Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

BENIGNA PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)


DI RUANG IBS ( INSTALASI BEDAH SENTRAL )
RUMAH SAKIT ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG

Disusun Oleh :
EDY TRI PRAYITNO

PRODI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG
SEMARANG
2015

KONSEP DASAR PENYAKIT


BENIGNA PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

A. DEFINISI
BPH adalah pembesaran glandula dan jaringan seluler kelenjar prostat yang
berhubungan dengan endokrin berkenaan dengan proses penuaan,kelenjar
prostat mengitari leher kandung kemih dan uretra, sehingga hipertrofi prostat
sering menghalangi pengosongan kandung kemih (Tucker, 1998).
BPH adalah kondisi patologis yang paling umum pada pria lansia dan
penyebab kedua yang sering untuk intervensi medis pada pria di atas usia 60
tahun ( brunner suddart, 2001)
Hiperplasia prostat jinak (BPH) menurut adalah penyakit yang disebabkan
oleh penuaan. (Price&Wilson, 2005)
Brunner & Suddart yang dikutip dari bukunya Smeltzer dan Bare (2001) BPH
adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra.
Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara
umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretra dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin
dengan cara menutupi orifisium uretra.
B. ETIOLOGI
Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti
penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai
penyebab timbulnya hiperplasi prostat adalah :
1. Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.

2. Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu


pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
3. Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang
mati.
4. Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel stem
sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel kelenjar
prostat menjadi berlebihan.
C. TANDA DAN GEJALA
1. Peningkatan frekuensi berkemih
2. Nokturia
3. Anyang-anyangan
4. Abdomen tegang
5. Volume urin menurun
6. Aliran urin tidak lancar (Hilangnya kekuatan pancaran saat miksi)
7. Retensi urin
8. Rasa nyeri saat mulai miksi
9. Adanya urine yang bercampur darah (hematuri)
D. PATOFISIOLOGI
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa 20 gram. Sjamsuhidajat
(2005), menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan
keseimbangan testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan
terjadi konversi tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer.
Purnomo (2000) menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat
tergantung pada hormon tertosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat
hormon ini akan dirubah menjadi dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan
enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron inilah yang secara langsung memacu
m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk mensintesis protein sehingga
terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan

kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis.
Pada tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi
yang bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan
mencoba mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor
menjadi lebih tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan
sistoskopi akan terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok).
Mukosa dapat menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang
kecil dinamakan sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase
penebalan detrusor ini disebut Fase kompensasi otot dinding kandung kemih.
Apabila keadaan berlanjut maka detrusor menjadi lelah dan akhirnya
mengalami dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga
terjadi retensi urin.
Pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan
iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup
lama dan kuat sehingga kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan
miksi), miksi terputus, menetes pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum
puas setelah miksi. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak
sempurna atau pembesaran prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga
sering

berkontraksi

walaupun

belum

penuh

atau

dikatakan

sebagai

hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat, nokturia, miksi sulit


ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka satu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox
(overflow incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan
dilatasi. ureter dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal.
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik
mengakibatkan penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan
peningkatan tekanan intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan
hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan membentuk batu endapan

yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu, stasis urin dalam
vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat
menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005)

E. KOMPLIKASI
1. Aterosclerosis
2. Infark jantung
3. Impoten
4. Haemorogik post operasi
5. Fistula
6. Striktur
7. Incontensia urin
8. Syok
9. Peningkatan suhu tubuh
10. Nyeri saat berjalan

F. PATHWAY
Perubahan usia (usia
lanjut)
Ketidak seimbangan produksi estrogen dan
testosteron
Kadar Testoteron menurun

Proliferasi sel prostat

Kadar Estrogen meningkat

Hiperplasi sel stroma pada jaringan


prostat

BPH

Pembedahan
RESIKO
Pendarahan
KEKURANGAN

IMMOBILITAS FISIK
RESIKO

kontinuitas
KERUSAKAN
RESIKO
NYERI INFEKSI
AKUT Terputusnya
jaringan

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Menurut Doenges (1999), pemeriksaan penunjang yang mesti
dilakukan pada pasien dengan BPH adalah :
a. Laboratorium
1) Sedimen Urin
Untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
saluran kemih.
2) Kultur Urin
Mencari jenis kuman yang menyebabkan infeksi atau sekaligus
menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba
yang diujikan.
b. Pencitraan
1) Foto polos abdomen

Mencari kemungkinan adanya batu saluran kemih atau kalkulosa


prostat dan kadang menunjukan bayangan buii-buli yang penuh
terisi urin yang merupakan tanda dari retensi urin.
2) IVP (Intra Vena Pielografi)
Mengetahui kemungkinan kelainan ginjal atau ureter berupa
hidroureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar
prostat, penyakit pada buli-buli.
3) Ultrasonografi (trans abdominal dan trans rektal)
Untuk mengetahui, pembesaran prostat, volume buli-buli atau
mengukur sisa urin dan keadaan patologi lainnya seperti difertikel,
tumor.
4) Systocopy
Untuk mengukur besar prostat dengan mengukur panjang uretra
parsprostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam rektum.

KONSEP KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN
a. Pengkajian Primer
1. Airway
Menilai jalan nafas bebas. Apakah pasien dapat berbicara dan bernafas
dengan bebas. Jika ada obstruksi maka lakukan :
- Chin lift / jaw trust
- Suction / hisap
- Guedel airway
- Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi
netral.
2. Breathing
Menilai pernafasan cukup, sementara itu nilai ulang apakah jalan
nafas bebas. Jika pernafasan tidak memadai lakukan :
- Dekompensasi ronga pleura
- Nafas buatan
- Berikan oksigen jika ada

3. Sirculation
Menilai sirkulasi/ peredaran darah. Sementara itu, nilai ulang apakah
jalan nafas bebas dan pernafasan cukup. Jika sirkulasi tidak memadai
lakukan :
- Hentikan peredaran darah eksternal
- Berikan infuse cairan
- Segera pasang 2 jalur infuse dengan jarum besar (14-16)
4. Disability
Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap
nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur
GCS. Adapun cara yang cukup jelasa dan cepat adalah
Awake
:A
Respon bicara
:V
Respon nyeri
:P
Tidak ada espon :U
5. Eksposure
Lepaskan baju dan penutuo tubuh pasien agar dapat dicari semua
cidera yang mungkin ada, jika adakecurigan cedera leher atau tulang
belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan.
b. Pengkajian Sekunder
Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan

fisik.

Anamnesis dapat meggunakan format AMPLE (Alergi, Medikasi, Post


illnes, Last meal, dan Event/ Environment yang berhubungan dengan
kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat
pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.

Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan pasca


obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang terlalu
distensi secara kronis.

2.

Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi ( terputusnya


kontinuitas jaringan akibat pembedahan )

3.

Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neurovakuler ( nyeri)

4.

Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik

5.

Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan ling kungan


terhadap patogen ( adanya media masuknya kuman akibat prosedur invasif

C. PERENCANAAN
DX I
: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan denganpasca
obstruksi dengan diuresis dari drainase cepat kandung kemih yang
terlalu distensi secara kronis.
Tujuan

: Setelah dilkukan tindakan perawatan proses keperawatan


diharapkan kebutuhan cairan dan elektrolitterpenuhi.

NOC

: Fluid balance

Kriteria hasil

a. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia


b. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
c. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi,elastisitas turgor kulit baik
d. Membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Keterangan Skala

1 = Tidak pernah menunjukan


2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC

: Fluid Management

a. Pertahankan catatan intake dan outputyang akurat


b. Monitor status hidrasi ( klemhan membran mukosa, nadisdekuat )
c. Monitor vital sign
d. Monitor cairan atau makanan dan hitung intake kalon harian
e. Kolaborasikan pemberian cairan IV
f. Masukan oral
g. keluarga untuk membantu pasien maka

DX II

: Nyeri akut berhubungan dengan agen cidera biologi


( terputusnya kontinuitas jaringan akibat pembedahan )

Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri


berkurang atau hilang.

NOC 1

: Level Nyeri

Kriteria hasil

a.

Laporkan frekuensi nyeri

b.

Kaji frekuensi nyeri

c.

Lamanya nyeri berlangsung

d.

Ekspresi wajah terhadap nyeri

e.

Perubahan TTV

NOC 2

: Kontrol nyeri

Kriteri hasil

a. Mengenal faktor penyebab


b. Gunakantindakan pencegahan
c. Gunakan tindaka non analgetik
d. Gunakan analgetikyang tepat
Keterangan Skala

1 = Tidak pernah menunjukan


2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan
NIC

: Manajemen Nyeri

a. Kaji secara mnyeluruh tentang nyeri termasuk lokasi, dursi, frekuensi,


intensitas, dan faktor penyebab.
b. Observasi isyarat non verbal dari ketidaknyamanan terutama jika tidak
dapat berkomunikasi secara efektif
c. Berikan analgetik dengan tepat
d. Berikan informasi tentang nyeri, sperti penyebab nyeri,berapa lama
akan berakhir, dan antisipasi ketidaknyamanan dri prosedur.
e. Ajarkan tekniknon formakologi (misalnya; relaksasi)
DX III

: Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan


neorovaskuler

Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat


meningkatkan mobilisasi pada tingkat yang paling tinggi.

NOC

: Mobility Level

Kreteria hasil

a. Kesinambungan penampilan
b. Memposisikan tubuh
c. Gerakan otot
d. Gerakan Sendi
e. Ambulansi jalan
f. Ambulansi kursi roda
Keterangan Skala :
1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang lain dan alat
3 = Memerlukan orang lain
4 = Dapat melakukan sendiri dengan bantuan alat
5 = Mandiri
NIC

: Exercise Therapy Ambulation

a. Bantu pasien untuk menggunakan fasilitas alat bantu jalan dan cegah
kecelakaan atau jatuh
b. Tempatkan tempat tidur pada posisi yang mudah dijangkau/ diraih
c. Konsultasikan dengan fisioterapa tentang rencana ambulansi sesuai
kebutuhan
d. Monitor pasien dalam menggunakan alat bantu jalan yang lain
e. Intruksikan pasien/ pemberi peleyanan ambulansi tentang teknik
ambulansi
DX IV

: Resiko kerusakan integritas kulit berhubungan dengan


imobilitasi fisik.

Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan perawatan diharapkan kerusakan


integritas kulit tidak terjadi.

NOC

: Integritas jaringan: kulit dan membran mukosa

Kriteria hasil

a. Sensasi normal
b. Elastisitas normal
c. Warna
d. Tekstur
e. Jaringan bebas lesi
f. Adanya pertumbuhan rambut di kuliut
g. Kulit utuh
Keterangan Skala :
1 = Kompromi luar biasa
2 = Kompromi baik
3 = Kompromi kadang - kadang
4 = Jarang kompromi
5 = Tidak pernah kompromi

NIC

: Skin Surveilance

a. Observation ekstremitas oedema, ulserasi, kelembaban


b. Monitor warna kulit
c. Monitor temperatur kulit
d. Inspeksi kulit dan membran mukosa
e. Inspeksi kondisi insisi bedah
f. Monitor kulit pada daerah kerusakan dan kemerahan
g. Monitor infeksi dan oedema
DX V

: Resiko infeksi berhubungan dengan peningkatan paparan


lingkungan terhadap patogen ( adanya media masuknya kuman
akibat prosedur invasif )

Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan infeksi tidak


terjadi.

NOC

: Deteksi infeksi

Kriteria hasil

a. Mengukur tanda dan gejala yang mengindikasikan infeksi


b. Berpartisipasi dalam perawatan kesehatan
c. Mampu mengindentifikasi potensial resiko
Keterangan Skala

1 = Selalu menunjukan
2 = Sering menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Jarang menunjukan
5 = Tidak pernah menunjukan
NIC

: Teaching dises proses

a. Deskripsikan proses penyakit dengantepat

b. Sediakan informasi tentang kondisi pasien


c. Diskusikan perawatan yang akan dilakukan
d. Gambaran tanda dan gejala penyakit
e. Instruksikan pasien untuk melaporkan kepada perawatuntuk
melaporkan tentang tanda dan gejala yang dirasakan.

D. EVALUASI
DX
I

KRITERIA HASIL
NOC : Fluid Balance
1. Memepertahankan urine
output sesuai dengan usia
2. Tekanan darah, nadi, suhu
tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda
dehidrasi, elastisitas, turgor

KETERANGAN SKALA
1 = Tidak pernah menunjukan
2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

kulit baik
4. Membran mukosa lembab,
tidak ada rasa haus yang
II

berlebihan
1. NOC 1 : Level Nyeri
2. Kaji frekuensi nyeri Lamanya
nyeri berlangsung

1 = Tidak pernah menunjukan


2 = Jarang menunjukan

3. Ekspresi wajah terhadap nyeri 3 = Kadang menunjukan


Perubahan TTV
NOC 2 : Kontrol Nyeri
1. Mengenal faktor penyebab
2. Gunakan tindakan
pencegahan ( 4 )
3. Gunakan tindakan non

4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

analgetik ( 4 )
4. Gunakan analgetik yang tepat
III

(4)
NOC : Mobility Level
1. Keseimbangan penempilan
Memposisikan tubuh
2. Gerakan Otot
3. Gerakan Sendi
4. Ambulansi Jalan

1 = Dibantu total
2 = Memerlukan bantuan orang
lain dan alat
3 = Memerlikan orng lain
4 = Dapat melakukan sensiri
dengan bantuan alat

IV

NOC : Integritas jaringan kulit dan


membran mukosa
1. Sensasi normal
2. Elastisitas normal Warna
Tekstur Jaringan bebas lesi

1 = Tidak pernah menunjukan


2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

NOC : Deteksi Infeksi


1. Mengukur tanda dan gejala
yang mengindikasikan infeksi
Berpartisipasi dalam
perawatan kesehatan
2. Mampu mengindentifikasi
potensial resiko

1 = Tidak pernah menunjukan


2 = Jarang menunjukan
3 = Kadang menunjukan
4 = Sering menunjukan
5 = Selalu menunjukan

Daftar Pustaka

Carpenito, L. J. 2000. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Edisi 8. Alih Bahasa


Monica Ester. Jakarta : EGC.

Corwin, E. J. 2000. Buku Saku Pathofisiologi. Editor Endah P. Jakarta : EGC.

Doenges, M. E., Moorhous, M. F., & Geissler, A. C. 1999. Rencana Asuhan


Keperawatan: Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Edisi 3. Alih Bahasa I Made Kariasa dan Ni Made
Sumarwati. Jakarta : EGC.

Engram, B. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC.

Mansjoer, A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi Jilid 2. Jakarta: Media
Aesculapis.

NANDA. 2005. Panduan Diagnosa Keperawatan. Nanda 2005-2006. Editor Budi


Santoso. Jakarta: Prima Medika.

Potter, P. A., & Perry, A. G. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep,
Prose.c, dan Praktik. Jakarta : EGC.

Price, S. A., & Wilson, L. M. 2005. Pathofsiologi: Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Alih Bahasa: Editor Caroline Wijaya. Edisi 4. Jakarta : EGC.

Purnomo, B. B. 2000. Dasar-dasar Urologi. Jakarta : CV Info Medika.

Sjamsuhidajat, R., & de Jong, W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah.
Brunner & Suddarth, Editor Suzane, C. S., Brenda, G. B.Edisi 8. Jakarta :
EGC.

Anda mungkin juga menyukai