Anda di halaman 1dari 31

SISTEM PEMBIAYAAN KESEHATAN

SISTEM BPJS DI RUMAH SAKIT

Disusun Oleh
NI LUH DIAN KUSMIRA

14120706023

I PUTU WIPA WIDARSA PUTRA

14120706035

ELZA ANASTAZYAH SUTRISNO

14120706036

PUTU VIERDA LYA SUANDARI

14120706037

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT


FAKULTAS KESEHATAN SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA
2015

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masalah pembiayaan kesehatan, pada akhir- akhir ini banyak dikeluhkan
masyarakat. Mereka mengeluh, oleh karena sakit menjadi mahal. Semakin meningkatna
biaya pelayanan kesehatan dapat disebabkan karena terjadinya asymmetry of information
antara pemberi pelayanan kesehatan dengan orang yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. Sehingga masyarakat cenderung menerima saja apa yang disarankan oleh
pemberi pelayanan kesehatan atau disebut juga consumer ignorance. Selain biaya,
tuntutan masyarakat akan mutu pelayanan kesehatan, di samping menyelenggarakan
pelayanan kesehatan Rumah Sakit juga banyak disorot oleh masyarakat mengenai kinerja
tenaga-tenaga kesehatan. Kesehatan adalah hak dasar setiap individu dan semua warga
negara berhak mendapatkan pelayanan kesehatan termasuk masyarakat miskin. Dengan
terbitnya Undang-Undang RI Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) menjadi suatu bukti yang kuat bahwa pemerintah memiliki komitmen
yang besar dalam mewujudkan kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat. Upaya
pemerintah dalam mempercepat terselenggaranya sistem jaminan nasional secara
menyeluruh bagi rakyat Indonesia maka dibentuklah suatu Badan Penyelenggara
Jaminan Sosial (BPJS).
Di Indonesia, pelaksanaan beberapa program pemeliharaan kesehatan telah
mengarah kepada penerapan konsep Managed Care, seperti yang dilaksanakan oleh PT
Askes, PT Jamsostek dan beberapa Badan Penyelenggara (Bapel), Jaminan Pemeliharaan
Kesehatan Masyarakat (JKBM) lainnya. Managed care diIndonesia adalah suatu upaya
penyelenggaraan pemeliharaan kesehatan secara paripurna, terstruktur, yang dijamin
kesinambungan serta mutunya, dimana pembiayaannya dilaksanakan secara pra upaya.
Pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif
(pencegahan) dan promotif (peningkatan) dengan sasaran masyarakat. Rumah Sakit

adalah institusi pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang


menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat. Diamana Rumah
sakit memegang peranan penting terhadap meningkatnya derajat kesehatan masyarakat.
Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan kesehatan yang menerapkan sistem
pelayanan BPJS. Rumah sakit dituntut untuk memberikan pelayanan yang bermutu
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan
masyarakat.
Dalam memberikan pelayanannya rumah sakit harus cepat tanggap terhadap
kebutuhan pasien baik itu dari segi pengobatan, administrasi maupun ketepatan dalam
bertindak. Tidak semua rumah sakit akan kita dapatkan mutu pelayanan yang maksimal
untuk pasiennya. Untuk itu kita sangat perlu mengetahui pelayanan Managed Care dalam
pelaksanaan BPJS di Rumah Sakit.
1.2. Rumusan Masalah
Agar dalam penyusunan laporan ini dapat terarah, maka penulis membatasi
beberapa masalah yang akan diangkat. Beberapa masalah yang penulis angkat adalah
sebagai berikut:
1.2.1.

Bagaimana sistem pelayanan Managed Care dalam pelaksanaan BPJS di


Rumah Sakit?

1.3. Tujuan Penulisan


Tujuan Penulisan laporan ini adalah sebagai berikut:
1.3.1.

Untuk mengetahui sistem pelayanan Managed Care dalam pelaksanaan BPJS


di Rumah Sakit.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan dari laporan ini adalah sebagai
berikut:
1.4.1.

Bagi Institusi Pendidikan


Sebagai sumber pustaka bagi Mahasiswa Universitas Dhyana
Pura.

1.4.2.

Bagi penulis
Menambah dan memperdalam pengetahuan penulis tentang
Jaminan Kesehatan Nasional dalam BPJS.

1.5. Sistematika Penulisan


Untuk memudahkan dalam memahami isi laporan ini, maka penulis membuat
sistematika penulisan sebagai berikut :
Bab I

Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang, rumusan masalah, tujuan, manfaat
dan sistematika penulisan.

Bab II Kajian Teori


Bab ini berisi tentang pengertian BPJS dan rumah sakit.
Bab III Hasil dan Pembahasan
Bab ini berisi tentang hasil dan pembahasan.
Bab IV Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran.
Daftar Pustaka
Lampiran

BAB II

KAJIAN TEORTITIK

2.1. Pengertian BPJS


Menurut UU no. 24 tahun 2011 tentang BPJS pasal 7 ayat (1) dan Ayat (2), pasal
9 ayat (1) dan UU. No. 40 Tahun 2011 Tentang SJSN, Pasal 1 Angka 8, Pasal 4 Dan
Pasal 5 ayat (1)). Badan Penyeleggara jaminan social kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah
badan hukum public yang bertanggung jawab kepada presiden dan berfungsi
menyelenggarakan program jaminan kesehatan bagi seluruh penduduk Indonesia
termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) Bulan di Indonesia. BPJS
Kesehatan bersama BPJS Ketenagakerjaan (dahulu bernama Jamsostek) merupakan
program pemerintah dalam kesatuan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang
diresmikan pada tanggal 31 Desember 2013. Untuk BPJS Kesehatan mulai beroperasi
sejak tanggal 1 Januari 2014, sedangkan BPJS Ketenagakerjaan mulai beroperasi sejak 1
Juli 2014.
2.1.1. Landasan Hukum BPJS Kesehatan :
1. Undang-Undang Dasar 1945
2. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial
2.1.2. Pembiayaan
Untuk pelaksanaannya, BPJS

merancang atau mengadaptasikan sistem

pelayanan kesehatan dan pembiayaan dalam satu modul, yaitu Ina CBGs (Case
Based Group).
Ina CBGs ini boleh dikatakan merupakan lanjutan yang lebih holistik dari
Ina DRG yang pernah dijalankan oleh RS Pemerintah pada awal-awal dimulainya

Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Kesehatan. Pelayanan kesehatan, dalam


hal ini penanganan pasien berdasarkan sistem rujukan yaitu pelayanan berjenjang
dari mulai pelayanan primer (dokter umum) sekunder (dokter spesialis) tersier
(dokter subspesialis) yang digunakan dalam sistem pembiayaan berdasarkan sistem
pembayaran prospektif dimana pembayaran pelayanan kesehatan yang harus
dibayar, besaran biayanya sudah ditetapkan dari awal sebelum pelayanan kesehatan
diberikan, yaitu dengan cara Ina CBGs. Sistem Casemix Ina CBGs adalah suatu
pengklasifikasian atau pengelompokkan dari perawatan holistik pasien yang
dirancang untuk menciptakan kelas-kelas yang relatif homogen dalam hal sumber
daya yang akan digunakan dan berisikan pasien-pasien dengan karakteristik klinis
yang sejenis (George Palmer, Beth Reid). Case Base Group (CBGs) yaitu cara
pembayaran keseluruhan biaya perawatan pasien berdasarkan diagnosis atau kasus
yang relatif sama.
Manfaat yang dapat kita peroleh dari penerapan kebijakan program CASE
MIX Ina CBGs secara umum adalah secara medis dan ekonomi. Dari segi medis,
para klinisi dapat mengembangkan perawatan pasien secara komprehensif, tetapi
langsung kepada penanganan penyakit yang diderita oleh pasien. Secara ekonomi,
dalam hal ini keuangan (costing) kita jadi lebih efisien dan efektif dalam
penganggaran biaya kesehatan. Sarana pelayanan kesehatan akan menghitung
dengan cermat dan teliti dalam penganggarannya.
2.1.3. Manfaat bagi pasien
Adanya kepastian dalam pelayanan dengan prioritas pengobatan berdasarkan
derajat keparahan. Dengan adanya batasan pada lama rawat (length of stay) pasien
mendapatkan perhatian lebih dalam tindakan medis dari para petugas rumah sakit,
karena berapapun lama rawat yang dilakukan biayanya sudah ditentukan. Pasien

menerima kualitas pelayanan kesehatan yang lebih baik. Mengurangi pemeriksaan


dan penggunaan alat medis yang berlebihan oleh tenaga medis sehingga
mengurangi resiko yang dihadapi pasien.
2.1.4. Manfaat bagi rumah sakit
Rumah sakit mendapat pembiayaan berdasarkan kepada beban kerja
sebenarnya. Dapat meningkatkan mutu dan efisiensi peayanan rumah sakit.Bagi
dokter atau klinisi dapat memberikan pengobatan yang tepat untuk pelayanan lebih
baik berdasarkan derajat keparahan, meningkatkan komunikasi antar spesialisasi
atau multi-disiplin ilmu agar perawatan dapat secara komprehensif serta dapat
memonitor QA dengan cara yang lebih objektif. Perencanaan budget anggaran
pembiayaan dan belanja yang lebih akurat. Dapat untuk mengevaluasi kualitas
pelayanan yang diberikan oleh masing-masing klinisi.
Keadilan (equity) yang lebih baik dalam pengalokasian budget anggaran.
Mendukung sistem perawatan pasien dengan menerapkan Clinical Pathway.
Manfaat bagi penyandang dana pemerintah (Provider) Dapat meningkatkan
efisiensi dalam pengalokasian anggaran pembiayaan kesehatan. Dengan anggaran
pembiayaan yang efisien, equity terhadap masyarakat luas akan terjangkau. Secara
kualitas pelayanan yang diberikan akan lebih baik sehingga meningkatkan
kepuasan pasien dan provider/pemerintah. Penghitungan tarif pelayanan lebih
objektif dan berdasarkan kepada biaya yang sebenarnya. Singkatnya penentuan
tarif jasa medis dalam Ina CBGs adalah suatu sistem pengelompokan penyakit
berdasarkan:
1. Ciri klinis yang sama
2. Biaya perawatan yang sama
3. Kelas perawatan yang sama

2.1.5. Tugas BPJS


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Melakukan pendaftaran/penerimaan peserta


Memungut dan mengumpulkan iuran dari Peserta dan Pemberi Kerja
Menerima bantuan iuran dari Pemerintah
Mengelola Dana Jaminan Sosial untuk kepentingan Peserta
Mengumpulkan dan mengelola data peserta Program Jaminan Sosial
Membayarkan manfaat/membiayai pelkes sesuai ketentuan Program

Jaminan Sosial
7. Memberikan informasi mengenai penyelenggaraan Program Jaminan
Sosial kepada Peserta dan masyarakat
2.1.6. Wewenang BPJS
1. Menagih pembayaran iuran
2. Menempatkan Dana Jaminan

Sosial

untuk

investasi

Jangka

Panjang/Pendek
3. Melakukan pengawasan dan pemeriksaan atas kepatuhan Peserta dan
Pemberi Kerja dlm memenuhi kewajibannya
4. Membuat kesepakatan dgn faskes mengenai pembayaran mengacu pada
standar tarif
5. Membuat/menghentikan kontrak dgn faskes
6. Mengenakan sanksi administratif thd Pekerja dan Pemberi Kerja
7. Melaporkan Pemberi Kerja kpd instansi berwenang mengenai
ketidakpatuhan terkait iuran dan kewajiban lainnya
8. Melakukan kerja sama dgn pihak lain dlm rangka penyelenggaraan
program Jaminan Sosial
2.1.7. Hak Peserta
1. Memperoleh identitas Peserta
2. Memperoleh manfaat pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan yg
bekerjasama dgn BPJS Kesehatan
2.1.8. Kewajiban Peserta
1. Membayar iuran
2. Melaporkan data kepesertaannya

kepada

BPJS

Kesehatan dgn

menunjukkan identitas Peserta pd saat pindah domisili dan atau pindah


kerja.
7

2.1.9. Manfaat Jaminan Kesehatan


1. Bersifat pelayanan kesehatan perorangan, mencakup pelayanan promotif,
preventif, kuratif, rehabilitatif, pelayanan obat, bahan medis habis pakai
sesuai dengan indikiasi medis yang diperlukan
2. Manfaat Medis yang tidak terikat dengan besaran iuran yang dibayarkan
3. Manfaat non medis yang ditentukan berdasarkan skala besaran iuran
yang dibayarkan, termasuk didalamnya manfaat akomodasi
4. Ambulans diberikan untuk pasien rujukan dari fasilitas kesehatan dengan
kondisi tertentu yang ditetapkan oleh BPJS Kesehatan
2.1.10. Pelayanan Kesehatan Yang Dijamin
1. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (RJTP dan RITP)
Pelayanan kesehatan tingkat pertama, meliputi pelayanan kesehatan non
spesialistik yang mencakup:
a.
b.
c.
d.

Administrasi pelayanan;
Pelayanan promotif dan preventif;
Pemeriksaan, pengobatan, dan konsultasi medis;
Tindakan medis non spesialistik, baik operatif maupun non

operatif;
e. Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
f. Transfusi darah sesuai dengan kebutuhan medis;
g. Pemeriksaan penunjang diagnostik laboratorium tingkat pratama;
dan
h. Rawat inap tingkat pertama sesuai dengan indikasi
2. Pelayanan Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (RJTL dan RITL)
Pelayanan kesehatan rujukan tingkat lanjutan, meliputi pelayanan
kesehatan yang mencakup:
a. Rawat Jalan yang Meliputi:
o Administrasi pelayanan;
o Pemeriksaan, pengobatan dan konsultasi spesialistik oleh
dokter spesialis dan subspesialis;
o Tindakan medis spesialistik sesuai dengan indikasi medis;
o Pelayanan obat dan bahan medis habis pakai;
o Pelayanan alat kesehatan implan;

o Pelayanan penunjang diagnostik lanjutan sesuai dengan


indikasi medis;
o Rehabilitasi medis;
o Pelayanan darah;
o Pelayanan kedokteran forensik; dan
o Pelayanan jenazah di Fasilitas Kesehatan.
b. Rawat Inap yang Meliputi:
o Perawatan inap non intensif; dan
o Perawatan inap di ruang intensif.
3. Pelayanan Kesehatan Lain yang ditetapkan oleh Menteri
2.1.11. Ruang Perawatan
a. Ruang Perawatan Kelas III bagi:
o Peserta PBI Jaminan Kesehatan; dan
o Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan
iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas III.
b. Ruang Perawatan Kelas II bagi:
o Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun Pegawai Negeri Sipil
golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota keluarganya;
o Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota
keluarganya;
o Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota
keluarganya;
o Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara Pegawai Negeri
Sipil golongan ruang I dan golongan ruang II beserta anggota
keluarganya;
o Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan sampai dengan 1.5 (satu koma
lima) kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan 1
(satu) anak, beserta anggota keluarganya; dan
o Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan
iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas II;
9

c. Ruang Perawatan Kelas I bagi:


o Pejabat Negara dan anggota keluarganya;
o Pegawai Negeri Sipil dan penerima pensiun pegawai negeri sipil golongan
ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota keluarganya;
o Anggota TNI dan penerima pensiun Anggota TNI yang setara Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya;
o Anggota Polri dan penerima pensiun Anggota Polri yang setara Pegawai
Negeri Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya;
o Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri yang setara Pegawai Negeri
Sipil golongan ruang III dan golongan ruang IV beserta anggota
keluarganya;
o Veteran dan Perintis Kemerdekaan beserta anggota keluarganya;
o Peserta Pekerja Penerima Upah bulanan lebih dari 1.5 (satu koma lima)
kali penghasilan tidak kena pajak dengan status kawin dengan 1 (satu)
anak, beserta anggota keluarganya; dan
o Peserta Pekerja Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja dengan
iuran untuk Manfaat pelayanan di ruang perawatan kelas I.
2.1.12. Pelayanan Kesehatan Yang Tidak Dijamin
a. pelayanan kesehatan yang dilakukan tanpa melalui prosedur sebagaimana
diatur dalam peraturan yang berlaku;
b. pelayanan kesehatan yang dilakukan di Fasilitas Kesehatan yang tidak
bekerjasama dengan BPJS Kesehatan, kecuali untuk kasus gawat darurat;
c. pelayanan kesehatan yang telah dijamin oleh program jaminan kecelakaan
kerja terhadap penyakit atau cedera akibat kecelakaan kerja atau hubungan
d.
e.
f.
g.

kerja;
pelayanan kesehatan yang dilakukan di luar negeri;
pelayanan kesehatan untuk tujuan estetik;
pelayanan untuk mengatasi infertilitas;
Pelayanan meratakan gigi (ortodensi);

10

h. gangguan kesehatan/penyakit akibat ketergantungan obat dan/atau


alkohol;
i. gangguan kesehatan akibat sengaja menyakiti diri sendiri, atau akibat
melakukan hobi yang membahayakan diri sendiri;
j. pengobatan komplementer, alternatif dan tradisional, termasuk akupuntur,
shin she, chiropractic, yang belum dinyatakan efektif berdasarkan
penilaian teknologi kesehatan (health technology assessment);
k. pengobatan dan tindakan medis yang dikategorikan sebagai percobaan
(eksperimen);
l. alat kontrasepsi, kosmetik, makanan bayi, dan susu;
m. perbekalan kesehatan rumah tangga;
n. pelayanan kesehatan akibat bencana pada masa tanggap darurat, kejadian
luar biasa/wabah;
o. biaya pelayanan lainnya yang tidak ada hubungan dengan Manfaat
Jaminan Kesehatan yang diberikan.

11

1. Peserta BPJS membawa kartu BPJS Kesehatan atau kartu anggota Askes yang lama
mendatangi fasilitas kesehatan tingkat pertama tempat peserta terdaftar, (Puskesmas,
dokter keluarga, klinik TNI/Polri, dan fasilitas kesehatan setingkat itu). Pada tahap ini
peserta akan mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai kompetensi dan kapasitas
fasilitas kesehatan di tingkat pertama tersebut (seperti konsultasi kesehatan,
laboratorium klinik dasar dan obat-obatan).
2. Apabila setelah pemeriksaan awal pasien belum sembuh, maka pasien dirujuk ke
fasilitas kesehatan tingkat lanjutan (Rumah Sakit Pemerintah, Rumah Sakit Swasta,
Rumah Sakit TNI-Polri yang bekerjasama dengan BPJS kesehatan). Sedangkan untuk
kondisi gawat darurat, peserta BJPS bisa mendapatkan pelayanan fasilitas kesehatan
tingkat lanjutan, tanpa mendapatkan rujukan dari fasilitas kesehatan tingkat pertama.
3. Di fasilitas Kesehatan Tingkat lanjutan, peserta menunjukkan kartu BPJS Kesehatan
atau kartu lama dan surat rujukan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama kepada petugas
BPJS kesehatan Center. Selanjutnya petugas akan menerbitkan surat Eligibilitas
Peserta (SEP) sebagai dokumen yang menyatakan bahwa peserta dirawat dengan
biaya BPJS Kesehatan.
4. Setelah mendapatkan SEP, pasien akan mendapatkan pelayanan kesehatan di Fasilitas
Kesehatan Tingkat Lanjutan, baik untuk pelayanan rawat jalan ataupun rawat inap.
Apabila penyakit pasien dapat ditangani tanpa harus mendapatkan perawatan inap,
pasien boleh pulang atau dirujuk kembali ke Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.
Sedangkan untuk pasien dengan penyakit kronis, dapat masuk ke dalam program
Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis) di Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama
tersebut.

2.2. Pengertian Rumah Sakit


Menurut kamus Umum Bahasa Indonesia, Rumah Sakit didefinisikan sebagai:
12

- Rumah tempat merawat orang sakit


- Tempat menyediakan dan memberikan pelayanan kesehatan yang meliputi
berbagai masalah kesehatan
Sedangkan menurut undang-undang tentang Rumah sakit adalah institusi pelayanan
kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan kesehatan perorangan secara paripurna
yang menyediakan pelayanan rawat inap, rawat jalan, dan gawat darurat.
Menurut WHO (World Health Organization), rumah sakit adalah bagian integral dari
suatu organisasi sosial dan kesehatan dengan fungsi menyediakan pelayanan paripurna
(komprehensif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pencegahan penyakit (preventif)
kepada masyarakat. Rumah sakit juga merupakan pusat pelatihan bagi tenaga kesehatan
dan pusat penelitian medik.
2.2.1. Fungsi Rumah Sakit
Rumah sakit mempunyai tugas memberikan pelayanan kesehatan peorangan
secara paripurna. Untuk menjalankan tugas sebagaimana dimaksud, rumah sakit
mempunyai fungsi:
1. penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai
dengan standart pelayanan rumah sakit;
2. pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan
kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;
3. penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka
peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan
4. penyelenggaraan penelitian dan pengembangan serta penapisan teknologi
bidang kesehatan dalam rangka peningkatan pelayanan kesehatan dengan
memperhatikan etika ilmu pengetahuan bidang kesehatan.
2.2.2. Klasifikasi Rumah Sakit Umum
Rumah sakit sebagai sarana pelayanan kesehatan, yang berjenjang dan
fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan
13

berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit, Klasifikasi Rumah


Sakit Umum beserta jumlah minimal tempat tidur yang tersedia adalah:
1.
2.
3.
4.

Rumah Sakit umum kelas A - tempat tidur minimal 400 buah ,


Rumah Sakit umum kelas B - tempat tidur minimal 200 buah,
Rumah Sakit umum kelas C - tempat tidur minimal 100 buah,
Rumah Sakit umum kelas D - tempat tidur minimal 50 buah.

2.3. Pengertian Pelayanan Rawat Jalan


Menurut Faste (1998), Pelayanan rawat jalan adalah satau bentuk dari pelayanan
kedokteran yang secara sederhana. Pelayanan kedokteran yang sederhana. Pelayanan
kedokteran yang disediakan untuk pasien tidak dalam rawat inap ( Hospitalizatio).
Menurut Azrul Azwar, (1997) Rawat Jalan adalah pelayanan kedokteran di Indonesia
dapat di bedakan atas dua macam yaitu diselenggarakan oleh swasta banyak macamnya,
yaitu praktek bidan, praktek gigi, praktek darurat (perorangan atau pkelompok),
poliklinik, balai pengobatan, dan sebagainya. Yang seperti ini sebagai pelaksanakan
pelayanan kesehatan tingkat pertama serta praktek dokter spesialis dan rumah sakit
sebagai jenjang sarana pelayanan keshatan tingkat ke-2 dan ke-3.
2.4. Pelayanan Rawat Inap
Rawat inap adalah pelayanan pasien yang perlu menginap dengan cara menempati
tempat tidur untuk keperluan observasi, diagnosa dan terapi bagi individu dengan
keadaan medis, bedah, kebidanan, penyakit kronis atau rehabilitasi medik atau pelayanan
medik lainnya dan memerlukan pengawasan dokter dan perawat serta petugas medik
lainnya setiap hari. Kategori pasien yang masuk rawat inap adalah pasien yang perlu
perawatan intensif atau observasi ketat karena penyakitnya.
2.5. Pelayanan Tenaga Medik
Tenaga medis merupakan unsur yang memberikan pengaruh paling besar dalam
menentukan kualitas dari pelayanan yang diberikan kepada pasien di Rumah Sakit.
14

Fungsi utamanya adalah memberikan pelayanan medik kepada pasien dengan mutu
sebaik-baiknya , menggunakan tata cara dan teknik berdasarkan ilmu kedokteran dan etik
yang berlaku serta dapat dipertanggung jawabkan kepada pasien dari rumah sakit.

2.6. Penyediaan Sarana Medik, Non Medik dan Obat-obatan


Standar peralatan yang harus dimiliki oleh rumah sakit sebaga penunjang untuk
melakukan diagnosis, pengobatan, perawatan dan sebagainya tergantung dari tipe rumah
sakit, di samping tersedianya sarana penunjang medik juga tersedia alat-alat
keperawatan. Dalam rumah sakit, obat merupakan sarana yan mutlak diperlukan, bagian
farmasi bertanggung jawab atas pengawasan dan kualitas obat. Persediaan obat harus
cukup, penyimpanan efektif, diperhatikan tanggal kadaluwarsanya, dan sebagainya
2.7. Pengertian Managed Care
Managed Care adalah suatu sistem pembiayaan pelayanan kesehatan yang disusun
berdasarkan jumlah anggota yang terdaftar dengan kontrol mulai dari perencanaan
pelayanan serta meliputi ketentuan :
a. Ada kontrak dengan penyelenggara pelayanan kesehatan untuk pelayanan yang
komprehensif.
b. Penekanan agar peserta tetap sehat sehingga utilitasi berkurang.
c. Unit layanan harus memenuhi standar yang telah ditetapkan.
d. Ada program peningkatan mutu layanan.
2.7.1. Ciri cirri Managed Care
Ada beberapa cirri Managed Care yaitu :
a.
b.
c.
d.

Kontrol utilisasi yang ketat sesuai mekanisme kontrak.


Monitoring dan kontrol pelayanan yang diberikan.
Memakai dokter umum dan tenaga medik lainnya untuk mengelola pasien.
Menciptakan layanan kesehatan yang sesuai dengan standar yang

ditetapkan.
e. Ada program perbaikan kualitas.
15

f. Sistem reimburse yang membuat sarana pelayanan kesehatan (dokter,


puskesmas, rumah sakit dll) dapat mempertanggungjawabkan biaya dan
kualitas layanan kesehatan.
2.7.2. Faktor utama dalam managed care antara lain :
a. Mengelola pembiayaan dan pemberian jasa pelayanan kesehatan.
b. Menggunakan teknik kendali biaya.
c. Membagi risiko keuangan antara provider dan badan asuransi.
2.7.3. Bentuk Managed Care
1. HMO (Health Maintanance Organization)
HMO adalah satu bentuk managed care yang mempunyai ciri sebagai berikut :
a. Pembayaran premi didasarkan pada perhitungan kapitasi. Kapitasi adalah
pembayaran ter hadap penyelenggara pelayanan kesehatan berdasarkan
jumlah sasaran anggota, biasanya didasarkan atas konsep wilayah dan
bukan berdasarkan jumlah pelayanan yang diberikan. Dulu (HMO
tradisional) dibayar reimburse berdasarkan fee for service.
b. Terikat pada lokasi tertentu.
c. Pembayaran out of pocket sangat minimal.
d. Ada dua bentuk HMO; pertama, HMO merupakan badan penyelenggara
merangkap sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan sehingga kontrol
lebih baik dan mengurangi utilisasi yang berlebihan. Kedua, HMO
mengontrol penyelenggara pelayanan kesehatan.
e. Pilihan PPK terbatas, perlu waktu untuk menukar PPK.
f. Ada pembagian risiko dengan PPK.
g. Kendali biaya dan pemanfaatan tinggi.
h. Ada kemungkinan mutu pelayananrendah.
2. PPO (Preferred Provider Organization) dan POS (Point of Service)
PPO dan POS Merupakan bentuk managed care yang memberikan pilihan
PPK yang lebih luas kepada konsumen yaitu provider yang termasuk dalam
jaringan danprovideryang tidak termasuk dalam jaringan pelayanan sehingga
harus dibayar penuh.

16

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.

Kebebasan memilih PPK.


Insentif untuk menggunakan PPK murah.
Pembayaran PPK berdsarkan fee for service dengan potongan harga.
Pengeluaran out of pocket sedang.
Inflasi biaya relatif masih tinggi.
Ada kendali utilitas dan mutu.
Tumbuh paling cepat.

2.8. Pengertian Pelayanan Kesehatan


Menurut Prof. Dr. Soekidjo Notoatmojo, Pelayanan kesehatan adalah sub sistem
pelayanan kesehatan yang tujuan utamanya adalah pelayanan preventif (pencegahan)
dan promotif( peningkatan kesehatan ) dengan sasaran masyarakat. Sedangkan menurut
Levey dan Loomba (1973), Pelayanan Kesehatan Adalah upaya yang diselenggarakan
sendiri/secara

bersama-sama

dalam

suatu

organisasi

untuk

memelihara

dan

meningkatkan kesehatan, mencegah, dan mencembuhkan penyakit serta memulihkan


kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat.
Jadi pelayanan kesehatan adalah sub sistem pelayanan kesehatan yang tujuan
utamanya adalah promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan), preventif
(pencegahan),

kuratif

(penyembuhan),

dan

rehabilitasi

(pemulihan)

kesehatan

perorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat, lingkungan.

2.8.1. Tujuan Pelayanan Kesehatan :


1. Promotif (memelihara dan meningkatkan kesehatan)
Hal ini diperlukan misalnya dalam peningkatan gizi, perbaikan sanitasi
lingkungan.
2. Preventif (pencegahan terhadap orang yang berisiko terhadap penyakit)
Terdiri dari :
a. Preventif primer
Terdiri dari program pendidikan, seperti imunisasi,penyediaan nutrisi yang
baik, dan kesegaran fisik
17

b. Preventive sekunder
Terdiri dari pengobatan penyakit pada tahap dini untuk membatasi
kecacatan dengan cara mengindari akibat yang timbul dari perkembangan
penyakit tersebut.
c. Preventif tersier
Pembuatan diagnose

dDitunjukan

untuk

melaksanakan

tindakan

rehabilitasi, pembuatan diagnose dan pengobatan


d. Kuratif (penyembuhan penyakit)
e. Rehabilitasi (pemulihan)
Usaha pemulihan seseorang untuk mencapai fungsi normal atau
mendekati normal setelah mengalami sakit fisik atau mental , cedera atau
penyalahgunaan.
2.8.2. Bentuk Pelayanan Berdasarkan Kesehatan Berdasarkan Tingkatannya
1)

Pelayanan kesehatan tiongkat pertama (primer)


Diperlukan untuk masyarakat yang sakit ringan dan masyarakat yang sehat
untuk meningkatkan kesehatan mereka atau promosi kesehatan. Contohnya :
Puskesmas,Puskesmas keliling, klinik.

2)

Pelayanan kesehatan tingkat kedua ( sekunder)


Diperlukan untuk kelompok masyarakat yang memerlukan perawatan inap,
yang sudah tidak dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. Contoh :
Rumah Sakit tipe C dan Rumah Sakit tipe D.

3)

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga ( tersier)


Diperlukan untuk kelompok masyarakat atau pasien yang sudah tidak dapat
ditangani oleh pelayanan kesehatan sekunder. Contohnya: Rumah Sakit tipe
A dan Rumah sakit tipe B.

2.8.3. Aspek Pelayanan Kesehatan


Pelayanan kesehatan adalah setiap upaya diselenggarakan sendiri secara
bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan

18

kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan


perorangan, keluarga, kelompok dan ataupun masyarakat (Azrul Azwar, 1996).
Dalam hal ini dapat dilakukan dengan pemberian penyuluhan kesehatan tentang
bagaimana cara memelhara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan
menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga,
kelompok

dan

ataupun

masyarakat

yang

meliputi

pelayanan

preventif

(pencegahan) dan promotif (peningkatan kesehatan) dengan sasaran masyarakat.


2.8.4. Pelayanan Kesehatan Yang Optimal Untuk Masyarakat
Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal dan berkualitas kepada
masyarakat luas bukanlah perkara mudah, tetapi juga bukan merupakan hal yang
mustahil untuk diwujudkan. Diperlukan program-program matang sekaligus
beberapa ketetapan penting dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, sehingga baik pemberi pelayanan atau pun penerima pelayanan samasama diuntungkan.
Beberapa orang mengeluhkan fasilitas dan peralatan yang kurang canggih,
tetapi apabila semua peralatanya canggih tetapi tidak diimbangi dengan kualitas
SDM maka hasilnya pun akan tetap sama. Beberapa kekurangan didalam SDM
yang masih harus ditanggulangi adalah permasalahan kedisiplinan dan juga
pembagian porsi kerja yang tepat. Masih ada beberapa tenaga puskesmas yang
bekerja tidak pada tempatnya atau malah bekerja di banyak bidang, seperti
contohnya seorang Bidang harus juga menangani permasalahan Tata Usaha,
sehingga selain konsentrasi terbelah, pelayanan yang diberikan ini pun tidak
optimal dikarenakan ilmu yang dimiliki tidak sesuai dengan bidangnya.
Setelah upaya-upaya pembenahan kualitas pelayanan kesehatan ditempuh,
monitoring dan evaluasi pun dilakukan dengan tujuan pemantauan lebih lanjut

19

terhadap program yng telah diberikan. Bidang pelayanan kesehatan juga


mempunyai tugas merencanakan, melaksanakan pembinaan dan koordinasi serta
pengawasan dan pengendalian program pelayanan kesehatan.

20

BAB III
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Hasil dan Pembahasan
Rumah sakit membutuhkan banyak biaya dalam memelihara dan beroperasi secara
optimal. Institusi ini memberikan kebutuhan layanan kesehatan bagi jumlah populasi
yang besar, dimana mereka juga membutuhkan teknologi tinggi dan sumber daya
manusia yang memiliki keahlian dan pengalaman tinggi. Rumah sakit sangat disarankan
untuk memperlengkapi institusinya dengan teknologi yang sesuai untuk peluncuran
jaminan kesehatan social yang menyediakan cakupan universal, seperti BPJSN yang
melayani keseluruhan populasi di Indonesia dengan produk dan layanan yang bervariasi.
Bersama dengan itu, ekspektasi akan keamanan pasien dan kualitas yang tinggi
bertambah. Tanpa penilaian teknologi kesehatan (HTA) yang sesuai, arus teknologi dan
ide harus dibatasi untuk mencegah isu imbas permintaan supplier (supplier induced
demand) oleh beragam penyedia layanan kesehatan yang tidak bermoral. Hal ini
mengarah kepada tingginya resiko pelayanan pasien dan memaparkan kewajiban pada
penyandang dana, begitu pula ekspektasi yang tinggi dalam efisiensi rumah sakit yang
dapat didukung oleh sistem Casemix.
Rumah sakit terlibat dalam penyediaan layanan yang bervariasi bagi pelanggan
eksternal, contoh: para pasien. Fungsi-fungsi ini akan melibatkan manajemen kuratif
dalam mengangani penyakit, dan bertindak sebagai mekanisme terapi. Rumah sakit juga
terlibat dalam pendidikan pasien dan penyedia layanan kesehatan lainnya, yang biasanya
terikat dalam institusi pendidikan. Mereka juga akan menjadi pusat dari lembagalembaga penelitian untuk menjalankan bermacam-macam percobaan klinis dan studi
intervensi. Dengan banyaknya dokter yang ada dalam rumah sakit, mereka juga
diharapkan untuk menyediakan pelayanan sosial bagi komunitas dan massa publik. Hal

21

ini dapat mereka lakukan sendiri atau bersama-sama dengan organisasi lain seperti LSM,
universitas, atau institusi penelitian. Rumah sakit juga menjadi entitas bisnis, yang
menyediakan layanan tertentu yang menghasilkan keuntungan, menarik perhatian turis
(contoh: health tourism) dengan paket dan daya tariknya sendiri.
Bersamaan dengan perkembangan yang ada saat ini dengan BPJS dan cakupan
semesta pelayanan kesehatan, ditemukan kebutuhan yang serius akan adanya manajemen
berkualitas didalam pelayanan kesehatan dan rumah sakit di Indonesia. INA-CBG dan
sistem Casemix dapat membantu untuk menahan biaya yang melonjak, meningkatkan
keamanan pasien, mendasari pengobatan menurut fakta yang ada, dan memberikan
perawatan ilmiah terbaik.
Penerapan sistem BPJS kesehatan di instansi pelayanan kesehatan menalami pro
dan kontra. Dalam implementasi sistem yang ditetapkan BPJS Kesehatan dengan
pelaksanaannya di instansi pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit terjadi
beberapa kendala atau kekurangan yang dirasakan pihak rumah sakit serta masyarakat
yang menggunakan jasa fasilitas asuransi ini. BPJS Kesehatan sebagai fasilitas kesehatan
masyarakat juga memiliki beberapa kekurangan yang mesti kita perhatikan. Karena
tidak mungkin BPJS Kesehatan akan sempurna atau perfect.

Dengan memahami

kekurangan yang ada di BPJS Kesehatan maka kita akan bisa mengantisipasinya
sehingga kita akan bisa memaksimalkan penggunaan BPJS Kesehatan.
Dengan biaya iuran yang super murah dan jumlah penduduk Indonesia yang cukup
banyak maka ada beberapa kemungkinan yang akan menjadikan BPJS Kesehatan
memiliki beberapa kendala dan kekurangan dan kesulitan yang akan dihadapi seperti :
1. Prosedur yang lebih panjang
Yang perlu kita pahami pertama adalah bahwa BPJS Kesehatan memiliki
aturan dan prosedur dalam memberikan pelayanannya.

22

Sistem BPJS Kesehatan

menggunakan sistem rujukan secara berjenjang. Maksud dari rujukan berjenjang


adalah bahwa para peserta asuransi BPJS Kesehaan tidak bisa langsung datang ke
rumah sakit. Harus ada jalur dan prosedur yang harus dilalui sebelum pasien masuk
ke rumah sakit.
Langkah pertama yang harus dilakukan peserta BPJS kesehatan adalah dengan
datang ke fasilitas kesehatan (Faskes) tingkat 1 yaitu Puskesmas, klinik yang sudah
menjadi mitra BPJS Kesehatan.

Apabila dirasa pasien memerlukan perawatan

berlanjut maka Puskesmas atau klinik akan memberikan rujukan selanjutnya yaitu
Rumah sakit. Tanpa rujukan dari Puskesmas atau klinik ini maka peserta tidak akan
bisa masuk langsung ke rumah sakit. Hal ini akan tetap berlaku baik ketika kita
berada di luar kota ataupun berkaitan dengan perawatan melahirkan secara caesar.
Jadi harus tetap mengacu kepada surat rujukan Faskes tingkat 1 baru bisa masuk ke
rumah sakit.
Tapi ada pengecualian untuk pasien dalam kondisi gawat darurat. Ia bisa
langsung datang ke rumah sakit tanpa surat rujukan. Tapi perlu diperhatikan juga
bahwa BPJS Kesehatan juga memiliki syarat dan kriteria kondisi gawat darurat ini.
2. Antrian Panjang
Dengan jumlah peserta asuransi BPJS Kesehatan yang sangat banyak dengan
berbagai kalangan maka hal ini akan menjadikan BPJS Kesehatan akan banyak
antrian baik itu di Faskes tingkat 1 ataupun di rumah sakit. Antrian panjang ini akan
sangat terasa apabila ada pasien dalam kondisi gawat darurat.
3. Terbatasnya jumlah mitra rumah sakit
Tidak semua rumah sakit sudah bekerja sama dengan BPJS Kesehatan. Hal ini
tentunya akan menjadi kendala tersendiri buat kita.
4. Penanggungan biaya tidak penuh

23

Hal ini yang menjadi keluhan beberapa peserta BPJS Kesehatan. Meskipun
sudah melakukan prosedur secara benar, ada beberapa kondisi dimana biaya rumah
sakit tidak diganti secara penuh. Hal inilah yang mesti kita ketahui dan pahami
terutama tentang proses penggantian biaya.
Dalam BPJS Kesehatan ada istilah INA CBGs. BPJS kesehatan sudah
memberikan prediksi besarnya tarif berdasarkan diagnosa dengan pihak Rumah sakit.
Besar tarif tetap, meskipun apapun dan berapapun tindakan medis yang diberikan
rumah sakit. Bagi pihak rumah sakit akan menjadikan kendala terhadap aktual biaya
perawatan atau penanganan yang sudah dikeluarkan ketika berbeda dengan INA
CBGs yang sudah ditetapkan.
Karakteristik paket tarif INA-CBGs dimana tarif INA-CBG digunakan pada
mekanisme pembayaran prospektif yang terpaket dengan harga awal yang ditentukan
sebelum pasien dirawat inap. Sebuah kode INA-CBG dengan tarifnya memiliki
seluruh komponen dari biaya-biaya rumah sakit didalamnya. Seluruh tariff didasari
oleh pembiayaan Casemix, yang bergantung pada pembiayaan Step-Down dari
seluruh pengeluaran rumah sakit dan tidak dari pembiayaan berdasarkan aktifitas
(ABC). Dengan konsep tersebut, rumah sakit jenis A (penyedia layanan dan
spesialisasi dengan intensitas tinggi), akan membangkitkan biaya tarif yang lebih
tinggi dari rumah sakit jenis B, C dan D (sesuai urutannya). Bertolak belakang dengan
biaya untuk sistem pembayaran pelayanan, INA-CBGs tidak mengambil bentuk
sebagai pembayaran retrospektif. Pembayaran dari pasien didasari oleh tingkat
keparahan pasien, dimana mereka dengan tingkatan yang lebih tinggi akan membayar
tarif yang lebih tinggi daripada mereka yang secara klinis tidak terlalu parah.
5. Sistem BPJS yang belum siap

24

Beberapa RS melaporkan adanya kejadian sistem down akibat banyaknya


pasien yang melakukan pendaftaran pelayanan di RS, sehingga menambah panjang
antrian.
Ketidaksiapan sistem ini juga terjadi pada proses pengintegrasian peserta
Jamkesda ke BPJS. Ini menimbulkan keraguan pada masyarakat dan kekhawatiran
ditolak oleh RS. Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak pemerintah daerah yang
kemudian masih menjalankan Jamkesda. Yang sangat mengkhawatirkan adalah
apabila sistem BPJS tidak mampu mendukung layanan RS dalam melakukan life
saving. Suatu RS melaporkan kejadian SEP (surat keabsahan peserta) mengalami
trouble menyebabkan golden periode pasien (misalnya pada kasus stroke) lewat dan
pasien berpotensi tidak bisa diselamatkan.
Disisi lain, pelayanan RS buka selama 124 jam, dan 7hari seminggu.
Seharusnya layanan BPJS juga mengikuti jam kerja ini agar tidak menimbulkan
masalah komunikasi dengan pasien/masyarakat. Namun kenyataannya tidak demikian.
6. Manfaat bagi Peserta: Pelayanan Penunjang
Banyak pelayanan penunjang yang harus diberikan untuk penyakit tertentu,
misalnya untuk diagnosisi hepatitis harus didukung oleh pemeriksaan anti HBc, anti
HaV. Padahal belum tentu semua RS memiliki fasilitas pemeriksaan ini, atau bahkan
reagennya (biasanya terjadi pada RS yang belum BLUD, sehingga pembelian bahan
habis pakai masih mengikuti sistem perencanaan yang rigid). Disisi lain, kasus stroke
cukup dengan Siriraj score dan pemeriksaan klinis tanpa perlu didukung oleh hasil
pemeriksaan CT scan. Ini membingungkan bagi petugas di RS dan berpotensi
menimbulkan error pada diagnosa.
Untuk pelayanan darah, PMI yang merupakan mitra RS dalam menyediakan
produk darah mengalami kebingungan harus mengklaim ke RS atau BPJS.

25

7. Manfaat bagi Peserta: Pelayanan Obat berdasarkan Formularium Nasional


Obat-obatan yang dulunya masuk dalam DPHO kini tidak ada di Fornas
sehingga pasien harus membeli sendiri. Ini terutama dikeluhkan oleh mantan peserta
ASKES. Dengan kondisi ini, petugas RS berpotensi menerima banyak komplain dari
pasien dan harus meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan Fornas, yang
seharusnya hal ini dilakukan oleh petugas BPJS.
Ada beberapa jenis obat yang tidak ada generiknya, misalnya insulin dan
methamphyron. Ini membingungkan petugas dan meningkatkan keluhan masyarakat.
Bagi peserta Askes, mereka harus mengeluarkan dana tambahan untuk membeli
insulin, yang tadinya masuk dalam daftar obat-obatan yang ditanggung PT. Askes.
Juga belum ada solusi bagi pasien-pasien yang mengalami alergi terhadap obat-obatan
dalam Fornas tanpa membebani keuangan pasien karena harus menebus sendiri obat
pengganti.
Banyak obat-obatan yang hanya boleh tersedia di RS Kelas A, misalnya untuk
penyakit Parkinson. Untuk kasus ini, bisa saja ada terapi kombinasi menggunakan
stalevo misalnya, namun obat ini digolongkan dalam obat-obatan untuk epilepsi. Jika
apotek atau IFRS tidak teliti, tidak akan mengetahui bahwa obat ini tersedia dalam
Fornas. Disamping itu, ada banyak RS di daerah yang mengalami keterbatasan
pasokan obat, misalnya RSUD Prof. Yohannes Kupang dan RSUD Tarakan,
Kalimantan Utara.
8. Layanan Rujukan
Banyak pasien yang tidak bersedia mengunjungi PPK I sebelum ke PPK II.
Seharusnya petugas BPJS yang menjelaskan hal ini ke pasien, namun kenyataan di
lapangan petugas RS menghabiskan cukup banyak waktu untuk menjelaskan hal ini
kepada pasien.

26

Ada faskes primer yang bertetangga dengan faskes tersier. Ini menimbulkan
kesan pelayanan rujukan jadi lebih birokratis karena pasien dari faskes primer tetap
harus ke PPK II yang lokasiny alebih jauh. Namun perlu upaya yang cukup besar
untuk membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai sistem rujukan, dan ini
seharusnya menjadi tugas BPJS, bukan beban RS.
Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan sistem tidak
secara kaku. Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya
sosialisasi mengenai sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah ditempuh
dengan menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit menjadi sia-sia karena RS
terpaksa menolak pasien.
Pelayanan rujukan juga menjadi sesuatu yang rumit di daerah seperti Papua.
Banyak daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan
heli-ambulans untuk mengangkut pasien gawat atau pasien rujukan. Namun fasilitas
ini tidak tersedia di BPJS.
Tidak jarang juga penolakan oleh RS dilakukan karena ruangan benar-benar
penuh. Ini tentu saja menyebabkan mutu pelayanan RS jadi menurun. Seharusnya
pasien tersebut dapat dirujuk ke RS lain yang setingkat. Namun ada banyak RS yang
menolak (swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama dengan
BPJS.
9. Infrastruktur Layanan
Masalah yang terkait dengan infrastruktur antara lain masih banyak terjadi
kekurangan tenaga (dokter, bidan, perawat) diberbagai RS. Ada banyak juga RS Kelas
B yang belum memenuhi standar jumlah ketenagaan, khususnya untuk dokter dan
dokter spesialis. Ini contohnya terjadi di Maluku. Pendaftaran dokter CPNS di DKI

27

Jakarta tanpa tes dikabarkan sepi peminat, sehingga upaya memenuhi kebutuhan
tenaga medis di provinsi ini belum mendatangkan hasil.

28

BAB IV
PENUTUP
4.1. Simpulan
Implementasi Jaminan Kesehatan Sosial sepertu BPJS untuk cakupan universal
adalah kesempatan dalam mengembangkan kesehatan khayalak ramai bagi seluruh
populasi di indonesia. Tetapi, hal ini dapat menjadi ancaman bagi rumah-rumah sakit
yang tidak mempersiapkan diri. Untuk kelangsungan dari sebuah rumah sakit, institusi
tersebut harus melakukan perubahan dan reformasi manajemen, sesuai dengan konsep
layanan terkelola. Pihak rumah sakit harus terfokus pada perawatan pasien, keamanan
pasien dan kualitas layanan bagi pasien. Mereka juga harus menunjukkan keseriusan
dalam mempraktekkan perawatan pasien berdasarkan INA-CBGs.
Beberapa kesulitan dan kekurangan yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan dalam
kaitannya pada implementasi penerapan sistem di rumah sakit. Hal ini menjadikan BPJS
Kesehatan diharapkan untuk menangani kekurangann tersebut sehingga menjadi lebih
baik lagi dalam pelayanan kepada peserta atau masyarakat tetap maksimal. Meskipun
ada beberapa kekurangan namun BPJS Kesehatan tetap diperlukan untuk masyarakat
Indonesia yang lebih sehat.
4.2. Saran
Perbaikan sistem BPJS kesehatan dalam implementasinya pada instansi jasa
pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit. Sehingga dengan kekurangan serta kendala
uyang dialami oleh sistem BPJS dalam penerapannya di rumah sakit dapat dipebaiki
sehingga dapat meningkatkan drajat kesehatan masyarakat Indonesia yang setinggitingginya tanpa pengaruh status sosial-ekonominya.

29

Daftar Pustaka
http://www.slideshare.net/suryasiawang/bpjs-40022739
http://www.ikabi.org/bpjs-ina-cbgs-yang-seyogyanya-harus-kita-ketahui/
http://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=4&ved=0CDgQFjAD&url=http%3A%2F
%2Flaw.ui.ac.id%2Fberkas%2FBPJSKesehatan.ppt&ei=lckGVfy4N4KduQSBxIGADA&usg=AFQjCNH6SXCtD9HtNnbNQ82c
KJZAqS7XpA&bvm=bv.88198703,d.c2E
http://tips-sehat-keluarga-bunda.blogspot.com/2014/01/alur-pelayanan-bpjs-dan-tempat.html
http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2013/5
http://thesis.binus.ac.id/Doc/Bab2/2011-2-00958-DI%20Bab2001.pdf
http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab2/2011-2-01142-AR%20Bab2001.pdf
http://digilib.esaunggul.ac.id/public/UEU-Undergraduate-2629-bab2.pdf
http://eprints.undip.ac.id/23824/1/WIKE_DIAH_ANJARYANI.pdf
http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2009/09/asuransi_kesehatan_dan_managed_care.pdf
http://airayadi16.blogspot.com/2014/05/makalah-pelayanan-kesehatan.html

30

Anda mungkin juga menyukai