Anda di halaman 1dari 20

Lansekap Jalan Kawasan Perkotaan berbasis Tanaman Bioreduktor

Abstrak Yogyakarta merupakan kota sasaran untuk pelaksanaan


urban air quality improvement program (UAQIP) selain Jakarta,
Bandung, Surabaya dan Semarang. Sekitar 75% pencemaran udara
perkotaan disebabkan oleh emisi as buang kendaraan bermotor. Hal
ini terjadi karena kurang optimalnya usaha pemerintah dan
masyarakat perkotaan dalam mengatasi meningkatnya jumlah
kendaraan bermotor secara tidak terkendali yang berdampak pada
meningkatnya emisi gas buang kendaraan bermotor di perkotaan.
Polusi udara yang tinggi di pusat kota (dengan ciri kegiatan
perdagangan, perkantoran, dan permukiman kota) tidak diimbangi
dengan jumlah pepohonan yang memadai sebagai penyerap polusi
dan panas udara, seperti hutan kota dan lansekap jalan. Paper ini
akan memberikan kajian model penataan lansekap jalan berbasis
tanaman bioreduktor gas buang kendaraan bermotor untuk
membantu mengurangi beban pulusi udara di kawasan berkotaan.
Lansekap kota merupakan salah satu indikator kemampuan
pengelola kota dalam mewujudkan keseimbangan aspek fisik buatan
dan alami yang menyatu dalam lingkungan perkotaan. Aspek fisik
buatan adalah bangunan dan jalan, sedang aspek alami adalah flora
fauna. Dengan terwujudnya model lansekap jalan berbasis
bioreduktor akan berperan untuk mengurangi dampak pembangunan
kota yang cenderung menghilangkan wajah alam melalui reduksi
ruang terbuka dan jalur hijau perkotaan.
Kata Kunci : lansekap jalan, perkotaan, tanaman bioreduktor, gas
buang, kendaraan bermotor
I. Pendahuluan
Urbanisasi yang terus meningkat disebabkan oleh pertambahan

penduduk diperkotaan maupun di perdesaan. Kondisi pertumbuhan


penduduk diberbagai daerah di Indonesia menyebabkan urbanisasi
yang didorong oleh masalah demografi di tingkat nasioanal. Jumlah
penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang
cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai
32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada
tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau
30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun
2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60
persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015 (Dardak,
2005). Angka pertambahan penduduk ini akan berdampak pada
berbagai aktifitas di perkotaan maupun di perdesaan di Indonesia,
termasuk di Yogyakarta.
Sebagai kota pendidikan dan pariwisata, Yogyakarta menjadi daya
tarik bagi pelajar Indonesia dan wisatawan nasional maupun
internasional. Pertumbuhan fungsi kota semacam ini juga menarik
bagi pertumbuhan urbanisasi di wialay aglomerasi perkotaan
Yogyakarta (APY). Berbagai aktifitas perkotaan seperti pendidikan,
perdagangan, pariwisata dan permukiman di APY berkembang
dengan dukungan fasilitas atau sarana prasarana transportasi
umum yang kurang memadai. Sehingga para pekerja dan
mahasiswa lebih banyak menggunakan kendaraan pribadi yang
menyebabkan mobilitas kendaraan pribadi terus bertambah dan
keadaan ini menyebabkan peningkatan polusi udara di kawasan
perkotaan Yogyakarta. Pencemaran juga disebabkan oleh kualitas
bahwan bakar yang diperdagangkan di wilayah APY (Bappenas,
2006).
Kurang lebih 75% pencemar udara perkotaan disebabkan oleh emisi

(gas buang) kendaraan bermotor, dimana jumlah dan pertumbuhan


sepeda motor (roda 2) adalah tertinggi dibanding kendaraan
bermotor lain seperti sedan (roda 4), bus, dan truk (roda 4 6).
Adapun dampak dari semakin banyaknya jumlah kendaraan dan
polusi udara adalah 1) biaya kesehatan untuk mengatasi penyakit
ISPA akan terus meningkat, 2) gas rumah kacayang memicu
peningkatan pemanasan global, 3) gangguan terhadap lingkungan
hidup (flora dan faona), dan 5) kerusakan lapisan ozon serta
kerusakan infrastruktur fisik perkotaan (karena korosi logam).
Berdasarkan permasalahan tersebut, pemerintah perkotaan
Yogyakarta mengembakan strategi untuk meningkatkan kualitas
udara melalui kegiatan (antara lain) 1) merasionalisasikan tata guna
lahan perkotaan, dan 2) meningkatkan perhatian masyarakat dalam
pencegahan dan pengendalian pencemaran udara (Bappenas,
2006).
Polusi udara yang tinggi di kawasan perkotaan yang tidak diimbangi
dengan jumlah pepohonan yang memadai sebagai penyerap polusi
dan panas udara, seperti hutan kota dan lansekap jalan, akan
menurunkan kwalitas tata ruang dan lansekap kota. Salah satu cara
untuk menurunkan/mengendalikan pencemaran udara adalah
dengan meningkatkan jumlah pohon penyerap polusi udara kawasan
perkotaan, termasuk pada lansekap jalan. Paper ini akan
memberikan kajian model penataan lansekap jalan berbasis tanaman
bioreduktor gas buang kendaraan bermotor untuk membantu
mengurangi beban pulusi udara di kawasan berkotaan. Analisis
model lansekap jalan akan dilakukan dengan pendekatan
persyaratan geometrik jalan menurut Letak Jalur Tanaman yang
mencakup komponen (1) Jalur tanaman tepi jalan, (2) Jalur

tanaman tengah jalan atau median, (3) Jalur tanaman pada


tikungan, baik pada pertigaan maupun perempatan jalan. Pemilihan
tanaman bioreduktor pada tikungan perlu mempertimbangkan (a)
bentuk tikungan daerah bebas samping, (b) pemilihan tanaman
pada daerah tikungan. Analisis penempatan tanaman bioreduktor
pada jalan persimpangan perlu mempertimbangkan (1) daerah
bebas pandang di mulut persimpangan dan (2) pemilihan jenis
tanaman pada persimpangan (Dirjen Bina Marga DPU, 1996).
Dengan adanya peningkatan kwalitas lansekap jalan berbasis
tanaman bioreduktor pencemaran udara dikawasan perkotaan,
diharapkan kwalitas udara perkotaan akan semakin meningkat yang
akan diikuti oleh peningkatan kwalitas lingkungan hidup.
II. KAJIAN TANAMAN BIOREDUKTOR DAN LANSEKAP
JALAN
Lansekap Jalan adalah wajah dari karakter lahan atau tapak yang
terbentuk pada Iingkungan jalan, baik yang terbentuk dari elemen
lansekap alamiah seperti bentuk topografi lahan yang mempunyai
panorama yang indah, maupun yang terbentuk dari elemen lansekap
buatan manusia yang disesuaikan dengan kondisi Iahannya.
Lansekap jalan ini mempunyai ciri-ciri khas karena harus
disesuaikan dengan persyaratan geometrik jalan dan diperuntukkan
terutama bagi kenyamanan pemakai jalan serta diusahakan untuk
menciptakan Iingkungan jalan yang indah, nyaman dan memenuhi
fungsi keamanan (Dirjen Bina Marga DPU, 1996).
Komunitas tanaman atau vegetasi pada lansekap jalan termasuk
bagian dari hutan kota. Menurut Irwan (1994) dan Dardak (2005)
bahwa hutan kota dikelompokkan menjadi tikelompok, yaitu a)
Bergerombol atau menumpuk , yaitu hutan kota dengan komunitas

vegetasinya terkonsentrasi pada suatu areal dengan jumlah


vegetasinya minimal 100 pohon dengan jarak tanam rapat yang
tidak bearturan; b. Menyebar , yaitu hutan kota yang tidak
mempunyai pola tertentu, dengan komunitas vegetasinya tumbuh
menyebar terpencar-pencar dalam bentuk rumpun atau bergerombol
kecil; c. Berbentuk jalur , yaitu komunitas vegetasinya tumbuh pada
lahan yang berbentuk jalur lurus atau melengkung, mengikuti
bentukan sungai, jalan , pantai, saluran, dan sebagainya.
Menurut Djamal (2005), hutan kota adalah komunitas vegetasi
berupa pohon dan asosiasinya yang tumbuh di lahan kota atau
sekitar kota, berbentuk jalur, menyebar, atau bergerombol
(menumpuk) dengan struktur menyerupai hutan alam, membentuk
habitat yang memungkinkan kehidupan bagi satwa dan
menimbulkan lingkungan sehat, nyaman, dan estetis. Ruang terbuka
hijau (RTH) merupakan bagian dari hutan kota, maka komunitas
tanaman lansekap jalan merupakan bagian dari RTH. Fungsi RTH
atau hutan kota menurut Dardak (2005) terdiri dari tihal pokok yaitu
fungsi ekologis, sosial, dan ekonomi. Ruang Terbuka Hijau (RTH)
adalah ruang yang dimaksudkan untuk konservasi air tanah, paruparu kota, dan dapat menjadi tempat hidup dan berkembangnya
plasma nutfah (flora fauna dan ekosistemnya). Ruang terbuka
dengan perkerasan dan diberi pot tumbuhan tidak termasuk ruang
terbuka hijau (Peraturan Pemerintah, 2003). Ruang Terbuka Hijau
adalah ruang kota yang berfungsi sebagai kawasan hijau
pertamanan kota, kawasan hijau hutan kota, kawasan hijau rekreasi
kota, kawasan hijau kegiatan olah raga, kawasan hijau
permakaman, kawasan hijau pertanian, kawasan hijau jalur hijau dan
kawasan hijau perkarangan (Perda Kota Yogyakarta No 8 Th. 1997).

Sehingga komunitas tanaman pada jalur atau lansekap jalan


merupakan bagian dari RTH.
Bila kondisi antara tata ruang dan jaringan jalan dalam suatu
wilayah tidak terintegrasi dengan baik, maka bisa dipastikan bahwa
wilayah tersebut akan mengalami suatu kondisi yang tidak sehat dari
sisi tatanan peruntukan lokasi dan pergerakan. Contoh kondisi
tersebut seperti konsep permukiman yang tidak boleh dijadikan
sebagai kawasan bisnis, banyak dijumpai lebar jalan lokal lebih
besar dari jalan kolektor, menjamurnya pusat-pusat retail baru di
sepanjang jalan arteri dan sebagainya. Bila kondisi seperti ini makin
terakumulasi, maka pada gilirannya dapat dipastikan bahwa akan
timbul suatu dampak yang sangat merugikan bagi masyarakat yang
ada di dalamnya, seperti misalnya kemacetan lalu lintas, polusi
udara, banjir, dan lain lain (Dardak, 2007).
Pepohonan sangat bagus di kawasan bisnis. Suatu hasil studi
memcatat bahwa konsumen memberikan tanggapan positif pada
lingkungan perbelanjaan yang memiliki hutan kota yang sehat. Di
berbagai daerah, banyak kegiatan revitalisasi kawasan bisnis telah
berusaha keras untuk menciptakan daya tarik lingkungan kota untuk
kepentingan konsumen. Perlu diperhatikan bahwa tanaman
merupakan komponen penting untuk program perbaikan kwalitas
lingkungan kota. Departemen Kehutanan di Amerikan memberikan
rekomendasi bahwa 15% kanopi pepohonan manaungi lingkungan
perbelanjaan di kawasan kota dan kebanyakan lingkungan hanya
memiliki kurang dari 5% kanopi pepohonan menaungi kawasan
perbelanjaan (Wolf, KL., 1988).
Tabel 1. Dampak Pencemar Udara terhadap Kesehatan
Pencemar Udara Dampak terhadap Kesehatan

1. Karbo
Monoksida
(CO)
Menghambat pembentukan
haemoglobin dalam darah
Mengurangi kapasitas pengangkutan
oksigen dan menyebabkan pasokan O2
ke organ vital menurun
Menimbulkan penyakit pada lambung/
perut
Meningkatkan strees fiologis
1. Sulfur
Dioksida
(SO2)
Meningkatkan iritasi pasda saluran
pernafasan
Meningkatkan timbulnya penyakit
pernafasan
1. Timbal (Pb) Merusak kecerdasan dan tingkat
konsentrasi
Menghambat pertumbuhan bayi dan
balita
Meningkatkan gangguan penyakit pada
perut
1. Nitrogen
Oksida
(NO2)
Meningkatkan timbulnya penyakit asma

Meningkatkan iritasi pasda saluran


pernafasan
Mempengaruhi kapasitas fungsi paru
1. Ozon (O3) Meningkatkan gangguan fungsi paru
Meningkatkan kerentanan terhadap
infeksi saluran pernafasan
Meningkatkan iritasi pada lender mata
Sumber: Bapedalda DIY, 2005
Beberapa jenis tanaman telah diketahui kemampuannya dalam
menyerap dan menjerap polutan (lihat Tabel 2). Dewasa ini juga
tengah diteliti ketahanan dari beberapa jenis tanaman terhadap
polutan yang dihasilkan oleh suatu pabrik. Dengan demikian
informasi ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
memilih jenis-jenis tanaman yang akan dikembangkan di kawasan
industri (Teknik UMS, 2007). Sebagian tanaman juga telah diketahui
mampu untuk mernyerap polusi udara dari kendaraan bermotor,
sehingga tanaman tersebut akan dijadikan dasar pemilihan tanaman
untuk lansekap jalan.
Sejumlah tanaman (bioreduktor) yang mampu menyerap polusi Pb
atau timbal adalah akasia, angsana, asam jawan asam landi,
bungur, cemara, flamoyan, glodogan, mahobi, kiara paying (Teknik
UMS, 2007), beringin, tanjung, dan puring (Suparwoko, 2007).
Sehingga tanaman bioreduktor tersebut dapat dijadikan dasar untuk
penataan lansekap jalan perkotaan dari aspek lokasi pencemaran
udara dan penempatan jenis tanaman.
Tabel 2. Rata-rata Konsentrasi Pb ( g/g) pada Kulit Batang dan
Daun dari10 Jenis Tumbuhan Tepi Jalan di Jakarta
No Jenis Tumbuhan Tertinggi Terendah

Daun Batang Daun Batang


1 Akasia 76,1 382,4 3,0 10,2
2 Angsana 321,7 843,5 1,1 0,2
3 Asam jawa 28,8 27,4 16,2 7,0
4 Asam landi 94,2 121,6 8,6 2,2
5 Bungur 99,0 521,4 7,6 5,4
6 Cemara 221,6 694,2 0 0
7 Flamboyan 56,2 347,7 10,6 10,6
8 Glodogan 72,2 526,4 0 0
9 Mahoni 249,1 213,7 0 0
10 Kiara payung 77,9 87,7 0 0
Sumber: Teknik UMS, 2007
Disampaikan oleh Soedradjad (2007) merekomendasi 1) tanaman
penyerap timbal yang tinggi: damar, mahoni, jamuju, pala, asal landi,
dan johar, 2) penyerap debu yang tinggi: mahono, bisbul, tanjung,
meranti merah, kere payung, kayu hitam, dan 3) tanaman penyerap
CO2: damar, daun kupu-kupu, lamtoro gung, akasia, dan beringin.
Pemerintah Provinsi DI Yogyakarta telah mencanangkan Program
Langit Biru melalui Keputusan Gubernur No. 182/2003. Terkait
dengan perhatian masyarakat, Program Langit Biru (Bapedalda DIY,
2004) menyatakan:
Semua pihak baik pemerintah, dunia usaha maupun
masyarakat turut bertanggungjawab dan berperan dalam
Program Langit Biru.
Program Langit Biru perlu disosialisasikan kepada semua pihak
sehingga menjadi program milik publik. Dengan demikian
diharapkan di waktu yang akan datang peran dunia usaha dan
masyarakat dapat lebih diandalkan serta memiliki peran

penting dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran udara.


Hari lingkungan hidup 5 Juni menanamkan prinsip: ubah perilaku dan cegah
pencemaran . Sehingga perilaku penggunaan transportasi publik dan memperbanyak
tanaman bioreduktor pencemar udara pada lansekap jalan perkotaan perlu ditingkatkan.
Kawasan hutan kota minimum 0,4 ha, jika berbentuk jalur minimum 30 m lebarnya. Hutan
kota meliputi taman, tepi jalan jalan tol, jalan kereta api, bangunan, lahan terbuka,
kawasan padang rumput, kawasan luar kota, kawasan permukiman, kawasan perdagangan,
dan kawasan industri. Jalur hiaju dengan lebar 183 m dapat mengurangi pencemaran
udara sampai 75% (Teknik UMS, 2007)
III. KONDISI DAN PERMASALAHAN LANSEKAP JALAN DI
PERKOTAAN YOGYAKARTA
Polusi udara merupakan salah satu masalah kesehatan yang sangat
penting. Polusi udara ini berpotensi untuk mempengaruhi tingkat
kesehatan masyarakat, antara lain dapat menimbulkan berbagai
penyakit bahkan dapat menyebabkan kematian. Penyakit yang ditim
bulkan ini bergantung pada peningkatan jumlah bahan polutan yang
terkandung di udara. Sedangkan mereka yang rentan terhadap
dampak polusi udara adalah rnereka yang sangat muda, sangat tua
atau mereka yang sebelurnnya memang telah rnenderita penyakit
paru dan jantung. Berdasarkan data dari Dinas kesehatan Provinsi
DIY, pola penyakit pasien yang diindikasikan sebagai dampak polusi
udara mempunyai tingkat proporsi yang cukup tinggi terhadap total
pola penyakit pasien. Menurut Profil Kesehatan Provinsi DI
Yogyakarta 2004 proporsi infeksi akut pernafasan atas adalah 22%,
penyakit lain saluran pernafasan atas 7,7% dan asma 2,2%
(Bappenas, 2006).
Kendaraan bermotor merupakan penyebabpolusi udara tertinggi di
kawasan perkotaan. Di DIY tahun 2001 hingga 2007, jumlah
kedaraan bermotor menunjukkan kenaikan yang signifikan
(lihatTabel 1). Peningkatan juml;ah kendaraan yang berarti
peningkatan jumlah polusi udara di Yogyakarta ternyata tidak

diimbangi dengan pencegahan yang memdai atau pengurangan


dampak yang memadai (misal jumlah pohon di pinnngir jalan untuk
meyerap polusi gas buang kendaraan). Pada saat ini, pembangunan
di wilayah APY dicerminkan oleh adanya perkembangan fisik kota
yang lebih banyak berupa sarana dan prasarana. Pembangunan
yang dilakukan cenderung meminimalkan jumlah ruang terbuka
hijau. Lahan-Iahan terbuka hijau banyak dialihfungsikan menjadi
kawasan perdagangan, industri, permukiman, dan jaringan transpor
tasi (jalan, jembatan, terminal) (Bappenas, 2006).
Tabel 3. Jumlah Kendaraan Bermotor di DIY 2001 2007
2001 2003 2005 2007*)
Sepeda Motor 539.448 666.941 843.758 956.758
Mobil Penumpang 67.309 74.728 82.705 86.954
Mobil Beban 27.745 32.510 35.670 37.654
Bus 6.591 8.039 14.685 18.630
Sumber: Kompas, 31 Oktober 2007 halaman A Yogyakarta
Dari total luas lahan di wilayah Aglomensi Perkotaan Yogyakarta
(APY), lahan hijau yang ada terdiri dari 1.610,35 ha tegalan,
8.623,44 ha sawah, dan 1.255,76 ha kebun dan taman kota.
Sebagian besar lahan yang terlihat hijau tersebut terletak di kawasan
pinggiran Kota Yogyakarta. Sedangkan untuk pusat Kota
Yogyakarta, lahan hijau dapat dijumpai di kebun-kebun pribadi,
penghijauan di pinggir-pinggir jalan kota serta di taman-taman kota
yang dikelola oleh Dinas Pertamanan. Hasil pengukuran TSP (debu)
di kawasan perkotaan Yogyakarta di 15 titik sample (Jl. Wates, Jl.
Diponegoro, Jl. Prambanan, Jl. Magelang Km.5, Jl. A. Dahlan, Jl.
Sudirman, Jl. Godean, Jl. Parangtritis, Jl. Adisucipto Km. 5, Jl.
Gedongkuning, Jl. Malioboro, Jl. Bantul dan Jl. Kaliurang) terdapat 6

lokasi yang melampaui ambang batas yaitu di Jl. Malioboro, Jl.


Prambanan, Jl. Godean, Jl. A. Dahlan, Jl. Adisucipto dan Jl. Wates.
Pengukuran NO2, NO2, CO, dan Ozon, di semua titik sample
dibawah ambang batas. Sedangkan pengukuran PB (timbal)
melampauai ambang batas di 2 lokasi dari 15 lokasi, yaitu di Jl. A
Dahlan dan Jl. Kaliurang (KLH dan KPBB, 2006).
Di. Jl. Kaliurang Km 5 dalam lingkungan perdagangan dan kampus,
kandungan Pb dalam kategori sangat berbahaya. Posisi tanaman
pinggir jalan merupakan tanaman perindang yang berada di luar
badan jalan dan diluar trotoar. Tanaman pada trotoar merupakan
tanaman perdu (jenis puring). Jenis tanaman puring tersebut
merupakan bio-reduktor yang baik (lihat Tabel 3). Pada lokasi
perumahan Kotabaru, kandungan Pb dalam kawasan tersebut
mendekati ambang baku mutu atau masuk klasifikasi sangat
berbahaya (lihat Tabel 4). Di lingkungan Kotabaru streetcape
memiliki berbagai jenis pohon selain tanjung adalah pohon perdu
sebagai kombinasi tata hijau tanaman sebagai tanaman kota.
Sehingga sejumlah pohon yang beraneka jenis di lingkungan
Kotabaru sangat berperan sebagai bio-reductor emisi kendaraan di
lingkungan tersebut. Namun karena angka kandungan Pb kira-kira
75% dari angka baku mutu maka penambahan jumlah dan jenis
pohon yang berfungsi sebagai bio-reductor sangat diperlukan
(Suparwoko, 2007)
Tabel 4. Konsentrasi Pb dan Kondisi Lingkungan di Jl. Malioboro dan
Jl. Kaliurang Km
A Lokasi Malioboro
No Parameter Satuan Baku
Mutu

Hasil
Pengujian
1 Jumlah kendaraan* smp - 1.220,29 us
2 Suhu udara C - 36
3 Timbal (Pb) di Udara g/m 60 68,24
4 Pb dalam Satu Daun
Beringin
mg/L - 1,025
B Lokasi Jl. Kaliurang
No Parameter Satuan Baku
Mutu
Hasil
Pengujian
1 Jumlah kendaraan* smp - 871.45 u-s
784.60 s-u
2 Suhu udara oC - 35
3 Timbal (Pb) di Udara g/m3 60 46,75
4 Pb dalam Satu Daun
Puring
mg/L - 2,05
Catatan: smp = satuan mobil penumpang
U s = arus kendaraan dari utara ke selatan
S u = arus kendaraan dari selatan ke utara
* Pengukuran dilakukan selama 12 jam (07.00-17.00 WIB): arus
kendaraan dua arah
Sumber : data primer tanggal 14 Maret 2007
Logam berat Pb merupakan polutan berbahaya. Dari keselurahan

sampel penelitian tercatat bahwa semakin ke Pusat kota arus lalu


lintas kendaraan semakin besar sehingga polusi udara sekain ke
kota semakin tinggi. Namun semakin polusi udara tinggi ke arah
pusat kota dengan ciri kegiatan perdagangan, tidak diimbangi
dengan jumlah pepohonan rindang di kawasan perdagangan.
Pepohonan penyerap Pb yang baik untuk lansekap jalan adalah
bringin dan tanjung. Sedangkan pohon perdu yang baik untuk
lansekap jalan adalah puring/. Pohon ketapang tidak baik untuk
penyerap Pb, namun bentuk kanopi pohon ketapang sangat baik
untuk ditanam di tempat parkir sebagai perindang. Jika pohon
ketapang digunakan untuk perindang parkir kendaraan, maka untuk
mengurangi Pb di lingkungan parkir tersebut perlu kombinasi
tanaman puring (Suparwoko, 2007).
Survey hubungan antara tanaman dan kawasan bisnis diperkotaan
dilakukan pada bulan April 2007 dengan jumlah responden
sebanyak 50 orang yang terdiri dari masyarakat umum dan pemilik
usaha atau pertokoan. Dalam survey tersebut diperoleh hasil bahwa
sebagian besar hasil responden (90%) menyatakan menyetujui akan
adanya penghijauan pada area district namun sebagian kecil (10%)
juga menyatakan pendapat yang berbeda (Suparwoko dan Suwarto,
2007).
Ketika para responden ditanya apakah mereka setuju bila di depan
toko (pada kawasan perkotaan) ditanam pepohonan? Sejumlah
sampel jawaban menarik adalah sebagai berikut:
1)

setuju, karena semakin banyak penghijauan akan semakin

bagus (indah), selain untuk memperteduh/ mengurangi pemanasan


global dan memperbaiki keadaan udara yang semakin hari tambah
banyak polusi.

2)

sangat setuju, kita bisa bayangkan apabila tiap toko ada

pohonnya maka akan berdampak pada pencegahan global


warming dan mempebaiki paru-paru indonesia dan dunia
umumnya, so please realized it!!
3)

setuju banget, pohon bisa ngurangin polusi udara, sehingga

jogja akan se makin nyaman dan tidak terasa panas lagi, dan
otomatis wisatawan yang datang ke jogja merasa senang.
Ketika sejumlah responden pemilik pertokoan diberi bertanyaan sbb.:
Apabila trotoar di depan diperlebar hingga 6 meter maka lahan
tersebut akan anda gunakan untuk apa? (dengan pilihan jawaban
adalah: 1) pejalan kaki, 2) tempat parkir, 3) pepohonan, dan 4) lainlain? Sejumlah jawaban antara lain sebagai berikut:
1) pejalankaki, dan pepohonan, karena saya kurang setuju untuk
lahan parkir selain tidak enak dilihat juga menganggu pejalan kaki
2) yang seperlunya, yang jelas saling menguntungkan kalau di
pandang dari provit lebih baik membuat tempat parkir, tapi dari segi
keindahan membudayakan pepohonan
3) pejalan kaki, karena sejak pertama fungsi dari trotoar adalah
untuk pejalan kaki, bukan untuk yang lain
Dari hasil survey tersebut bias diperoleh makna bahwa masyarakat
menginginkan adanya penghaijauan pada kawasan kopersial atau
perdagangan. Masyarakat berharap bahwa pepohonan di kawasan
perdagangan dapat memberikan kenyamanan serta dapat mengatasi
masalah polusi serta membantu mengatasi fenomena globlal
warming . Namun, perlu disadari bahwa masyarakat belum mengerti
bagaimana cara mengelola perawatan ttanaman di kawasan public
tersebut. Masyarakat, menginginkan tata kota yang dapat mengelola
tanaman perkotaan dan melibatkan pihak terkait di perkotaan

(terma pemilik pertokoan/ pengusaha, pengelola perkir, serta pejalan


kaki) (Suparwoko dan Suwarto, 2007). .
IV. ANALISIS MODEL LANSEKAP JALAN BERBASIS
TANAMAN BIOREDUKTOR
Pengembangan dan penataan ruang terbuka hijau perlu dilakukan
dengan pendekatan jangka pendek dan menengah panjang.
Penataan jangka pendek adalah dengan cara refungsionalisasi dan
pengamanan jalur-jalur hijau alami, seperti di sepanjang tepian jalan
raya, jalan tol, bawah jalan layang ( fly-over ), bantaran kali, saluran
teknis irigasi, tepian pantai, bantaran rel kereta api, jalur SUTET,
Tempat Pemakaman Umum (TPU, makam), dan lapangan olah raga,
dari okupasi permukiman liar. Mengisi dan memelihara tamantaman kota yang sudah ada, sebaik-baiknya dan berdasar pada
prinsip fungsi pokok RTH (identifikasi dan keindahan) masingmasing lokasi. Memberikan ciri-ciri khusus pada tempat-tempat
strategis, seperti batas- batas kota, dan alun-alun kota. Memotivasi
dan memberikan insentif secara material (subsidi) dan moral
terhadap peran serta masyarakat dalam pengembangan dan
pemeliharaan RTH secara optimal, baik melalui proses perencanaan
kota, maupun gerakan-gerakan penghijauan. Penataan dan
pengembangan RTH jangka menengah panjang yaitu melalui cara
penyuluhan dengan partisipasi atau kerjasama pemerintah, industry,
perguruan tinggi dan masyarakat (Teknik UMS, 2007)
Untuk menempatkan tanaman bioreduktor polusi udara perlu
didasarkan atas jenis jalur jalan, jalur tanaman, dan jenis fungsi
tanaman selain sebagai bioreduktor. Jalur Tanamanadalah jalur
penempatan tanaman serta elemen lansekaplainnya yang terletak di
dalam Daerah Milik Jalan (DAMIJA) maupun didalam Daerah

Pengawasan Jalan (DAWASJA). Sering disebut jalur hijaukarena


dominasi elemen Iansekapnya adalah tanaman yang pada umumnya
berwarna hijau. Tanaman Peneduh adalah jenis tanaman berbentuk
pohon dengan percabangan yang tingginya Iebih dari 2 meter dan
dapat memberikan keteduhan dan menahan silau cahaya matahari
bagi pejalan kaki. Tanaman Pengarah, Penahan dan Pemecah Angin
adalah jenis tanamanyang berfungsi sebagai pengarah, penahan dan
pemecah angin; dan dapatberbentuk pohon atau perdu yang
diletakkan dengan suatu komposisimembentuk kelompok. Tanaman
Pembatas, Pengarah dan Pembentuk Pandangan adalahjenis
tanaman berbentuk pohon atau perdu yang berfungsi sebagai
pembataspemandangan yang kurang baik, pengarah gerakan bagi
pemakai jalanpada jalan yang berbelok atau menuju ke suatu tujuan
tertentu, juga karenaletak dapat memberikan kesan yang berbeda
sehingga dapat menghilangkan kejenuhan bagi pemakai jalan (Dirjen
Bina Marga DPU, 1996).
Tanaman Penyerap Polusi Udara dan Kebisingan adalah jenis
tanaman berbentuk pohon atau perdu yang mempunyai massa daun
yang padat dan dapat menyerap polusi udara akibat asap kendaraan
bermotor dan dapat mengurangi kebisingan. Tanaman Konservasi
Tanah adalah jenis tanaman berbentuk pohon, perdu/semak atau
tanaman penutup tanah yang karena sistem perakarannya dapat
berfungsi untuk mencegah erosi pada tanah berlereng. Tanaman
Penutup adalah jenis tanaman penutup permukaan tanah yang
bersifat selain mencegah erosi tanah juga dapat menyuburkan tanah
yang kekurangan unsur hara. Biasanya merupakan tanaman antara
bagi tanah yang kurang subur sebelum penanaman tanaman yang
tetap (permanen) (Dirjen Bina Marga DPU, 1996)

4.1. Pemilihan Tanaman Lansekap Jalan Perkotaam


Pemilihan tanaman lansekap jalan ditentukan oleh 1) Ketentuan
untuk perletakan tanaman pada jalur tepi dan jalur tengah (median)
disesuaikan dengan potongan melintang standar tergantung pada
klasifikasi fungsi jalan yang bersangkutan, 2) Berdasarkan
lingkungan di sekitar jalan yang direncanakan dan ketentuan ruang
yang tersedia untuk penempatan tanaman lansekap jalan, maka
untuk menentukan pemilihan jenis tanamannya ada 2 (dua) hal lain
yang perlu diperhatikan yaitu fungsi tanaman dan persyaratan
penempatannya di kawasan perkotaan.
V. Model lansekap jalan di kawasan perkotaan
(1) Jalur tanaman tepi jalan,
(2) Jalur tanaman tengah jalan atau median,
(3) Jalur tanaman pada tikungan, baik pada pertigaan maupun
perempatan jalan.
Pemilihan tanaman bioreduktor pada tikungan perlu
mempertimbangkan
(a) bentuk tikungan daerah bebas samping,
(b) pemilihan tanaman pada daerah tikungan.
Analisis penempatan tanaman bioreduktor pada jalan persimpangan
perlu mempertimbangkan
(1) daerah bebas pandang di mulut persimpangan dan
(2) pemilihan jenis tanaman pada persimpangan
Referensi
Bapedalda DIY, 2004, Kumpulan Peraturan Pencemaran Udara di
Prov. DI Yogyakarta, Yogyakarta: Bapedalda
Bappenas, 2006, Strategi dan Rencana Aksi Lokal: Aglomerasi
Perkotaan Yogyakarta untuk Peningkatan Udara Perkotaan, Jakarta:

PT. Gramedia
Dardak, A. Hermanto, 2007, INTEGRASI TATA RUANG DAN
JARINGAN JALAN JABODETABEK, Dipresentasikan pada Forum
Diskusi : Integrasi Sistem Infrastruktur DKI Jakarta dan Bodetabek
Tanggal 27 November 2007, ENGINEERING CENTE UNIVERSITAS
INDONESIA
Dirjen Bina Marga DPU, 1996, TATA CARA PERENCANAAN TEKNIK
LANSEKAP JALAN , Jakarta: Dirjen Bina Marga DPU
KLH dan KPBB (Kementrian Lingkungan Hidup dan Komite
Penghapusan Bensin Bertimbal), 2006, Laporan Pemantauan
Kualitas Bahan Bakar 2006 , Jakarta: KLH dan KPBB
Soedradjad, 2007, Hutan Kota, diakses 20 september 2007 dari
http://elearning.unej.ac.id/course/pna230/document/bab-6/
hutan_kota.pdf?cidreq+pna230
Suparwoko dan Suwarto, D M., 2007, Trees and Business District,
FTSP UII: Seminar Mata Kuliah Rencana Bagian Wilayah Kota.
Suparwoko, 2007, Kajian Bioreductor Cemaran Logam Berat Timbal
(Pb) pada Tanaman Lansekap Jalan (Streetscape) di Kawasan
Perkotaan Yogyakarta, Prosiding Seminar Nasional: Pembangunan
Lingkungan Perkotaan di Indonesia, FALTL, USAKTI, Jakarta: 27
November 2007
Teknik UMS, 2007, Bab V Hutan Kota, diakses tanggal 30 Mei 2008
dari
http://teknik.ums.ac.id/kuliah/ruhiko/file/A5-PDF-FINAL%20buku
%20teks%20ruhiko%20DIM/Fin%20A5-bab%205%20Hutan
%20Kota-23%20okt.pdf
Wolf, KL., 1988, Trees in Business Districts: Positive Effects on
Consumer Behavior!, Human Dimensions of the Urban Forest

Factsheet No. 5, Washington:Center for Urban Horticulture,


University of Washington

Anda mungkin juga menyukai