Anda di halaman 1dari 16

Nama :

Agatha Nike Primarini W.M

NPM : 17376

Artikel mengenai Bank sebagai Agent of Trust


KEPERCAYAAN NASABAH TERHADAP KARTU KREDIT BANK LOKAL
MENINGKAT
Adanya tren peningkatan loyalitas nasabah
perbankan di sektor konsumer ini merupakan awal
yang baik bagi industri perbankan dan keuangan di
Indonesia pada 2010. Farid Subkhan
Pada 2010 terdapat perubahan lanskap persaingan di
industri kartu kredit secara signifikan. Jika pada
tahun-tahun sebelumnya jawara loyalitas pengguna
kartu kredit didominasi bank asing, seperti Citibank
dan The Hongkong and Shanghai Banking
Corporation (HSBC), pada 2010 indeks loyalitas
pengguna kartu kredit paling tinggi diraih Bank
Mandiri, bank terbesar di negeri ini.
Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas manajemen kartu kredit Bank Mandiri dalam
menciptakan kegiatan loyalty program yang efisien mulai membuahkan hasil yang
menggembirakan.
Posisi kedua untuk indeks loyalitas pengguna kartu kredit ditempati BCA dan posisi ketiga
Citibank. Keberadaan Bank Mandiri dan BCA sebagai bank lokal yang mengalami peningkatan
loyalitas pengguna kartu secara signifikan menunjukkan adanya daya saing dan kepercayaan
nasabah yang makin meningkat terhadap produk kartu kredit yang diterbitkan bank lokal.
Pada produk tabungan bank syariah (IB), dimensi partnership dan relationship memiliki
pengaruh yang hampir sama kuat terhadap indeks loyalitas nasabah, yaitu masing-masing 37,6%
dan 36,7%.
Adapun dimensi transaction memberikan kontribusi 25,7% terhadap indeks loyalitas nasabah
tabungan syariah (IB) secara keseluruhan.
Dengan demikian, setrategi meningkatkan barrier bagi nasabah untuk meninggalkan bank dan
menciptakan program retensi bagi pelanggan sama-sama memiliki makna yang sangat penting
dalam menjaga dan meningkatkan loyalitas nasabah tabungan IB diikuti oleh upaya peningkatan
kepuasan nasabah.
Posisi para champion IBLI 2010 untuk kategori tabungan syariah (IB) sama persis dengan posisi
para champion IBLI 2009, yaitu di posisi pertama adalah Bank Muamalat Indonesia, diikuti
Bank Syariah Mandiri diposisi kedua dan BNI Syariah di posisi ketiga.
1

Semua bank syariah yang ada di Indonesia menunjukkan adanya peningkatan loyalitas nasabah
yang cukup signifikan. Hal ini tentu cukup menggembirakan bagi dunia perbankan di Indonesia,
termasuk Bank Indonesia (BI) yang saat ini memiliki agenda besar untuk menjadikan bank
syariah sebagai bank alternatif pilihan nasabah dan diharapkan memberikan kontribusi yang
lebih besar dalam menumbuhkan perekonomian nasional, terutama pada sektor riil.
Adapun untuk kategori loyalty program, pada IBLI 2010 ini kami melakukan modifikasi
metodologi dalam pengukuran indeksnya. Pada IBLI 2009 indeks loyalty program diukur
berdasarkan awareness nasabah secara spontan terhadap program loyalitas nasabah yang
dilakukan bank, kemudian tingkat penggunaannya, serta dampaknya terhadap peningkatan
loyalitas nasabah.
Dengan pendekatan tersebut, banyak bank yang tidak dapat dinilai efektivitas loyalty programnya karena nasabah enggan memberikan penilaian.
Dalam IBLI 2010 pengukuran indeks loyalty program lebih disederhanakan dengan mengukur
awareness nasabah terhadap program loyalitas nasabah yang dimiliki bank, baik secara spontan
maupun dibantu, serta tingkat partisipasi nasabah dalam memanfaatkan program tersebut.
Jenis program loyalitas nasabah yang diukur di antaranya adalah hadiah langsung pada saat
aplikasi, program point reward, program diskon, cash back, penawaran barang, pemberian
fasilitas khusus, kegiatan temu nasabah, dan seminar.
Untuk kategori tabungan konvensional, indeks loyalty program tertinggi diraih BRI, diikuti BCA
dan Bank Mandiri, sedangkan pada produk kartu kredit diraih BCA diikuti HSBC dan Bank
Mandiri.
Untuk kategori produk tabungan syariah (IB), indeks loyalty program tertinggi diraih Bank
CIMB Niaga Syariah diikuti Bank Syariah Mandiri dan Bank Muamalat Indonesia.
Adanya tren peningkatan loyalitas nasabah perbankan di sektor konsumer ini merupakan awal
yang baik bagi industri perbankan dan keuangan di Indonesia pada 2010.
Perbaikan kondisi perekonomian pada kuartal keempat 2009 diestimasikan telah mampu
meningkatkan DPK perbankan menjadi lebih dari Rp1.900 trilliun pada akhir Desember 2009
dan sekitar Rp2.188 trilliun pada akhir 2010.
Di samping itu, pertumbuhan berbagai sektor riil, seperti properti, otomotif, perdagangan,
pengangkutan, dan dunia usaha, akan mendorong penyerapan kredit dari sektor perbankan
dengan angka pertumbuhan hingga mencapai 10%-20%.
Sumber : infobanknews.com, diposting 20 Januari 2010.

Artikel mengenai Bank sebagai Agent of Development


PERAN BANK INDONESIA
DALAM PEMELIHARAAN KESTABILAN SEKTOR KEUANGAN
Tulisan ini akan lebih memfokuskan mengenai betapa pentingnya stabilitas sistem keuangan dan
strategi pencapaiannya. Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas
utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem
keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga
stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam
mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas
keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki
dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan
merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan
salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem
keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,
ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan
akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa
stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.
Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem
keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga
stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam
menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:
Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui
instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu
menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan
stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi. Kebijakan
moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan
kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas
moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting
framework.
Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang
sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui
mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan
memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini
dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah
terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah
ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat
kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada
menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem
keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan
untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap
3

sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank
Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.
Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem
pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem
sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu
kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat
menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank
Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem
pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem
pembayaran yang bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross
Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran.
Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian
untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.
Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses
informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara
macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi
potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset,
Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk
mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan
menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk
meredam gangguan dalam sektor keuangan.
Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui
fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran
tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari
terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan
likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang
menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik.
Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan
likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam
menjalankan fungsinya sebagai LoLR, Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral
hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus
diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

Peran bank sentral sebagai otoritas moneter


Peran bank sentral dalam perekonomian suatu negara sangat penting. Bank sentral adalah mitra
utama pemerintah dalam menggerakkan berbagai kegiatan ekonomi melalui kebijakan suku
bunga dengan statusnya sebagai otoritas moneter. Sebagai otoritas moneter, bank sentral
memiliki tujuan, tugas, maupun wewenang yang tidak dimiliki lembaga ekonomi lainnya.
Sebelum membahas mengenai beberapa hal terkait otoritas moneter yang dimiliki oleh Bank
Indonesia, maka perlu diketahui terlebih dahulu mengenai definisi dari kebijakan moneter dan
otoritas moneter itu sendiri. Dalam kamus hukum ekonomi yang disusun oleh A. F. Elly
Erawaty dan J. S. Badudu dikatakan bahwa kebijakan moneter (monetary policy) adalah tindakan
bank sentral selaku pemegang otoritas moneter dalam menjaga keseimbangan moneter negara.
4

Sedangkan otoritas moneter adalah suatu entitas yang memiliki wewenang untuk mengendalikan
jumlah uang yang beredar pada suatu negara dan memiliki hak untuk menetapkan suku bunga
dan parameter lainnya yang menentukan biaya dan persediaan uang. Umumnya otoritas moneter
adalah bank sentral, meskipun kadang kala lembaga eksekutif pemerintah mempunyai hak
tertinggi untuk menetapkan kebijakan moneter dengan cara mengendalikan bank sentral. Ada
berbagai jenis otoritas moneter lainnya, seperti dibentuknya satu bank sentral untuk beberapa
negara, terdapatnya suatu dewan yang mengkontrol jumlah uang yang beredar terhadap mata
uang lain, dan juga diperbolehkannya beberapa entitas untuk mencetak uang kertas ataupun uang
logam.
Agus Santoso dan Anton Purba mengatakan dalam tulisannya yang berjudul Kedudukan Bank
Indonesia dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (Amandemen Keempat) dan
Usulan Komisi Konstitusi dalam Konsep Amandemen Kelima UUD Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 bahwa kewenangan otoritas moneter yang dimiliki Bank Indonesia merupakan hasil
dari sharing of executive power kekuasaan Pemerintah di bidang ekonomi. Sharing of executive
power ini dimaksudkan untuk menghindarkan Bank Indonesia dari posisi yang dapat
menimbulkan conflict of interest, yaitu antara agen program Pemerintah dan pengelola
kebijakan moneter. Kedua fungsi tersebut memang tidak dapat dilakukan oleh satu lembaga,
karena kedua fungsi tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Disatu sisi, Pemerintah memiliki
tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi berdasarkan kebijakan fiskal dan dilain pihak
Bank Indonesia memiliki tujuan untuk mendukung kestabilan ekonomi melalui kebijakan
moneternya. Dengan demikian, pembagian kekuasaan (sharing of executive power) ini pada
dasarnya dimaksudkan untuk mendukung terciptanya demokratisasi dalam pengelolaan
(ekonomi) Negara.
Dalam konsep sharing of executive power ini, maka Pemerintah memegang otoritas fiskal (dan
sektor riil), sedangkan Bank Indonesia sebagai lembaga Negara yang memliki fungsi khusus,
yaitu sebagai otoritas di bidang moneter, perbankan, dan system pembayaran, dengan tujuan
menkonstruksikan pertumbuhan ekonomi nasional yang sehat yang tercermin dari terjaganya
kestabilan rupiah. fungsi ini diyakini tidak dapat berjalan dengan baik apabila tercampur dengan
ragam fungsi departemental pemerintahan yang sarat dengan tarik menarik kepentingan politik
dan seringkali berubah karena mengandung faktor subyektifitas yang tinggi.
Dengan demikian, maka dengan adanya sharing of executive power ini, kekuasaan Pemerintah
dalam kebijakan ekonomi tidak terkonsentrasi. Hal ini juga secara tegas tercantum dalam Pasal 6
ayat (2) huruf d Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara yang
mengatur bahwa kekuasaan Presiden selaku Kepala Pemerintahan tidak termasuk kewenangan
di bidang moneter, yang meliputi antara lain mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur
dengan undang-undang.
Namun, sebagai organ of state Bank Indonesia dalam beberapa hal harus tetap berkoordinasi
dengan Pemerintah. Dengan kata lain, hubungan ini dapat digambarkan sebagai fungsi
pengelolaan moneter yang tidak berada di bawah pengelolaan kebijakan fiskal, tetapi yang
terpisah, namun tetap bekerjasama dengan pengelola fiskal untuk memperoleh manfaat yang
semaksimal mungkin dalam pembangunan ekonomi nasional.
5

Pemulihan Kondisi Perekonomian Nasional


Pada dasarnya, program stabilisasi dan reformasi ekonomi tersebut difokuskan untuk mengatasi
permasalahan utama perekonomian yang sangat mendesak pada saat krisis, yaitu:
Di bidang moneter dan fiskal dilakukan upaya yang sungguh-sungguh dan konsisten untuk
meredam tekanan laju inflasi dan gejolak nilai tukar. Kestabilan harga dan nilai tukar rupiah
merupakan prasyarat pokok yang harus dicapai, agar upaya pemulihan ekonomi secara
keseluruhan dapat dilakukan. Selanjutnya, dengan keadaan moneter yang stabil maka suku bunga
dapat turun kembali ke tingkat yang normal sehingga dapat membantu kebangkitan kembali
dunia usaha. Dalam kaitan itu, kerangka kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada
pencapaian sasaran moneter yang menjamin agar ekspansi kegiatan usaha dapat berlangsung
dalam kondisi ekonomi yang tetap mantap, laju inflasi yang relatif rendah, serta posisi neraca
pembayaran yang sehat. Untuk itu, kebijakan moneter diupayakan untuk mencapai nilai tukar
yang sesuai dengan realistis, jumlah uang yang beredar sesuai dengan kebutuhan riil
perekonomian, dan suku bunga yang wajar.
Sementara itu disisi fiskal, untuk mendukung efektivitas pemerintah secara terus-menerus
melakukan berbagai langkah konsolidasi di bidang fiskal melalui peningkatan disiplin anggaran
dengan melakukan penghematan atas belanja negara.
Kemudian, di bidang Perbankan, upaya restrukturisasi dan penyehatan perbankan menjadi hal
yang sangat penting dalam perkembangan ekonomi. Oleh karena itu, upaya pemulihan kondisi
perbankan melalui restrukturisasi merupakan salah satu kunci bagi keberhasilan usaha perbaikan
ekonomi saat ini maupun di masa yang akan datang.
Yang terakhir yakni masalah penyelesaian utang kepada kreditur dalam dan luar negeri. Ini
merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan pemulihan ekonomi Indonesia karena di
satu pihak hal tersebut terkait langsung dengan kepercayaan luar negeri terhadap perekonomian
dan dunia usaha Indonesia. Agar dari pihak luar negeri maupun pihak swasta akan kembali
membuka akses ke sumber-sumber pembiayaan luar negeri.
Stabilitas Sektor Keuangan Indonesia
Stabilitas keuangan merupakan hal yang mutlak dimiliki untuk mempertahankan pertumbuhan
ekonomi yang positif di tengah krisis global. Berkaca pada pengalaman pahit krisis Asia tahun
1997/1998 telah mendorong otoritas dan pelaku sektor keuangan Indonesia lebih memperhatikan
stabilitas sektor keuangan. Yakni dengan melakukan dukungan pembiayaan ekonomi yang telah
meningkat secara signifikan sehingga memberikan landasan kondusif bagi perekonomian
domestik.
Namun demikian, Indonesia tidak sepenuhnya dapat terhindar dari imbas krisis. Keketatan kredit
global pada bulan September 2008 telah mempengaruhi stabilitas pasar keuangan domestik,
ditandai oleh anjloknya IHSG (lihat grafik) dan turunnya SUN secara signifikan. IHSG terpuruk
pada bulan September 2008 hingga Februari 2009. Namun kemudian bangkit kembali dan dapat
6

bertengger di level Rp 2.323,24,- pada bulan Agustus 2009. Pengaruh goncangan global yang
terjadi pada bulan September 2008 memang memberi dampak yang signifikan pada stabilitas
keuangan di dalam dan di luar negeri. Pada saat itu, sejumlah perusahaan besar dunia ikut
ambruk, termasuk perusahaan perkreditan rumah Fannie Mae dan Freddie Mac, yang memberi
garansi utang senilai US$ 5,3 trilyun atau lebih dari separuh utang perkreditan rumah di AS.
Selain itu, berita bangkrutnya Lehman Brothers pada 15 September 2009 juga menggemparkan
dunia finansial.

Pergerakan IHSG
Melemahnya IHSG akibat sentimen global krisis keuangan AS sebenarnya memberikan hikmah
positif, karena tanpa disadari kinerja IHSG selama ini relatif overvalued. Turunnya IHSG ke
level saat ini lebih mewakili kondisi fundamental yang sebenarnya (priced-in). Meski level IHSG
saat ini belum dipastikan merupakan level equilibrium baru, tetapi dengan kondisi fundamental
yang perform akan menahan aksi spekulasi yang mendorong IHSG terkoreksi lebih dalam.
IMF memperhitungkan bahwa kerugian di seluruh dunia pada utang yang berasal dari Amerika
Serikat (terutama yang berhubungan dengan mortgages) mencapai 1,4 triliun US dolar.
Perhitungan ini meningkat dari perkiraan awal yang hanya mencapai 945 miliar US dolar pada
bulan April 2008. Perbankan Indonesia pun mengalami tekanan likuiditas global karena masih
tingginya permintaan kredit domestik hingga Oktober 2008 yang sebagian besar dibiayai oleh
secondary reserves. Gejolak di sektor keuangan ini telah mengakibatkan Indek Stabilitas Sistem
Keuangan (Financial Stability Index/FSI) meningkat tajam bahkan melampaui batas maksimum
indikatif angka 2 (dua) pada bulan November dan Desember 2008. Instabilitas keuangan di tahun
2008 juga disebabkan oleh meningkatnya harga minyak dunia dan ketidakseimbangan global.
Sebagaimana diketahui bahwa FSI merupakan indikator yang digunakan untuk menilai
perkembangan stabilitas keuangan suatu negara. Indeks tersebut dikategorikan dalam taraf aman
jika masih berada dibawah treshold angka 2.
Disinyalir bahwa penyebab atau pemicu instabilitas sistem keuangan nasional selama 2008
adalah karena semakin terintegerasinya Indonesia dengan perekonomian dunia. Hal ini
menyebabkan gejolak eksternal sangat mempengaruhi stabilitas sektor keuangan nasional.
Dengan integritas tinggi perekonomian dalam negeri dengan perekonomian global, goncangan
sekecil apapun di luar negeri akan mempengaruhi perekonomian dalam negeri. Oleh karena itu,
tak heran jika krisis keuangan di Amerika juga dirasakan oleh hampir semua negara di seluruh
dunia. Dengan demikian tidak hanya sektor keuangan yang rentan terhadap resiko, tetapi juga
banyak perusahaan di sektor riil yang mengalami penurunan kondisi finansial. Perusahaanperusahaan yang selama ini bergantung pada sumber pembiayaan luar negeri mengalami
kesulitan sumber dana sehingga menurunkan kemampuannya dalam membayar utang. Hal inilah
yang kemudian memicu penurunan produktivitas dan selanjutnya membuat profitabilitasnya juga
menurun.
Sementara itu, krisis global akan memberikan pengaruh serius pada perbankan, dimana akan
meningkatkan kredit bermasalah atau Non Performing Loan NPL serta perlambatan
pertumbuhan kredit pembiayaan lainnya yang dibutuhkan untuk mendukung kegiatan ekonomi.
Hal ini akan berimplikasi serius karena menyebabkan keketatan likuiditas. Keketatan terjadi
7

akibat meningkatnya preferensi likuiditas dari perusahaan dan rumah tangga yang dilandasi
keinginan untuk berjaga-jaga dari berbagai risiko bisnis yang meningkat. Kondisi ini
menyulitkan upaya pencarian dana talangan dari luar untuk menambal peningkatan defisit
anggarannya.
Keketatan likuiditas juga terjadi pada perekonomian domestik. Rumah tangga konsumen dan
perusahaan cenderung menahan belanja, berjaga dari hal yang tidak diinginkan bila ada
guncangan. Repatriasi modal keluar terus dilakukan oleh banyak anak perusahaan asing yang
beroprasi di dalam negeri sebagai upaya penguatan likuiditas induknya. Sementara itu,
perbankan domestik akan lebih berhati-hati dan menahan laju pertumbuhan kredit untuk
meminimalkan risiko pasar dan pinjaman. Oleh karena itu, pembiayaan defisit melalui pasar
uang domestik bisa kontraproduktif karena akan menambah tekanan terhadap likuiditas, yang
pada gilirannya mendorong naiknya suku bunga, dan berimplikasi balik pada rumah tangga dan
perusahaan. Tingginya suku bunga telah menambah beban bunga utang dan pembiayaan, serta
menekan nilai aset, dan hal ini akan menurunkan daya beli rumah tangga dan memperburuk
neraca perusahaan.
Selain itu, instabilitas sektor keuangan juga disebabkan karena permasalahan segmentasi Pasar
Uang Antar Bank (PUAB). Kondisi keketatan likuiditas yang sempat dihadapi oleh perbankan
dan pasar keuangan seiring dengan krisis global, diperburuk dengan adanya perilaku sebagian
bank yang hanya melakukan transaksi dengan kelompok bank tertentu. Walaupun secara agregat
likuiditas perbankan masih memadai, segmentasi antarbank telah menyebabkan tidak tersebarnya
likuiditas secara merata.Dengan demikian diperlukan pelonggaran terhadap likuiditas sehinga
ancaman instabilitas sektor keuangan dapat dihindari. BI pun telah mengeluarkan serangkaian
kebijakan moneter dalam menghadapi keketatan likuiditas, antara lain penempatan dana
pemerintah pada bank-bank tertentu, perpanjangan tenor fasilitas likuiditas (Repo) BI,
pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) rupiah dan valas, serta fasilitasi
penyediaan valas bagi perbankan dan korporasi yang eliglible.
Dalam rangka meningkatkan kepercayaan masyarakat, Bank Indonesia juga mengeluarkan
serangkaian kebijakan seperti ketentuan penanganan bank yang mengalami permasalahan
likuiditas/solvabilitas, peningkatan penjaminan Dana Pihak Ketiga (DPK), aturan mengenai
fasilitas likuiditas intrahari oleh BI bagi bank umum, perluasan jenis agunan bagi Fasilitas
Pembiayaan Jangka Pendek (FPJP) dari BI, dan aturan mengenai fasilitas pinjaman darurat
(FPD). Kebijakan-kebijakan BI tersebut telah berhasil memberikan dampak positif bagi
likuiditas perbankan, menurunkan volatilitas nilai tukar rupiah dan menenangkan masyarakat
dalam menyikapi penanganan bank bermasalah. Diharapkan kebijakan-kebijakan tersebut tak
hanya menstabilkan sektor keuangan dalam waktu jangka pendek, tetapi dapat berlanjut hingga
Indonesia terlepas dari ancaman dampak krisis global.

Peran Bank Indonesia Dalam Menjaga Kestabilan Sektor Keuangan


Meskipun secara umum, terutama di kalangan pelaku pasar keuangan telah terbiasa mendengar
istilah kestabilan sektor keuangan, kiranya tidak ada salahnya untuk mengungkapakan kembali
8

pengertian dari istilah tersebut. Belum terdapat suatu definisi yang universal mengenai kestabilan
sektor keuangan. Andrew Crockett mengemukakan bahwa untuk memahami konsep kestabilan
sektor keuangan, perlu dibedakan antara stabilitas moneter dengan stabilitas keuangan. Bila
stabilitas moneter mengacu pada stabilitas harga dalam bentuk kestabilan nilai mata uang, maka
stabilitas keuangan mengacu pada kestabilan institusi keuanagan itu sendiri dan stabilitas pasar
yang tergabung dalam sistem keuangan. Pada intinya, finansial stability is avoidance of crises
seperti diungakapkan oleh I. J. McFarlane, Gubernur Reserve Bank of Australia. Oleh karena itu,
stabilitas moneter dan stabilitas sistem keuangan sangat terkait erat, dimana stabilitas moneter
hanya dapat dicapai dengan sistem keuangan yang stabil.
Dalam konteks stabilitas keuangan, perlu diperjelas lembaga keuangan yang berpengaruh secara
signifikan terhadap sistem keuangan secara keseluruhan, agar diperoleh kesamaan persepsi di
semua lembaga yang terkait. Dalam praktiknya memang belum terdapat suatu rumusan standar
mengenai masalah ini.
Komponen yang kedua adalah kestabilan pasar, baik pasar modal maupun pasar uang. Pasar
dimaksud dapat dikatakan stabil apabila pelaku pasar (misalnya investor) masih percaya untuk
melakukan traksaksi pada tingkat harga yang merupakan refleksi dari fundamental ekonomi dan
volatilitas harga pasar yang tidak ekstrem dalam jangka pendek. Kondisi yang tidak stabil
tersebut perlu diwaspadai mengingat dalam kondisi terjadinya krisis keuangan maka kondisi
tersebut dapat berdampak kepada:
1. Menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat (depositor dan investor) terhadap sistem
keuangan sehingga dapat menimbulkan bank run,
2. Fungsi intermediasi menjadi tidak efektif mengingat suku bunga bank menjadi tidak realistis,
3. Alokasi sumber-sumber dana menjadi tidak efektif karena orang akan lebih senang
menyimpan uang di rumah atau di luar negeri,
4. Biaya yang relatif besar untuk menyelamatkan lembaga keuangan atau bank yang memiliki
dampak sistemik terhadap perekonomian,
5. Kebijakan moneter tidak dapat diterapkan dengan baik.
Dalam hubungan ini, dapat dijelaskan bahwa selama ini sebenarnya tugas menjaga kestabilan
sektor keuangan sudah secara langsung menjadi satu dalam tugas Bank Sentral menjaga
kestabilan moneter. Mengingat bahwa berbagai permasalahan baru di bidang ekonomi dan
keuangan dewasa ini terus bermunculan maka fungsi kestabilan sektor keuangan ke dalam fungsi
menjaga kestabilan moneter dinilai kurang efektif, dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
1. Kompleksitas usaha lembaga keuangan/bank terus meningkat pesat, bahkan dalam beberapa
kasus terdapat kesulitan untuk menentukan posisi unit usaha bank di dalam suatu struktur
konglomerasi yang relatif besar.
2. Dengan semakin majunya sistem informasi dan globalisasi operasi perusahaan keuangan/bank,
permasalahan yang terjadi di pasar internasional dapat berdampak langsung terhadap kondisi
pasar domestik (contagion effect).
3. Kebijakan moneter dan fiskal yang kurang tepat memungkinkan juga timbulnya permasalahan
di sektor keuangan dan bank.
4. Hutang luar negeri yang jatuh tempo di masa mendatang dapat pula menyebabkan adanya
9

tekanan terhadapa pasar valas, dimana tingginya permintaan valas tidak sepenuhnya dapat
diimbangi oleh penawaran.
5. Struktur ekonomi yang terkonsentrasi pada beberapa kelompok usaha (konglomerat) akan
dapat memberikan tekanan dalam kestabilan sektor keuangan.
6. Apabila dapat dilakukan pemantauan secara rutin terhadap komponen-komponen yang dapat
memberikan tekanan terhadap stabilitas keuangan sebagaimana tersebut di atas maka diharapkan
akan dapat dilakukan pencegahan terhadap terjadinya krisis dan pemecahan permasalahannya
sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai oleh pihak-pihak yang berwenang
(crises resolution).

Kerangka Kerja dalam Menjaga Kestabilan Sektor Keuangan


Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan diperlukan adanya kerangka kerja yang telah
disepakati oleh lembaga yang terkait, terutam apabila fungsi Pengawasan (atau sampai dengan
pengaturan) telah dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan atau Otoritas Jasa Keuangan.
Hal ini ditujukan untuk menghindari adanya duplikasi maupun konflik dalam pelaksanaan fungsi
di masing-masing lembaga. Pengalaman dari berbagai negara umumnya dapat disederhanakan
dalam bentuk kerangka kerja yang dapat di generaliser sebagai berikut:

Kerangka Stabilitas Sistem Keuangan


Misi dan Tujuan
Misi dan tujuan di sini diperlukan sebagai acuan bagi bebagai pihak, dan sebaiknya dituangkan
dalam UU. Hal ini bertujuan untuk memberikan pijakan yang lebih jelas bagi institusi yang
diberi wewenang untuk melaksanakan pemantauan kestabilan sektor keuangan.
Di berbagai negara, misi dalam menjaga kestabilan sektor keuangan ini dilakukan oleh bank
sentral (misalnya: Bank of England, Reserve Bank of Australia, Bank of Korea, Bank Negara
Malaysia). Dalam hal ini, Bank Indonesia (BI) telah memasukkan fungsi tersebut sebagai misi
BI, di mana tugas BI adalah menjaga kestabilan nilai mata rupiah, yang tentunya tidak terlepas
dari kegiatan menjaga stabilitas moneter dan mendorong stabilitas keuangan di Indonesia.
Namun dalam pelaksanaannya selama ini di BI, fungsi menjaga stabilitas keuangan dimaksud
masih menjadi satu dalam fungsi menjaga stabilitas moneter. Mengingat permasalahan dalam
sistem keuangan sudah semakin sebagaimana telah diulas pada bagian sebelumnya, maka fungsi
kestabilan sektor keuangan tampaknya perlu di energized, sehingga di masa datang akan
terdapat dua fungsi yang terpisah satu sama lain dalam struktur organisasi BI, yaitu fungsi
kestabilan moneter dan fungsi kestabilan sistem keuangan dengan tujuan akhir yang sama, yaitu
menjaga stabilitas harga. Dalam hubungan ini, tujuan dibentuknya fungsi kestabilan sektor
keuangan di dalam Bank Indonesia adalah untuk mendorong terciptanya kestabilan sistem
keuangan Indonesia.
Strategi
Dalam menjaga stabilitas sistem keuangan diperlukan strategi monitoring stabilitas sistem
keuangan dan solusi bila terjadi krisis. Strategi tersebut mencakup koordinasi dan kerjasama,
pemantauan, pencegahan krisis dan manajemen krisis.
10

1. Koordinasi dan Kerjasama


Upaya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan, selain dilakukan oleh Bank Indonesia juga oleh
instansi terkait lainnya. Jadi berbagai instrumen dalam stabilitas sistem keuangan, tidak hanya
ditentukan oleh bank sentral, tetapi juga oleh otoritas lainnya. Untuk pengelolaan informasi dan
efektivitas kebijakan dalam stabilisasi sistem keuangan, maka perlu adanya koordinasi antara
lembaga tersebut. Hal ini dimaksudkan agar setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh otoritas yang
terlibat dalam stabilitas sistem keuangan, dapat terhindar dari pertentangan dan dampak negatif.
Pengalaman di negara lain menunjukkan bahwa koordinasi sulit terjadi apabila fungsi
pengawasan & pengaturan perbankan dipisahkan dari bank sentral. Namun jika pemisahan
terpaksa harus dilakukan, maka koordinasi dapat dilakukan melalui pembentukan Forum
Stabilitas Sistem Keuangan yang beranggotakan bank sentral (Bank Indonesia), otoritas
pengawas sistem keuangan, dan pemerintah yang didukung oleh kekuatan hukum.
2. Pemantauan
Pemantauan terhadap stabilitas keuangan penting dilakukan untuk mampu mengukur tekanan
risiko yang akan timbul, khususnya gangguan yang bersifat sistemik atau dapat menciptakan
krisis. Melalui deteksi dini ini, pencegahan terjadinya instabilitas keuangan yang mematikan
perekonomian dapat dilakukan melalui kebijakan bank sentral maupun pemerintah. Pemantauan
stabilitas keuangan merupakan tugas bank sentral yang merupakan satu kesatuan dalam menjaga
stabilitas keuangan. Ada dua indikator utama yang menjadi target pemantauan, yakni indikator
microprudential dan indikator makroekonomi. Kedua indikator tersebut saling melengkapi
sebagai aksi dan reaksi dalam sistem keuangan dan ekonomi. Pemantauan indikator
microprudential dilakukan terhadap kondisi mikro institusi keuangan dalam sistem keuangan.
Melalui pemantauan ini dapat diketahui potensi risiko likuiditas, risiko pasar, risiko kredit dan
rentabilitas institusi keuangan, yang dimaksudkan untuk mengukur ketahanan sistem keuangan.
Pemantauan indikator makro ekonomi juga perlu dilakukan terhadap kondisi makro ekonomi
domestik maupun internasional yang berdamp mk signifikan terhadap stabilitas keuangan.
Berdasarkan hasil pemantauan tersebut, selanjutnya dilakukan analisis guna memprediksi kondisi
stabilitas sistem keuangan.

Indikator Pengukuran Stabilitas Sistem Keuangan.


Indikator microprudential (Agregat) Indikator makroekonomi
Kecukupan modal
- Rasio modal agregat
Kualitas Aset
* Bagi Kreditur
- Konsentrasi kredit secara sektoral
- Pinjaman dalam mata uang asing
- Pinjaman terhadap pihak terkait, kredit macet (NPL) dan pencadangannya
* Bagi Debitur
- DER (rasio hutang thd modal), laba perusahaan
Manajemen Sistem Keuangan yang Sehat
- Pertumbuhan jumlah lembaga keuangan, dan lain-lain
Pendapatan dan Keuntungan
- ROA, ROE, dan rasio beban terhadap pendapatan
Likuiditas
11

- Kredit bank sentral kpd Lemb.Keu, LDR, struktur jangka waktu aset dan kewajiban
Sensitivitas terhadap risiko pasar
- Risiko nilai tukar, suku bunga dan harga saham
Indikator berbasis pasar
- Harga pasar instrumen keuangan, peringkat kredit, sovereign yield spread, dll. Pertumbuhan
ekonomi
- Tingkat pertumbuhan agregat
- Sektor ekonomi yang jatuh
BOP
- Defisit neraca berjalan
- Kecukupan cadangan devisa
- Pinjaman luar negeri (termasuk struktur jangka waktu)
- Term of trade
- Komposisi dan jangka waktu aliran modal
Inflasi
- Volatilitas inflasi
Suku Bunga dan Nilai Tukar
- Volatilitas suku bunga dan nilai tukar
- Tingkat suku bunga domestik
- Stabilitas nilai tukar yang berkelanjutan
- Jaminan nilai tukar
Efek menular
- Trade spillover
- Korelasi pasar keuangan
Faktor-faktor lain
- Investasi dan pemberian pinjaman yang terarah
- Dana pemerintah pada sistem perbankan
- Hutang jatuh tempo
3. Pencegahan krisis
Pencegahan krisis dilakukan dengan cara mencegah ketidakstabilan dalam sistem keuangan.
Terdapat berbagai langkah kebijakan untuk mengatasi ketidakstabilan dalam sistem keuangan.
Langkah-langkah tersebut diadopsi dari standar/regulasi yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga
internasional, seperti International Monetary fund (IMF), Bank for International Settlement
(BIS), maupun asosiasi profesional lainnya.
4. Manajemen krisis
Meskipun pendekatan untuk mencegah timbulnya krisis cukup banyak, namun tidak ada jaminan
bahwa krisis tidak akan terjadi lagi. Karena potensi terjadinya krisis selalu ada, maka perlu
adanya pengelolaan krisis. Manajemen krisis ini berisi prosedur penyelesaian krisis dan kejelasan
peran serta tanggung jawab dari masing-masing institusi yang terlibat didalamnya. Apabila suatu
bank dinyatakan dalam kesulitan misalnya, maka diperlukan langkah-langkah di bawah ini:
Institusi yang berwenang harus menetapkan apakah bank yang dinyatakan dalam kesulitan itu
tergolong sistemik atau tidak.
Proses penyelamatan harus ditetapkan secara hukum mengingat adanya penggunaan dana
12

publik dalam proses penyelamatan tersebut.


Peran Bank Indonesia, otoritas pengawasan, dan pemerintah harus ditetapkan secara jelas.
Peran BI saat ini hanya terbatas kepada pemberian fasilitas pinjaman jangka pendek untuk bank
yang mengalami permasalahan mismatch pendanaan paling lama 90 hari yang dijamin dengan
surat berharga yang likuid. Dalam hal terdapat bank yang bermasalah dan tidak memenuhi
kriteria maka BI tidak bisa memberikan pinjaman terhadap benk tersebut. Dalam hal ini perlu
diperjelas proses resolusi terhadap individu lembaga keuangan/bank yang dapat menimbulkan
kegagalan yang sistemik.
Di berbagai negara antara lain Inggris dan Australia, dibentuk standing committee yang terdiri
atas bank sentral, Otoritas Pengawas Bank dan pemerintah untuk membahas solusi permasalahan
untuk diputus oleh lembaga yang berwenang seperti pemerintah.
Stabilitas sektor keuangan Indonesia telah terpelihara dengan cukup baik. Sektor perbankan
adalah segmen terbesar dari sektor keuangan sampai akhir tahun 2006, sektor perbankan
mencapai hampir 78% dari aktiva keuangan dibandingkan dengan 80% tahun sebelumnya.
Sedikit penurunan ini terutama disebabkan oleh bertumbuhnya kembali industri investasi
danareksa tahun ini. Namun, stabilitas sektor keuangan di Indonesia masih mengandalkan sektor
perbankan yang sehat. Hingga saat ini, rasio keuangan utama di sektor perbankan
memperlihatkan bahwa kinerja keuangan dari bank-bank masih cukup sehat.
Pelaksanaan beberapa peraturan tentang sektor perbankan telah mengalami kemajuan tanpa
mengganggu stabilitas sektor keuangan. Ini mencakup pelaksanaan sepenuhnya skema asuransi
deposito pada bulan Maret 2007 penerapan modal disetor minimum untuk bank-bank dengan
modal minimum yang ditingkatkan menjadi Rp 80 milyar pada bulan Desember 2007. Bank
Indonesia (BI) memperlihatkan bahwa kebanyakan bank akan dapat memenuhi ketentuan ini
karena para pemegang saham sedang menyuntikkan modal baru. BI juga memperlihatkan bahwa
hanya sedikit bank kecil yang tidak mampu memenuhi ketentuan permodalan ini, sehingga
merger dan akuisisi bank-bank kecil oleh bank-bank yang lebih besar kini sedang berlangsung.
Pemerintah tetap memperlihatkan upaya yang serius dan sungguh-sungguh untuk mereformasi
sektor keuangan. Dua paket kebijakan sektor keuangan dikeluarkan pada bulan Juli 2006 dan Juli
2007. Kedua paket kebijakan ini memajukan reformasi sektor keuangan melalui kebijakan,
program dan output yang jelas. Tindakan-tindakan kebijakan yang digariskan dalam paket
tersebut meliputi sejumlah bidang dengan jangka waktu pelaksanaan hingga Juli 2008. Bidangbidang utama yang dicakup oleh kedua paket kebijakan meliputi penguatan stabilitas sistem
keuangan dengan meningkatkan koordinasi di antara para regulator:
1. Peningkatan intermediasi keuangan dengan memperkuat sistem informasi kredit
2. Perbaikan pengaturan dan pengawasan dana pensiun dan perusahaan asuransi
3. Peningkatan efisiensi dan likuiditas pasar modal
4. dan, harmonisasi peraturan-peraturan dan perlakuan pajak di berbagai segmen sektor
keuangan.
Meskipun tidak semua kegiatan dalam kedua paket kebijakan harus diberikan prioritas tertinggi
dan malahan beberapa kegiatan perlu disesuaikan dengan pertimbangan politik dan keterbatasan
13

kapasitas isi dari paket secara umum, jika dilaksanakan, akan sangat membantu dalam
memperkuat sektor keuangan. Kemajuan dalam tindakan-tindakan dipantau secara ketat oleh
sebuah tim yang berada di bawah Departemen Koordinator Bidang Perekonomian dan sejauh ini
sebagian besar tindakan telah berjalan seperti yang direncanakan.
Tabel 2. Data dan Statistik mengenai sektor keuangan di Indonesia
DATA PERBANDINGAN BANK BANK BESAR
2006 2007 2008 2009 2010 2011
Laju Pertumbuhan
Realisasi PDB 5.5% 6.3% 6.4% 6.6% 6.9% 7.0%
Inflasi Konsumen 13.1% 6.5% 6.0% 4.5% 5.5% 4.5%
Anggaran Pemerintah Pusat
(% dari PDB)
Total Pendapatan 19.1% 17.5% 17.7% 17.9% 18.0% 18.2%
Total Pengeluaran 20.0% 19.0% 19.4% 19.5% 19.5% 19.7%
Defisit -0.9% -1.5% -1.8% -1.7% -1.6% -1.6%
Total Utang Pemerintah 39.7% 34.5% 31.9% 30.1% 28.3% 27.2%
Neraca Pembayaran
Saldo Rekening Lancar
(milyar $ AS) $9.9 $10.8 $8.8 $7.1 $5.7 $4.3
(% dari PDB) 2.7% 2.5% 1.8% 1.3% 1.0% 0.7%
Ekspor Barang (milyar $ AS) 103.5 116.1 125.8 136.8 151.1 167.7
(% perubahan) 19.0% 12.1% 8.4% 8.7% 10.4% 11.0%
Impor Barang (milyar $ AS) 73.9 83.3 93.7 105.4 120.0 137.0
(% perubahan) 6.3% 12.8% 12.4% 12.5% 13.9% 14.1%
Bank Indonesia dalam menjaga kestabilan sektor keuangan di atas sangat tergantung juga pada
dukungan berbagai aspek bukan dari bidang ekonomi saja seperti keamanan, sosial, dan politik
dalam negera yang kondusif. Selain itu, sebagai bagian dari kerangka kebijakan makroekonomi
secara keseluruhan, maka kebijakan Bank Indonesia di moneter, perbankan, dan sistem
pembayaran tidak dapat dipisahkan dengan keselarasan kebijakan fiskal dan sektor riil. Dengan
banyaknya faktor-faktor bukan moneter yang berpengaruh terhadap inflasi, maka langkahlangkah koordinasi antara Bank Indonesia dengan pemerintah untuk mengatasi sumber-sumber
inflasi yang berasal dari dampak kebijakan pemerintah serta faktor produksi dan distribusi
barang dan jasa perlu terus diupayakan dan ditingkatkan. Selain itu, momentum positif dan
kondisi perekonomian sekarang akan semakin menguat dengan tambahan stimulus kebijakan
yang lebih menyeluruh.
Akhirnya, Bank Indonesia memandang betapa pentingnya aspek lain seperti koordinasi yang
lebih baik dalam pengambilan kebijakan di skala makro, pemupukan kesamaan pandangan dan
kemitraan lebih mendalam antara pemerintah, Bank Indonesia, dan DPR serta beberapa instansi
terkait lainnya. Dengan berbagai langkah tersebut, upaya-upaya perkembangan ekonomi yang
didukung oleh adanya stimulus perekonomian lebih lanjut dapat lebih efektif. Dan pada
akhirnya, kepercayaan para pelaku ekonomi baik dalam maupun luar negera dapat terbangun
14

untuk menenamkan investasinya dan tanda-tanda ke arah percepatan dinamika ekonomi akan
semakin terwujud.
Sumber : Lintas Berita.com, diposting 3 Desember 2009.

Artikel mengenai Bank sebagai Agent of Services


BRI TRADE FINANCE : UNTUK KEPASTIAN PEMBAYARAN PERDAGANGAN
DOMESTIK
Pertumbuhan ekonomi nasional sangat dipengaruhi oleh
perkembangan sektor riil. Perkembangan sektor riil juga
ditentukan oleh kontribusi berbagai pihak dalam membentuk
mekanisme perdagangan yang positif, termasuk sektor
perbankan. Layanan perbankan dibutuhkan, untuk menunjang
sistem distribusi dan pemasaran produk barang dan jasa yang
cepat, efektif, dan efisien.
Bank Rakyat Indonesia (Bank BRI), sebagai bank dengan
jaringan terbesar di tanah air telah turut memberikan
dukungan dalam pengembangan perdagangan domestik. Salah satunya melalui layanan Surat
Kredit Berdokumen Dalam Negeri atau SKBDN. SKBDN membantu proses transaksi barang
dan jasa dalam bentuk:
1.Penyediaan pembiayaan pasca-pengapalan atau pengiriman barang dari produsen kepada
distributor atau konsumen. Pembiayaan itu dilaksanakan atas dasar kondisi pembayaran tunai
(disebut juga negosiasi dokumen SKBDN) atau kondisi pembayaran berjangka (disebut juga
diskonto dokumen SKBDN).
2. Jaminan pembayaran SKBDN diterbitkan berdasarkan permintaan pembeli (distributor atau
konsumen) untuk menjamin pembayaran kepada produsen atas dasar kontrak penjualan kedua
pihak (disebut juga penerbitan SKBDN).
3. SKBDN juga memberikan jasa layanan pendukung lain untuk kebutuhan pembayaran dalam
transaksi perdagangan domestik, dalam bentuk penagihan dokumen SKBDN (collection
SKBDN). Atau, pengiriman dana (transfer) dalam negeri ke seluruh penjuru tanah air.
Dengan SKBDN dari Bank BRI, penjual dan pembeli sama-sama untung. Bagi penjual, dapat
memperoleh pembayaran (financing after shipment) segera setelah melakukan pengiriman
barang. Dengan demikian, penjual tak harus menunggu pelaksanaan pembayaran oleh pembeli
dari luar kota atau luar pulau. Dengan pembayaran yang cepat itu, tentu likuiditas perusahaan
akan meningkat, dan aktivitas bisnis makin lancar. Bagi pembeli (distributor atau konsumen),
SKBDN dapat meningkatkan kredibilitas karena pembayaran kepada produsen tidak tertunda.
Dalam bisnis, kredibilitas merupakan modal utama. Sebagai bank dengan jumlah unit kerja dan
jaringan kerja terluas di Indonesia, menjadikan layanan SKBDN merupakan produk unggulan
Bank BRI. Sampai 31 Desember 2006, BRI memiliki 4.832 unit kerja yang tersebar hingga
pelosok tanah air. Bank BRI juga didukung layanan perbankan yang realtime online. Hingga
15

Desember 2006, Bank BRI telah memiliki 1.601 unit kerja online (Kantor Cabang, Kantor
Cabang Pembantu dan BRI Unit) yang tersebar di seluruh tanah air. Dengan pengalaman 111
tahun, Bank BRI mampu memberikan solusi bisnis paling handal dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi nasional.
Sumber : Gatra.com,diposting 12 April 2007.

16

Anda mungkin juga menyukai