Anda di halaman 1dari 28

TUGAS

METODE PELAKSANAAN KONSTRUKSI

DISUSUN OLEH :
NAMA
NIM

: NURWANTO SUJATMIKO
: 1034290005

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS PERSADA INDONESIA Y.A.I
2012

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Mega proyek Jembatan Selat Sunda (JSS) akan menjadi salah satu keajaiban dunia.
Jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatera ini, tentu akan menelan dana yang
sangat besar karena dari segi konstruksinya, Jembatan ini akan dibangun menggunakan teknologi
tinggi dan modern. Memang kalau dilihat secara sepintas, gagasan pembangunan JSS ibarat mimpi
di siang bolong. Namun, gagasan impossible yang berawal dari mimpi itu, kini mulai berlangkah
menuju kenyataan. Sebuah karya besar yang spektakuler dan monumental terlahir dari sebuah
mimpi, akan menorehkan sejarah yang besar pula. Hal yang sama, jika gagasan pembangunan JSS
akan terwujud, akan menorehkan sejarah yang monumental.
Kalau kita telusuri secara historis, gagasan pembangunan JSS ini pertama kali dicetus oleh
almarhum Prof Dr Sedyatmo, pada tahun 1960-an. Ia mengusulkan gagasan terkait dibuatnya
hubungan langsung antara Pulau Sumatera dan Jawa. Kendati pada saat itu, situasi ekonomi
Indonesia masih terseok-seok, Sedyatmo, dengan penuh keberanian menelurkan sebuah gagasan
brilian dan terbilang berani itu.
Mega proyek ini diberi nama Tri Nusa Bima Sakti. Pemerintah kemudian membagi tugas,
yakni BPPT melakukan studi terkait dengan kondisi alam, sedangkan Departemen Pekerjaan
Umum (DPU) melakukan studi tentang sosio ekonomi dan implementasinya.
Pembangunan JSS ini akan menelan dana sekitar Rp 90,2 triliun. Untuk studi kelayakan dan
jasa teknik dibutuhkan dana Rp 1,8 triliun. Untuk pekerjaan Konstruksi JSS dibutuhkan waktu
sekitar enam sampai sepuluh tahun. JSS berkapasitas 160 ribu kendaraan per hari dan dapat
melayani angkutan batu bara sebanyak 1,75 juta ton per tahun.

BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengenalan tentang jembatan.
Jembatan merupakan suatu elemen/bagian dari jalan.
Menurut sejarah, jembatan yang pertama dibangun adalah pada tahun 2650 SM oleh Raja
Manes dari Mesir untuk menyeberangi sungai Nil.
Pada tahun 783 SM dibangun oleh Ratu Semirawis dari Babilonis untuk melintasi sungai
Efhrat.
Di Indonesia menurut sejarah jembatan yang dibangun dengan bentang yang cukup besar
adalah jembatan Rangka Baja untuk Kereta Api yang melintasi sungai Serayu dibangun pada
tahun 1915, jembatan rangka baja Ci Sondari, Way Kommering dan Ci Wedej.
2. Fungsi jembatan.
Jembatan berfungsi sebagai penghubung dua ruas atau beberapa ruas jalan yang dipisahkan
oleh sungai atau melintasi ruas jalan yang tak sebidang.
3. Bagian bagian pokok pada jembatan
Jembatan pada umumnya terdiri atas dua bagian konstruksi:

bagian konstruksi atas.

bagian konstruksi bawah.

Bagian pokok konstruksi atas terdiri dari (berdasarkan bentuk struktur jembatan):

gelagar memanjang, melintang.

pengaku/diafragma.

ikatan angin atas dan bawah.

rangka jembatan.

portal ujung-ujung.

lantai jembatan.

sistim perletakan (bergerak(rol), tetap(sendi)).

bagian pelengkap:
o curbs
o railing
o

trotoar

o Drainasi
o fasilitas lain:
~ lampu
~ telpon umum
~ saluran/pipa air, gas dan kabel.
Bagian pokok konstruksi bawah jembatan tediri dari:

pondasi (pasangan batu, sumuran, tiang pancang).

kepala jembatan(abutment).

pilar/tiang jembatan.

dinding penahan tanah.

oprit.

4. Klasifikasi menurut letak lantai jembatan.


Penempatan lantai jembatan dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan/rencana yang
diinginkan:

Jembatan lantai kendaraan di bawah.

Jembatan lantai kendaraan di atas.

Jembatan lantai kendaraan di tengah.

Jembatan lantai kendaraan di atas dan di bawah (double deck bridge).

LOKASI, CARA PELAKSANAAN dan PEMILIHAN BENTUK KONSTRUKSI JEMBATAN.


PEMILIHAN LOKASI JEMBATAN.
Pemilihan lokasi jembatan dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan, antara lain:
pertimbangan teknik (lebar sungai, kuat arus sungai, kedalaman

air sungai, kondisi tanah, topografi tanah, route jalan).


o

pertimbangan sosial, ekonomi dan keamanan.

pertimbangan estetika (dalam kota luar kota, lingkungan alam


sekitar jembatan).

Pengumpulan data yang diperlukan untuk perencanaan jembatan:


1. Data umum:
o nama sungai.
o lokasi/letak jembatan.

2. Data sungai:
o elevasi banjir tertinggi, terendah, normal.
o kecepatan air, sifat aliran air.
o sungai stabil, atau berpidah-pindah.
o fungsi sungai (sebagai transpor sungai, sebagai hanyutan kayu
atau benda- benda lain).
3. Data tanah:
o sifat tanah sampai kedalam tertentu.
o kedalaman, tebal, komposisi dari tiap lapisantanah.
o kedalaman muka air tanah.
o sifat teknik dari tanah ( daya dukung tanah tiap kedalaman
tertentu).
4. Data geologi:
o daerah bergerak.
o adanya gejala patahan pada lapisan keras.
5. Data penunjang:
o bahan alam yang tersedia disekitar lokasi.
o jalan penghubung kelokasi proyek.
o penyediaan tenaga pekerja.
o pembuatan jembatan darurat atau route transport dialihkan ke
route lain.
o lokasi termasuk dalam pengaruh lahar gunung, gempa vulkanik
atau tektonik.

CARA PELAKSANAAN PEMBANGUNAN JEMBATAN.


Cara pelaksanaan

pembangunan jembatan sangat dipengaruhi oleh bentuk konstruksi

jembatan, kondisi lokasi dan kondisi sungai.


Berdasarkan hal tersebut maka pada umumnya cara pelaksanaan pembangunan jembatan dapat
dilakukan dengan cara:
o dengan perancah.
o tampa perancah.
o dengan dukungan kapal/tongkang.
o dengan kantilever.
o dengan peluncuran/bantalan rol.
PERTIMBANGAN PEMILIHAN KONSTRUKSI JEMBATAN.
Pemilihan bentuk konstruksi jembatan perlu pertimbangan beberapa hal, antara lain:
o pertimbangan teknik:
~ panjang pentang.
~ lebar jembatan.
~ kelas jembatan.
~ lokasi jembatan (dalam kota /luar kota).
o pertimbangan ekonomis:
~ biaya total.
~ tersedianya bahan lokal/national.

a. tersedianya peralatan.
Kalau membicarakan jembatan panjang maka mau tidak mau kita juga harus membicakan
bentang tunggal minimum yang dapat dibangun. Banyak bentuk dan variasi konstruksi jembatan
yang ada dan sudah dibangun di Indonesia, mulai dari gelagar beton bertulang, beton
pratekan/komposit, pelengkung beton/baja, rangka baja sampai dengan jembatan gantung dan
cable-stayed.
Dari bentuk - bentuk konstruksi jembatan tersebut di atas ternyata ada batasan maksimum
bentang yang dapat dibangun dan apabila dilampaui akan menjadi tidak ekonomis. Dan merupakan
suatu kenyataan pula bahwa elemen kabel yang hanya memiliki kemampuan dalam hal
Tarik/Tension saja telah memberikan kontribusi yang sangat besar pada pembangunan jembatan
berbentang panjang di dunia.
1. Sejarah Jembatan Sistem Kabel
Sebelum menjelaskan mengenai teknologi jembatan gantung maka ada baiknya membahas
terlebih dahulu sejarah jembatan gantung.
Ternyata, bertambahnya bentang suatu jembatan gantung itu ditentukan oleh teknologi
dibelakangnya. Seperti diketahui material tarik struktur yang pertama kali adalah besi, sehingga
mula-mula sekali jembatan gantung batang tariknya memakai material besi yang berupa rantai
(iron chain) . Adanya teknologi yang mendukung maka dimulai pembuatan jembatan bentang
panjang , itu dimulai di Inggris seperti terlihat pada jembatan Bristol berikut.

Jembatan gantung di Bristol, England

Selanjutnya dengan berkembangnya material tarik berupa galvanized steel strand 1770 MPa yang
berat satuannya 0.076 MN/M3 maka jembatan bentang lebih panjang mulai, yaitu dengan
dibangunnya jembatan gantung sungai Menai di UK tahun 1826 dengan bentang 177 m .

Jembatan gantung di sungai Menai di United Kingdom


Sejak itu dimulailah era jembatan bentang panjang, tahun 1883 dibangun Jembatan Brooklyn 486
m di USA, kemudian tahun 1937 Jembatan Golden Gate di San Fransiso USA.
JEMBATAN SISTEM KABEL
Jembatan dengan kabel sebagai elemen utama pendukung konstruksi umumnya dipakai dalam
bentuk konfigurasi gantung, cable-stayed atau kombinasi kedua sistem tersebut.
Jembatan gantung pertama yang dibangun adalah jembatan Menai di Inggris pada tahun 1826
dengan bentang 177 meter. Pada awal abad 20 sudah banyak dibangun jembatan gantung
diantaranya adalah Golden Gate di San Francisco dengan bentangan 1.280 meter. Jembatan gantung
terpanjang saat ini adalah Jembatan Akashi Kaikyo yang menghubungkan Pulau Honshu dan
Shikoku di Jepang dengan bentangan bersih 1.991 meter tahun 1998.
Sedangkan jembatan dengan konfigurasi cable-stayed dimana sistem deck jembatan didukung oleh
kabel yang dihubungkan langsung ke tower umumnya di pakai untuk jembatan dengan bentangan
sedang sampai dengan 450 meter. Jembatan terpanjang yang menggunakan konfigurasi cablestayed adalah Jembatan Tatara di Jepang dengan bentang utama 890 meter.
Gabungan dari konfigurasi jembatan gantung dan cable-stayed merupakan alternatif untuk
mendapatkan bentangan lebih panjang, dimana konsep jembatan gantung tidak kompetitif untuk
bentang pendek sedangkan jembatan cable-stayed yang ada telah mencapai batas maksimumnya.
Struktur jembatan yang menggabungkan kedua konsep jembatan kabel ini dikenal dengan nama
jembatan Hibrida yang merupakan rekayasa dalam usaha untuk mendapatkan bentangan jembatan
ultra-panjang

BENTANG MAKSIMUM
Teknologi dan konstruksi jembatan berkembang terus dari tahun ke tahun tercermin dari semakin
panjangnya bentang jembatan yang berhasil dibangun. Perkembangan ini terlihat semakin
mencolok pada awal abad ke-21 ini. Berapa panjangkah suatu bentang jembatan yang maksimum
dapat dicapai? Hal ini sangat tergantung pada tingkat penguasaan teknologi jembatan dari
perencana. Penguasaan teknologi tersebut yang harus dikuasai meliputi:
Penguasaan teknologi bahan khususnya baja
Penguasaan dalam pemilihan konfigurasi struktur termasuk teknologi
Penguasaan dalam permodelan struktur dan dalam melakukan analisis
Penguasaan pembuatan model dan pengujian
Apabila perkembangan panjang jembatan gantung sejak pembangunan jembatan gantung modern
pertama di Menai pada tahun 1826 sampai sekarang diplot berdasarkan Panjang Bentang vs. Tahun
Bangun, maka akan didapatkan suatu kurva eksponensial seperti gambar di bawah.
Mengingat bentuk kurva di atas adalah eksponensial, maka hal ini berarti bahwa perkembangan
Teknologi Jembatan di masa lampau terjadi relatif lambat dan bergerak semakin cepat di masa
datang. Namun, mengingat kemampuan/kekuatan bahan (khususnya baja) ada batasnya, maka
dapat diperkirakan bahwa di abad ke-21 nanti kurva tersebut akan mencapai suatu titik belok,
dimana kurva tersebut beralih dari cekung menjadi cembung. Jadi, sampai kapanpun kita tidak akan
mungkin dapat membuat jembatan gantung dengan bentang tengah misalnya sampai 10.000 meter.
Dengan adanya kurva ini, maka di tahun 2000-an seperti sekarang ini kita ketahui bahwa panjang
bentang maksimum berkisar antara 3.000 sampai 3.500 meter. Sudah barang tentu panjang bentang
maksimum ini tidak harus diterapkan bila dengan bentang yang lebih pendek diperoleh hasil yang
lebih ekonomis.
KONFIGURASI KABEL
Konfigurasi kabel merupakan bagian yang penting dalam desain jembatan dengan sistem kabel
karena hal ini akan mempengaruhi tidak hanya pada kinerja struktural jembatan tetapi juga
menyangkut metoda/kemudahan ereksi dan biaya pembangunan. Pada jembatan cable-stayed
dikenal ada 4 tipe konfigurasi kabel yaitu harp pattern, fan Pattern, semi-harp pattern dan
Asymmetric. Sedangkan pada jembatan dengan sistem konfigurasi gantung dikenal konfigurasi satu
bentang atau tiga bentang. Pada konfigurasi satu bentang, kabel pada bentang pinggir hanya
berfungsi sebagai stayed. Pada konfigurasi satu bentang ini, umumnya bentang pinggir tidak

dipakai sebagai jalur navigasi atau bahkan tidak memerlukan bentang pinggir. Pada konfigurasi tiga
bentang, kabel pada sisi bentang pinggir disamping berfungsi sebagai stayed, juga berfungsi untuk
mendukung lantai jembatan, dan bisanya pada sisi pinggir ini berfungsi sebagai jalur navigasi air.
3. KONSTRUKSI DAN PERILAKU KABEL
Beberapa hal penting yang harus menjadi perhatian apabila membicarakan kabel pada konstruksi
jembatan yaitu: material pembentuk, konstruksi dan cara pembuatan. Material dan konstruksi akan
mempengaruh kekuatan, ketahanan dan kekakuan dari kabel berikut ini akan dijelaskan secara
detail.
3.1 Kabel Pada Struktur Jembatan.
Kabel baja (steel cable) merupakan elemen dasar bagi kabel modern yang berfungsi sebagai
pendukung jembatan yang biasanya lebih kuat dibanding baja struktur biasa. Kawat baja galvanis
berdiameter 5 mm biasanya digunakan sebagai komponen pembentuk kabel utama jembatan
gantung dan sedangkan kawat baja yang disusun dalam bentuk 7-Wire Strand yang berdiameter
12,7 mm dan 15,3 mm umumnya digunakan pada jembatan cable-stayed.

Dilihat dari segi

kekuatannya, Kawat baja 5 kali lebih kuat dibanding baja struktural lunak (mild structural steel)
yang umumnya digunakan untuk baja tulangan pada konstruksi beton. Namun daya tahan terhadap
perpanjangan saat putus adalah 1/5 kali dibanding baja struktural. Hal ini dikarenakan, kandungan
karbon pada kawat baja hampir 5 kali dibanding baja stuktural oleh karena itu kabel baja sulit untuk
dilas.

Umumnya, konstruksi kabel untuk pendukung jembatan adalah dalam bentuk strand

(untaian kawat). Strand paling sederhana yang sering ditemui pada jembatan adalah strand dengan
7 buah kawat yang digunakan sebagai tendon pada beton pratekan (prestressed concrete). Strand
yang dibuat dari 7 buah kawat berdiameter 5 mm terdiri dari sebuah inti kawat (wire core) yang
dikelilingi 6 kawat sebagai lapisan pertama akan membentuk strand berdiameter 15,3 mm.
Konstruksi ini sering disebut dengan 7-wire strand 0,6 dan juga sering dipakai sebagai pada
jembatan cable-stayed. Tipikal modulus elastisitas nominal dari sebuah kabel 7-wire strand kirakira 195.000 MPa, lebih rendah 5 6 % dibanding satu buah kawat (single wire/cable).
Pengurangan dari kekakuan ini akibat puntiran kawat-kawat dalam helical strand, dimana
kurva perpanjangan strand (curved strand) tidak seperti pada individual kawat-kawat. Hal ini
karena masing-masing kawat-kawat berbentuk spiral arah sumbu memanjang strand. Pengurangan
kekakuan tersebut akan cukup besar pada konstruksi kabel yang lebih komplek seperti pada
konstruksi kabel dengan jumlah kawat 115 buah untuk membetuk spiral strand diameter 57,9 mm
yang biasanya dipakai untuk jembatan gantung. Pada konstruksi spiral strand ini, modulus
elastisitas berkurang menjadi sekitar 165.000 MPa. Oleh karena pengurangan kekakuan tersebut
cukup signifikan, telah mempengaruhi perkembangan kabel/kawat-sejajar dimana semua kawat

dibuat lurus satu dengan yang lainnya. Masalah lain penggunaan kabel dari kawat-kawat sejajar
adalah pada proses reeling. Pada prefabricated spiral strand diameter maksimum yang dapat dibuat
sangat terbatas.
3.2 Tipe-Tipe Kabel
Spiral Strand
Spiral Strand terdiri dari kawat-kawat bulat digalvanis berdiameter besar yang dipuntir bersamasama. Kawat-kawat tersebut diuntai dalam satu atau lebih layer, umumnya dengan arah yang
berlawanan, untuk mencapai diameter yang diperlukan.
Locked Coil Strand
Locked Coil Strand terdiri dari sebuah pusat dari satu atau lebih layer kawat-kawat bulat digalvanis
berdiameter besar yang dipuntir bersama-sama. Kawat-kawat tersebut diuntai oleh kawat-kawat
persegi digalvanis berdiameter besar yang terdiri dari satu atau lebih layer, umumnya dengan arah
yang berlawanan, untuk mencapai diameter yang diperlukan.
Parallel Wire Strand
Parallel Wire Strand terdiri dari kawat bulat digalvanis berdiameter 5 mm sampai 7 mm berbentuk
hexagonal, dengan suatu helix panjang. Kawat tersebut kemudian biasanya dibungkus oleh High
Density polyethylene (HDPE) tube.
Structural Rope
Structure Rope biasanya terdiri dari 6 buah strand (untaian kawat) yang dipuntir mengelilingi steel
core. Diameter kawat digalvanis biasanya kecil sehingga memberikan kelenturan yang tinggi.
Biasanya modulus elastisitas kurang dari setengah modulus elastisitas baja struktural.
3.3 Konstruksi Kabel dan Prestretching
Material dasar pembuatan kabel berupa kabel tunggal yang digalvanis (hot depth zinc coated).
Konstruksi kabel jembatan spiral strand dengan diameter kurang lebih 57.9 0.50 mm, disusun
dari 115 buah kawat tunggal dengan diameter berkisar 4.0894 mm s/d 4.8514 mm. Masing-masing
layer memiliki diameter yang berbeda-beda dengan bentuk dan susunannya sebagai berikut:
No.

Nomor

Jumlah

Diameter

Steel Area

Kawat
1

Kawat
1

(mm)
4,0894

(mm2)
13,13272
78,79634

2-7

(0,161)
4,0894

8 19

12

(0,161)
4,0894

157.5927

20 34

15

(0,161)
4,0894

196.9908

5
6

35 55
56 82

83 115

Jumlah

115

21

(0,161)
4,8514

388.1406

27

(0,191)
4,8514

499,0379

33

(0,191)
4,8514

609,9352

(0,191)
1943.626

Jadi intinya bahwa suatu jembatan bentang besar dapat dibangun jika teknologi pendukungnya
memungkinkan. Berdasarkan teknologi jembatan gantung maka perkembangannya dapat disarikan
dalam tiga generasi, yaitu :
**Teknologi Generasi Pertama**
Generasi pertama merupakan jembatan gantung konvensional dan klasik dengan bentang beberapa
ratus meter. Beban yang dominan adalah gravitasi, sedangkan beban angin tidak signifikan.
Kekakuan geometrik kabel tidak terlalu besar sehinga perlu deck jembatan yang cukup berat dan
kaku yang umumnya berupa stiffening truss girder. Jembatan yang dimaksud adalah jembatan
Golden Gate (1937) bentang 1280 m, yang memerlukan deck ketinggian 7.6 m.

Golden Gate Bridge L=1280 m di San Fransico


Juga jembatan Verrazano Narrow Bridge (1964) di kota New-Yourk, dengan bentang 1298 m, dan
mempunyai ketinggian deck 7.3 m.

Verrazano Narrow Bridge (1964) L=1298 m, New York


Perilaku seismik pada jembatan karena pilon dan deck-nya kaku cukup terpengaruh, jembatan akan
mengalami gaya gempa yang cukup besar.
Menggunakan konsep teknologi seperti itu jika bentang ditingkatkan akan kesulitan karena berat
sendiri deck semakin besar sedangkan sumbangannya terhadap kekakuan secara keseluruhan tidak
signifikan. Ketinggian deck agar kekakuannya cukup besar menyebabkan gaya drag angin
bertambah sehingga tidak bisa lagi diatasi oleh kekakuan deck itu sendiri, tetapi harus dibantu oleh
hanger, yang selanjutnya ke kabel dan akhirnya berujung ke ujung pilon. Semuanya itu menambah
dimensi hanger, kabel utama dan pilon berarti jembatan semakin besar.
Bertambah besarnya pengaruh angin akan meningkatkan pula fenomena buffeting, vortex shedding
dan flutter. Konfigurasi deck yang terdiri dari stiffening truss girder tidak dapat menghasilkan
kekakuan torsi yang mencukupi oleh karena itu sensitif terhadap terjadinya flutter artinya tidak
tahan terhadap suatu kecepatan angin tertentu (atau terbatas).
Vortex shedding adalah fenomena yang menyebabkan gerakan pada arah tegak lurus arah angin.
Jika kecepatan angin kritis dari struktur terlampaui maka dapat timbul resonansi.

Fenomena Vortex shedding

Flutter adalah vibrasi yang timbul dengan sendirinya akibat adanya permukaan yang melengkung
akibat beban aerodinamis. Akibat permukaan yang melengkung, beban aerodinamis berkurang,
sehingga permukaan kembali ke bentuk semula. Karena permukaan kembali kebentuk semula maka
jika masih ada angin akan timbul gaya aerodinamis yang mengakibatkan melengkung kembali.
Kondisi tersebut berulang-ulang sebagai suatu vibrasi.
Oleh karena itulah mengapa generasi jembatan gantung yang pertama tidak pernah mencapai
bentang lebih dari 2000 m. Batas itu ditunjukkan dengan keberadaan jembatan Akashi Kaikyo
(1998) dengan bentang 1991 m dengan tinggi stiffening truss girder mencapai 14 m.

Akashi Kaikyo Bridge (1998) L=1991 m Japan


**Teknologi Generasi Kedua**
Untuk mendapatkan bentang yang panjang dan sekaligus ekonomis dalam pemakaian material,
maka jelaslah bahwa jembatan harus didesain mengacu hal-hal berikut :

beban mati harus seminimum mungkin yaitu dengan menerapkan konfigurasi deck yang
ringan.

pengaruh angin dalam bentuk drag (gaya angkat/apung), buffeting dan vortex shedding
harus dibikin seminimum mungkin dengan mengadopsi bentuk yang aerodinamis dan
mengabaikan ketinggian atau pengaku rangka girder yang berat.

sensitivitas terhadap flutter harud dibikin seminimum juga dengan mengenalkan konfiguras
deck yang bersama-sama dengan konfigurasi geometri kabel memberikan efek pengkaku
torsi.

Sebagai jawabannya maka konsep jembatan generasi ke-2 diperkenalkan memakai deck
single closed-box yang terdiri dari baja panel pengaku. Berat sendiri deck cukup kecil dan
memberikan penampang yang aerodinamis, juga memberikan tahanan drag yang kecil, juga
buffeting dan vortex shedding. Penampang box tertutup bersama-sama dengan konfigurasi kabel
memberikan kekakuan torsi yang baik sehingga menghasilkan sensitivitas rendah terhadap bahaya
flutter, artinya tahanan kritis pada kecepatan angin yang cukup tinggi.
Perilaku gempa pada generasi ke-2 pada deck nggak terlalu tinggi karena relatif flesibel dan
hanya berpengaruh pada pilon yang relatif kaku.
Jembatan yang termasuk generasi ke-2 adalah jembatan Severn Birdge (1966) dengan
bentang 988 m dan ketebalan deck 3.05 m dan Humber Bridge (1981) dengan betang 1410 m
dengan ketinggian deck 3.82 m.
Untuk mendapatkan bentang yang lebih panjang, maka penampang box perlu lebih tinggi
untuk mendapatkan cukup kekakuan dan hal tersebut bertentangang dengan prinsip pengurangan
berat sendiri dan pengaruh angin. Hal tersebut yang menyebabkan bentang jembatan kesulitan
mencapai bentang lebih dari 2000 m. Jembatan Great Belt-Eastern Bridge (1988) dengan bentang
1624 m dan ketinggian deck 4.35 m mewakili generasi kedua jembatan gantung yang mendekati
batas bentang yang memungkinkan dilaksanakan.

Great Belt Eastern Bridge (1988) L=1624 m Denmark


**Teknologi Generasi Ketiga**
Untuk mendapatkan bentang jembatan > 2000 m maka perlu dikembangkan sistem baru
dalam perencanaan jembatan. Jika yang sebelumnya adalah teknologi generasi ke-2 maka perlu
dikembangkan konsep perencanaan generasi ke-3. Berat sendiri dipertahankan tetap ringan
memakai sistem box rendah. Untuk menghasilkan kekakuan torsi yang tinggi maka beberapa box
dijajarkan. Setiap box tunggal mempunyai perilaku aerodinamis yang cukup baik sehingga masalah
drag, buffeting dan vortex shedding dapat diminimalis.

Kekakuaan torsi yang mencukupi juga

menghasilkan sensivitas rendah terhadap flutter sehingga mempunyai ketahanan terhadap


kecepatan angin yang cukup tinggi.
Karena bentang jembatan yang sangat panjang maka pilon jembatan juga semakin tinggi
dan langsing, yaitu untuk mempertahankan bentang kabel. Karena pilon yang langsing juga deck
yang lentur maka beban gempa yang diserap kecil, bahkan menurut Prof. Wiratman karena

kelenturan pilon maka efeknya seperti base-isolation untuk mencegah perambatan getaran gempa
dengan demikian pada saat gempa, deck akan tetap stabil.
Sebagai pembanding jembatan generasi ke tiga adalah jembatan selat Messina di Itali yang
memang pada saat ide ini dilontarkan (1997) sedang dalam tahap perencanaan.
Karena jembatan Messina di tahun 2006 dibatalkan dilaksanakan maka sampai saat ini
belum ada jembatan generasi ke-3 yang dibangun.
Sedangkan jembatan bentang terpanjang saat ini adalah jembatan Akshi Kaikyo (1991 m),
jembatan gantung dengan teknologi generasi pertama.
Jembatan Selat Sunda (JSS) kita tidak tahu, itu berita latah sebagai sarana untuk
menggembosi permasalahan kemacetan transportasi di sekitar pelabuhan Merak-Bakahune yang
selalu

memuncak

menjelang

bulan

Ramadhan,

atau

memang

benar-benar

akan

direalisasikan. Kalau hanya sekedar memberi harapan (agar berkesan tidak tinggal diam terhadap
masalah tersebut), wah gawat itu. Mimpi tinggal mimpi.
Ok! Kita harus selalu berpikir positip. Siapa tahu dari mimpi-mimpi tersebut akan
bermunculan ide-ide sedemikian sehingga bangsa ini sepakat untuk mewujudkan jembatan
tersebut. Juga kita perlu mendukung senior kita, Prof. Wiratman Wangsadinata dan juga Dr. Jodi
Firmansyah yang telah berihtiar menanggapi mimpi tersebut dengan mengajukan usulan-usulan
jembatan untuk dipertimbangkan dan dikaji, siapa tahu dapat menjadi realita.
Yah untuk bidang struktur, teman-teman kita di ITB cukup menonjol, moga-moga teman di
perguruan tinggi yang lain terpacu dan tidak kalah. Memang harus ada yang berani memulai.
Dari dua usulan yang ada, menarik untuk dibahas karena biaya keduanya berbeda sangat
besar. Prof. Wiratman memperkirakan perlu biaya sekitar US$ 7 Billion (atau Rp 16.7 Trilliun,
waktu itu tahun 1997 sebelum krisis atau sekarang sekitar Rp 60 - 70 Trilliun). Sedangkan Dr. Jodi
memperkirakan Rp. 30 Trilliun tahun 2003. Beda khan !
Kenapa itu terjadi ?
Sebagai engineer, tentu kita tertarik untuk mengetahui latar belakangnya.
Prof. Wiratman Wangsadinata mencoba mendekati berdasarkan kaca mata inovator, mencari
penyelesaian yang orisinil, sesuatu yang baru. Beliau beranjak dari state of the art perkembangan

terbaru jembatan bentang panjang di dunia ini, bahkan ide beliau bisa menjadikan jembatan selat
Sunda ini masuk dalam golongan jembatan terpanjang yang ada di dunia.
Catatan : dalam makalahnya tahun 1997 beliau membandingkan usulan jembatannya dengan
jembatan Messina di Itali yang waktu itu memang sedang dalam tahap desain. Kenyataannya,
jembatan Messini telah dibatalkan pelaksanaannya pada tahun 2006. Jadi jika jembatan kita jadi
dilaksanakan maka akan jadi jembatan bentang terpanjang pertama di dunia.
Untuk berani mengusulkan sesuatu dari sisi seperti itu, rasanya tidak mudah. Mungkin bisa
aja sembarang orang menelorkan ide hebat, tapi apakah orang lain kemudian percaya. Wah tidak
mudah itu. Ya, tapi itu bagi orang biasa, bagi yang tidak biasa alias istimewa seperti halnya Prof.
Wiratman maka hal tersebut wajar-wajar saja. Reputasi beliau rasanya tidak terbantahkan. Seperti
apa ? Itu yang perlu kita ulas nanti.
Dr. Jodi Firmansyah mencoba mendekati berdasarkan kaca mata praktisi, yang umum, yang biasa
dikerjakan berdasarkan pengalaman lapangan.
Saya kira itu wajar-wajar saja, beliau cukup banyak pengalaman mengenai pelaksanaan
jembatan panjang. Nama beliau saya dengar pertama kali disebutkan oleh kontraktor L&M
Indonesia, yaitu sekitar tahun 1996-1997 dimana waktu itu saya banyak terlibat dengan kontraktor
tersebut saat membangun silo-silo pabrik semen Kujang di Citeureup, di utara pabrik Semen
Tigaroda. Sekarang kedua merk semen tersebut sudah hilang dan menjadi merk asing. Jika pada
tahun tersebut saja sudah dikenal oleh praktisi jembatan, maka tentunya saat ini sudah sangat
banyak yang beliau tangani. Untuk detailnya saya kira mas Robby bisa menjelaskan.
Pak Jodi mencoba meyakinkan, bahwa masalah dalam pembangunan tersebut adalah
pelaksanaan pilar jembatan pada laut dalam, dan hal tersebut teknologinya sudah ada. Sisi lain
beliau menekankan bahwa sebaiknya pelaksanaan jembatan selat Sunda memakai teknologi yang
sudah dikuasai oleh bangsa ini, khususnya yang berkaitan dengan bentang jembatan yang memang
beliau sudah sering kerjakan. Wah cinta negeri nih.
Oleh karena itu, jembatan yang diusulkan Dr. Jodi terdiri dari beberapa bentang jembatan
yang relatif lebih pendek dibanding usulan Prof . Wiratman. Jadi bentangnya sendiri tidak menjadi
suatu permasalahan karena sudah pernah dilaksanakan sebelumnya (berpengalaman) , tetapi itu
semua memerlukan pembangunan pilar-pilar jembatan di atas laut dalam. Ini masalahnya !.

Tapi apa benar kita sudah menguasai teknologi yang dimaksud, karena jelas lokasi dan
kondisi jembatan yang akan dibangun di atas selat Sunda adalah istimewa dari sisi engineering.
Tidak hanya dari segi bentang atau panjang jembatan yang akan dibangun, tetapi dalam hal ini
beberapa aspek utama yang perlu diperhatikan :

merupakan wilayah gempa yang cukup ngegirisi di Indonesia

angin yang kencang, pertemuan laut terbuka (samudera Hindia) dan laut tertutup (laut Jawa)

arus laut yang kencang

karena merupakan tempat lalu lintas kapal maka tentu diperlukan ketinggian jembatan yang
cukup istimewa
Daerah sekitar Selat Sunda dari sudut geologi merupakan daerah yang labil. Salah satu

kunci untuk memahami proses deformasi kerak bumi yang terjadi dilokasi ini adalah dengan cara
mengamati dan mempelajari mekanisme sesar Sumatera, khususnya pada segmen sesar Semangko.
Adanya

gunung

Krakatau

di

Selat

Sunda

juga

erat

hubungannya

dengan sesar ini. Sesar Sumatera ini memanjang dari Aceh sampai ke Selat Sunda.
Untuk mengetahui ngegirisi atau tidaknya lokasi tersebut terhadap resiko gempa, maka ada
baiknya untuk mengintip terlebih dahulu catatan gempa yang pernah terjadi sejak tahun 1897 2001.

Peta Gempa berdasarkan Magnitude Gempa (Jodi 2003)


Berdasarkan data tersebut, gempa terbesar di daerah Selat Sunda yang pernah terjadi di sekitar
lokasi proyek tidak melebihi Mw = 7 dengan kedalaman menengah.
Kecuali magnitude maka dapat dilihat juga kedalaman sumber gempa yang terjadi. Seperti
diketahui bahwa meskipun secara horizontal dekat tetapi kalau sumber gempa jauh didasar bumi
maka pengaruhnya relatif kecil.

Peta Gempa Berdasarkan Kedalaman Gempa (Jodi 2003)

2. Strategi yang diusulkan Prof. Wiratama (1997)


Berkaitan dengan hal tersebut, prof Wiratman mencoba mendekati dari sisi teknologi yang
mempunyai kemampuan untuk mengatasi gempa dan angin, yang merupakan dua faktor paling
dominan yang perlu mendapat perhatian dari yang lain-lain.
Mengenai letusan gunung Anak Krakatau tidak disinggung terlalu detail, tetapi dalam makalah pak
Jodi disebutkan bahwa hal tersebut bukan merupakan hal yang signifikan karena untuk
mendapatkan letusan dahyat, seperti ratusan tahun yang lalu, maka diperlukan periode ulang yang
lama sekali (ratusan tahun juga). Jadi pengaruhnya saat ini hanya pada gempa vulkanik saja, dan itu
sudah dicover dalam penjelasan prof. Wiratman.

Untuk mengatasi gempa maka strategi prof Wiratman cukup menarik, sepeti diketahui besarnya
gaya gempa pada suatu struktur dipengaruhi oleh dua hal yaitu massa dan kekakuan struktur.
Semakin kecil massa bangunan dan semakin lentur suatu struktur maka gaya gempa yang diterima
struktur tersebut akan semakin kecil. Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekakuan dan massa
yang relatif kecil maka digunakan sistem jembatan gantung dari baja. Jembatan gantung
diusahakan mempunyai bentang yang panjang, semakin panjang maka kekakuan struktur semakin
kecil.
Bagi orang awam mungkin penjelasan di atas agak membingungkan, tetapi hal tersebut memang
sudah terbukti yaitu sewaktu di California terlanda gempa Northridge sekitar tahun 1994 waktu itu
banyak jembatan bentang pendek dari beton prategang ambrol sedangkan jembatan Golden Gate di
San Fransisco tidak terpengaruh sama sekali.
Untuk gempa ok, tetapi perlu diingat bahwa efek angin adalah kebalikannya dari gempa. Jadi
semakin lentur dan massanya kecil maka pengaruh angin semakin besar. Berkaitan dengan hal
tersebut Prof. Wiratman menyandarkan pada teknologi jembatan gantung terkini yang disebutkan
sebagai teknologi generasi ketiga.

Penampang deck jembatan gantung


(a) Akashi Kaikyo Bridge (1998), first generation bridges
(b) Great Belt-East Bridge (1988), second generation bridges
(c) Messina Strait Bridge (?), third generation bridges
Perkembangan Jembatan Bentang Panjang di Indonesia
1996 Membramo (235 m) 1st generation
1997 Barito (240 m) 1st generation
1998 Mahakam II (270 m) 1st generation
1998 Batam-Tonton (350 m) 2nd generation cable-stayed
(?) Bali Strait 2100 m 3rd generation
(?) Sunda Strait > 3000 m 3rd generation
Alignment jembatan ditentukan sedemikian sebagai hasil feasibility study untuk mendapat harga
yang paling ekonomis antara bentang dan kedalaman pondasi jembatan.
Tahun 1992 Prof. Wiratman menyelidiki tiga alternatif bentang jembatan dan menemukan bahwa
kombinasi dua jembatan gantung (generasi ketiga) dengan bentang tengah 3500 m memberikan
biaya yang paling ekonomis. Alignment yang dimaksud adalah

- P. Jawa - P. Ular : viaduct 3 km


- P. Ular - P. Sangiang : 7.8 km jembatan gantung
- P. Sangiang : 5 km jalan dan rel kereta api
- P. Sangiang - P. Prajurit : 7.6 km jembatan gantung
- P. Prajurit : 1 km jalan dan rel kereta api
- P. Prajurit - P. Sumatera : viadut 3 km

Tampak Samping Jembatan Gantung Selat Sunda (Wiratman 1997)


Setelah beberapa waktu berlalu, banyak orang yang mempelajari usulan prof. Wiratman dan
akhirnya dalam suatu seminar di tahun 2003 ada usulan baru sbb.
3. Usulan Dr. Jodi Firmansyah (2003)
Dr. Jodi memberi alternatif jembatan selat Sunda yang sedikit berbeda, relatif konservatif
berdasarkan jembatan yang pernah dibangun di Indonesia dan yang menarik adalah harganya yang
sangat murah.
Seperti biasa, di Indonesia kalau ada barang murah, wah pasti heboh. Apalagi di discount.

Tapi mempelajari makalahnya ada catatan penting. Bahwa itu semua dapat dilaksanakan jika
pelaksanaan pilon di atas laut dalam dan yang mempunyai arus deras dapat dilaksanakan.
Padahal dari pengalaman sebelumnya, di dunia ini belum ada yang pernah membangun pilar
dengan kedalaman yang kira-kira sama untuk jembatan selat Sunda ini. Dalam asumsi ini, manusia
(engineer) dapat melakukan sedikit improvement terhadap teknologi konstruksi laut dalam yang
ada. Lha disinilah yang perlu diperhatikan. Apakah harga yang ditawarkan (yang lebih murah
tersebut) dapat meng-cover ketidak-pastian biaya konstruksi laut dalam tersebut.
Kemampuan pelaksanaan di atas laut dalam dan berarus kencang, merupakan titik kelemahan
usulan Dr. Jodi. Itu juga masih tergantung pihak asing, dalam hal ini menurut pak Jody memberi
contoh pihak asing yang dianggap mampu yaitu engineer Jepang, yang berhasil membangun
jembatan Akashi Kaikyo (1999 m) dan yang sampai sekarang memegang rekor jembatan terpanjang
di dunia. Tapi ingat, itupun kedalamannya lebih kecil dibanding yang untuk selat Sunda.
Usulan jembatan dilihat dari sisi Sumatera hingga ke Pulau Sangiang diusulkan menggunakan 3
tipe jembatan, yaitu jembatan Balance Cantilever dengan bentang utama sepanjang 180 m dan
kedalaman sea bed sekitar 30 m. (disebut segmen I)

Segmen I
Selanjutnya adalah segmen II yaitu terdiri dari jembatan Cancang (Cable Stayed) dengan bentang
utama 750 m dan kedalaman sea bed sekitar 40 m, jembatan Gantung (Suspension) dengan
bentang utama 2500 m dan kedalaman sea bed sekitar 80 m.

Segmen II
Selanjutnya adalah segmen III, yaitu dari Pulau Sangiang ke Pulau Jawa diusulkan dua buah
jembatan Cancang dengan bentang utama 700 m dan kedalaman sea bed sekitar 40 m, jembatan
Gantung dengan bentang utama 2500 m dan kedalaman sea bed sekitar 80 m.

Segmen III
Yang terakhir setelah jembatan gantung maka masih diperlukan sekitar 25 buah jembatan Balance
Cantilever dengan bentang utama 180 m dan kedalaman sea bed sekitar 40 s.d. 10 m.

Segmen IV
Yah, ternyata setelah melihat kedua usulan sistem jembatan di atas. Ternyata kedua-duanya masih
mengandung ketidak-pastian karena ada hal-hal yang baru.
Untuk jembatannya Prof. Wiratman, maka masalah utamanya adalah di struktur atas, yang akan
menjadi bentang jembatan terpanjang di dunia, sedangkan untuk Dr. Jodi masalah utamanya adalah
konstruksi struktur bawah, pondasi pilon di atas laut dalam berarus kuat yang belum pernah ada
sebelumnya untuk kedalaman yang diperlukan.
Sedangkan seperti kita ketahui secara umum bahwa masalah bawah (tanah) masalah ketidakpastiannya adalah lebih tinggi dari masalah struktur atas.

BAB III
KESIMPULAN
3.1 Kesimpulan
Untuk jembatannya Prof. Wiratman, maka masalah utamanya adalah di
struktur atas, yang akan menjadi bentang jembatan terpanjang di dunia,
Dr. Jodi masalah utamanya adalah konstruksi struktur bawah, pondasi
pilon di atas laut dalam berarus kuat yang belum pernah ada sebelumnya
untuk kedalaman yang diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai