Sindrom Dispepsia and AHD
Sindrom Dispepsia and AHD
PEMBAHASAN
kembali timbul. Nyeri tekan lokal yang tajam dapat dihilangkan dengan memberikan tekanan lembut pada
epigastrium atau sedikit di sebelah kanan garis tengah. Beberapa gejala menurun dengan memberikan
tekanan local pada epigastrium. Beberapa pasien mengalami sensasi luka bakar pada esophagus dan lambung,
yang naik ke mulut, kadang-kadang disertai eruktasi asam. Eruktasi atau sendawa umum terjadi bila lambung
pasien kosong. Meskipun jarang pada ulkus duodenal tak terkomplikasi, muntah dapat menjadi gejala ulkus
peptikum. Hal ini dihubungkan dengan pembentukan jaringan parut atau pembengkakan akut dari membran
mukosa yang mengalami inflamasi di sekitarnya pada ulkus akut. Muntah dapat terjadi atau tanpa didahului
oleh mual,biasanya setelah nyeri berat yang dihilangkan dengan ejeksi kandungan asam lambung. Dari
anamnesis juga didapatkan pasien suka mengkonsumsi asam mefenamat setelah selesai bekerja. Asam
mefenamat merupakan derivat asam antranilat dan salah satu obat golongan Anti Inflamasi Nonsteroid
(AINS) yang memiliki aktivitas sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Sebagaimana obat lain asam
mefenamat dapat menyebabkan efek samping dan yang paling menonjol adalah kemampuan merangsang
dan merusak lambung.
Hal ini merupakan pemicu timbulnya ulkus pada mukosa lambung yang
21 | L a p o r a n K a s u s
WHO
11,0 g/dL
NCI
Perempuan 12,0 16,0 g/dL
Laki-laki 14,0 18,0 g/dL
Derajat 1 (ringan)
Derajat 2 (sedang)
Derajat 3 (berat)
Anemia bukanlah suatu kesatuan penyakit tersendiri, tetapi merupakan gejala berbagai
macam penyakit dasar sehingga harus dapat ditetapkan penyakit dasar yang menyebabkan
anemia tersebut
Berdasarkan gambaran morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi,
anemia dibagi menjadi 3 golongan : anemia hipokromik mikrositer (MCV <80 fl dan MCH
<27 pg), anemia normokromik normositer (MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg), anemia
makrositer (MCV >95 fl).
Tabel 2.2 Klasifikasi Anemia Berdasarkan Morfologi dan Etiologi
Anemia
Mikrositer
Anemia defisiensi besi
Normokrom
Anemia pasce
akut
Thalassemia major
Anemia aplastic
Anemia akibat penyakit Anemia hemolitik didapat
1. Anemia
defisiensi
asam folat
2. Anemia defisiensi vit
kronik
Anemia sideroblastik
Anemia
akibat
pernisiosa
penyakit Bentuk nonmegaloblastik
kronik
Anemia pada gagal ginjal
konik
Anemia
pada
mielodisplastik
Anemia pada
sindrom
pada
hipotiroidism
3. Anemia pada sindrom
keganasan
mielodisplastik
hematologic
Dasar diagnostic anemia mikrositik hipokrom pada pasien ini adalah:
1. Pada anamnesis
beraktifitas
2.
3.
4.
5.
Pada pemfis
Kadar Hb pasien
Kadar MCV
Kadar MCH
berat.
: ditemukan konjungtiva anemis, lidah tampak pucat.
: 3,0 g/dL (anemia)
: 56,4 fl (mikrositer)
: 16,0 pg (hipokromik)
23 | L a p o r a n K a s u s
Suatu anemia berat yang kronis dikatakan bila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3 bulan
berturut-turut atau lebih. Anemia berat dapat bersifat akut dan kronis. Anemia kronis dapat
disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell anemia (SCA), talasemia,
spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia. Anemia berat kronis juga dapat dijumpai pada
infeksi kronis seperti tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria,
cacing dan lainnya.
Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan/pengobatan anemia sbb (3)
1. Mencari dan memberikan pengobatan sesuai penyebab
2. Bila anemia timbul akibat penyakit lain, pengobatan penyakit dasar yang utama
3. Transfuse darah hanya diberkan pada kondisi:
- Perdarahan akut yang disertai perubahan tanda-tanda vital (syok hipovolemik)
- Anemia kronik dengan gangguan oksigenasi jaringan
4. Bila terdapat gagal jantung akibat anemia, diberkan juga pengobatan gagal jantung
seperti deuretik.
Pengobatan
1. Pengobatan penyakit dasar sebagai penyebabnya adalah yang utama, misalnya:
peengobatan cacing tambang, hemoroid, tukak lambung.
2. Diet kaya kalori, protein dan zat besi.
3. Pemberian preparat besi per oral (ferosulfat, ferofumarat, ferogluconat)
- Dosis perhari ferosulfat 3 x 100-200mg
- Dilanjutkan sampai 4-6 bulan setelah Hb normal
- Pemberian secara parenteral hanya diberikan pada penderita yang diduga
mengalami gangguan penyerapan (colitis, enteritis regional, pasta kolostomi
dan ileostomi). Sebelum memberikan preparat besi perenteral sebaiknya
komponen yang terdiri dari eritrosit yang telah dipekatkan dengan memisahkan
komponen-komponen yang lain. Packed cells banyak dipakai dalam pengobatan
anemia terutama talasemia, anemia aplastik, leukemia dan anemia karena keganasan
lainnya. Pemberian transfusi bertujuan untuk memperbaiki oksigenasi jaringan dan
alat-alat tubuh. Biasanya tercapai bila kadar Hb sudah di atas 8 g%. Untuk
menaikkan kadar Hb sebanyak 1 gr/dl diperlukan PRC 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat
menaikkan kadar hematokrit 3-5 %. Diberikan selama 2 sampai 4 jam dengan
kecepatan 1-2 mL/menit, dengan golongan darah ABO dan Rh yang diketahui.
Kebutuhan darah (ml) :
3 x Hb (Hb normal -Hb pasien) x
BB
Ket :
-Hb normal : Hb yang diharapkan atau Hb normal
-Hb pasien
Tujuan transfusi PRC adalah untuk menaikkan Hb pasien tanpa menaikkan volume
darah secara nyata. Keuntungan menggunakan PRC dibandingkan dengan darah
jenuh adalah:
1. Mengurangi kemungkinan penularan penyakit
2. Mengurangi kemungkinan reaksi imunologis
3. Volume
darah
yang
diberikan
lebih
sedikit
sehingga
Indikasi:
1. Kehilangan darah >20% dan volume darah lebih dari 1000 ml.
2. Hemoglobin <8 gr/dl.
3. Hemoglobin <10 gr/dl dengan penyakit-penyakit utama : (misalnya empisema,
atau penyakit jantung iskemik)
4. Hemoglobin <12 gr/dl dan tergantung pada ventilator.
Dapat disebutkan bahwa :
Hb sekitar 5 adalah critical
Hb sekitar 8 adalah tolerable
25 | L a p o r a n K a s u s
26 | L a p o r a n K a s u s
terbatas tanpa retensi cairan, tetapi ada juga pasien dengan edema tanpa sesak napas atau
rasa lelah.(4)
Gagal jantung dianggap sebagai remodelling progresif akibat beban/penyakit pada
miokard sehingga pencegahan progresivitas dengan penghambat neurohormonal
(neurohormonal blocker) seperti ACE-inhibitor, Angiotensin Receptor Blocker atau
penyekat beta diutamakan di samping obat konvensional (diuretika dan digitalis).(5)
Gagal jantung sistolik adalah ketidak mampuan kontraksi jantung memompa sehingga
curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas
menurun dan gejala hipoperfusi lainnya.
Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel.
Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari
50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan doppler-ekokardiografi aliran darah mitral
dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis dan
pemeriksaan jasmani saja.
Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab
gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi atau iskemia. Di samping itu kongesti
sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diastolik tersebut dapat diperbaiki dengan
restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk
diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat
kalsium non-dihidropiridin.
2.
3.
Patofisiologi (9,6,8)
Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme
jaringan dan/atau kemampuannya hanya ada kalau disertai peninggian volume diastolik
secara abnormal. (6)
28 | L a p o r a n K a s u s
jantung)
Pemeriksaan Fisik
- Secara umum: gagal jantung ringan gejala kurang jelas, hanya tampak sesak pada
aktivitas yang berat. Gagal jantung berat: isi denyut nadi, takikardi, akral yang dingin,
-
kadang disertai sianosis. Dapat ditemukan berat badan yang turun atau kaheksia.
Tanda kongestif (dry/wet). Peningkatan JVP, hepatojugular refluks, S3, ronkhi
- Dapat ditemukan low voltage, T inversi, QS, depresi ST, kadang atrial fibrilasi.
- Membantu menunjukkan etiologi gagal jantung (infark, hipertrofi dll)
3. Laboratorium :
- Kimia darah (termasuk ureum, kreatinin, glukosa, elektrolit), Hb, Ht, leukosit,
-
trombosit,
Tes fungsi tiroid (ft4, TSH), tes fungsi hati (albumin, SGOT, SGPT, bilirubin),
jantung. Tetapi pada pasien dengan gagal ginjal dapat bernilai tetap lebih tinggi.
- Urinalisis: untuk mendeteksi gangguan ginjal.
4. Ekokardiografi
5. Treadmill test
Kriteria Diagnosis Gagal Jantung Kongestif Kriteria Framingham
Diagnosis ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor atau 2 kriteria
mayor dari Kriteria Framingham(1) :
Kriteria Major :
-
Kriteria Minor :
-
Edema ekstremitas
Batuk malam hari
Dispnea deffort
Hepatomegali
Efusi pleura
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
Takikardia (>120x/menit)
31 | L a p o r a n K a s u s
gagal jantung berat, jumlah cairan 1 liter pada gagal jantung berat dan 1,5 liter pada
gagal jantung ringan.
Hentikan rokok
Hentikan alkohol pada kardiomiopati. Batasi 20-30 g/hari pada yang lainnya.
Aktivitas fisik, tergantung beratnya gagal jantung (latihan jasmani : jalan 3-5
kali/minggu selama 20-30 menit atau sepeda statis 5 kali/minggu selama 20 menit
dengan beban 70-80% denyut jantung maksimal pada gagal jantung ringan dan
-
sedang)
Gagal jantung berat harus menghindari penerbangan panjang.
Vaksinasi terhadap infeksi influensa dan pneumokokus bila mampu.
Kontrasepsi non hormonal pada gagal jantung sedang dan berat, penggunaan hormon
Captopril : pemberian dimulai dengan dosis rendah 6,25 mg per oral 3 kali
sehari, dititrasi selama beberapa minggu sampai dosis yang efektif. Bila sudah
33 | L a p o r a n K a s u s
epitel yang sehat (terutama sel-sel di permukaan yang memproduksi mukus), tanpa meningkatkan aktivitas
proliferasi.(5)
Elemen kompleks yang melindungi mukosa gastroduodenal merupakan prostaglandin nen dogenous
yang di sintesis di mukosa traktus gastrointestinal bagian atas. COX (siklooksigenase) merupakan tahap
katalitikator dalam produksi prostaglandin. Sampai saat inidikenal ada dua bentuk COX, yakni COX-1 dan
COX-2. COX-1 ditemukan terutama dalam gastrointestinal, ginjal, endotelin, otak dan trombosit dan berperan
penting dalam pembentukan prostaglandin dari asam arakidonat. COX-2 pula ditemukan dalam otak dan
ginjal yang juga bertanggungjawab dalam respon inflamasi. Endotel vaskular secara terus-menerus
menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan
timbul vasokonstriksi sehingga aliran darah menurun dan menyebabkan nekrosis epitel.(1) Penghambatan
COX oleh NSAID ini lebih lanjut dikaitkan dengan perubahan produksi mediator inflamasi. Sebagai
konsekuensi dari penghambatan COX-2, terjadi sintesis leukotriene yang disempurnakan dapat terjadi oleh
shunting metabolisme asam arakidonat terhadap ipoxygenase jalur 5. Leukotrien yang memberikan kontribusi
terhadap cedera mukosa lambung dengan mendorong iskemia jaringan dan peradangan. Peningkatan ekspresi
molekul adhesi seperti molekul adhesi antar sel-1 oleh mediator pro-inflamasi seperti tumor necrosis factor-
mengarah ke peningkatan adheren dan aktivasi neutrofil-endotel.
Wallace mendalilkan bahwa pengaruh NSAID terhadap neutrofil adheren mungkin berkontribusi terhadap
patogenesis kerusakan mukosa lambung melalui dua mekanisme utama:
1. Oklusi microvessels lambung oleh microthrombi menyebabkan aliran darah lambungberkurang dan
kerusakan sel iskemik
2.
Meningkatkan pembebasan dari radikal bebas yang berasal oksigen. Oksigen radikal bebas bereaksi
dengan poli asam lemak tak jenuh dari mukosa menyebabkan peroksidasi lipiddan kerusakan jaringan.
NSAID tidak hanya merusak perut, tetapi dapat mempengaruhi saluran pencernaan seluruh dan dapat
menyebabkan berbagai komplikasi ekstrain testinal parah seperti kerusakan ginjal sampai gagal ginjal akut
pada pasien yang memiliki faktorrisiko, retensi natrium dan cairan, hipertensi arterial, dan, kemudian, gagal
jantung.(2)
Dari pemeriksaan Fisik didapatkan konjungtiva anemis. Hal ini menandakan pasien dalam keadaan
anemia.
MCV (56,4),
MCH 16,0 dan MCHC 28,3. Pada pasien ini terjadi anemia mikrositik hipokromik. Mikrositik berarti
kecil, hipokrom berarti mengandung hemoglobin dalam jumlah yang kurang dari normal. Hal ini umumnya
menggambarkan insufisiensi sintesis hem (besi), seperti pada anemia defisiensi besi, keadaan sideroblastik dan
kehilangan darah kronik, atau gangguan sintesis globin, seperti pada talasemia. Defisiensi besi merupakan
penyebab utama anemia di dunia. Penyebab defisiensi besi adalah: (1)asupan besi yang tidak cukup misalnya
pada bayi yang diberi makan susu belaka sampai usia antara 12-24 bulan dan pada individu tertentu yang
34 | L a p o r a n K a s u s
hanya memakan sayur- sayuransaja;(2)gangguan absorpsi seperti setelah gastrektomi dan (3)kehilangan
darah yang menetap seperti pada perdarahan saluran cerna yang lambat karena polip, neoplasma, gastritis
varises esophagus, konsumsi aspirin, NSAID dan hemoroid. Dalam keadaan normal tubuh orang dewasa
rata-rata mengandung 3 sampai 5 gram besi,bergantung pada jenis kelamin dan besar tubuhnya. Hampir dua
pertiga besi terdapat dalam hemoglobin yang dilepas pada proses penuaan serta kematian sel dan diangkut
melalui transferrin plasma ke sumsum tulang untuk eritropoiesis. Dengan kekecualian dalam jumlah yang
kecil dalam mioglobin (otot) dan dalam enzim-enzim hem, sepertiga sisanya disimpan dalam hati, limpa dan
dalam sumsum tulang sebagai feritin dan sebagai hemosiderin untuk kebutuhan-kebutuhan lebih lanjut.
Walaupun dalam diet rata-rata terdapat 10 - 20 mg besi, hanya sampai 5% - 10% (1 - 2mg) yang sebenarnya
sampai diabsorpsi. Pada persediaan besi berkurang maka besi dari diet tersebut diserap lebih banyak. Besi
yang dimakan diubah menjadi besi fero dalam lambung dan duodenum; penyerapan besi terjadi pada
duodenum dan jejunum proksimal. Kemudian besidiangkut oleh transferin plasma ke sumsum tulang untuk
sintesis hemoglobin atau ke tempat penyimpanan di jaringan. Selain tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh
anemia, penderita defisiensi besi yangberat (besi plasma lebih kecil dari 40 mg/ 100 ml; Hb 6 sampai 7 g/100
ml) mempunyai rambutyang rapuh dan halus serta kuku tipis, rata, mudah patah dan sebenarnya berbentuk
seperti sendok (koilonikia). Selain itu atropi papilla lidah mengakibatkan lidah tampak pucat, licin, mengkilat,
merah daging, dan meradang dan sakit. Dapat juga timbul stomatitis angularis, pecah-pecah dengan
kemerahan dan rasa sakit di sudut-sudut mulut. Pemeriksaan darah menunjukkan jumlah sel darah merah
normal atau hampir normal dan kadar hemoglobin berkurang. Pada sediaan hapus darah perifer, eritrosit
mikrositik dan hipokrom disertain poikilositosis dan aniositosis. Jumlah retikulosit mungkin normal atau
berkurang. Kadar besi berkurang walaupun kapasitas meningkat besi serum meningkat. Penatalaksanaan pada
pasien gastropati NSAID, terdiri dari non-mediamentosa dan medikamentosa. Pada terapi non-medikametosa,
yakni berupa istirahat, diet dan jika memungkinkan, penghentian penggunaan NSAID. Secara umum, pasien
dapat dianjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasil atau ada komplikasi baru dianjurkan rawat inap
dirumah sakit. Pada pasien dengan disertai tukak, dapat diberikan diet lambung yang bertujuan
untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya yang tidak memberatkan lambung, mencegah dan
menetralkan asam lambung yang berlebihan serta mengusahakan keadaan gizi sebaik mungkin. Adapun
syarat diet lambung yakni:
a) Mudah cerna, porsi kecil, dan sering diberikan.
b) Energi dan protein cukup, sesuai dengan kemampuan pasien untuk menerima
c) Rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang ditingkatkan secara bertahap hingga
sesuai dengan kebutuhan.
d) Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap.
e) Cairan cukup, terutama bila ada muntah
35 | L a p o r a n K a s u s
f) Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara termis, mekanis,maupun kimia
(disesuaikan dengan daya terima perseorangan)
g) Laktosa rendah bila ada gejala intoleransi laktosa; umumnya tidak dianjurkan minum susuterlalu banyak.
h) Makan secara perlahan
i) Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-48 jam untuk memberikan istirahat
pada lambung. Evaluasi sangat penting karena sebagian besar gastropati NSAID ringan dapat sembuh
sendiri walaupun NSAID tetap diteruskan. Antagonis reseptor H2 (ARH2) atau PPI dapat mengatasi
rasa sakit dengan baik. Pasien yang dapat menghentikan NSAID, obat-obat tukak seperti golongan
sitoproteksi, ARH2 dan PPI dapat diberikan dengan hasil yang baik. Sedangkanpasien yang tidak
mungkin menghentikan NSAID dengan berbagai pertimbangan sebaiknyamenggunakan PPI. Mereka
yang mempunyai factor risiko untuk mendapat komplikasi berat,sebaiknya dberikan terapi pencegahan
mengunakan PPI atau analog prostaglandin.
Presentasi klinis tukak gastroduodenal pada pemakai OAINS bervariasi dari asimtomatik sampai peritonitis
difusa karena perforasi. Kematian akibat toksisitas OAINS pada saluran cernabagian atas mencapai 1,3-1,6%
pertahun. Pemakaian OAINS harus dihentikan bila pasienmempunyai efek samping tukak gastroduodenal.
Pemberian sukralfat tidak berbeda denganplasebo, sedangkan penghentian OAINS bersama-sama pemberian
H2RA selama 8 minggu dapat menyembuhkan tukak hampir pada 100% kasus. Pada situasi tertentu
pemakaian OAINS non selektif sulit untuk dihentikan. Beberapa penelitian memperlihatkan bahwa PPI
maupun prostaglandin analog mempunyai hasil yang lebih baik dibanding H2RA untuk mengatasi
tukak gastro duodenal yang disebabkan OAINS konvensional walaupun pemberian OAINS tetap
dilanjutkan. Agrawal dkk melaporkan ada perbedaan yang signifikan dalam penyembuhan tukak gaster dari
pasien yang mendapat ranitidin dan lansoprazol yaitu masing-masing sebanyak 53% dan 73% dari kasus
yang diobati. Peneliti lain melaporkan pada penderita dengan tukak duodenum karena OAINS dan tetap
meneruskan pemakaian OAINS-nya dengan pemberian PPI (omeprazol 20mg od) selama 8 minggu
penyembuhan terjadi pada 93% kasus dari yang diobati, sedangkan dengan prostaglandin analog (misoprostol
200 mg qid) penyembuhan hanya ditemukan pada 77% kasus.
lalu. Penelitian pada 51 penderita anemia akibat ankilostomiasis dengan kadar Hb berkisar
antara 1.5 hingga 6.5 g/dL, yang dialami selama 4 bulan berturut-turut, menemukan bahwa
80% diantaranya mengalami pembesaran jantung. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa
stroke volume lebih dekat hubungannya terhadap cardiac output dibandingkan takikardia dan
peningkatan aliran darah.18 Studi lainnya memperlihatkan adanya peningkatan cardiac output
bila kadar Hb < 7 g/dL.17-23 Penelitian pada 36 anak penderita SCA berusia 2 hingga 17
36 | L a p o r a n K a s u s
tahun dengan kadar Hb antara 3.6 hingga 10.8 g/dL, mendapatkan 32 anak mengalami
pembesaran jantung. Penelitian yang dilakukan pada ADB dengan Hb < 6 gr/dL mendapatkan
penderita anemia berat mengalami peningkatan indeks jantung yang bermakna. Proses
penghantaran oksigen ke organ atau jaringan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu :
1) faktor hemodinamik berupa cardiac output serta distribusinya
2) kemampuan pengangkutan oksigen dalam darah yaitu konsentrasi Hb
3) oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri dan vena.
Kapasitas penghantaran oksigen akan menurun bila kadar Hb < 7 g/dL. Prinsip Fick
menyatakan bahwa cardiac output sebanding dengan konsumsi oksigen oleh jaringan dan
berbanding terbalik dengan perbedaan kandungan oksigen antara arteriovenus. Kadar Hb
merupakan faktor penentu dari perbedaan kandungan oksigen arteriovenus. Pada saat kadar
Hb rendah, cardiac output akan meningkat untuk mencukupi kebutuhan oksigen jaringan.
Cardiac output tergantung pada kapasitas fungsional jantung. Rentang normal dari cardiac
output bervariasi sesuai dengan berat badan pasien, sehingga cardiac index lebih sering
digunakan. Cardiac index adalah cardiac output dibagi dengan luas permukaan tubuh pasien
(nilai normal cardiac index adalah 2.6 4.2 L/menit/m2). Anemia akan menginduksi
terjadinya mekanisme kompensasi terhadap penurunan konsentrasi Hb. Mekanisme
kompensasi ini bersifat hemodinamik dan nonhemodinamik. Mekanisme kompensasi
hemodinamik bersifat kompleks, yang meliputi
1. Penurunan afterload akibat penurunan resistensi vaskular
2. Peningkatan preload akibat peningkatan venous return
3. Peningkatan fungsi ventrikel kiri akibat peningkatan aktivitas simpatis dan faktor-faktor
inotropik.
Kombinasi ketiganya akan meningkatkan kerja jantung pada anemia kronis. Hukum FrankStarling menyatakan, energi kontraksi sebanding dengan panjang awal serat otot jantung.
Sehingga dengan diregangnya otot, timbul peningkatan tegangan sampai maksimal dan
kemudian menurun dengan makin bertambahnya regangan. Pada keadaan fisiologis semakin
besar volume ventrikel selama diastolik, semakin teregang serat jantung sebelum stimulasi,
dan akan semakin besar pula kekuatan kontraksi berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa,
peningkatan ventricular output berhubungan dengan preload (peregangan serat-serat
miokardium sebelum kontraksi). Cardiac output dipengaruhi oleh stroke volume dan
frekuensi jantung. Ventricular stroke volume dipengaruhi oleh preload, afterload dan
37 | L a p o r a n K a s u s
kontraktilitas miokardium. Stroke volume akan meningkat bila terjadi peningkatan preload,
penurunan afterload, atau peningkatan kontraktilitas.
Kompensasi nonhemodinamik terhadap anemia akan berperan pada saat kadar Hb <
10 g/dL. Kompensasi ini berupa peningkatan produksi eritropoetin untuk merangsang
eritropoesis dan peningkatan oxygen extraction. Bukti terkini membuktikan bahwa kadar Hb
> 12g/dL, dianggap paling optimal untuk mempertahankan kesehatan jantung dan kualitas
hidup, khususnya pada pasien yang sebelumnya tidak menunjukkan gejala klinis adanya
penyakit jantung. Manifestasi klinis pada pasien dengan anemia berat kronis akan terlihat
jelas bila pasien mengalami gagal jantung kongestif. Pasien biasanya mengalami pucat, bisa
terlihat kuning, denyut jantung saat istirahat cepat, prekordial aktif dan dapat terdengar desah
sistolik. Setiap
terjadinya dilatasi ventrikel kiri, disfungsi sistolik, gagal jantung kongestif, kejadian gagal
jantung berulang dan kematian. Suatu kohort prospektif mendapatkan bahwa waktu median
yang diperlukan disfungsi ventrikel untuk berkembang menjadi gagal jantung adalah 19
bulan. Lamanya waktu median penderita dengan disfungsi ventrikel untuk bertahan hidup
adalah 38 bulan. Anemia yang terjadi dalam jangka panjang dapat menyebabkan pembesaran
ventrikel kiri maladaptif, dekompensasi jantung, gagal jantung serta kematian. Suatu
penelitian mengenai perubahan hemodinamik pada anemia berat dengan konsentrasi Hb <
6.5 g/dL yang dialami selama minimal 4 bulan, menunjukkan terjadinya perbaikan
hemodinamik setelah koreksi dari anemia. Pada tahun 1927, telah dilaporkan seorang
penderita infeksi cacing tambang dengan Hb 2.9 g/dL yang memiliki rasio jantung toraks
(RJT) sebesar 62%. Ukuran jantung kembali normal dengan RJT 49% ketika Hb meningkat
menjadi 14.6 g/dL. Pada tahun 1931, dilakukan penelitian pertama dengan bantuan
roentgenogram memperlihatkan hilangnya pembesaran jantung dengan perbaikan anemia.
Hubungan
Perubahan
Fungsi
Sistolik
dan
Dilatasi
Ventrikel
Kiri
dengan
tergantung pada afterload dan kontraktilitas. Hal ini dapat diterangkan dengan lebih jelas
dalam kurva Frank-Starling (Gambar 2.1).
dinding, serta berbanding terbalik dengan ketebalan dinding. Hal ini merupakan respon
fisiologis terhadap kelebihan cairan dengan dilatasi ventrikel kiri. Akibatnya akan terjadi
dilatasi ventrikel terutama peningkatan tekanan dinding jantung, yang mengakibatkan
peningkatan konsumsi oksigen dan percepatan kerusakan miosit. Pada tahap ini terjadi
dilatasi progresif dari dinding ventrikel kiri menebal yang disebut eccentric hipertrofi.
Hipertrofi ini merupakan mekanisme adaptasi untuk melindungi jantung dari peningkatan
tahanan dinding jantung. Data longitudinal menunjukkan bahwa risiko dari penyakit jantung
iskemik, gagal jantung, dan kematian meningkatkan secara progresif. Risiko terendah
dijumpai pada pasien dengan hipertrofi konsentrik ventrikel kiri. Risiko medium dijumpai
pada pasien dengan dilatasi ventrikel kiri dengan fungsi sistolik yang intak, dan risiko tinggi
39 | L a p o r a n K a s u s
dijumpai pada pasien dengan disfungsi sistolik. Penelitian ini menyimpulkan bahwa anemia
sebagai predisposisi terjadinya dilatasi ventrikel kiri dengan kompensasi hipertrofi yang dapat
mengakibatkan disfungsi sistolik. Gagal jantung merupakan komplikasi serius dari anemia.
Etiologi dari gagal jantung secara garis besar dibagi menjadi tiga kelompok yaitu
1) Kegagalan kontraktilitas
2) Peningkatan afterload
3) Kegagalan pengisian ventrikel.
Gagal jantung yang disebabkan oleh abnormalitas pengosongan ventrikel, baik yang
disebabkan oleh kegagalan kontraktilitas atau afterload yang berlebihan disebut sebagai
disfungsi sistolik. Sedangkan gagal jantung yang disebabkan oleh abnormalitas relaksasi
diastolik atau pengisian ventrikel disebut disfungsi diastolik. Sekitar dua pertiga dari pasienpasien dengan gagal jantung mengalami disfungsi sistolik, yang diawali dengan disfungsi
diastolik Sebagian besar disfungsi jantung disebabkan oleh abnormalitas dari jantung kiri.
Sehingga evaluasi klinis dari fungsi jantung, terutama dinilai dari fungsi ventrikel kiri. Fungsi
pompa dari ventrikel kiri tergantung pada kemampuannya untuk mengisi (fungsi diastolik)
dan mengosongkan (fungsi sistolik). Fungsi sistolik ventrikel kiri dapat diukur sebagai fraksi
ejeksi ventrikel kiri. Penelitian sebelumnya melaporkan fungsi ventrikel kiri yang normal
pada pasien dengan anemia berat kronis, sementara penelitian lainnya memperlihatkan
adanya derajat disfungsi ventrikel kiri yang bervariasi dengan penurunan yang bermakna dari
fractional shortening dan abnormal interval waktu sistolik. Hingga saat ini, belum ada
konsensus yang menyatakan apakah kontraktilitas otot jantung disebabkan oleh anemia berat
yang lama atau terganggu oleh proses kelebihan cairan yang kronis. Dua dekade lalu, analisa
kontraktilitas miokardium menggunakan hubungan antara LV end-systolic wall stress (ESSm)
dan rate-corrected velocity of circumferential fiber shortening (VCFc). Hubungan ini tidak
tergantung oleh preload, frekuensi jantung, dan afterload. Sehingga dapat merefleksikan
secara akurat kontraktilitas miokardium. Suatu penelitian pada 57 anak dengan SCA yang
berusia 1 hingga 18 tahun menunjukkan, bahwa pasien anemia memiliki corrected ejection
time (ETc) yang lebih lama serta nilai FS dan VCFc yang lebih rendah dibandingkan anak
sehat. Evaluasi kerja miokardium yang tidak tergantung kepada beban, dengan menggunakan
hubungan antara ESSm-VCFc memperlihatkan penurunan kontraktilitas miokardium pada
anemia.
Peningkatan derajat anemia berbanding lurus dengan peningkatan LV systolic dan diastolic
dimensions. Secara khusus, terdapat korelasi negatif antara kadar hemoglobin dan Z score
40 | L a p o r a n K a s u s
dari LV end-diastolic dimension (LVEDD) dengan r= -0.6. Indeks fungsi ventrikel yang
tergantung kepada beban (%FS, VCFc, ETc) tidak secara langsung dipengaruhi oleh usia
pasien, peningkatan tingkat keparahan atau lamanya anemia. Seperti halnya indeks
kontraktilitas, yaitu hubungan antara ESSm-VCFc, juga tidak dipengaruhi usia pasien atau
peningkatan tingkat keparahan dari anemia. Karena tingkat keparahan anemia jangka panjang
tidak dapat diwakili secara sesuai dengan nilai hemoglobin yang tunggal, maka diperlukan
penilaian terhadap dilatasi ventrikel (LVEDD Z-score), yang lebih efektif dalam menilai
tingkat keparahan anemia yang kronis. Beberapa penelitian terdahulu melaporkan fungsi
ventrikel kiri yang normal pada pasien-pasien dengan anemia berat kronis. Sementara
penelitian lainnya menunjukkan disfungsi ventrikel kiri dengan derajat yang bervariasi
dengan penurunan fractional shortening atau waktu interval sistolik yang abnormal. Pada
disfungsi sistolik, terdapat hilangnya kapasitas dari ventrikel terhadap darah yang
dipompakan karena kegagalan kontraktilitas miokardium atau tekanan yang berlebihan
(contohnya afterload yang berlebihan). Pada penelitian ekokardiografi sebelumnya yang
menilai fungsi ventrikel kiri pada pasien SCA, kontraktilitas dievaluasi
dengan
menggunakan indeks fase ejeksi yaitu fractional shortening (FS), ejection fraction (EF),
velocity of circumferential fiber shortening (VCFc), atau interval waktu sistolik. Pengukuranpengukuran ini sangat tergantung dan dipengaruhi kondisi miokardium dan frekuensi jantung,
dimana keduanya abnormal pada pasien SCA. Idealnya, untuk membedakan antara disfungsi
ventrikel inheren dan efek dari kondisi yang mengakibatkan perubahan beban jantung, maka
kontraktilitas miokardium seharusnya dievaluasi dengan menggunakan indeks fungsi
ventrikel yang tidak tergantung kepada beban.
2.5 Analisis
Sindrom dyspepsia
organic e.c tukak
peptic e.c drug
induced e.c NSAID
Faktor Lain
Anemia Gravis
Gagal jantung
Efek langsung
Pemberat
41 | L a p o r a n K a s u s
Anemia pada pasien tersebut adalah anemia yang disebabkan karna sindrom dyspepsia
organic akibat penggunaan obat NSAID dalam jangka waktu lama. Perdarahan mukosa
lambung pasien tersebut sudah terjadi cukup lama dalam jumlah yang cukup sehingga
menyebabkan Hb terakhir pasien 3,00 g/dL. Gejala yang dialami pasien berupa cepat lelah
dan mata menjadi kabur ketika beraktifitas merupakan manifestasi klinik dari anemia gravis
tersebut. Pasien baru mengeluhkan gejala tersebut karena usaha kompensasi tubuh tidak dapat
lagi mengkompensasi rendahnya kadar Hb pasien.
Pada kasus ini pasien dapat terjadi 2 mekanisme gagal jantung kongestif.
1. Gagal jantung kongestif yang di akibatkan karena anemia gravis yang diderita pasien
tersebut.
2. Perburukan gagal jantung kongestif yang sudah ada sebelumnya akibat anemia yang
diderita pasien
Dari anamnesis serta pemeriksaan tambahan, penulis menganalisis bahwa gagal jantung yang
di derita pasien tersebut merupakan gagal jantung kongestif yang sedah ada dan memburuk
akibat anemia yang diderita pasien. Dilihat dari gejala anemia pada pasien, peurunan Hb
sampai tingkat critical 3 bulan terakhir, sedangkan menurut penelitian-penelitian yang
dilakukan dengan Hb yang sangat rendah dalam jangka waktu yang lama (> 4 bulan) baru
dapat mengakibatkan gangguan pada jantung penderita anemia. Dari hasil pemeriksaan fisik
menunjukan adanya distensi vena leher, menunjukan adanya perjalanan penyakit dalam
waktu lama/kronik. Dari hasil foto torak, menunjukan pembesaran jantung yang sangat
progresif dalam waktu yang sangat singkat menunjukan tidak hanya anemia pasien yang
menjadi faktor penyebab. Oleh karena hal tersebut menurut penulis gagal jantung yang
diderita pasien sudah ada sejak pasien tersebut belum menderita sindrom dyspepsia dan
anemia, dan anemia gravis hanya merupakan faktor yang memperberat gagal jantung pasien
sehingga akhirnya gejala klinis gagal jantung tersebut muncul akibat fungsi jantung yang
semakin menurun.
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus anemia gravis dengan penyakit jantung kongestiv pada
seorang laki-laki usia 39 tahun. Laki-laki ini didiagnosis anemia berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium. Dari pemeriksaan tersebut diperoleh hasil yang
mendukung terhedap penegakan diagnosis anemia. Selain anemia pasien juga terdiagnosis
gagal jantung kongestif sesuai dengan pemeriksaan yang dilakukan foto torak dan USG,
hasilnya memenuhi beberapa kriteria Framingham untuk gagal jantung kongestif. Dari
runtutan gejala hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik, diduga factor yang menyebabkan
42 | L a p o r a n K a s u s
timbulnya anemia dan berlanjut pada gagal jantung kongestif adalah perdarahan saluran cerna
pasien yang sudah terjadi dalam waktu yang lama. berhubungan dengan riwayat konsumsi
beberapa obat OAINS perdarahan lambung semakin dapat terjadi . Hal ini yang diduga
menyebabkan anemia berat kronis, selah satu kompensasi tubuh adalah meningkatkan kerja
jantung untuk memenuhi kebutuhan nutrisi jaringan, kerja jantung yang berlebihan dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan gagall jantung.
Beberapa penanganan sudah di berikan, diharapkan proses pemulihan dapat terjadi. Pasien
menjalani perawatan di RS selama
keluhan sudah teratasi. Selama proses pengobatan pasien di berikan transfuse sebanyak 4 bag
dan terjadi perubahan Hb dari 3,0 g/dL menjadi 9 g/dL. Factor yang diduga sebagai penyebab
sudah ditangani pasien dipulangkan dengan kondisi yang lebih baik dan disarankan untuk
control rutin poli IPD.
DAFTAR PUSTAKA
9.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31263/4/Chapter%20I.pdf
(diakses
(diakses
44 | L a p o r a n K a s u s