Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN EKONOMI PERDAGANGAN DAN PERTUMBUHAN EKONOMI

DI ERA GLOBALISASI
Oleh:
TANTO ALFIATHUR NUGROHO (2009)

Dalam konteks perekonomian suatu negara, salah satu wacana yang


menonjol adalah mengenai pertumbuhan ekonomi. Meskipun ada juga wacana lain
mengenai pengangguran, inflasi atau kenaikan harga barang-barang secara
bersamaan, kemiskinan, pemerataan pendapatan dan lain sebagainya.
Pertumbuhan ekonomi menjadi penting dalam konteks perekonomian suatu negara
karena dapat menjadi salah satu ukuran dari pertumbuhan atau pencapaian
perekonomian bangsa tersebut, meskipun tidak bisa dinafikan ukuran-ukuran yang
lain.

Bagi sebuah bangsa atau negara, pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi


seperti yang direncanakan atau diperkirakan, keberhasilan mengurangi angka
pengangguran dan menciptakan stabilisasi inflasi merupakan suatu ukuran
keberhasilan kebijakan dalam perekonomian negara tersebut. Oleh karena hal
tersebut, maka negara-negara berusaha untuk mencapai tingkat pertumbuhan
ekonomi yang optimal dengan cara melakukan berbagai kebijakan dalam
perekonomian. Dalam rangka pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang
diinginkan tentunya akan ada sektor-sektor yang akan menjadi motor penggerak
bagi pertumbuhan ekonomi.

Ada beberapa hal atau komponen pembentuk Gross Domestic Product


(GDP) yang dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan ekonomi atau
peningkatan GDP. Oleh karena itu kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemerintah suatu negara tentunya diupayakan untuk menciptakan situasi dan
kondisi yang mampu membuat beberapa hal atau komponen, yang diyakini dapat

1
menjadi motor penggerak bagi peningkatan GDP, mencapai kondisi optimal
sehingga pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dapat dicapai.

Salah satu hal yang dapat dijadikan motor penggerak bagi pertumbuhan
adalah perdagangan internasional. Jika aktifitas perdagangan internasional adalah
ekspor dan impor, maka salah satu dari komponen tersebut atau kedua-duanya
dapat menjadi motor penggerak bagi pertumbuhan.

Untuk melihat hubungan antara perdagangan global, pertumbuhan ekonomi


dalam era globalisasi ini kita dapat melihat terlebih dulu dari sisi historitikalnya.
Dimulai dari perjanjian Bretton Woods setelah Perang Dunia 2 yang efeknya masih
terasa hingga sekarang; salah satu hasil perjanjian tersebut adalah dibentuknya
lembaga internasional untuk mengurusi ekonomi dunia: IMF dan Bank Dunia.

Saat itu keadaan ekonomi negara-negara dunia – kecuali Amerika- hancur


karena perang. Karenanya mereka bergantung pada pinjaman yang diberikan oleh
Amerika. Pinjaman ini diberikan dalam bentuk Dollar Amerika. Sebagai jaminan,
Amerika menerima emas yang dimiliki negara-negara ini. Akibatnya, Amerika praktis
menguasai seluruh emas di dunia dan jadinya hanya Dollar Amerika yang nilainya
disokong oleh emas. Ini berarti, secara praktis, Dollar telah menggantikan emas
sebagai sumber likuiditas perekonomian dunia dan menjadi basis sistem keuangan
dunia. Implikasinya, setiap negara membangun cadangan devisa dalam bentuk
Dollar Amerika; cadangan Dollar diperlukan agar mata uang negara yang
bersangkutan dapat ditukarkan dengan Dollar atau emas.

Selain bergantung pada pinjaman Dollar Amerika, negara-negara dunia juga


bergantung pada import dari Amerika. Karena hanya pabrik-pabrik di Amerika yang
masih beroperasi secara penuh; pabrik di negara lain hancur karena perang.
Sehingga, Dollar pinjaman itu dipakai untuk membeli barang dari Amerika, dan
kembali masuk ke Amerika. Konsekuensinya, pada saat itu sulit untuk memperoleh
Dollar dan emas di luar Amerika. Dengan lain kata lain, ketika neraca perdagangan
Amerika mengalami surplus maka sulit mendapatkan Dollar di luar Amerika yang
mengakibatkan negara lain sulit menjaga cadangan devisa Dollar sehingga nilai
2
tukar mata uang tidak stabil yang akhirnya menghambat perdagangan dan
pertumbuhan ekonomi dunia.

Singkatnya, jika neraca Amerika mengalami surplus, maka negara lain


kesulitan mendapatkan Dollar yang akhirnya menyebabkan terhambatnya
pertumbuhan ekonomi dunia. Sehingga, suksesnya sistem ekonomi internasional
saat itu tergantung pada jumlah cadangan devisa dalam Dollar yang dimiliki negara-
negara selain Amerika; keadaan ini hanya bisa dicapai jika Amerika mengalami
neraca defisit. Diluar perkiraan, keadaan neraca surplus di Amerika ternyata tidak
bertahan selamanya. Amerika mulai mengalami defisit sehingga Dollar mulai
mengalir keluar. Ekonomi dunia membaik, tapi muncul masalah baru: nilai Dollar
yang berada di luar Amerika lebih besar daripada nilai cadangan emas Amerika
(dihitung berdasar nilai yang ditetapkan di perjanjian Bretton Woods). Setelah
melalui lika-liku berbagai kebijakan ekonomi, akhirnya Amerika melakukan
deregulasi dengan menghentikan penukaran Dollar ke emas dan membuat nilai
tukar mata uang yang fleksibel/

Tetapi, seperti dikatakan ekonom Jan Kregel, deregulasi dan nilai tukar yang
fleksibel tidak menghilangkan masalah secara keseluruhan; karena solusi yang
diambil tidak menyelesaikan masalah utama. Seperti telah disebutkan oleh ekonom
Robert Triffin pada tahun 1960an, masalah utama ini adalah dipakainya mata uang
nasional sebuah negara sebagai alat pembayaran dan sumber likuiditas global.
Sebagai mata uang global, ia harus mengikuti kebutuhan ekonomi dunia. Tetapi
sebagai mata uang nasional, supply internasional mata uang tersebut ditentukan
oleh kondisi domestik negara tersebut. Karena tidak mungkin untuk suatu negara
membuat kebijakan ekonomi domestik yang ditentukan oleh kebutuhan
internasional, maka mata uang tersebut menjadi tidak stabil.

Dari uraian di atas, dapat diambil dua kesimpulan yang menjadi pelajaran.
Pertama adalah adanya kecenderungan kebijakan ekonomi negara miskin
“terpaksa” mengikuti kebijakan negara kaya. Untuk menjadi kaya, negara miskin

3
perlu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi daripada pertumbuhan ekonomi
negara kaya; tetapi negara kaya cenderung lebih konservatif dan berhati-hati dalam
hal pertumbuhan ekonomi karena bagi mereka lebih penting mempertahankan
kekayaan, bukan menjadi lebih kaya. Misalnya, ketika ada krisis, IMF cenderung
memberikan solusi dengan menekan pertumbuhan ekonomi negara miskin yang
terkena krisis. Padahal masalah negara miskin tersebut bisa jadi disebabkan
pertumbuhan ekonomi yang kurang akibat ekspor menurun (karena negara kaya
mengencangkan ikat pinggang).

Kedua, stabilitas ekonomi dunia tergantung pada ketidak seimbangan


perdagangan dunia. Ekonomi dunia bergantung pada neraca negara kaya
(Amerika); semakin banyak rakyat Amerika berbelanja, maka semakin baik untuk
ekonomi dunia. Defisit Amerika adalah surplus negara lain.

Jadi dapat disimpulkan bahwa kita tidak bisa memungkiri peranan Amerika
Serikat dalam percaturan system ekonomi dunia. Amerika begitu dominan atau
seolah sebagai sebagai penentu/dalang system ekonomi dunia. Yang harus kita
perhatikan sebagai bangsa Indoensia dan Negara-negara berkembang lainnya
adalah bagaimana kita meningkatkan pertumbuhan perekonomian tanpa terganggu
oleh kebijakan-kebijakan perekonomian AS.

Dominasi dan hegemoni Amerika Serikat tetap saja walau telah dibentuk
World Trade organization (WTO). terus berlanjut sampai pada tataran perundingan
pembahasan perdagangan global yang difasilitasi oleh (WTO). Perundingan demi
perundingan dalam konferensi Tingkat Menteri WTO di Genewa 21-30 Juli 2008
berakhir tanpa kesepakatan baru dalam perdagangan global. Negosisasi menemui
jalan buntu ketika membahas mekanisme perlindungan atas sector pertanian di
Negara-negara berkembang terhadap liberalisasi perdagangan yang lebih luas.
Kebuntuan ini disebabkan oleh tidak terjadinya kesepakatan terhadap proposal
penerapan SSM (Special safeguard Mechanism) dari Negara berkembang oleh AS.

4
Sebenarnya perundingan Genewa merupakan kelanjutan perundingan WTO
yang dimulai di Doha, Qatar Nopember 200, tidak lama setelah terjadi tragedy 11
September.. Perundingan ini memunculkan pandangan tentang keterkaitan antara
kemiskinan global dan instabilitas internasional. Negara maju menjanjikan putaran
tersebut sebagai parputaran pembangunan (development round). Perundingan yang
ditujukan bagi terciptanya rezim perdagangan internasional yang lebih
memperhatikan kepentingan Negara berkembang untuk mengatasi kemiskinan.

Namun dalam kenyataan terjadi sebaliknya, dalam perundingan Genewa


kembali tidak tercapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Negara-negara
berkembang yang unggul di sektor pertanian dan unskilled labour menuntut
dilakukan penurunan tariff proteksi terhadap impor hasil pertanian di Negara-negara
maju. Sedangkan Negara maju ennggan memuluskan permintaan tersebut, bahkan
menuntut penurunan tarif terhadap masuknya manufaktur bertehnologi tinggi
dimana merupakan kelemahan pada Negara berkembang yang masih tertinggal
terkait tehnologi.

Kebuntuan di Genewa menunjukan keengganan Negara –negara maju untuk


mengorbankan kepentingan konstiuen politik domestiknya dibanding memenuhi
“Janji Doha” yakni memberikan dukungan pembangunan bagi Negara berkembang.
Keadaan seperti ini menyebabkan terjadinya penurunan produksi-produksi impor
unggulan di Negara-negara berkembang. Penurunan produksi tentu saja berakibat
pada kerugian-kerugian di sector factory Negara-negara berkembang yang pada
akhirnya memaksa untuk melkukan pengurangan tenga kerja yang ada. Kondisi
seperti inilah yang memicu terjadinya pemutusan hubungan kerja di sana-sini dan
memperbesar jumlah pengangguran. Dalam jumlah besar secara signifikan akan
berdampak pada berkurangnya kemampuan/daya beli masyarakat negara
berkembang sehingga terciptalah kemiskinan dimana-mana.

Sangat ironis sekali dengan apa yang terjadi di Negara-negara maju. Mereka
berusaha skeptis bahkan malah terang-terangan menaikan tariff bea masuk produk

5
impor khususnya hasil pertanian namun menunut diturunkannya tariff masuk
produk-produk bersifat tehnoligi tinggi dimana Negara berkembang tidak punya
kemampuan lebih ke sana. Hal seperti ini bisa dikatakan penjajahan model terkini
dengan alas an globalisasi bidang ekonomi.

Tidaklah mengherankan terjadinya gap antara Negara kaya dan negara


miskin.yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Hal ini perlu
pemecahan bersama, tidak hanya oleh kelompok Negara-negara berkembang saja
namun juga memerlukan keikhlasan dan ketulusan Negara-negara maju untuk
membantu merealisasikan janji dan kesepakatan bersama.

Beberapa alternative solusi dapat diambil oleh Negara erkembang


diantaranya adalah denganmembenahi sektor riil secara mendasar. Sektor riil yang
semakin kokoh merupakan prasyarat mutlak untuk menghadirkan keyakinan
investor dalam jangka panjang, sehingga lambat laun struktur modal masuk semakin
berkualitas, yang ditunjukkan oleh peningkatan porsi investasi portofolio oleh
investor institusional dan penanaman modal asing. Disamping itu dapat juga dengan
memperbesar porsi investor domestik, karena bagaimanapun sektor keuangan yang
sangat didominasi asing akan berpotensi menimbulkan volatilitas yang lebih tinggi.
Untuk itu, pasar keuangan membutuhkan pembenahan mendasar agar lebih
kredibel dan memberikan perlindungan kepada investor kecil. Sungguh sangat tidak
sehat kalau pergerakan indeks harga saham terlalu didominasi oleh segelintir
kelompok bisnis tertentu.

Untuk mengurangi dominasi kelompok usaha swasta tertentu, setiap


pemerintah di Negara berkembang perlu mendorong percepatan sejumlah BUMN
sehat untuk masuk bursa. Selain itu, proses divestasi perusahaan-perusahaan
asing, khususnya di sektor pertambangan, jangan diserahkan langsung kepada
pihak swasta nasional, melainkan dilakukan lewat bursa, sehingga pemilikan
kekayaan negara lebih merata, tidak terkonsentrasi pada segelintir kelompok usaha.

6
Cara demikian merupakan wujud dari penerapan demokratisasi ekonomi
yang lebih nyata. Sebagai langkah transisional, saham asing yang hendak
didivestasi bisa dialihkan terlebih dahulu kepada BUMN yang berusaha di sektor
sejenis yang telah tercatat di bursa.

Peningkatan rasa nasionalisme di negara berkembang dimungkinkan akan


sangat membantu memecahkan permasalahan ini. Salah satu wujud dari
nasionalisme ekonomi itu adalah semua unsur masyarakat tidak mencederai mata
uangnya sendiri. Langkah paling cepat ialah dengan meminta semua calon menteri
dan pejabat tinggi lainnya menjual kekayaan mata uang Negara mereka. Lebih elok
lagi kalau langkah ini dimulai dari pimpinan tertinggi di masing-masing Negara hal
ini dikarenakan banyak di Negara berkembang sangat banyak pejabat tinggi yang
menyimpan kekayaannya dalam valuta asing. Dengan demikian, dengan
mengedepankan pembenahan sektor riil yang komprehensif, niscaya sentimen
positif yang sudah terbentuk akan jadi modal dasar yang cukup untuk memulai
langkah bagi perwujudan negara yang mampu menyatukan perekonomian domestik
yang kokoh dan berdaya saing menuju negara maju, mandiri, dan berkeadilan.

Beberapa sasaran strategis yang perlu dicanangkan pemerintah Negara


berkembang di masa mendatang sehingga tercapai percepatan pertumbuhan
ekonomi yang merata dan berkeadilan yakni:
1. Struktur ekonomi yang kokoh yang tak rentan diterpa gejolak eksternal,
mandiri, dan berdaya saing;
2. Sumber daya manusia berkualitas;
3. Mobilisasi seluruh potensi sumber dana dalam negeri untuk menghasilkan
pembiayaan yang selaras dengan kebutuhan investasi;
4. Pemanfaatan sumber daya alam secara sinergis dan lestari; dan
5. Birokrasi yang kompeten, efektif, dan bersih.

Dengan meningkatnya volume perdagangan ekspor impor suatu Negara


secara sifnifikan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu Negara.

7
Peningkatan produksi-produksi impor unggulan di Negara-negara berkembang tentu
saja berakibat pada keuntungan-keuntungan di sector factory Negara-negara
berkembang, yang pada akhirnya pengangguran dapat diminimalkan atau bahkan
terjadi penciptaan lapangan kerja. Dalam jumlah besar secara signifikan keadaa ini
akan berdampak pada peningkatan kemampuan/daya beli masyarakat negara
berkembang sehingga terciptalah kemakmuran dimana-mana.

Anda mungkin juga menyukai