Esai seleksi lomba debat Aspirasi untuk Negeri Debat TV One oleh Wahyu Saripudin, (ketua Umum Senat
mahasiswa fakultas Tarbiyah dan Keguruan periode 2012-2013)
Membangun karakter bangsa sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa
tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah
bangsa yang berkarakter. Pembangunan karakter yang paling efektif dan berkesinambungan
yakni melalui pendidikan, yang kita kenal hari ini dengan istilah pendidikan karakter.
Pendidikan merupakan media paling sistematis dan efektif untuk memperkuat character building
(Ngainun: 2012). Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan formal saja (di sekolah)
namun pendidikan dalam artian secara komprehensif. Sebagai mana disampaikan Mahmud
(2010) pendidikan terbagi kedalam tiga bagian yakni mikro, meso dan makro. Mikro pendidikan
pada level yang sangat menentukan pendidikan selanjutnya yaitu pendidikan keluarga. Meso
yakni pendidikan yang diselenggarakan secara formal di sekolah. Sedangkan makro yakni
pendidikan secara luas, pendidikan di masyarakat dan kebijakan pemerintah dalam pendidikan
secara nasional. Menurut Nursalam Semuanya harus komprehensif-integral dalam membangun
karakter tidak hanya pendidikan firmal, namun informal dan nonformal harus terlibat.
Definisi pendidikan menurut (UU SPN No. 20/2003 [bab i pasal 1 : 1]) adalah usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Pendidikan karakter sudah mencakup di dalam tujuan
pendidikan nasional. Sedangkan pendidikan karakter Menurut David Elkind & Freddy Sweet
(2004), dimaknai sebagai berikut: Character education is the deliberate effort to help people
understand, care about, and act upon core ethical values. When we think about the kind of
character we want for our children, it is clear that we want them to be able to judge what is
right, care deeply about what is right, and then do what they believe to be right, even in the face
of pressure from without and temptation from within.
Di indonesia, pembangunan karakter bangsa talah diupayakan melalui pendidikan
karakter baik di sekolah/madarasah maupun diperguruan tinggi. Namun, penulis memandang
belum optimal implementasi pendidikan karakter, implementasinya hanya berkutat pada ranah
knowing saja belum pada ranah aplikasi secara menyeluruh (suri tauladan dari pendidik).
Sependapat dengan Siti Hasanah ( jurnal Media Pendidikan Islam, Vol XVII: 2012) menyatakan
pendidikan karakter di Indonesia belum berjalan sebagaimana mestinya, bahkan cenderung tidak
menyentuh aspek-aspek karakter dan keperibadian yang substansial sehingga terancam terjebak
pada bentuk pengajaran perilaku yang siafatnya formal kognitif dan simbolis yang hanya
mengulang persoalan yang sama sejak zaman kolonial. Sehingga muncul pertanyaan apa yang
membuat belum optimalnya pendidikan karakter di Indonesia? Jawaban dari pertanyaan ini lah
yang akan memberikan gambaran proses optimalisasi pendidikan karakter di indonesia.
Pendidikan yang baik itu haruslah Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa,
tut wuri handayani akan tetapi pendidikan sekarang jauh dari apa yang dikandung dari pesan
bapak pendidikan kita ini. yang terjadi sekarang justru guru-guru yang seharusnya menjadi
contoh dalam pendidikan, mereka malah memberikan contoh sebaliknya. Pejabat-pejabat publik
2
yang seharusnya menjadi panutan, mereka malah berbuat seolah tak mengenal Tuhan. Inilah
yang membuat implementasi pendidikan karakter dewasa ini belum memberikan dampak yang
signifikan.
Membangkitkan Pendidikan Karakter di Semua Level Kehidupan
Pada dasarnya manusia dilahirkan dalam keadaan fitrah (condong kepada kebenaran) hanya
orang tuanya yang akan membuat membuat manusia itu berubah. Seorang bayi tak dilahirkan (ke
dunia ini) melainkan ia berada dalam kesucian (fitrah). Kemudian kedua orang tuanyalah yg akan
membuatnya menjadi Yahudi, Nasrani, ataupun Majusi ... (H.R. Muslim). Jika mengacu kepada
haditst ini orang tua dalam arti luas keluarga adalah faktor penentu gagal dan berhasilanya
pendidikan terutama pendidikan karakter.
Implementasi pendidikan karakter pada keluarga melalui penanaman nilai oleh orang tua.
Nilai yang harus ditanamkan dapat dijadikan pegangan yakni nilai-nilai agama. Orang tua
bertanggung jawab dalam menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal : (1). Cinta Tuhan dan
alam semesta beserta isinya; (2) Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian; (3) Kejujuran;
(4) Hormat dan Santun: (5) Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama; (6) Percaya Diri, Kreatif,
Kerja Keras, dan Pantang Menyerah; (7) Keadilan dan Kepemimpinan; (8) Baik dan Rendah
Hati; dan (9) Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan. Nilai- nilai ini merupakan nilai agama yang
kebenarannya secara universal, semua agama memandang sama.
Semua nilai-nilai ini, tidak akan dapat terinternalisasi tanpa adanya suri tauladan. Jadi,
Orang tua harus menjadi suri tauladan, karena apa yang dilakukan orang tua akan dijadikan
contoh dan acuan oleh anaknya. Tidak cukup dengan menyuruh dengan lisan tetapi sikap dan
prilaku kita harus sesuai dengan nilai-nilai agama.
Optimalisasi Pendidikan Karakter di Sekolah
Kemampuan orang tua yang terbatas sehingga mendorong menitipkan anaknya untuk didik oleh
orang lain di lembaga pedidikan. Sekolah menjadi solusi alternatif bagi orang tua untuk
mendidik anaknya. Sekolah merupakan lingkungan kedua setelah keluarga guru, staf dan semua
stake holder di sekolah bertanggung jawab akan tercapainya tujuan pendidikan. Guru dan stake
holeder nya yang akan menentukan berhasil atau tidaknya pendidikan.
Yang menjadi permasalahan dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah terletak
pada tahap internalisasi yang tidak integral/terpadu. Pendidikan karakter hanya dijadikan sebagai
mata pelajaran yang hanya menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar
tahu). Banyak kita temui murid nilai pelajaran agama tinggi, mungkin 8 atau 9, akan tetapi
murid yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan seharihari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta
melibatkan aspek knowledge, feeling, loving, dan acting. Pembentukan karakter dapat
Daftar Pustaka
Jamal Mamur Asmani. 2011. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakter di sekolah.
Jogjakarta: Divapers:
Mahmud. 2010. Sosiologi Pendidikan. Bandung: Sahifa.
Siti Fatimah. 2012. Formalisme Pendidikan Karakter di indonesia. Jurnal Media Pendidikan
Vol. XXVII Nomor 1.
Ngainun Naim. 2012. Character building. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Muchlas Samani. 2012. Konsep dan Model Pendidikan Karakter. Bandung: Remaja Rosada
Karya.
UU Standar Nasional pendidikan No. 20 tahun 2003
Kemendiknas. 2010. Pembinaan Pendidikan Karakter Di Sekolah Menengah Pertama. Jakarta.
Hadits Riwayat Muslim nomor 4803. Shahih Muslim.