Anda di halaman 1dari 25

BAB III

PEMBAHASAN

2.1 Sindrom dyspepsia organik


Pasien didiagnosis sindrom dyspepsia organik karena didapatkan kondisi-kondisi yang mengarah
dari hasil anamnesis. Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami BAB berwarna hitam. BAB yang
berwarna hitam disebabkan karena adanya darah yang telah teroksidasi dengan asam lambung. Dan
perdarahan tersebut pastinya berasal dari saluran cerna bagian atas yaitu berasal dari esophagus dan lambung.
Melena adalah pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam seperti ter dan berisi darah yang telah
dicerna. Fesesnya dapat terlihat seperti mengkilat, berbau busuk, dan lengket. Warna melena tergantung dari
lamanya hubungan antara darah dengan asam lambung, besar kecilnya perdarahan, kecepatan perdarahan,
lokasi perdarahan dan pergerakan usus. Pada melena, dalam perjalannya melalui usus, darah menjadi
berwarna merah gelap bahkan hitam. Perubahan warna ini disebabkan oleh HCL lambung, pepsin, dan warna
hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin. Kadang-kadang pada perdarahan saluran cerna bagian
bawah dari usus halus atau kolon asenden, feses dapat berwarna merah terang/gelap. Diperkirakan darah yang
muncul dari duodenum dan jejunum akan tertahan pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna
feses menjadi hitam. Paling sedikit perdarahan sebanyak 50-100 cc baru dijumpai keadaan melena. Feses
tetap berwarna hitam seperti ter selama 48-72 jam setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya
feses yang berwarna hitam tersebut menandakan perdarahan masih berlangsung. Darah yang tersembunyi
terdapat pada feses selama 7-10 hari setelah episode perdarahan tunggal. Selain itu, dari anamnesis diketahui
bahwa pasien mengalami nyeri pada ulu hati. 30-40% dari pasien yang menggunakan NSAID secara jangka
panjang, memiliki keluhan dispepsia yang tidak dalam korelasi dengan hasil studi endoskopi. Hampir 40%
dari pasien dengan tidak ada keluhan GI telah luka parah mengungkapkan pada studi endoskopi, dan 50%
dari pasien dengan keluhan GI memiliki integritas mukosa normal. Sindrom dispepsia berupa nyeri
epigastrium, mual, kembung dan muntah merupakan salah satu keluhan yang sering muncul. Ditemukan juga
perdarahan saluran cerna berupa hematemesis dan melena, kemudian disusul dengan tanda-tanda anemia
pasca perdarahan. Biasanya pasien dengan ulkus mengeluh nyeri tumpul, seperti tertusuk atau sensasi terbakar
diepigastrium tengah atau di punggung. Hal ini diyakini bahwa nyeri terjadi bila kandungan asam ambung
dan duodenum meningkat menimbulkan erosi dan merangsang ujung saraf yang terpajan.Teori lain
menunjukkan bahwa kontak lesi dengan asam merangsang mekanisme reflex local yang mamulai kontraksi
otot halus sekitarnya. Nyeri biasanya hilang dengan makan, karena makan menetralisasi
asam atau dengan menggunakan alkali, namun bila lambung telah kosong atau alkali tidak digunakan nyeri
20 | L a p o r a n K a s u s

kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada
epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan
tekanan local pada epigastrium. Beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan lambung,
yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung
pasien kosong. Meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus
peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran
mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului
oleh mual,biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung. Dari
anamnesis juga didapatkan pasien suka mengkonsumsi asam mefenamat setelah selesai bekerja. Asam
mefenamat merupakan derivat asam antranilat dan salah satu obat golongan Anti Inflamasi Nonsteroid
(AINS) yang memiliki aktivitas sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Sebagaimana obat lain asam
mefenamat dapat menyebabkan efek samping dan yang paling menonjol adalah kemampuan merangsang
dan merusak lambung.

Hal ini merupakan pemicu timbulnya ulkus pada mukosa lambung yang

kemungkinan besar dapat menyebabkan gastritis erosif hemoragika.


Penatalaksanaan
Tujuan terapi pada tukak peptik ialah meredakan keluhan, menyembuhkan tukak aktif,
mencegah kekambuhan dan komplikasi serta meminimalkan dampak sosioekonomi akibat
sakit.(3)
1. Mengubah cara hidup
Menghentikan kebiasaan merokok, minum alcohol, serta obat-obat yang dapat
mengganggu saluran makan terutama aspirin dan golongan nonsteroid anti-inflamasi
lainnya.
2. Terapi dengan obat
- Pengobatan awal
Tahap awal pengobatan pH lambung sekitar 5, tingkat keasaman optimal untuk
penyembuhan tukak. Obat yang digunakan meliputi antasida, antagonis reseptor
H2, inhibitor K-H-ATPase, antikolnergik. Obat lain yang dapat diberikan ialah
obat yang memperbaiki ketahanan mukosa, sedative atau antidepresi. Pada tukak
lambung lama pengobatan awal 12 minggu, dan tukak duodenum 8 minggu.
-

Setelah itu dilanjutkan dengan pengobatan pemeliharaan.


Pengobatan pemeliharaan
Diberikan obat dengan dosis separuh dari dosis awal selama 6-12 bulan.
Contoh pengobatan:

21 | L a p o r a n K a s u s

1. Tablet antasida DEON


(Alumunium Hidroksida 200mg atau magnesium hidroksida 200mg), diberikan
sehari 6-7 kali 2 tablet yakni 1 jam setelah makan dan sebelum tidur malam hari.
2. Antagonis reseptor H2
Tablet cimetidine 3-4 x 200 mg atau 2 x 400 mg per hari
Tablet ranitidine 2 x 150 mg atau 300 mg malam hari
Tablet famotidine 2 x 20 mg atau 40 mg malam hari
3. Inhibitor K-H-ATPase
Diberikan omeprazole 1 kapsul 20 mg tiap pagi, terutama digunakan untuk
tukak duodenum, menekan sekresi asam lambung sangat kuat, dapat
memberikan kesembuhan lebih dini, pengobatan tahap awal hanya diberikan
selama 4 minggu, tidak digunakan untuk terapi pemeliharaan.
4. Antikolinergik
Tablet pirenzepin dengan dosis 2 x 50 mg, efek menekan sekresi asam lambung.
5. Memperbaiki ketahanan mukkosa
Obat yang digunakan sucralfat, bismut subcitrat, dan karbenoksonsolon
3. Pembedahan
Bila terjadi komplikasi atau pada tukak yang intractable
Komplikasi (3)
Perdarahan, perforasi, obstruksi/stenosis pilorik.
2.2 Anemia
Pasien tersebut didiagnosis anemia mikrositik hipokrom. Anemia adalah keadaan
berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal
sesuai usia dan jenis kelamin. Poplack dan Varat menyatakan, bahwa anemia ditegakkan bila
konsentrasi Hb di bawah persentil tiga sesuai usia dan jenis kelamin berdasarkan populasi
normal. Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium yang dapat mendukung sehubungan dengan gejala klinis yang sering tidak
khas.Klasifikasi anemia pada anak menurut World Health Organisation (WHO) tahun 2006
adalah berdasarkan usia (Tabel 2.1).1 Berdasarkan derajat dari anemia maka WHO dan
National Cancer Institute (NCI) mengklasifikasikan anemia menjadi 4 kelompok, yang secara
lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.1
Tabel 2.1 Derajat anemia berdasarka WHO dan NCI
Derajat
Derajat 0 (nilai normal)

WHO
11,0 g/dL

NCI
Perempuan 12,0 16,0 g/dL
Laki-laki 14,0 18,0 g/dL

Derajat 1 (ringan)

9,5 10,9 g/dL

10 g/dL nilai normal

Derajat 2 (sedang)

8,0 - 9,4 g/dL

8,0 10,0 g/dL


22 | L a p o r a n K a s u s

Derajat 3 (berat)

6,5 7,9 g/dL

6,5 - 7,9 g/dL

Derajat 4 (mengancam jiwa)

< 6,5 g/dL

< 6,5 g/dL

Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar sehingga harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut
Berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi,
anemia dibagi menjadi 3 golongan : anemia hipokromik mikrositer (MCV <80 fl dan MCH
<27 pg), anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg), anemia
makrositer (MCV >95 fl).
Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi

Anemia

Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi


Hipokromik Anemia
Normositik Anemia makrositer

Mikrositer
Anemia defisiensi besi

Normokrom
Anemia pasce

perdarahan Bentuk megaloblastik

akut
Thalassemia major
Anemia aplastic
Anemia akibat penyakit Anemia hemolitik didapat

1. Anemia

defisiensi

asam folat
2. Anemia defisiensi vit

kronik

B12, termasuk anemia

Anemia sideroblastik

Anemia

akibat

pernisiosa
penyakit Bentuk nonmegaloblastik

kronik
Anemia pada gagal ginjal
konik
Anemia

pada

mielodisplastik
Anemia pada

sindrom

1. Anemia pada penyakit


hati kronik.
2. Anemia

pada

hipotiroidism
3. Anemia pada sindrom

keganasan

mielodisplastik

hematologic
Dasar diagnostic anemia mikrositik hipokrom pada pasien ini adalah:
1. Pada anamnesis

: sering merasa cepat lelah dan pandangan kabur ketika

beraktifitas
2.
3.
4.
5.

Pada pemfis
Kadar Hb pasien
Kadar MCV
Kadar MCH

berat.
: ditemukan konjungtiva anemis, lidah tampak pucat.
: 3,0 g/dL (anemia)
: 56,4 fl (mikrositer)
: 16,0 pg (hipokromik)
23 | L a p o r a n K a s u s

Suatu anemia berat yang kronis dikatakan bila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih. Anemia berat dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat
disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia,
spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia berat kronis juga dapat dijumpai pada
infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria,
cacing dan lainnya.
Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan/pengobatan anemia sbb (3)
1. Mencari dan memberikan pengobatan sesuai penyebab
2. Bila anemia timbul akibat penyakit lain, pengobatan penyakit dasar yang utama
3. Transfuse darah hanya diberkan pada kondisi:
- Perdarahan akut yang disertai perubahan tanda-tanda vital (syok hipovolemik)
- Anemia kronik dengan gangguan oksigenasi jaringan
4. Bila terdapat gagal jantung akibat anemia, diberkan juga pengobatan gagal jantung
seperti deuretik.
Pengobatan
1. Pengobatan penyakit dasar sebagai penyebabnya adalah yang utama, misalnya:
peengobatan cacing tambang, hemoroid, tukak lambung.
2. Diet kaya kalori, protein dan zat besi.
3. Pemberian preparat besi per oral (ferosulfat, ferofumarat, ferogluconat)
- Dosis perhari ferosulfat 3 x 100-200mg
- Dilanjutkan sampai 4-6 bulan setelah Hb normal
- Pemberian secara parenteral hanya diberikan pada penderita yang diduga
mengalami gangguan penyerapan (colitis, enteritis regional, pasta kolostomi
dan ileostomi). Sebelum memberikan preparat besi perenteral sebaiknya

terlebih dahulu harus diketaui rumus kebutuhan besi, yaitu:


Kebutuhan besi (mg) = (15-Hb sekarang) x BB x 2,4 + 500 atau 1000 mg
Respon terhadap pengobatan, keberhasilan pemerian preparat besi dapat
dilihat dari kenaikan hitung retikulosit pada minggu pertama setelah

pemberian, sedangkan kenaikan Hb terjadi setelah minggu ke-3.


Transfusi PRC
Packed red cell diperoleh dari pemisahan atau pengeluaran plasma secara tertutup
atau septik sedemikian rupa sehingga hematokrit menjadi 70-80%. Volume
tergantung kantong darah yang dipakai yaitu 150-300 ml. Suhu simpan 42C.
Lama simpan darah 24 jam dengan sistem terbuka. Packed cells merupakan
24 | L a p o r a n K a s u s

komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan memisahkan
komponen-komponen yang lain. Packed cells banyak dipakai dalam pengobatan
anemia terutama talasemia, anemia aplastik, leukemia dan anemia karena keganasan
lainnya. Pemberian transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan
alat-alat tubuh. Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g%. Untuk
menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat
menaikkan kadar hematokrit 3-5 %. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan
kecepatan 1-2 mL/menit, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.
Kebutuhan darah (ml) :
3 x Hb (Hb normal -Hb pasien) x
BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien

: Hb pasien saat ini

Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan volume
darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan darah
jenuh adalah:
1. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit
2. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
3. Volume

darah

yang

diberikan

lebih

sedikit

sehingga

kemungkinan overload berkurang


4. Komponen darah lainnya dapat diberikan pada pasien lain.
-

Indikasi:
1. Kehilangan darah >20% dan volume darah lebih dari 1000 ml.
2. Hemoglobin <8 gr/dl.
3. Hemoglobin <10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama : (misalnya empisema,
atau penyakit jantung iskemik)
4. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
Dapat disebutkan bahwa :
Hb sekitar 5 adalah critical
Hb sekitar 8 adalah tolerable
25 | L a p o r a n K a s u s

Hb sekitar 10 adalah optimal


Transfusi mulai diberikan pada saat hb critical dan dihentikan setelah mencapai batas
tolerable atau optimal.
-

Prosedur transfusi darah:


8 tetes 15 menit pertama
Observasi TTV : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu
Tanda-tanda alergi
12 tetes 15 menit kedua
Observasi TTV : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu
Tanda-tanda alergi
16 tetes 15 menit ketiga
Observasi TTV : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu
Tanda-tanda alergi
20 tetes 15 menit ketiga
Observasi TTV : tekanan darah, nadi, pernapasan, suhu
Tanda-tanda alergi
Bila alergi ganti NaCl 0,9 %
Hubungi dokter
Setelah transfusi darah, observasi tanda-tanda alergi, TTV tiap 15 menit pertama

dan 15 menit kedua


Transfusi selesai maksimal 4 jam.

2.3 Gagal jantung


Pasien ini didiagnosis dengan gagal jantung kongestive. Dasar diagnostic gagal jantung
kongestive pada pasien adalah:
1. Anamnesis : pasien sering mengeluh sesak saat malam hari, kaki bengkak 3
minggu
lalu, batuk malam hari.
2. Pemfis
: ditemukan batas jantung melebar hingga ICS 6 midclavicula sinistra,
takikardia.
3. Pemeriksaan penunjang : foto torak (cardiomegali), USG (efusi pleura).
Definisi
Gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang kompleks akibat kelainan
struktural dan fungsional jantung yang mengganggu kemampuan ventrikel untuk diisi
dengan darah atau untuk mengeluarkan darah. Manifestasi gagal jantung yang utama
adalah (1) sesak napas dan rasa lelah yang membatasi kemampuan melakukan kegiatan
fisik; dan (2) retensi cairan, yang menyebabkan kongesti paru dan edema perifer. Kedua
abnormalitas tersebut mengganggu kapasitas fungsional dan kualitas hidup pasien, tetapi
tidak selalu ditemukan bersama pada seorang pasien. Ada pasien dengan aktivitas fisik

26 | L a p o r a n K a s u s

terbatas tanpa retensi cairan, tetapi ada juga pasien dengan edema tanpa sesak napas atau
rasa lelah.(4)
Gagal jantung dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit pada
miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohormonal
(neurohormonal blocker) seperti ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker atau
penyekat beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digitalis).(5)

Penyebab Gagal Jantung


Dalam menilai pasien gagal jantung, penting untuk mengenali penyebab gagal

jantung, penyebab gagal jantung antara lain(5) :


- Emboli Paru
- Infeksi
- Anemia
- Tirotoksikosis dan kehamilan
- Aritmia
- Reumatik dan bentuk miokarditis lainnya
- Endokarditis infektif
- Beban fisis, makanan, cairan, lingkungan dan emosional
- Hipertensi sistemik
- Infark miokard
Faktor Predisposisi dan Faktor Pencetus
Faktor predisposisi gagal jantung adalah penyakit yang menimbulkan penurunan
fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit
pembuluh darah, atau penyakit jantung kongenital) dan keadaaan yang membatasi
pengisian ventrikel (stenosis mitral, kardiomiopati, atau penyakit perikardial). (6)
Faktor pencetus termasuk meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani
pengobatan anti gagal jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi),
serangan hipertensi, aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia,
tirotoksikosis, kehamilan dan endokarditis infektif. (6)

Istilah-istilah dalam Gagal Jantung(1,7)

1. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik


Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari
pemeriksaan jasmani, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan ekoDoppler.
27 | L a p o r a n K a s u s

Gagal jantung sistolik adalah ketidak mampuan kontraksi jantung memompa sehingga
curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas
menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari
50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan doppler-ekokardiografi aliran darah mitral
dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis dan
pemeriksaan jasmani saja.
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab
gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi atau iskemia. Di samping itu kongesti
sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diastolik tersebut dapat diperbaiki dengan
restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk
diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat
kalsium non-dihidropiridin.
2.

Gagal Jantung Akut dan Kronik


Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat
endokarditis, trauma, atau infark miokard luas. Curah jantung ynag menurun secara tibatiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer.
Contoh gagal jantung kronik (GJK) adalah kerdiomiopati dilatasi atau kelainan
multivalvular yang terjadi secara perlaha-lahan. Kongesti perifer sangat menyolok,
namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

3.

Gagal Jantung Kiri dan Kanan


Gagal jantung kiri : kegagalan fungsi pompa ventrikel kiri ke sistemik, sehingga
menyebabkan gangguan perfusi dan tekanan yang tinggi diteruskan ke paru,
menyebabkan kongesti. Gagal jantung kanan : kegagalan fungsi pompa ventrikel kanan,
sehingga tekanan pengisian ventrikel meningkat, diteruskan ke vena sistemik,
menyebabkan edema, hepatomegali, dan peningkatan tekanan vena jugularis (JVP).

Patofisiologi (9,6,8)
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung

sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik
secara abnormal. (6)

28 | L a p o r a n K a s u s

Gagal jantung kongestif merupakan kongesti sirkulasi akibat disfungsi


miokardium. Tempat kongesti bergantung pada ventrikel yang terlibat. Disfungsi
ventrikel kiri atau gagal jantung kiri, menimbulkan kongesti pada vena pulmonalis,
sedangkan disfungsi ventrikel kanan atau gagal jantung kanan mengakibatkan kongesti
vena sistemik. Kegagalan pada kedua ventrikel disebut kegagalan biventrikuler. Gagal
jantung kiri merupakan komplikasi mekanis yang paling sering terjadi setelah infark
miokardium.
Infark miokardium mengganggu fungsi miokardium karena menyebabkan
menurunnya kekuatan kontraksi, menimbulkan abnormalitas gerakan dinding, dan
mengubah daya kembang ruang jantung. Dengan berkurangnya kemampuan ventrikel kiri
untuk mengosongkan diri, maka besar volume sekuncup berkurang sehingga volume sisa
ventrikel meningkat. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan jantung sebelah kiri.
Kenaikan tekanan ini disalurkan ke belakang ke vena pulmonalis. Bila tekanan hidrostatik
dalam kapiler paru melebihi tekanan onkotik vaskular maka terjadi proses transudasi ke
dalam ruang interstitial. Bila tekanan ini masih meningkat lagi, terjadi edema paru-paru
akibat perembesan cairan ke dalam alveoli. Hal ini yang mengakibatkan pasien
merasakan sesak napas.
Penurunan volume sekuncup akan menimbulkan respons simpatis kompensatorik.
Kecepatan denyut jantung dan kekuatan kontraksi meningkat untuk mempertahankan
curah jantung. Terjadi vasokonstriksi perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan
retribusi aliran darah dari organ-organ yang tidak vital seperti ginjal dan kulit demi
mempertahankan perfusi organ-organ vital. Venokonstriksi akan meningkatkan aliran
balik vena ke jantung kanan, sehingga akan meningkatkan kekuatan kontraksi.
Pengurangan aliran darah ginjal dan laju filtarsi glomerulus akan mengakibatkan
pengaktifan sistem renin-angiostensin-aldosteron, dengan terjadinya retensi natrium dan
air oleh ginjal. Hal ini akan lebih meningkatkan aliran balik vena.(8)
Manifestasi klinik gagal jantung mencerminkan derajat kerusakan miokardium
dan kemampuan serta besarnya respons kompensasi. Berikut adalah hal-hal yang biasa
ditemukan pada gagal jantung kiri :
1. Gejala dan tanda : dispnea, oliguria, lemah, lelah, pucat, dan berat badan bertambah.
2. Auskultasi : ronki basah, bunyi jantung ketiga (akibat dilatasi jantung dan
ketidaklenturan ventrikel waktu pengisian cepat).
3. EKG : takikardia
29 | L a p o r a n K a s u s

4. Radiografi dada : kardiomegali, kongesti vena pulmonalis, redistribusi vaskular ke


lobus bagian atas.
Gagal jantung kiri dapat berkembang menjadi gagal jantung kanan akibat
meningkatnya tekanan vaskular paru hingga membebani ventrikel kanan. Selain secara
tak langsung melalui pembuluh paru tersebut, disfungsi ventrikel kiri juga berpengaruh
langsung terhadap fungsi ventrikel kanan melalui fungsi anatomis dan biokimiawinya.
Kedua ventrikel mempunyai satu dinding yang sama (yaitu septum interventrikularis)
yang terletak dalam perikardium. Selain itu, perubahan-perubahan biokimia seperti
berkurangnya cadangan norepinefrin miokardium selama gagal jantung dapat merugikan
kedua ventrikel. Yang terakhir, infark ventrikel kanan dapat timbul bersamaan dengan
infark ventrikel kiri, terutama infark dinding inferior. Infark ventrikel kanan jelas
merupakan faktor predisposisi terjadinya gagal jantung kanan. Kongesti vena sistemik
akibat gagal jantung kanan bermanifestasi sebagai pelebaran vena leher, hepatomegali
dan edema perifer.(8)
Diagnosis Banding(7)
1. Penyakit paru : pneumonia, PPOK, asma eksaserbasi akut, infeksi paru berat, ARDS,
emboli paru
2. Penyakit ginjal : gagal ginjal kronik, sindrom nefrotik
3. Penyakit hati : sirosis hepatis
Penegakan Diagnosis(7)
Anamnesis
- Gagal jantung kiri : lemas, dispnea d effort, gangguan mental pada usia tua,
-

intoleransi olahraga, dispnea, orthopnea, paroksismal nokturnal dispnea


Gagal jantung kanan : pembengkakan pada ekstremitas, cepat kenyang, perut

kembung, nyeri perut.


Faktor risiko kardiovaskular : usia, merokok, riwayat DM, hipertensi, (Framingham
classical risk factor untuk PJK, dapat meningkatkan kemungkinan penyebab gagal

jantung)
Pemeriksaan Fisik
- Secara umum: gagal jantung ringan gejala kurang jelas, hanya tampak sesak pada
aktivitas yang berat. Gagal jantung berat: isi denyut nadi, takikardi, akral yang dingin,
-

kadang disertai sianosis. Dapat ditemukan berat badan yang turun atau kaheksia.
Tanda kongestif (dry/wet). Peningkatan JVP, hepatojugular refluks, S3, ronkhi

awalnya di basal paru, hepatomegali, asites, ikterus, edema perifer.


- Tanda perfusi : tekanan nadi berkurang, akral dingin dan pucat, pulsus alternans.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto rontgen dada : pembesaran jantung, distensi vena pulmonal dan redistribusinya
vaskuler paru hingga ke tepi (kerley line B) efusi pleura.
2. Elektrokardiografi (EKG) :
30 | L a p o r a n K a s u s

- Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, kadang atrial fibrilasi.
- Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, hipertrofi dll)
3. Laboratorium :
- Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), Hb, Ht, leukosit,
-

trombosit,
Tes fungsi tiroid (ft4, TSH), tes fungsi hati (albumin, SGOT, SGPT, bilirubin),

lipid darah, kreatinin.


Kadar Brain natriuretic peptide (BNP) meningkat hingga >100 pg/mL pada gagal

jantung. Tetapi pada pasien dengan gagal ginjal dapat bernilai tetap lebih tinggi.
- Urinalisis: untuk mendeteksi gangguan ginjal.
4. Ekokardiografi
5. Treadmill test
Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif Kriteria Framingham
Diagnosis ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor atau 2 kriteria
mayor dari Kriteria Framingham(1) :
Kriteria Major :
-

Paroksismal nokturnal dispnea


Distensi vena leher
Ronki paru
Kardomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks Hepatojugular

Kriteria Minor :
-

Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120x/menit)

Kriteria mayor atau minor


Penurunan berat badan > 4,5 kg dalam 5 hari setelah terapi.
Stadium perkembangan Gagal Jantung menurut American Heart Association (AHA)
guideliness tahun 2009 : (7)
-

Stadium A : risiko tinggi, tanpa perubahan struktur jantung, tanpa gejala

31 | L a p o r a n K a s u s

Stadium B : perubahan struktur jantung, tanpa gejala

Stadium C : perubahan struktur jantung dengan gejala

Stadium D : gagal jantung refrakter yang membutuhkan intervensi dan strategi


tatalaksana khusus

Klasifikasi fungsional dari New York Heart Association (NYHA) :


1.
2.
3.
4.

Kelas I: Tidak ada batasan dengan aktivitas fisik biasa


Kelas II : Gejala ringan, sedikit terbatasi dengan aktivitas biasa
Kelas III : Gejala fatigue, dispnea, palpitasi atau angina pada aktivitas minimal
Kelas IV : Gejala muncul saat istirahat, gejala meningkat pada segala aktivitas
Penatalaksanaan(7)
a. Non Farmakologi
- Edukasi : terangkan hubungan keluhan, gejala dengan pengobatan, anjuran diet, dan
perubahan gaya hidup yang diperlukan.
Diet (hindarkan obesitas, rendah garam 2 g pada gagal jantung ringan dan 1 g pada

gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
Aktivitas fisik, tergantung beratnya gagal jantung (latihan jasmani : jalan 3-5

kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan
-

sedang)
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu.
Kontrasepsi non hormonal pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon

dosis rendah masih dapat dianjurkan.


Istirahat pada gagal jantung akut, berat dan eksaserbasi akut, pasien seperti ni perlu

mendapat pengawasan spesialis.


b. Farmakologi
- Diuretik
Furosemid : 20-40 mg/hari bila respon tidak cukup baik dosis dapat dinaikkan .
Hidroklorotiazid: 50-200 mg/hari
Spironolakton, dengan dosis 25-50 mg/hari bukan untuk diuretik, tetapi anti
remodelling dapat mengurangi mortalitas pada pasien dengan gagal jantung

sedang sampai berat (klas fungsional III-IV)


Pantau kadar kalium pada penggunaan spironolakton bersamaan dengan ACE

inhibitor/ARB karena dapat terjadi hiperkalemia.


ACE Inhibitor
Direkomendasikan sebagai terapi standar untuk gagal jantung . Bermanfaat untuk
menekan aktivasi neurohormonal.
32 | L a p o r a n K a s u s

Captopril : pemberian dimulai dengan dosis rendah 6,25 mg per oral 3 kali
sehari, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. Bila sudah

terdapat hipertensi dosis dinaikkan.


Bila intoleransi (batuk angioedema) dapat diganti dengan Angiotensin Cl reseptor

antagonis (ARB : Valsartan, 40 mg dua kali/hari)


Pantau kadar kalium, ureum
Tidak boleh pada wanita hamil dan dihindari pada menyusui.
Beta blocker
Hanya dapat diberikan bila tidak ada tanda-tanda dekompensasi. Mulai dosis kecil,
kemudian dititrasi tiap 2 minggu. Biasa digunakan bersama-sama dengan ACE

inhibitor dan diuretik.


Bisoprolol 1,25 mg satu kali perhari, dapat dinaikkan dosisnya.
Metoprolol 50 mg 2-3 kali/hari
Carvedilol 3,125 mg dua kali/hari dinaikkan hingga 25 mg dua kali/hari
Digoksin
Hanya bermanfaat untuk mengurangi gejala, tidak mengurangi mortalitas. Terutama
bila disertai gangguan ritme jantung. Dosis : 0,75-1,5 mg pada hari pertama. Lalu

0,125-0,25 mg dosis rumatan.


- Antikoagulan (hanya diberikan atas indikasi) dan anti platelet
- Antiaritmia* perlu pemantauan dokter spesialis
- Antagonis kalsium dihindari karena dapat menyebabkan inotropik negatif.
- Inotropik, perlu pemantauan dokter spesialis.
Komplikasi
Syok kardiogenik, infeksi paru, gangguan keseimbangan elektroli
2.4 Hubungan Antargejala
Anemia akibat sindrom dyspepsia organik e.c drug induced e.c NSAID
Mekanisme NSAID menginduksi traktus gastrointestuinal tidak sepenuhnya dipahami. Dalam
sebuah referensi, NSAID merusak mukosa lambung melalui 2 mekanisme yaitu topical dan sistemik.
Kerusakan mukosa secara tropikal terjadi karena NSAID bersifat asam dan lipofili,sehingga mempermudah
trapping ion hydrogen masuk mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID lebih penting
yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun secara bermakna. Seperti diketahui
prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi
itu dilakukan dengan cara menjaga aliran darah mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat
dan meningkakan epitel defensif. Ia memperkuat sawar mukosa lambung duodenum dengan meningkatkan
kadar fosfolipid mukosa sehingga meningkatkan hidrofobisitas permukaanmukosa, dengan demikian
mencegah/mengurangi difusi balik ion hidrogen. Selain itu prostaglandin juga menyebabkan hiperplasia
mukosa lambung duodenum (terutama di antara antrum lambung), dengan memperpanjang daur hidup sel-sel

33 | L a p o r a n K a s u s

epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas
proliferasi.(5)
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin nen dogenous
yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX (siklooksigenase) merupakan tahap
katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat inidikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan
COX-2. COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit dan berperan
penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan
ginjal yang juga bertanggungjawab dalam respon inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus
menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan
timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.(1) Penghambatan
COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan produksi mediator inflamasi. Sebagai
konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis leukotriene yang disempurnakan dapat terjadi oleh
shunting metabolisme asam arakidonat terhadap ipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang memberikan kontribusi
terhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi
molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-
mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi neutrofil-endotel.
Wallace mendalilkan bahwa pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren mungkin berkontribusi terhadap
patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua mekanisme utama:
1. Oklusi microvessels lambung oleh microthrombi menyebabkan aliran darah lambungberkurang dan
kerusakan sel iskemik
2.

Meningkatkan pembebasan dari radikal bebas yang berasal oksigen. Oksigen radikal bebas bereaksi

dengan poli asam lemak tak jenuh dari mukosa menyebabkan peroksidasi lipiddan kerusakan jaringan.
NSAID tidak hanya merusak perut, tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan seluruh dan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi ekstrain testinal parah seperti kerusakan ginjal sampai gagal ginjal akut
pada pasien yang memiliki faktorrisiko, retensi natrium dan cairan, hipertensi arterial, dan, kemudian, gagal
jantung.(2)
Dari pemeriksaan Fisik didapatkan konjungtiva anemis. Hal ini menandakan pasien dalam keadaan
anemia.

Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan penurunan Hb (3,0),

MCV (56,4),

MCH 16,0 dan MCHC 28,3. Pada pasien ini terjadi anemia mikrositik hipokromik. Mikrositik berarti
kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya
menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan
kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia. Defisiensi besi merupakan
penyebab utama anemia di dunia. Penyebab defisiensi besi adalah: (1)asupan besi yang tidak cukup misalnya
pada bayi yang diberi makan susu belaka sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang
34 | L a p o r a n K a s u s

hanya memakan sayur- sayuransaja;(2)gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan (3)kehilangan
darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma, gastritis
varises esophagus, konsumsi aspirin, NSAID dan hemoroid. Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa
rata-rata mengandung 3 sampai 5 gram besi,bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua
pertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut
melalui transferrin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang
kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga sisanya disimpan dalam hati, limpa dan
dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10% (1 - 2mg) yang sebenarnya
sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi
yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada
duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besidiangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk
sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan. Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh
anemia, penderita defisiensi besi yangberat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml; Hb 6 sampai 7 g/100
ml) mempunyai rambutyang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk
seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat,
merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan
kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut. Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah
normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit
mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau
berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat. Penatalaksanaan pada
pasien gastropati NSAID, terdiri dari non-mediamentosa dan medikamentosa. Pada terapi non-medikametosa,
yakni berupa istirahat, diet dan jika memungkinkan, penghentian penggunaan NSAID. Secara umum, pasien
dapat dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap
dirumah sakit. Pada pasien dengan disertai tukak, dapat diberikan diet lambung yang bertujuan
untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung, mencegah dan
menetralkan asam lambung yang berlebihan serta mengusahakan keadaan gizi sebaik mungkin. Adapun
syarat diet lambung yakni:
a) Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan.
b) Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk menerima
c) Rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan secara bertahap hingga
sesuai dengan kebutuhan.
d) Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap.
e) Cairan cukup, terutama bila ada muntah

35 | L a p o r a n K a s u s

f) Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara termis, mekanis,maupun kimia
(disesuaikan dengan daya terima perseorangan)
g) Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak dianjurkan minum susuterlalu banyak.
h) Makan secara perlahan
i) Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-48 jam untuk memberikan istirahat
pada lambung. Evaluasi sangat penting karena sebagian besar gastropati NSAID ringan dapat sembuh
sendiri walaupun NSAID tetap diteruskan. Antagonis reseptor H2 (ARH2) atau PPI dapat mengatasi
rasa sakit dengan baik. Pasien yang dapat menghentikan NSAID, obat-obat tukak seperti golongan
sitoproteksi, ARH2 dan PPI dapat diberikan dengan hasil yang baik. Sedangkanpasien yang tidak
mungkin menghentikan NSAID dengan berbagai pertimbangan sebaiknyamenggunakan PPI. Mereka
yang mempunyai factor risiko untuk mendapat komplikasi berat,sebaiknya dberikan terapi pencegahan
mengunakan PPI atau analog prostaglandin.
Presentasi klinis tukak gastroduodenal pada pemakai OAINS bervariasi dari asimtomatik sampai peritonitis
difusa karena perforasi. Kematian akibat toksisitas OAINS pada saluran cernabagian atas mencapai 1,3-1,6%
pertahun. Pemakaian OAINS harus dihentikan bila pasienmempunyai efek samping tukak gastroduodenal.
Pemberian sukralfat tidak berbeda denganplasebo, sedangkan penghentian OAINS bersama-sama pemberian
H2RA selama 8 minggu dapat menyembuhkan tukak hampir pada 100% kasus. Pada situasi tertentu
pemakaian OAINS non selektif sulit untuk dihentikan. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa PPI
maupun prostaglandin analog mempunyai hasil yang lebih baik dibanding H2RA untuk mengatasi
tukak gastro duodenal yang disebabkan OAINS konvensional walaupun pemberian OAINS tetap
dilanjutkan. Agrawal dkk melaporkan ada perbedaan yang signifikan dalam penyembuhan tukak gaster dari
pasien yang mendapat ranitidin dan lansoprazol yaitu masing-masing sebanyak 53% dan 73% dari kasus
yang diobati. Peneliti lain melaporkan pada penderita dengan tukak duodenum karena OAINS dan tetap
meneruskan pemakaian OAINS-nya dengan pemberian PPI (omeprazol 20mg od) selama 8 minggu
penyembuhan terjadi pada 93% kasus dari yang diobati, sedangkan dengan prostaglandin analog (misoprostol
200 mg qid) penyembuhan hanya ditemukan pada 77% kasus.

Perubahan Kardiovaskular akibat Anemia


Pembesaran jantung pada penderita anemia telah ditemukan sejak satu abad yang

lalu. Penelitian pada 51 penderita anemia akibat ankilostomiasis dengan kadar Hb berkisar
antara 1.5 hingga 6.5 g/dL, yang dialami selama 4 bulan berturut-turut, menemukan bahwa
80% diantaranya mengalami pembesaran jantung. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa
stroke volume lebih dekat hubungannya terhadap cardiac output dibandingkan takikardia dan
peningkatan aliran darah.18 Studi lainnya memperlihatkan adanya peningkatan cardiac output
bila kadar Hb < 7 g/dL.17-23 Penelitian pada 36 anak penderita SCA berusia 2 hingga 17
36 | L a p o r a n K a s u s

tahun dengan kadar Hb antara 3.6 hingga 10.8 g/dL, mendapatkan 32 anak mengalami
pembesaran jantung. Penelitian yang dilakukan pada ADB dengan Hb < 6 gr/dL mendapatkan
penderita anemia berat mengalami peningkatan indeks jantung yang bermakna. Proses
penghantaran oksigen ke organ atau jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1) faktor hemodinamik berupa cardiac output serta distribusinya
2) kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu konsentrasi Hb
3) oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena.
Kapasitas penghantaran oksigen akan menurun bila kadar Hb < 7 g/dL. Prinsip Fick
menyatakan bahwa cardiac output sebanding dengan konsumsi oksigen oleh jaringan dan
berbanding terbalik dengan perbedaan kandungan oksigen antara arteriovenus. Kadar Hb
merupakan faktor penentu dari perbedaan kandungan oksigen arteriovenus. Pada saat kadar
Hb rendah, cardiac output akan meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan.
Cardiac output tergantung pada kapasitas fungsional jantung. Rentang normal dari cardiac
output bervariasi sesuai dengan berat badan pasien, sehingga cardiac index lebih sering
digunakan. Cardiac index adalah cardiac output dibagi dengan luas permukaan tubuh pasien
(nilai normal cardiac index adalah 2.6 4.2 L/menit/m2). Anemia akan menginduksi
terjadinya mekanisme kompensasi terhadap penurunan konsentrasi Hb. Mekanisme
kompensasi ini bersifat hemodinamik dan nonhemodinamik. Mekanisme kompensasi
hemodinamik bersifat kompleks, yang meliputi
1. Penurunan afterload akibat penurunan resistensi vaskular
2. Peningkatan preload akibat peningkatan venous return
3. Peningkatan fungsi ventrikel kiri akibat peningkatan aktivitas simpatis dan faktor-faktor
inotropik.
Kombinasi ketiganya akan meningkatkan kerja jantung pada anemia kronis. Hukum FrankStarling menyatakan, energi kontraksi sebanding dengan panjang awal serat otot jantung.
Sehingga dengan diregangnya otot, timbul peningkatan tegangan sampai maksimal dan
kemudian menurun dengan makin bertambahnya regangan. Pada keadaan fisiologis semakin
besar volume ventrikel selama diastolik, semakin teregang serat jantung sebelum stimulasi,
dan akan semakin besar pula kekuatan kontraksi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa,
peningkatan ventricular output berhubungan dengan preload (peregangan serat-serat
miokardium sebelum kontraksi). Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan
frekuensi jantung. Ventricular stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload dan
37 | L a p o r a n K a s u s

kontraktilitas miokardium. Stroke volume akan meningkat bila terjadi peningkatan preload,
penurunan afterload, atau peningkatan kontraktilitas.
Kompensasi nonhemodinamik terhadap anemia akan berperan pada saat kadar Hb <
10 g/dL. Kompensasi ini berupa peningkatan produksi eritropoetin untuk merangsang
eritropoesis dan peningkatan oxygen extraction. Bukti terkini membuktikan bahwa kadar Hb
> 12g/dL, dianggap paling optimal untuk mempertahankan kesehatan jantung dan kualitas
hidup, khususnya pada pasien yang sebelumnya tidak menunjukkan gejala klinis adanya
penyakit jantung. Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia berat kronis akan terlihat
jelas bila pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat, bisa
terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan dapat terdengar desah
sistolik. Setiap

penurunan konsentrasi Hb sebesar 1 g/dL akan meningkatkan risiko

terjadinya dilatasi ventrikel kiri, disfungsi sistolik, gagal jantung kongestif, kejadian gagal
jantung berulang dan kematian. Suatu kohort prospektif mendapatkan bahwa waktu median
yang diperlukan disfungsi ventrikel untuk berkembang menjadi gagal jantung adalah 19
bulan. Lamanya waktu median penderita dengan disfungsi ventrikel untuk bertahan hidup
adalah 38 bulan. Anemia yang terjadi dalam jangka panjang dapat menyebabkan pembesaran
ventrikel kiri maladaptif, dekompensasi jantung, gagal jantung serta kematian. Suatu
penelitian mengenai perubahan hemodinamik pada anemia berat dengan konsentrasi Hb <
6.5 g/dL yang dialami selama minimal 4 bulan, menunjukkan terjadinya perbaikan
hemodinamik setelah koreksi dari anemia. Pada tahun 1927, telah dilaporkan seorang
penderita infeksi cacing tambang dengan Hb 2.9 g/dL yang memiliki rasio jantung toraks
(RJT) sebesar 62%. Ukuran jantung kembali normal dengan RJT 49% ketika Hb meningkat
menjadi 14.6 g/dL. Pada tahun 1931, dilakukan penelitian pertama dengan bantuan
roentgenogram memperlihatkan hilangnya pembesaran jantung dengan perbaikan anemia.
Hubungan

Perubahan

Fungsi

Sistolik

dan

Dilatasi

Ventrikel

Kiri

dengan

Ekokardiografi pada Anemia Berat Kronis


Pada keadaan anemia, jantung akan meningkatkan venous return untuk memenuhi
kebutuhan oksigen jaringan. Maka sesuai mekanisme Frank-Starling, jantung akan
meningkatkan stroke volume, sehingga dapat terjadi hipertrofi ventrikel kiri, dengan
miofibril jantung yang memanjang serta dilatasi dari ventrikel kiri. Ventricular end-diastolic
volume (atau end-diastolic pressure) sering digunakan sebagai representasi preload. Enddiastolic volume dipengaruhi oleh compliance ruang jantung. Ventricular end-systolic volume
38 | L a p o r a n K a s u s

tergantung pada afterload dan kontraktilitas. Hal ini dapat diterangkan dengan lebih jelas
dalam kurva Frank-Starling (Gambar 2.1).

Gambar 2.1. Kurva Frank Starling


Ekokardiografi dapat memberikan pencitraan yang cepat, akurat dan bersifat non invasif
untuk menilai struktur dan fungsi jantung. Dilatasi dari ventrikel kiri sering dijumpai pada
keadaan kelebihan cairan (volume overload) yang mendasari terjadinya anemia. Sedangkan
kelebihan tekanan (pressure overload) akan menyebabkan peningkatan massa ventrikel kiri.
Laplace

menyatakan bahwa tahanan dinding jantung berbanding lurus dengan radius

dinding, serta berbanding terbalik dengan ketebalan dinding. Hal ini merupakan respon
fisiologis terhadap kelebihan cairan dengan dilatasi ventrikel kiri. Akibatnya akan terjadi
dilatasi ventrikel terutama peningkatan tekanan dinding jantung, yang mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap ini terjadi
dilatasi progresif dari dinding ventrikel kiri menebal yang disebut eccentric hipertrofi.
Hipertrofi ini merupakan mekanisme adaptasi untuk melindungi jantung dari peningkatan
tahanan dinding jantung. Data longitudinal menunjukkan bahwa risiko dari penyakit jantung
iskemik, gagal jantung, dan kematian meningkatkan secara progresif. Risiko terendah
dijumpai pada pasien dengan hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Risiko medium dijumpai
pada pasien dengan dilatasi ventrikel kiri dengan fungsi sistolik yang intak, dan risiko tinggi
39 | L a p o r a n K a s u s

dijumpai pada pasien dengan disfungsi sistolik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anemia
sebagai predisposisi terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat
mengakibatkan disfungsi sistolik. Gagal jantung merupakan komplikasi serius dari anemia.
Etiologi dari gagal jantung secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
1) Kegagalan kontraktilitas
2) Peningkatan afterload
3) Kegagalan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang disebabkan oleh abnormalitas pengosongan ventrikel, baik yang
disebabkan oleh kegagalan kontraktilitas atau afterload yang berlebihan disebut sebagai
disfungsi sistolik. Sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh abnormalitas relaksasi
diastolik atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik. Sekitar dua pertiga dari pasienpasien dengan gagal jantung mengalami disfungsi sistolik, yang diawali dengan disfungsi
diastolik Sebagian besar disfungsi jantung disebabkan oleh abnormalitas dari jantung kiri.
Sehingga evaluasi klinis dari fungsi jantung, terutama dinilai dari fungsi ventrikel kiri. Fungsi
pompa dari ventrikel kiri tergantung pada kemampuannya untuk mengisi (fungsi diastolik)
dan mengosongkan (fungsi sistolik). Fungsi sistolik ventrikel kiri dapat diukur sebagai fraksi
ejeksi ventrikel kiri. Penelitian sebelumnya melaporkan fungsi ventrikel kiri yang normal
pada pasien dengan anemia berat kronis, sementara penelitian lainnya memperlihatkan
adanya derajat disfungsi ventrikel kiri yang bervariasi dengan penurunan yang bermakna dari
fractional shortening dan abnormal interval waktu sistolik. Hingga saat ini, belum ada
konsensus yang menyatakan apakah kontraktilitas otot jantung disebabkan oleh anemia berat
yang lama atau terganggu oleh proses kelebihan cairan yang kronis. Dua dekade lalu, analisa
kontraktilitas miokardium menggunakan hubungan antara LV end-systolic wall stress (ESSm)
dan rate-corrected velocity of circumferential fiber shortening (VCFc). Hubungan ini tidak
tergantung oleh preload, frekuensi jantung, dan afterload. Sehingga dapat merefleksikan
secara akurat kontraktilitas miokardium. Suatu penelitian pada 57 anak dengan SCA yang
berusia 1 hingga 18 tahun menunjukkan, bahwa pasien anemia memiliki corrected ejection
time (ETc) yang lebih lama serta nilai FS dan VCFc yang lebih rendah dibandingkan anak
sehat. Evaluasi kerja miokardium yang tidak tergantung kepada beban, dengan menggunakan
hubungan antara ESSm-VCFc memperlihatkan penurunan kontraktilitas miokardium pada
anemia.

Sedangkan afterload miokardium, yang dinilai dengan ESS turut meningkat.

Peningkatan derajat anemia berbanding lurus dengan peningkatan LV systolic dan diastolic
dimensions. Secara khusus, terdapat korelasi negatif antara kadar hemoglobin dan Z score
40 | L a p o r a n K a s u s

dari LV end-diastolic dimension (LVEDD) dengan r= -0.6. Indeks fungsi ventrikel yang
tergantung kepada beban (%FS, VCFc, ETc) tidak secara langsung dipengaruhi oleh usia
pasien, peningkatan tingkat keparahan atau lamanya anemia. Seperti halnya indeks
kontraktilitas, yaitu hubungan antara ESSm-VCFc, juga tidak dipengaruhi usia pasien atau
peningkatan tingkat keparahan dari anemia. Karena tingkat keparahan anemia jangka panjang
tidak dapat diwakili secara sesuai dengan nilai hemoglobin yang tunggal, maka diperlukan
penilaian terhadap dilatasi ventrikel (LVEDD Z-score), yang lebih efektif dalam menilai
tingkat keparahan anemia yang kronis. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan fungsi
ventrikel kiri yang normal pada pasien-pasien dengan anemia berat kronis. Sementara
penelitian lainnya menunjukkan disfungsi ventrikel kiri dengan derajat yang bervariasi
dengan penurunan fractional shortening atau waktu interval sistolik yang abnormal. Pada
disfungsi sistolik, terdapat hilangnya kapasitas dari ventrikel terhadap darah yang
dipompakan karena kegagalan kontraktilitas miokardium atau tekanan yang berlebihan
(contohnya afterload yang berlebihan). Pada penelitian ekokardiografi sebelumnya yang
menilai fungsi ventrikel kiri pada pasien SCA, kontraktilitas dievaluasi

dengan

menggunakan indeks fase ejeksi yaitu fractional shortening (FS), ejection fraction (EF),
velocity of circumferential fiber shortening (VCFc), atau interval waktu sistolik. Pengukuranpengukuran ini sangat tergantung dan dipengaruhi kondisi miokardium dan frekuensi jantung,
dimana keduanya abnormal pada pasien SCA. Idealnya, untuk membedakan antara disfungsi
ventrikel inheren dan efek dari kondisi yang mengakibatkan perubahan beban jantung, maka
kontraktilitas miokardium seharusnya dievaluasi dengan menggunakan indeks fungsi
ventrikel yang tidak tergantung kepada beban.
2.5 Analisis

Sindrom dyspepsia
organic e.c tukak
peptic e.c drug
induced e.c NSAID

Faktor Lain

Anemia Gravis

Gagal jantung
Efek langsung

Pemberat

41 | L a p o r a n K a s u s

Anemia pada pasien tersebut adalah anemia yang disebabkan karna sindrom dyspepsia
organic akibat penggunaan obat NSAID dalam jangka waktu lama. Perdarahan mukosa
lambung pasien tersebut sudah terjadi cukup lama dalam jumlah yang cukup sehingga
menyebabkan Hb terakhir pasien 3,00 g/dL. Gejala yang dialami pasien berupa cepat lelah
dan mata menjadi kabur ketika beraktifitas merupakan manifestasi klinik dari anemia gravis
tersebut. Pasien baru mengeluhkan gejala tersebut karena usaha kompensasi tubuh tidak dapat
lagi mengkompensasi rendahnya kadar Hb pasien.
Pada kasus ini pasien dapat terjadi 2 mekanisme gagal jantung kongestif.
1. Gagal jantung kongestif yang di akibatkan karena anemia gravis yang diderita pasien
tersebut.
2. Perburukan gagal jantung kongestif yang sudah ada sebelumnya akibat anemia yang
diderita pasien
Dari anamnesis serta pemeriksaan tambahan, penulis menganalisis bahwa gagal jantung yang
di derita pasien tersebut merupakan gagal jantung kongestif yang sedah ada dan memburuk
akibat anemia yang diderita pasien. Dilihat dari gejala anemia pada pasien, peurunan Hb
sampai tingkat critical 3 bulan terakhir, sedangkan menurut penelitian-penelitian yang
dilakukan dengan Hb yang sangat rendah dalam jangka waktu yang lama (> 4 bulan) baru
dapat mengakibatkan gangguan pada jantung penderita anemia. Dari hasil pemeriksaan fisik
menunjukan adanya distensi vena leher, menunjukan adanya perjalanan penyakit dalam
waktu lama/kronik. Dari hasil foto torak, menunjukan pembesaran jantung yang sangat
progresif dalam waktu yang sangat singkat menunjukan tidak hanya anemia pasien yang
menjadi faktor penyebab. Oleh karena hal tersebut menurut penulis gagal jantung yang
diderita pasien sudah ada sejak pasien tersebut belum menderita sindrom dyspepsia dan
anemia, dan anemia gravis hanya merupakan faktor yang memperberat gagal jantung pasien
sehingga akhirnya gejala klinis gagal jantung tersebut muncul akibat fungsi jantung yang
semakin menurun.
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilaporkan sebuah kasus anemia gravis dengan penyakit jantung kongestiv pada
seorang laki-laki usia 39 tahun. Laki-laki ini didiagnosis anemia berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium. Dari pemeriksaan tersebut diperoleh hasil yang
mendukung terhedap penegakan diagnosis anemia. Selain anemia pasien juga terdiagnosis
gagal jantung kongestif sesuai dengan pemeriksaan yang dilakukan foto torak dan USG,
hasilnya memenuhi beberapa kriteria Framingham untuk gagal jantung kongestif. Dari
runtutan gejala hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diduga factor yang menyebabkan
42 | L a p o r a n K a s u s

timbulnya anemia dan berlanjut pada gagal jantung kongestif adalah perdarahan saluran cerna
pasien yang sudah terjadi dalam waktu yang lama. berhubungan dengan riwayat konsumsi
beberapa obat OAINS perdarahan lambung semakin dapat terjadi . Hal ini yang diduga
menyebabkan anemia berat kronis, selah satu kompensasi tubuh adalah meningkatkan kerja
jantung untuk memenuhi kebutuhan nutrisi jaringan, kerja jantung yang berlebihan dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan gagall jantung.
Beberapa penanganan sudah di berikan, diharapkan proses pemulihan dapat terjadi. Pasien
menjalani perawatan di RS selama

12 hari,kondisi klinis semakin membaik, beberapa

keluhan sudah teratasi. Selama proses pengobatan pasien di berikan transfuse sebanyak 4 bag
dan terjadi perubahan Hb dari 3,0 g/dL menjadi 9 g/dL. Factor yang diduga sebagai penyebab
sudah ditangani pasien dipulangkan dengan kondisi yang lebih baik dan disarankan untuk
control rutin poli IPD.

DAFTAR PUSTAKA

1. Tarigan P. Tukak gaster. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, penyunting.


Bukuajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h. 513-17.
2. Suega K, Bakta IM., Adyana L, Darmayud T. Perbandingan beberapa metode
diagnosisanemia defisiensi besi: usaha mencari cara diagnosis yang tepat untuk
penggunaan klinik.Ed 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2007.153-7
3. Pedoaman Diagnosis dan Terapi. BAG/SMF Ilmu Penyakit Dalam. Edisi III.
Surabaya: Rumah Sakit Umum Dokter Soetomo; 2008.
4. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta;
2012
43 | L a p o r a n K a s u s

5. Panggabean M. Gagal Jantung. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:


InternaPublishing; 2009. p. 15834.
6. Gagal Jantung. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI; 2001. p. 434.
7. YP IDI. Gagal Jantung. Indonesian Doctors Compendium. 2011. p. 79
8. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta;
2012

9.

Maghfirani. Pengaruh Siklus Haid Terhadap Kadar Hemoglobin Pada

Mahasiswi Fakultas Kedokteran Usu Angkatan 2010. Karya Tulis


Ilmiah. Medan; 2011

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31263/4/Chapter%20I.pdf

(diakses

tanggal 27 November 2014)


10. Price S, Wilson L. Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Edisi 6. EGC;
2006
11. Willkinson, Judith M. 2006. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Edisi 7. EGC :
Jakarta.
12. Handayani, Wiwik. Haribowo, Andisulistyo. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan
Pada Klien Dengan Gangguan Sistem Hematolog. Jakarta:SalembaMedika.
13. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/21127/4/Chapter%20II.pdf

(diakses

tanggal 21 November 2014)


14. hhtp://id.wikipedia.org/wiki/anemia (diakses tanggal 21 November 2014)

44 | L a p o r a n K a s u s

Anda mungkin juga menyukai