Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara geografis, geologis, hidrologis, dan demografis, Indonesia
merupakan wilayah rawan bencana. Indonesia berada di atas kerak bumi yang
aktif dimana ada lima patahan lempeng bumi yang bertemu, bertumbukan dan
mengakibatkan pergerakan bumi Indonesia dinamis (Sunarti, 2009). Indonesia
sering disebut sebagai negara dengan laboratorium bencana, sebab frekuensi
bencana alam yang terjadi di Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai
dari bencana gempa bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan
gunung meletus, belum lagi bencana yang secara lebih langsung disebabkan oleh
kegiatan manusia, seperti lumpur lapindo. Menurut International Strategy for
Disaster Reduction (ISDR) bencana adalah Suatu gangguan serius terhadap
keberfungsian suatu masyarakat, sehingga menyebabkan kerugian yang meluas
pada kehidupan manusia dari segi materi , ekonomi atau lingkungan dan
melampaui kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk mengatasi dengan
menggunakan sumber daya mereka sendiri (PNPM, 2008).
Indonesia yang terdiri dari gugusan kepulauan mempunyai potensi
bencana yang sangat tinggi dan juga sangat bervariasi dari aspek jenis bencana.
Kondisi alam tersebut serta adanya keanekaragaman penduduk dan budaya di
Indonesia menyebabkan timbulnya risiko terjadinya bencana alam, bencana ulah
manusia dan kedaruratan kompleks, meskipun disisi lain juga kaya akan
sumberdaya alam (BNPB, 2008). Frekuensi bencana alam yang terjadi di
Indonesia cukup tinggi, terjadi silih berganti mulai dari bencana gempa bumi,
tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan gunung meletus. Yasuhiro
Otomo (2013) menyebutkan bahwa terdapat tiga bentuk bencana yaitu: bencana
yang diakibatkan oleh alam, bencana oleh manusia dan complex humanitarian

emergency (CHE). Bencana meninggalkan dampak bagi korbannya baik dari segi
fisik, psikologis, sosial , spiritual dan material serta ekonomi (Ilyas,2008).
Pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang tersebut, penyelenggaraan
penanggulangan bencana mencakup serangkaian upaya yang meliputi penetapan
kebijakan pembangunan yang beresiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Selain itu pada tahun 2010 pemerintah
telah mengeluarkan Peraturan tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat
dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17
tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana (BNPB, 2010).
Manajemen bencana menurut Hendro Wartatmo (2011) merupakan
keseluruhan dari semua tindakan yang dilakukan untuk mengurangi kemungkinan
kerusakan yang akan terjadi terkait dengan bahaya dan untuk meminimalkan
kerusakan setelah suatu peristiwa bencana terjadi atau telah terjadi dan untuk
pemulihan langsung dari kerusakan. Manajemen bencana terdiri dari beberapa
langkah diantaranya mitigation, preparadness, response dan recovery (Joshi,
2007). Pada tahap recovery, terjadi proses pemulihan kondisi masyarakat yang
terkena bencana dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada
keadaan semula. Tahap recovery terdiri dari rehabilitasi dan rekontruksi baik dari
fisik, psikologis dan komunitas (PNPM, 2008). Perawat sebagai bagian dari tim
tanggap darurat mempunyai peran yang penting dalam penanganan bencana mulai
dari setelah terjadi bencana sampai dengan fase rehabilitasi/recovery post
bencana, perawat juga dituntut untuk mampu berkolaborasi dengan anggota tim
tanggap darurat bencana yang lain dan masyarakat agar mampu dihasilkan
penanganan bencana yang tepat. (Magnaye et al, 2011). Berdasarkan latar
belakang di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai
rehabilitasi post disaster baik secara fisik, psikologi dan komunitas bencana di
Indonesia.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui apa
dampak psikologis pasca bencana dan bagaimana rehabilitasi post disaster baik
secara fisik, psikologis, dan komunitas pada bencana di Indonesia.
2. Tujuan Khusus
a.
b.
c.
d.
e.

Untuk mengetahui apa itu bencana


Untuk mengetahui tahapan manajemen bencana
Untuk mengetahui dampak psikologis pasca bencana
Untuk mengetahui rehabilitasi post disaster
Untuk mengetahui peran perawat dalam rehabilitasi post disaster

C. Metode Penulisan
Metode penulisan dalam makalah ini adalah dari beberapa studi literatur
dan jurnal-jurnal penelitian yang terkait dengan rehabilitasi post disaster.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Bencana
Bencana adalah suatu peristiwa dimana kondisi normal dari suatu
komunitas mengalami gangguan baik dari faktor alam dan/atau faktor non alam
maupun faktor manusia sehingga mengalami kegawatan yang mengakibatkan
terjadinya dampak yang melebihi kemampuan komunitas untuk melakukan
penanganan secara mandiri dengan efektif baik dari segi fisik, kerugian harta
benda dan psikologis (National Academy of Science, 2007; WHO, 2011).
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan definisi bencana peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang
disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor
manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan
lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
B. Tahapan Manajemen Bencana
Tahap-tahap dalam manajemen bencana menurut Joshi (2007) adalah :
1. Mitigation (Pencegahan)
Untuk mengurangi risiko bencana bagi masyarakat yang berada pada
kawasan

rawan

bencana,

maka

diperlukan

Mitigasi,

baik

melalui

pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan


menghadapi ancaman bencana, misalnya:
Pendidikan kebencanaan; gladi lapangan: penyiapan lokasi evakuasi,
simulasi evakuasi, pertolongan korban;

pemasangan rambu evakuasi;

sosialisasi melalui berbagai media; menggali kearifan lokal.


2. Preparedness (Kesiapsiagaan)
Kesiapsiagaan dalam menghadapi terjadinya bencana meliputi:
4

a. Perencanaan: pemetaan kapasitas (jumlah jiwa, aktivitas perseorangan,


tingkat kerentanan), perhitungan potensi dan tingkat bahaya, orientasi
medan (jalur evakuasi dan pertolongan, titik koordinasi, pencatatan
kotak darurat, dan koordinasi lingkungan.
b. Persiapan: fisik (kesehatan, kebutuhan dasar, dan peralatan darurat),
diskusi & simulasi (pra-saat-pasca).
3. Response
Adalah upaya yang dilakukan segera pada saat kejadian bencana, untuk
menanggulangi dampak yang ditimbulkan, terutama berupa penyelamatan
korban dan harta benda, evakuasi dan pengungsian. Anak-anak, manula dan
orang sakit/cacat merupakan prioritas penyelamatan.
4. Recovery
Adalah proses pemulihan darurat kondisi masyarakat yang terkena
bencana, dengan memfungsikan kembali prasarana dan sarana pada keadaan
semula.
Upaya yang dilakukan adalah memperbaiki prasarana dan pelayanan
dasar (jalan, listrik, air bersih, pasar puskesmas, dll)
C. Dampak Psikologis Pasca Bencana
Dampak psikologis yang dapat terjadi pasca bencana yaitu gangguan stres
pasca trauma.
1. Pengertian
Gangguan stres pasca trauma (GSPT) adalah gangguan psikologis
yang terjadi pada orang-orang yang pernah mengalami suatu peristiwa
yang tragis atau luar biasa. Menurut Schiraldi (2000) GSPT muncul dari
pemajanan atas suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang sangat
menekan. seperti perkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan
terhadap anak, perang, kecelakaan, bencana alam, dan kerusuhan politik.
Peristiwa traumatis yang menjadi pemicu gangguan stres pasca trauma
berbeda dengan pemicu gangguan stres biasa. Peristiwa pemicu GSPT
biasanya bersifat luar biasa, tiba-tiba dan sangat menekan. Menurut
Scheraldi (2000) peristiwa pemicu GSPT dikategorikan sebagai traumatic
stessor, sedangkan pemicu stress atau kecemasan biasa disebut ordinary

stressor atau adjustment stressor. Pada individu yang mengalami ordinary


stressor kebanyakan mampu mengatasinya, sebaliknya untuk peristiwa
traumatic stressor belum tentu semua individu mampu mengatasinya
karena perbedaan kapasitas menghadapi catastrophic stress.
2. Gejala
Mengacu kepada Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder

(DSM-IV)

yang

dikeluarkan

oleh

American

Psychiatric

Association (1994) ada enam indikator bahwa seseorang yang mengalami


GSPT, meliputi : (a) pemunculan stressor; (b) Peristiwa yang dialami lagi;
(c) Penghindaran; (d) Pemunculan; (e) Durasi gejala dalam kriteria b (gejala
lebih dari satu bulan); (f) gangguan kehidupan. (Scheraldi, 2000). Gejala
untuk masing-masing indikator tersebut sebagai berikut :
a. Gejala pemunculan stressor, terjadi pada :
1) Orang yang mengalami, menyaksikan, atau

mempelajari

peristiwa yang melibatkan kematian yang tragis, kecelakaan serius


atau kekejaman pada diri sendiri dan orang lain.
2) Orang yang mengalami ketakutan, ketidakberdayaan
ketakutan

hebat

(pada

anak-anak,

respon

atau

tersebut

mengakibatkan perilaku kacau atau memprovokasi).


b. Gejala dari peristiwa yang dialami lagi, ditunjukan oleh :
1) Perilaku mengungkit kembali peristiwa mengganggu
2) Mengingat kembali mimpi buruk suatu peristiwa
3) Berperilaku atau seolah-olah trauma tersebut muncul kembali
(ilusi, halusinasi, dan kembali ke masa lalu yang bersifat
disosiatif)
4) Distress psikologis yang hebat atas munculnya tanda-tanda internal
atau eksternal yang mensimbolkan dengan suatu aspek dari
trauma tersebut.
5) Reaksi psikologis yang muncul berulang-ulang seperti pada gejala
diatas.
c. Gejala dari indikator penghindaran, meliputi :
1) Upaya-upaya untuk menghindari pikiran, perasaan atau hal lain
yang dapat mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis.
2) Upaya-upaya untuk menghindarkan diri dari aktivitas, tempat,
atau orang yang terkait dengan peristiwa traumatis.

3) Ketidakmampuan

mengingat

aspek

penting

dari

peristiwa

traumatik.
4) Berkurangnya minat atau partisipasi secara nyata pada aktivitas
yang dahulunya merupakan aktivitas yang menyenangkan.
d. Gejala gangguan kehidupan
Adalah gangguan yang menyebabkan distress dalam fungsi
sosial atau bidang penting lainnya. Sedangkan

menurut

Hasanuddin

(2004), dalam Ilmu Psikiatri gejala-gejala GSPT dapat dikelompokkan


menjadi 4 kriteria, yaitu :
1) Kriteria A : Trauma
Meliputi pengalaman langsung dan menyaksikan kejadian yang
mengancam kematian serta respon terhadap kejadian berupa
rasa takut yang sangat kuat dan rasa tidak berdaya.
2) Kriteria B: re-experiencing/re-koleksi kilas balik ingatan berulang
Meliputi rekoleksi ingatan kejadian berupa bayangan, pikiran dan
persepsi. Seperti mimpi yang menakutkan dan berulang, merasa
kejadian itu terjadi kembali, serta reaksi fisik dan psikis yang
sama berulang pada saat terjadi, jika teringat trauma tsb.
3) Kriteria C : penghindaran dan penumpulan emosi
Meliputi meliputi usaha menghindari pikiran, perasaan dan
percakapan yang berhubungan dengan trauma, menghindari
aktivitas dan lokasi yang mengingatkan dengan trauma, tidak
mampu mengingat trauma, hilang minat dalam aktivitas, perasaan
lepas dan asing pada lingkungan tempat trauma terjadi,
kehilangan

emosi

dan

perasaan

menumpul,

serta

merasa

kehilangan masa depan.


4) Kriteria D : hipersensitif dan iritabilitas meninggi terhadap
rangsang
Meliputi sulit tidur, ledakan kemarahan, sulit konsentrasi,
waspada berlebihan, dan respon terkejut yang berlebihan.
3. Dampak
Wilson (Schiraldi, 2000) menjelaskan bahwa GSPT dapat berdampak
kepada kapasitas-kapasitas psikologi, konsep diri, perkembangan dan
hubungan seseorang. Jika tidak ditangani, GSPT akan bertambah parah dan
memberikan dampak munculnya gangguan aspek fisik, emosi, mental,
7

perilaku, spiritual. Symptom yang muncul pada aspek fisik di antaranya


adalah kelelahan, suhu badan meninggi, menggigil, badan lesu, mual-mual,
pening,,

sesak napas,

dan

panic. Aspek emosi

di antaranya iritasi,

hilangnya gairah hidup, ketakutan, dikendalikan emosi, merasa rendah diri.


Sedangkan aspek mental di

antaranya

kebingungan,

ketidakmampuan

menyelesaikan masalah, tidak dapat berkonsentrasi, tidak mampu mengingat


dengan baik .
Aspek perilaku

di antaranya adalah sulit tidur, kehilangan selera

makan, makan berlebihan, banyak merokok, minum alcohol, menghindar,


sering menangis, tidak mampu berbicara, tidak bergerak, gelisah, terlalu
banyak gerak, mudah marah, ingin bunuh diri, menggerakan anggota tubuh
secara berulang-ulang, rasa malu berlebihan, mengurung diri, menyalahkan
orang lain. Aspek spiritual di antaranya adalah putus asa, hilang harapan,
menyalahkan Tuhan, berhenti ibadah, tidak berdaya, meragukan keyakinan,
tidak tulus, dll.
Pernyataan di atas senada dengan yang diungkapkan oleh Sara (2005)
bahwa GSPT ternyata dapat mengakibatkan sejumlah gangguan fisik,
kognitif, emosi, behavior (perilaku), dan social. Gejala gangguan fisik
memiliki ciri pusing, gangguan pencernaan, sesak napas, tidak bisa tidur,
kehilangan selera makan, impotensi, dan sejenisnya. Gangguan kognitif
ditandai oleh gangguan pikiran seperti disorientasi, mengingkari kenyataan,
linglung, melamun berkepanjangan, lupa, terus menerus dibayangi ingatan
yang

tak diinginkan, tidak focus dan tidak konsentrasi,

tidak mampu

menganalisa dan merencanakan hal-hal yang sederhana, tidak mampu


mengambil keputusan.
Pada kasus yang lebih berat mulai disertai halusinasi.Gangguana
emosi ditandai dengan gejala tertekan, depresi, mimpi buruk, marah,
merasa bersalah, malu, kesedihan yang berlarut-larut, kecemasan dan
ketakutan, menarik diri, tidak menaruh minat pada lingkungan, dan tidak mau
diajak bicara.

Singkatnya, hidup dihayati sebagai kehampaan dan tidak

bermakna. Gangguan perilaku, ditandai menurunnya aktivitas fisik, seperti


gerakan tubuh yang minimal. Misal, duduk berjam-jam dan perilaku

repetif (berulang-ulang). Sementara gangguan sosial, yakni memisahkan


diri dari lingkungan, menyepi, agresif, prasangka, konflik dengan lingkungan,
merasa ditolak atau sebaliknya sangat dominan.
D. Rehabilitasi Post Disaster
Rehabilitasi merupakan bagian dari tahapan recovery dalam manajemen
bencana. Peraturan tentang tahap rehabilitasi post disaster terdapat dalam
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun
2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Bencana. Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian
upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko
timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan
rehabilitasi (BNPB, 2010).
Pasal 1 dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 17 tahun 2010 meyebutkan rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan
semua aspek pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai
pada wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan masyarakat
pada wilayah pascabencana. (BNPB, 2010).
Peraturan tersebut juga menyebutkan instansi yang terkait yang berperan
yang saling berkordinasi dalam penanggulangan bencana pada tahap
rehabilitasi dan rekontruksi bencana yaitu lembaga BNPB di tingkat nasional
dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah. Tujuan dari proses
rehabilitasi dan rekontruksi untuk membangun kesepahaman dan komitmen
semua pihak dan menyelaraskan seluruh kegiatan perencanaan pascabencana
yang disusun oleh pemerintah pusat, dan pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota yang terkena bencana. Rencana rehabilitasi
dan rekontruksi, terdapat dalam substansi Rencana Aksi Rehabilitasi dan
Rekonstruksi (RENAKSI) yang disusun dalam kelompok meliputi aspek
aspek seperti yang terdapat pada pasal 3 ayat (3) dalam peraturan tersebut yang

meliputi pembangunan manusia, perumahan dan permukiman, infrastruktur,


perekonomian, sosial dan lintas sektor. Pendanaan untuk proses rehabilitasi dan
rekontruksi pasca bencana berasal dari APBD Kabupaten/Kota untuk bencana
skala Kabupaten/Kota, APBD Provinsi untuk bencana skala Provinsi dan
APBN untuk bencana skala Nasional (BNPB, 2010).
1. Rehabilitasi Post Disaster di Indonesia
Perencanaan

rehabilitasi

dapat

dilakukan

kepada

perumahan,

pemukiman penduduk. Status kesehatan fisik dan psikis korban juga harus
diperhatikan selama fase recovery pasca bencana (Sunarti, 2009).
Pembangunan yang baik haruslah bertahap serta terintegrasi. Kesuksesan
tidak hanya disebabkan formulasi kebijakan yang tepat, tetapi juga
disebabkan karena perencanaan yang baik dan matang. Perencanaan yang
baik akan menghasilkan pembangunan yang optimal (Soesilowaty, 2010).
Dalam perencanaan pembangunan dan pemulihan dukungan dari
LSM, Pemerintah, dan Palang Merah Indonesia (PMI) sangat dibutuhkan
untuk tahap pemulihan post bencana (PNPM, 2008). Peraturan tentang
Rehabilitasi dan Rekontruksi post disaster di Indonesia telah tertuang dalam
Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun
2010

tentang

Pedoman

Umum

Penyelenggaraan

Rehabilitasi

dan

Rekonstruksi Pasca Bencana. Dalam peraturan tersebut telah disebutkan


sasaran substansi rehabilitasi dan rekontruksi meliputi aspek kemanusiaan
(sosial psikologis, pelayanan kesehatan) aspek perumahan dan pemukiman,
infrastruktur bangunan, ekonomi, sosial dan lintas sektoral (BNPB, 2010).
Menurut Rajib (2003), waktu yang diperlukan untuk rescue selama
tujuh hari, releif selama tiga bulan, dan rehabilitasi selama lima tahun.
Menurut Ishii (2013), waktu yang diperlukan untuk tahap rehabilitasi (sub
akut) selama dua tahun. Di Indonesia pelaksanaan rehabilitasi sudah
dilakukan, tapi masih banyak di fokuskan kepada rehabilitasi infrastruktur, ini
terlihat saat terjadinya bencana Tsunami tahun 2004 didaerah Aceh dan Nias

10

telah diupayakan pemulihan dan rekonstruksi pasca bencana oleh masyarakat,


pemerintah daerah, pemerintah (pusat), pemerintah dari berbagai negara dan
lembaga-lembaga internasional untuk membangun kembali Aceh dan Nias
yang telah hancur yang lebih mengarah kepada memulihkan fungsi bangunan
dan infrastruktur serta prasarana dan sarana perekonomian (Bappenas, 2008).
Tidak hanya di Aceh dan Nias, Pemerintah telah melakukan fase pemulihan
atau rehabilitasi saat terjadi gempa bumi tahun 2009 di Padang, Padang
Pariaman dan Mentawai. BNPB bersama Bappenas telah menyusun Rencana
Aksi

Rehabilitasi

dan

Rekonstruksi

pascabencana

serta

Percepatan

Pembangunan di Wilayah Kepulauan Mentawai Provinsi Sumatera Barat


Tahun 2011-2013, dan itu semua lebih ke infrastruktur (BNPB, 2010).
Rehabiltasi fisik post disaster tidak hanya pada infrastruktur, tapi juga
kesehatan fisik korban. Ishii (2013) menyebutkan pada tahap sub akut
disaster, rehabilitasi kesehatan fisik pada korban bencana lebih di fokuskan
kepada peningkatan penyembuhan pada korban bencana seperti perawatan
luka setelah terjadi bencana, oksigenasi korban bencana, dan pencegahan
untuk tidak terjadi komplikasi seperti komplikasi pada penyakit paru, oral
care, postural drainage bedsore, pencegahan tidak terjadi kontraktur pada
korban bencana seperti ROM training dan rehabilitasi dini. Selain itu Kumiko
II (2013) juga menyebutkan, seorang perawat rehabilitasi adalah perawat
yang mempunyai keahlian atau kemampuan standar disaster melalui
pelatihan-pelatihan dalam manangani korban baik secara fisik dan mental. Di
Indonesia, standar keahlian dalam manangani disaster belum dimiliki oleh
perawat di Indonesia. Dalam penangananan pemulihan kesehatan fisik
perawat bisa melakukan home care untuk pemulihan kesehatan post disaster
seperti perawatan luka, mendirikan pos kesehatan untuk korban bencana
seperti yang dilakukan oleh perawat di puskesmas bersama PMI ketika terjadi
bencana di Jawa Tengah. Mereka, mendirikan pos pertolongan pertama untuk
korban bencana serta merujuk korban dengan trauma fisik kerumah sakit
untuk mendapatkan pertolongan (LITBANG Jawa Tengah, (2008).

11

Selain dari segi fisik, bencana juga meninggalkan trauma psikologis


terhadap korban bencana. Rehabilitasi psikologis lebih di fokuskan kepada
penanganan rasa trauma psikologis yang dialami oleh korban bencana.
Gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan mental pada seseorang
yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam
kehidupan jika tidak diobati bisa memperburuk gangguan stres pasca trauma
atau post traumatic stress disorder (PTSD) (Budiarto, 2010). Menurut Cut
Husna (2010), perawat harus menyiapkan keahlian dalam penanganan
kejadian disaster salah satunya dalam penanganan mental health atau PTSD.
Nozumo (2013) menjelasakan Evidence Based Treatment untuk PTSD yaitu
Trauma-Focused Cognitive Behavioral Therapy (TF-CBT), Exposure-based
therapy, Cognitive therapy, dan Pengobatan.
Budiarto menyebutkan dalam penelitiannya (2010), didapatkan
sebanyak 83% respondenya mengalami trauma pasca bencana tsunami di
Aceh. Dalam penelitian juga disebutkan perawat melakukan intervensi
psikososial untuk mengatasi trauma pasca bencana pada anak-anak dan
remaja. Intervensi psikososial dapat berupa pemberian terapi seni atau drama,
sehingga gejala PTSD dapat segera teratasi untuk pemulihan rehabilitasi di
Aceh. Perawat juga bisa melakukan pemulihan kesehatan mental melalui
sharing dan mendengarkan segala keluhan keluhan yang dihadapinya,
selanjutnya diberikan sebuah solusi dan diberi penyemangat untuk tetap
bangkit. Sedangkan pada anak anak, cara yang efektif adalah dengan
mengembalikan keceriaan mereka kembali, hal ini mengingat sifat lahiriah
anak anak yang berada pada masa bermain. Perawat dapat mendirikan sebuah
taman bermain, dimana anak anak tersebut akan mendapatkan permainan,
cerita lucu, dan lain sebagainnya. Sehingga kepercayaan diri mereka akan
kembali seperti sedia kala. Budiarto (2010) juga menyebutkan pemulihan
PTSD pada korban bencana memerlukan waktu delapan tahun lebih bagi
mereka yang mengalami stress pasca bencana tsunami. Berdasarkan studi
yang dilakukan oleh Bryant (2006), manajemen kesehatan mental yang

12

efektif meliputi identifikasi awal dari orang yang beresiko tinggi


mengembangkan gangguan kejiwaan ketika mereka mengalami reaksi stres
sementara pasca bencana dan intervensi pengobatan yang tepat mungkin
menjadi kunci positif keberhasilan jangka panjang
Selain itu, rehabilitasi dari segi komunitas perawat bisa melakukan
kerja sama dengan lintas sektoral dalam berbagai bidang ilmu untuk
memulihkan kembali keadaan korban bencana. Kondisi masyarakat di sekitar
daerah yang terkena musibah pasca bencana biasanya akan menjadi
terkatung-katung tidak jelas akibat memburuknya keaadaan pasca bencana
akibat kehilangan harta benda yang mereka miliki, sehinnga banyak diantara
mereka yang patah arah dalam menentukan hidup selanjutnya. Hal yang bisa
menolong membangkitkan keadaan tersebut adalah melakukan pemberdayaan
masyarakat (PNPM, 2008). Masyarakat perlu mendapatkan fasilitas dan skill
yang dapat menjadi bekal bagi mereka kelak. Perawat dapat melakukan
pelatihan pelatihan keterampilan yang difasilitasi dan berkolaborasi dengan
instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu. Sehinnga diharapkan
masyarakat

di

sekitar

daerah

bencana

akan

mampu

membangun

kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang miliki seperti yang telah


dilakukan di Aceh dan Nias pasca bencana Tsunami (Sosesilowati, 2010).
Partisipasi warga masyarakat dalam rehabilitasi dan rekontruksi akan
mempengaruhi keberhasilan dalam program rehabilitasi dan rekontruksi
seperti rehabilitasi daerah Nias yang melibatkan masyarakat dan stakeholder
terkait dalam rehabilitasi dan rekontruksi daerah (Muktiali, 2008).
Penanggulangan bencana berbasis komunitas merupakan suatu upaya untuk
mengkolaborasikan penanggulangan bencana sebagai upaya bersama antara
masyarakat, LSM, swasta dan Pemerintahpada saat pra bencana, bencana dan
pasca bencana (PNPM, 2008).
2. Instansi yang Bertanggung Jawab dan Terlibat

13

Dalam tahap rehabilitasi dan rekontruksi banyak instansi yang terlibat


dan bertanggung jawab dalam tahap pemulihan ini seperti yang tertuang
dalam Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17
tahun 2010 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pasca Bencana. Lembaga penanggungjawab pelaksanaan
rehabilitasi dan rekontruksi adalah BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD
di Provinsi/Kab/Kota di tingkat daerah. BNPB dan BPBD adalah lembaga
fungsional/struktural yang ada di dalam struktur BNPB dan atau BPBD
Provinsi/Kab/Kota

yang

sesuai

dengan

tugas

pokok

fungsi

dan

kewenangannya. Apabila dipandang perlu dapat dibentuk lembaga koordinatif


yang bersifat adhoc atau bersifat sementara yang fungsinya membantu
BNPB/BPBD dan ditetapkan dengan keputusan Kepala BNPB dan atau
Kepala BPBD atas nama Presiden dan atau Gubernur/ Bupati/Walikota untuk
jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun (BNPB, 2010).
3. Solusi Rehabilitasi Post Disaster di Indonesia
a. Merencanakan penanggulangan berbasis komunitas yang melaibatkan
masyarakat dalam tahap pra bencan, bencana dan pasca bencana.
b. Lebih tanggap lagi pada tahap rehabilitasi dan perawat lebih
meningkatkan lagi ilmu dan skil yang dimilkinya dalam manangani
korban pada tahap rehabilitasi baik dari segi kesehatan fisik dan
psikologis dan mengikuti pelatihan untuk menangani masalah disaster.
c. Pemerintah lebih memperhatikan lagi rehabilitasi fisik yang dialami
korban bencana tidak hanya pada infrastruktur tapi juga pada kesehatan
fisik korban bencana.
d. Memasukan mata kuliah disaster kedalam kurikulum pembelajaran
mengingat daerah di Indonesia rawan terhadap terjadi bencana dan
khususnya pada daerah yang beresiko terjadinya bencana.
E. Peran Perawat
Peran perawat daalam bencana menurut Ishii (2013) yang disampaikan
dalam materi distance learning adalah :
1. Menetapkan kebutuhan pelayanan kesehatan

14

2. Menentukan besarnya bencana


3. Menentukan tujuan dan prioritas tindakan
4. Mengidentifikasi masalah aktual dan potensial dalam masalah kesehatan
masyarakat
5. Menentukan sumber daya yang dibutuhkan sebagai respon identifikasi
kebutuhan
6. Kolaborasi dengan disiplin ilmu lain, pemerintah dan non instansi lain
yang terkait
7. Mempertahankan alur komando penanganan
8. Komunikasi
Bencana banyak meninggalkan dampak bagi korban bencana, baik dari
segi fisik, psikologis, ekonomi dan material. Bencana alam yang terjadi akan
memakan korban dan kerusakan, baik itu korban meninggal, korban lukaluka, kerusakan fasilitas pribadi dan umum, serta pengungsi yang umumnya
rentan akan penyakit. Korban membutuhkan pertolongan dari segi kesehatan.
Banyak penyakit yang seringkali diserita pengungsi antara lain diare, ISPA,
campak, dan malaria.WHO mengindentifikasi empat penyakit itu sebagai The
Big Four. Kejadian penyakit ini sering kali muncul sesuai dengan
karakteristik bencana (Feri dan Makhfudli, 2009).
Peran perawat pada pasca bencana menurut Feri dan Makhfudli (2009)
adalah perawat berkerja sama dengan tenaga kesehatan lain dalam
memberikan bantuan kesehatan kepada korban seperti pemeriksaan fisik,
wound care secara menyeluruh dan merata pada daerah terjadi bencana. Saat
terjadi stres psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi
post-traumatic stress disorder (PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga
kriteria utama yaitu trauma pasti dapat dikenali, individu mengalami gejala
ulang traumanya melalui flashback, mimpi, ataupun peristiwa-peristiwa yang
memacunya dan individu akan menunjukkan gangguan fisik, perawat dapat
berperan sebagai konseling. Tidak hanya itu perawat bersama masyarakat dan
profesi lain yang terkait bekerja sama dengan unsur lintas sektor menangani
masalah kesehatan masyarakat pasca-gawat darurat serta mempercepat fase
pemulihan menuju keadaan sehat dan aman. Selain itu Perawat dapat

15

melakukan

pelatihan-pelatihan

keterampilan

yang

difasilitasi

dan

berkolaborasi dengan instansi ataupun LSM yang bergerak dalam bidang itu.
Sehinnga diharapkan masyarakat di sekitar daerah bencana akan mampu
membangun kehidupannya kedepan lewat kemampuan yang dimilikinya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
1. Kebijakan tentang peraturan pemerintah tentang penanggulangan bencana
tahap rehabilitasi terdapat dalam Peraturan tentang Rehabilitasi dan
Rekontruksi post disaster di Indonesia telah tertuang dalam Peraturan
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010
tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi
Pasca Bencana
2. Dampak psikologis yang dapat terjadi pasca bencana yaitu gangguan stres
pasca trauma.
3. Rehabilitasi post disaster di Indonesia sudah berjalan tapi belum
maksimal, masih butuh untuk ditingkatkan terutama dalam peran perawat
dalam hal skill dan pengetahuan dalam penanganan bencana tahap
rehabilitasi.
4. Intansi yang bertanggaung jawab dalam rehabilitasi post disaster adalah
BNPB di tingkat nasional dan atau BPBD di Provinsi/Kab/Kota di tingkat
daerah
5. Solusi dalam proses rehabilitasi post disaster di Indonesia salah satunya
merencanakan penanggulangan rehabilitasi berbasis komunitas.
B. Saran

16

1. Bagi Pemerintah
Diharapkan pemerintah lebih meningkatkan tahap rehabilitasi terhadap
korban bencana tidak hanya dari segi infra struktur tapi juga dari kesehatan
fisik dan psikologis korban bencana

2. Bagi Perawat
Diharapkan perawat lebih dapat meningkatkan perannya dan skill serta
pengetahuan dalam tahap rehabilitasi bencana bagi korban bencana dari segi
kesehatan fisik dan psikologis
3. Bagi Masyarakat
Diharapkan masyarakat lebih berperan akitif dan tanggap terhadap
bencana baik saat pra bencana, bencana dan pasca bencana

17

DAFTAR PUSTAKA

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Peraturan Kepala


Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 17 tahun 2010 tentang
Pedoman Umum Penyelenggaraan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca
Bencana.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). (2010). Rehabilitasi dan
Rekonstruksi Pascabencana Gempa BUMI dan Tsunami di Kepulauan
Mentawai Bidang pemulihan perumahan dan permukiman
Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (BNPB). (2008). Tsunami.
BAPPENAS. (2008). Rehabilitasi dan Rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam
dan Nias, Sumatra Utara, serta daerah pasca bencana lainnya. Diakses
dari http://www.bappenas.go.id/get-file-server/node/6223/ tanggal 27
Maret 2013
Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Jawa Tengah (2008). Penelitian
post traumatic stress disorder (gangguan stress pasca trauma bencana) di
Jawa Tengah
Bryant, Richard. A. (2006). Recovery after the tsunami: timeline for
rehabilitation. J Clin Psychiatry 2006:67(suppl 2):50-55.
Budiarto, Eko Kusumo. (2010). Kesehatan Mental di Aceh Pasca Tsunami. Jurnal
Sosiologi Dilema. ISSN; 0215-9635, Vol 21 No. 2 Tahun 2009
Cut Husna. (2010). Clinical Skills for Tsunami Care and Its Relating Factors
Perceived by Nurses in Indonesia. The 2nd International Conference on
Humanities and Social Sciences April 10th, 2010 Faculty of Liberal Arts,
Prince of Songkla University Health Development_008
Efendi, Ferry dan Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehtan Komunitas: Teori
dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika

18

Hasanuddin (2004). Gangguan Jiwa Setelah Bencana Tsunami.Harian Media


Indonesia.Senin.10 Januari 2005.
Hendro. Wartatmo.(2011). Seminar Strategi Untuk Menyusun Hospital Disaster
Plan (HDP). Di akses dari http://www.bencana-kesehatan.net tanggal 1
April 2013
Ilyas Tommy. (2008). Mitigasi Gempa dan Tsunami di Daerah Perkotaan. Seminar
Bidang Kerekayasaan Fakultas Teknik-Unsrat.
Joshi, Madhavi., Ravindranath, Shailaja., Jain, Gopal Kumar & Nazareth, Keren.
(2007). Understanding disasters. Internship Series, Volume-III. ISBN:
978-81-89587-24-6.
Kumiko. Activities of Japanese Nursing Association in The Great east Japan
Earthquake. Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret
2013.
Ishii. Mieko. (2013). Disaster Nursing 2. Institute for Graduate Nurses, Japanese
Nursing Association Senior Lecturer in Emergency Nursing at the
Department of Courses for Certified Nurses. Disampaikan saat Distance
Learning pada tanggal 18 Maret 2013.
Magnaye, Bella., Ma. Muoz., Steffi Lindsay M., Muoz, Mary Ann F., Muoz,
Rhogen Gilbert V & Muro, Jan Heather M. (2011). The role,
preparedness and management of nurses during disasters. E-International
Scientific Research Journal, Volume III, Issue- 4, ISSN 2094-1749.
Muktiali, Muhammad. (2008). Partisipasi Masyarakat Dalam Perencanaan
Rehabilitasi dan Rekontruksi Pasca Bencana: Studi Kasus Nias Selatan
Sumatera Utara. Disampaikan pada seminar nasional tentang
kebelanjutan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Yogyakarta
National Academy of Science. (2007). Successful response starts with a map:
improving geospatial support for disaster management. Washington:
NAP.
Nozomu Asukai, M.D., Ph.D . (2013). Disaster Mental Health and Psychological
Support for Survivors. Tokyo Metropolitan Institute of Medical Science.
Disampaikan saat Distance Learning pada tanggal 18 Maret 2013.
Otomo. Yosuhiro. (2013). Department of Acute Critical Care an Disaster
Medicine. Unpublish; Materi distance learning tanggal 18 Maret 2013.
PNPM Mandiri (2008). Modul Khusus Fasilitator : Penanganan Pengelolaan
Bencana. Direktorat Jenderal Cipta Karya. Departemen Pekerjaan Umum

19

Rajib. Shaw. (2003). Rehabilitation/Reconstruction. Post-Disaster Reconstruction


and Recovery: Issues and Best Practices. Diakses dari
http://www.adrc.asia tanggal 27 Maret 2013
Sara.(2005).Mengenal dari Dekat Trauma Center.
http://www.Kompascybermedia.com, Rabu, 21 Pebruari 2005. Tersedia.
Schiraldi, Glenn R
Sourcebook,

(2000),

The

Post

Traumatic

Stress

Disorder,

Guide to Healing, Recovery and Growth. Boston : Lowell House.


Tan, Suelyn,

(2005), Rencana Jangka Panjang Untuk Komunitas

Sunarti Euis (Ed). (2009). Evaluasi Penanggulangan Bencana di Indonesia


(Lesson Learned 2006-2007). Pusat Studi Bencana Lembaga Penelitian
dan Pengabdian kepada Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.
Soesilowati, Ety. ( 2010). Implementasi Integrasi Sektoral Program Kebijakan
Rehabilitasi Aceh
Singkil
Pasca
Bencana.
Diakses
dari
http://ep.unnes.ac.id tanggal 31 Maret 2013
WHO. 2011. Disaster. Diakses dari http://www.who.int/topics/disasters/en/.
Diakses tanggal 30 Maret 2013.
Widyansyah. 2011. Tentang Lingkungan Dan Bermacam Bencana Di Sekitar Kita.
Diakses
dari
http://bencanakita.wordpress.com/2011/06/01/siklustanggap-bencana/

20

Anda mungkin juga menyukai