Anda di halaman 1dari 22

Referat

PNEUMOTHORAKS

Dokter Pembimbing :
dr. Sigit Aprianto, Sp.P
dr. Sas Alwafi
Disusun oleh :
Wahyu Ulfa Nurul Azizah
209.121.0030

LABORATORIUM ILMU PENYAKIT PARU


RSD MARDI WALUYO KOTA BLITAR
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat-Nya
saya dapat menyelesaikan tugas lapatauan kasus ini tepat pada waktunya.
Dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan Kepaniteraan Klinik Ilmu
Penyakit

Paru

di

RSUD

Mardi

Waluyo

Blitar

yaitu

referat

PNEUMOTHORAK.
Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada: dr. Sigit Aprianto, Sp. P selaku pembimbing referat, atas
bimbingan serta dukungan dari teman teman di bagian paru yang telah banyak
membantu dalam penyelesaian referat ini.
Akhir kata, disadari bahwa penyajian referat ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu segala kritik dan saran yang membangun sangat
diharapkan, semoga referat ini dapat bermanfaat untuk semua pihak, khusus nya
di bagian Ilmu Bedah.

Blitar,
Maret 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Paru-paru merupakan unsur elastis yang akan mengempis seperti balon
dan mengeluarkan semua udaranya melalui trakea bila tidak ada kekuatan
untuk mempertahankan pengembangannya. Paru-paru sebenarnya mengapung
dalam rongga toraks, dikelilingi oleh suatu lapisan tipis cairan pleura yang
menjadi pelumas bagi gerakan paru-paru di dalam rongga. Jadi pada keadaan
normal rongga pleura berisi sedikit cairan dengan tekanan negatif yang
ringan(1).
Pneumotoraks adalah keadaan terdapatnya udara atau gas dalam
rongga pleura. Dengan adanya udara dalam rongga pleura tersebut, maka
akan menimbulkan penekanan terhadap paru-paru sehingga paru-paru tidak
dapat mengembang dengan maksimal sebagaimana biasanya ketika bernapas.
Pneumotoraks dapat terjadi baik secara spontan maupun traumatik.
Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat primer dan sekunder.
Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat iatrogenik dan non
iatrogenik (2).
Insidensi pneumotoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang
tidak diketahui. Namun dari sejumlah penelitian yang pernah dilakukan
menunjukkan bahwa pneumotoraks lebih sering terjadi pada penderita dewasa
yang berumur sekitar 40 tahun. Laki-laki lebih sering daripada wanita,
dengan perbandingan 5 : 1 (2).
Sesuai perkembangan di bidang pulmonologi telah banyak dikerjakan
pendekatan baru berupa tindakan torakostomi disertai video (VATS = video
assisted thoracoscopy surgery), ternyata memberikan banyak keuntungan
pada pasien-pasien yang mengalami pneumotoraks relaps dan dapat
mengurangi lama rawat inap di rumah sakit (2).

B. TUJUAN
Tujuan dari penulisan tinjauan pustaka (referat) ini adalah untuk
mengetahui definisi dari pneumotoraks, serta cara menegakkan diagnosa
pneumotoraks secara tepat sesuai jenis dan luasnya pneumotoraks, karena hal
tersebut akan berpengaruh pada penanganannya

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di
dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena (3).

B. Klasifikasi
Menurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi
dua, yaitu (2), (3) :
1. Pneumotoraks spontan
Yaitu

setiap

pneumotoraks

yang

terjadi

secara

tiba-tiba.

Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis,


yaitu:
a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi
secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.
b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi
dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki

sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik


kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.
2. Pneumotoraks traumatik,
Yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik
trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura,
dinding dada maupun paru.
Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua
jenis, yaitu :
a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang
terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada,
barotrauma.
b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi
akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun
masih dibedakan menjadi dua, yaitu :
1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental
Adalah suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan
medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan
tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.
2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate)
Adalah suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan
dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura.
Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan,
misalnya

pada

pengobatan

tuberkulosis

sebelum

era

antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.


Dan

berdasarkan

jenis

fistulanya,

maka

pneumotoraks

dapat

diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu (4) :


1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka
pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar.
Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat
laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru

disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,


sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah
kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara
di rongga pleura tetap negatif.
2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax),
Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga
pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat
luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama
dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan
intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan
tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan (4).
Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu
ekspirasi tekanan menjadi positif

(4)

. Selain itu, pada saat inspirasi

mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi


mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking
wound) (2).
3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax)
Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan
makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis
yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea,
bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura
melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga
pleura tidak dapat keluar

(4)

. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura

makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang
terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering
menimbulkan gagal napas (2).
Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka
pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu (4) :
1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada

sebagian kecil paru (< 50% volume paru).

2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar

paru (> 50% volume paru).

C. Patofisiologi
Paru-paru dibungkus oleh pleura parietalis dan pleura visceralis. Di
antara pleura parietalis dan visceralis terdapat cavum pleura. Cavum pleura
normal berisi sedikit cairan serous jaringan.Tekanan intrapleura selalu berupa
tekanan negatif. Tekanan negatif pada intrapleura membantu dalam proses
respirasi. Proses respirasi terdiri dari 2 tahap : fase inspirasi dan fase eksprasi.
Padafase inspirasi tekanan intrapleura : -9 s/d -12 cmH2O; sedangkan pada
fase ekspirasi tekananintrapleura: -3 s/d -6 cmH2O. Pneumotorak adalah
adanya udara pada cavum pleura. Adanya udara pada cavum pleura
menyebabkan tekanan negatif pada intrapleura tidak terbentuk. Sehingga akan
mengganggu padaproses respirasi.

Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan penyebabnya (6,7,9) :


1.

Pneumotorak spontan Oleh karena : primer (ruptur bleb),


sekunder (infeksi, keganasan), neonatal

2.

Pneumotorak yang di dapat Oleh karena : iatrogenik,


barotrauma, trauma

Pneumotorak dapat dibagi juga menurut gejala klinis:


1. Pneumotorak simple : tidak diikuti gejala shock atau pre-shock
2. Tension Pnuemotorak : diikuti gejala shock atau pre-schock
Pneumotorak dapat dibagi berdasarkan ada tidaknya dengan hubungan
luar menjadi :
1.Open pneumotorak
2.Closed pneumotorak
Secara garis besar ke semua jenis pneumotorak mempunyai dasar
patofisiologi yang hampir sama.
Pneumotorak spontan, closed pneumotorak, simple pneumotorak,
tension pneumotorak, dan open pneumotorak. Pneumotorak spontan
terjadi karena lemahnya dinding alveolus dan pleura visceralis. Apabila
dinding alveolus dan pleura viceralis yang lemah ini pecah, maka akan
ada fistel yang menyebabkan udara masuk ke dalam cavum pleura.
Mekanismenya pada saat inspirasi rongga dada mengembang, disertai
pengembangan cavum pleura yang kemudian menyebabkan paru dipaksa
ikut mengembang, seperti balon yang dihisap. Pengembangan paru
menyebabkan tekanan intraalveolar menjadi negatif sehingga udara luar
masuk. Pada pneumotorak spontan,paru-paru kolpas, udara inspirasi ini
bocor masuk ke cavum pleura sehingga tekanan intrapleura tidak negatif.
Pada saat inspirasi akan terjadi hiperekspansi cavum pleura akibatnya
menekan mediastinal ke sisi yang sehat. Pada saat ekspirasi mediastinal
kembali lagi ke posisi semula.Proses yang terjadi ini dikenal dengan
mediastinal flutter (6).

Pneumotorak ini terjadi biasanya pada satu sisi, sehingga respirasi


paru sisi sebaliknya masihbisa menerima udara secara maksimal dan
bekerja dengan sempurna.
Terjadinya hiperekspansi cavum pleura tanpa disertai gejala preshock atau shock dikenal dengan simple pneumotorak. Berkumpulnya
udara pada cavum pleura dengan tidak adanya hubungan dengan
lingkungan luar dikenal dengan closed pneumotorak .Pada saat ekspirasi,
udara juga tidak dipompakan balik secara maksimal karena elastic recoil
dari kerja alveoli tidak bekerja sempurna. Akibatnya bilamana proses
ini semakin berlanjut,hiperekspansi cavum pleura pada saat inspirasi
menekan mediastinal ke sisi yang sehat dan saat ekspirasi udara terjebak
pada paru dan cavum pleura karena luka yang bersifat katup tertutup
terjadilah penekanan vena cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan
obstruksi jalan napas.Akibatnya dapat timbulah gejala pre-shock atau
shock oleh karena penekanan vena cava.Kejadian ini dikenal dengan
tension pneumotorak(6,7,9).
Pada open pneumotorak terdapat hubungan antara cavum pleura dengan
lingkunga luar. Open pneumotorak dikarenakan trauma penetrasi. Perlukaan
dapat inkomplit (sebatas pleura parietalis)atau komplit (pleura parietalis dan
visceralis). Bilamana terjadi open pneumotorak inkomplit pada saat inspirasi
udara luar akan masuk ke dalam cavum pleura. Akibatnya paru tidak dapat
mengembang karena tekanan intrapleura tidak negatif. Efeknya akan terjadi
hiperekspansi cavumpleura yang menekan mediastinal ke sisi paru yang sehat.
Saat ekspirasi mediastinal bergeser kemediastinal yang sehat. Terjadilah
mediastinal flutter. Bilamana open pneumotorak komplit maka saat inspirasi
dapat terjadi hiperekspansi cavum pleura mendesak mediastinal ke sisi paru yang
sehat dan saat ekspirasi udara terjebak pada cavum pleura dan paru karena luka
yang

bersifat

katup

tertutup.

Selanjutnya

terjadilah penekanan vena

cava,shunting udara ke paru yang sehat, dan obstruksi jalan napas. Akibatnya

dapat timbulah gejala pre-shock atau shock oleh karena penekanan vena cava.
Kejadian inidikenal dengan tension pneumotorak
D. Penghitungan Luas Pneumotoraks
Penghitungan luas pneumotoraks ini berguna terutama dalam penentuan
jenis kolaps, apakah bersifat parsialis ataukah totalis. Ada beberapa cara yang
bisa dipakai dalam menentukan luasnya kolaps paru, antara lain :
1. Rasio antara volume paru yang tersisa dengan volume hemitoraks, dimana
masing-masing volume paru dan hemitoraks diukur sebagai volume kubus
(2)

Misalnya : diameter kubus rata-rata hemitoraks adalah 10cm dan diameter


kubus rata-rata paru-paru yang kolaps adalah 8cm, maka
rasio diameter kubus adalah :
83
______

103

512
=

________

= 50 %
1000

2. Menjumlahkan jarak terjauh antara celah pleura pada garis vertikal,


ditambah dengan jarak terjauh antara celah pleura pada garis horizontal,
ditambah dengan jarak terdekat antara celah pleura pada garis horizontal,
kemudian dibagi tiga, dan dikalikan sepuluh (2).

% luas pneumotoraks

A + B + C (cm)
x 10
3

__________________

3. Rasio antara selisih luas hemitoraks dan luas paru yang kolaps dengan
luas hemitoraks (4).

(L) hemitorak (L) kolaps paru


(AxB) - (axb)
_______________
x 100 %
AxB

E. Gejala klinis
Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul
adalah (2), (4), (5) :
1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak
dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas
tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka.
2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam
pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada
gerak pernapasan.
3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien.
4. Denyut jantung meningkat.
5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang.
6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien,
biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.
Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks
tersebut, (2):
1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat
2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih
berat

3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang


lain serta ada tidaknya jalan napas.
4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi
bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil
disebabkan pengisian yang kurang.
F. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik torak didapatkan (3), (4):
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b.

Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal

c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat


2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit
3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak
menggetar
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang
b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni
negatif
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Foto Rontgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus
pneumotoraks antara lain (6):

a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps
akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru
yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler
sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.
d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan
sebagai berikut (3):
1)

Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi


jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi
apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga
udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.

2)

Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam


dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari
pneumomediastinum.

Udara

yang

tadinya

terjebak

di

mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang


lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak
jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila
jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat
mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada
depan dan belakang.
3)

Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan


tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma

Foto Ro pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan


anak panah merupakan bagian paru yang kolaps
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien
dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas
sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan
ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan
primer dan sekunder.

H. Penatalaksanaan

Tujuan

utama

penatalaksanaan

pneumotoraks

adalah

untuk

mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan


untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah
sebagai berikut :
1. Observasi dan Pemberian O2
Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura
telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut
akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan
tambahan O2.

Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto

toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari

(2)

. Tindakan ini

terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka (4).


2. Tindakan dekompresi
Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan
untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara
rongga pleura dengan udara luar dengan cara (2) :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura,
dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum
tersebut (2), (4).
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1)

Dapat memakai infus set


Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam
rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada
pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi
air. Setelah

klem

penyumbat

dibuka,

akan

tampak

gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang


berada di dalam botol (4).
2)

Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari
gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada

posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke


rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus
set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang
berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak
gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol (4).
3)

Pipa water sealed drainage (WSD)


Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan
bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan
melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di
sela iga ke-4 pada linea mid aksilaris atau pada linea
aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2
di garis mid klavikula.
Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera
dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut,
sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di
rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di
dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik
lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol
sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya
gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui
perbedaan tekanan tersebut (3), (4).
Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan
intrapleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan
memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan
tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah
mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah
negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji
coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk

selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura


kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut.
Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan
ekspirasi maksimal (2).

3. Torakoskopi

Yaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks

dengan alat bantu torakoskop.

4. Torakotomi
5. Tindakan bedah (4)
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit

b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang


menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan
dekortikasi.
c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.
I. Pengobatan Tambahan
1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru
diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi
antibiotik dan bronkodilator (4).
2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat (4).
3. Pemberian

antibiotik

profilaksis

setelah

tindakan

bedah

dapat

dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti


emfisema (3).
I. Rehabilitasi(4)
1. Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan
pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya.
2. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin
terlalu keras.
3. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah
laksan ringan.
4. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk,
sesak napas.
BAB III
KESIMPULAN
Pneumotoraks merupakan suatu keadaan dimana rongga pleura terisi oleh
udara, sehingga menyebabkan pendesakan terhadap jaringan paru yang

menimbulkan gangguan dalam pengembangannya terhadap rongga dada saat


proses respirasi. Oleh karena itu, pada pasien sering mengeluhkan adanya sesak
napas dan nyeri dada.
Berdasarkan penyebabnya, pneumotoraks dapat terjadi baik secara
spontan maupun traumatik. Pneumotoraks spontan itu sendiri dapat bersifat
primer dan sekunder. Sedangkan pneumotoraks traumatik dapat bersifat
iatrogenik dan non iatrogenik. Dan menurut fistel yang terbentuk, maka
pneumotoraks dapat bersifat terbuka, tertutup dan ventil (tension).
Dalam menentukan diagnosa pneumotoraks seringkali didasarkan pada
hasil foto rontgen berupa gambaran translusen tanpa adanya corakan
bronkovaskuler pada lapang paru yang terkena, disertai adanya garis putih yang
merupakan batas paru (colaps line). Dari hasil rntgen juga dapat diketahui
seberapa berat proses yang terjadi melalui luas area paru yang terkena
pendesakan serta kondisi jantung dan trakea.
Pada prinsipnya, penanganan pneumotoraks berupa observasi dan
pemberian O2 yang dilanjutkan dengan dekompresi. Untuk pneumotoraks yang
berat dapat dilakukan tindakan pembedahan. Sedangkan untuk proses medikasi
disesuaikan dengan penyakit yang mendasarinya. Tahap rehabilitasi juga perlu
diperhatikan agar pneumotoraks tidak terjadi lagi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Guyton, Arthur, C. Hall, John, E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.


Edisi 9. Jakarta : EGC; 1997. p. 598.

2.

Sudoyo, Aru, W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. K, Marcellus,


Simadibrata. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II.
Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p. 1063.

3.

Bowman, Jeffrey, Glenn. Pneumothorax, Tension and Traumatic.


Updated: 2010 May 27; cited 2011 January 10. Available from
http://emedicine.medscape.com/article/827551

4.

Alsagaff, Hood. Mukty, H. Abdul. Dasar-Dasar Ilmu Penyakit


Paru. Surabaya : Airlangga University Press; 2009. p. 162-179

5.

Schiffman, George. Stoppler, Melissa, Conrad. Pneumothorax


(Collapsed Lung). Cited : 2011 January 10. Available from :
http://www.medicinenet.com/pneumothorax/article.htm

6.

Malueka, Rusdy, Ghazali. Radiologi Diagnostik. Yogyakarta :


Pustaka Cendekia Press; 2007. p. 56

Anda mungkin juga menyukai