Anda di halaman 1dari 14

TUGAS TERSTRUKTUR PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

PERAN DAN PROFESIONALISME JAKSA DALAM PEMBERANTASAN


KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME SERTA KEJAHATAN WHITE
COLLAR CRIME

Oleh :

Citra Inneke

(B1J012010)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2015

PERAN DAN PROFESIONALISME JAKSA DALAM PEMBERANTASAN


KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME SERTA KEJAHATAN WHITE
COLLAR CRIME

Citra Inneke Wibowo


B1J012010

Untuk memenuhi persyaratan tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan


Kewarganegaraan

Disetujui dan disahkan


pada tanggal
April 2015

Pengampu Mata Kuliah


Pendidikan Kewarganegaraan

Drs. Tata Brata Suparjana, M.Si.


NIP. 196111191987031002

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan Tugas Terstruktur mata kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan. Tugas Terstruktur ini dibuat guna memenuhi tugas terstruktur
mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan di Fakultas Biologi Universitas
Jenderal Soedirman Purwokerto
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan ini tidak lepas dari
bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini
penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada :
1. Seluruh staf dosen mata kuliah

Pendidikan Kewarganegaraan Fakultas

Biologi Universitas Jenderal Soedirman.


2. Semua pihak yang telah membantu penyusunan laporan ini yang tidak dapat
penulis sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa penyusunan laporan ini jauh dari sempurna.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari
semua

pihak

untuk

pengembangan

penulisan

selanjutnya

dan

demi

penyempurnaan laporan ini. Penulis berharap semoga laporan ini bermanfaat bagi
semua pihak.

Purwokerto,

April 2015

Penulis

DAFTAR ISI
Halaman
Lembar Pengesahan............................................................................................... ii
Kata Pengantar....................................................................................................... iii
Daftar Isi................................................................................................................ iv
Ringkasan..............................................................................................................v
I. Pendahuluan..................................................................................................... 1
II. Gagasan............................................................................................................ 3
III. Kesimpulan......................................................................................................10
Daftar Referensi.....................................................................................................11

RINGKASAN
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi
merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di
mana-mana. Setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa
praktik KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang
keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat serta
sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling
bawah. Tiga serangkai, Korupsi, Kolusi dan Nepotisme yang semula merupakan
istilah umum (public term) atau mungkin istilah ilmiah atau akademis
(scientific term), kemudian berkembang menjadi istilah yuridis (legal term).
Maraknya kolusi, korupsi dan nepotisme merupakan hambatan serius
dalam pembangunan. Salah satu tindak pidana yang fenomenal yang marak terjadi
yaitu kasus tindak pidana korupsi. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah
meluas dikalangan masyarakat Indonesia. Perkembangan terus meningkat dari
tahun ke tahun dan telah menjadi gaya hidup orang banyak saat ini, terbukti
dengan semakin merambahnya budaya korupsi mulai dari pusat sampai ke tingkat
daerah. Sehingga terkadang sulit membedakan antara kejahatan dan kebiasan hal
itu karena maraknya kejahatan yang terjadi.
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kategori tindak pidana
khusus. Dalam penanganan tindak pidana khusus tersebut penyidikannya
dilakukan oleh jaksa. Tetapi pada perkembangan terakhir ini masalah
penyidikannya dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Karena sulit memberikan
batasan wewenang penyidikan Antara jaksa dan komisi pemberantasan korupsi
(KPK) sebatas mana kewengangan KPK meskipun kedua penanganannya jika
dilihat dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 30
Tahun 2002 akan terlihat jelas kerja sanma yang harus dilakukan anatar jaksa dan
KPK. Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus korupsi
mempunyai dua pengawasan yaitu pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan sedangkan pengawasan
internal dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS).

I.
A.

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) di Indonesia bukan lagi


merupakan sebuah fenomena, melainkan sudah merupakan fakta yang terkenal di
mana-mana. Setelah rezim otoriter Orde Baru tumbang, tampak jelas bahwa
praktik KKN selama ini terbukti telah menjadi tradisi dan budaya yang
keberadaannya meluas, berurat akar dan menggurita dalam masyarakat serta
sistem birokrasi Indonesia, mulai dari pusat hingga lapisan kekuasaan yang paling
bawah (Fathurrahman Djamil dkk, 1999). Tiga serangkai, Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme yang semula merupakan istilah umum (public term) atau mungkin
istilah ilmiah atau akademis (scientific term), kemudian berkembang menjadi
istilah yuridis (legal term) (Hadisuprapto, 2000).
Istilah korupsi menjadi istilah yuridis melalui Peraturan Penguasa Militer
No. Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi, dan istilah Kolusi dan
Nepotisme menjadi istilah yuridis melalui UU No. 28 tahun 1999 jo. Tap MPR
No.XI/MPR/1998. Tiga serangkai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme merupakan
sumber mala-petaka suatu rezim, seperti diungkapkan oleh Wakil Presiden
Amerika Serikat, Al Gore, seperti dikutip oleh Nyoman Serikat berikut ini.
(Nyoman Serikat, 2000) There is no question that as we move into global
information age, foreign corrupt practices threaten to undermined both the
growth and the stability of our global trade and financial system. Nowhere are the
consequences more evident than in emerging and developing economies. The
financial crisis in Russia and Asia have clearly been deepened as a result of
cronyism and corruption
Transparency International, sebuah organisasi non-pemerintah yang
banyak berusaha untuk mendorong pemberantasan korupsi, menempatkan
Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di dunia dengan nilai Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2005) adalah 2,2 (nilai nol sangat korup dan nilai 10
sangat bersih) yaitu jatuh pada urutan ke-137 dari 159 negara yang disurvei. IPK
merupakan hasil survei tahunan yang mencerminkan persepsi masyarakat
internasional maupun nasional (mayoritas pengusaha) terhadap tingkat korupsi di
suatu negara. Tingkat korupsi tersebut terutama dikaitkan dengan urusan ijin-ijin
usaha, pajak, pengadaan barang dan jasa pemerintah, beacukai, pungutan liar dan
proses pembayaran termin-termin proyek (DR. M. Syamsa Ardisasmita, 2006).

Menurut (DR. M. Syamsa Ardisasmita, 2006), Sebagai penegasan bahwa


Indonesia adalah salah satu negara terkorup di dunia adalah hasil survei yang
dilakukan The Political and Economic Risk Consultancy Ltd (PERC) pada tahun
2005 terhadap 900 ekspatriat di Asia sebagai responden, dimana Indonesia
menduduki peringkat pertama sebagai negara terkorup se-Asia.
Tabel 1 Posisi negara berdasarkan Indeks Persepsi Korupsi
Posisi Negara

Nama Negara
Islandia
Finlandia
Selandia Baru
Denmark
Singapura
Swedia
Swiss
Norwegia
Australia
Austria

IPK
9,7
9,6
9,6
9,5
9,4
9,2
9,1
8,9
8,8
8,7

Posisi Negara

Nama Negara
Indonesia
Pantai Gading
Guenia
Nigeria
Haiti
Burma
Turkmanistan
Bangladesh
Chad

IPK
2,2
1,9
1,9
1,9
1,8
1,8
1,8
1,7
1,7

1
2
3
4
5
6
7
8
9
10

137
152
153
154
155
156
157
158
159

Peraturan perundang undangan yang dijadikan alat untuk memberantas


tindak pidana korupsi disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat, namun
demikian korupsi makin merajalela, kerugian negara tidak hanya jutaan rupiah
akan tetapi milyaran rupiah bahkan mencapai trilyunan rupiah. Di sisi yang lain,
korupsi tidak hanya memasuki lingkungan eksekutif saja, tetapi juga berkembang
dilingkungan yudikatif dan legislatif. Kegagalan ini sangat merugikan keuangan
negara dan perekonomian negara serta menghambat jalannya pembangunan yang
berakibat fatal bagi bangsa Indonesia yaitu suatu kerusakan sosial yang sulit
diperbaiki.
B.

Perumusan Masalah

1. Bagaimana Pengaturan Pemidanaan dalam tindak pidana korupsi di Indonesia ?


2. Bagaimana penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi ?

C.

Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui pengaturan Pemidanaan dalam tindak pidana korupsi di Indonesia


2. Mengetahui penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana korupsi.

D.

Manfaat
Manfaat dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi tentang

pengaturan pemidanaan dalam tindak pidana korupsi dan penegakan hukum atas
pelaku tindak pidana korupsi.

II.

GAGASAN

Seiring dengan perkembangan pembangunan adanya kemajuan yang


sangat pesat dibidang ilmu pengetahuan dan berpengaruh pula terhadap tundak
pidana. Tindak pidana pun pada saat ini semakin kompleks dan berkembang
dalam segala aspek kehidupan bangsa Indonesia. Maraknya kolusi, korupsi dan
nepotisme merupakan hambatan serius dalam pembangunan. Salah satu tindak
pidana yang fenomenal yang marak terjadi yaitu kasus tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dikalangan masyarakat
Indonesia. Perkembangan terus meningkat dari tahun ke tahun dan telah menjadi
gaya hidup orang banyak saat ini, terbukti dengan semakin merambahnya budaya
korupsi mulai dari pusat sampai ke tingkat daerah. Sehingga terkadang sulit
membedakan antara kejahatan dan kebiasan hal itu karena maraknya kejahatan
yang terjadi (Hurtanti, 2009).
Sebagai suatu kejahatan yang luar biasa tindak pidana korupsi pun seakan
menjadi suatu kebiasaan. Praktek korupsi yang semakin meningkat dengan pola
yang lebih sistemtis dan canggih merupakan suatu masalah serius bagi upaya
penegakan hokum di Indonesia. Menyadari kompleksnya permasalahan korupsi di
tengah-tengah krisis multidimensional serta ancaman nyata yang pasti akan terjadi
yaitu dampak dari kejahatan ini, maka tindak pidana korupsi dapat dikategoikan
sebagai permasalahn nasional yang harus dihadapi secara sungguh-sungguh
melalui keseimbanganlangkah-langkah yang tegas dan jelas dengan melibatkan
semua potensi yang ada dalam masyarakat khususnya aparat penegak hokum
(Hurtanti, 2009).
Meningkatnya kasus tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja bagi kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara. Kegagalaan elit politik Indonesia
melakukan upaya serius memberantas korupsi jelas akan membahayakan
kesejahteraan Negara. Rakyat akan menalahkan kebijakan pemerintah atas
kesulitan yang dihadapinya, padahal kesulitan itu disebabkan oleh korupsi
(Hurtanti, 2009).
Berbagai peraturan-peraturan yang mengatur mengenai pemberantasan
tindak pidana korupsi serta pembentukan lembaga-lembaga untuk pemberantasan
korupsi dalam kenyataannya belum mampu memberantas tindak pidana korupsi.
Hal ini menunjukkan tidak berfungsinya dimensi politik criminal dari perangat
hokum pidana yang ada, khususnya yang mengatur korupsi (Hamzah, 2008).

Penanganan tindak pidana khusus tersebut melibatkan jaksa secara langsung


sebagai penyidik. Kejaksaan sebagai sebuah lembaga yang berwenang sebagai
penuntut umum dan penyidik dalam pemberantasan tindak pidana korupsi
berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan UU No. 31 Tahun 1999
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai hokum pidana material
dan UU No. 16 Tahun 2004 tentang kejaksaan republic Indonesia, serta undangundang No. 8 Tahun1981 tentang hokum acara pidana (KUHAP) sebagai hokum
pidana formil, mempunyai peran yang sangat penting dalam penyelesaian dan
pemberantasan kasus tindak pidana ini (Marpaung, 2011).
Tuntutan terhadap paradigma good governance dalam seluruh kegiatan di
era globalisasi dewasa ini sudah tidak dapat dielakkan lagi. Tuntutan tersebut
menjadi penting karena jika kondisi good governance dapat dicapai, maka
terwujudnya negara yang bersih dan responsif (clean and responsive state),
semaraknya masyarakat sipil (vibrant civil society) dan kehidupan bisnis yang
bertanggungjawab (good corporate governance) niscaya tidak lagi hanya menjadi
sebuah impian.
Terhadap tuntutan terseleng-garanya good governance ini lembagalembaga donor internasional, seperti Bank Dunia, IMF dan ADB bahkan telah
secara tegas meminta ditegakkannya paradigma good governance di negaranegara yang memperoleh bantuan dari mereka, termasuk Indonesia (Asian
Development

Bank

(ADB),1999).

Dengan

demi-kian,

bagi

Indonesia,

terwujudnya good governance telah menjadi suatu keharusan yang harus


diupayakan. Untuk dapat mewujudkan good governance sebagaimana dituntut
oleh masyarakat maupun lembaga-lembaga donor internasional tersebut, salah
satu unsur penting yang harus terpenuhi adalah adanya transparansi atau
keterbukaan dan akuntabilitas dalam berbagai aktifitas, baik aktifitas sosial,
politik maupun ekonomi.
Dengan kata lain, semakin tinggi tingkat transparansi dan akuntabilitas
maka seharusnya semakin rendah pula kemungkinan terjadinya KKN. Namun,
pada kenyataannya, berbagai penelitian dan evaluasi yang dilakukan oleh
beberapa lembaga berbeda justru menunjukkan kecenderungan yang semakin
memprihatinkan. Dan umumnya, penelitian tersebut sampai pada satu kesimpulan
yang sama, yaitu bahwa Indonesia merupakan salah satu negara paling korup di
dunia. Secara umum dan sederhana korupsi dapat diartikan sebagai

penyalahgunaan kekuasaan/keper-cayaan untuk keuntungan pribadi. Pengertian


korupsi juga mencakup perilaku pejabat-pejabat di sektor publik, baik politisi
maupun pegawai negeri, yang memperkaya diri mereka secara tidak pantas dan
melanggar hukum, atau orang-orang yang dekat dengan pejabat birokrasi dengan
menyalahgunakan

kekuasaan

yang

dipercayakan

pada

mereka.

kualitas

governance di Indonesia masih jauh dari kategori good governance. Dari


indikator efisiensi peradilan dan efisiensi birokrasi, misalnya, terlihat bahwa
keduanya masih jauh dari harapan. Seringkali terdengar pencari keadilan harus
berlama-lama menunggu proses penyelesaian putusan perkara mereka (Dillon,
2004).
Kelemahan yang paling mencolok dalam proses tercapainya good
governance di Indonesia selama ini adalah tingginya tingkat korupsi yang bahkan
telah merajalela di hampir seluruh lapisan masyarakat, baik di sektor publik
maupun swasta dan sering pula terjadi di kedua sektor tersebut secara simultan /
bersamaan. Korupsi juga telah berkembang dan mengakar di lembaga-lembaga
pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat (DPR maupun DPRD), bahkan di
dalam lembaga peradilan sendiri. Kepolisian, kejaksaan dan lembaga peradilan
yang seharusnya menjadi ujung tombak bagi upaya pem-berantasan korupsi justru
dipandang oleh banyak kalangan sebagai institusi-institusi publik yang paling
korup dan paling banyak melakukan penyalahgunaan kewenangan (Dillon, 2004).
Dengan kata lain, korupsi telah merajalela terutama di kalangan birokrasi
pada institusi publik atau lembaga pemerintah, baik departemen maupun non
departemen. HS. Dillon, misalnya, mengungkapkan bahwa jaksa merupakan
aparat penegak hukum yang paling banyak menerima suap (51,8%), disusul oleh
hakim (46,2L%), aparat-aparat lain dari kantor kejaksaan (38,8%), panitera
(23,1%), pengacara (7,7%), polisi (7,7%) dan aparat-aparat penegak hukum
lainnya (2,6%).10 Uraian di atas mengindikasikan bahwa korupsi benar-benar
telah menjadi permasalahan akut dan sistemik yang sangat membahayakan dan
merugikan negara maupun masyarakat, terlebih di negara kecil dan berkembang
seperti Indonesia (Dillon, 2004).
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kategori tindak pidana
khusus. Dalam penanganan tindak pidana khusus tersebut penyidikannya

dilakukan oleh jaksa. Tetapi pada perkembangan terakhir ini masalah


penyidikannya dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Karena sulit memberikan
batasan wewenang penyidikan Antara jaksa dan komisi pemberantasan korupsi
(KPK) sebatas mana kewengangan KPK meskipun kedua penanganannya jika
dilihat dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 30
Tahun 2002 akan terlihat jelas kerja sanma yang harus dilakukan anatar jaksa dan
KPK. Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus korupsi
mempunyai dua pengawasan yaitu pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan sedangkan pengawasan
internal dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS).
Dalam penanganan tindak pidana korupsi jaksa dapat berperan sebagai
penyidik dan juga sebagai penuntut umum, maka peranannya dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, secara penal
artinya pemberantasan tindak pidana dengan menggunakan sarana hokum pidana
dalam penangannya. Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga
penanganan non penal yaitu digunakan sarana non huku pidana, misalnya dengan
hokum administrasi. Keahlian yang professional harus dimiliki oleh aparat
kejaksaan baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan peraturan
perundang-undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar
pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat
penting sifatnya karena pelaku tindak pidana korupssi itu mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Ciri pada pelaku tindak pidana korupsi umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya jabatan yang sering dikenal
dengan (white collar crime) atau kejahatan kerah putih (Wijaya, 2009).

III.

KESIMPULAN

Kesimpulan yang didapat adalah sebagai berikut :


Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kategori tindak pidana
khusus. Dalam penanganan tindak pidana khusus tersebut penyidikannya
dilakukan oleh jaksa. Tetapi pada perkembangan terakhir ini masalah
penyidikannya dipertanyakan oleh berbagai kalangan. Karena sulit memberikan
batasan wewenang penyidikan Antara jaksa dan komisi pemberantasan korupsi
(KPK) sebatas mana kewengangan KPK meskipun kedua penanganannya jika
dilihat dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 dan Undang-undang No. 30
Tahun 2002 akan terlihat jelas kerja sanma yang harus dilakukan anatar jaksa dan
KPK. Kejaksaan dalam melakukan penyidikan tindak pidana khusus korupsi
mempunyai dua pengawasan yaitu pengawasan eksternal yang dilakukan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan sedangkan pengawasan
internal dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (JAMPIDSUS).
2.
Dalam penanganan tindak pidana korupsi jaksa dapat berperan sebagai
penyidik dan juga sebagai penuntut umum, maka peranannya dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi secara penal sangat dominan, secara penal
artinya pemberantasan tindak pidana dengan menggunakan sarana hokum pidana
dalam penangannya. Selain penanganan tindak pidana secara penal dikenal juga
penanganan non penal yaitu digunakan sarana non huku pidana, misalnya dengan
hokum administrasi. Keahlian yang professional harus dimiliki oleh aparat
kejaksaan baik mengenai pemahaman dan pengertian serta penguasaan peraturan
perundang-undangan dan juga terhadap perkembangan teknologi. Hal ini agar
pemberantasan tindak pidana korupsi dapat berhasil. Penguasaan tersebut sangat
penting sifatnya karena pelaku tindak pidana korupssi itu mempunyai ciri-ciri
tersendiri. Ciri pada pelaku tindak pidana korupsi umumnya dilakukan oleh
orang-orang yang berpendidikan tinggi dan punya jabatan yang sering dikenal
dengan (white collar crime) atau kejahatan kerah putih (Wijaya, 2009).
1.

DAFTAR PUSTAKA
Asian Development Bank (ADB), Good Governance and Anticorruption: The
Road Forward for Indonesia, makalah dipresentasikan dalam Pertemuan
Puncak CGI ke Delapan di Paris, 27-28 Juni 1999
Dillon, H.S. Partnership for Government Reform: Facilitating Government
Reform in the Indonesian Judiciary and Public Prosecution, makalah
dibacakan dalam Seminar Nasional Menuju Good Governance dan Clean
Government Melalui Peningkatan Integritas Sektor Publik dan Swasta
(Dalam Semangat Konvensi PBB Menentang Korupsi, Jakarta, 14-15
September 2004
DR. M. Syamsa Ardisasmita, D. (2006). Definisi Korupsi Menurut Perspektif
Hukum dan E-annauncement untuk Tata Kelola Pemerintahan yang Lebih
Terbuka, Transparan dan Akuntabel. Jakarta.
Fathurrahman Djamil dkk. (1999). Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN):
Dalam Perspektif Hukum dan Moral Islam. Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme di Indonesia, (103-115), 103.
Hadisuprapto, P. (2000). Pemberian Malu : Alternatif Antisipatif Korupsi, Kolusi
dan Nepotisme (K.K.N). Jurnal Kriminologi Indonesia, 1 - 9.
Hamzah, Andi. 2009. Pemberantasan Korupsi. Jakarta: Rjawali Pers.
Hartanti, Evi. 2009. Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Marpaung, Laden. 2008. Proses Penanganan Perkara. Jakarta: Rineka Cipta.
Serikat, Nyoman, Putra Jaya, SH.MH. 2000 Tindak Pidana Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme di Indonesia, Semarang : Badan Penerbit Universitas Di
ponegoro.

Anda mungkin juga menyukai