dapat melepaskan diri dari kutikula lama pada bagian abdomennya dan akhimya mati Senyawa aktif yang terdapat di dalam D. acutangulum diduga termasuk dalam ‘golongan terpenoid, namun jenis senyawanya secara spesifik belum diidentifikasi dan sampai sekarang, belum banyak diteliti Prijono, 2003). Selain mengakibatkan kematian langsung, senyawa aktif yang terdapat dalam D. acutangulwn mampu menghambet perkembangan larva C. binotalis. Pengamatan gejala penghambatan perkembangan larva menunjukkan bahwa larva mati menjelang atau pada saat ganti kulit. Hal ini ‘menunjukkan bahwa senyawa aktif D. acuangulum kemungkinan besar bekerja mengganggu sistem hormon yang mengendalikan proses ganti kulit. Proses ganti kulit dan metamorfosis serangga, melibatkan sedikitnya tujuh hormon yaitu hormon protoraksikotropik (PTTH), hormon juvenil,, ekdison, hormon pemicu ekdisis (ETH), hormon eklosi (EH), bursikon dan crustacean cardioactive ‘peptide (CCAP) (Chapman 1998). Terganggunya fungsi salah satu hormon tersebut berdampak pada fungsi sistem hormon secara keseluruhan. Untuk mengetahui jenis hormon yang terganggu akibat perlakuan ekstrak D. acufangulum, perlu penelitian lebih lanjut Insektisida dari D. acutangulum dapat disiapkan dengan mengguitakan pefarut organik maupun dengan air. Menurut Aliyah (2002) menunjukkan bahwa ekstrak air daun D. acutangulu pada Konsentrasi 2,5% dapat mematikan larva C, binotalis sampai 100%, Dengan demikian aspek teknis dalam penyiapan insektisida botani dari tanaman D. acu/angulum untuk penggunaan di tingkat petani dapat dilakukan, Berdasarkan penelitian diatas, diharapkan hasil pengujian ekstrak D. acutangulum dapat digunakan sebagai penentu dosis dalam pengendalian hama hutan terutama serangga dari ordo Lepidoptera dengan konsentrasi 2,5% untuk ekstrak air dan 0,1% untuk fraksi kloroform D. acutanguhun. IV. KI SIMPULAN, 1. Ekstrak daun D. acutangulum memiliki aktivitas insektisida yang kuat terhadap larva C binotalis, Aktivitas insektisida meningkat dengan makin murninya ekstrak, Fraksi Kloroform 0,1% dapat mematikan larva sampai 100%. 2. Ekstrak daun D. acutangulum bersifat penghambat perkembangan yang terkait dengan proses ganti kulit. Ekstrak kasar D. acufangulum pada konsentrasi 0,5% dapat ‘memperpanjang lama perkembangan larva dari instar 2 ke instar 4 selama 2,81 hari dan fraksi metanol D. acutanguiun pada konsentrasi 0,5% selama 2,24 hari 20 Potensi Ambalun Sebogai Bahan Insektisida Botani Endoh Suhoendeh, Beyomin Dendang ta Anggroen dan Wide Darwa | DAFTAR PUSTAKA Aliyah L. 2001. Aspek Teknis dalam Penyiapan Insektisida Botani dari Tanaman Dysoxylum 20 om; sebagai unit perlakuan, maka bagian tajuk pohon yang dapat diamati karakter fotosintesisnya adalah pohon tajuk bagian bawah (5m - 7m). Alat yang digunakan adalah menara pengamat dari bambu setinggi 10m yang menempel pada batang utama pohon dan alat pengukur fotosintesis daun LI-6400. C. Metode Penelitian Penelitian di lapangan menggunakan metode pengamatan dan pengukuran langsung. Posisi vertikal tumbuhan yang digunakan sebagai unit perlakuan adalah kriteria tingkat pertumbuhan (anakan, pancang dan tajuk pohon bagian bawah), sedangkan jumlah individu yang diamati digunakan sebagai ulangan (3 individu tanaman). Pengambilan data karakter fisiologis daun berupa pengukuran kecepatan fotosintesis daun dengan perlakuan cahaya (PAR) 0, 50, 200, 500, [.000, 1.500 dan 2.000 pmol ms", Caranya dengan menjempitkan helajan daun pada salah satu komponen alat yang disebut Leaf Chamber. D. Analisis Data Analisis kecepatan fotosintesis maksimum: dianalisis menggunakan Non Linier Curve Fit (NLCF) dari software Origin 50. Perhitungan kecepatan fotosintesis maksimum (A.,,) menggunakan rumus, A-Rd=(al+A,,)- O(al+A,,)'—4 qal A,,./2q (1) Keterangan: A = Kecepatan fotosintesis (mol CO, ms") Rd = Respirasi gelap (mol CO, m°s") I = Intensitas cahaya (mol m?s"} a = Koefisien refleksi cahaya 4 = Koefisien bentuk hiperbola antar kurva fotosintesis dan respirasi II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Kecepatan Fotosintesis Maksimum (A...) Berdasarkan hasil pencatatan terhadap nilai fotosintesis (umol CO, *) pada setiap intensitas cahaya, maka hasil analisis data menggunakan rumus (1) di atas diperoleh kecepatan fotosintesis maksimum (A,,,) yang disajikan pada Tabel 1 dengan tampilan kurva responsnya tersaji pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3. |Jumal Peneltion Huten Tanomon Vol 3 Suplemen No. 02, September 2006,299303 Tabel 1. Kecepatan fotosintesis maksimum (A. (j:mol CO, m® s*) dan transport elektron (4) (1. mol ms") anakan, pancang dan tajuk pohon bagian bawah. . Bow @ Posisi Vertikal Tumbuhan (umol Os ms) (umolm? 5) = + £ stele lelilo le Keterangan: ") Kurva tersaji pada Gambar | » Kurva tersaji pada Gambar 2 » Kurva tersaji pada Gambar 3 e ny Date: Data 1_8 Model: Seeding chi'2= 0.19517, PI” 0.10814 2003087 2 S862 0.21929 Amax (um ol ms“) P30 oor 0 0 500 1000 1500 2000 Intensitas cahaya (um olm*s") Gambar |. Kecepatan fotosintesis maksimum (A,,,,) (4 mol CO, m? s) tingkat anakan (P1 = 4; P2=A,,,;P3=@) Gambar 2. Kecepatan fotosintesis maksimum (A,,,) (jt mol CO, m? s) daun ti pancang (PI = 4; P2= A”; P3 = 8) Gambar 3. Determinosi Fungsi Fisiologis Daun pada Kemampuan Adoptas! Lithocarpus Celebicus (Mig,) Rehd terhadap Intensitos Cohaya Tet Rostvati dan Tani une 35 3.0 25 4 20 E 315 £ 310 Data: Data 1_8 5 Mosel: Sapling & cni2= 002677 05 Pr 001344 0.00186 P2 310577 30.1248 Ps o7 6 00 0 500 1000 1500 2000 Intensitas cahaya (um olm*s") 20 15 & 310 E = bata 5 Model: Canopy £05 hi? = 6 05685 Pt Go2381 001036 P2 terres 30.1275 Ps oor 0.0 9 a 0 500 1000 1500 2000 Intensitas cahaya (ym ol m*s") Kecepatan fotosintesis maksimum (A,,,,) (# mol CO, m* s) daun tajuk pohon bagian bawah (P1 = a; P2= A,,.; P3 =) 27 Jumal Penelitian Hutan Tanaman Yol 3 Suplemen No, 02, September 2006,293303 Berdasarkan kurva-kurva tersebut, terlihat bahwa A, . (P2) untuk anakan adalah 5,065: 0,219 pmol CO, ms? dengan 4 (P1)=0,108+ 0,031 pmol m?s", sedangkan pada pancang dan tajuk pohon bagian bawah A,,,, dan 4 berturut-turut 3,106 + 0,125 mol CO, ms" dan 4= 0,013 + 0,002 mol ms"; A, 1,618 = 0,128 pmol CO, m?s dan 4= 0,024: 0,010 umol m*s'. Hal tersebut berarti bahwa dengan intensitas cahaya 500 pmol ms", anakan sudah mempunyai potensi fotosintesis maksimumnya sebesar 5,065 pmol CO, ms", Berbeda dengan pancang, potensi meningkatkan kecepatan fotosintesisnya dicapai pada intensitas cahaya 1.500 pmol m?s', sedang, untuk tajuk pohon bagian bawah potensi fotosintesis maksimumya dicapai pada intensitas 1.000 yamol m?s", Hal tersebut menunjukkan bahwa ada suatu strateg adaptasi dalam pemanfaatan cahaya untuk fotosintesis. A... yang dicapai pada anakan merupakan potensi untuk tahap bangkit, A... pada pancang merupakan potensi untuk tahap aktif dan A... pada tajuk pohon bagian bawah ‘merupakan tahapan stabilitas 2. Laju Respirasi (Rd) Keseimbangan antara fotosintesis dan respirasi, seperti yang ditunjukkan oleh laju repirasi anakan yang lebih tinggi dibandingkan laju respirasi pancang dan tajuk pohon bagian bawah yang disajikan pada Tabel 2 dan efisiensi pemanfaatan cahaya oleh tumbuban terlihat dari kemampuantiya tumbuh pada intensitas cahaya rendah, Hal tersebut biasanya ditunjukkan oleh titik kompensasi cahaya (TKC). Titik Kompensasi adalah batas dimana terjadi keseimbangan anatara CO, yang masuk dengan O, yang dilepas dan menunjukkan kemampuan tumbuhan untuk dapat bertahan hidup. TKC anakan 10,5 jp mol m? s?, TKC pancang 35 jz mol m? s" dan TKC tajuk bagian bawah 19 ye mol m’ 2s! Artinya anakan masih dapat beradaptasi pada intensitas cahaya 10,5 mol ms" (Gambar 4, Gambar 5 dan Gambar 6). Tabel2 Laju respirasi (umol CO, nr’s") untuk daun anakan, pancang dan tajuk pohon bagian bawah Posisi vertkal tumbuhan aman regresi | ‘nakan | 5559+ 00439 | 0.7218 | Pancang Y==0,5542 + 0,0163% 0.9132 “ajuk pohon bagian bawah Y==0,3573 + 0,0203X 0.6654 Apabila Y =a +b X, maka nilai a merupakan nilai laju respirasi gelapnya (Rd) dan slopenya merupakan nilai quantum yield. Quantum yield ini merupakan nisbah antara mol CO, yang diasimilasi dan pmol cahaya yang diabsorpsi. Berarti semakin tinggi nilai quantum yield ini menunjukkan tumbuhan semakin efisien dalam memanfaatkan cahayanya untuk proses asimilasi CO,. ata Oo Fasten ot) bests cahaya (nat COs) TKC = Tuik Kompensasi Cahaya Gambar 4, Laju respirasi anakan (je mol CO, m* s*) 298 Gambar 6, Laju respirasi tajuk pohon bagian bawah (1: mol CO, nr Determinasi Fungsi Fisiologis Daun pada Kemampuan Adaprast | Lithocarpus Celebicus (Miq,) Rehd terhadop Intensitas Cahayo Ta Restwot don Tai fre 9 542 + 0.016% Re 09132 Fotosintsis (mot?) Intonstas cahaya (mel en* TKC THik Kompensasi Cahaya Gambar5. Laju respirasi pancang (pmol CO,m? s) » ets mat m3) Irtnetascaraya (nal) TRC = Tiik Kompensasi Cahaya 3. Konduktasi Stomata (gs) Tingginya kecepatan fotosintesis jenis intoleran naungan ini ditunjukkan oleh waktu pergantian daun yang cepat (Bazzaz,1996). Berdasarkan hal tersebut diduga bafwa tumbuhan jenis tersebut ‘omata dan kecepatan reabsorpsi nvtrisi serta kandungan Rubisco yang tinggi. Selain itu pula mekanisme pengaturan membuka dan menutupnya stomata daun pada perubshan intensitas cahaya yang diterima daun mempunyai peran yang besar terhadap keseimbangan fotosintesis dan respirasi. Berdasarkan data konduktasi stomata yang diperoleh ((jmo\H,0 m1°s"), maka untuk mengetahui bagaimana hubungan antara intensitas cahaya dan konduktasi stomata pada anakan, pancang dan tajuk pohon bagian bawah, maka dibuat pola hubungan di antara kedua mempunyai karakter konduktasi variabel tersebut s: ‘Tabel 3. Uji model regresi intensitas cahaya dan konduktasi stomata pada anakan, pancang dan eperti disajikan pada Tabel 3. tajuk pohon bagian bawah Posie vera essere] wedst [ao [somiivoast | F | — Twa [|p sao ’ {sees npaase [sa 8160 [oar Fancang Linear] “onnnasig | —"Fosar — 0.00 Batak [1 —0,0000363—| — 1671 3 i aon wagian | iear | | —coaargs —| oem — | 0428 awa [Runes [—1-—[~o.ooons65-— ~~ Aates —[0.000" “* Berbeda nyata pada taraf 5%; * Berbeda nyata pada taraf 10% Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 Supiemen No, 02, September 2006,293:303, Uji model yang tersaji pada Tabel 3 menunjukkan bahwa hubungan tersebut mengikuti model linier. Namun, pada kejadian di alam hubungan tersebut mengikuti hubungan dengan model kuadratik, yaitu mempunyai konduktasi maksimum pada titik saturasi cahaya. Pada saat titik saturasi cahaya (TSC) tercapai maka stomata akan menutup dan penambahan intensitas cahaya akan menurunkan nilai konduktasi stomata tersebut. Model tersebut sudah terlihat nyata pada taraf 10% pada tajuk pohon bagizn bawah, artinya mekanisme pergerakan stomata sudah mulai terliat pada tajuk pohon bagian bawah, Berdasarkan model (persamaan) hubungan antara intensitas cahaya (X)dan konduktasi stomata (Y) yang disajikan pada Gambar 7, Gambar 8 dan Gambar9, maka titik maksimum intensitas cahaya (dy/dx), stomata akan menutup terjadi pada intensitas cahaya = 1.610 umol ms" untuk anakan; untuk pancang 1.625 pmol m?s" dan tajuk pohon bagian bawah 1.091 pmol m?s", Hal ini berarti bahwa anakan dengan A,,,. yang dicapai pada intensitas cahaya 500 pmol m?s", maka pada penambahan intensitas cahaya (1.610 pmol ms") anakan masih dapat melanjutkan proses fotosintesisnya, dibandingkan dengan tajuk pohon bagian bawah dengan A,,,. yang dicapai pada intensitas cahaya 1.000 pmol m*s, maka penambahan intensitas cahaya (1.091 pmol ms"), proses fotosintesis berjalan dengan lambat karena stomata sudah mulai menutup, Kondisi untuk pancang tidak terlalu jauh berbeda dengan anakan, ons . ams ms ans Y = 0,0485 + 0,0000644 X - 0,000000019 x: R= 097 ams Konduktasi stomata ome ous 0 1001 2000 Intensitas cahaya TSC. =Titik Saturasi Cahaya Gambar 7. Hubungan antara intensitas cahaya (mol m?s) dan konduktasi stomata (mol HO m?s*) pada anakan Determinasi Fungsi Fisiologis Daun pada Kemampuan Adaptasi Lithocarpus Celebicus (Mig.) Rehd terhadap Intensicas Cabaya | Ta Rostivaci aun Tania june | ons ones, Konduktasi stomata ass. 0 1001 2000 Intensitas cahaya FSC fitik Saturasi Cahaya Gambar 8. Hubungan antara intensitas cahaya (jumol m?s")dan konduktasi stomata (anol H,O m?s") pada pancang cote Konduktasi stomata ms 0 1001 2000 Intensitas cahaya TSC =Titik Saturasi Cahaya Gambar9, Hubungan antara intensitas eahaya (mol ms") dan konduktasi stomata ((\t mol HO ") pada tajuk pohon bagian bawah 201 Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 3 Suplemen No, 02, September 2006, 293-303 B. Pembahasan Besarnya perubahan (fluktuasi) iradiasi photon (PED- Photon Flux Density) di alam dapat mencapai lebih dari tiga kali dan perubahan inj berjalan dengan cepat, akan (etapi tumbuhan dapat mengatasinya dehgan sistem fotosintetiknya yang berjalan sangat efisien pada cahaya rendah (Kriedemann, 1999). Efisiensi pen; CO, dan O. merupakan salah satu strategi tumbuhan agar tetap hidup. Kemampuan tumbuhan untuk meningkatkan kapasitas fotosintetiknya dan menekan laju respirasinya merupakan safah satu strategi tumbuhan di dalam menghadapi berbagai intensitas cahaya yang dierima, Tumbuhan yang memiliki efisiensi fotokimia yang lebih besar pada intensitas cahaya rendah akan mempunyai kecepatan pertumbuhan yang lebih besar dan lebih berhasil dalam persaingan pada vegetasi yang rapat atau pada habitat yang ternaungi (Lawlor, 1987) Tumbuhan dalam menghadapi intensitas cahaya yang rendah melakukan dua strategi, yaitu 1) meningkatkan total intersepsi cahaya melalui peningkatan luas daun dan 2) ‘meningkatka# efisiensi pemanfaatan cahaya untuk fotosintesis (Levitt, 1980) dan nilai quantum vield yang tinggi (quantum yield pada anakan 0,0439 umol m? s“; pancang 0,0163 jumol m ? s'dan tajuk pohon bagian bawah 0,0203 mol m? s" ). Dengan demikian regulasi CO, dan nisbah energi cahaya yang diterima dengan CO, udara yang dimanfaatkan anak untuk proses asimilasi berlangsung cukup efisien. Kecepatan fotosintesis maksimum yang terjadi pada tingkat pancang dan tajuk bagian bawah mengindikasikan bahwa transport elektron dan quantum yield nya kurang efektif dan efisien pada intensitas cahaya rendah, Dari hasil penelitian ini, terlihat bahwa mekanisme adaptasi tumbuhan yang menerima intensitas cahaya rendah akan lebih mampu bertahan dibandingkan tumbuhan yang biasa menerima intensitas cahaya tinggi, dengan syarat tidak terjadi cekaman hara dan air pada habitat tersebut. Keistimewaan yang mendasar dari aktivitas fotosintetik tumbuhan yaitu kemampuan tumbuhan dalam menghadapi perubahan intensitas cahaya melalui kemampuannya mempertahankan kecepatan fotosintesisnya pada intensitas cabaya tinggi dan kemampuan meningkatkan quantum yield dengan cepat pada intensitas cahaya rendah (Langenheim et al,, 1984 dalam Medina, 1986). ggunaan cahaya, air, unsur har IV. KESIMPULAN 1. Mekanisme adaptasi Lithocarpus celebicus secara fungsional dapat ditunjukkan oleh parameter Kapasitas fotosintesis maksimum, laju respirasi, titik saturasi cahaya pada konduktasi stomaté Kemampuan adaptasi yang tinggi pada kondisi ternaungi (intensitas cahaya rendah} ditunjukkan oleh kecepatan fotosintesis maksimum, quantum yield, laju respirasi dan konduktasi stomata daun anakan L. celebicus yang lebih tinggi dibandingkan tingkat paneang dan tajuk pohon bagian bawah. Determinasi Fungsi Fisiologis Daun pada Kemampuan Adaptasi Lithocarpus Celebicus (Mig.) Rehd terhadap Intensitas Cahaya Tei Rostwoo dan Ti une DAFTAR PUSTAKA "A. 1996. Plants in changing environments. Cambridge University Press, Cambridge, UK. Chazdon, R. L. & N. Fetcher. 1996 Light environments of tropical forests. Di dalam: Physiological ecology of plants of the wet tropics (Medina, E., H. A. Mooney & C. ‘Vazquez-Yanes, editor). Dr W. Junk Publishers, The Hague, Netherlands: 27 — 50. Kimmins, J. P, 1987. Forest ecology. Mac Millan Publishing Company, New York. Kriedemann, P. 1999. Light use and leaf gas exchange. Di dalam: Plants in action (Atwell, B. P. Kriedemann & C, Turnbull, editor). MacMillan Education Australia Pty Ltd, New Zealand, Australia, Lawlor, D. W. 1987, Photosynthesis: metabolism, control and physiology. Longman Singapore Publisher (Pte) Ltd. Singapore. Levitt, J. 1980. Response of plants to environmental stresses: water, radiation, salt and other stresses. Vol II. Academic Press, London. Medina, E. 1986. Forests, Savannas and montane tropical environments. Di dalam: Photosynthesis in contrasting environments (Baker, N. R & S. P. Long, editor). Elsevier Science Publishers B.V., Amsterdam, The Netherlands: 139 - 169, Soerianegera, | and R.H.M.J. Lemmens. Plant Resources of South-East Asia No. 5 (2) Timber trees: Minor commercial timbers. Prosea Foundation, Bogor: 284 — 306. Tateno, R. & H. Kawaguchi. 2002. Differences in nitrogen use efficiency between leaves from canopy and subcanopy trees. Ecological Research 17 : 695 ~ 704. UJI SILVIKULTUR SENGON ASAL TUJUH SUMBER BENIH Silvicultural Test of Albizian from Seven Seed Sources Aditya Hani dan M. Yamin Mile Loka Litbang Hutan Monsoon ABSTRACT A silvicultural test of seven Albizian provenans have been conducted at Batulawang village, Banjar District, West Java, The objective of the study were to gain the data on the effect of different planting space on the growth performance of seven sengon provenans. The provettans consists of seed sources from Ciamis, Biak, Wonogiri, Wamena, Subang, Kediri and Candiroto. By using split plot design, the treatment consist of three planting space such as 2m x 2m, 2 mx 3mand2mx4 mas the main plot and seven seed sources as sub plot. Observation at 7 months of Albizian growth showed that provenance of Kediri has the highest growth performance (242.65 cm) and provenance of Wamena has the lowest growth performance (156.32 cm). The measurement of diameter plant parameter, showed that provenance of Candiroto have the highest diameter growth performance (3.04 cm) and provenance of Wamena has the lowest diameter growth performance (2.30 cm). Planting space of 2 mx 2 m has the highest average growth (228.1 cm) and planting space of 2m x 3 m has the lowest growth Key words: Parasianthes faleataria, provenance, silvicultural test ABSTRAK Uji silvikultur tujuh sumber benih sengon dilaksanakan di Desa Batulawang wilayah Kotip Banjar, Jawa Barat, Tujuan penelitian ini untuk memperoleh data pengaruh perbedaan jarak tanam terhadap pertumbuhan tujuh provenan, Sumber asal benih sengon terdivi ¢ari Ciamis, Biak, Wonogiri, Wamena, Subang, Kediri dan Candiroto. Disain penelitian yang digunakan adalah split plot, Perlakuan terdiri dari tiga jarak tanam yaitu 2m x 2m; 2m x3 m dan 2m x 4m sebagai plot utama dan tujuh provenan sebagai anak petak, Hasil pengamatan pertumbuhan sengon umur 7 bulan, provenan Kediri mempunyai pertumbuhan tinggi terbesar (242,65 em), sedangkan provenan Wamena memiliki pertumbuhan tinggi terendah (156,32 cm). Pada parameter diameter tanaman diperoleh hasil sengon provenan Candiroto memiliki pertumbuhan diameter terbesar (3,04 cm), sedangkan Wamena memiliki pertumbuhan diameter terendah (2,30 cm). Jarak tanam 2 m x 2 m memiliki pertumbuah rata-rata tertinggi (228,1 cm), sedangkan jarak tanam 2 mx.3 m memiliki pertumbuhan terendah Kata kunci: Parasianthes falcataria, provenance, uji silvikultur 305 | Jurnal Penelition Huten Taneman Vol 3 Suplemen No, 02, September 2004, 305-316 \ + je pp kPENDAHULUAN Produktivitas hutan tandman daurpendek (6-8 taltin) di Indonesia sanigat bervariasi dari yang tidak produktif (kurang dari 1S m'ha/th) sampai dengan tergolong produktif (lebih dari 30 m'/ha/ th), Pada daur pertama penggunaan benih dengay kualitas kurang bajk merupakan salah satu faktor yang berkontribusi pada produktivitashutan tanaman yang rendah. Ketidaksesuaian antara spesies! provenans dengan tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena teknik budidaya yang rendah, merupakan faktor lain yang menyebabkan kurang optimalnya produktivitas hutan tanaman (Hardiyanto, 2008). Salah satu komoditas hutan rakyat aridalan taniéiian sengon yang mempunyai pasar yang terbuka. Namun produktivitas hutan rakyat masih tergolong rendah (20 m’/ha/th). Sebagai upaya untuk nieningkatkan produktivitas hutan rakyat khususnya sengon tidak cukup dilakukan dengan cara memperluas areal pertanaman sengon (peningkatan produksi secara horizontal) seperti yang dilakukan oleh pemerintah selama ini, karena tidak akan berdampak langsung pada petani yang mempunyai lahan yang terbatas, Peningkatan produktivitas persatuan luas (peningkatan produksi secara vertikal), sesuai FKKM (1999) merupakan faktor penting yang berdampak nyata terhadap peningkatan pendapatan petani. Awang er all. (2002) mengemukakan bahwa, kajian tentang sosial ekoriomi hutan rakyat banyak dilakukan oleh para ilmuwan dan peneliti, namun upaya yang berkaitan dengan peningkatan produktivitas belum banyak tersedia, Hal ini disebabkan karena upaya peningkatan produktivitas per satuan luas harus dikembangkan melalui ujicoba pengembangan teknologi tepat guna di lapangan. Hasil penelitian Mile (2003) menunjukkan bahwa tanaman sengon rakyat saat ini banyak yang tidak optimal cumbulnya, sekalipun berada pada kondisi yang sesuai baik dari tanah maupun agroklimat, Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain semakin menurunnya kesuburan tanah yang dimiliki oleh petani saat ini dan rendahnya nilai genetik tanaman yang diusahakan, Karena itu peningkatan nilai genetik dan penerapan teknik silvikultur intensif perlu dilakukan, Uji silvikultur yang diuraikan dalam kegiatan penelitian ini dimaksudkan untuk memanipulasi lingkungan agar menghasilkan pertumbuhan yang optimal dari jenis sengon yang sudah diseleksi (F 1). Berdasarkan pengalaman empiris bahwa waktu yang sangat krusial membangun hutan tanaman berdaur pendek adalah pada pertumbuhan tahun pertama bahkan pada 6 bulan pertama yang akan menentukan produktivitas tanaman di akhir daur (Hardiyanto, 2005), Untuk itu dalam penelitian ini dilakukan pengamatan yang intensif pada umur tersebut. Sebagai tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh data tentang pertumbuban dan daya adaptasi tanaman sengon yang berasal dari tujuh sumber benih yang, berbeda serta pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan tujuh provenan sengon yang ditanam dengan sistem tumpang sari Il. BAHAN DAN METODA. A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2004 s/d April 2005 dengan lokasi di Desa Batulawang, Banjar. Laban yang digunakan merupakan milik masyarakat yang dimanfaatkan atas dasar kesepakatan bersama. 306 Uji Silvikultur Sengon Asal Tujuh Sumber Beni ‘Adiya Hen! den M. Yamin Mile B. Bahan dan Alat ‘Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah bibit sengon yang berasal dari tjuh sumber beni yakni Ciamis, Biak, Wonogiri, Wamena, Subang, Kediri dan Candiroto, sedangkan alat yang digunakan adalah galah pengukur tinggi, peta tanaman, meteran, cat aat tulis dan kaliper. C. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan petak terpisah (Split Plot) dengan petak utama adalah Jarak tanam dan anak petak adalah sumber benih. Dalam penelitian ini digunakan tiga perlakuan jarak tanam yaitu 2 m x 2m, 2mx 3m dan 2m x4_m dengan ukuran plot tiap jarak tanam 12 mx ‘6m. Bibit yang ditanam berasal dari 7 sumber benih. Perlakuan diulang 2 kali dengan luas areal = 0,07 ha dan jumlah bibit yang ditanam 672 bibit, sedangkan parameter yang diukur meliputi tinggi dan diameter tanaman serta adanya serangan hama/penyakit Perlakuan silvikultur intensif dilakukan melalui penerapan model agroforestry, yaitu ‘penanaman tanaman bawah dengan tanaman semusim (timun dan kacang panjang) secara berurutan (sequential planting) dengan perlakuan pemupukan, pemeliharaan dan pengendalian hama/penyakit secara intensif, Penanaman tanaman semusim bertujuan supaya pemeliharaan tanaman sengon dapat dilakukan lebih intensif serta mengurangi munculnya tanaman penggenggu berupa rumput dan alang-alang D. Analisa Data Data pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman sengon pada setiap perlakuan dianalisa berdasarkan analisa rancangan petak terpisah, apabila terjadi perbedaan maka diyji dengan uji jarak Duncea, Analisa data menggunakan program SPSS versi 11. II. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Penampilan Provenan a, Tinggi Tanaman Analisis varians pengaruh jarak tanam dan sumber benih terhadap pertumbuhan tinggi tanaman sengon disajikan pada Tabel 1, sedangkan pertumbuhan tinggi rata-rata tanaman, sengon tiap provenan disajikan pada Grafik 1 Tabel 1. Analisis varians pengaruh jarak tanam dan sumber benih terhadap pertumbuhan tinggi tanaman sengon Sumber Derajat | Jumiah Kuadrat . Variasi Bebas | Kuadrat__| Tengah | FM | Sit Bick, T 73937,49_| Fs937.ad_| 434] -OGsR Jaraktanam | 2 | 58946,01_] 39473,01_| 5.34 | 0,000 Provenan [6 | 534588.51 | 89097,42_[ 21,363 | 0,000 Irktom* Provetan 12 3.50 | 0,000 Error "| oT) 334784628 Total [6497 [35317660 a R Squared = 0,237 Jura! Penelitian Hutan Tanaman ei 3 Suplemen No. 02, September 2006, 305-316 Tingai (em) 81 82 83 B4 BS B65 67 Provenan Grafik 1. Pertumbuhan tinggi rata-rata tanaman sengon sia 7 bulan ‘Tabel 2. Hasil ujijarak Duncan Sumber Benih | Keterangan ‘Wamena, Wonogiti Subany Ciamis Kediri 2 Tabel 3. Hasil uji jarak duncan perlakuan jarak tanam terhadap tinggi | JarakTanam | Keterangan Imad 5 2mx4m ab Zmx2m [a Benih yang berasal dari Kediri seperti yang disajikan pada Tabel 2 serta setelah dilakukan ujijarak Duncan yang disajikan pada Tabel 3, mempunyai pertumbuhan tinggi rata-rata yang, paling besar (242,65 cm), tetapi tidak menunjukan perbedaan tinggi yang nyata dengan benih yang berasal dari Ciamis, Candiroto dan Biak, sedangkan pertumbuhan terendah yaitu benih yang berasal dari Wamena (156,32 em). b. Diameter Tanaman Analisa varian pengaruh jarak tanam dan sumber benih terhadap pertumbuhan diameter tanaman sengon disajikan pada Tabel 4, sedangkan pertumbuhan diameter rata-rata tanaman sengon disajikan pada Grafik 2. Tabel 4, Analisa varians pengaruh jarak tanam dan sumber benih terhadap pertumbuhan diameter Sumber Derajat | Jumlah | Kuadrat [Fhit. | Sig. Varia: Bebas | Kuadrat | Tengah | “Blox __1 056 0,56 | 083 036 Jarak Tanam 2 3,56 2,78 | 4,09 | 0,017 [Provenan_ 6 44.03 | 7,34 {10.79 | 0.00 TrkTam*Provenan | 12 28,80_| 2.40 | 3.53 | 0.00 Error 608 413,40_| 0,68 | Total 650 | 3536.67 | Alpha = 0,05 308 Uj Silvikultur Sengon Asal Tujuh Sumber Benih ‘Aitye Hani don M. Yamin Mie Pada tabe] Anova diatas, dapat diketahui bahwa perlakuan dan sumber benih memberikan pengarub dengan beda sangat nyata serta beda nyata untuk perlakuan jarak tanam terhadap pertumbuhan tinggi sengon umur 7 bulan pada taraf signifikansi 0,05, Untuk mengetahui perbedaan yang ada diantara perlakuan maka dilakukan uji jarak Duncan pada tingkat 5%. Hasil yang diperoleh disajikan pada Tabel 5 dan Tabel 6. Tabel 5. Hasil uji jarak Duncan perlakuan jarak tanam terhadap diameter Jarak Tanam | Keterangan 2mx3m b 2mx4m 2m ‘Tabel 6. Hasil uji jarak Duncan perlakuan sumber benih terhadap diameter Sumber Benih_| Keterangan Wamena, a ‘Wonogirt Biek ‘Subang {Ciamis Kediri Candiroio 350 300 2 250 | aime E200 a2mxam | E 150 | camxam | 8 100 oso | 000 { er Provenan, Grafik 2. Pertumbuhan diameter rata-rata sengon umur 7 bulan. Provenan Candiroto mempunyai pertumbuhan diameter paling besar (3,04 em) tetapi tidak berbeda nyata dengan Kediri, sedangkan pertumbuhan tinggi terendah yaitu benih yang berasal dari Wamena (2,30 em). Jarak tanam 2 m x 2 m mempunyai pertumbuhan diameter yang lebih baik (2,84 cm) dibandingkan dengan jarak 2m x 3 m yang memiliki pertumbuhan diameter paling rendah (2,64 cm) tetapi tidak berbeda nyata dengan jarak tanam 2 m x 4m, c, Intensitas Serangan Hama Tanaman sengon merupakan jenis yang rentan terhadap serangan hama yang dapat ditemukan mulai usia muda sampai dewasa. Hasil inventarisasi tingkat serangan hama terhadap sengon umur 7 bulan setelah tanam disajikan pada Tabel 7. | Jurmal Penelition Huten Taneman Vo 3 Suplemen No, 02, September 2006, 305.316 ‘Tabel 7. Intensitas serangan hama pada tanaman sengon umur 7 bulan Provenan Intensitas Serangan Jenis Hama (%) Jarak Tanam 2 mx2m__| Ulangan1 | Ulangan2__| Eurema (Lurema Biak 100 100 spp.), Ulat kantong ‘Wamena 86 100 (Plerome 100 | _100 plagiophelps), 90 100 Penggerek pucuk Candirito 100 100___| (Zeuzera coffeae), Kediri 100 100) Kutu dompol | Wonogiri 100 100 (Ferisia firgata), Jarak Tanam 2 mx 3m Biak 73 100 | Wamena_ 69 100 Subang 85 100 [Ciam 93 100 Candirito t ez} 100 Kediri 84 100 Wonogiri 85 95 Jarak Tanam 2 mx 4m ‘Biak 100 100 | ‘Wamena 100 91,6 Subang 75. 100 Ciamis 916 100 Candirito| 91,6 100 Kediri_ 3 | 91,6 Wonogiri _ 100 I 100 _ Berdasarkan hasil inventarisasi seperti yang disajikan pada Tabet 7 bahwa intensitas serangan hhama tanaman sengon sangat tinggi. Hat ini dibuktikan dengan persentase serangan terendah 69% dan yang tertinggi 100%. Dari data tersebut dapat diketahui bahwa apabila semua provenan yang dinji masin rentan terhadap serangan hama walaupun tingkal serangan pada masing-masing provenan berbeda. Intensitas serangan yang tinggi tidak sampai menyebabkan kematian karena tingkat kerusakan yang ditimbulkan masih rendah. Hal ini diduga disebabkan karena serangan terjadi pada saat musim hnujan sehingga kecepatan tanaman sengon untuk membentuk tunas baru cukup tinggi, dan mampu ‘menggantikan daun yang mati terserang hama. Selainitu, kegiatan pengendalian berupa penyemprotan insektisida segera dilakukan, sehingga dapat menekan populasi serangan hama. B. Pembahasan 1, Pertumbuhan tanaman sengon di tapangan Dari 7 provenan yang dilakukan penelitian, diketahui bahwa yang berasal dari sumber benih Kediri, Candiroto dan Ciamis memperlihatkan pertumbuhan yang lebih baik, sedangkan dari sumber benih Wamena, Irian Jaya mempertitratkan pertumbuhan yang lebih rendah dibanding provenan lainnya pada pengukuran 7 bulan setelah tanam, Perbedaan pertumbuhan 310 Uji Silvikultur Sengon Asal Tujuh Sumber Benih ‘diye Hen don M, Yon Mie benih asal Wamena diduga disebabkan perbedaan faktor ketinggian tempat asal dengan lokasi penelitian. Sumber benih asal Wamena berada pada ketinggian + 2000 m dpl, sedangkan lokasi penelitian berada pada ketinggian + 50 m dpl. Perbedaan ketinggian dapat mengakibatkan adanya perbedaan suhu dan kelembaban yang mempengaruhi pertumbuban tanaman, sedangkan sumber benih yang lain perbedaan ketinggian asal tidak terlalu besar dengan loksi penelitian, Hasilinididukung, oleb penelitian dari Pusat Litbang Hutan Tanaman yang mengevaluasi pertumbuhan sengon 9 provenan umur36 bulan yang diperoleh hasil bahwa pertumbuhan tinggi terbaik dicapai oleh prevenans dari Jawa Timur danpertumbuhan terendah dialami oleh sengon sumber beni asal Wamena, Hail penelitian Ismail dan Moko (2005), menunjukkan bahwa sumber benih Kediri memperlihatkan tinggi tanaman yang lebih baik dibandingkan suraber benih yang lain dan memberikan peningkatan yang berbeda nyata sedangkan sumber benih asal Wamena menunjukkan tinggi tanaman yang terendah, Penelitian yang dilakukan di persemaian, provenen Wamena memperlihatkan keunggulan dengan pertumbuhan yang seragam serta penampakan yang lebih baik dibanding dengan provenan lain, Namun keunggulan di persemaian tidak berlanjut ketikaditanam di lapangan, karena pada pengukuran sampai usia 7 bulan sumber benih asal Wamena mempunyai pertumbuhan terendah yang diduga ipengaruhi oleh kemampuan adaptasi di lapangan, Lokasi di persemaian kondisi lingkungan relatif’ terkendali dengan dilakukannya penyiraman serta pengaluran intensitas cahaya untuk menjaga suhu ddan kelembaban yang dibwtuhkan oleh tanaman, Untuk meningkatkan keberhasilan penanaman maka bbahan tanam dalam kordisi yang baik yang akan menentukan pertumbuhan selanjutnya di lapangan, Untui itu, bibit yang ditanam harus memenuhi standar mutu bibit di mana berdasarkan standar mutu bibit SNI (1999) bibit siap tanam memiliki standar mtu untuk bibit mutu pertama adalah tinggi > 36 cm s/d 45 cm; diameter> 4,0 mm s/d 7,0 mm dan nilai kekokohan bibit 5,1 ~9, sedangkan bibit yang digunakan untuk penelitian ini yang dihasilkan dari persemaian pada umur 4 bulan memiliki tinggi rata-rata 70,65 cm; diameter rata-rata 4,8 mm dan kekokohan semai rata-rata 14,71 2. Manajemen tumpangsari sebagai bagian dari sistem silvikulurintensif Secara umum diketahui bahwa pertumbuhan sengon sangat dipengaruhi oleh sistem pemeliharan yang diberikan dan yang menjadi kendala pada masyarakat yaitu karena tingginya biaya untuk pemeliharaan terutama apabila ditanam secara monokultar. Untuk itu, perlakuan sistem silvikultur intensif dengan cara tumpangsari. Berdasarkan data hasil pengukuran memperlihatkan pertumbuhan yang relatif lebih baik dibanding dengan tanpa sistem tumpangsari. Pengelolaan tanaman tumpangsari yang sesuai adalah merupakan bagian dari sistim silvikultur intensif. Tanaman pohon akan memperoleh keontungan dari sistim tumpangsari melalui pemeliharaan yang intensif dan pemupukan tanaman bawah, Hal ini terlihat secara visual dari penampilan tanaman sengon secara tumpangsari yang cukup subur dibanding dengan tanaman yang di tanam tanpa tumpangsari. Hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa manajemen tumpangsari yang tepat dapat menghasilkan pertumbuhan tanaman pohon yang relatif lebih cepat. Pengaruh manajemen tanaman bawah ini cukup signifikan dalam merangsang pertumbuhan tanaman pohon. Salah satu syarat yang perlu 75% —_| 4 D. Analisis Data Data tingkat kerusakan tanaman yang dikumpulkan kemudian dilakukan analisi dengan sidik ragam yang dilanjutkan dengan uji nilai tengah Duncan pada taraf 5% II, HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Pengamatan 1, Intensitas Serangan Ulat Kantong Intensitas serangan ulat kantong terhadap tujuh provenan sengon pada jarak tanam 2 m x 2m dan 2 mx 4 m disajikan pada Tabel 2. Pada jarak tanam 2 m x 2 m intensitas serangan 100% ditunjukkan oleh provenan Kediri dan Wonogiri, sedangkan provenan lainnya berkisar antara 85% - 96%. Pada jarak tanam 2 m x 4 m, enam provenan menunjukkan intensitas serangan 100% dan provenan Wamena 75%, Secara keseluruhan baik pada jarak tanam 2 m x2m maupun 2 m x 4 m menunjukkan intensitas serangan yang tinggi. Tingginya intensitas serangan tersebut menunjukkan bahwa dari ketujuh provenan sengon tidak ada yang tahan terhadap serangan hama ulat kantong. 305 Jurnal Penelitian Huton Tanaman Vol. 3 Suplemen No, 02, September 2006, 323-329 Tabel 2. Intensitas serangan ulat kantong pada jarak tanam 2m x 2m dan2mx4m [ Tarak Tanam 2m x 2m Jarak Tanam 2 mx 4m Provenan, ~ tanaman | verserang |_| _tamaman | trserang | 15 | Subang | —_21 20 | 3524-[ 2 100} Kediri x 21 [100 12 12_| 100] Biak 21 19 90.48 12. 12 100 Wonogit | 21 21} 100 [12 12 | 100 Candiroto| 21 is) 9048 | 12 12[100 Wamena [21 ig 8571-| 12 3 75 | Ciamis 21 20, 98.24 12. 12 100 Keterangan: Is = Intensitas serangan (%) 2. Tingkat Kerusakan Tanaman Hasil pengamatan terhadap tingkat kerusakan memperlihatkan bahwa tingkat kerusakan tanaman yang diakibatkan oleh ulat kantong relatif rendah seperti disajikan pada Tabel 4 dan Tabel 6. Tingkat kerusakan tersebut menunjukkan perbedaan yang nyata dengan nilai signifikan 0.028 seperti disajikan pada Tabel 3. Nilai uji Duncan untuk ketujuh provenan disajikan pada Tabel 4. Hasil analisis menunjukkan bahwa derajat kerusakan untuk provenan Bia (36,81%) dan provenan Ciamis (35,29%) lebih tinggi dibandingkan dengan provenan lain, namun tingkat kerusakannya tidak menimbulkan kerugian yang berarti Tabel 3, Analisis keragaman tingkat kerusakan sengon pada jarak tanam 2 mx 2m Sumber |” Derajat Jumiah Kuadrat NilaiF | Nilai? Variasi__| _ Bebas Kuadrat_| Tengah Provenan 6 | 0.234 0.039 2.445 | 0,028 Individu 140 2,237 0.016 Total 146 2,371 _ Tabel 4. Nilai uji Duncan derajat kerusakan tanaman pada jarak tanam 2m x 2m Provenan Rata-rata [ Uji Duncan | Biak 36.81 a Ciamis 35.29 a Wamena| 32.33 ab Kediri 30.05 - ab ‘Candiroto 28.81 ab ‘Wonogi 26.19 b Subang — 25.57 b | Keterangan: Rataan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan taraf 5% Pada jarak tanam 2 m x 4m tingkat kerusakan tanaman antar provenan berbeda nyata dengan nilai signifikan 0,001 seperti disajikan pada Tabel 5. Hasil uji Duncan menunjukkan provenan Subang dan Candiroto pada jarak tanam 2 m x 4 m memiliki tingkat kerusakan 326 Serangan Ulat Kantong Terhadap Tujuh Provenan Sengon di Ciamis EndahSuoendo, Benyamin Dendang, a Angraen! dan Wido Darwi yang lebih tinggi dibandingkan dengan provenan lain dengan nilai tingkat kerusakan masing-masing sebesar 44,17% dan 43,17% yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 5. Analisis keragaman tingkat kerusakan sengon pada jarak tanam 2 m x 4m [Sumber Derajat | Jumlah Kuadrat | Nilai F Nilai P Variasi Bebas Kuadrat__| Tengah Provenan | 6 437 0.073 4334 0.001 | Individu 1 1.295 0.017 Tabel 6. Nilai uji Duncan derajat kerusakan tanaman pada jarak tanam 2 m x 4m Uji Duncan 4417 Bi 34,50 28.33 27,67 Wonogiri 27,00 Biak 26,08 Keterangan: Ratan yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata menurut uji Duncan taraf 5% B, Pembahasan Ulat kantong yang ditemukan menyerang tanaman sengon di lokasi penelitian terdiri dari tiga spesies, yaitu Preroma plagiophelps, Amatissa sp dan Cryptothelea sp. Ketiga spesies tersebut termasuk ordo Lepidoptera, Famili Psychidae, dengan ciri-ciri morfologi tubuh ditutupi oleh daun-daun kering (Kalshoven, 1981). Larva tinggal di dalam kantong sampai dewasa. Ulat bergerak dan makan dengan mengeluarkan kepala dan sebagian toraksnya. Larva berkepompong di dalam kantong dengan posisi berubah, kepalanya di belakang. Pupa jantan akan menjadi ngengat yang bersayap, sedang yang betina tidak bersayap atau sayap dan kakinya kerdil dan tetap hidup di dalam kantong (Pracaya, 1995). Gambar 1. Ulat kantong Preroma plagiophelps (A), Amatissa sp (B) dan Cryptothelea sp (C) P. plagiophelps memiliki ukuran tubuh yang kecil + 16 mm berbentuk kerucut (Gambar A) dan ditutupi oleh serpihan daun yang halus, pada waktu berpupa pembungkusnya berubah 307 Jornal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 Suplemen No. 02, September 2006,323-329 bentuk menjadi bulat panjang dan menggantung dibawah daun. Amatissa sp mempunyai ukuran tubuh = 3 em - 5 em yang sempit dan memanjang dengan permukaan yang halus (Gambar | B), sama seperti ulat kantong yang lainnya jenis ini menyerang daun baik daun tua maupun daun muda bahkan menyerang Kulit cabang. Cryprothefea sp. (Gambar 1 C) merupakan jeni ulat Kantong yang berukuran lebih besar dari jenis yang lain dengan bentuk seperti peluru yang meruncing di bagian kedua ujungnya dan melebar di bagian tengah. Permukaan pembungkus kasar (Kalshoven, 1981), Gambar 2. Gejala tanaman sengon yang terserang ulat kantong Ulat kantong menyerang sengon dari permukaan daun bagian bawah bahkan menyerang kulit batang muda. Serangan ulat kantong ditandai dengan gejala daun yang berlubang dan daun menjadi berwarna cokelat, kering dan meradang. Pada serangan yang cukup tinggi menyebabkan daun menjadi gundul, sehingga mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman (Gambar 2). Hal ini diakibatkan Karena daun merupakan tempat fotosintesis bagi tanaman yang menghasilkan karbohidrat (C,H,,0,) yang digunakan oleh tumbuhan dalam proses pertumbuhan, Ulat kantong termasuk hama minor terhadap inang meskipun pernah dilaporkan terjadinya ledakan pada sengon (Nair dan Mathew, 1992), Intensitas serangan ulat kantong yang tinggi pada tujuh provenan sengon mengindikasikan bahwa ketujuh provenan sengon yang diamati tidak ada yang tahan terhadap serangan ulat kantong. Namun demikian derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh ulat kantong relatif rendah. Hal ini disebabkan pengamatan dilakukan pada musim hujan sehingga populasi hama ulat kantong terkendali, Selain itu di lapangan ditemukan musuh alaminya berupa parasitoid dari ordo Diptera (Famili Tachinidae) yang mampu menekan perkembangan ulat kantong. Jarak tanam yang berbeda tidak berpengaruh terhadap intensitas serangan, Hal ini menunjukkan bahwa sebaran ulat kantong tidak dipengaruhi jarak tanam karena karakteristik Jarvanya yang mengeluarkan benang sutera untuk menggantungkan badannya yang kemudian digunakan untuk menyebar dengan bantuan angin, manusia atau binatang lain (Pracaya, 1995). Tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh ulat kantong untuk provenan yang berbeda menunjukkan tingkat kerusakan yang berbeda baik pada jarak tanam 2 m x 2m maupun 2m x 4m, Pada jarak tanam 2 m x 2 m provenan Wonogiri dan Subang menunjukkan tingkat kerusakan yang paling rendah, sedangkan pada jarak tanam 2 m x 4 m derajat kerusakan yang paling rendah terlihat pada provenan Kediri, Wonogiri dan Biak. Serangan Ulat Kantong Terhadap Tujuh Provenan Sengon di Glamis Enda Suhoenda, Benyamin Dendang, la Anggraen can Wd Dorwe IV. KESIMPULAN 1, Jarak tanam dari provenan sengon tidak berpengaruh terhadap intensitas serangan ulat kantong, Intensitas serangan ulat kantong pada tujuh provenan sengon pada javak tanam 2mx2m maupun 2 mx 4m mencapai 75% - 100%. Namun tingkat kerusakannya relatif rendah 25% - 44%, 2. Tanaman sengon provenan Wonogiri dan Subang dengan jarak tanam 2 m x 2m menunjukkan derajat kerusakan yang paling rendah, sedangkan pada jarak tanam 2 m x 4m kerusakan yang paling rendah ditunjukkan oleh provenan Kediri, Wonogiri dan Biak. DAFTAR PUSTAKA Hardi T dan Illa Anggraini. 2004, Hama dan Penyakit Pada Tanaman Jati dan Kayu Putih Ekspose Terpadu Hasil-Hasil Penelitian. Yogyakarta 11-12 Oktober 2004. P3BPTH Yogyakarta Kalshoven LGE. 1981, Pests of Crops in Indonesia. PT Iehtiar Baru ~ Van Hoeve. Jakarta 626 pp. Nair KSS and Mathew G, 1992. Biology, Infestation Characteristics and Impact of The Bagworm, Pteroma plagiophelps hamps. In Forest Plantations of Paraserianthes falcataria, Entomon 17: 1-13 Nair KSS and Sumardi, 2000. Insect Pests and Diseases of Major Plantation Species In; Nair KS.S (ed) Insect Pest and Diseases in Indonesia Forest: An assessment of the Major Threats, Research Efforts and Literature. CIFOR. Bogor. Indonesia. 101p Pracaya. 1995. Hama dan Penyakit Tanaman, Penebar Swadaya. Jakarta. 417 pp. 309 AKURASIMETODA UJI CEPAT DALAM MENDUGA. VIABILITAS BENIH SENGON Accuration of Rapid Test Methods on Estimated of Sengon Seeds Viability M. Zanzibar” dan Nanang Herdiana” "Balai Litbang Teknologi Perbenihan Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat ABSTRACT The common of seed testing is germination test, but for many casses like the deeply dormant seeds of tree species can be efficienctly assesed by rapid testing techniques, it is desirable that the accuracy, uniformity and reliability of the techniques be checked by the standard germination. Some methods of rapid seed viability testing which can be used were tetrazolium test, hydrogen peroxida test, exicion embryo test and cutting test. This research aim to determinate the quality of seed Sengon pursuant to various method of rapid seed viability testing covering: tetrazolium test, hydrogen peroxide test, exicion embryo test and cutting test. Result of t test and correlation test of rapid viability methods (i.e. tetrazolium test, hydrogen peroxide test, exicion embryo test and cutting test), indicating that all the test method can be used as substitution of direct germination test in determination of germination capacity of Sengon seeds. Equation of determination of Sengon germination capacity i.e tetrazolium test: ¥ = 1,1 X- 7,83 (P' : 93,2%); hydrogen peroxida test: Y = 1,01 X~ 7,3 (r° : 84,6 %); exicion embrio test: ¥ = 0,930. X + 1,1 (7° : 78,4%) and cutting test: Y= 1,26 X- 23,4 (° 85,42 %). Key Words: Cutting test, exicion embryo test, hydrogen peroxide test, rapid viability testing, tetrazolium test. ABSTRAK, Pengujian benih standar dilakukan melalui uji perkecambahan, namun pada beberapa kasus jika benih memiliki dormansi dan upaya perlakuan pendahuluan tidak tepat maka akan memberikan hasil pengujian yang bias. Bila keadaan tersebut terjadi, dapat menggunakan metoda uji cepat. Penelitian ini bertujuan untuk menduga kualitas benih sengon (Paraserianthes falcataria) berdasarkan berbagai metoda uji cepat viabilitas (uji tetrazolium, hidrogen peroksida, cksisi embrio dan uji belah). Hasil yji t dan uji korelasi terhadap keempat metoda uji cepat yang digunakan, menunjukkan bahwa semua metoda uji tersebut dapat digunakan sebagai pengganti uji perkecambahan langsung. Persamaan dugaan daya berkecambah masing-masing uji adalah: uji tetrazolium: Y = 1,1 X — 7,83 (1? : 93,2 %), uji hhidrogen peroksida: Y= 1,01 X ~ 7,3 (# : 84,6 %), uji eksisi embrio: Y = 0,930 X + 1,1 (Ps 78,4 %) dan uji belah: Y = 1,26 X - 23,4 (1° : 85,42 %) Kata Kunci: Uji belah, uji cepat viabilitas, uji eksisi embrio, uji hidrogen peroksida, uji tetrazolium. 31 Jurnal Penelitian Haton Tanaman Val. 3 Suplomen No, 02, September 2006, 331-338 1. PENDAHULUAN Kualitasfisiologis benih hanya dapat diketahui melalui serangkaian proses pengujian. Pengujian kualitas benih secara cepat, praktis serta objektif saat ini sangat diperlukan wtamanya bagi pengguna. Jika informasi tersebut diperoleh melalui proses perkecambalzan akan membutuhkan waktu yang relatif lama. Pengujian perkecambahan pada jenis mangium membutuhkan waktu 2! hari, namun jika menggunakan salah satu metoda uji cepat, yaitu uji belah selama | hari (? = 85,42%), hidrogen peroksida selama 7 hari (F = 90,04%), eksisi embrio selama 6 hari (F°= 81,42) dan uji tetrazolium selama 1,5 hari (1? =93,18%). Berdasarkan hasil tersebut direkomendasikan bahwa semua metoda ujidimakseid dapat digunakan sebagai pengganti uji perkecambahan langsung dalam menduga daya berkecamibah benih mangium (Zanzibar dan Herdiana, 2005, Zanzibar dan Yaniarti, 2005). Informasi ini akan sangat nyata bedanya bila benih yang diyji memiliki gejala dormansi, Seperti halnya jenis mangium, benih sengon memiliki dormansi primer (Schmidt dan Joker, 2004), yaitu memiliki 3 lapisan Kulit; dua lapisan Kulit terluamnya yaitu kutikula dan palisade kedap terhadap air dan udara yang melindungi benih dari desikesi dan seringkali menghambat perkecambahan. Pada akhir pengujian umumnya banyak ditemukan benih keras viabel sehingga informasi hasil pengujiannya menjadi bias. Penelitian ini bertujuan untuk menduga kualitas fisiologis benih sengon (P falcataria) menggunake metoda uji cepat viabilitas, yaitu yji tetrazolium, uji hidrogen peroksida, uji eksisi embrio dan uji belah. 1. BAHAN DAN METODE A. Bahan dan Alat Penelitian ini ditakukan di Laboratorium Balai L itbang Teknologi Perbenihan Bogor dengan bahan-bahan yang digunakan adalah benih sengon, aquades, garam tetrazolium (2,3,5-triphenil tetrazolium chlorida), Na, HPO, 2H,O, KH, PO, larutan hidrogen peroksida, benomil, etanol 70%, kertas merang, kertas saring, kain kasa dan aluminium foil, sedangkan alat-alat yang digunakan adalah cawan peti, gelas piala, gelas ukur, gunting kuku, pinset,silet, scapel, penggaris, oven, alat pengaduk, inkubator, germinator, laminar air flow, saringan, lup, semprotan tangan, timbangan dan alat pembagi benih. B. Metode Penelitian Proses pengujian dilakukan sebagai berikut: (1). Pengambilan contoh, dimaksudkan agar kualitas benih yang diperoleh benar-benar mewakili kelompok benih (seed Jot) yang diuji, dilakukan sesuai dengan ketentuan ISTA (1985). (2). Sterilisasi bahan dan alzt. Gelas, logam, dan kertas disterilisasi dengan cara dipanaskan dalam oven pada sult 105°C selama 24 jam, (3). Pengusangan, bertujuan untuk mendapatkan variasi kualitas vigor benih. Benih ditempatkan ke dalam wadah plastik yang telah diisi air sebanyak 150 ml kemudian ditutup. Di dalam wadah benih diletakkan pada saringan dan selama pengusangan air tidak secara langsung mengenai benih. Wadah kemudian diletakan dalam inkubator pada suhu 40°C, Taraf pengusangan adalah 0, 12, 24, 36, 48, 60, 72, 84, 96, 108 dan 120 jam. (4). Pelaksanaan uji Cepat, Uji cepat yang digunakan adalah uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan uji belah. Untuk tujuan Kalibrasi dilakukan uji perkecambahan langsung, yaitu 32 ‘Akurasi Metoda Uji Cepat dalam Menduga Viabiltas Benth Sengan | 1M 2eots on Nev Heo | menggunakan UDK (uji di atas kertas) di germinator, Besarnya satuan percobaan masing-masing metoda uji adalah: 11 taraf pengusangan x 4 ulangan x 100 butir= 4.400 satuan percobaan, C. Analisis Data Untuk membandingkan data dugaan daya berkecambah hasil uji cepat dengan data daya berkecambah hasil uji perkecambahan langsung, maka dilakukan analisis menggunakan uj t (Steel and Torrie, 1991). Hipotesa yang digunakan adalah sebagai berikut: H, D=0 ~ Bedanilai tengah daya berkecambab masing-masing metoda uji cepat terhadap nilai tengah daya berkecambah, sama dengan nol. H, D#0 ~» Beda nilai tengah daya berkecambah masing-masing metoda uji cepat terhadap nilai tengah daya berxecambah, tidak sama dengan nol. Kaidah uji yang digunakan adalah sebagai berikut: ad i SV re ty, > (a/2) (7, +1, —2), tolak H, t, < t(@/2)(c, +r, 2), terima H, hie Keterangan: Se = IK,+IK, (r, +1,-2) 4 = Selisif nilai rataan daya berkecambah hasil uji cepat dengan hasil perkecambahan langsung. ty, = Nilai t hitung, 1,2 = Jumlah kuadrat daya berkecambah hasil uji cepat dengan uji perkecambahan langsung. Untuk mengetabui keeratan hubungan antara data dugaan daya berkecambah hasil uji cepat dengan data daya berkecambah langsung dapat diketahui dengan menggunakan koefisien korelasi (Steel and Torrie, 1991). Kaidah uji yang digunakan adalah sebagai berikut Keterangan: t = Koefisien korelasi n= Jumlah ulangen (44 ulangan) dx = Dugaan daya berkecambah hasil uji cepat dy = Dayaberkecambah hasil uji perkecambahan langsung 333 Jurnal Penelitian Huton Tanaman Vol. 3 Suplemen No, 02, September 2006, 331-338 ‘Untuk mengetahui bentuks hubungan daya berkecambal aktual berdasarkan uji perkecambahan Jangsung dengan daya berkecambah berdasarkan uji cepat yang digunakan dianalisis dengan menggunakan analisisregresi dengan persamaan matematis: Y = B+ BX + & Keterangan: Y = Daya berkecambah aktual (hasil uji perkecambahan langsung) B, = Konstanta B, = Koefisien regresi X = Nilai daya berkecambah hasil uji cepat e, = Galat III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kunci Interpretasi Benih Viabel dan Non Viabel Kunci interpretasi benih viabel pada uji tetrazolium adalah apabila radikel dan plumulaberwama ‘mera (M) atau merah muda (Mm) tanpa putih (P), kotiledon minimal 40% berwama putih (P) serta terletak jauh diatas embrio, sedangkan benih non viabel apabila terdapat warna putik (P) pada radikel dan atau plumula, atau luasan kotiledon yang berwamna putih (P) lebih besar 60% seperti disajikan pada Gambar | Benih Viabel O00 0068 Benih Non Viabel v 6 0 6 Gambar 1. Sketsa pola pewaraan hasil uji tetrazolium pada benih sengon 3M Akurasi Metoda Uji Cepat dalam Menduga Viabilitas Benih Sengon 'M.Zenzbar don Nonong Hevdone Semakin luas pola pewamaan, intensitas pewamaan yang cukup tinggi serta posisi dari pola pewamaan tersebut terletak pada bagian-bagian yang penting dar’ tiap struktur tumbuh menunjukkan potensi benih untuk berkecambah semakin tinggi dan sebaliknya, Hasil penelitian juga menunjukkan bbahwa intensitas dan luasan pola pewamean antar benih cukup beragam, hal ini disebabkan keragaman proses reduksidan viabilitas antar benih, Keragaman proses reduksi dimungkinkan antara lain oleh keadaan fisik benih, di mana benih yang rusak secara fisik akan menunjukkan wama yang kurang cerah, sebagai akibat lambatnya penentrasi garam tetrazolium sehingga dalam proses evaluasi beni akan termasuk ke dalam kelompok benih non viabel Kunci interpretasi benih viabel pada uji hidrogen peroksida adalah apabila kecambah memiliki panjang radikel? 1 mm, sedangkan benih non viabel apabila panjang radikel kurang dari < 1 mm, atau tidak berkecambah sampai akhir perendaman (hari ke 7). Menurut Leadem (1984), larutan hhidrogen peroksida dapat mempertinggi perkecambahan pada fase awal dengan menstimulasi proses respirasi. Peningkatan laju respirasi ini akan memacu laju metabolisme dalam benih, energi yang, dihasilkan pada proses tersebut akan ditranslokasikan ke dalam embrio dan akan digunakan untuk petkecambahan, Salah satu kendala yang dapat menyebabkan rendahnya nilai perkecambahan hasil ‘ujiini adalah serangan jamur, banyak benih yji yang menjadi busuk dan menularke benih uji lainnya dalam waktu relatif cepat yang seharusnya dapat berkecambah, Kunci intepretasi beni viabel pada uji cksisi embrio adalah terjadi pertumbuhan pada radikel dan plumula, selama pengujian embrio tetap kokoh/segar (berwama putih atau putih kehijauan), sedangkan benih non viabel dicirikan apabila tidak terjadi pertumbuhan pada radikel dan plumula, embrio cepat rusak/membusuk, berwarna putih kecoklatan dan mengeluarkan cairan. Uji eksisi ‘mempunyainilai yang khusus karena banyak digunakan untuk mendeterminasi viabilitas yang benihnya berkecambah lambat atau memperlihatkan dormansi karena kulit benih dan/ateu embrio, merupakan bentuk transisi sesungguhnya dari uji perkecambahan karena embrio dievaluasi berdasarkan pertumbuhan akar yang secara mendasar merupakan proses awal perkecambahan (Schmidt, 2002) Beberapa hal penting yang mempengaruhi hasil uji adalah melakukan pergantian media tumbuh tepat waktu, dan membuang embrio yang telah terserang jamur agar tidak terjadi penuiaran terhadap embrio lain yang schat. Disamping itu, penentuan lama inkubasi juga akan berpengaruh terhadap -perolehan umlah embrio viabel, dengan hanya menumbubikan embrio yang memilikicadangan makanan terbatas pertumbuhan kecambah akan sangat lambat serta berlangsung dalam waktu yang singkat. Kunci interpretasi benih viabel pada uji belah adalah penampakan struktur tumbuh benih yang ‘berwama kuning, kuning kehijauan dan segar tanpa kerusakan mekanis pada bagian struktur tunibuh penting, sedangkan benih non viable dicirikan oleh kondisi struktur benih yang layu, tidak segar, berwama coklat dan berbau busuk. Walaupun uji ini merupakan metoda uji yang dapat dilakukan dengan mudah dan cepat tetapi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pendugaan viabilitas yang over estimate sangat tinggi. Hasil pengujian sangat tergantung pada penilaian dan ketelitian penguji dalam mengamati struktur tumbuh, schingga pengalaman, keahlian dan latihan dalam melakukan pengujian sangat diperlukan, Aplikasi uji belah banyak digunakan untuk kegiatan -pendugean awal kualitasbenih, misalnya dalam menilaitingkat kemasakan benih atau untuk mengetahui kualitas kumpulan benih pada saat kegiatan pengunduhan/pengumpulan, 335 Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 Suplemen No, 02, September 2008, 331-338 B. Ketepatan Uji Cepat Vs Perkecambahan Langsung Berdasarkan analisa wji beda rata-rata daya berkecambah seperti yang disajikan pada Tabel 1), menunjukkan bahwa semua metoda uji cepat pada semua taraf pengusangan tidak berbeda nyata teshadap uji perkecambahan langsung. Hubungan antara dugaan daya berkecambah berdasarkan pengujian langsung dengan daya berkecambah berdasarkan uji cepat selengkapnya disajikan pada Gambar 2 Berdasarkan Gambar2, nai koefisien korelasi dari keempat metoda uji cepat umumnya memiliki tingkat keeratan yang relatif tinggi, keeratan tertinggi diperoleh pada uji tetrazolium (93,2%), selanjutnya diikuti oleh uji hidrogen peroksida, uj eksisi embrio dan uj belah dengan nilai koefisien korelasi masing-masing sebesar 84,6%, 78,4% dan 77, 1%, Dengan demikian, keempat metoda uji cepat dapat digunakan sebagai pengganti uji perkecambahan langsung dalam menduga viabilitas benih sengon, Khusus pada uji belalnilaiintersep persamaan relatif tinggi yakni sebesar 23,4. Hal in menunjukkan bahwa penggunaan metoda akan memiliki perbedaan nilai yang cukup besar dalam menduga nilai daya berkecambah riel benih sengon, Perbedaan ini disebabkan oleh sebaran/selang data pengamatan yang kurang mewakili respon dari variasi vigor benih yang diuji sebagai akibat belum efektifnya tarafperlakuan pengusangan. Grabe (1970) dalam Zanzibar (1996), hasil uji cenat dan ujiperkecambahan scharusnya nilainya saling mendckati dalam selang keragaman pengambilan contoh yang normal, Perbedaan 3% —5% secara keseluruhan dapat diartikan tidak terjadi kesalahan dalam pengambilan contoh benih. Tabel 1. Rekapitulasi has uji beda rata-rata dugaan daya berkecambah benih sengon hasil uji perkecambahan langsung dengan uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan ujibelah mcm woe BE om [apa] SE [own [ob] BE Yow [le] BE | me [=> = [om [am | | 800 25 62s | asa | was | airs | 093 | ss | oias 106 | 960 400 | 26 | ton | ano ost | 6ss0 eso | 304 | s4p0 900 | 390 | 71,00 30) [re [oa [em [aa fom [ae | aa po | oem var [nae [ae 2 | ws | m | sm | au} wo | an [on | os | aa [ae | no [aa wan pw [ae Pew] mas Tae [an [em [aus Pan Dan Dem Tia] = [| aw) wm |e [ow [ws as [am | om [am [an | am | wo [ae [am [am [ew [om [wa am [a [wm | om [ww [am | [oar Keterangan: *) DB : Daya Berkecambah ttable 0,05 : 2,447 ttable 0,01 : 3,70 Akurasi Metoda Uji Cepat dalam Menduga Viabilitas Benih Sengon ‘M.Zanalbor dan Nonang Herdone ® o ye - ae Gambar2. Grafik hubungan antara dugaan daya berkecambah benih sengon hasil uji perkecambahan langsung dengan uji cepat: (a) Uji Tetrazolium, (b). Hidrogen Peroksida, (c). Eksisi Embrio dan (4). Uji Belah Pengujian viabilitas benih sengon menggunakan metoda Uji Diatas Kertas (UDK) membutuhkan ‘waktu pengamatan selama 14 hari, sedangkan jika menggunakan media tanam campuran pasir dan tanah maka waktu pengamatan akan bertambah panjang lagi yaitu 30 hari (BTP, 2000). Adapun waktu pengamatan dengan metoda uji cepat masing-masing adalah uji tetrazoilium (2 jam), uji hhidrogen peroksida (7 hari), uj eksisi embrio (5 hari) dan uji belah (kurangdari | jam). Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa perbedaan lamanya waktu pengamatan sangat signifikan, di mana waktu pengamatan paling lama dengan menggunakan metoda uji cepat hanya setengah dari waktu pengamatan perkecambahan langsung dengan metoda yang paling cepat. Di lapangan, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan informasi viabiitas beni sangat vital bagi para penguna, hal tersebut berhubungan dalam menentukan kebijakan pengadaan benih, 1V. KESIMPULAN 1. Keempat metoda uji cepat (uji tetrazolium, hidrogen peroksida, eksisi embrio dan uji belah) dapat digunakan sebagai pengganti uji perkecambahaa langsung dalam menduga daya berkecambah benih sengon. 2. Penggunaan metoda uji cepat cukup efektif dalam mempersingkat waktu pengujian. Waktu pengamatan paling lama menggunakan metoda uji cepat, yaitu uji hidrogen peroksida (7 hari) hanya setengah dari waktu pengamatan perkecambahan langsung, 337 Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol. 3 Suplemen No. 02, September 2006, 331-338 DAFTAR PUSTAKA BTP, 2000. Pedoman Standarisasi Pengujian Mutu Fisik dan Fisiologis Benih Tanaman Hutan, Buku I. Publikasi Khusus Vol. 2 No. 4, Balai Teknologi Perbenihan. Bogor. ISTA, 1985. Seed Science and Technology. International Seed Testing Association, Zurich, Switzerland, Leadem, C. L. 1984. Quick Test for Tree Seed Viability. Management Report No. 18 ISSN. 0702 - 9861. B. C. Ministry Forest Land Research Branch. Sadjad, $, 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Jakarta. Schmidt, L. 2002. Pedoman Penanganan Benih Tanaman Hutan Tropis dan Sub Tropis (terjemahan). Departemen Kehutanan, Jakarta, Schmidt, L dan Dorthe Joker, 2004. Kamus Biologi dan Teknologi Benih Tanaman Hutan. Ditjen RLPs. Departemen Kehutanan, Jakarta Steel, R. G D. dan J. H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik (Terjemahan). PT. Gramedia. Jakarta. Zanzibar, M. 1996. Aplikasi Uji Cepat Viebilitas pada Benih Tanaman Hutan. Prosiding Ekpose Program dan Hasil-Hasil Penelitian Perbenittan Kehutanan., Balai Teknologi Perbenihan, Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Kehutanan. Bogor. Zanzibar, M dan Nanang Herdiana, 2005, Ketepatan Beberapa Metoda Uji Cepat Dalam Menduge Viabilias Benih Mangium, Jurnal Penelitian Hutan Tanaman, Volume 2, Suplemen NO. 02 Zanzibar, M dan Naning Yuniarti, 2005. Standar Prosedur dan Kunci Interpretasi Beberapa Benih Tanaman Hutan. Prosiding Seminar Hasil-Hasil Penelitian Balai Litbang ‘Teknologi Perbenihan hal 15 - 34. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan, Bogor 14 Pebruari 2006. 338 PENGARUH JENIS TANAMAN INANG TERHADAP PERTUMBUHAN CENDANA DI PERSEMAIAN Effect of Hostplant Species to Growth of Santalum album Linn at Nursery Aditya Hani dan Encep Rachman Loka Litbang Hutan Monsoon ABSTRACT Santalum album Linn. is one of endemic luxury wood species is Indonesia. Caused by overexploitation at natural forest like Nusa Tenggara Timur an Sumbawa, this species is going to extinction. Therefore, cultivation efforts has been doing in order to replanting or to ‘fulfill forest plantation requirement. Important to studied that 8. album has any caharacter in growth process, This plant belongs to semi parasites or facultatif parasites, so to make breeding S. album needs any hostplant which able to supply sufficient nutrient continuously. The objective of this research is to study growth of S. album at nursery which planted together with six hostplant species, such as Casuarina equisetifolia, Acacia mangium, Terminalia microcarpa, Sesbania grandiflora, Bixa orelana and Capsium furstescens. For all hostplant, C. equisetifolia gives the best growth percent (49%). Growth af S. album combined with B. orelana have much more houstoria than the others. A large amount of under biomass produce by S. grandiflora, on the other hand, all threatment have similiar value to produce above biomass ofS. album. Key words: Biomass, facultatif parasites, haustaria, hosplant, primery hostpant ABSTRACT Cendana (Santalwn album Linn.) merupakan salah satu spesies asli Indonesia yang termasuk golongan kayu mewah dengan nilai ekonomi tinggi. Keberadaan cendana di tempat tumbuh asalnya seperti Nusa Tenggara Tinrur dan Sumbawa sangat jarang ditemukan karena eksploitasi yang berlebihan untuk berbagai kepentingan, Untuk mengatasi kelangkaan jenis cendana ini dilakukan berbagai teknix pengembangbiakan. Penting untuk diperhatikan bahwa cendana memiliki karakteristik dalam proses pertumbuhannya. Tanaman ini bersifat semi parasit atau parasit fakultatif, sehingga untuk pengembangbiakannya diperlukan inang yang mampu menyediakan unsur hara secara cukup berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah menguji pertumbuhan tingkat semai cendana yang ditumbuhkan bersama enam jenis inang (Casuarina equisetifolia, Acacia mangium, Terminalia microcarpa, Sesbania grandiflora, Bixa orelana aan Capsium furstescens). Tanaman inang, C, equisetifolia memberikan persen hidup paling baik (49%). Pertumbuhan cendana dengan. inang B. orelana memiliki jumlah haustoria terbanyak. Inang S. grandiflora memberikan biomassa bawah terbesar terhadap perakaran cendana, sedangkan biomassa atas cendana dari semua perlakuan memiliki nilai yang relatif sama, Kata kunci: Biomassa, haustoria, inang primer, parasit fakultatif, tanaman inang, 339 | Jurnat Peneitian Hutan Tanaman Vol 3 Suplemen No, 02, September 2006,339-386 1. PENDAHULUAN Cendana (Santalum album Linn) merupakan salah satu spesies asli Indonesia, yang tumbuh secara alami di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kepulauan lainnya di sekitar NTT. Susanto dan Sukijan (2003) dalam Haryjanto L.. (2003) menyebutkan bahwa cendana di Jawa terdapat di Gunungkidul, Imogiri, Kulonprogo dan Bondowoso. Penyebaran tempat tumbuh species cendana lainnya seperti S. spicatum dan S. austrocaledonicum terdapat di India, Australia, Timor, Vanuatu dan Caledonia Baru (FAO, 1999). Keberadaan S. album ditempat tumbuhnya sangat jarang, ditemukan karena eksploitasi yang berlebihan, kebakaran dan tekanan dari masyarakat setempat terhadap lahan untuk berbagai kepentingan, Anonim (1998) dalam Haryanti (2005) melaporkan bahwa cendana di Sumba Timur dan di kepulauan Propinsi NTT telah menuju ke ambang kepunahan. Populasi cendana dalam kurun waktu 1] tahun mencapai penurunan sebesar 88,34%. Tingginya nilai ekonomi cendana karena kayu cendana dapat menghasilkan beragam manfaat yang dapat digunakan langsung sebagai pengharum atau dapat diekstrak untuk diambil minyaknya digunakan sebagai parfum, obat-obatan (aromatherapi, antiseptik, diaphoretic, diuretik) dan kosmetik. Sebagai kayu mewah, cendana memiliki karakteristik dalam proses pertumbuhannya. Tanaman ini bersifat semi parasit atau parasit fakultatif, schingga untuk pengembangbiakannya dipertukan inang yang, mampu menyediakan unsur hara secara cukup dan berkelanjutan (Kepler, 1984). Umumnya cendana tumbuh dengan baik dan mempunyai vigoritas yang tinggi apabila ditanam bersamma dengan tumbubian inang legum (Radomiljac and MeComb, 1998; Brand ef al, 2000; Loveys et al, 2001) karena tanaman legum dapat menyediakan unsurhara, KhususnyaN dan P dalam jumlah yang cukup. Teknik penanaman cendana antara lain mempersiapkan tanaman pokok (cendana) dengan tanaman inang primer (cabe, bengal grass) sejak dipersemaian (Anonim, 1994), Cendana dan inang primer ditanam dalam satu kantong palstik agar terjadi simbiosis antara keduanya ‘Teknik lainnya yaitu cendana langsung ditanam dilapangan, maka disetiap lubang ditanam 4 butir cendana dengan kedalaman 2 cm serta mengelilingi biji cabe dengan jarak 15 em. Teknik penanaman cendana dilapangan dianjurkan menggunakan tanaman sela sebagai inang sekunder, Diantara 2 larikan cendana ditanam biji turi dengan jarak tanam 3 m x 1,5 m Pohon turi yang tumbuh akan menggantikan peranan inang primer yang berumur 1-2 tahun di mana turi dapat hidup selama 6-8 tahun dan perlu diganti dengan tanaman inang lain yaitu besak (4. leucophloca), akasia (4. auriculiformis) dan johar (Cassia sianea). Jenis ini ditantam diantara latikan cendana dengan jarak tanam 9 m x 9 m. Apabila jenis tanaman diatas sulit diperoleh atau pertumbuhannya kurang baik, dapat diganti dengan Psidium guajava, Tamarindus indicus, A. chinensis Merr., Alt montana clotalaria spp. dan Tephrosia lampas. Jenis terakhir ditanam pada tempat dengan ketinggian lebih dari 1000 mdpl Sebagai altemnatif lain dari teknis penanaman tersebut maka perlu mempersiapkan inang, primer dan inang sekunder sejak dari.persemaian secara bersama-sama dalam satu kantung plastik. Kharisma dan Sutarjo (1998) dalam Setiadi dan Kharisma (2000) memberikan kesimpulan dalam memilih inang primer perlu memperhatikan kemampuan membantu pertumbuhan cendana antara lain tajuk kecil, akar sukulen, mudah didapat dan toleran terhadap pemangkasan, Berdasarkan hasil penelitian pendahuluan inang krokot merah (Alternanthera sp) merupakan salah satu inang terbaik. ‘Telah banyak dilakukan penelitian untuk mencari spesies tanaman inang yang sesuai untuk pengembangbiakan cendana. Namun, dalam Pengaruh Jenis Tanaman Inang Terhadap Pertumbuhan Cendana di Persemaian Hen dn Ee econ | pemilihan enis inang cendana, aspek yang perlu diperhatikan yaitu kemampuan tanaman inang tersebut untuk mampu bertahan hidup dan tidak merana meskipun menyediakan unsur hara bagi cendana yang tumbuh sebagai parasit. Oleh karena itu dalam pengembangbiakan cendana perlu dicari jenis inang altematiflainnya yang sesuai untuk dimanfaatkan sebagai tanaman inang cendana. Tujwan penelitian ini adalgh menguji pertumbuhan tingkat semai cendana yang ditumbuhkan bersama enam, Jenis tanaman inang yaitu cemara udang, akasia, ketapang, turi, bixa dan cabe. I. BABAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di pesemaian dan Laboratorium Silvikultur Klebengan Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Maret s/d September 2004, B, Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian inj adalah benih cendana (S. albwn L), akasia (A ‘mangium), cemara udang (C. equisetifolia), ketapang (T. microcarpa),turi(S. glandifola), sumba (B. orelana) dan cabe (C. furstescens), tanah, pasir, polibag dan kompos, sedangkan peralatan yang digunakan adalah cangkul, penghalus pasir, bak tabur, sprayer, gembor, penggaris, kamera, lat ulis dan lain-lain C. Rancangan Penelitian Penelitian dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap Berblok (RCBD), yang terdiri dari 10 perlakuan, iap perlakuan terdiri dari 25 unit percobaan yang diulang sebanyak 3 kali, schingga seluruhnya berjumlah 750 unit percobaan, Perlakuan yang diberikan adalah: 1. Solo = Cendana (tanpa inang) 2. Soll Cendana X Cemara udang 3. Sold = Cendana X B. orelana 4, SoI3 = Cendana X Turi 5. Sold = Cendana X A. mangiwn 6. SIlo = Cendana X Cabai 7. SI = Cendana X Cabai X Cemara udang 8 S12. = Cendana X Cabai X B. arelana 9. SII3. = Cendana X Cabai X Turi 1 0. SII4 = Cendana X Cabai X A. mangium Media tanam yang digunakan adalah tanah, kompos dan pasir dengan perbandingan 2 : { : 1. Penyemaian seluruh benih dilakukan dalam bak kecambah. Setelah 3 bulan benih disapih dalam polibag dengan media tanah, pasir dan kompos. Pemeliharaan ditakukan setiap hari dengan menyiram dan penyiangan rumput wi Jornal Penelition Huta Tanaman Vol 3 Supleren No, 02, September 2006,339.346 D. Analisis Data Data respon cendana pada setiap perlakuan dianalisa berdasarkan acak lengkap berblok, lengkap dengan analisa variance (ANOVA). Apabila terjadi perbedaan perlakuan, maka diuji dengan uji beda LSD. Ill. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persen Hidup Cendana Persentase hidup rata-rata anakan cendana yang ditanam dengan berbagai jenis inang setelah berumur 3 bulan disajikan pada Grafik 1 Pos h ® & . FE gs 0 lla B | {| smi ry yy yy " | | rel Lila | gs 6 UUUUG uu U E "solo Soit Sa? S48 Sold Silo Shin si S814 PERLAKUAN Grafik 1, Persentase hidup cendana berumur 3 bulan Grafik 1 dapat dilihat bahwa cendana dengan inang cemara udang mempunyai persen hidup paling tinggi, yaitu sebesar 46,66% dan memberi pengaruh yang beda nyata terhadap inang yang lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa cemara udang tahan terhadap gangguan dari luar sehingga mampu mencukupi kebutuhan makanan cendana, sedangkan persen hidup cendana kedua adalah dengan inang cabe + turi, walaupun menggunakan dua inang ternyata persen hidupnya lebih rendah. Hal ini disebabkan inang cabe berada pada masa sukulen (masa saat sebagian besar tubuh tanaman banyak mengandung air) yang rentan terserang hama bekicot, schingga banyak inang cabe yang merana dan diduga tidak dapat berfungsi sebagai inang dengan baik. Setelah inang cabe banyak yang merana, bekicot akhirnya juga ‘menyerang cendana. Inang turi merupakan tanaman fast grawing spesies yang pertumbuhannya lebih cepat dibanding 2 tanaman lainnya sehingga terhindar dari serangan bekicot. Hal iniJuga dapat dilihat pada cendana yang menggunakan inang cabe, memiliki persen hidup yeng paling, rendah dan sebagai penyebabnya adalah serangan bekicot. Penelitian lain menyebutkan bahwa krokot merah merupakan inang terbaik apabila dibandingkan dengan kangkung darat (Setiadi dan Kharisma, 2000). Menurut Haryjanto (2003) salah satu inang yang cocok yaitu jenis krokot (4/thernanthera sp) ditandai dari penampakan bibit yang tumbuh lebih bagus terlihat dengan wama daun yang hijau dibandingkan tanpa inang yang mempunyai dau berwarna ‘euning seperti layu, B. Pertumbuhan Tinggi Cendana Analisa variance pengaruh tanaman inang terhadap pertumbuhan tinggi cendana disajikan pada Tabel 1, sedangkan pertumbuhan tinggi rata-rate tersaji pada Grafik 2. Pada tabel tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan memberikan pengaruh yang beda sangat nyata terhadap penambahan tinggi cendana pada taraf signifikansi 0.05 yang berarti kehadiran inang bagi petumbuhan cendana berpengaruh sangat besar ww Pengaruh Jenis Tanaman Inang Terhadap Pertumbuhan Cendana di Persemaian ‘Aly Hori don Encep Rockman abel 1. Analisa variance pengaruh tanaman inang terhadap pertumbuhan tinggi cendana ‘Sumber Vs Jumlah Kuadrat db Kuadeet F Sig. Wedel a525 DATA) oy 3710.352 | 206617 | 000 Perlakuan 1087.950 9 sz0883 | 4ara* | 000 Blok 198.730 2 99.365 3595 | 029 Eeor 6190.773 224 27.637 Total 74715,000 236 Koetesion =0 S17 (adjusieg R Squared = 913) (em) | 7 . LLL Tanaman inang Grafik 2. Pertumbuhan tinggi rata-rata cendana ‘Tanaman inang berpengaruh terhadap pertumbuhan cendana, yang dapat dilihat secara nyata adalah pertumbuhan terhadap tinggi. Tiga bulan setelah penyapihan, cendana yang mempunyai tinggi rata-rata terbesar adalah dengan menggunakan inang turi yaitu 21,39 em. Hal ini disebabkan sifat turi yang cepat tumbuh, schingga dalam penyediaan unsur hara bagi cendana lebih awal dibanding inang lainnya, Walaupun demikian, tanaman yang bersifat cepat tumbuh sangat boros dalam penggunaan unsur hara, schingga bila cendana ditumbuhkan terus-menerus dengan turi, didugs saat di lapangan dalam perolehan unsur hara akan kalah dengan inang turi, sedangkan cendana dengan inang cemara memiliki tinggi rata-rata 14,2 cm dan merupakan tinggi rata-rata terendah dibanding inang lainnya. Hal ini diduga karena cemara merupakan jenis tanaman lambat tumbuh bila dibandingkan inang lainnya, yaitu pertumbuhannya hampir bersamaan dengan cendana, sehingga pertumbuhan cendana bersama inang cemara cukup scimbang, sedangkan cendana yang ditumbuhkan dengan inang lain pertumbuhannya kurang seimbang. C. Biomassa dan Jumlah Haustoria Biomassa menunjukkan hasil pertumbuhan jasad hidup setelah melakukan metabolisme, maka pada penelitian ini dilakukan penghitungan biomassa, baik biomassa tanaman inang maupun cendan, Pada cendana, penghitungan biomassa dibagi menjadi 2, yaitu biomassa atas yang merupakan biomassa bagian tanaman di atas akar dan biomassa bawah yang merupakan biomassa bagian tanaman bagian akar (akar cendana dan inang). Pemisahan ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetabui pengaruh biomassa bawah terhadap biomassa alas Hasil perelitian jumlah biomassa dan haustoria terhadap perlakuan disajikan pada Grafik 3 yang menunjukkan bahwa cendana dengan inang B. orelana memiliki jumlah haustoria terbanyak walaupun biomassa bawahnya kecil. Hal ini kemungkinan suplay unsur hara dan zat-zat makanan dari inang B. orelana sedikit jumlahnya sehingga merangsang akar cendana 8 Jurnal Penelitian Huton Tanaman Vol 3 Suplemen No, 02, September 2006,339.346 untuk membentuk haustoria yang lebih banyak dengan tujuan dapat mencukupi kebutuhan unsur hara, “(1 oll Solo Sol1 Sol? S03 SoH Silo Sill Sit2 S19. sue PERLAKUAN INANG © Blomatta ata (0) © Glomassa amana) a snaustaia Grafik 3. Pengaruh jenis inang terhadap biomassa dan jumlah haustoria ise Gambar. 1. Perkembangan haustoria pada akar cendana Biomassa bawah terbesar dimiliki oleh perakaran cendana bersama inang turi. Sama halnya dengan pembahasan sebelumnya bahwa turi merupakan tanaman fast growing species, sehingga pertumbuhan turi yang cepat menghasilkan biomassa total yang besar. Dari grafik dapat dilihat bahwa biomassa atas cendana dari semua perlakuan memiliki nilai yang hampir sama, hai ini menunjukkan bahwa distribusi zat makanan ke tajuk dari semua perlakuan kapasitasnya adalah sama pada umur tersebut. Cendana tanpa inang juga memiliki biomas: yang relatif sama dengan cendana berinang, hal ini diduga suplay hara dari media tanam, memang mencukupi pertumbuhannya.~ D. Hubungan antara Biomassa Cendana dengan Inang Borat (gn) Grafik 4, Perbandingan rerata biomassa cendana dengan inang Pengaruh Jenis Tanaman Inang Terhadap Pertumbuhan Cendane di Persernalon ‘diya Hani don Encep Rochon Grafik perbandingan rerata biomassa cendana dengan inang kemudian dilihat regresi linear, serta korelasinya dari hubungan keduanya tersebut terlihat bahwa pengaruh besarnya biomassa inang terhadap cendana sangat rendah babkan tidak berkorelasi, Hal ini dapatdilihat dari analisis varians (regresi) serta koefisien Korelasi dari kedua variabel tersebut disajikan pada Tabel 2, Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 2. Nilai koefisien korelasi dari parameter yang diukur Biomassa Korelasi (Cendana_| Inang Tota Pearson Gorelaion Blomasca Gendana 11000 78 Blomassa inang Total 159 4.000 Sig, (1-talles) Blomassa Cendana 135 Biomassa inang Total 135 N Biomassa Gendana 50 50 Biomassa nang Total 50 50 Tabel 3. Persentase pengaruh biomassa inang (b) terhadap biomassa cendana (a) 7 Adjusted R | Sid. Error of Mosel R Rt Square | the Estimate 7 1554) 025, 005, (51300. Keterangan: a Predictors: Constant), Biomassa Inang Total b Dependent Variable: Biomassa Cendana Tabel 4. Hasil analisa variance Mose iconore | o_| Tomot | F_| Sia ‘oo reosi|_ 3] Keterangan: a Predictors: (Constant), Biomassa Inang Total b Dependent Variable: Biomassa Cendana Berdasarkan analisis varians serta koefisien korelasi dari kedua variabel tersebut terlihat bahwa bubungan antara biomassa inang total dengan cendana tidak menunjukkan beda yang nyata pada taraf signifikansi 0.05 (koefsien korelasi = 0.135/sangat rendah), dan persentase hubungan antara keduanya 2.5% (R?= 0.025), yang berarti biomassa inang total memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap biomassa cendana, Hal ini menunjukkan bahwa belum tentu biomassa inang yang besar, dapat menambah besamya biomassa cendana, Biomassa inang lebih besar dari cendana karena pertumbuhan inang lebih cepat. Menurut Setiadi dan Kharisma (2000), dari hasil penelitian diketahui bahwa pertumbuhan tinggi dan diameter bibit cendana pada penelitian ini terbaik terjadi akibat perlakuan pupuk P dengan sumber TSP dosis 4 gr/pot pada inang krokot, sedangkan untuk bobot basah dan kering terbaik pada perlakuan pupuk P dosis 2 gr/pot dan inang krokot. us | Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Yol. 3 Suplemen No, 02, September 2006, 339-348 IV. KESIMPULAN 1. Cendana yang ditumbubkan bersama inang cemara udang mempunyai persen hidup paling baik yyaltu scbesar49% dan memberi pengaruh yang beda nyata terhadap inang yang lainnya, sedangkan tinggi rata-rata terbesar setelah 3 bulan penyapihan dengan menggunakan inang turi yaitu 21,39 em, 2. Cendana dengan inang B. orelana memiliki jumlah haustoria terbanyak dibandingkan dengan inang cendana lainnya 3. Biomassa inang total yang terdiri dari enam jenis inang cendana tidak berpengaruh terhadap penambahan biomassa cendana, Inang turi (S. grandiflora) memberikan biomassa bawah paling besar terhadap perakaran cendana, sedangkan biomassa atas cendana dari semua perlakuan memiliki nilai yang hampir sama. 4, Bekicot merupakan hama yang banyak menyerang cendana di persemaian, terutama bila ditumbuhkan bersama inang cabe (C. furstescens). DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1994, Buku pintar cendana (Santalum album). Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Departemen Kehutanan. Brand, J.E., D.S. Crombie, and M.D. Mitchell. 2000, Establishment and Growth of Sandalwood (Santalum spicatum) In South-Western Australia: The Influence of Host Species. Australian Forestry 63: 60-65 FAO, 1999. Regional Action Programme for Forestry on Genetic Diversity. In Ami in The Marquesas Island: Sandal Preservation (L’Ami, ed.). Des Ingredients Naturels, Nr 26: 12 Kepler, A.K. 1984. Hawaiian Heritage Plants, Oriental Publishing Company, Honolulu, Hawaii Radomiljac, A.M. and J.A. McComb. 1998, Nitrogen-Fixing and Non-Nitrogen-Fixing Woody Host Influences on Growth of the Root Hemiparasite Santalum album L. In Sandal and Its Products (A.M.Radomiljac, H.S.Ananthapadmanabho, R.M.Welbourn and Rao K.Satyanarayana, eds.). Pp. 54-57. ACIAR Proceedings No. 84, Australian Centre For International Agricultural Research, Canberra Setiadi, Dedi dan Karisma, 2000. Pengaruh Inang dan Pupuk terhadap Pertumbuhan Bibit Cendana (Santalun albu). Bulletin Penelitian Pemuliaan Pohon. Vol. 4 no 2 2000. Pusat Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan, Jogjakarta Sunanto, Hatta.1995, Budidaya Cendana. Kanisius. Jogjakarta Haryjanto, Liliek. 2003, Teknik Persemaian dan Informasi Benih Cendana, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutran, Jogjakarta, Loveys, B.R., and S.D. Tyerman, 2001. Transfer of Photosynthate and Naturally Occurring Insecticidal Compounds From Host Plants to The Root Hemiparasite Santalum acuminatumn (Santalaceae). Australian Journal of Botany 49: 9-16 PEDOMAN PENULISAN NASKAH JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN 1, Jurnal Penelitian Hutan Tanaman adalah publikasi ilmish resmi dari Pusat Litbang Hutan Tanaman, Jurmal ini menerima dan memublikasikan tulisen hasil penelitian berbagai aspek hutan tanaman seperti perbenihan, pemuliaan, genetika, bioteknologi, hama/penyakit, silvikultur, sosial ekonomi dan pasar, serta Jingkungan. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman font 12 dan jarak | spasi pada kertas kwarto putih I permukaan dan disertai dengan file clektroniknya. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm, serta dikirim kepada Sekretariat Redaksi Jumal Penelitian Hutan Tanaman, Pusat Litbang Hutan Tanaman, Yogyakarta, 3. Isi Naskah terdiri atas: Abstract dengan Keywords dan Abstrak dengan Kata Kunei, Pendahuluan, Uraian Isi, Kesimpulan dan Daflar Pustaka. 4. Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan diusahakan tidak lebih dari 10 kata serta harus mencerminkan isi tulisan dalam bahasa Indonesia dengan huruf kapital. Di bawah judul ditulis terjemahan judul dalam bahasa Inggris yang dicetak dengan huruf kecil dan miring. Pada judul tidak boleh mencantumkan rumus-rumus dan nama Latin, Nama penulis (satu atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan hurufkecil. Di bawah nama ditulis institusiasal penulis Abstraet dibuat dalam 2 bentuk bahasa, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris, masing-masing tidak lebih 200 kata berupa intisari permasalahan, uraian isi dan kesimpulan dalam | alinea. Bahasa Inggris ditulis dengan huruf kecil miring dan bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak satu spasi. Di bawah Abstract ditulis Keywords dalam bahasa Inggris dengan cetak tebal, dibawah Abstrak ditulis kata kunci dengan hurut tebal. 6, Pendahuluan berisi latar belakang/masalah, dasar pertimbangan, pendekatan dan tyjuan penelitian Uraian isi terdiri dari beberapa bab dan sub bab yang disesuaikan dengan kebutuhan dan informasi yang tersedia, 8. Gambar, Garis, Grafik dan Foto dibuat kontras agar memungkinkan untuk dicetak jelas, memiliki ketajaman yang baik, dalam ukuran asli atau diperkecil, serta diberi keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia (tampa bahasa Inggris) dan diberi nomor urut 9. Kesimpulan disampaikan secara pointer atau ringkas, padat, serta tidak perlu ada saran, 10. Catatan kaki hanya digunakan pada kasus tertentu, yang mengandung keterangan tambahan dan bukan referensi. 11, Ucapan terima kasih dapat ditulis, yaitu di bawah artikel ntama yang menyebutkan nama, tempat kerja dan bantuan yang diberikan. Ucapan terima kasih disampaikan hanya kepada orang/instansi/kelompok yang apabila tidak disebut, akan mengurangi kesempurnaan tulisan. 12, Daftar Pustaka disusun menurut abjad nama pexgarang sesuai pustaka yang diacu (dianjurkan 10 tahun terakhir) dengan mencantumkan nama, tahun penerbitan, judul, penerbit, halaman seperti berikut Butcher, P.A., Matheson, A.C and Stee, M.U. 1996, Potential for genetic improvement of oil production in Melaleuca alternifolia and M. linariifolia New Forest 11;31-5 13, Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah, memperbaiki makalah sepanjang tidak mengubah substansitulisan, Bagi tulisan yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis

Anda mungkin juga menyukai