Anda di halaman 1dari 8

PENDIDIKAN GAYA BANK

Paulo Freire
Konsep pendidikan ini yang Paulo Freire disebut dengan konsep
Pendidikan Gaya Bank. Menurut Paulo Freire dalam konsep pendidikan
gaya bank, pendidikan bercerita, dengan guru sebagai pencerita, guru
mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi
pelajaran yang di ceritakan. Lebih buruk lagi, murid di ubah menjadi
bejana-bejana, wadah-wadah kosong untuk di isi oleh guru,semakin
penuh dia mengisi wadah-wadah itu, semakin baik pula seorang guru.
Semakin patuh wadah-wadah itu untuk di isi semakin baik pula mereka
sebagai murid.
Menurut Freire, pendidikan menjadi sebuah kegiatan menabung, di
mana para murid adalah celengan dan guru adalah penabungnya atau
dengan kata lain anak didik adalah objek investasi dan sumber depositi
potensial. Mereka tidak berbeda dengan komoditi ekonomis lainnya yang
lazim di kenal. Devositor atau investornya adalah para guru yang mewakili
lembaga-lembaga kemasyarakatan mapan dan berkuasa, sementara
depositonya adalah berupa ilmu pengetahuan yang di ajarkan kepada
anak didik. Anak didik pun lantas di perlakukan sebagai bejana
kosongyang akan di isi, sebagai sarana tabungan atau penanaman modal
ilmu pengetahuanyang akan di petik hasilnya kelak. Jadi , guru adalah
subjek aktif, sedangkan anak didik adalah objek pasif yang penurut, dan di
perlakukan tidak berbeda atau menjadi bagian dari realitas dunia yang di
ajarkan kepada mereka, sebagai objek ilmu pengetahuan teoritis yang
tidak berkesudahan.
Menurut Paulo Freire, dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan
adalah merupakan sebuah anugerah yang di hibahkan oleh mereka yang
menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang di anggap tidak
memiliki pengetahuan apa- apa. Menganggap bodoh secara mutlak pada
orang lain, sebuah ciri dari ideologi penindasan, berarti mengingkari
pendidikan dan pengetahuan sebagai proses pencarian. Tidaklah
mengherankan jika konsep pendidikan gaya bank memandang manusia
sebagai makhluk yang dapat di samakan dengan sebuah benda dan
gampang di atur (Freire, Paulo, Pendidikan kaum tertindas (2011), hlm.54).
Secara sederhana Freire menyusun daftar antagonisme pendidikan
gaya bank itu sebagai berikut :
1. Guru mengajar, murid belajar
2. Guru tahu segalanya, murid tak tahu apa-apa

3.
4.
5.
6.
7.

Guru berfikir, murid di fikirkan


Guru berbicara, murid mendengarkan
Guru mengatur, murid di atur
Guru memilih dan melaksanakan pilihannya, murid menuruti
Guru bertindak, murid membayangkan bagaimana bertindak sesuai
dengan tindakan gurunya
8. Guru memilih apa yang akan di ajrakan, murid menyesuaikan diri
9. Guru mengacaukan wewenang ilmu pengetahuan dengan wewenang
profesionalismenya, dan mempertentangkannya dengan kebebasan
murid- murid
10. Guru adalah subjek proses belajar, murid objeknya.
Oleh karena guru yang menjadi pusat segalanya, maka merupakan
hal yang lumrah saja jika murid-murid kemudian mengidentifikasikan
seperti gurunya sebagai prototip manusia ideal yang harus di tiru dan
harus di teladani dalam semua hal. Implikasinya lebih jauh adalah bahwa
pada saatnya nanti murid-murid akan benar- benar menjadikan diri
mereka sebagai duplikasi guru mereka dulu, dan pada saat itulah akan
lahir lagi generasi baru manusia-manusia penindas. Jika di antara mereka
ada yang menjadi guru atau pendidik, daur penindasan akan segera di
mulai dalam dunia pendidikan, dan demikian terjadi seterusnya. Bagi
freire, sistem pendidikan justru harus menjadi kekuatan penyadar dan
pembebas umat manusia.
Paulo Freire dan Pendidikan Hadap Masalah sebagai solusi
terhadap konsep Pendidikan Gaya Bank
Paulo Freire tentunya memiliki dasar yang sangat kuat dari kritikan
kerasnya terhadap konsep pendidikan gaya bank, kritik tanpa di sertai
dengan dasar sama saja omong kosong. Paulo Freire tentunya selalu
menawarkan jalan keluar terhadap masalah yang di anggapnya mapan,
begitupun dengan kritik Freire terhadap konsep pendidikan gaya bank,
pergumulan Freire terhadap masalah tersebut membuat konsistensinya
terhadap masalah tersebut menjadi semakin kuat, dalam konteks kritikan
Freire terhadap konsep pendidikan gaya bank, Paulo Freire menawarkan
solusi yang menjadi antitesa terhadap konsep pendidikan gaya bank,
Freire menemakannya sebagai konsep Pendidikan Hadap Masalah.
Menurut Paulo Freire, Pendidikan Hadap Masalah (Problem Posing)
yang menjawab hakikat kesadaran, yakni Intensionalitas, akan menolak
pernyataan-pernyataan serta mewujudkan komunikasi. Konsep ini
mewakili sifat khas dari kesadaran: yakni sadar akan, tidak saja terhadap
objek-objek tetapi juga berbalik kepada dirinya sendiri, sehingga terbelah
dalam pengertian Jaspers, yakni, kesadaran sebagai kesadaran atas
kesadaran (Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas (2011), hlm. 63).

Pendidikan Hadap Masalah adalah pendidikan alternatif yang di


tawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia
sendirilah yang di jadikan titik tolak dalam pendidikan hadap masalah.
Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan realitasnya, tetapi
ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas dunia. Realitas
itulah yang harus di perhadapkan kepada para didik supaya ada kesadaran
akan realitas itu. Konteks pedagogis yang demikian didasarkan pada
pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk berkreasi dalam
realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan budaya, ekonomi,
dan politik.
Kesadaran tumbuh dari pergumulan atas realitas yang di hadapi dan
di harapkan akan menghasilkan suatu tingkah laku kritis dalam diri anak
didik. Freire membagi 4 tingkatan kesadaran manusia yaitu :
1. Kesadaran Intransitif, di mana seorang hanya terikat pada kebutuhan
jasmani tidak sadar akan sejarah dan tenggelam dalam masa kini yang
menindas
2. Kesadaran Semi Intransitif, atau kesadaran magis, kesadaran ini
terjadi pada masyarakat berbudaya bisu, di mana masyarakatnya
tertutup. Ciri kesadaran ini adalah fatalistik. Hidup berarti hidup di
bawah kekuasaan orang lain atau hidup dalam ketergantungan.
3. Kesadaran Naif, pada tingkatan ini sudah ada kemampuan untuk
mempertanyakan dan mengenali realitas, tetapi masih di tandai dengan
sikap yang primitif dan naif, seperti: mengidentifikasikan diri dengan
elite, kembali ke masa lampau, mau menerima penjelasan yang sudah
jadi, sikap emosi kuat, banyak berpolemik dan berdebat tetapi bukan
dialog.
4. Kesadaran Kritis Transitif, kesadaran kritis transitif di tandai dengan
kedalaman menafsirkan masalah-masalah, percaya diri dalam
berdiskusi, mampu menerima dan menolak. Pembicaraan bersifat
dialog. Pada tingkat ini orang mampu merefleksi dan melihat hubungan
sebab akibat.
Bagi Freire pendidikan yang membebaskan adalah pendidikan yang
menumbuhkan kesadaran kritis transitif. Memang ia tidak bermaksud
bahwa seorang mampu mencapai tingkatan kesadaran tertinggi itu, tetapi
belajar adalah proses bergerak dari kesadaran nara didik pada masa kini
ke tingkatan kesadaran yang di atasnya.
Dalam konteks belajar yang demikian kontradiksi guru murid
(perbedaan guru yang menjadi sumber segalah pengetahuan dengan
murid sebagai orang yang tidak tahu apa-apa) tidak ada. Menurut Freire,
metode pendidikan hadap masalah tidak membuat di kotomi kegiatan
guru murid ini; dia tidak menyerap pada suatu saat serta
menceritakan pada saat yang lain. Guru selalu menyerap, baik ketika

dia mempersiapkan bahan pelajaran maupun ketika dia berdialog dengan


para murid. Dia tidak akan menganggap obyek-obyek yang dapat di
pahami sebagai milik pribadi, tetapi sebagai obyek refleksi para murid
serta dirinya. Dengan cara ini, pendidik hadap masalah secara terus
menerus memperbaharui refleksinya di dalam refleksi para murid, murid
yang bukan lagi pendengar yang penurut telah menjadi rekan pengkaji
yang kritis melalui dialog dengan guru (Freire,. Paulo, Pendidikan Kaum
Tertindas (2011), hlm. 65). Guru menyajikan pelajaran kepada murid
sebagai bahan pemikiran mereka, dan menguji kembali pemikirannya
yang terdahulu ketika murid mengemukakan hasil pemikira sendiri. Peran
seorang pendidik hadap masalah adalah menciptakan, bersama dengan
murid suatu suasana di mana pengetahuan pada tahap mantera (Doxa) di
ganti dengan pengetahuan sejati (Logos). (Freire, Paulo, Pendidikan Kaum
Tertindas (2011), hlm. 66)

Paulo Freire
Paulo Freire [1921-1997] seorang pedagogis revolusioner sepanjang
hayatnya bekerja untuk dunia pendidikan. Khusunya: kritik pada pendidikan
formal. Hal ini berangkat dari kegundahana Freirebegitu namanya
disapa, melihat lembaga pendidikan tidak berhasil melakukan tugasnya
dan sepertinya memang disengajamengembangkan bakat dan
kemampuan manusia. Sekolah tidak bisa menaikan tingkat kesadaran
manusiaakhirnya nasib diterima sebagai sesuatu yang tak bisa diubah.
Keadaan ini dimanfaatkan kaum penindas untuk menindas kaum tertindas.
Inilah potret ketidakberhasilan pendidikan memanusiakan manusia,
sehingga penindas kehilangan rasa kemanusiaannya dan kaum tertindas
tidak menyadari nasib apa yang menimpanya. Bagi Freire keduanya harus
dibebaskan, tapi karena kaum tertindaslah yang terlebih dahulu disadarkan
karena berada pada posisi yang lemah
Ketidakadilan bertakhta di Brazilia, tempat dimana Freire lahir dan
dibesarkan. Freire melihat kaum buruh dan petaniwalaupun telah bekerja
dari pagi hingga malamtetap hidup dalam kemiskinanMahatma Gandhi
pernah bekata: kemiskinan adalah salah bentuk kekerasan. Tingkat
pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka sangat rendah dan tidak
mendapatkan perhatian. Ironisnya mereka tidak dapat menyadari mengapa
hidupnya sedemikian buruk. Sementara itu pemilik modal dan tuan tanah
dapat hidup senang dengan hanya sedikit bekerja. Kehidupan mereka
sangat-sangat sejahtera dengan segala macam jaminan fasilitas
kehidupan.

Freire muda tak bisa berpangku tangan melihat ini. Dengan kerja keras, ia
menyusun strategi melawan ketidakadilan itu. Praksis pendidikan menjadi
pilihannya untuk membebaskan manusia dari kebodohan. Bersama
dengan buruh, petani, dan kaum tertindas lainnya ia melakukan program
pendidikan pemberantasan buta huruf: membaca dan menulis. Dan untuk
kaum penindas sendiri pendidikan yang dilakukan Paulo Freire bertujuan
membebaskan mereka dari dehumanisasi yang selama ini menghinggapi
dirinya. Dalam hal ini memanusiakan kembali kaum penindas, kembali
kepada martabatnya sebagai manusia yang tidak menindas orang lain.
Usaha Freire membuahkan hasil, kesadaran kelas kaum buruh bangun
tahap demi tahap. Namun alih-alih mendapatkan kehormatan, ia malah
dituduh melakukan tindakan subversif sehingga harus diasingkan ke
negara lain.
Pengalaman kerjanya itu dibukukan Freire dalam Pedagogy of The
Opressed[diindonesiakan menjadi Pendidikan Kaum Tertindas oleh
penerbit LP3ES]. Dalam buku ini Freire melancarkan kritik pedas terhadap
lembaga pendidikan formal [misalnya sekolah] yang ada pada waktu itu.
Menurut Freire sekolah alih-alih melakukan tugasnya menyadarkan malah
melakukan pembodohan dan penjinakan terhadap manusia.
Pendidikan Gaya Bank
Freire menyebut pendidikan formal sebagai pendidikan gaya bank, di mana
guru adalah penabung dan peserta didik adalah tabungan [bank]. Sehingga
dalam hubungan ini guru selalu menyetor pengetahuan kepada muridnya,
dan murid tidak bisa lain hanya menerima pengetahuan itu bulat-bulat.
Adakah kuasa tabungan menolak uang yang dimasukkan kedalamnya?
Tentu tidak, sampai si penabung memecahkan tabungannya.
Dalam Pendidikan Kaum Tertindas, Freire mengidentifikasi sepuluh ciri
pendidikan gaya bank: [1] guru mengajar, murid belajar [2] guru
mengetahui segala sesuatu, murid tidak mengetahui apa-apa [3] guru
berpikir, murid dipikirkan [4] guru bercerita, murid patuh mendengarkan [5]
guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuinya [6] guru
memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujuji [7] guru berbuat,
murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya [8] guru
memilih bahan dan isi pelajaran, murid menyesuaikan diri dengan
pelajaran itu [9] guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan
dan kewenangan jabatannya, yang dilakukan untuk menghalangi
kebebasan murid [10] guru adalah subyek dalam proses belajar, dan murid
hanyalah objek belaka.
Inilah tesis-tesis Freire tentang pendidikan gaya bank yang berlangsung di
sekolah formal. Ironisnya pendidikan ini masih berlangsung di tempat

dimana manusia seharusnya terbebaskan: sebuah a contrario in


determinus. Lagu Pax Braxton di awal tulisan ini tentunya adalah satire
tentang bagaimana proses belajar dan mengajar di sekolah selama ini.
Bahwa sekolah mengajarkan kepada anak didiknya tentang sesuatu yang
harus dipercayai murid secara doktrinal. Bahwa negara adalah lembaga
yang baik, bahwa pemimpin kita adalah orang-orang yang baik, dan
sebagainya. Tentu ini tidak boleh dibantah dan dikritisi anak didik.
Juga di Indonesia. Pendidikan ini berlangsung subur sejak Orde Baru
bercokol di negeri ini. Di sekolah kita diajarkan bahwa Pancasila
berdasarkan penafsiran penguasa waktu ituadalah ideologi tanpa cela
dan sempurna. Bahwa Orde Baru adalah penguasa yang akan membawa
Indonesia menuju masyarakat adil makmur sejahtera. Menuju era tinggal
landasyang terus diulang-ulang waktu itu. Juga tentang dwi fungsi ABRI
yang sejak bangku sekolah dasar telah ditanamkan sebagai suatu sistem
yang baik tiada cela.
Sosok manusia Pancasilais dalam diri seorang anak bernama Budi. Ia
adalah seorang anak yang rajin, pandai, menghormati orang tua, dan
seperangkat ukuran kebaikan lainnya. Gurusejak bangku SD bahkan TK
mengenalkan budi melalui pelajaran menulis dan membaca: Ini Budi.
Pada tingkat ini guru sebenarnyasadar atau tidaktelah menanamkan
kepada anak didik bahwa Budi adalah panutan bagi seorang anak, tidak
sosok-sosok anak lain, Badu misalnya. Dalam buku teks pelajaran Badu
selalu digambarkan sebagai anak nakal dan bandel, padahal pada tingkat
anak-anak kenakalan adalah hal yang alamiah karena tingkat
keingintahuan mereka sangat tinggi.
Sampai sekarang pun pendidikan gaya bank ini masih berlaku di
pendidikan formal kitaterutama di sekolah-sekolah di pedesaan dan
sekolah-sekolah terbelakang. Sekolah modern yang hanya bisa dijangkau
orang kaya perlahan mulai meninggalkan model iniguru lebih sebagai
fasilitator. Paradigma guru belum berubah. Ia masih hadir sebagai sosok
serbakalau tidak mau dibilang mahatahu segalanya. Sedangkan murid
harus duduk manis menerima segala yang diajarkan oleh gurunya.
***
Akh, ternyata sekolah yang kita sangka sebagai tempat belajarmenjadi
pintarmalah menjadikan manusia semakin bodoh. Everet Reimer
mengkritiknya sebagai: matinya sekolah. Dengan begitu Ivan Illich
melanjutkan agar masyarakat dibebaskan dari sekolahdeschooling
society. Dengan merekajuga Paulo Freirekita tahu betapa bobroknya
pendidikan formal itu. Kalau tidak bisa merubah, paling tidak kita tahu
sebisa mungkin: sadarbahwa sekolah bukanlah segala-galanya bagi

manusia dalam mendapatkan pendidikan. Jangan sampai sekolah menjadi


meminjam Roem Topatimasangcandu. [*

Pendidikan merupakan usaha untuk membebaskan manusia, sedangkan pendidikan


menurut Paulo Freire merupakan usaha untuk mengembalikan fungsi pendidikan sebagai alat
yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk penindasan dan ketertindasan, atau bisa
disebut dengan usaha untuk "memanusiakan manusia" (humanisasi). Dengan menggunakan
pendekatan humanis, ia membangun konsep pendidikannya mulai dari konsep manusia
sebagai subyek aktif. Manusia adalah makhluk praksis, yakni makhluk yang dapat beraksi
dan berefleksi dengan menggunakan pikirannya.
Pendidikan dengan pendekatan kemanusiaan sering diidentikan dengan pembebasan,
yakni pembebasan dari hal-hal yang tidak manusiawi. Jadi, untuk mewujudkan pendidikan
yang memanusiakan manusia dibutuhkan suatu pendidikan yang membebaskan dari unsur
dehumanisasi. Dehumanisasi tersebut bukan hanya menandai seseorang yang kemanusiannya
telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah merampas
kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokkan cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih
utuh.
Konsep pendidikan Paulo Freire berpijak pada penghargaan terhadap manusia. Ia
menempatkan pendidik dan peserta didik sebagai subyek dalam proses pendidikan, karena
mereka memiliki kedudukan yang sejajar. Pendidikan adalah sebuah kegiatan belajar bersama
antara pendidik dan peserta didik dengan perantara dunia, oleh objek-objek yang dapat
dikenal. Pendidikan tidak lagi sekedar pengajaran, namun dialog antara para peserta didik dan
pendidik yang juga belajar. Keduanya bertanggung jawab bersama atas proses pencapaian.
Hal ini merupakan sebuah penghargaan terhadap peserta didik sebagai manusia. Pendidikan
bukan lagi proses transfer ilmu pengetahuan, sebab keduanya sama-sama dalam suasana
dialogis membuka cakrawala realita dunia.
Tujuan utama manusia adalah humanisasi yang ditempuh melalui pembebasan. Proses untuk menjadi manusia
secara penuh hanya mungkin apabila manusia berintegrasi dengan dunia. Dalam kedudukannya sebagai subjek,
manusia senantiasa menghadapi berbagai ancaman dan tekanan, namun ia tetap mampu terus menapaki dan
menciptakan sejarah berkat refleksi kritisnya.[1]

Hakekat pendidikan Paulo Freire diarahkan atas pandangannya terhadap manusia dan
dunia, pendidikan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya
sendiri, serta memiliki kesadaran dan berpotensi sebagai Man of Action untuk mengubah
dunianya. Pendidikan adalah instrumen untuk membebaskan manusia supaya mampu
mewujudkan potensinya. Oleh karena itu, pendidikan memainkan peranan strategis untuk
membawa manusia kepada kehidupan yang bermartabat dan berkualitas.
Sayangnya, gambaran dunia pendidikan secara umum masih jauh dari ideal. Sebagian
besar sekolah (di Indonesia khususnya) hanya berfokus pada target kuantitatif yang bisa
diukur, seperti misalnya harus lulus mata pelajaran dengan nilai tertentu, mendapatkantrophy,
dan lain sebagainya. Padahal, model pendidikan seperti itu jelas menimbulkan efek yang
buruk bagi peserta didik. Menurut Paulo Freire dalam bukunya yang berjudul Pendidikan
Kaum Tertindas (1994), model pendidikan yang semacam itu ia sebut sebagaibanking
education alias pendidikan gaya bank.
Pendidikan karenanya menjadi sebuh kegiatan menabung, di mana para murid adalah celengan dan guru adalah
penabungnya. Yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi guru menyampaikan pernyataan-pernyataan dan
mengisi tabungan yang diterima, dihafal dan diulangi dengan patuh oleh para murid.[2]

Dalam pendidikan gaya bank, peserta didik hanya dijejali dengan ilmu secara satu
arah dengan tujuan mendapatkan nilai-nilai kuantitatif yang dituju. Praktek pendidikan hanya

dipahami sebatas sarana pewarisan ilmu. Pendidikan tidak dipahami sebagai transformasi
ilmu pengetahuan dan nilai-nilai yang lebih menekankan pada proses pendewasaan pemikiran
dan mengartikan belajar sebagai proses memaknai dan mengkritisi realitas sosial yang ada di
lingkungan sekitar. Bukan hanya mencari ijazah dengan nilai yang tinggi maupun sebagai
sarana meningkatkan status sosial.
Dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugrah yang dihibahkan oleh mereka
yang menganggap diri berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa-apa.[3]

Pendidikan gaya bank inilah yang telah menjadi alat untuk menindas kesadaran akan
realitas yang sejati dan menyebabkan seseorang menjadi pasif dan menerima begitu saja
keberadaannya. Pendidikan gaya bank tidak akan mendorong peserta didik untuk secara kritis
mempertimbangkan realitas. Peserta didik hanya akan menjadi penerima yang pasif dari
realitas yang diberikan, tanpa pernah bisa mempertanyakan kebenaran atau kebergunaan
realitas yang diajarkan kepada dirinya. Yang disebut keberhasilan dalam metode ini adalah
ketika peserta didik dapat menghapalkan dengan baik semua pengetahuan yang telah
didepositokan ke dalam dirinya.

Anda mungkin juga menyukai