Anda di halaman 1dari 20

Home - Potret Negeriku - Warisan Nusantara

Selasa, 31 Januari 2012


Uma Bokulu, Rumah Khas Sumba

Uma Bokulu, Rumah Khas Sumba


Tahukah kamu, apa nama rumah adat Sumba? Ada yang bilang, uma bokulu yang berarti rumah
besar. Ada juga yang bilang uma mbatangu yang artinya rumah bermenara.
Dua-duanya benar, karena baik uma bokulu maupun uma mbatangu menunjuk pada rumah
panggung khas Sumba dengan atap menara yang menjulang tinggi. Uma bokulu ini dibangun di
kampung adat.

Uma bokulu di kampung adat Wainyapu, Kecamatan Kodi, Sumba Barat. Foto: Ricky Martin.
Sedangkan bentuk rumah di luar kampung adat umumnya tidak bermenara. Rumah tidak
bermenara disebut uma kumudungu atau rumah gundul.
Puncak atap uma bokulu ini tinggi sekali. Tingginya sekitar 20 meter atau lebih. Pantas saja para
turis menjulukinya rumah menara.
Uma bokulu berbentuk rumah panggung. Rumah ini dibangun dari bahan-bahan alami. Lantai
dan kerangka dari bambu. Atapnya dari rumput ilalang atau jerami.
Kekuatan bangunan ini terletak pada 4 tiang utama berupa batang kayu gelondongan ukuran
raksasa yang disebut kambaniru ludungu . Di sekitar tiang utama terdapat 36 tiang pendukung
yang disebut kambaniru.
Uma Bokulu dibangun secara bergotong-royong melalui serangkaian upacara adat. Untuk
membangun rumah besar tidak dipergunakan paku, tetapi dengan tali rotan. Saat memasang atap
ilalang, mereka tidak boleh istirahat makan sebelum penutupan atap selesai.
Keunikan Uma Bokulu adalah bentuk bubungan yang mengerucut yang disebut toko uma . Di
dalamnya terdapat ruangan yang digunakan sebagai lumbung untuk menyimpan bibit, bahan
makanan, dan benda-benda pusaka.
Lantai di atas panggung merupakan ruang hunian terbuka yang disebut bei uma. Di tengahtengah ruangan, di antara 4 tiang utama digunakan sebagai dapur. Di depan dapur diletakkan
meja makan. Di depan meja makan ada beranda tempat bapak-bapak bermusyawarah.
Pada bagian beranda ini, biasanya dipasangi tanduk kerbau atau taring babi. Ini sebagai bukti
kalau pemilik rumah telah memotong hewan ternak. Juga sebagai tanda si pemilik rumah
merupakan orang penting di masyarakat.

Pulau Sumba
Tinggal di uma bokulu sangat nyaman dan tidak gerah karena udara mengalir melalui celah-celah
lantai dan dinding bambu.
Lantainya juga tidak perlu disapu dan dipel, karena di antara batang bambu gelondongan yang
ditata menjadi lantai, terdapat celah-celah sehingga debu dan kotoran langsung jatuh ke kolong
rumah.
Kolong rumah disebut kali kabunga. Biasanya digunakan tempat menyimpan kayu bakar dan
kandang ternak.
Rumah adat khas Sumba hingga kini masih terjaga keasliannya. Rumah-rumah menara beratap
ilalang ini bisa kita jumpai di desa-desa adat, seperti Wainyapu, Ratenggaro, Tarung, Waitabar,
Lamboya, Wanokaka, dan lainnya.
Berita Politik Humaniora Ekonomi Hiburan Olahraga Lifestyle Wisata Kesehatan Tekno Media
Muda Green Jakarta Fiksiana Freez
Home
Humaniora
Sosbud
Artikel

Sosbud

Joko Hendarto
Warga negara yang terus ingin belajar, dari Sumba NTT sekarang merantau ke Jakarta
Jadikan Teman | Kirim Pesan
0inShare

Mengintip Pembuatan Rumah Adat Sumba


HL | 25 October 2011 | 17:48 Dibaca: 1097

Komentar: 18

Sepasang Rumah Adat Sumba, Ratenggaro, Kodi, Sumba Barat Daya


Dua hari yang lalu saya diajak seorang rekan menyaksikan prosesi pembuatan rumah adat sumba
di kampung Ratenggaro, Kodi, Sumba Barat Daya. Ratenggaro sering dilafalkan jadi
Ratenggarong, sebuah pelafalan yang keliru kata teman saya. Harusnya, Ratenggaro atau
Rategaura, rate berarti kuburan dan Gaura adalah tempat asal orang pertama yang menghuni
kampung itu.
Ratenggaro atau Rategaura adalah salah satu kampung tua di wilayah Kodi. Kini kampung itu
dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata, selain rumah-rumah adat yang berbentuk menara,
kampung itu pun terletak dekat dengan pantai yang begitu indah dengan pasir putihnya. Dulunya
kata teman saya, kampung mereka berada tepat dipinggir pantai, namun karena pengaruh abrasi,
maka kampung itu pun dipindahkan agak kedalam. Itu pun katanya melalui prosesi dan upacara
adat yang luar biasa ramainya. Makanya jangan heran melihat kuburan batu yang pas di pinggir
pantai, ternyata dulu itu adalah bekas kampung.

Kerangka Rumah Adat dari Bambu dan Kayu Bulat


Rumah adat bisa dikatakan sebagai sentral kehidupan orang Sumba, segala hal yang terkait
dengan adat biasanya akan dikonsultasikan kepada tokoh adat dan kepercayaan Marapu yang

biasanya tinggal di salah satu rumah di kampung adat seperti Ratenggaro ini. Rumah adat Sumba
biasanya berbeda dengan rumah biasa. Berbentuk menara, dan disana biasanya ada tanduk
kerbau di simpan juga tengkorak babi yang pernah dikorbankan saat upacara. Bahkan konon
dahulu kala, kepala musuh yang berhasil dipenggal saat perang juga disimpan di langit-langit
rumah adat. Hal yang tentunya tak akan lagi kita temukan sekarang.
Membangun rumah adat baru ternyata bukan prosesi yang mudah. Semuanya harus melewati
serangkaian upacara yang rumit. Bahkan menyiapkan bahan-bahan bangunan untuk rumah itu
pun tidak boleh sembarangan. Rumah menara setinggi 20 meter ini umumnya terbuat dari bambu
bulat dengan tiang penyanggah yang juga terbuat dari kayu bulat. Orang-orang lokal
menyebutnya kayu kadimbil berusia tua. Atapnya tak boleh dari bahan lain selain alang-alang.

Gotong Royong Mengatapi Rumah


Saya kadang membayangkan betapa susahnya membuat kontruksi rumah adat setinggi 20 meter
itu tanpa menggunakan paku dan kayu lain selain bambu untuk rangka atap. Kata teman saya
tidak boleh menggunakan paku dalam pembuatan rumah adat. Semua bahan mulai dari atap dan
lainnya diikat dengan tali dari semacam kulit pohon yang kuat. Di bagian atap, rangkanya murni
dari bambu, penambahan bahan lain dari kayu harus mendapat izin dulu dengan melakukan
upacara dimana disana harus ada kurban hewan.
Saat saya berkunjung, ada dua rumah adat yang hendak dibangun. Katanya ada donatur dari
Jakarta yang berbaik hati membiayai pembangunan rumah itu. Sepasang rumah, dianggap
sebagai representasi laki-laki dan perempuan. Kalau ditaksir bisa jadi memakan biaya puluhan

hingga ratusan juta rupiah untuk setiap rumah lengkap dengan kerbau dan babi yang akan
dipotong untuk memberi makan para pekerja dan anggota keluarga dari rumpun kampung itu
yang datang berkunjung.

Beberapa Orang Membantu Melemparkan Alang


Sangat terasa sekali kemeriahan dan nuansa kegotongroyongan dalam pembangunan rumah adat
itu. Saya paling suka teriakan mereka bersahut-sahutan untuk saling menyemangati. Beberapa
orang melemparkan alang yang telah diikat dari bawah rumah dengan riang, lalu ditangkap oleh
mereka yang telah berada diatas kerangka atap untuk diikatkan. Gong dan tambur tradisional pun
tak henti dibunyikan, menambah semarak acara itu. Bahkan ada yang beberapa orang yang
menari sambil mengayun-ayunkan parang mengikuti irama gong dan tambur sambil berteriakteriak dalam bahasa Sumba. Mungkin memberi semangat para pekerja untuk cepat
menyelesaikan pekerjaannya.

Salah Satu Hewan yang Akan Dikurbankan


Uniknya, sebelum seluruh rumah adat itu diatapi, orang tak boleh makan, hewan belum boleh
dipotong, hanya boleh minum kopi yang telah disediakan tuan rumah. Bukan cuma untuk pekerja
namun untuk seluruh orang dan tamu yang hadir di tempat itu. Saat saya meninggalkan

pembuatan rumah itu sore hari, rumah belum juga diatapi, jadi mungkin mereka makan sore atau
malam harinya.
Menarik mendapat kesempatan menyaksikan pembuatan salah satu rumah adat Sumba ini, kata
teman saya rumah yang satunya akan mulai diatapi dengan upacara serupa awal November nanti.
Jika saat itu anda kebetulan di sumba, tak ada salahnya berkunjung dan menyaksikannnya secara
langsung. Salam dari Sumba.

KONSEPSI ARSITEKTUR
MENURUT Salaen yang dikutip A.A.Ray Geria dan I Gusti Ayu Armini (2010) dalam jurnal
berjudul Arsitektur Tradisional Rumah Adat Sumba di Waikababak Kabupaten Sumba Barat,
arsitektur bukan hanya sekedar wujud dan perilaku budaya masyarakat, tetapi merupakan
penanda zaman yang dipengaruhi oleh tempat, iklim, bahan, ilmu pengetahuan, teknologi,
pemerintahan, kepercayaan dan tradisi suatu masyarakat. Dan jika dicermati, keseluruhan
rancangan rumah adat Sumba merupakan refleksi norma dan ide-ide, adat istiadat dan status
sosial, pengelompokan gender, kelompok kekerabatan dan tentu saja keterkaitan dengan alam.
Ide-ide tentang kelompok kekerabatan, satus sosial dan adat istiadat, sudah terangkum dari
pembahasan sebelumnya, dimana bagi orang Sumba, rumah tradisional atau lebih tepat disebut
rumah adat, bukan sekedar tempat tinggal semata tapi sekaligus berfungsi sebagai identitas
kelompok serta pusat kehidupan sosial dan seremonial. Sementara ide tentang norma,
pengelompokan gender dan keterkaitan dengan alam akan terlihat pada uraian selanjutnya
Rumah adat Sumba berbentuk panggung, dilengkapi menara yang membumbung tinggi seolah
hendak menggapai langit. Hal ini, sebagaimana diyakini sebagian orang, merupakan perlambang
hubungan harmonis antara manusia dan Sang Pencipta. Rumah adat Sumba aslinya dibangun
tanpa paku, bagian-bagiannya ditautkan satu sama lain menggunakan pasak serta tali kayu
(kalere) atau rotan (uwe).
Seluruh berat rumah sedangkan kegunaan praktisnya adalah sebagai gelang anti tikus agar hewan
pengerat tersebut tidak bisa memanjat ke loteng tempat menyimpan hasil panen. Masing-masing

tiang utama memiliki nama dan fungsi tersendiri. Beda kampung beda lagi namanya, tapi dari
segi fungsi pada prinsipnya sama saja. Tiang yang terletak di sebelah kanan depan (parii urat)
biasanya merupakan tiang yang paling diutamakan karena dipercaya sebagai tempat lalu lalang
marapu pendiri rumah. Melalui tiang ini manusia dapat berhubungan dengan leluhurnya untuk
mencari jawaban atas berbagai pertanyaan. Tiang kanan belakang merupakan kediaman roh-roh
leluhur yang lebih kemudian. Roh-roh ini dipercaya selalu mengawasi pintu utama, sehingga ada
pula yang menyebut tiang tempat mereka berdiam sebagai tiang penjaga kabisu. Tiang Ketiga
yang terletak disebelah kiri depan dan tiang ke empat di belakangnya memiliki makna yang
kurang lebih sama dengan pasangan mereka di sebelah kanan, tetapi ditujukan untuk leluhur dari
pihak perempuan (loka). Karena terletak di dekat area dapur, tiang keempat kerap pula dijuluki
tiang penjaga api. Makna lain keempat tiang utama adalah manifestasi empat arah mata angin:
utara, selatan, barat dan timur, dengan tungku api yang berada tepat di tenganhya sebagai simbol
matahari. ditopang oleh empat tiang utama (parii kalada) yang terbuat dari kayukayu khusus
seperti masela, kawisu, lapale atau ulu kataka, serta tiangtiang penyangga yang lebih kecil.
Keempat tiang utama, terutama tiang pertama di dekat pintu masuk, merupakan elemen arsitektur
rumah adat Sumba yang paling penting, setidaknya dari sisi religius. Masing-masing tiang
dilingkari cincin besar dari kayu (labe), sehingga jika dilihat secara keseluruhan, tiang dan cincin
ini agak mirip lingga dan yoni, konsepsi seksual Hindu yang melambangkan kesuburan. Dari sisi
religius labe berfungsi sebagai tempat meletakkan persembahan,
BEBERAPA nara sumber menyebut rumah adat Sumba sebagai 'rumah tiga alam' karena dari
segi arsitektur dan kegunaan memang terbagi menjadi tiga bagian
yaitu:Toko Uma, Bei Uma, dan Kali Kabunga.
1. Toko Uma
Secara harafiah Toko Uma berarti tongkat rumah, dan dalam konteks ini berwujud menara tinggi
dengan atap alang-alang. Jauh di puncak menara, tepatnya di pojok kiri dan kanannya, tersemat
duatonggak kayu berukiran manusia yang disebut dengan istilah kadu uma (tanduk rumah). Kadu
Uma adalah simbol Ina-Ama (Ibu-Bapak), yaitu pasangan leluhur pendiri rumah yang hidup
berdampingan dan mengawasi segalanya. Toko Uma menjalankan fungsi praktis dan religiusnya
sendiri yaitu sebagai tempat persemayaman marapu dan sebagai tempat menyimpan hasil panen,
harta pusaka dan benda berharga lainnya.

2. Bei Uma
Bei Uma merupakan bagian rumah tempat hunian.Dinding dan lantainya terbuat dari bambu
(walau kini banyak juga dinding rumah yang menggunakan bilah papan). Bei Uma terbagi
menjadi area luar berupa beranda luas yang cenderung berfungsi sebagai area publik, dan area
dalam tempat berlangsungnya aktivitas domestik. Area dalam sedikit lebih tinggi dari beranda,
dan untuk mencapainya tersedia anak tangga dari tanduk kerbau yang langsung terhubung ke
pintu masuk. Ada dua pintu masuk, satu untuk laki-laki dan satunya lagi untuk perempuan.
Tanduk kerbau juga kerap digunakan sebagai hiasan dinding beranda. Hiasan lainnya berupa
rahang babi yang digantung berjajar di sepanjang tepi atap. Hiasan-hiasan ini adalah peninggalan

hewan korban yang disembelih saat berlangsung pesta adat. Makin banyak hiasannya berarti
telah banyak pesta yang digelar si empunya rumah, dengan demikian menjadi lambang prestise
juga. Bagian dalam rumah, baik secara simbolis maupun fungsional, terbagi menjadi dua bagian:
bagian untuk laki-laki yang lebih formal dan religius (mbale katounga) serta bagian untuk wanita
yang lebih ke urusan rumah tangga (kere pandalu). Mbale katounga berwujud bale-bale panjang
yang terentang mulai pintu masuk laki-laki hingga ke ujung uma (menara/loteng). Ruang di
antara ke dua pintu masuk digunakan sebagai gudang (hadoka) atau sebagai kamar terpisah bagi
anak yang telah menikah. Sementara ruang
di antara koro ndouka dan ujung belakang mbale katounga adalah ruang tambahan yang memiki
sejumlah fungsi. Anggota keluarga yang sakit biasanya beristirahat di ruang ini, pengantin wanita
didandani di sini, dan para ibu melahirkan bayi mereka juga di ruangan yang disebut halibar ini.
Ruang-ruang tersebut di atas jarang memiliki partisi permanen, satu sama lain hanya dipisahkan
oleh bale-bale pendek sehingga jika tampak sekilas, interior rumah Sumba bagaikan sebuah
ruang terbuka lebar.
3. Kali Kabunga
Merupakan kolong rumah yang sekelilingnya diberi pagar, berfungsi sebagai kandang ternak dan
tempat menyimpan kayu bakar. SIMBOLISASI RUMAH ADAT BANYAK orang Sumba
memandang rumah adat mereka sebagai simbolisasi tubuh manusia yang terdiri dari kepala,
badan dan anggota tubuh, serta terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Bagian kepala
dilambangkan dengan atap atau menara (toko uma). Dan sebagaimana kepala yang merupakan
tempat beradanya otak (pusat kehidupan atau jiwa manusia) menara rumah orang Sumba juga
dianggap sebagai tempat beradanya jiwa keluarga. Disinilah hasil ladang sebagai sumber
kelangsungan hidup badaniah disimpan, juga harta benda pusaka yang merupakan sumber
kehidupan ruhaniah (spiritual). Bagian badan dilambangkan dengan bagian rumah tempat hunian
(bei uma). Badan manusia memiliki organ-organ penting seperti hati serta jantung, begitu juga
bei uma. Hati diidentikkan dengan leki atau para-para yang terletak menggantung di antara
belakang rumah. fungsinya beragam, sebagai tempat pertemuan formal, tempat pemujaan serta
area tidur. Sementara kere pandalu, yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan makanan dan
tempat menyimpan berbagai alat rumah tangga, terentang mulai pintu masuk perempuan hingga
sepertiga panjang rumah, seperempat sisanya merupakan ruang tidur pemilik rumah (koro
ndouka). Mbale katounga dan kere pandulu dipisahkan oleh area dapur (robukadana) yang
terletak persis ditengah ruangan, diapit oleh ke empat tiang utama. Di tengahnya ada tungku api,
dan diatas tungku api tergantung leki atau para-para. Leki terbagi dua: leki kii (para-para kecil)
tempat menyimpan makanan matang, dan leki kalada (para-para besar) tempat menyimpan
peralatan dapur. Leki merupakan batas tertinggi bei uma, lebih ke atas lagi ada uma dana yaitu
pelataran tempat menyimpan hasil panen dan harta pusaka keluarga yang merupakan bagian toko
empat tiang utama.
Karena berfungsi sebagai tempat menyimpan peralatan masak dan makanan matang, leki
dianggapap sebagai penunjang kelangsungan hidup yang penting. Sementara jantung identik
dengan robukadana yaitu tungku api serta dapur yang terletak tepat di tengah-tengah rumah, dan
dianggap sebagai pusat penggerak kehidupan. Bagian kaki dilambangkan dengan tiang-tiang
penopang, terutama 4 tiang utama dan 16 tiang penyangga, serta tiang-tiang penunjang lainnya.
Sementara konsep gender tampak pada pembagian ruang-ruang. Ada Bale katounga (ruang untuk
laki-laki) dan ada Kere pandalu (ruang untuk perempuan). Konsep gender juga terlihat jelas pada

kadu uma (tanduk rumah), simbol suami dan istri yang berada di puncak menara rumah. Menurut
A.A. Rai Geria danI Gusti Ayu Armini (2010) konsep gender dalam rumah adat Sumba bisa
dilihat sebagai simbol hubungan spiritual dua kutub berlawanan yang bersifat oposisi biner.
Misalnya langit dan bumi atau lelaki dan perempuan. Masing-masing terpisah dalam status dan
peran namun bekerja saling melengkapi sehingga pada gilirannya mampu menghasilkan
kesuburan, kelangsungan hidup dan kekayaan.
PEMBANGUNAN RUMAH ADAT
PEMBANGUNAN rumah adat Sumba merupakan salah satu kegiatan adat besar yang
membutuhkan sejumlah besar dana, juga keterlibatan banyak pihak sehingga perlu dipersiapkan
dengan matang. Tahap-tahap persiapan dan pembangunan mungkin agak berbeda antara satu
wilayah etnis dan wilayah etnis lainnya, tapi perbedaan tersebut tidak terlalu mencolok dan lebih
disebabkan karena lokasi pengambilan bahan yang berbedabeda. Misalnya ada yang bisa
memperoleh bahan di lokasi dekat kampung, tapi ada juga yang harus menyebrangi laut,
sehingga akhirnya ikut mempengaruhi variasi ritual. Pada dasarnya pembangunan rumah adat
bisa dibagi menjadi tiga tahapan besar yaitu persiapan atau perundingan, pencarian bahan dan
pembangunan.
1. Perundingan
Tahap perundingan yang dalam bahasa Wanokaka disebut pakehang atau pakasana dalam bahasa
Loli, merupakan tahapan penting dimana seluruh kabisu terkait, baik yang bermukim di dalam
maupun di luar kampung, berkumpul bersama untuk membicarakan persiapan-persiapan yang
perlu dilakukan, baik menyangkut bahan, tenaga kerja, ritual adat, pendanaan dan waktu
pelaksanaan
2. Pencarian bahan
Pada tahap ini bahan bangunan mulai dikumpulkan. Bahan-bahan ini berasal dari alam sekitar,
seperti kayu untuk tiang, alang-alang untuk atap, bambu untuk dinding dan lantai, tali-temali
untuk pengait, juga pandan yang kemudian dianyam menjadi tikar untuk alas duduk maupun
tidur. Yang terpenting dari semuanya adalah pencarian kayu untuk tiang utama. Proses pencarian,
yang kadang bisa berlangsung selama berhari-hari, umumnya dilakukan di hutan-hutan tertentu
melalui kegiatan adat khusus yang di sebut Laungu Ai (Wanokaka) atau Burru Kandawu (Loli).
Sebelum berangkat, rombongan yang dipimpim oleh beberapa orang rato terlebih dahulu
melakukan pemujaan kecil dengan menyembelih ayam guna mengetahui peruntungan dan lokasi
yang tepat. Pemujaan kembali dilakukan setelah kayu ditemukan, kali ini dengan pelantunan
syair-syair adat serta persembahan sirih dan pinang sebagai simbol permohonan ijin kepada roh
penunggu pohon. Lalu sang rato melemparkan tombaknya ke pohon terpilih dan dengan itu
proses penebangan pun dimulai. Setelah ditebang, kayu diikat dengan tali khusus, dihiasi lado
(semacam hiasan kepala yang biasa dipakai para rato) lalu ditarik beramai-ramai menuju
kampung dengan terlebih dahulu melakukan pemujaan sebagai tanda penghormatan kepada roh
penunggu pohon. Di pintu masuk kampung kembali dilakukan prosesi adat dalam bentuk kajalla
(sejenis pantun adat yang substansinya semacam pertanggung jawaban atau pernyataan maksud).
Baru setelah itu rombongan diijinkan masuk kampung untuk memulai proses selanjutnya.
Di Wanokaka, di mana lokasi pengambilan kayu berada di hutan Konda Maloba yang harus

ditempuh melalui jalur laut, kegiatan Laungu Ai dibarengi ritual yang sedikit berbeda.
Rombongan harus berkemah di tepi hutan selama hari-hari, sehingga sewaktu kayu akhirnya
berhasil ditemukan dan ditebang, mereka melakukan pemujaan (mayatung) dengan menyembelih
ayam serta babi sebagai ucapan syukur, lalu dibagikan kepada seluruh rombongan sebagai
simbol melepas kepenatan setelah lama menetap dihutan. Sewaktu hendak berlayar kembali ke
Wanokaka mereka juga melakukan ritual yang disebut Maratang Tana, dengan melepas seekor
anak ayam yang kaki kanannya diikat tali merah. Lalu ada lagi Hari Papa, upacara meriah yang
digelar selama 3 hari di pesisir pantai Wanokaka. Upacara ini merupakan ungkapan syukur dan
luapan suka cita karena rombongan telah kembali dan berhasil! Upacara dimeriahkan dengan
tarian, nyanyian dan pemotongan hewan untuk dibagikan kepada seluruh rombongan. Pembagian
daging dilakukan dengan cara yang sedikit unik, disesuaikan dengan posisi mereka saat berlayar,
misalnya kepala untuk juru mudi dan seterusnya. Selepas perayaan Hari Papa kayu datarik
menuju kampung. Prosesi penarikan dipimpin para rato dan dua pasang laki-laki dan perempuan
yang bertugas sebagai pemberi semangat, pemimpin lagu dan tari-tarian.
3. Pembangunan
Setelah semua bahan terkumpul pembangunan pun siap dimulai. Tentu saja didahului upacara
pemujaan untuk memanggil kula ina-kula ama (roh pasangan pendiri rumah) agar turut serta
dalam proses pembangunan kembali rumah tersebut sehingga semuanya dapat berjalan dengan
lancar. Ritual ini dilakukan dengan menyembelih babi sebagai persembahan. Bagian rumah yang
paling pertama dibangun adalah keempat tiang utama. Tiang-tiang ini dipancang dengan pangkal
tertancap di tanah dan ujung menghadap ke atas seperti posisi alami kayu sebelum ditebang,
tidak boleh sebaliknya. ujung tali-temali yang mengikat tiang pun harus mengarah ke kanan,
tidak boleh ke kiri. Pelanggaran terhadap hal-hal semacam ini dipercaya bakal membawa
penyakit bagi penghuni rumah. Setelah tiang utama tertancap kuat, giliran tiang-tiang pendukung
(parii ripi) yang dibangun, lalu landasan rumah (uma dana) dan terakhir kerangka
menara. Proses selanjutnya adalah pemasangan alang-alang (pangaingo) yang juga dianggap
penting dan biasanya melibatkan partisipasi seluruh kampung. Pemasangan alang-alang harus
dilakukan serapat mungkin agar tidak bocor ketika hujan. Berikutnya adalah pemasangan
dinding, lalu lantai, diakhiri dengan pengerjaan bagian dalam rumah. Selama pembangunan
berlangsung, setangkup sirih pinang selalu
diletakkan di dekat Parii urat (tiang utama
pertama) sebagai persembahan kepada marapu.

Rumah Tradisional Sumba

Published: Friday, 24 January 2014

Bentuk atapnya tinggi lancip, serupa menara dimana tersimpan benda-benda pusaka (Tanggu
Marapu). Tiap-tiap Rumah Adat mempunyai 3 bagian: Bagian bawah, tengah dan atas rumah,
mencerminkan simbol alam dalam pandangan Suku Bangsa Sumba, yakni alam bawah (tempat
arwah), alam tengah (tempat manusia) dan alam atas (tempat para dewa).
Dengan demikian rumah bukan hanya tempat kediaman manusia tetapi juga merupakan tempat
kebaktian dan pusat persekutuan sosial dan ekonomi ( center of social gathering and economic ).
Sekeliling rumah adat terdapat kubur-kubur batu besar dengan berbagai bentuk dan ukiran yang
indah baik yang telah beratus tahun maupun yang baru, sebagai manifestasi kejayaan jaman
megalitik di masa lampau, dengan karakteristik adat istiadatnya masing-masing.

Lainnya...

Pasola
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa

Tradisi pasola menggabungkan keahlian menunggang kuda dan melempar lembing yang
diadakan untuk menyambut tahun baru dalam kepercayaan Marapu dan panen.
Pasola berasal dari kata "sola" atau "hola", yang berarti sejenis lembing kayu yang dipakai untuk
saling melempar dari atas kuda yang sedang dipacu kencang oleh dua kelompok yang
berlawanan.[1] Setelah mendapat imbuhan `pa' (pa-sola, pa-hola), artinya menjadi permainan.[1]
Jadi pasola atau pahola berarti permainan ketangkasan saling melempar lembing kayu dari atas
punggung kuda yang sedang dipacu kencang antara dua kelompok yang berlawanan.[1] Pasola
merupakan bagian dari serangkaian upacara tradisional yang dilakukan oleh orang Sumba yang
masih menganut agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).[1] Permainan
pasola diadakan pada empat kampung di kabupaten Sumba Barat.[1] Keempat kampung tersebut
antara lain Kodi, Lamboya, Wonokaka, dan Gaura.[1] Pelaksanaan pasola di keempat kampung ini
dilakukan secara bergiliran, yaitu antara bulan Februari hingga Maret setiap tahunnya.[1]

Daftar isi

1 Sejarah

2 Proses upacara

3 Manfaat

4 Referensi

5 Lihat pula

6 Pranala Luar

Sejarah
Menurut cerita rakyat Sumba, pasola berawal dari seorang janda cantik bernama Rabu Kaba di
Kampung Waiwuang.[2] Rabu Kaba mempunyai seorang suami yang bernama Umbu Amahu,
salah satu pemimpin di kampung Waiwuang.[2] Selain Umbu Amahu, ada dua orang pemimpin
lainnya yang bernama Ngongo Tau Masusu dan Bayang Amahu.[2] Suatu saat, ketiga pemimpin
ini memberitahu warga Waiwuang bahwa mereka akan melaut.[2] Tapi, mereka pergi ke selatan
pantai Sumba Timur untuk mengambil padi.[2] Warga menanti tiga orang pemimpin tersebut
dalam waktu yang lama, namun mereka belum pulang juga ke kampungnya.[2] Warga menyangka
ketiga pemimpin mereka telah meninggal dunia, sehingga warga pun mengadakan perkabungan.
[2]
Dalam kedukaan itu, janda cantik dari almarhum Umbu Dula, Rabu Kaba terjerat asmara
dengan Teda Gaiparona yang berasal dari Kampung Kodi.[2] Namun keluarga dari Rabu Kaba dan
Teda Gaiparona tidak menyetujui perkawinan mereka, sehingga mereka mengadakan kawin lari.
[2]
Teda Gaiparona membawa janda tersebut ke kampung halamannya.[2] Beberapa waktu
berselang, ketiga pemimpin warga Waiwuang (Ngongo Tau Masusu, Bayang Amahu dan Umbu
Amahu) yang sebelumnya telah dianggap meninggal, muncul kembali di kampung halamannya.
[2]
Umbu Amahu mencari isterinya yang telah dibawa oleh Teda Gaiparono.[2] Walaupun berhasil
ditemukan warga Waiwuang, Rabu Kaba yang telah memendam asmara dengan Teda Gaiparona
tidak ingin kembali.[2] Kemudian Rabu Kaba meminta pertanggungjawaban Teda Gaiparona
untuk mengganti belis yang diterima dari keluarga Umbu Dulla.[2] Belis merupakan banyaknya
nilai penghargaan pihak pengambil isteri kepada calon isterinya, seperti pemberian kuda,
sapi,kerbau, dan barang-barang berharga lainnya.[2] Teda Gaiparona lalu menyanggupinya dan
membayar belis pengganti.[2] Setelah seluruh belis dilunasi diadakanlah upacara perkawinan
pasangan Rabu Kaba dengan Teda Gaiparona.[2] Pada akhir pesta pernikahan, keluarga Umbu
Dulla berpesan kepada warga Waiwuang agar mengadakan pesta nyale dalam wujud pasola
untuk melupakan kesedihan mereka karena kehilangan janda cantik, Rabu Kaba.[2]

Proses upacara

Tradisi nyale merupakan puncak dari segala kegiatan untuk memulai pasola.
Pasola diawali dengan pelaksanaan adat nyale. Adat nyale adalah salah satu upacara rasa syukur
atas anugerah yang didapatkan, yang ditandai dengan datangnya musim panen dan cacing laut
yang melimpah di pinggir pantai.[3] Adat tersebut dilaksanakan pada waktu bulan purnama dan
cacing-cacing laut (dalam bahasa setempat disebut nyale) keluar di tepi pantai.[3] Para Rato
(pemuka suku) akan memprediksi saat nyale keluar pada pagi hari, setelah hari mulai terang.[3]
Setelah nyale pertama didapat oleh Rato, nyale dibawa ke majelis para Rato untuk dibuktikan
kebenarannya dan diteliti bentuk serta warnanya.[3] Bila nyale tersebut gemuk, sehat, dan
berwarna-warni, pertanda tahun tersebut akan mendapatkan kebaikan dan panen yang berhasil.[3]
Sebaliknya, bila nyale kurus dan rapuh, akan didapatkan malapetaka.[3] Setelah itu penangkapan
nyale baru boleh dilakukan oleh masyarakat.[3] Tanpa mendapatkan nyale, Pasola tidak dapat
dilaksanakan.[3] Pasola dilaksanakan di bentangan padang luas, disaksikan oleh segenap warga
dari kedua kelompok yang bertanding, masyarakat umum, dan wisatawan asing maupun lokal.[1]
Setiap kelompok terdiri atas lebih dari 100 pemuda bersenjatakan tombak yang dibuat dari kayu
berujung tumpul dan berdiameter kira-kira 1,5 cm.[1] Walaupun berujung tumpul, permainan ini
dapat memakan korban jiwa.[1] Kalau ada korban dalam pasola, menurut kepercayaan Marapu,
korban tersebut mendapat hukuman dari para dewa karena telah telah melakukan suatu
pelanggaran atau kesalahan.[1] Dalam permainan pasola, penonton dapat melihat secara langsung
dua kelompok ksatria sumba yang sedang berhadap-hadapan, kemudian memacu kuda secara
lincah sambil melesetkan lembing ke arah lawan.[4] Selain itu, para peserta pasola ini juga sangat
tangkas menghindari terjangan tongkat yang dilempar oleh lawan.[4] Derap kaki kuda yang
menggemuruh di tanah lapang, suara ringkikan kuda, dan teriakan garang penunggangnya
menjadi musik alami yang mengiringi permainan ini.[4] Pekikan para penonton perempuan yang
menyemangati para peserta pasola, menambah suasana menjadi tegang dan menantang.[4] Pada
saat pelaksanaan pasola, darah yang tercucur dianggap berkhasiat untuk kesuburan tanah dan
kesuksesan panen.[5] Apabila terjadi kematian dalam permainan pasola, maka hal itu menandakan
sebelumnya telah terjadi pelanggaran norma adat yang dilakukan oleh warga pada tempat
pelaksanaan pasola.[5]

Manfaat
Pasola tidak sekadar menjadi bentuk keramaian, tetapi menjadi salah satu bentuk pengabdian dan
aklamasi ketaatan kepada sang leluhur.[6] Pasola merupakan kultur religius yang mengungkapkan
inti religiositas agama Marapu.[6] Pasola menjadi perekat jalinan persaudaraan antara dua
kelompok yang turut dalam pasola dan bagi masyarakat umum.[5] Pasola menggambarkan rasa

syukur dan ekspresi kegembiraan masyarakat setempat, karena hasil panen yang melimpah.[7]
Pasola dapat dijadikan tonggak kemajuan pariwisata Sumba, karena atraksi budaya ini sudah
diketahui banyak wisatawan mancanegara.[7] Hal ini terlihat dalam setiap acara pasola selalu ada
turis asing yang datang.[7] Warisan budaya ini merupakan aset untuk meningkatkan pendapatan
asli daerah.[7]

Referensi
1.

^ a b c d e f g h i j k Boro, Paulus Lete.(1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda


lelaki Sumba, Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jakarta. Obor.Hal 1-2.

2.

^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r (Inggris) Sumba Pasola Festival-Sumba Island,


Lombokmarine. Diakses pada 26 Mei 2010.

3.

^ a b c d e f g h Pasola, Tragedi Asmara di Padang Savana, Nusacendanabiz. Diakses


pada 26 Mei 2010.

4.

^ a b c d Tradisi Pasola, Wisatamelayu. Diakses pada 26 Mei 2010.

5.

^ a b c Najib, Mohammad (1996). Demokrasi dalam perspektif budaya Nusantara,


Jilid 2 Demokrasi dalam perspektif budaya Nusantara. Yogyakarta. LPKSM. Hal
45.ISBN 979-8867-01-7, 9789798867019.

6.

^ a b Saadah, Sri (2002). Aneka budaya masyarakat Dani (Irja) dan Sumba (NTT).
Proyek Pemanfaatan Kebudayaan,Direktorat Tradisi dan Kepercayaan, Deputi Bidang
Pelestarian dan Pengembangan Budaya, Badan Pengembangan Kebudayaan dan
Pariwisata 2. Jakarta. Hal 12-13.

7.

^ a b c d Tradisi Pasola, Kompas. Diakses pada 7


Mei 2010.

2. MENGENAL KONSEP KESENIAN MASYARAKAT SUMBA

3. Makna kesenian yang dijabarkan di sini hanya terbatas pada pengertian kesenian
tradisional, yaitu kesenian yang lahir, tumbuh, berkembang, dan hidup bersama tradisi
suku bangsa Sumba. Kesenian itu dalam berbagai bentuk, gaya, corak, dan ragamnya
berorientasi pada:

Anda mungkin juga menyukai