Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
A. Judul Percobaan
Pengontakkan dan Pencetusan Materi Uji Ke Dalam Tubuh Kelinci
(Orictolagus cuniculus) dan Anak Ayam (Gallus domesticus)
B. Tujuan Percobaan
1. Mahasiswa memiliki ketrampilan dalam memasukan zat uji ke dalam tubuh
kelinci dan anak ayam
2. Mahasiswa mampu mencetuskan dan mengenali efek yang ditimbulkan zat
uji terhadap hewan uji kelinci (Orictolagus cuniculus) dan anak ayam
(Gallus domesticus)
II. METODE
A. Alat dan Bahan
a. Alat
1. Gunting
2. Hypafix (perekat)
3. Kandang
4. Siring (alat suntik)
5. Penggerus
b. Bahan
1. Kain kasa
2. Veet
3. Lipgloss
4. Lipstik biru
5. Lipstik merah kecil
6. Antimo 25 mg
7. Hewan kelinci (Orictolagus cuniculus)
8. Hewan anak ayam (Gallus domesticus)
B. Cara Kerja
1. Cetusan Iritasi
Hewan uji kelinci yang telah disiapkan dipegang. Hewan uji kelinci
dicukur rambutnya dengan luas 2x2 cm2 pada 4 tempat yang berbeda.
Kosmetik yang telah disiapkan dioles pada 3 tempat yang berbeda dan 1
tempat sebagai kontrol (tidak dioleskan kosmetik). Kemudian keempat
tempat tersebut ditutup dengan kain kasa. Setelah itu, diamkan dan lakukan
pengamatan pada 1 jam dan 24 jam kemudian. Diamati pengaruh yang
muncul terdapat ruam merah atau tidak. Hasil yang diamati dicatat.
2. Cetusan Tidur
Hewan uji anak ayam yang telah disiapkan dipegang. Materi uji yang
telah disiapkan (1/2 dosis manusia yaitu 25 mg antimo) dicekokkan melalui
oral (mulut anak ayam). Dihitung waktu lama tidur ayam dimulai saat anak
ayam onset hingga anak ayam segar kembali). Dosis yang diberikan dapat
dihitung dengan rumus :
V 1 M1
=
V 2 M2
keterangan : V1 = Volume pelarut (10 ml)
V2 = Volume pemberian (0,5 ml)
M1 = Massa terlarut
M2 = Massa pemberian (25 mg)
III.
A. Hasil Percobaan
Tabel 1. Cetusan Iritasi Pada Kelinci
No
Sampel
Waktu
1
Lipstik biru
Lipgloss (pink)
Kontrol
Pengamatan
1 jam
24 jam
1 jam
24 jam
1 jam
24 jam
1 jam
24 jam
Ruam
Ada
Tidak
+
+
-
Waktu Tidur
-
murah, aman, dan nyaman bagi pasien. Berbagai bentuk obat dapat di berikan
secara oral baik dalam bentuk tablet, sirup, kapsul atau puyer. Untuk membantu
absorbsi, maka pemberian obat per oral dapat di sertai dengan pemberian setengah
gelas air atau cairan yang lain. Keuntungan pemberian obat rute oral diantaranya
cocok dan nyaman bagi klien, ekonomis, dapat menimbulkan efek lokal atau
sistemik, dan jarang membuat klien cemas (Uliyah, 2009).
Kelemahan dari pemberian obat per oral adalah pada aksinya yang lambat
sehingga cara ini tidak dapat di pakai pada keadaan gawat. Obat yang di berikan
per oral biasanya membutuhkan waktu 30 sampai dengan 45 menit sebelum di
absorbsi dan efek puncaknya di capai setelah 1 sampai dengan 1 jam. Rasa dan
bau obat yang tidak enak sering mengganggu pasien. Cara per oral tidak dapat di
pakai pada pasien yang mengalami mual-mual, muntah, semi koma, pasien yang
akan menjalani pengisapan cairan lambung serta pada pasien yang mempunyai
gangguan menelan (Potter, 2000).
Memberikan obat secara sublingual merupakan pemberian obat dengan cara
meletakkannya dibawah lidah sampai diabsorbsi ke dalam pembuluh darah.
Tujuan pemberian obat secara sublingulal, yaitu:
1. Memperoleh efek local dan sistemik.
2. Memperoleh aksi kerja obat yang lebih cepat dibandingkan secara oral.
3. Menghindari kerusakan obat oleh hepar.
Secara umum persiapan dan langkah-langkah sama dengan pemberian obat
secara oral. Hal yang perlu diperhatikan adalah klien perlu diberi penjelasan untuk
meletakkan obat dibawah lidah, obat tidak boleh ditelan, dan biarkan berada di
bawah lidah sampai habis di absorbsi seluruhnya, seperti pemberian obat adalah,
nipedipine pada orang yang menderita tekanan darah tinggi (Saifudin, 2010).
Kelebihan pemberian obat secara sublingual yaitu obat yang digunakan cepat
bereaksi, tidak diperlukannya kemampuan untuk menelan dan kerusakan obat
disaluran cerna dan metabolism di dinding usus dan hati dapat dihindari (tidak
lewat vena porta), sedangkan kekurangan pemberian obat ini adalah absorbsi yang
dihasilkan tidak akurat, mencegah pasien untuk menelan (Voigt, 1995).
Pemberian obat secara parental biasanya dipilih bila diinginkan efek
cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak getah
lambung (hormon), atau tidak diabsorbsi usus (Tjay dan Rahardja, 2007). Rute
parental adalah memberikan obat dengan menginjeksi kedalam jaringan tubuh,
obat yang cara pemberiannya tanpa melalui mulut (tanpa melalui saluran
pencernaan) tetapi langsung ke pembuluh darah. Keuntungan pemberian obat
secara parenteral ialah efeknya timbul lebih cepat dan teratur dibandingkan
dengan pemberian per oral, dapat diberikan pada penderita yang tidak kooperatif
dan tidak sadar, serta sangat berguna dalam keadaan darurat. Kerugiannya ialah
efek toksik mudah terjadi karena kadar obat yang tinggi segera mencapai darah
dan jaringan (Surahman dkk., 2008).
Subkutan diberikan dengan menusuk area di bawah kulit yaitu pada jaringan
konektif atau lemak dibawah dermis. Setiap jaringan subkutan dapat dipakai
untuk area injeksi ini, yang lazim adalah pada lengan atas bagian luar, paha bagian
depan (Priharjo, 1995). Kelebihan pemberian obat secara subkutan yaitu
pemberian obat tidak diperlukan latihan yang rumit, absorbsi berlangsung cepat
obat dapat larut dalam air, dapat mencegah kerusakan disekitar cernaan,
sedangkan kekurangannya yaitu pemberian obat secara subkutan memberikan rasa
sakit dan dapat merusak kulit, tidak dapat dilunakan jika volume obat yang
digunakan besar, memberikan efek yang lambat (Voigt, 1995).
Injeksi intramuskular dilakukan dengan beberapa tujuan yaitu untuk
memasukkan obat dalam jumlah yang lebih besar dibanding obat yang diberikan
subkutan. Absorbsi juga lebih cepat dibandingkan dengan pemberian secara
subkutan karena lebih banyak suplai darah di otot. Pemberian dengan cara ini
dapat pula mencegah/mengurangi iritasi obat. Pemberian secara intramuskuler
dapat menyebabkan luka pada kulit dan rasa nyeri (Priharjo, 1995).
Pemberian obat intaravena dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pada
pasien yang tidak dipasang infuse, obat diinjeksi langsung pada vena. Bila cara ini
digunakan, maka biasanya dicari vena besar yaitu vena basilika atau vena sefalika
pada lengan. Obat dapat diberikan melalui botol infuse atau melalui karet pada
selang infuse yang dibuat untuk memasukkan obat (Priharjo, 1995). Pemberian
dengan cara ini memberiakan reaksi yang cepat untuk mencapai konsentrasi, dosis
yang digunakan tepat dan mudah menitrasi dosis. Kekurangan pemberian obat
dengan cara ini adalah obat yang sudah diberikan tidak dapat ditarik kembali
sehingga efek toksik lebih mudah terjadi, jika penderita alergi terhadap obat
reaksi alergi akan lebih terjadi, pemberian intravena harus dilakukan perlahanlahan sambil mengawasi respon penderita dan memerlukan keahlian dalam
melakukannya (Voigt, 1995).
Rektal adalah pemberian obat melalui rectum (dubur) yang layak untuk
obat yang merangsang atau yang diuraikan oleh asam lambung, biasanya dalam
bentuk supposittoria, kadang-kadang sebagai cairan. Pemberian obat ini biasanya
digunakan pada pasien yang mual atau muntah-muntah atau yang terlampau sakit
untuk menelan tablet (Tjay dan Rahardja, 2007). Kelebihan rute ini yaitu, sangat
baik sekali untuk obat yang dirusak oleh asam lambung,
diberikan untuk
mencapai takaran yang cepat dan tepat, tidak dapat dipakai jika pasien tidak biasa
per-oral, tidak dapat mencegah first-pass-metabolism, pilihan terbaik untuk
anak-anak, tetapi rute ini memiliki kekurangan berupa absorbsi yang dihasilkan
tidak akurat, banyak pasien tidak nyaman dengan rute ini (Voigt, 1995).
Inhalasi yaitu pemberian obat melalui saluran pernafasan. Saluran nafas
memiliki epitel untuk absorpsi yang sangat luas, dengan demikian berguna untuk
pemberian obat secara local, pada salurannya, misalnya salbutamol (ventolin),
combivent, berotek untuk asma, atau dalam keadaan darurat misalnya terapi
oksigen. Obat diberikan untuk disedot melalui hidung atau mulut atau
disemprotkan Penyerapan dapat terjadi pada selaput mulut, tenggorokan dan
pernafasan. Bentuk sediaan : Gas dan Zat padat, tetapi bisa juga mempunyai efek
sistemik. Kelebihan pemberian obat melalui inhalasi yaitu absorpsi terjadi cepat
dan homogen, kadar obat dapat terkontrol, dan terhindar dari efek lintas pertama
dan dapat diberikan langsung kepada bronkus. Kekurangan metode ini lebih sulit
dilakukan, memerlukan alat dan metode khusus, sukar mengatur dosis dan sering
mengiritasi paru (Voigt, 1995).
Kelinci (Lepus nigricollis) termasuk kedalam kingdom animalia dan kelas
mammalia yang mempunyai berat tubuh 1,35-7 kg dengan panjang 40-70 cm.
Kelinci merupakan kelompok hewan yang paling sempurna baik morfologi
ataupun anatominya karena ia mempunyai susunan organ yang kompleks dan
susunan metabolisme didalam tubuhnya yang juga kompleks. Hewan ini banyak
ditemukan dimana-dimana (Boolotion, 1979). Hal inilah yang menjadi salah satu
alasan digunakannya hewan uji berupa kelinci. Selain itu, sifat kelinci juga lebih
rentan terhadap cuaca, perlakuan, dan penyakit.
Menurut Boolotion (1979), tubuh kelinci (Lepus nigricollis) dibagi
menjadi empat bagian yaitu : caput, cervix, truncus dan cauda. Pada caput terdapat
rima oris, vibrisae, nares, organon visus. Ciri-ciri yang dimiliki kelas mamalia
seperti pada kelinci (Lepus nigricollis) adalah sebagai berikut : Memiliki kelenjar
mammae (merupakan modifikasi kelenjar peluh) untuk menyusui anaknya.
Mempunyai telinga yang panjang dan kaki belakang yang lebih panjang dari pada
kaki depan. kelinci termasuk hewan tetrapoda yang memiliki 4 anggota gerak
berupa kaki.
Menurut Brotowidjoyo (1994), telinga luar (pinnae) lebar. Mata besar,
dengan membran niktitans. Bibir lembek dan fleksibel. Disekitar moncong ada
rambut-rambut panjang (vibrisae). Kaki depan lebih kecil dari kaki belakang.
Ekor pendek. Anus dibawah ekor. Lubang urogenital disebelah anterior anus.
Menurut Hustamin (2006), kelinci dalam klasifikasinya adalah sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Subphylum
: Vertebrata
Classis
: Mammalia
Ordo
: Logomorpha
Familia
: Leporidae
Genus
: Orictolagus
Spesies
: Orictolagus cuniculus
ayam berbeda mulai dari ayam bangkok, ayam kampung, ayam petelor, dan ayam
kate (Rasyaf, 2000).
Pada saat percobaan cetusan tidur digunakan hewan uji anak ayam
dikarenakan pada hewan uji ini untuk dapat melihat efek yang dihasilkan setelah
perlakuan oral lebih cepat. Selain itu, dipilih anak ayam karena sifatnya masih
rentan dan lebih sensitif jika terkena penyakit ataupun perlakuan yang disengaja.
Menurut Suprijiatna dkk., (2005), kedudukan ayam dalam sistematika
(taksonomi) hewan dapat dikelompokkan sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Sub filum
: Vertebrata
Kelas
: Aves
Sub kelas
: Neornithes
Ordo
: Galliformes
Genus
: Gallus
Spesies
: Gallus domesticus
Menurut Kurniasih (2008), setiap zat yang akan digunakan pada manusia,
baik obat-obatan kimia maupun herbal, harus melalui uji toksisitas supaya dapat
diketahui batas-batas keamanan dan efek toksik yang mungkin timbul baik dalam
jangka pendek maupun jangka panjang. Uji toksisitas secara garis besar dibagi
menjadi dua jenis yaitu toksisitas umum (akut, subkronis dan kronis) dan uji
toksisitas khusus (teratogenik, mutagenik dan karsinogenik). Uji toksisitas umum
adalah uji toksikologi yang dirancang untuk mengevaluasi keseluruhan atau
spektrum efek toksis suatu senyawa pada berbagai jenis hewan uji. Termasuk di
dalam uji toksisitas umum yaitu :
1. Uji toksisitas akut
Uji ini dilakukan dengan memberikan zat kimia sebanyak satu kali kepada
hewan uji dalam jangka waktu 24 jam.
2. Uji toksisitas jangka pendek (sub kronis)
Uji dilakukan dengan memberikan zat kimia berulang-ulang, biasanya setiap
hari selama jangkat waktu kurang lebih 10% dari masa hidup hewan yaitu 3
bulan untuk tikus dan 1 atau 2 tahun untuk anjing.
3. Uji toksisitas jangka panjang (kronis)
Percobaan jenis ini mencakup pemberian obat secara berulang selama 3-6
bulan atau seumur hewan, misalnya 18 bulan untuk mencit, 24 bulan untuk
tikus dan 7-10 tahun untuk anjing.
Ketoksikan akut adalah derajat efek toksik suatu senyawa yang terjadi
secara singkat (24 jam) setelah pemberian dalam dosis tunggal. Jadi yang
dimaksud dengan uji toksisitas akut adalah uji yang dilakukan untuk mengukur
derajat efek suatu senyawa yang diberikan pada hewan coba tertentu, dan
pengamatannya dilakukan pada 24 jam pertama setelah perlakuan dan dilakukan
dalam satu kesempatan saja. Data kuantitatif uji toksisitas akut dapat diperoleh
melalui 2 cara, yaitu dosis letal tengah (LD50) dan dosis toksik tengah (TD50).
Namun yang paling sering digunakan adalah dengan metode LD50 (Sulastry,
2009).
Tujuan dilakukannya uji toksisitas akut adalah untuk menentukan potensi
ketoksikan akut dari suatu senyawa dan untuk menentukan gejala yang timbul
pada hewan coba. Data yang dikumpulkan pada uji toksisitas akut ini adalah data
kuantitatif yang berupa kisaran dosis letal atau toksik, dan data kualitatif yang
berupa gejala klinis (Sulastry, 2009).
Metode yang digunakan pada praktikum adalah metode langsung, yaitu
pemberian materi uji pada permukaan tubuh hewan uji. Menurut Dechacare
komposisi tiap tablet Antimo berisi dimenhidrinat sebanyak 50 mg. Dimenhidrinat
(dramamine) adalah senyawa yang khusus diguanakan untuk mabuk perjalanan
dan muntah karena kehamilan. Berdasarkan mekanisme kerjanya senyawa ini
dikelompokkan sebagai antikolinergika. Obat-obatan ini efektif terhadap segala
jenis muntah, dan banyak digunakan pada mabuk darat dan mual kehamilan
(antihistaminika). Dimenhidrinat sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol
dan dalam kloroform, agak sukar larut dalam eter (Kurniawati, 2009).
Menurut Informasiobat (2012), farmakologi dari dimenhidrinat yaitu efek
antiemetik tercapai dalam 15-30 menit setelah dosis oral dan dalam 20-30 menit
setelah dosis IM. Lama kerja obat 3-6 jam. Obat mungkin didistribusi luas ke
dalam jaringan tubuh, melewati plasenta, dimetabolisme oleh hati, dan dieliminasi
melalui urin. Sejumlah kecil obat didistribusikan ke dalam ASI.
oleh
bahan-bahan
berminyak
dan
lengket yang ada dalam kosmetik tertentu, seperti pelembab atau dasar bedak
terhadap pori-pori kulit atau pori-pori kecil pada bagian tubuh yang lain.
Ada dua efek atau pengaruh kosmetik terhadap kulit, yaitu efek positif dan
efek negatif. Tentu saja yang diharapkan adalah efek positifnya, sedangkan
efek negatifnya tidak diinginkan karena dapat menyebabkan kelainankelainan kulit.
Faktor eksternal berupa paparan zat kimia dapat menimbulkan pola
respons inflamasi pada kulit yang disebut iritasi/dermatitis kontak (Lachapelle,
2006). Secara garis besar, dermatitis kontak ini diklasifikasikan menjadi dua
macam, yaitu dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Singkatnya,
dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi non-imunologi, sedangkan
dengan
komponen
genetik.
Saat
ini
penelitian
dapat
menghubungkan adanya alel antigen leukosit yang spesifik pada manusia untuk
alergi pada nikel, kromium, dan kobalt (Cohen dan Jacob, 2008).
Secara umum, ada dua faktor yang mempengaruhi DKA, yaitu faktor
eksogen dan endogen. Faktor eksogen merupakan faktor dari luar yang terdiri dari
pH (semakin asam atau semakin basa suatu bahan kimia maka reaksi alergi yang
ditimbulkan semakin cepat), suhu (kelembapan udara yang rendah serta suhu yang
dingin dapat menurunkan komposisi air pada stratum korneum yang membuat
kulit lebih permeable terhadap bahan kimia), dan gesekan/tekanan/lecet dapat
meningkatkan permeabilitas kulit terhadap bahan kimia yang bersifat alergen.
Sementara itu, faktor endogen merupakan faktor dari dalam yang terdiri dari
genetik (orangtua dengan riwayat alergi tertentu memiliki kemungkinan besar
mewarisi alerginya ke keturunannya), jenis kelamin (perempuan lebih mudah
terpapar dibanding laki-laki karena memiliki kulit yang lebih rentan dan sering
melakukan pekerjaan yang lembab), usia (semakin muda maka semakin mudah
terpapar bahan iritan), ras (orang berkulit hitam lebih resisten terhadap iritasi
alergen), dan lokasi kulit (ada perbedaan yang signifikan pada fungsi barier kulit
pada lokasi yang berbeda. Wajah, leher, skrotum, dan punggung tangan lebih
rentan dermatitis) (Beltrani, 2006).
tubuh. Pada saat tersebut individu menjadi tersensitisasi. Fase ini rata-rata
berlangsung selama 2-3 minggu.
2. Fase elisitasi: pajanan hapten pada individu yang telah tersensitisasi,
sehingga antigen disajikan lagi oleh sel langerhans ke sel T memori di
kulit dan limfe regional. Kemudian terjadi reaksi imun yang menghasilkan
limfokin. Terjadi reaksi inflamasi dengan perantara sel T, karena lepasnya
bahan-bahan limfokin dan sitokin. Terjadinya reaksi ini maksimal 24-48
jam.
Gejala yang timbul akibat iritasi kontak iritan dan alergen dapat dibedakan
melalui pola penyebarannya. Iritasi kontak iritan ditandai dengan pola penyebaran
iritasi yang terbatas hanya pada kulit yang terkena kontak langsung dengan zat,
berbeda dengan iritasi kontak alergen yang memiliki pola penyebaran iritasi tidak
terbatas meski yang terkena langsung dengan zat ada pada bagian tertentu saja.
Selain itu, iritasi kontak iritan biasanya ditandai dengan penurunan gejala iritasi
atau cenderung tetap dalam kurun waktu 24-48 jam. Hal tersebut tentu berbeda
dengan iritasi kontak alergen yang biasanya mengalami peningkatan iritasi dalam
kurun waktu 24-48 jam (Djuanda dan Sri, 2003). Perbedaan dari keduanya dapat
dilihat melalui gambar berikut ini.
Gambar 3. DKA akibat pewarna pada jam kulit (kanan) dan DKI akibat
mengonsumsi seafood (Sumber: Harahap, 2000)
Pada praktikum kali ini, dilakukan beberapa hal yang masing-masing
memiliki tujuan tertentu. Untuk melihat efek suatu senyawa kimia atau obat yang
menyebabkan iritasi, dilakukan cetusan iritasi menggunakan kelinci sebagai
hewan percobaan. Pertama-tama hewan uji kelinci dipegang dengan lembut dan
kuat agar kelinci tidak stres dan tidak bergerak-gerak. Setelah itu rambut kelinci
dicukur seluas 2 x 2 cm2. Pencukuran bulu kelinci ini bertujuan agar obat
kosmetik yang akan diaplikasikan secara topikal dapat menyerap dengan cepat
dan baik, tanpa terhalangi rambut kelinci.
Setelah dicukur, obat dan kosmetik diolesi pada permukaan kulit kelinci
yang telah diukur, lalu ditutup dengan perban. Pengolesan dengan obat atau
kosmetik bertujuan untuk melihat efek ruam pada kulit kelinci akibat olesan obat
atau kosmetik tersebut. Setelah itu lakukan pengamatan pada kelinci selama 24
jam, apakah ada ruam merah atau tidak. Kontrol juga dibuat yakni dengan
mencukur sesuai dengan ketentuan luasan, tetapi tidak dioleskan obat ataupun
kosmetik. Bagian yang telah dicukur tersebut kemudian ditutupi/ditempeli dengan
kain kasa yang bertujuan untuk menghindari adanya kontaminasi dari luar dan
mempercepat adanya reaksi iritasi yang terjadi.
Pada percobaan cetusan tidur, hewan uji yang digunakan adalah anak
ayam. Anak ayam diambil dari kandang dan dipegang dengan lembut dan kuat
agar tidak stres. Mulut anak ayam tersebut lalu dibuka dengan hati-hati lalu materi
uji, dalam hal ini antimo sebagai obat penenang, dicekokkann melalui mulut anak
ayam. Dosis yang digunakan adalah setengah dari dosis manusia yakni 25 gr atau
0,5 cc. Waktu ayam mulai tertidur kemudian dihitung dan bangun kembali, untuk
melihat apakah anak ayam tersebut memiliki waktu pasif dan waktu tidur atau
tidak.
Segera setelah kontak maka akan muncul efek. Efek inilah yang harus
diperhatikan untuk melihat seberapa jauh suatu obat atau senyawa bekerja pada
suatu hewan uji. Pemberian obat penenang seperti antimo diharapkan akan
menghasilkan efek berupa tidur pada ayam. Kecepatan dan intensitas efek yang
muncul dapat berbeda-beda tergantung fungsi dan tujuan, komposisi, jenis zat,
dosis, dan kondisi hewan uji itu sendiri. Kondisi hewan uji yang lebih sensitif
akan memudahkan hewan tersebut lebih cepat tidur ketika diberi obat penenang,
berapapun dosisnya. Jenis spesies juga mempengaruhi efektivitas suatu senyawa.
Misalnya percobaan efek androgenik dengan cara mengukur pertumbuhan
cengger anak ayam jantan dapat dilakukan pada anak ayam jenis White Leghorn,
Rhode Island Red atau Barred Rock, namun demikian jenis White Leghorn adalah
paling sensitif dibandingkan lainnya (Bambang dkk, 2004). Senyawa aktif dalam
obat penenang itu juga dapat berpengaruh pada kerja obat dalam tubuh hewan uji.
Misalnya senyawa dimenhydrinate pada antimo sebagai senyawa aktif yang
memberi efek tidur pada hewan uji.
Obat-obat sedatif-hipnotik dan anti anxietas banyak digunakan di dunia.
Diperkirakan 10-15% masyarakat yang mengalami insomnia menggunakan
pengobatan farmakologi untuk menormalkan tidur. Insomnia sendiri diartikan
sebagai keadaan susahnya memulai tidur, tidak bisa tidur atau durasi tidur yang
tidak kuat. Beberapa obat yang digunakan untuk insomnia merupakan agonis
GABA dan mempunyai efek sedasi langsung, yang terdiri dari relaksasi otot,
melemahnya ingatan, ataxia dan hilangnya keterampilan kerja, seperti
mengemudi. Durasi kerja obat untuk insomnia yang panjang, dapat menyebabkan
gangguan psikomotor, konsentrasi dan ingatan (Anto, 2007)
Pada praktikum ini menggunakan obat antimo yang di dalamnya
mengandung senyawa yang di sebut Dimenhidrinat (Dramamine). Sifat fisiko
kimia dimenhidrinat, yaitu serbuk kristalin putih tak berbau, sukar larut dalam air,
mudah larut dalam alkohol dan dalam kloroform, agak sukar larut dalam eter.
Inkompatibilitas dimenhidrinat kemungkinan besar inkompatibel dalam larutan
yang mengandung aminofilin, glikopironium bromida, hidrokortison sodium
suksinat, hidroksizin hidroklorida, beberapa fenotiazin, dan beberapa barbiturat
terlarut (Ari kunto, 2006).
Dimenhidrinat
(Dramamine)
adalah
senyawa
klorteofilinat
dari
dimenhidramin yang khusus digunakan terhadap mabuk jalan dan mutah. Rumus
kimia dimenhidrinat yaitu 8-kloroteofilina, senyawa dengan 2-(difenilmetoksi)-NN-dimetilamina (1:1) (C17H21NO.C7H7CIN4O2). Dimenhidrinat mengandung tidak
kurang dari 53,0 dan tidak lebih dari 55,5 % C 17H21NO, dan tidak kurang dari
44,0% dan tidak lebih dari 47,0% C7H7CIN4O2. Masing-masing dihitung terhadap
zat yang telah dikeringkan. Dosis oral 4 dd 50-100 mg (Ari kunto, 2006).
Dosis maksimal Dimenhidrinat pada manusia adalah 200 mg. Dimenhidrinat
dan jika melebihi itu dapat mengakibatkan mengantuk, sakit kepala, pandangan
kabur, telinga berdenging, mulut dan saluran pernapasan kering, inkoordinasi,
palpitasi, pusing, hipotensi, anoreksia, konstipasi, diare, frekuensi urin, dan
disuria. Rasa sakit dapat terjadi pada tempat injeksi. Dosis maksimal untuk hewan
adalah sekitar 100 mg dimenhidrinat. Pada praktikum ini dimenhidrinat yang di
berikan pada hewan uji adalah sebanyak 25 mg dimenhidrinat, dan jika
kebanyakan diberi dimenhidrinat maka hewan akan mati karena menurut Anne
dan John (2002), dosis maksimal hewan sekitar 100 mg dimenhidrinat.
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan cetusan iritasi terhadap hewan
uji kelinci dengan menggunakan beberapa kosmetik yaitu diantaranya lipstik biru,
lipstik merah kecil, lipgloss (pink), dan perlakuan kontrol. Pemberian beberapa
sampel kosmetik dan kontrol diberikan pada 4 tempat yang berbeda diantaranya
bagian atas badan kelinci sebelah kanan (nomor 2 untuk lipstik merah kecil) dan
kiri (nomor 1 untuk lipstik biru), bagian bawah badan kelinci sebelah kanan
(nomor 4 untuk kontrol) dan kiri (nomor 3 untuk lipgloss).
Pada proses penyiapan hewan uji sebelum diperlakukan kelinci harus
diaklimatisasi dengan lingkungan tempat penelitian selama 5 hari dengan maksud
agar hewan uji tersebut terbiasa dengan lingkungan dan perlakuan yang baru.
Hewan uji di tempatkan dalam kandang dan diberi makan yang cukup untuk
setiap harinya. Hewan uji kelinci yang sudah diaklimatisasi dicukur bulu di daerah
punggung sebelah kanan, sebelah kiri dan pada bagian punggung belakang sampai
licin/terlihat kulitnya. Pada saat dibuka, punggung dibersihkan dulu dengan
alkohol 70% (Paputungan dkk., 2014). Kemudian dapat diberikan perlakukan
sesuai pada saat praktikum misalnya yaitu dengan dioleskannya kosmetik pada
topikal kelinci untuk melihat efek iritan sampel kosmetik tehadap topikal kelinci.
Berdasarkan hasil percobaan yang telah didapat menunjukkan bahwa pada
percobaan cetusan iritasi terhadap hewan uji kelinci menggunakan kosmetik
lipstik merah kecil, lipgloss (pink), dan kontrol tidak memberikan pengaruh ruam
merah pada kulit kelinci baik pada waktu 1 jam maupun 24 jam. Sedangkan pada
kosmetik lipstik biru menunjukkan pengaruh adanya ruam merah pada waktu 1
jam dan 24 jam, namun tidak terlalu merah (+).
Pada perlakuan dengan menggunakan lipstik merah kecil, lipgloss (pink),
belum menunjukan pengaruh yang berarti. Hal ini dimungkinkan karena
kandungan bahan pada lipstik merah dan lipgloss tidak terlalu bahaya jika
dibandingkan dengan lipstik biru. Pada perlakuan kontrol juga tidak menunjukan
iritasi ruam merah yang berarti baik dalam waktu 1 jam dan 24 jam. Melihat hal
ini dapat disimpulkan jika penggunaan veet tidak berpengaruh menimbulkan
iritasi pada kulit kelinci.
Sesuai teori yang dijelaskan oleh Ananda (2014), terdapat beberapa
kandungan yang ada dalam lipstik dan diketahui dapat memberikan efek buruk
pada kesehatan diantaranya triclosan, methylparaben, propylparaben, retinyl
palmitate, tocopheryl acetate, dan parafin. Dimungkinkan pada lipstik biru yang
digunakan mengandung bahan-bahan tersebut sehingga efek yang dihasilkan
ketika dilakukan uji pada kelinci menimbulkan ruam merah atau iritasi pada kulit
kelinci. Sehingga tidak jarang perlakuan ini menimbulkan dermatitis kontak iritan.
Menurut Sulistyani dkk., (2010), dermatitis kontak iritan adalah suatu dermatitis
kontak yang disebabkan oleh bahan-bahan yang bersifat iritan yang dapat
menimbulkan kerusakan jaringan. Reaksinya dapat berupa kulit menjadi merah
dan coklat. Terkadang terjadi edema dan rasa panas, atau terdapat papula,
vesikula, pustula, dan terkadang juga terbentuk purulen dengan kuliat disekitarnya
normal.
Gejala yang timbul pada kelinci termasuk iritasi kontak iritan dilihat dari
pola penyebarannya. Iritasi kontak iritan ditandai dengan pola penyebaran iritasi
yang terbatas hanya pada kulit yang terkena kontak langsung dengan zat, berbeda
dengan iritasi kontak alergen yang memiliki pola penyebaran iritasi tidak terbatas
meski yang terkena langsung dengan zat ada pada bagian tertentu saja. Selain itu,
iritasi kontak iritan biasanya ditandai dengan penurunan gejala iritasi atau
cenderung tetap dalam kurun waktu 24-48 jam, persis seperti yang tampak pada
iritasi yang dialami kelinci, yaitu tidak mengalami peningkatan iritasi dalam
waktu 24-48 jam. Hal tersebut tentu berbeda dengan iritasi kontak allergen yang
biasanya mengalami peningkatan iritasi dalam kurun waktu 24-48 jam (Djuanda,
2003).
Pada praktikum kali ini dilakukan percobaan cetusan lama tidur terhadap
hewan uji anak ayam dengan menggunakan obat antimo dengan dosis sebanyak
25 mg (1/2 dari dosis manusia). Obat antimo digerus dan dihitung massa
terlarutnya kemudian diambil sebanyak 0,5 cc menggunakan siring. Dosis antimo
sebanyak 25 mg dicekokkan ke ayam melalui oral/mulut. Berdasarkan percobaan
yang dilakukan didapatkan hasil yaitu tidak adanya waktu pasif dan waktu tidur
pada hewan uji anak ayam. Setelah pemberian materi uji anak ayam tetap
memberikan respon (aktif terus) ketika diberikan rangsangan oleh praktikan.
Waktu pasif sendiri merupakan waktu ketika hewan uji diberi rangsangan hewan
uji tersebut tidak memberikan merespon.
Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pada hewan uji
anak ayam yang digunakan obat antimo dengan dosis 25 mg tidak menghasilkan
pengaruh apapun, anak ayam tetap aktif. Hal ini dapat dikarenakan dari kondisi
individu ayamnya sedang sehat, dalam pemberian materi uji praktikan
memberikan dengan cara perlahan-lahan melalui oral sehingga hewan uji anak
ayam tetap aktif tidak mengalami waktu pasif dan waktu tidur.
IV.
KESIMPULAN
Berdasarkan percobaan yang dilakukan pada praktikum kali ini dapat ditarik
beberapa kesimpulan diantaranya :
1. Pemasukan materi uji pada hewan uji kelinci yaitu secara topikal/kulit dengan
mencukur bulu kelinci (4 tempat berbeda), mengolesi materi uji pada kulit
yang telah dicukur, dan menutupnya dengan kain kasa. Pada hewan uji anak
ayam yaitu secara oral dengan mencekokkan materi uji melalui mulut anak
ayam dengan dosis tertentu (25 mg).
2. Percobaan cetusan iritasi pada hewan uji kelinci hanya menunjukkan efek ruam
merah (+) pada sampel kosmetik lipstik biru pada posisi nomor 1. Percobaan
cetusan tidur pada hewan uji anak ayam tidak menghasilkan waktu pasif dan
waktu tidur dengan dosis 25 mg.
DAFTAR PUSTAKA
Amado, A., Taylor, J.S., dan Sood, A. 2008. Fitzpatricks Dermatologic in General
Medicine: Irritant Contact Dermatitis 7th Edition. McGraw Hill Medical.
New York.
Ananda, S. K. 2014. Awas, Kandungan Dalam Lipstik Ini Bahayakan Kesehatan.
http://www.merdeka.com/sehat/awas-kandungan-dalam-lipstikinibahayakan
-kesehatan.html. 28 Oktober 2014.
Anne dan John Scudder. 2002. Praktik Asuhan Holistik. Adikarya, Jakarta.
Antidendruf. 2013. Kandungan Lipstik Yang Berbahaya Bagi Kulit.
http://artikelkesehatanwanita.com/kandungan-lipstik-yang-berbahaya-bagikulit.html. 28 Oktober 2014.
Anton.
2007.
Ruang
Lingkup
Materi
Pendidikan
http//www.depkes.go.id/. Diakses pada tanggal 19 April 2012.
Kesehatan.
Priharjo, R. 1995. Teknik Dasar Pemberian Obat Bagi Perawat. EGC, Jakarta.
Saifudi, A. B. 2010. Ilmu Kebidanan. Bina pustaka, Jakarta.
Sularsito, S.A. dan Djuanda, S. 2005. Dermatitis. Balai Penerbit FKUI. Jakarta.
Sulastry, F. 2009. Uji Toksisitas Akut Yang Diukur Dengan Penentuan LD 50
Ekstrak Daun Pegagan (Centella asiatica L.) Terhadap Mencit Balb/C.
Naskah Skripsi S-1. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,
Semarang.
Sulistyani, Indiriani, F., dan Kariosentono, H. 2010. Pengaruh Riwayat Atopik
terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan di Perusahaan Batik Putra
Laweyan Surakarta. Jurnal Biomedika Vol. 2 No. 2.
Surahman, E., Mandalas, E., dan Kardinah, E. I. 2008. Evaluasi Penggunaan
Sediaan Farmasi Intravenna untuk Penyakit Infeksi Pada Salah Satu Rumah
Sakit Swasta Di Kota Bandung. Majalah Ilmi Kefarmasian. Vol 5(1): 21-39
Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan
Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam. Gramedia, Jakarta.
Tranggono, R. I., dan Latifah, F. 2007. Buku Pegangan Ilmu Kosmetik. Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta.
Uliyah, Musrfatul. 2009. Ktrampilan Dasar Praktik Klinik. Salemba Medika,
Jakarta.
Voigt, R. 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Gajah Mada University Press,
Yogyakarta.
LAMPIRAN
A. Perhitungan
Perhitungan dosis yang diberikan :
V 1 M2
=
V 2 M2
10 M 1
=
0,5 25
250 = 0,5 x M1
250
M1 = 0,5
M1 = 500 mg
B. Dokumentasi Praktikum
Gambar 5. Bahan Dalam Praktikum: Hewan Uji Kelinci dan Anak Ayam
(Sumber: Dokumentasi Pribadi)
Gambar 6. Alat dan Bahan Praktikum: Materi Uji Kosmetik dan Veet yang
Digunakan (Sumber: Dokumentasi Pribadi)