Anda di halaman 1dari 34

Aliran Berfikir dalam Filsafat

Eksistensialisme
Mengapa saya ada? Apa tujuan hidup saya? Apa makna kehidupan yang ada pada saya
ini? Itulah sejumlah pertanyaan yang berkenaan dengan keberadaan diri. Dalam filsafat,
pertanyan tersebut merupakan pertanyaan yang bersifat eksistensialisme.

Smith dan Raeper


er menyebutkan bahwa filsafat eksistensialisme ini merupakan filsafat para
pemberontak. Eksistensialisme dipusatkan pada diri individu dan masalah-masalah
masalah
eksistensi. Kata-kata
kata kunci yang sering kembali dalam tulisan-tulisan
tulisan tulisan para eksistensialis
ialah kebebasan,
asan, individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Oleh karena itu, filsafat ini
cenderung bersifat subjektif; menyangkut saya dan bagaimana saya hidup.
Ada tiga filsuf eksistensialis yang terbesar, yaitu Soren Kierkegaard (1813 -- 1855), Martin
Heidegger (1889 -- 1976), dan Jean Paul Sartre (1905 -- 1980). Dari ketiganya, Kierkegaard
dianggap sebagai pelopor filsafat ini, bapak eksistensialisme.

Altruisme
Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan orang lain tanpa memperhatikan diri
sendiri. Perilaku
rilaku ini merupakan kebajikan yang ada dalam banyak budaya dan dianggap
penting oleh beberapa agama. Gagasan ini sering digambarkan sebagai aturan emas etika.
Beberapa aliran filsafat, seperti Objektivisme berpendapat bahwa altruisme adalah suatu
keburukan.
n. Altruisme adalah lawan dari sifat egois yang mementingkan diri sendiri.
Altruisme dapat dibedakan dengan perasaan loyalitas dan kewajiban. Altruisme
memusatkan perhatian pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk
melakukan kebaikan tanpa
pa memperhatikan ganjaran, sementara kewajiban memusatkan
perhatian pada tuntutan moral dari individu tertentu (seperti Tuhan, raja), organisasi khusus
(seperti pemerintah), atau konsep abstrak (seperti patriotisme, dsb). Beberapa orang dapat
merasakan altruisme
ruisme sekaligus kewajiban, sementara yang lainnya tidak. Altruisme murni
memberi
tanpa
memperhatikan
ganjaran
atau
keuntungan.
Konsep ini telah ada sejak lama dalam sejarah pemikiran filsafat dan etika, dan akhir-akhir
akhir
ini menjadi topik dalam psikologi (terutama
(terutama psikologi evolusioner), sosiologi, biologi, dan
etologi. Gagasan altruisme dari satu bidang dapat memberikan dampak bagi bidang lain,

tapi metoda dan pusat perhatian dari bidang-bidang


bidang bidang ini menghasilkan perspektif-perspektif
perspektif
berbeda terhadap altruisme.

Empirisme
Empirisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam
memperoleh pengetahuan dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisme di ambil dari
bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba
coba coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin
empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Empirisme berpendapat bahwa pengetahuan
tentang kebenaran yang sempurna tidak diperoleh melalui akal, melainkan di peroleh atau
bersumber dari panca indera manusia, yaitu mata, lidah, telinga, kulit dan hidung. Dengan
kata lain, kebenaran adalah sesuatu yang sesuai dengan pengalaman manusia.

Ajaran-ajaran
ajaran pokok empirisme yaitu:

Pandangan bahwa semua ide atau gagasan merupakan abstraksi yang dibentuk dengan
menggabungkan apa yang dialami.

Pengalaman
n inderawi adalah satu-satunya
satu satunya sumber pengetahuan, dan bukan akal atau rasio.
Semua yang kita ketahui pada akhirnya bergantung pada data inderawi.
Semua pengetahuan turun secara langsung, atau di simpulkan secara tidak langsung dari data
inderawi (kecuali
ali beberapa kebenaran definisional logika dan matematika).
Akal budi sendiri tidak dapat memberikan kita pengetahuan tentang realitas tanpa acuan pada
pengalaman inderawi dan penggunaan panca indera kita. Akal budi mendapat tugas untuk
mengolah bahan bahan
han yang di peroleh dari pengalaman.
Empirisme sebagai filsafat pengalaman, mengakui bahwa pengalaman sebagai satu-satunya
satu
sumber pengetahuan.

Tokoh-Tokoh Empirisme
Aliran empirisme dibangun oleh Francis Bacon (1210-1292)
(1210 1292) dan Thomas Hobes (1588(1588
1679), namun
amun mengalami sistematisasi pada dua tokoh berikutnya, John Locke dan David
Hume.

a. John Locke (1632-1704)

Ia lahir tahun 1632 di Bristol Inggris dan wafat tahun 1704 di Oates Inggris. Ia juga ahli
politik, ilmu alam, dan kedokteran. Pemikiran John termuat dalam tiga buku pentingnya yaitu
essay concerning human understanding, terbit tahun 1600; letters on tolerantion terbit tahun
1689-1692; dan two treatises on government, terbit tahun 1690. Aliran ini muncul sebagai
reaksi terhadap aliran rasionalisme. Bila rasionalisme mengatakan bahwa kebenaran adalah
rasio, maka menurut empiris, dasarnya ialah pengalaman manusia yang diperoleh melalui
panca indera.
Dengan ungkapan singkat Locke :

Segala sesuatu berasal dari pengalaman inderawi, bukan budi (otak). Otak tak lebih dari
sehelai kertas yang masih putih, baru melalui pengalamanlah kertas itu terisi.
Dengan demikian dia menyamakan pengalaman batiniah (yang bersumber dari akal budi)
dengan pengalaman lahiriah (yang bersumber dari empiri).

b. David Hume (1711-1776).

David Hume lahir di Edinburg Scotland tahun 1711 dan wafat tahun 1776 di kota yang sama.
Hume seorang nyang menguasai hukum, sastra dan juga filsafat. Karya tepentingnya ialah
an encuiry concercing humen understanding, terbit tahun 1748 dan an encuiry into the
principles of moral yang terbit tahun 1751.

Pemikiran empirisnya terakumulasi dalam ungkapannya yang singkat yaitu I never catch my
self at any time with out a perception (saya selalu memiliki persepsi pada setiap pengalaman
saya). Dari ungkapan ini Hume menyampaikan bahwa seluruh pemikiran dan pengalaman
tersusun dari rangkaian-rangkaian kesan (impression). Pemikiran ini lebih maju selangkah
dalam merumuskan bagaimana sesuatu pengetahuan terangkai dari pengalaman, yaitu
melalui suatu institusi dalam diri manusia (impression, atau kesan yang disistematiskan )
dan kemudian menjadi pengetahuan. Di samping itu pemikiran Hume ini merupakan usaha
analisias agar empirisme dapat di rasionalkan teutama dalam pemunculan ilmu
pengetahuan yang di dasarkan pada pengamatan (observasi ) dan uji coba
(eksperimentasi), kemudian menimbulkan kesan-kesan, kemudian pengertian-pengertian
dan akhirnya pengetahuan, rangkaian pemikiran tersebut dapat di gambarkan sebagai
berikut:

Beberapa Jenis Empirisme

1. Empirio-kritisisme

Disebut juga Machisme. ebuah aliran filsafat yang bersifat subyaktif-idealistik. Aliran ini
didirikan oleh Avenarius dan Mach. Inti aliran ini adalah ingin membersihkan pengertian

pengalaman dari konsep substansi, keniscayaan, kausalitas, dan sebagainya, sebagai


pengertian apriori. Sebagai gantinya aliran ini mengajukan konsep dunia sebagai kumpulan
kumpul
jumlah elemen-elemen
elemen netral atau sensasi-sensasi
sensasi
(pencerapan-pencerapan).
pencerapan). Aliran ini
dapat dikatakan sebagai kebangkitan kembali ide Barkeley dan Hume tatapi secara
sembunyi-sembunyi,
sembunyi, karena dituntut oleh tuntunan sifat netral filsafat. Aliran ini juga anti
metafisik.

2. Empirisme Logis

Analisis logis Modern dapat diterapkan pada pemecahan-pemecahan


pemecahan pemecahan problem filosofis dan
ilmiah. Empirisme Logis berpegang pada pandangan-pandangan
pandangan
berikut :
Ada batas-batas
batas bagi Empirisme. Prinsip system logika formal dan
dan prinsip kesimpulan induktif
tidak dapat dibuktikan dengan mengacu pada pengalaman.
Semua proposisi yang benar dapat dijabarkan (direduksikan) pada proposisi-proposisi
proposisi
mengenai data inderawi yang kurang lebih merupakan data indera yang ada seketika
Pertanyaan-pertanyaan
pertanyaan mengenai hakikat kenyataan yang terdalam pada dasarnya tidak
mengandung makna.

3. Empiris Radikal

Suatu aliran yang berpendirian bahwa semua pengetahuan dapat dilacak sampai pada
pengalaman inderawi. Apa yang tidak dapat dilacak secara
secara demikian itu, dianggap bukan
pengetahuan. Soal kemungkinan melawan kepastian atau masalah kekeliruan melawan
kebenaran telah menimbulkan banyak pertentangan dalam filsafat. Ada pihak yang belum
dapat menerima pernyataan bahwa penyelidikan empiris hanya dapa memberikan kepada
kita suatu pengetahuan yang belum pasti (Probable). Mereka mengatakan bahwa
pernyataan- pernyataan empiris, dapat diterima sebagai pasti jika tidak ada kemungkinan
untuk mengujinya lebih lanjut dan dengan begitu tak ada dasar untukkeraguan.
untukke
Dalam
situasi semacam iti, kita tidak hanya berkata: Aku merasa yakin (I feel certain), tetapi aku
yakin. Kelompok falibisme akan menjawab bahwa: tak ada pernyataan empiris yang pasti
karena terdapat sejumlah tak terbatas data inderawi untuk setiap benda, dan bukti-bukti
bukti
tidak dapat ditimba sampai habis sama sekali.

Epikurisme

Nama Epikurisme berasal dari tokoh aliran yaitu EPIKUROS (341-270). Filsafat EPIKUROS
hanya diarahkan pada satu tujuan, yaitu: memberi kebahagiaan kepada manusia. Jadi yang
diutamakan etika, adapun yang menjadi dasar etika ini logika dan fisikanya.

Logika
dan
Fisika.
Ajarannya tentang logika dan fisikanya adalah sebagai berikut: Sumber pengetahuan
menurut EPIKUROS ialah pengalaman: pengalaman berkali-kali dapat mengakibatkan
pengertian. Pengertian ini dapat membawa orang pada pengetahuan tentang dasar
sedalam-dalamnya dan tersembunyi. Adapun dasar sedalam-dalamnya bagi semua hal itu
dinamainya atom. Atom ini terlalu kecil dan tak tercapai oleh indera. Karena geraknya maka
terjadilah bermacam-macam benda di dunia ini sekali-kali tak ada hubunganny dengan
dewa-dewa.

Jiwa manusia itupun benda juga, tetapi halus. itulah sebabnya maka manusia dapat
mencapai pengertian, karena jiwa menerima sinar dari benda lainnya semacam dengan dia.
Jiwa tak mungkin tanpa badan, daripada itu tak mungkin ada hidup sesudah badan itu tak
ada

Etika
EPIKUROS hendak memberi kebahagiaan yang berupa ketenangan (ataraxia). Manusia
hidupnya tidak tenang, karena terganggu oleh takut akan tiga hal, yaitu takut akan marah
dewa, takut akan mati serta takut akan nasib.

Takut ini sama sekali tak perlu, tak usalah kita takut. (Jika kita tak takut akan tiga hal itu
tentulah kita tenang!).

Maka utarakanlah apa sebabnya kita tak usah takut: Kita tak usah takut akan marah dewa.
Segala sesuatunya didunia ini terjadi karena gerak atom, bukanlah karna dewa. Jika
sekiranya dewa itu ada, maka mereka hidup didunianya sendiri dan berusaha untuk tenang
serta berbahagia juga. Jika sekiranya mereka itu harus marah karena tingkah laku manusia.
Alangkah celaka hidup dewa-dewa itu karna harus selalu maran-marah saja!

Terhadap matipun manusia tak usah takut. Jiwa kita itupun dapat dan akan mati, sebab
tanpa badani, tak mungkin ada jiwa. Habis hidup ini tak ada lanjutan hidup manusia.

Jadi maut itu malahan melepaskan manusia dari sakit dan sengsara. Lagi pula selama kita
masih hidup tak adalah maut,jika maut datang, tak adalah kita!

Kepada nasibpun kita tak usah takut. Segala kejadian di dunia itu ditentukan oleh gerak
atom. Bagaimana usaha kita, kita tak dapat mengubahnya. Dengan demikian tak adalah
alasan sedikitpun untuk takut.

Segala nafsu dan cenderung manusia itu terarahkan pada kebahagiaan. Itu tidak
t
berarti
bahwa segala nafsu diikuti saja, sebab nafsulah yang mengakibatkan kesengsaraan. Maka
dari itu haruslah nafsu itu diatur. Mengatur nafsu itulah kebijaksanaan.

Idealisme
Idealisme ialah filsafat yang pandangan yang menganggap atau memandang
memandan ide itu primer
dan materi adalah sekundernya, dengan kata lain menganggap materi berasal dari ide atau
diciptakan oleh ide.

Dengan David Hume sebagai filsuf idealis subyektif, kita dapat menggambarkan seluruh ahli
filsafat idealis dari Plato sampai Hegel,, if I go into myself, kalau saya memasuki diri saya
sendiri, kata Hume,, maka saya jumpai bundles of conception, bermacam pengertian,
bermacam-macam
macam gambaran tentang benda. Engkau, kata Hume cuma ide bagi saya
(Hume).

Tapi Engkau buat Hume adalah saya buat Udin, misalnya. Jadi Udin bagi Hume hanyalah
Ide, tetapi Hume
ume juga cuma ide buat Udin, Udin dipandang dari pihak Hume hanya Ide,
hanya gambaran di otak Hume begitu juga sebaliknya. Dengan begitu Hume membatalkan
dirinya sendiri , mengakui bahwa dia sendiri tidak ada dan, hanya ide ???

Terhadap adanya pandangan


pandangan idealisme demikian itu, Lenin dengan tajam mengeritik
idealisme sebagai filsafat yang tanpa otak dan dikonsolidasikan oleh kepentingan klas-klas
klas
yang berkuasa -- klas-klas
klas pemilik budak, kaum feodal dan kaum borjuasi --.

Aliran-aliran
aliran dalam Filsafat Idealisme
Id

1.
Idealisme
Obyektif
Idealisme obyektif adalah suatu aliran filsafat yang pandangannya idealis, dan idealismenya
itu bertitik tolak dari ide universil (Absolute IdeaIdea Hegel / LOGOS-nya Plato)
Plato ide diluar ide
manusia. Menurut idealisme obyektif segala sesuatu baik dalam alam atau masyarakat
adalah hasil dari ciptaan ide universil.

Pandangan filsafat seperti ini pada dasarnya mengakui sesuatu yang bukan materiil, yang
ada secara abadi diluar manusia,
anusia, sesuatu yang bukan materiil itu ada sebelum dunia alam
semesta ini ada, termasuk manusia dan segala pikiran dan perasaannya. Dalam bentuknya

yang amat primitif pandangan ini menyatakan bentuknya dalam penyembahan terhadap
pohon, batu dsb-nya.

Akan tetapi sebagai suatu system filsafat, pandangan dunia ini pertama-tama kali
disistimatiskan oleh Plato (427-347 S.M), menurut Plato dunia luar yang dapat di tangkap
oleh panca indera kita bukanlah dunia yang riil, melainkan bayangan dari dunia idea yang
abadi dan riil. Pandangan dunia Plato ini mewakili kepentingan klas yang berkuasa pada
waktu itu di Eropa yaitu klas pemilik budak. Dan ini jelas nampak dalam ajarannya tentang
masyarakat
ideal.
Pada jaman feodal, filsafat idealisme obyektif ini mengambil bentuk yang dikenal dengan
nama Skolastisisme, system filsafat ini memadukan unsur idealisme Aristoteles (384-322
S.M), yaitu bahwa dunia kita merupakan suatu tingkatan hirarki dari seluruh system hirarki
dunia semesta, begitupun yang hirarki yang berada dalam masyarakat feodal merupakan
kelanjutan dari dunia ke-Tuhanan. Segala sesuatu yang ada dan terjadi di dunia ini maupun
dalam alam semesta merupakan penjelmaan dari titah Tuhan atau perwujudan dari ide
Tuhan. Filsafat ini membela para bangsawan atau kaum feodal yang pada waktu itu
merupakan tuan tanah besar di Eropa dan kekuasaan gereja sebagai wakil Tuhan didunia
ini. Tokoh-tokoh yang terkenal dari aliran filsafat ini adalah: Johannes Eriugena (833 M),
Thomas
Aquinas
(1225-1274
M),
Duns
Scotus
(1270-1308
M),
dsb.
Kemudian pada jaman modern sekitar abad ke-18 muncullah sebuah system filsafat
idealisme obyektif yang baru, yaitu system yang dikemukakan oleh George.W.F Hegel
(1770-1831 M). Menurut Hegel hakekat dari dunia ini adalah ide absolut, yang berada
secara absolut dan obyektif didalam segala sesuatu, dan tak terbatas pada ruang dan
waktu. Ide absolut ini, dalam prosesnya menampakkan dirinya dalam wujud gejala alam,
gejala masyarakat, dan gejala fikiran. Filsafat Hegel ini mewakili klas borjuis Jerman yang
pada waktu itu baru tumbuh dan masih lemah, kepentingan klasnya menghendaki suatu
perubahan social, menghendaki dihapusnya hak-hak istimewa kaum bangsawan Junker. Hal
ini tercermin dalam pandangan dialektisnya yang beranggapan bahwa sesuatu itu
senantiasa berkembang dan berubah tidak ada yang abadi atau mutlak, termasuk juga
kekuasaan kaum feodal. Akan tetapi karena kedudukan dan kekuatannya masih lemah itu
membuat mereka tidak berani terang-terangan melawan filsafat Skolatisisme dan ajaran
agama yang berkuasa ketika itu.

Pikiran filsafat idealisme obyektif ini dapat kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dengan
berbagai macam bentuk. Perwujudan paling umum antara lain adalah formalisme dan
doktriner-isme. Kaum doktriner dan formalis secara membuta mempercayai dalil-dalil atau
teori sebagai kekuatan yang maha kuasa , sebagai obat manjur buat segala macam
penyakit, sehingga dalam melakukan tugas-tugas atau menyelesaikan persoalan-persoalan
praktis mereka tidak bisa berfikir atau bertindak secara hidup berdasarkan situasi dan syarat
yang kongkrit, mereka adalah kaum textbook-thingking.
2. Idealisme Subyektif

Idealisme subyektif adalah filsafat yang berpandangan idealis dan bertitik tolak pada ide
manusia atau ide sendiri. Alam dan masyarakat ini tercipta dari ide manusia. Segala sesuatu
yang timbul dan terjadi di alam atau di masyarakat adalah hasil atau karena ciptaan ide
manusia atau idenya sendiri, atau dengan kata lain alam dan masyarakat hanyalah sebuah
ide/fikiran
dari
dirinya
sendiri
atau
ide
manusia.
Salah satu tokoh terkenal dari aliran ini adalah seorang uskup inggris yang bernama George
Berkeley (1684-1753 M), menurut Berkeley segala, sesuatu yang tertangkap oleh
sensasi/perasaan kita itu bukanlah bukanlah materiil yang riil dan ada secara obyektif.
Sesuatu yang materiil misalkan jeruk, dianggapnya hanya sebagai sensasi-sensasi atau
kumpulan perasaan/konsepsi tertentu (bundles of conception David Hume (1711-1776 M),
-ed), yaitu perasaan / konsepsi dari rasa jeruk, berat, bau, bentuk dsb. Dengan demikian
Berkeley dan Hume menyangkal adanya materi yang ada secara obyektif, dan hanya
mengakui adanya materi atau dunia yang riil didalam fikirannya atau idenya sendiri saja.

Kesimpulan yang dapat ditarik dari filsafat ini adalah, kecenderungan untuk bersifat egoistis
Aku-isme yang hanya mengakui yang riil adalah dirinya sendiri yang ada hanya Aku,
segala sesuatu yang ada diluar selain Aku itu hanya sensasi atau konsepsi-konsepsi dari
Aku. Untuk berkelit dari tuduhan egoistis dan mengedepankan Aku-isme/solipisme
Berkeley menyatakan hanya Tuhan yang berada tanpa tergantung pada sensasi.
Filsafat Berkeley dan Hume ini adalah filsafat Borjuasi besar Inggris pada abad ke-18, yang
merupakan kekuatan reaksioner menentang materialisme klasik Perancis, sebagai
manifestasi dari kekuatiran atas revolusi di Inggris pada waktu itu.

Pada abad ke-19, Idealisme subyektif mengambil bentuknya yang baru yang terkenal
dengan nama Positivisme, yang di kemukakan pertama kali oleh Aguste Comte (17981857 M), menurutnya hanya pengalaman-lah yang merupakan kenyataan yang
sesungguhnya , selain dari pada itu tidak ada lagi kenyataan, dunia adalah hasil ciptaan dari
pengalaman, dan ilmu hanya bertugas untuk menguraikan pengalaman itu. Dan masih
banyak lagi pemikir-pemikir yang lainnya dalam filsafat ini, misalnya saja William Jones
(1842-1910 M) dan John Dewey (1859-1952), keduanya berasal dari Amerika Serikat dan
pencetus ide pragmatisme, menurut mereka Pragmatisme adalah suatu filsafat yang
menggunakan akibat-akibat praktis dari ide-ide atau keyakinan-keyakinan sebagai suatu
ukuran untuk menetapkan nilai dan kebenarannya.
Filsafat seperti ini sangat menekankan pada pandangan individualistic, yang
mengedepankan sesuatu yang mempunyai keuntungan atau cash-value(nilai kontan)-lah
yang dapat diterima oleh akal si Aku tsb. Pragmatisme berkembang di Amerika dan adalah
filsafat yang mewakili kaum borjuasi besar di negeri yang katanya the biggest of all. Sebab
dari pandangan filsafat seperti ini Imperialisme, tindakan eksploitasi dan penindasan dapat
dibenarkan
selama
dapat
mendapatkan
keuntungan
untuk
si
Aku.
Pandangan-pandangan idealisme subyektif dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya tidak jarang kita temui perkataan-perkataan seperti ini :

Baik buruknya keadaan masyarakat sekarang tergantung pada orang yang menerimanya,
ialah baik bagi mereka yang menganggapnya baik dan buruk bagi mereka yang
menganggapnya
buruk.
kekacauan sekarang timbul karena orang yang duduk
duduk dipemerintahan tidak jujur, kalau
mereka diganti dengan orang-orang
orang orang yang jujur maka keadaan akan menjadi baik.
aku bisa, kau harus bisa juga, dsb.

Iluminasionisme
Aliran ini mirip sekali dengan intuisionisme dan banyak berkembang di kalangan tokoh
agama; di dalam Islam teori ini disebut teori kasyf, yaitu yang menyatakan bahwa manusia
yang hatinya telah bersih, telah siap dan sanggup menerima pengetahuan langsung dari
Tuhan.

Kemampuan menerima pengetahuan secara langsung dari Tuhan semacam itu dapat
dap
diperoleh dengan latihan, yang di dalam Islam disebut Suluk atau Riyadhoh. Konon
kemampuan orang-orang
orang itu ialah sampai melihat Tuhan, berbincang dengan Tuhan,
melihat surge, neraka dan alam gaib lainnya. Pengetahuan itu diperolah bukan lewat indera
dan bkan lewat akal, melainkan melalui hati.

Individualisme
Individualisme adalah salah satu paham yang paling sering dibahas sebagai karikatur dalam
banyak perdebatan di kalangan intelektual kita. Setiap kali berbicara tentang paham ini,
biasanya kita langsung berpikir tentang egoisme, keserakahan, kompetisi yang amburadul
dan semacamnya. Polemik menarik yang diawali oleh Liddle (Kompas, 8/1) saya harap
dapat menjernihkan pandangan kita terhadap salah satu ide terpenting dalam sejarah politik
modern.

Dalam tulisan singkat ini saya ingin menguraikan salah satu aspek
aspek dari penolakan beberapa
filsuf terhadap paham individualisme. Kemudian, saya mencoba menjelaskan dasar-dasar
dasar
paham individualisme yang sebenarnya. Tujuan saya bukanlah untuk menyalahkan salah
satu pihak, tapi menjelaskan perbedaan fundamental antara keduanya.
k

Sebelumnya, saya ingin memberi catatan kecil bahwa dalam menolak atau menerima
individualisme, penggunaan kategori "Timur" atau "Barat" sudah amat membingungkan.
Budiawan (Kompas, 2/2) misalnya, harus menekankan kecurigaannya terhadap anjuran
Liddle dengan alasan bahwa klaim individualisme yang universalistik mungkin saja
mengandung "napsu-napsu imperialistik." Budiawan khawatir bahwa di balik penyebaran
individualisme, tersembunyi kepentingan kekuasaan Barat untuk menaklukan Timur. Yang
cukup ironis adalah, dalam memperlihatkan kelemahan individualisme, Budiawan tidak
menggunakan Serat Centini.

Utopia: dari Plato ke Marx

Dasar argumen Mubyarto (Kompas, 2/2) dalam menolak paham individualisme, bersumber
pada sebuah cita-cita tentang masyarakat yang harmonis. Jika harmoni ini tercapai, individu
dan masyarakat tidak lagi perlu dipertentangkan. Siapa yang tidak senang bila korupsi
menghilang, pemimpin tidak lagi menyalahgunakan kekuasaan, dan setiap konflik bisa
diselesaikan dengan damai? Sejumlah pemikir, dengan cara masing-masing, telah mencoba
menjawab pertanyaan- pertanyaan seperti yang sekarang kita ajukan.

Plato, misalnya, menyimpulkan bahwa cita-cita itu bisa dicapai jika masyarakat dipimpin oleh
tipe manusia philosopher-king (kira- kira jenis pemimpin semacam Lee Kuan Yeuw dalam
konteks sekarang; pemimpin yang bersih dan berpikiran jernih). 2000 tahun setelah Plato.
Dalam salah satu dari sekian banyak bukuya, The Philosophy of Right, Hegel membagi
kehidupan sosial ke dalam tiga tingkat. Tingkat pertama adalah kehidupan dalam keluarga.
Di sini manusia sejak kecil belajar tentang otoritas, tanggung jawab dan cinta. Pada tingkat
kedua adalah kehidupan dalam masyarakat sipil. Jika pada tingkat pertama cirinya
didasarkan pada semangat kebersamaan dan tanggung jawab (dalam hubungan ayah
terhadap anak misalnya), maka pada tingkat kedua ini cirinya yang utama adalah kompetisi
dan pengejaran kepentingan diri yang tak terkendali. Masyarakat sipil, buat Hegel, adalah
satuan-satuan tanpa bentuk yang terlalu didasarkan kepada pengejaran kepentingan
ekonomi. Dari tingkat kehidupan pertama yang luhur dan penuh cinta, setelah dewasa
manusia terpaksa harus terjun ke dunia persaingan yang keras.
Untuk mengimbangi dan mengatur masyarakat sipil diperlukan hadirnya negara atau
pemerintahan yang kuat dan korporatis. Jika ini bisa tercapai maka tahap kehidupan sosial
yang ketiga tercapai. Di tahap ini pendulum bergerak kembali, dari kompetisi kembali lagi ke
harmoni. Dan bagi Hegel, yang menjadi motor penggerak dalam tahap ketiga ini adalah
kaum birokrat. Kaum ini oleh Hegel disebut sebagai "kelas universal."
Dalam perkembangan selanjutnya, Hegel memberi inspirasi kepada dua kelompok pemikir,
yaitu kaum Hegelian kanan dan kiri. Kaum Kanan menggunakan ide negara korporatis
Hegel untuk membela sebuah argumen bahwa individu dan negara pada dasarnya satu dan

sebangun: kita tidak perlu melihat keduanya dalam hubungan yang konfliktual. Yang
diperlukan oleh individu karenanya bukanlah jaminan hak-hak perorangan, tapi pelaksana
kewajiban kepada negara, pengabdian dan disiplin (karena pengaruh Hegel, kira-kira hal
seperti inilah yang dikatakan oleh Prof Supomo dalam perdebatan penyusunan UUD 45 kita
dulu).
Di kiri, contoh yang terbaik adalah Karl Marx. Walaupun teori dia ditujukan untuk
"memutarbalikkan Hegel," tema-tema Hegelian sangat kental terasa pada Marx. Berpijak
pada pengertian Hegel tentang masyarakat sipil, Marx mengembangkan teori tentang kelas
sosial. Dari Hegel pula Marx mengambil tema tentang "sejarah yang berakhir" di mana tidak
ada lagi konflik-konflik yang mendasar dalam masyarakat. Buat Hegel, seperti yang kita lihat
di atas, hal ini terjadi jika "kelas universal" telah mampu mengatasi kelemahan dalam
masyarakat sipil. Buat Marx, konflik-konflik mendasar itu akan hilang jika kelas proletariat
yang juga dianggap kelas universal telah melakukan revolusi sosial dan mendirikan negara
komunis.
Di sinilah harmoni itu terjadi: sebuah situasi di mana bahkan kehadiran negara pun, sebagai
pengatur masyarakat, tidak lagi diperlukan. Bagi Marx seperti ditulisnya dalam The German
Ideology, apa yang dilakukan oleh manusia dalam harmoni total itu adalah "berburu di pagi
hari, memancing ikan di siang hari, beternak di sore hari, dan berdiskusi setelah makan
malam", tanpa harus menjadi pemburu, pemancing, peternak dan kritikus.
Apa yang membedakan Mubyarto beserta para pemikir besar di atas dengan para filsuf dari
tradisi individualisme dalam banyak hal bertumpu pada perbedaan terhadap cita-cita
kemasyarakatan. Para filsuf dari tradisi individualisme, sejak John Locke, David Hume,
Adam Smith hingga Frederick Hayek menolak cita-cita masyarakat penuh keselarasan dan
keseimbangan itu. Hal ini mereka lakukan bukan karena mereka mencintai pertikaian dan
membenci persaudaraan. Jauh dari itu. Buat mereka impian-impian harmoni itu adalah
mimpi yang terlalu indah, yang jika dipaksakan untuk diwujudkan akan sangat berbahaya
bagi manusia umumnya. Secara sederhana argumen mereka saya bagi ke dalam dua segi.
Segi pertama bertumpu pada penerimaan terhadap ketidaksempurnaan masyarakat. Buat
paham individualisme masyarakat adalah kumpulan dari banyak kepentingan yang berbeda
dan sering bertentangan. Hal ini adalah kenyataan alamiah. Yang harus dilakukan
karenanya bukanlah menentang alam.
Segi kedua, yang menjadi dasar dari segi pertama di atas, adalah penerimaan paham ini
akan keterbatasan manusia. Bagi paham ini sangat sedikit manusia yang mampu menjadi
superhero, yang dalam bertindak tidak pernah memikirkan kepentingan dirinya sendiri.
Paham ini menolak kemungkinan hadirnya tipe manusia jenis philosopher- king-nya Plato,
atau kelas universalnya Hegel, atau kelas pendobraknya Lenin. Dengan kata lain, paham ini
tidak percaya bahwa kaum birokrat, misalnya, adalah kelompok individu yang tidak lagi
mempunyai kepentingan apa-apa selain mengabdi masyarakatnya. Penguasa di mana pun
adalah juga manusia biasa, yang sebagai manusia dibatasi oleh kepentingankepentingannya sendiri. Dengan demikian paham ini menerima keterbatasan manusia
bukan untuk mendorong meluasnya egoisme dan kompetisi yang keras -- yang mereka
lakukan adalah mencoba menerima kenyataan apa adanya tentang sifat-sifat manusia.

Lenin dan Mao seringkali berkata bahwa untuk mewujudkan citacita cita masyarakat sosialis,
sosial
diperlukan lahirnya tipe-tipe
tipe manusia baru, yang senantiasa membela kepentingan umum
dan melupakan kepentingan dirinya sendiri. Buat paham individualisme, hal ini adalah utopia
besar yang berbahaya. Manusia selalu sama dari dulu dan sekarang: makhluk rasional
r
yang
selalu bereaksi terutama terhadap hal-hal
hal hal yang berakibat langsung terhadapnya dan
terhadap lingkungan terdekatnya. Menciptakan manusia baru hanya bisa terjadi dengan
menghancurkan manusia itu sendiri. Buat paham ini, sejarah kelam Rusia di bahwa
bah
Lenin
dan Cina di bawah Mao adalah monumen sejarah yang mengingatkan kita semua terhadap
"biaya sosial" -- untuk menggunakan bahasa Budiawan -- dari upaya penciptaan manusia
baru tersebut.
Berangkat dari dua segi argumen inilah para filsuf dari tradisi individualisme membangun
argumen dan konsep-konsep
konsep tentang perlunya demokrasi, penegakan kekuasaan hukum,
dan pemerintahan yang terbatas. Demokrasi, misalnya, mereka anggap alternatif sistem
pemerintahan yang terbaik yang dapat meminimalkan dampak buruk yang
yang diakibatkan oleh
pengejaran kepentingan dari individu-individu
individu individu yang duduk di kursi kekuasaan.
Selain itu, demokrasi juga mereka percaya sebagai sistem yang memungkinkan perbedaan
dalam masyarakat untuk tidak menjadi konflik yang terbuka dan berdarah. Konsep-konsep
Ko
penting inilah yang menjadi sumbangan paling besar bagi sejarah politik modern dari para
filsuf dalam tradisi individualisme, dari John Locke hingga Frederick Hayek.

Intuisionisme
Intuisionisme adalah suatu aliran filsafat yang menganggap adanya
adanya satu kemampuan tingkat
tinggi yang dimiliki manusia, yaitu intuisi. Tokoh aliran ini diantaranya dalah Henri Bergson.

Menurut Bergson, intuisi adalah suau sarana untuk mengetahui secara langsung dan
seketika. Analisa, atau pengetahuan yang diperoleh dengan jalan pelukisan, tidak akan
dapat menggantikan hasil pengenalan secara langsung dari pengetahuan intuitif.

Salah satu di antara unsut-unsur


unsur yang berharga dalam intuisionisme Bergson ialah, paham
ini memungkinkan adanya suatu bentuk pengalaman di samping pengalaman yang dihayati
oleh indera. Dengan demikian data yang dihasilkannya dapat merupakan bahan tambahan
bagi pengetahuan di samping pengetahuan yang dihasilkan oleh penginderaan. Kant masih
tetap benar dengan mengatakan bahwa pengetahuan didasarkan pada pengalaman, tetapi
dengan demikian pengalaman harus meliputi baik pengalaman inderawi maupun
pengalaman intuitif.

Hendaknya diingat, intusionisme tidak mengingkati nilai pengalaman inderawi yang biasa
dan pengetahuan yang disimpulkan darinya. Intusionisme setidak-tidaknya
setidak
dalam
beberapa bentuk-hanya
hanya mengatakan bahwa pengetahuan yang lengkap di peroleh melalui
mela
intuisi, sebagai lawan dari pengetahuan yang nisbi-yang
nisbi yang meliputi sebagian saja-yang
saja
diberikan oleh analisa. Ada yang berpendirian bahwa apa yang diberikan oleh indera

hanyalah apa yang menampak belaka, sebagai lawan dari apa yang diberikan oleh intuisi,
intuisi
yaitu kenyataan. Mereka mengatakan, barang sesuatu tidak pernah merupakan sesuatu
seperti yang menampak kepada kita, dan hanya intuisilah yang dapat menyingkapkan
kepada kita keadaanya yang senyatanya.

Dengan menyadari keterbatasan indera dan akal, Bergson


Bergson menganggap adanya
kemampuan tingkat tinggi dalam diri manusia, yaitu intuisi. Intuisi adalah suatu bentuk
pemikiran akal, sebab pemikiran intuisi bersifat dinamis.

Fungsi intuisi adalah untuk mengenal hakikat pribadi atau aku dengan lebih murni dan
da
untuk mengenal hakikat seluruh kenyataan. Intuisi inilah yang dapat memahami kebenaran
yang utuh, yang tetap dan menangkap objek secara langsung tanpa melalui pemikiran. Jadi
indera dan akal hanya mampu menghasilkan pengetahuan yang tidak utuh, sedangkan
intuisi dapat menghasilkan pengetahuan yang utuh dan tetap

Fenomenologi
Menurut Husserl prinsip segala prinsip ialah bahwa hanya intuisi langsung (dengan tidak
menggunakan pengantara apapun juga) dapat dipakai sebagai kriteria terakhir dibidang
Filsafat.
at. Hanya apa yang secara langsung diberikan kepada kita dalam pengalaman dapat
dianggap benar dan dapat dianggap benar sejauh diberikan. Dari situ Husserl
menyimpulkan bahwa kesadaran harus menjadi dasar filsafat. Alasannya ialah bahwa hanya
kesadaran yang
ang diberikan secara langsung kepada saya sebagai subjek, seperti akan kita
lihat lagi. Fenomenologi merupakan ilmu pengetahuan (logos) tentang apa yang tampak
(phainomenon). Jadi, fenomenologi mempelajari suatu yang tampak atau apa yang
menampakkan diri.

fenomen merupakan realitas sendiri yang tampak, tidak ada selubung yang memisahkan
realitas dari kita., realitas itu sendiri tampak bagi kita. Kesadaran menurut kodratnya
mengarah pada realitas. Kesadaran selalu berarti kesadaran akan sesuatu. Kesadaran
Kesadara
menurut kodratnya bersifat intensionalitas. (intensionalitas merupakan unsur hakiki
kesadaran. Dan justru karena kesadaran ditandai oleh intensionalitas, fenomen harus
dimengerti sebagai sesuatu hal yang menampakkan diri.

Konstitusi merupakan proses tampaknya fenomen-fenomen


fenomen kepada kesadaran. Fenomen
mengkonstitusi diri dalam kesadaran. Karena terdapat korelasi antara kesadaran dan
realitas, maka dapat dikatakan konstitusi adalah aktivitas kesadaran yang memungkinkan
tampaknya realitas. Tidak ada kebenaran
kebenaran pada dirinya lepas dari kesadaran. Kebenaran
hanya mungkin ada dalam korelasi dengan kesadaran. Dan karena yang disebut realitas itu
tidak lain daripada dunia sejauh dianggap benar, maka realitas harus dikonstitusi oleh
kesadaran. Konstitusi ini berlangsung
berlangsung dalam proses penampakkan yang dialami oleh dunia
ketika menjadi fenomen bagi kesadaran intensional.

Sebagai contoh dari konstitusi: saya melihat suatu gelas, tetapi sebenarnya yang saya lihat
merupakan suatu perspektif dari gelas tersebut, saya melihat gelas itu dari depan, belakang,
kanan, kiri, atas dan seterusnya. Tetapi bagi persepsi, gelas adalah sintesa semua
perspektif itu. Dalam prespektif objek telah dikonstitusi. Pada akhirnya Husserl selalu
mementingkan dimensi historis dalam kesadaran dan dalam realitas. Suatu fenomen tidak
pernah merupakan suatu yang statis, arti suatu fenomen tergantung pada sejarahnya. Ini
berlaku bagi sejarah pribadi umat manusia, maupun bagi keseluruhan sejarah umat
manusia. Sejarah kita selalu hadir dalam cara kita menghadapi realitas. Karena itu konstitusi
dalam filsafat Husserl sulalu diartikan sebagai konstitusi genetis. Proses yang
mengakibatkan suatu fenomen menjadi real dalam kesadaran adalah merupakan suatu
aspek historis.

Pandangan Husserl tentang Reduksi Fenomenologis. Kita pada dasarnya cenderung untuk
bersikap natural dalam artian dengan diam-diam percaya akan adanya dunia. Untuk
memulai fenomenologi kita seharusnya meninggalkan sifat ini pada dunia real. Reduksi
bukan merupakan kesangsian terhadap dunia, melainkan suatu netralisasi, ada tidaknya
dunia real tidak memiliki perannya lagi. bagi Husserl reduksi merupakan ada tidaknya dunia
real tidak relevan dan persoalan ini dapat disisihkan tanpa merugikan. Dengan
mempraktekkan reduksi ini kita akan masuk pada sikap fenomenologis. Reduksi ini harus
dilakukan menurut Husserl lebih dikarenakan karena Husserl menginginkan fenomenologi
menjadi suatu ilmu rigous. Ilmu rigous tidak boleh mengandung keraguan, atau ketidak
pastian apapun juga. Ucapan yang dikemukakan pada ilmu rigorous harus bersifat
apodiktis (tidak mengizinkan keraguan).

Suatu benda material tidak pernah diberikan kepada kita secara apodiktis dan absolut.
Setiap benda material selalu diberikan dalam bentuk profil-profil. Misalnya dari sebuah
lemari yang ada di hadapan saya, saya hanya dapat melihat depannya saja tanpa dapat
mengetahui bentuk depannya, dan ketika saya ingin melihat sisi depannya, maka saya
harus melihatnya dari sisi yang lainnya, namun setelah itu saya tidak bisa melihat sisi depan
dari profil-profil lain. Dengan cara inilah benda-benda material tampak bagi saya. Setiap
benda material tidak pernah diberikan kepada saya menurut segala profil-profilnya, secara
total dan absolut. Cara realitas material tampak bagi saya bersikap sedemikian rupa,
sehingga tidak dapat ditemukan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut tentangnya.
Karena alasan-alasan itulah fenomenologi sebagai ilmu rigorous harus mulai dengan
mempraktekkan reduksi transendental.

Jika kita menempatkan realitas material dengan mempraktekkan reduksi transendental


tersebut, apakah yang tinggal untuk mendasari fenomenologi sebagai ilmu rigorous. Husserl
berpendapat bahwa yang tinggal adalah kesadaran atau subjektivitas. Kesadaran tidak
berkeluasan dalam ruang. Kesadaran tampak bagi saya secara total dan langsung. Karena
itu menjadi mungkin mengemukakan pernyataan-pernyataan apodiktis dan absolut
tentangnya. Adanya kesadaran dan juga struktur kesadaran dapat dinyatakan secara
absolut. Jadi, kesadaran harus dipilih sebagai dasar bagi fenomenologi sebagai ilmu
rigorous.

Reduksi menyingkapkan kesadaran sebagai menurut kodratnya terarah pada dunia, sebagai
intensional. Dengan demikian dunia mendapat tempatnya lagi dalam fenomenologi. Kita
tidak lagi bicara tentang dunia secara naif, seakan-akan
seakan akan dunia sama sekalai tidak berkaitan
dengan kesadaran, seperti dibuat dalam sikap natural. Tetapi dalam fenomenologi kita
menemukan dunia sebagai korelat dari kesadaran, dunia sebagai fenomen.
Demikianlah fenomenologi dapat mempelajari
mempelajari dunia dan merumuskan ucapan-ucapan
ucapan
apodiktis dan absolut tentangnya. Dalam fenomenologi kita tidak bertolak belakang dengan
dunia, sebaliknya realitas material ditemui dalam suatu prespektif baru, yaitu korelat bagi
kesadaran. Menurut Husserl yang
yang lebih penting dalam reduksi bukannya menaruh dunia
sendiri antara kurung, melainkan setiap interpretasi atau teori tentang dunia. Ia menekankan
aspek positif dari reduksi, reduksi bukan saja berpaling dari dunia seperti dimengerti dalam
sikap natural, melainkan
lainkan juga terutama berpaling kepada sesuatu yaitu kesadaran atau ego
transendental.
Sumber:
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta: Kanisius.
Bertens. Filsafat barat Abad XX, Inggris-Jerman.
Inggris Jerman. Jakarta : Gramedia. 1983

1980

Kritisis
Kritisisme
Kritisisme merupakan filsafat yang terlebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas
batas
rasio sebelum melakukan pencarian kebenaran. Tokoh yang terkenal dari aliran ini adalah
Immanuel Kant (1724-1804).
1804). Filsafatnya dikenal dengan Idealisme Transendental
Transendent atau
Filsafat Kritisisme. Menurutnya, pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang
secara apriori sudah ada dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari
pengalaman (aposteriori).

Filsafat kritisisme adalah faham yang mengkritik


mengkritik terhadap faham Rasionalisme dan faham
Empirisme. Yang mana kedua faham tersebut berlawanan. Faham Rasionalisme adalah
faham yang beranggapan bahwa dasar semua pengetahuan itu ada dalam pikiran (berasal
dari rasio/ akal). Faham ini depelopori oleh Rene Descartos (1596-1650).
1650). Faham Empirisme
adalah faham yang beranggapan bahwa seluruh pengetahuan tentang dunia itu berasal dari
indra (pengalaman) kita. Faham ini di pelopori oleh David Hume (1711-1776)
(1711 1776)

Rene Descartes dalam buku Discaurse De La Methode tahun 1637. Ia menegaskan


perlunya ada methode yang jitu sebagai dasar kokoh bagi semua pengetahuan. Yaitu
dengan menyangsikan
sikan segalanya secara metodis. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap
ujian kesangsian yang radikal ini, maka kebenaran itu 100% pasti ada dan menjadi landasan
bagi
seluruh
pengetahuan.
Discourse menerima 3 realitas atau substansi bawaan yang sudah ada sej
sejak lahir, yaitu:
1.
Relitas
pikiran
(res
logitan)
2.
Realitas
perluasan
(res
extebsa
extebtion)

3. Tuhan (sebagai wujud yang seluruhnya sempurna, penyebab sempurna dari kedua
realitas
itu)
Pikiran adalah sesungguhnya kesadaran. Tidak mengambil ruang dan tidak dapat di bagibagi
menjadi
bagian
yang
lebih
kecil.
Materi adalah keluasan mengambil tempat dan dapat dibagi-bagi dan tak memilki
kesadaran.
David Hume mencermati 2 hal yaitu substansi dan kausalitas. Hume tidak meneria substansi
sebab yang dialami hanya kesan-kesan saja tentang beberapa ciri yang selalu ada bersamsama. Dari kesan muncul gagasan. Kesan adalah hasil pengindraan langsung sebab
gagasan adalah ingatan akan kesan-kesan seperti itu. Misal ku alami kesan: putih, licin,
ringan, tipis. Atas dasar pengalaman itu tidak dapat disimpulkan bahwa ada substansi tetap
yang misalnya disebut kertas memiliki ciri-ciri tadi. Bahwa di dunia ada relitas kertas.
Diterima oleh Hume, namun, dari kesan itu mengapa muncul gagasan kertas dan bukan
yang lainnya? Bagi Hume aku tidak lain hanyalah a bundle or collction of perception
(kesadaran
tertentu).
Kausalitas adalah jika gejala tertentu diikuti oleh gejala lainnya. Misal: batu yang disinari
matahati menjadi panas. Kesimpulan itu tidak berdasarkan pengalaman. Karena,
pengalaman itu hanya memberi kita urutan gejala tetapi tidak memperlihatkan kepada kita
urutan
sebab
akibat
Yang disebut kepastian hanya mengungkapkan harapan kita saja dan tidak boleh dimengerti
lebih dari probable (berpeluang). Maka, Hume menolak kausalitas sebab harapan bahwa
sesuatu mengikuti yang lain tidak melekat pada hal-hal itu sendiri, namun, hanya dalam
gagasan
kita.
Dengan kritisisme Immanuel Kant (1724-1804) mencoba mengembangkan suatu sintesis
atas 2 pendekatan yang bertentangan ini. Kant berpendapat bahwa masing-masing
pendekatan itu benar separuh dan salah separuh. Benarlah bahwa pengetahuan kita
tentang dunia berasal dari indra kita, namun dalam akal kita ada faktor-faktor yang
menentukan bagaimana kita memandang dunia sekitar kita. Ada kondisi-kondisi tertentu
dalam manusia yang ikut menentukan konsepsi manusia tentang dunia. Kant setuju dengan
Hume bahwa kita tidak mengetahui secara pasti seperti apa dunia itu sendiri (das ding on
sich) namun hanya dunia itu seperti tampak bagiku atau bagi semua orang.
Namun menurut Kant ada 2 unsur yang memberi sumbangan kepada pengetahuan manusia
tentang dunia. Yang pertama adalah kondisi-kondisi lahiriyah ruang dan waktu yang tidak
dapat kita ketahui sebelum kita menangkapnya dengan indra kita. Ruang dan waktu adalah
cara pandang dan bukan atribut dari dunia fisik. Itu materi pengetahuan. Yang kedua adalah
kondisi-kondisi batiniah dalam manusia mengenai proses-proses yang tunduk kepada
hukum kausalitas yang tak terpatahkan. Ini bentuk pengetahuan.

Demikian kant membuat kritik atas seluruh pemikiran filsafat membuat suatu sintesis dan
meletakkan dasar bagi aneka aliran filsafat masa kini

Liberalisme
Liberalisme berkaitan dengan kata Libertas (bhs. latin) yang artinya kebebasan, dan
Liberalisme
beralisme mencakup banyak aliran yang berbeda artinya di bidang politik, ekonomi dan
keagamaan, yang berpangkal tolak pada kebebasan orang-perorangan
orang perorangan terhadap kekuasaan
apapun (A. Heuken SJ: Ensiklopedi Gereja). Liberalisme dapat dimengerti sebagai (1) tradisi
tra
politik (2) filsafat politik dan (3) teori filsafat umum, mencakup teori nilai, konsepsi mengenai
orang dan teori moral sama halnya dengan filsafat politik. ... Di Perancis, liberalisme lebih
dekat dikaitkan dengan sekularisme dan demokrasi (Stanford Encyclopedia of Philosophy,
2003).

Heuken lebih lanjut menyebut liberalisme dasarnya adalah pendangan Zaman-Pencerahan,


Zaman
bahwa manusia tidak hanya berhak mengusahakan masyarakat yang bebas dari kekuasaan
negara, yang kurang mengindahkan hak-hak
hak
azasi manusia,
sia, melainkan juga membebaskan
diri dari kuasa rohani yang tidak mendapat mandat dari umat. Kuasa dari atas ditolak.

Mirip dengan liberalisme, Libertinisme juga berkaitan dengan Libertas. Dalam Alkitab ada
disebut orang libertini yang berarti orang Yahudi
Yahudi yang telah bebas dari penjara Romawi dan
memiliki sinagoga sendiri di Yerusalem (Kis.6:9), tetapi dalam pengertian umum, libertin
adalah orang yang membebaskan diri dari kekangan, terutama norma sosial dan agama,
dan moral (Wikipedia).

au faham yang dianut orang libertin. Seorang tokohnya, Theophile de Viau


libertinisme atau
diusir duakali dari kota Paris karena pandangannya yang atheistik dan hidup berfoya-foya,
berfoya
dalam sajak yang ditulisnya di The Satirical Parnassus ia tidak menghiraukan nilai moral dan
seksual, dan dalam banyak sajaknya sama halnya dengan sesama libertin Marc Antoine de
Gerard Saint Amant, mereka menentang ajaran agama dan konvensi moral masyarakat.
Libertin menyiapkan jalan bagi abad berikutnya yang menularkan roh kritik yang dilandaskan
dilandaska
pada logika (Encyclopedia Encarta, 2006).

Dari pengertian demikian, tepat seperti yang dikatakan oleh Verkuyl bahwa manusia berada
di antara libertinisme dan farisiisme (lihat artikel Adat Istiadat). Disatu pihak ia ditarik
kecenderungan keterbukaan dengan
dengan moralitas bebasnya, dipihak lain ia ditarik
kecenderungan ketertutupan dengan moralitas kakunya.

Liberalisme, sekalipun bisa diartikan macam-macam


macam macam dalam berbagai bidang yang berbeda,
memiliki pengertian sendiri dalam teologi. Liberalisme teologi adalah
adalah salah satu pemikiran
agama yang menekankan penyelidikan agama yang berlandaskan norma diluar otoritas
tradisi gereja. Liberalisme adalah keinginan untuk dibebaskan dari paksaan kontrol dari luar
dan secara konsekwen bersangkutan dengan motivasi dari dalam
dalam diri manusia.

Dalam Encyclopaedia Britannica, liberalisme dapat dibagi dalam tiga masa, yaitu: masa

pertama dari abad-17 sampai pertengahan abad-18; masa kedua dari pertengahan abad-18
sampai akhir abad-19; dan masa ketiga dari pertengahan abad-19 sampai abad-20.

Masa Pertama, liberalisme teologi biasa dikaitkan dengan filsuf dan matematikawan Rene
Descartes. Masa ini juga disebut sebagai masa Rasionalisme dan Pencerahan. Descartes
menekankan cara berfikir yang berpengaruh sampai abad-19 dan meletakkan dasar
perkiraan kesadaran modern, yaitu: (1) keyakinan akan pikiran manusia, (2) mengutamakan
manusia sebagai pribadi, (3) imanensi Tuhan, dan (3) keyakinan bahwa sifat alami manusia
bisa dan selalu diperbaiki.

Masa Kedua, liberalisme teologi dikenal sebagai masa Romantisme yang diawali dengan
disadarinya keunikan individu dan konsekwensinya mengenai pentingnya pengalaman
individu sebagai sumber khusus mengenai arti yang tidak terbatas, ini memberi nilai lebih
pada kepribadian dan kreativitas individu melebihi semua nilai lain. Jean-Jacques Rousseau
dan Immanuel Kant adalah arsitek dibelakang liberalisme romantis ini.

Dalam teologi, Friedrich Schliermacher, dapat disebut sebagai bapak teologi protestan
modern. Schleiermacher mengerti agama sebagai perasaan yang intuisif kebergantungan
kepada yang kekal, atau Tuhan, yang dipercayainya sebagai pengalaman universal dari
kemanusiaan. Ini menekankan pengalaman beragama daripada dogma agama. Teolog
liberal berusaha untuk mendamaikan agama dengan ilmu pengetahuan dan masyarakat
modern, dan mereka mengacu pada tehnik kritik historis atas Alkitab dalam usaha untuk
membedakan Yesus Sejarah dan ajarannya dari dari apa yang mereka anggap sebagai
mitologi dan dihasilkan oleh dogma.

Bila semula liberalisme teologi masih memberi tempat pada yang supranatural, lamakelamaan perkembangan liberalisme mengarah pada penekanan Yesus sebagai sekedar
manusia biasa. Albrecht Ritchl menolak aspek supranatural dari hidup Yesus dan
menafsirkan mujizat Yesus dalam kerangka ajaran idealisme Hegel, dan menjadikan etika
sebagai jantung agama. Pengikut Ritchl Adolf von Harnack menyebut Yesus adalah tokoh
manusia yang memiliki damai dan kerendahan hati yang dapat menguatkan dan membawa
damai pada orang lain. Kedudukannya sebagai pengajar di Berlin sempat dipersoalkan oleh
gereja Jerman karena pandangannya yang liberal mengenai mujizat Alkitab termasuk soal
sifat sejarah kebangkitan Yesus.

Masa ketiga, perkembangan liberalisme sekalipun sempat direm sejenak oleh Karl Barth
dengan Neo-Orthodoxinya, makin menjauhkan agama dari aspek transendennya. Teologi
Liberal masa ketiga ini juga sering disebut sebagai

Pada masa ketiga ini berkembang studi Yesus Sejarah yang menafikan sifat supra-natural
Yesus. F.C. Baur memperkenalkan pendekatan yang anti-theistic dan yang supranatural
dalam hubungan dengan sejarah kekristenan. D.F. Strauss (Life of Jesus) menolak sama
sekali dasar sejarah elemen supranatural dalam Injil. J.E. Renan (Life of Jesus) juga senada

dengan Strauss dan lebih jauh menyebut Yesus terobsesi semangat revolusi, penganiayaan
dan mati syahid. Albert Schweitzer (The Quest of the Historical Jesus) disatu sisi
menyalahkan Strauss dan Renan karena mengabaikan aspek eschatologis tentang kerajaan
Allah dan akhir zaman, tetapi disisi lain ia meneruskan pandangan mereka karena Yesus
ditampilkan sebagai politikus agama yang pemarah yang membuat kesalahan besar dalam
cara hidupnya. Arthur Drews (The Christ Myth) bahkan lebih jauh memperlakukan seluruh
Injil sebagai cerita fiksi. Faham Yesus Sejarah ini diteruskan oleh Jesus Seminar sejak
1985.

Kecenderungan menafikan yang supranatural disebut juga sebagai (Gereja dan Aliran
Modern), Saeculum adalah pandangan serta sikap hidup yang menanggalkan yang waktuwi
itu dari yang abadi, yang menanggalkan yang profan dari yang sakral. ... Sedang
Sekularisme ialah aliran dalam kultur, dalam mana seluruh perhatian dituntut untuk dunia ini
dan untuk zaman ini dengan mengucilkan Allah serta Kerajaan-Nya. Encyclopedia Wikipedia
menyebut Sekularitas adalah keberadaan yang bebas dari kwalitas keagamaan dan
spiritualitas, dan Sekularisme yang terkait masa Pencerahan menegaskan tentang
kebebasan agama dan bebas dari agama, dalam negara yang netral dalam hal menyangkut
kepercayaan, dan tidak memberikan hak khusus atau subsidi kepada agama. Britannica
menyebut Sekularisme sebagai gerakan dalam masyarakat yang ditujukan untuk
menjauhkan diri dari yang diluar dunia dan kembali ke bumi.

Dalam hubungan dengan Liberalisme, Arend Theodoor van Leeuwen (Christianity in World
History) menyebut Liberalisme adalah produk yang disekularisasikan dari peradaban
Kristen. Dari ketiga istilah Liberalisme, Libertinisme dan Sekularisme, kita menjumpai nafas
yang sama yang mendasari, yaitu membebaskan diri dari yang Aeternum dan hanya
berurusan dengan yang Saeculum. Semangat sekularisme sudah terlihat dalam pemikiran
Friedrich Nietzsche yang dikenal sebagai pelopor Teologi Kematian Tuhan (Death of God
Theology). Ia bertitik tolak menafikan Tuhan yaitu pada Tuhan yang tidak ada, karena itu
Manusia harus menentukan jalan hidupnya sendiri.

Dalam Rudolf Bultman kita melihat skeptikisme rasional dibentuk oleh existensialisme
berusaha mendikotomikan Yesus Sejarah dari Yesus Iman dan menolak konsep the three
deckers universe (bumi surga neraka) yang disebutnya mitos. Seluruh etos dan pemikiran
Perjanjian Baru adalah mitos. Hal-hal yang bersifat transendental dipandang sebagai
mitologi dan harus dimengerti secara existensial yang subyektip. Tugas manusia adalah
mendemitologisasikan ajaran PB itu. Paul Tillich mengemukakan bahwa Injil harus
ditelanjangi dari sifat non-existensialnya dan terbuka bagi istilah-istilah yang bermakna bagi
manusia modern. Baginya, Tuhan adalah The Ground of all Being.

Teolog sekular selanjutnya lebih radikal menafikan yang supranatural. Dietrich Bonhoeffer
dalam tulisan awalnya cukup konservatif dan kristosentris, namun pandangannya berubah
radikal ketika ia dipenjara karena konspirasi membunuh Hitler. Dalam Letters from Prison ia
menekankan kekristenan tanpa agama dan bahwa dunia sudah dewasa (world come of age)
dan kekristenan telah kehilangan sifat keagamaannya. Manusia sudah dewasa sehingga
tidak lagi perlu bergantung kepada yang disebut Allah. Lebih jauh John A.T. Robinson

(Honest to God) mulai dengan keyakinan bahwa gagasan Allah di atas sana telah kuno,
tidak bermakna lagi dan salah. Manusia dewasa harus meninggalkan konsep proyeksi figur
ayah ke angkasa yang dipercaya itu.

Pada tahun 1960-an


an konsep Nietzche mengenai Kematian Allah bangkit kembali di
kalangan beberapa teolog radikal. Paul van Buren (The Secular Meaning of the Gospel)
mengungkapkan gagasan radikalnya, dan dari judul bukunya kita dapat mengetahui kemana
arah radikalisme
kalisme Gabriel Vahanian (The Death of God: The Culture of Our Post-Christian
Post
Era). Harvey Cox (The Secular City) menyinggung tema yang sama. Di kalangan Roma
Katolik, Robert Adolfs (The Grave of God) sampai menerima kutukan dari masyarakat
disekitarnya. Yang
ang lebih radikal lagi kita temukan dalam tulisan Thomas J.J. Altizer (The
Gospel of Christian Atheism).

Kelihatannya ada gejala menarik untuk diamati sebagai Masa KeKe-empat yang bisa
ditambahkan dalam tiga pembagian yang disebut Britannica, yaitu pada masa
ma tahun 1960an dibalik gencarnya Liberalisme Radikal yang bukan saja menafikan Allah tetapi
menganggap Allah telah mati dan sudah dikubur, dunia mengalami kekosongan batin/rohani
yang luar biasa yang dikenal dengan Era Posmo (Postmodernism) dimana ketika
Modernisme tidak lagi memadai terjadi pencarian manusia kembali akan nilai-nilai
nilai
transendental yang mereka cari dalam agama-agama
agama agama mistik Timur (New Age). Di kalangan
teolog Liberal ada juga usaha untuk kembali membuka diri kepada hal-hal
hal
yang dulu
dinafikan,
an, hanya sayangnya mereka tidak kembali kepada supranaturalisme Alkitab tetapi
lari kepada mistikisme/gnostikisme yang dahulu dikritik oleh Bultman sebagai yang harus
didemitologisasikan.

Bila semula Liberalisme mempunyai andil memperbaiki beberapa kekeliruan


keke
Konservativisme ekstrim, ia tidak memberi jalan keluar yang lebih baik, malah nafas
kebebasan itu berangsur-angsur
angsur membawa manusia kepada peninggian diri dan akhirnya
makin menafikan yang kekal dan Tuhan dalam bentuk Liberalisme yang makin ekstrim.

Materialisme
Materialisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang pandangannya bertitik tolak dari pada
materi (benda). Materialisme memandang bahwa benda itu primer sedangkan ide
ditempatkan di sekundernya. Sebab materi ada terlebih dahulu baru ada ide. Pandangan ini
berdasakan atas kenyataan menurut proses waktu dan zat.

Misal, menurut proses waktu, lama sebelum manusia yang mempunyai ide itu ada didunia,
alam raya ini sudah ada.

Menurut zat, manusia tidak bisa berfikir atau mempunyai ide bila tidak mempunyai otak, otak
itu adalah sebuah benda yang bisa dirasakan oleh panca indera kita. Otak atau materi ini

yang lebih dulu ada baharu muncul ide dari padanya. Atau seperti kata Marx Bukan fikiran
yang menentukan pergaulan, melainkan keadaan pergaulan yang menentukan fikiran.
Maksudnya sifat/fikiran seorang individu itu ditentukan oleh keadaan masyarakat
sekelilingnya, masyarakat sekelilingnya ini menjadi materi atau sebab yang mendorong
terciptanya fikiran dalam individu tersebut.

Aliran-aliran dalam Materialisme

1. Materialisme Mekanik

Materialisme mekanik adalah aliran filsafat yang pandangannya materialis sedangkan


metodenya mekanis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan gerak
dan berubah, geraknya itu adalah gerakan yang mekanis artinya, gerak yang tetap
selamanya atau gerak yang berulang-ulang (endless loop) seperti mesin yang tanpa
perkembangan atau peningkatan secara kualitatif.

Materialisme mekanik tersistematis ketika ilmu tentang meknika mulai berkembang dengan
pesat, tokoh-tokoh yang terkenal sebagai pengusung materialisme pada waktu itu ialah
Demokritus ( 460-370 SM), Heraklitus ( 500 SM) kedua pemikir Yunanai ini berpendapat
bahwa aktivitas psikik hanya merupakan gerakan atom-atom yang sangat lembut dan
mudah bergerak.

Mulai abad ke-4 sebelum masehi pandangan materialisme primitif ini mulai menurun
pengaruhnya digantikan dengan pandangan idealisme yang diusung oleh Plato dan
Aristoteles. Sejak itu, 1700 tahun lamanya dunia filsafat dikuasai oleh filsafat idealisme.

Baru pada akhir jaman feodal, sekitar abad ke-17 ketika kaum borjuis sebagai klas baru
dengan cara produksinya yang baru, materialisme mekanik muncul dalam bentuk yang lebih
modern karena ilmu pengetahuan telah maju sedemikian pesatnya. Pada waktu itu ilmu
materialisme ini menjadi senjata moril / idiologis bagi perjuangan klas borjuis melawan klas
feodal yang masih berkuasa ketika itu. Perkembangan materialisme ini meluas dengan
adanya revolusi industri, di negeri-negeri Eropa. Wakil-wakil dari filsafat materialis pada
abad ke-17 adalah Thomas Hobbes(1588-1679 M), Benedictus Spinoza (1632-1677 M) dsb.
Aliran filsafat materialisme mekanik mencapai titik puncaknya ketika terjadi Revolusi
Perancis pada abad ke-18 yang diwakili oleh Paul de Holbach (1723-1789 M), Lamettrie
(1709-1751 M) yang disebut juga materialisme Perancis.

Materialisme Perancis dengan tegas mengatakan materi adalah primer dan ide adalah
sekunder, Holbach mengatakan : materi adalah sesuatu yang selalu dengan cara-cara
tertentu menyentuh panca indera kita, sedang sifat-sifat yang kita kenal dari bermacam halichwal itu adalah hasil dari bermacam impresi atau berbagai macam perubahan yang terjadi
di alam pikiran kita terhadap hal-ichwal itu. Materialisme Perancis menyangkal pandangan

religus tentang penciptann dunia (Demiurge), yang sebelum itu menguasai alam pikiran
manusia..
Bahkan secara terang-terangan Holbach mengatakan nampaknya agama itu
diadakanhanya untuk memperbudak rakyat dan supaya mereka tunduk dibawah kekuasaan
raja lalim. Asal manusia merasa dirinya didalam dunia ini sangat celaka, maka ada orang
yang datang mengancam mereka dengan kemarahan Tuhan, memakasa mereka diam dan
mengarahkan pandangan mereka kelangit, dengan demikian mereka tidak lagi dapat melihat
sebab sesungguhnya daripada kemalangannnya itu.

Materialisme Perancis adalah pandangan yang menganggap segala macam gerak atau
gejala-gejala yang terjadi dialam itu dikuasai oleh gerakan mekanika, yaitu pergeseran
tempat dan perubahan jumlah saja. Bahkan manusia dan segala aktivitetnya pun dipandang
seperti mesin yang bergerak secara mekanik, ini tampak jelas sekali dalam karya Lamettrie
yang berjudul Manusia adalah mesin. Mereka tidak melihat adanya peranan aktif dari ide
atau pikiran terhadap materi. Pandangan ini adalah ciri dan sekaligus kelemahan
materialisme Perancis.

2. Materialisme Metafisik

Materialisme metafisik mengajarkan bahwa materi itu selalu dalam keadaan diam, tetap atau
statis selamanya seandainya materi itu berubah maka perubahan tersebut terjadi karena
faktor luar atau kekuatan dari luar. Gerak materi itu disebut gerak ekstern atau gerak luar.
selanjutnya materi itu dalam keadaan terpisah-pisah atau tidak mempunyai hubungan antara
satu dengan yang lainnya.

Materialisme metafisik diwakili oleh Ludwig Feurbach, pandangan materialisme ini mengakui
bahwa adanya ide absolut pra-dunia dari Hegel , adanya terlebih dahulu kategori-kategori
logis sebelum dunia ada, adalah tidak lain sisa-sisa khayalan dari kepercayaan tentang
adanya pencipta diluar dunia; bahwa dunia materiil yang dapat dirasakan oleh panca indera
kita adalah satu-satunya realitet.

Tetapi materialisme metafisik melihat segala sesuatu tidak secara keseluruhannya, tidak
dari saling hubungannya, atau segala sesuatu itu berdiri sendiri. Dan segala sesuatu yang
real
itu
tidak
bergerak,
diam.
Pandangan ini mengidamkan seorang manusia suci atau seorang resi suci yang penuh cinta
kasih. Feurbach berusaha memindahkan agama lama yang menekankan hubungan
manusia dengan Tuhan menjadi sebuah agama baru yaitu hubungan cinta kelamin antara
manusia dengan manusia. Seperti kata Feurbach: Tuhan adalah bayangan manusia dalam
cermin, Feurbach menentang teologi, dalam filsafatnya atau agama baru-nya Feurbach
mengganti kedudukan Tuhan dengan manusia, pendeknya manusia itu Tuhan. Feurbach
tidak melihat peran aktif dari ide dalam perkembangan materi, yang materi bagi Feurbach

adalah misalnya, manusia (baca: materi, pen) sedangkan dunia dimana manusia itu tinggal
tidak ada baginya, atau menganggap sepi ativitet yang dilakukan manusia/materi tersebut.

Materialisme metafisik menganggap kontradiksi sebagai hal yang irasionil bukan sebagai hal
yang nyata, disinilah letak dari idealisme Feurbach. Pandangannya bertolak daripada
materialisme tetapi metode penyelidikan yang dipakai ialah metafisis. Metode metafisis
inilah yang menjadi kelemahan terbesar bagi materialisme Feurbach.

3. Materialisme Dialektis
Materialisme dialektis adalah aliran filsafat yang bersandar pada matter (benda) dan
metodenya dialektis. Aliran ini mengajarkan bahwa materi itu mempunyai keterhubungan
satu dengan lainnya, saling mempengaruhi, dan saling bergantung satu dengan lainnya.
Gerak materi itu adalah gerakan yang dialektis yaitu pergerakan atau perubahan menuju
bentuk yang lebih tinggi atau lebih maju seperti spiral. Tokoh-tokoh pencetus filsafat ini
adalah Karl Marx (1818-1883 M), Friedrich Engels (1820-1895 M).

Gerakan materi itu adalah gerak intern, yaitu bergerak atau berubah karena dorongan dari
faktor dalamnya (motive force-nya). Yang disebut diam itu hanya tampaknya atau
bentuknya, sebab hakikat dari gejala yang tampaknya atau bentuknya diam itu isinya tetap
gerak, jadi diam itu juga suatu bentuk gerak.

Metode yang dipakai adalah dialektika Hegel, Marx mengakui bahwa orang Yunani-lah yang
pertama kali menemukan metode dialektika, tetapi Hegel-lah yang mensistematiskan
metode tersebut. Tetapi oleh Marx dijungkir balikkan dengan bersandarkan materialisme.
Marx dan temannya Engels mengambil materialisme Feurbach dan membuang metodenya
yang metafisis sebagai dasar dari filsafatnya. Dan memakai dialektika sebagai metode dan
membuang pandangan idealis Hegel.

Dialektika Hegel menentang dan menggulingkan metode metafisis yang selama beabadabad menguasai lapangan filsafat. Hegel mengatakan yang penting dalam filsafat adalah
metode bukan kesimpulan-kesimpulan mengenai ini dan itu. Ia menunjukkan kelemahankelemahan
metafisika
:

1. Kaum metafisis memandang sesuatu bukan dari keseluruhannya, tidak dari saling
hubungannya, tetapi dipandangnya sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, sedangkan Hegel
memandang dunia sebagai badan kesatuan, segala sesuatu didalamnya terdapat saling
hubungan organic.

2. Kaum metafisis melihat segala sesuatu tidak dari geraknya, melainkan sebagai yang
diam, mati dan tidak berubah-ubah, sedang Hegel melihat segala sesuatu dari
perkembangannya, dan perkembangannya itu disebabkan kontradiksi internal, kaum

metafisik berpendapat bahwa: segala yang bertentangan adalah irasionil. Mereka tidak
tahu bahwa akal (reason) itu sendiri adalah pertentangan.

3. Sumbangan Hegel yang terpenting adalah kritiknya tentang evolusi vulgar, yang pada
ketika itu sangat merajalela, dengan mengemukakan teorinya tentang lompatan
lompata (sprong)
dalam proses perkembangan. Sebelum Hegel sudah banyak filsuf yang mengakui bahwa
dunia ini berkembang, dan meninjau sesuatu dari proses perkembangannya,
perkem
tetapi
perkembangannya hanya terbatas pada perubahan yang berangsur-angsur
berangsur angsur (perubahan
evolusioner) saja. Sedang Hegel berpendapat dalam proses perlembangan itu pertentangan
intern makin mendalam dan meruncing dan pada suati tingkat tertentu perubahan
berangsur-angsur
angsur terhenti dan terjadilah lompatan. Setelah lompatan itu terjadi, maka
kwalitas sesuatu itu mengalami perubahan.

Akan tetapi dialektika Hegel ini diselimuti dengan kulit mistik, reaksioner, yaitu pandangan
idealismenya sehingga dia memutar balikkan keadaan sebenarnya. Hukum tentang
tentan
dialektika yaitu hukum tentang saling hubungan dan perkembangan gejala-gejala
gejala
yang
berlaku didunia ini dipandangnya bukan seabagai suatu hal yang obyektif, yang primer
melainkan perwujudan dari ide absolut. Kulitnya yang reaksioner inilah yang kemudian
dibuang oleh Marx, dan isinya yang rasionil diambil serta ditempatkan pada kedudukan
yang benar.

Sedangkan jembatan antara Marx dan Hegel adalah Feurbach,


bach, Materialisme dijadikan
sebagai dasar filsafatnya tetapi Feurbach melihat gerak dari penjuru idealisme yang
membuat ia berhenti dan membuang dialektika Hegel.. Membuat hasil pemeriksaannya
terpisah dan abstrak, Marx membuang metode metafisisnya, dan menggantinya dengan
dialektika, sehingga menghasilkan sebuah system filsafat baru yang lebih kaya dan lebih
sempurna dari pendahulunya.

Naturalisme
Naturalisme berasal dari kata nature. Kadang pendefinisikan nature hanya dalam makna
dunia material saja, sesuatu selain fisik secara otomatis menjadi supranatural. Tetapi
dalam realita, alam terdiri dari alam material dan alam spiritual, masing-masing
masing
dengan
hukumnya sendiri. Era Pencerahan, misalnya, memahami alam bukan sebagai keberadaan
benda-benda
benda fisik tetapi sebagai asal dan fondasi kebenaran. Ia tidak memperlawankan
material dengan spiritual, istilah itu mencakup bukan hanya alam fisik tetapi juga alam
a
intelektual dan moral.

Salah satu ciri yang paling menakjubkan dari alam semesta adalah keteraturan. Benak
manusia sejak dulu menangkap keteraturan ini. Terbit dan tenggelamnya Matahari,
peredaran planet-planet
planet dan susunan bintang-bintang
bintang
yang bergeser
er teratur dari malam ke
malam sejak pertama kali manusia menyadari keberadaannya di dalam alam semesta,
hanya merupakan contoh-contoh
contoh sederhana.

Ilmu pengetahuan itu sendiri hanya menjadi mungkin karena keteraturan tersebut yang
kemudian dibahasakan lewat hukum-hukum matematika. Tugas ilmu pengetahuan
umumnya dapat dikatakan sebagai menelaah, mengkaji, menghubungkan semua
keteraturan yang teramati. Ilmu pengetahuan bertujuan menjawab pertanyaan bagaimana
dan mengapa. Namun khusus untuk kosmologi, pertanyaan mengapa ini di titik tertentu
mengalami
kesulitan
yang
luar
biasa.
Sebagai suatu telaah mengenai alam semesta, kosmologi abad ke-20 yang dikenal
sekarang ini berkembang dan diterima sebagai sintesis besar berbagai cabang ilmu
pengetahuan alam. Kosmologi ini berupaya memperoleh pengertian yang menyeluruh
mengenai struktur spasial, temporal, dan komposisional alam semesta skala besar dengan
maksud mempersatukan tampilan dan sifat alam semesta teramati ke dalam suatu hopitesis
yang
akan
mendefinisikan
struktur
dan
evolusinya.
Kosmologi mengalami kemajuan yang luar biasa pesat terutama karena dukungan
kecanggihan piranti pengamatan astronomis, serta laboratorium fisika zarah yang mampu
menyediakan ruang-waktu mirip masa lampau alam semesta dini. Sementara teori-teori
fisika kontemporer menyediakan tetapan-tetapan dasar yang memungkinkan perilaku
berbagai tampilan alam semesta dalam skala yang berbeda-beda kian dimengerti.
FAHAMAN-FAHAMAN YANG DIAJARKAN

Plato. (427 347 SM)

Salah satu anasir dasar adalah perbedaan yang nyata antara gejala (fenomena) dan bentuk
ideal (eidos), dimana plato berpandangan bahwa, disamping dunia fenomen yang kelihatan,
terdapat suatu dunia lain, yang tidak kelihatan yakni dunia eidos. Dunia yang tidak kelihatan
itu tercapai melalui pengertian (theoria). Apa arti eidos dan hubungannya dengan dunia
fenomena bahwa memang terdapat bentuk-bentuk yang ideal untuk segala yang terdapat
dibumi ini. Tetapi asalnya tidak lain daripada dari sumber segala yang ada, yakni yang tidak
berubah dan kekal, yang sungguh-sungguh indah dan baik yakni budi Ilahi (nous), yang
menciptakan eidos-eidos itu dan menyampaikan kepada kita sebagai pikiran. Sehinnga
dunia eidos merupakan contoh dan ideal bagi dunia fenomena.

Aristoteles
(384

322
SM).
Aristoteles menyatakan bahwa mahluk-mahluk hidup didunia ini terdiri atas dua prinsip :
1. Prinsip formal, yakni bentuk atau hakekat adalah apa yang mewujudkan mahluk hidup
tertentu
dan
menentukan
tujuannya.
2. Prinsip material, yakni materi adalah apa yang merupaakn dasar semua mahluk.

Sesudah mengetahui sesuatu hal menurut kedua prinsip intern itu pengetahuan tentang hal
itu perlu dilengkapi dengan memandang dua prinsip lain, yang berada diluar hal itu sendiri,
akan tetapi menentukan adanya juga. Prinsip ekstern yang pertama adalah sebab yang
membuat, yakni sesuatu yang menggerakan hal untuk mendapat bentuknya.

Prinsip ekstern yang kedua adalah sebab yang merupakan tujuan, yakni sesuatu hal yang
menarik hal kearah tertentu. Misalnya api adalah untuk membakar, jadi membakar
merupakan prinsip final dari api. Ternyata pandangan tentang prisnip ekstern keuda ini
diambil dari hidup manusia, dimana orang bertindak karena dipengaruhi oleh tujuan tertentu,
pandangan ini diterapkan pada semau mahluk alam. Seperti semua mahluk manusia terdiri
atas dua prinsip, yaitu materi dan bentuk.

Meteri adalah badan, karena


rena badan material itu manusia harus mati, yang memberikan
bentuk kepada materi adalah jiwa. Jiwa manusia mempunyai beberapa fungsi yaitu
memberikan hidup vegetatif (seperti jiwa tumbuh-tumbuhan),
tumbuh tumbuhan), lalu memberikan hidup sensitif
(seperti jiwa binatang) akhirnya
irnya membentuk hidup intelektif. Oleh karena itu jiwa intelektif
manusia mempunyai hubungan baik dengan dunia materi maupun dengan dunia rohani,
maka Aristoteles membedakan antara bagian akal budi yang pasif dan bagian akal budi
yang aktif. Bagian akal budi
di yang pasif berhubungan dengan materi, dan bagian akal budi
yang yang aktif berhubungan dengan rohani. Bagian akal budi yang aktif itu adalah bersifat
murni dan Illahi.
Akal budi yang aktif menjalankan dua tugas. Tugas yang pertama adalah memandanf yang
Illahi untuk mencari pengertian tentang mahluk-mahluk
mahluk mahluk menurut bentuknya masing-masing.
masing
Tugas yang kedua dari akal budi manusia yang aktif adalah memberikan bimbingan kepada
hidup praktis. Disini diperlukan sifat keberanian, keadilan dan kesederhanaan.

William
illiam R. Dennes. (Filsuf Modern)
Beberapa pandangan :
1. Kejadian dianggap sebagai ketegori pokok, bahwa kejadian merupakan hakekat
terdalam dari kenyataan, artinya apapun yang bersifat nyata pasti termasuk dalam
kategori alam.
2. Yang nyata ada pasti bereksistensi, sesuatu yang dianggap terdapat diluar ruang
dan waktu tidak mungkin merupakan kenyataan dan apapun yang dianggap tidak
mungkin ditangani dengan menggunakan metode-metode
metode metode yang digunakan dalam
ilmu-ilmu
ilmu alam tidak mungkin merupakan kenyataan.
3. Analisa terhadap kejadian-kejadian,
kejadian
bahwa faktor-faktor
faktor penyusun seganap kejadian
ialah proses, kualitas, dan relasi.
4. Masalah hakekat terdalam merupakan masalah ilmu, bahwa segenap kejadian baik
kerohanian, kepribadian, dan sebagainya
sebagainya dapat dilukiskan berdasarkan
kategorikategori proses, kualitas dan relasi.
5. Pengetahuan ialah memahami kejadian-kejadian
kejadian kejadian yang saling berhubungan,
pemahaman suatu kejadian, atau bahkan kenyataan, manakala telah mengetahui
kualitasnya, seginya, susunanya, satuan penyusunnya, sebabnya, serta akibatakibat
akibatnya.

Neoplatonisme
Neoplatonisme dapat dipandang sebagai usaha terakhir roh Yunani untuk menentang
agama Kristen yang sedang tumbuh. Neoplatonisme sesuai namanya merupakan

pembaharuan ajaran Plato dengan memperkayanya dan disesuaikan dengan kebutuhan


zaman.

Dualisme Plato adalah hal yang ditekankan dalam Neoplatonisme. Maksudnya untuk
menekankan bahwa yang ilahi menjadi asas segala yang ada dan menjadi asal bersama
dari segala sesuatu, baik yang dapat diamati maupun tidak, serta menjadi tujuan terakhir
segala sesuatu yang ada.

Ammonius Sakkas dari Alexandria adalah pencipta Neoplatonisme, tetapi ia tidak terkenal
seperti Plotinus.
lotinus. Plotinus adalah seseorang yang mengklaim mendapat ajaran langsung dari
Ammonius Sakkas. Ia juga yang memberi pendasaran pada aliran Neoplatonisme. Inilah
yang membuatnya lebih populer.

Ada beberapa ajaran Plotinus yang merupakan tambahan terhadap


terhadap ajaran plato, yaitu
sebagai berikut:
1. Menjadikan filsafat Plato yang antroposentris yang bersifat pada manusia menjadi
filsafat yang teosentris yang berpusat kepada Yang ilahi.
2. Penambahan roh (nous) pada substansi dalam manusia. Roh diperlakukan sebagai
sarana untuk memberikan rasionalitas kepada jiwa. Roh sebagai jembatan dalam
mendapatkan pengetahuan
pengetahuan yang lebih dari pengetahuan tentang benda-benda,
benda
yaitu
idea. Dengan kata lain, roh merupakan hal utama dalam hubungan antara manusia
dan Yang ilahi.

Filsuf aliran Neoplatonisme yang diketahui adalah Porphyry, Lamblichus Chalcidensis,


Proclus Lycaeus, Julian (Penguasa Romawi tahun 361-363),
361 363), Simplicius, dan Gemistus
Pletho.

Positivisme
Positivisme adalah salah satu aliran filsafat modern. Istilah Positivisme pertama kali
digunakan oleh Francis Biken seorang filosof berkebangsaan Inggeris. Ia berkeyakinan
berkeyaki
bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi
komprehensi komprehensi pikiran dan apriori akal tidak
boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi
atas hukum alam. Istilah ini kemudian juga digunakan oleh Agust Comte dan dipatok secara
mutlak sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan
tahapan tahapan agama dan filsafat.

Agust Comte berkeyakinan bahwa pengetahuan manusia melewati tiga tahapan sejarah:
pertama, tahapan agama dan ketuhanan, pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomenafenomena
fenomena
nomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan;
Tuhan
tahapan kedua, adalah tahapan filsafat, yang menjelaskan fenomena-fenomena
fenomena fenomena dengan
pemahaman-pemahaman
pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan
eksistensi; dan
an adapun Positivisme sebagai tahapan ketiga, menafikan semua bentuk tafsir

agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap
fenomena-fenomena.

Pada tahun 1930 M, istilah Positivisme berubah lewat kelompok lingkaran Wina
W
menjadi
Positivisme Logikal, dengan tujuan menghidupkan kembali prinsip tradisi empiris abad ke
19. Lingkaran Wina menerima pengelompokan proposisi yang dilakukan Hume dengan
analitis dan sintetis, dan berasaskan ini kebenaran proposisi-proposisi
proposisi proposisi empiris
empir dikategorikan
bermakna apabila ditegaskan dengan penyaksian dan eksperimen, dan proposisi-proposisi
proposisi
metafisika yang tidak dapat dieksprimenkan maka dikategorikan sebagai tidak bermakna
dan tidak memiliki kebenaran.

Relasi antara Positivisme dan Gejala-Gejala


Gejala
Sosial
Tesis positivisme adalah : bahwa ilmu adalah satu-satunya
satu satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta
fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan.
Dengan demikian positivisme menolak keberadaan segala kekuatan atau subjek diluar fakta,
fakta
menolak segala penggunaan metoda di luar yang digunakan untuk menelaah fakta. Atas
kesuksesan teknologi industri abad XVIII, positivisme mengembangkan pemikiran tentang
ilmu pengetahuan universal bagi kehidupan manusia, sehingga berkembang etika, politik,
politik
dan lain-lain
lain sebagai disiplin ilmu, yang tentu saja positivistik. Positivisme mengakui
eksistensi dan menolak esensi. Ia menolak setiap definisi yang tidak bisa digapai oleh
pengetahuan manusia. Bahkan ia juga menolak nilai (value).
Dasar dari pandangan
n positivistik dari ilmu sosial budaya tersebut yakni adanya anggapan
bahwa:
1. gejala sosial budaya merupakan bagian dari gejala alami,
2. ilmu sosial budaya juga harus dapat merumuskan hukum-hukum
hukum hukum atau generalisasigeneralisasi
generalisasi yang mirip dalil hukum alam,
3. berbagai prosedur serta metode penelitian dan analisis yang ada dan telah
berkembang dalam ilmu-ilmu
ilmu ilmu alam dapat dan perlu diterapkan dalam ilmu-ilmu
ilmu
sosial
budaya. Akibatnya, ilmu sosial budaya menjadi bersifat predictive dan explanatory
sebagaimana halnya dengan ilmu alam dan ilmu pasti. Generalisasi-generalisasi
Generalisasi
tersebut merangkum keseluruhan fakta yang ada namun sering kali menegasikan
adanya contra-mainstream.
mainstream. Manusia, masyarakat, dan kebudayaan dijelaskan
secara matematis dan fisis.

Pragmatisme
Istilah
ilah pragmatisme berasal dari kata Yunani pragma yang berarti perbuatan atau tindakan.
isme di sini sama artinya dengan isme-isme
isme isme yang lainnya yaitu aliran, ajaran atau paham.
Dengan demikian pragmatisme adalah ajaran yang menekankan bahwa pemikiran itu
it
menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah faedah atau manfaat. Suatu teori atau
hipotesis dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata
lain, suatu teori adalah benar if it works ( apabila teori dapat diaplikasikan).

Pragmatisme adalah aliran pemikiran yang memandang bahwa benar tidaknya suatu
ucapan, dalil, atau teori, semata-mata bergantung kepada berfaedah atau tidaknya ucapan,
dalil, atau teori tersebut bagi manusia. Ide ini merupakan budaya dan tradisi berpikir
Amerika khususnya dan Barat pada umumnya, yang lahir sebagai sebuah upaya intelektual
untuk menjawab problem-problem yang terjadi pada awal abad ini. Pragmatisme mulai
dirintis di Amerika oleh Charles S. Peirce (1839-1942), yang kemudian dikembangkan oleh
William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

Tentu saja, Pragmatisme tak dapat dilepaskan dari keberadaan dan perkembangan ide-ide
sebelumnya di Eropa, sebagaimana tak bisa diingkari pula adanya pengaruh dan imbas
baliknya terhadap ide-ide yang dikembangkan lebih lanjut di Eropa. William James
mengatakan bahwa Pragmatisme yang diajarkannya, merupakan nama baru bagi sejumlah
cara berpikir lama. Dan dia sendiri pun menganggap pemikirannya sebagai kelanjutan dari
Empirisme Inggris, seperti yang dirintis oleh Francis Bacon (1561-1626), yang kemudian
dikembangkan oleh Thomas Hobbes (1558-1679) dan John Locke (1632-1704).
Pragmatisme telah mempengaruhi filsafat Eropa dalam berbagai bentuknya, baik filsafat
Eksistensialisme maupun Neorealisme dan Neopositivisme.

Dengan demikian Pragmatisme dapat dikategorikan ke dalam pembahasan mengenai teori


kebenaran (theory of truth), sebagaimana yang nampak menonjol dalam pandangan William
James, terutama dalam bukunya The Meaning of The Truth (1909).Pada awal
perkembangannya, pragmatisme lebih merupakan suatu usaha-usaha untuk menyatukan
ilmu pengetahuan dan filsafat agar filsafat dapat menjadi ilmiah dan berguna bagi kehidupan
praktis manusia. Sehubungan dengan usaha tersebut, pragmatisme akhirnya berkembang
menjadi suatu metoda untuk memecahkan berbagai perdebatan filosofis-metafisik yang
tiada henti-hentinya, yang hampir mewarnai seluruh perkembangan dan perjalanan filsafat
sejak zaman Yunani kuno.

Munculnya

Pragmatisme

Kendati pragmatisme merupakan filsafat Amerika, metodenya bukanlah sesuatu yang sama
sekali baru, Socrates sebenarnya ahli dalam hal ini, dan Aristoteles telah menggunakannya
secara metodis John Locke (1632 1704), George Berkeley (1685 1753), dan Dayid
Hume (1711 1776) mempunyai sumbangan yang sangat berarti dalam pemikiran
pragmatis ini. Dari segi historis, abad ke-19 di tandai dengan skeptisisme yang di tiupkan
oleh teori evolusi Darwin. Nilai religius dan spiritual menjadi, dipertanyakan.

Filsafat Unitarian, suatu aliran pemikiran yang hanya menerima ke Esaan, Tuhan yang
bergantung pada argumen-argumen tentang teologi kodrati dan perwahyuan, lemah dalam
membela diri terhadap evolusionisme. Karena kaum ilmuan menerima teori evolusi Darwin,
filosof-filosof Unitarian menjadi tenggelam. Lebih lagi karena keyakinan bahwa pemikiran
mengenai proses seleksi dan evolusi alamiah berakhir dengan atheisme dan bahwa
manusia hanya bisa membenarkan eksistensinya dengan agama, mereka tidak dapat
mengintegrasikan hipotesis evolusi ke dalam keyakinan mereka.

Pada saat yang sama, suatu kelompok pemikir dari Harvard menemukan suatu jalan untuk
menghadapi krisis teologi ini tanpa mengorbankan ajaran agama yang essensial. Kelompok
ini melihat bahwa suatu interpretasi yang mekanistis tentang teori Darwin dapat
menghancurkan agama dan dapat mengarah ke aliran ateisme yang fatalistis. Mereka
khawatir bahwa interpretasi ini dapat berakhir dengan sikap yang pasif, apatis, bunuh diri
dan semacamnya. Karena itu mereka menganjurkan agar evolusi Darwin dipahami secara
lain. Dan karena filsafat Unitarian sendiri hampir mati, kelompok ini yang dikenal dengan
Perkumpulan Metafisika, menyusun prinsip-prinsip pragmatisme baik secara bersama
maupun secara individual dalam menghadapi evolusi Darwin

Istilah pragamatisme sebenarnya diambil oleh C.S. Peirce dari Immanuel Kant. Kant sendiri
memberi nama keyakinan-keyakinan hipotesa tertentu yang mencakup penggunaan suatu
sarana yang merupakan suatu kemungkinan real untuk mencapai tujuan tertentu. Manusia
memiliki keyakinan-keyakinan yang berguna tetapi hanya bersifat kemungkinan belaka,
sebagaimana dimiliki oleh seorang dokter yang memberi resep untuk menyembuhkan
penyakit tertentu. Tetapi Kant baru melihat bahwa keyakinan-keyakinan pragmatis atau
berguna seperti itu dapat di terapkan misalnya dalam penggunaan obat atau semacamnya.
la belum menyadari bahwa keyakinan seperti itu juga cocok untuk filsafat.
Karen Peirce sangat tertarik untuk membuat filsafat dapat diuji secara ilmiah atau
eksperiemntal, ia mengambil alih istilah pragmatisme untuk merancang suatu filsafat yang
mau berpeling kepada konsekwensi praktis atau hasil eksperimental sebagai ujian bagi arti
dan validitas idenya.

Filsafat tradisional, menurut Peirce, sangat lemah dalam metode yang akan memberi arti
kepada ide-ide filosofis dalam rangka eksperimental serta metode yang akan menyusun dan
memperluas ide-ide dan kesimpulan-kesimpulan sampai mencakup fakta-fakta baru.
Metafisika dan logika tradisional hanya mengajukan teori-teori yang tertutup dan murni
tentang arti, kebenaran, dan alam semesta.

Pendeknya, Filsafat tradisional tidak menambah sesuatu yang baru. Dengan sistemnya
yang tertutup tentang kebenaran yang absolut, filsafat tradisional lebih menutup jalan untuk
diadakan penyelidikan dan bukannya membawa kemajuan bagi filsafat dan ilmu
pengetahuan. Dalam rangka itulah Peirce mencoba merintis suatu pemikiran filosofis baru
yang agak lain dari pemikiran filosofis tradisional.

Pemikiran filosofis yang baru ini diberi nama Pragmatisme. Pragmatisme lalu dikenal pada
permulaannya sebagai usaha Peirce untuk merintis suatu metode bagi pemikiran filosofis
sebagaimana yang dikehendaki di atas.

Pragmatisme merupakan bagian sentral dari usaha membuat filsafat tradisional menjadi
ilmiah. Tetapi untuk merevisi seluruh pemikiran filosofis tradisional bukan suatu hal yang

mudah. Untuk maksud benar-benar


benar
dibutuhkan
butuhkan revisi dalam logika dan metafisika yang
merupakan dasar filsafat.

Empirisme itu sendiri pada abad XIX dan XX berkembang lebih jauh menjadi beberapa
aliran yang berbeda, yaitu Positivisme, Materialisme, dan Pragmatisme.Positivisme dirintis
oleh August Comte (1798-1857),
1857), yang dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi. Positivisme
sebagai perkembangan Empirisme yang ekstrim, adalah pandangan yang menganggap
bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah data-data
data data yang nyata/empirik, atau
yang mereka
reka namakan positif.

Materialisme adalah aliran yang menganggap bahwa asal atau hakikat segala sesuatu
adalah materi. Di antara tokohnya ialah Feuerbach (1804-1872),
(1804 1872), Karl Marx (1818-1883)
(1818
dan
Fredericht Engels (1820-1895).
1895). Karl Marx menerima konsep Dialektika
Dialektika Hegel, tetapi tidak
dalam bentuk aslinya (Dialektika Ide).

Kemudian dengan mengambil Materialisme dari Feuerbach, Karl Marx lalu mengubah
Dialektika
tika Ide menjadi Dialektika Materialisme, sebuah proses kemajuan dari kontradiksikontradiksi
kontradiksi tesis-antitesis-sintesis
sintesis yang sudah diujudkan dalam dunia materi. Pragmatisme
adalah salah satu aliran yang berpangkal pada Empirisme, kendatipun ada pula pengaruh
pengaru
Idealisme Jerman (Hegel)) pada John Dewey, seorang tokoh Pragmatisme yang dianggap
pemikir paling berpengaruh pada zamannya. Selain John Dewey, tokoh Pragmatisme
Pra
lainnya adalah Charles Pierce dan William James.

Pencetus
dan
Tokoh tokoh
Tokoh-tokoh
Pragmatisme
Berbicara tentang suatu aliran tertentu, kita tidak lepas dari siapa pencetus Pragmatisme di
Amerika Serikat, serta tokoh-tokohnya
tokoh
yang berpengaruh. Ini berartii bahwa kita di bawa
untuk melihat siapa pencetus dan tokoh-tokoh
tokoh tokoh lainnya. Menurut Copleston, pemula aliran
pragmatisme di Amerika Serikat dalam C.S. Peirce (1839-1914).
(1839

Secara pasti, pragmatisme lebih populer dan selalu dikaitkan dengan nama William James,
Jam
karena dialah yang mempopulerkannya. Hal ini bisa dimenegerti karena James sebagai
lektor dan penulis lebih cepat terkenal dari pada Peirce sebagai filosof selama hidupnya.

Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang menyatakan kebenaran haruslah ditentukan
di
melalui
pembuktian, logika, dan dan analisis yang berdasarkan fakta. Paham ini menjadi salah satu
bagian dari renaissance atau pencerahan dimana timbul perlawanan terhadap gereja yang
menyebar ajaran dengan dogma-dogma
dogma
yang tidak bisa diterima oleh
h logika.
Filsafat Rasionalisme sangat menjunjung tinggi akal sebagai sumber dari segala
pembenaran. Segala sesuatu harus diukur dan dinilai berdasarkan logika yang jelas. Titik
tolak pandangan ini didasarkan kepada logika matematika. Pandangan ini sangat popular

pada abad 17. Tokoh-tokohnya adalah Rene Descartes (1596-1650), Benedictus de


Spinoza biasa dikenal: Barukh Spinoza (1632-1677), G.W. Leibniz (1646-1716), Blaise
Pascal (1623-1662).

Hubungan Jiwa dan Badan : Descartes mengatakan bahwa aku itu terdiri dari dua substansi,
yakni substansi jiwa dan substansi jasmani atau materi. Descartes selanjutnya membedakan
antara substansi manusia dan hewan pada rasio atau jiwanya.

Descartes mengatakan, manusia memiliki kebebasan yang mana tidak dimiliki oleh hewan.
Hewan dalam prilakunya selalu terbentuk secara otomatis, bukan dengan kebebasan karena
hewan tidak memiliki jiwa sebagai dasar kemandirian substansi.

Adapun kesamaan antara hewan dan manusia adalah pada jasmani atau tubuhnya, karena
itu bisa dikatakan bahwa sesungguhnya tubuh manusiapun sebenarnya berjalan secara
otomatis dan tunduk kepada hukum-hukum alam.

Descartes selanjutnya menyebut tubuh adalah sebagai L`homme machine atau mesin yang
bisa berjalan secara otomatis (berjalan sendiri). Badan bisa bergerak, bernafas,
mengedarkan darah dan seterusnya tanpa campur tangan pikiran atau jiwa. Perbedaannya
adalah kalau pada manusia mesin ini diatur atau dikontrol oleh jiwa sementara pada hewan
mesin ini berjalan secara alami atau otomatis.

Bagaimana jiwa mengatur atau mengontrol tubuh (mesin), Descartes menjelaskannya


dengan menunjukkan sebuah kelenjar kecil (glandula pinealis) yang ada di otak sebagai
semacam jembatan. Dengan adanya kelenjar kecil yang berfungsi sebagai jembatan
penghubung ini maka tubuh bisa merepleksikan aktifitas-aktifitas unik seperti gembira,
bersedih, tertawa , murung dan lain-lain.

Etika

Dalam hal etika, Descartes mempunyai pandangan dualitas dimana disatu sisi dikatakan
manusia bebas dan independen dan disisi lainnya dikatakan bahwa kebebasan tersebut
tidak independen melainkan dituntun oleh Tuhan.

Descartes mengatakan, untuk mencapai jiwa yang bebas dan independen maka kita harus
mengendalikan hasrat-hasrat yang ada didalam diri kita sehingga jiwa bisa menguasai
tingkah laku kita sepenuhnya. Dengan menguasai atau mengontrol hasrat dan tingkah laku,
manusia bisa memiliki kebebasan spiritual. Hal ini bisa terjadi karena hasrat dan nafsu
seperti : cinta, kebencian, kekaguman, kegembiraan, kesedihan dan gairah dianggap
sebagai keadaan pasif dari jiwa dan jika manusia mampu menaklukkan nafsu-nafsu ini maka
dia
akan
bebas
dan
independen.

Akan tetapi kata Descartes, yang disebut bebas dan independen dalam pengertian otonomi
tersebut bukanlah bebas mutlak melainkan bebas berdasarkan penyelenggaraan Ilahi.

Problem dan Pengaruh Filsafat Descartes

Pandangan Filsafat Descartes terutama tentang dasar


dasar filsafat cogito nya, selanjutnya
dipercaya sebagai tonggak dimulainya filsafat rasionalis. Dengan cogito Descartes
mengandaikan bahwa pikiran atau kesadaran akan melukiskan kenyataan diluar pikiran kita,
dengan kata lain keadaan diluar pikiran atau kenyataan
kenyataan yang kita temui diluar pikiran adalah
bersumber dari pikiran atau kesadaran diri kita. Dengan cara menyadari kesadaran diri kita
sendiri maka kita akan mengenal dunia diluar diri kita.

Pandangan Descartes tersebut dikemudian hari malah menimbulkan problem yang sangat
mendasar, jika dikatakan bahwa pikiranlah yang melukiskan kenyataan diluar pikiran, namun
pada kenyataan tidak disemua lukisan akan menampilkan kenyataan.
Dengan kata lain, Descartes hanya berpijak kepada salah satu alat sementara alat yang
lainnya ( kenyataan material ) diabaikan. Descartes beranggapan bahwa hanya dengan
rasio atau kesadaran (cogito) maka kita akan mengenali diri dan pikiran kita, sementara
kenyataannya kita masih melihat adanya ada lain di alam kenyataan.

Strukturali
Strukturalisme
Aliran filsafat eksistensialisme yang menjadi mode berfilsafat pada pertengahan abad ke-20
ke
mendapat reaksi dari aliran Strukturalisme. Jika eksistensialisme menekankan pada
peranan individu, maka strukturalisme juga melihat manusia terkungkung dalam berbagai
struktur dalam kehidupannya. Secara garis besar ada dua pengertian pokok yang sangat
erat
kaitannya
dengan
strukturalisme
sebagai
aliran
filsafat.
a. Strukturalisme adalah metode atau metodologi yang digunakan untuk mempelajari ilmuilmu
ilmu kemanusiaan
iaan dengan bertitik tolak dari prinsip-prinsip
prinsip prinsip linguistik yang dirintis oleh
Ferdinandde
Saussure.
b. Strukturalisme merupakan aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul
dalam sejarah filsafat. Di sini metodologi struktural dipakai untuk membahas
me
tentang
manusia, sejarah, kebudayan dan alam, yaitu dengan membuka secara sistematik strukturstruktur
struktur kekerabatan dan struktur-struktur
struktur struktur yang lebih luas dalam kesusasteraan dan dalam
pola-pola
pola
psikologik
tak
sadar
yang
menggerakkan
tindakan
manusia.
Para sturukturalis filosofis yang menerapkan prinsip-prinsip
prinsip prinsip strukturalisme linguistic dalam
berfilsafat bereaksi terhadap aliran filsafat Fenomenologi dan eksistensialisme yang melihat
manusia
dari
sudut
pandang
yang
subjektif.
Tokoh berpengaruh dalam aliran filsafat strukturalisme adalah Michel Foucault (1926-1984).
(1926

Kesudahan manusia sudah dekat, itulah pendirian Foucault yang sudah terkenal tentang
kematian manusia. Maksud Foucault bukannya bahwa nanti tidak ada manusia lagi,
melainkan bahwa akan hilang konsep manusia sebagai suatu kategori istimewa dalam
pemikiran kita. Manusia akan kehilangan tempatnya yang sentral dalam bidang
pengetahuan dan dalam kultur seluruhnya.

Thomisme
Thomisme adalah aliran filsafat yang muncul sebagai warisan dari pemikiran St Thomas
Aquinas , seorang imam Katolik yang saleh. Kata ini berasal dari Summa Theologica, salah
satu dokumen paling berpengaruh dalam filsafat abad pertengahan dan terus dipelajari hari
ini di kelas filsafat. Dalam ensiklopedi Angelici Doctoris
Doctoris , Paus St Pius X mengingatkan
bahwa ajaran-ajaran
ajaran Gereja tidak bisa dipahami secara ilmiah tanpa dasar-dasar
dasar
filosofis
dasar utama tesis 'Thomas.

Filsafat Thomistik

St Thomas Aquinas percaya bahwa kebenaran adalah benar di mana pun ditemukan,
seperti juga para filsuf Yunani , Romawi , Yahudi , dan Muslim. Secara khusus, ia adalah
seorang realis (yaitu, bahwa dunia dapat diketahui seperti apa adanya, berlawanan dengan
sikap skeptis ). Dia terutama mengikuti terminologi dan metafisika Aristoteles,
Aristoteles dan menulis
komprehensif komentar tentang Aristoteles , ini dapat melaui argumennya yang
menegaskan pendapat Aristoteles.
Aristoteles
Thomas mengikuti pemahaman Aristoteles, merujuk kepadanya sebagai
ebagai "Filsuf". Ia juga
mengikuti beberapa prinsip neoplato, seperti ketika ia mengatakan bahwa "adalah mutlak
benar bahwa ada sesuatu yang pertama yang pada dasarnya ada dan pada dasarnya baik ,
yang kita sebut Allah, ... [dan bahwa segala sesuatu] bisa disebut baik dan ada, sejauh ia
berpartisipasi di dalamnya dengan cara suatu asimilasi tertentu ... "

Anda mungkin juga menyukai