Anda di halaman 1dari 207

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA


INTERVENSI TERHADAP PENDERITA KUSTA
SETELAH SELESAI PENGOBATAN MELALUI
PENGAMATAN SEMI AKTIF DAN PENGAMATAN PASIF
(STUDI KASUS DI KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2012)

TESIS

MEDITA ERVIANTI
0906503130

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
DEPOK
JANUARI 2013

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS EFEKTIVITAS BIAYA


INTERVENSI TERHADAP PENDERITA KUSTA
SETELAH SELESAI PENGOBATAN MELALUI
PENGAMATAN SEMI AKTIF DAN PENGAMATAN PASIF
(STUDI KASUS DI KABUPATEN PASURUAN TAHUN 2012)

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kesehatan Masyarakat

MEDITA ERVIANTI
0906503130

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT


PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
KEKHUSUSAN FARMAKOEKONOMI
DEPOK
JANUARI 2013

i
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

ii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

iii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan lindungannya,
sehingga tesis yang berjudul Analisis Efektivitas Biaya Intervensi terhadap
Penderita Kusta Setelah Selesai Pengobatan melalui Pengamatan Semi Aktif dan
Pengamatan Pasif dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat
memperoleh gelar Magister Kesehatan Masyarakat dari Program Pasca Sarjana
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Pada penulisan tesis ini, banyak pihak yang berperan dari awal hingga
akhir. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak
yang memberikan bantuan dalam penyelesaian tesis ini khususnya kepada :
1. Dr. H. Adang Bachtiar, MPH, DSc dan Kurniasari, SKM, MSE selaku
pembimbing akademik yang telah banyak memberikan ilmu, waktu, dan
motivasi untuk penulisan tesis ini.
2. Kepala Dinas Kabupaten Pasuruan yang telah mengijinkan pelaksanaan
penelitian ini
3. Pengelola Program Kusta dan Petugas Kusta Puskesmas di Kabupaten
Pasuruan serta Pengelola Program Kusta di Provinsi Jawa Timur yang banyak
membantu penulis selama penyusunan tesis.
4. Ayahanda Syaiful Bakhri, Ibunda alm. Niniek Kusmanawaty, Ayah Mertua
Sjachrul A. Bustami, Ibu Mertua Nina Samsiah, dan suami tercinta Rizal
Ramadhani yang selalu mendoakan dan memberikan dorongan selama masa
studi.
5. Dr. Christina Widaningrum, M.Kes selaku Kasubdit Pengendalian Penyakit
Kusta dan Frambusia, Ditjen PP dan PL, Kementerian Kesehatan RI yang telah
memberikan ijin kepada penulis untuk menyelesaikan tesis.
6. Ketua dan Tim Penguji Tesis yang banyak memberikan masukan untuk
perbaikan tesis ini.
7. Seluruh teman kuliah angkatan 2009, rekan-rekan di Subdit Pengendalian
Penyakit Kusta dan Frambusia, rekan-rekan di NLR, serta teman-teman yang
terlibat dalam seminar yang telah memberikan banyak masukan dalam
penyusunan tesis ini.

iv
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Akhir kata, penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini tidak luput dari
segala kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun tetap
diharapkan.

Depok, 3 Januari 2013

Penulis

Medita Ervianti

v
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

vi
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

ABSTRAK

Medita Ervianti
Ilmu Kesehatan Masyarakat
Analisis Efektivitas Biaya Intervensi terhadap Penderita Kusta Setelah
Selesai Pengobatan melalui Pengamatan Semi Aktif dan Pengamatan Pasif

Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta. Risiko


kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru kusta, tetapi juga
selama pengobatan dan setelah selesai pengobatan. Metode pengamatan berperan
untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan.
Metode pengamatan pasif diterapkan di Indonesia sejak tahun 1982. Pada tahun
2009, metode pengamatan semi aktif diterapkan di Kabupaten Pasuruan. Belum
diketahui metode pengamatan yang lebih efektif biaya.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas biaya antara metode
pengamatan pasif dan metode pengamatan semi aktif setelah selesai pengobatan
kusta dalam pengendalian tingkat cacat. Efektivitas dan biaya pada masingmasing metode dihitung dan dilihat berapa rasio efektivitas biaya dalam
pengendalian tingkat cacat. Hubungan faktor-faktor seperti umur, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi,
pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat serta faktor
apa yang paling dominan juga diteliti. Desain penelitian adalah cross sectional.
Hasil penelitian menunjukkan metode pengamatan semi aktif lebih efektif
biaya dibandingkan dengan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil analisis
bivariat, terdapat hubungan antara pencegahan cacat dan perawatan diri dengan
pengendalian tingkat cacat. Sedangkan hasil multivariat menyatakan perawatan
diri sebagai faktor yang mempengaruhi.

Kata Kunci : Analisis Efektivitas Biaya, Pengamatan Semi Aktif, Setelah


Pengobatan Kusta, Kecacatan

vii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

ABSTRACT

Medita Ervianti
Public Health Science
Cost-Effectiveness Analysis of Intervention for Leprosy Patients after
Release from Treatment Through Semi Active Surveillance and Passive
Surveillance
Disability is one of indicator of the leprosy burden. The risk of disability
due to leprosy, not only in new cases of leprosy, but also during treatment and
after release from treatment. Surveillance is one of method to control level of
disability in patients who had completed treatment. Passive surveillance
implemented in Indonesia since 1982. In 2009, the semi-active surveillance
applied in Pasuruan. Not yet known which surveillance is more cost-effective.
This study aims to analyze the cost-effectiveness of the passive and semiactive surveillance after release from leprosy treatment in controlling the level of
disability. The effectiveness and cost of each method was calculated and seen the
cost-effectiveness ratio to the control of the level of disability. Relationship of
factors such as age, education level, knowledge level, economic level, type of
leprosy, history of reactions, defect prevention, self-care by controlling the level
of disability and what is the most dominant factor is also studied. The study
design was cross-sectional.
The results showed semi active surveillance more cost-effective than
passive surveillance. Based on the results of the bivariate analysis, there is a
relationship between defect prevention and self-care by controlling the level of
disability. While the results of the multivariate declared self-care as a affected
factor.

Keywords: Cost-Effectiveness Analysis, Semi Active Surveillance, Released from


Treatment of Leprosy, Disability

viii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................... i


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................ iii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... iv
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... vi
ABSTRAK ......................................................................................................... vii
ABSTRACT ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................... xvii
1. PENDAHULUAN ........................................................................................
1.1 Latar Belakang ........................................................................................
1.2 Rumusan Masalah ...................................................................................
1.3 Pertanyaan Penelitian ..............................................................................
1.4 Tujuan Penelitian.....................................................................................
1.4.1 Tujuan Umum ...............................................................................
1.4.2 Tujuan Khusus ..............................................................................
1.5 Manfaat Penelitian...................................................................................
1.6 Ruang Lingkup Penelitian .......................................................................

1
1
6
7
7
7
7
8
9

2. TINJAUAN PUSTAKA ..............................................................................


2.1 Pengertian dan Diagnosis Penyakit Kusta ...............................................
2.2 Klasifikasi Kusta .....................................................................................
2.3 Pengobatan Kusta ....................................................................................
2.4 Selesai Pengobatan atau RFT .................................................................
2.5 Relaps atau Kambuh ...............................................................................
2.6 Kecacatan Akibat Kusta .........................................................................
2.6.1 Penyebab Kecacatan ....................................................................
2.6.2 Penilaian Kecacatan .....................................................................
2.7 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan .............................
2.7.1 Karakteristik Responden ..............................................................
2.7.1.1 Umur ................................................................................
2.7.1.2 Tingkat Pendidikan ..........................................................
2.7.1.3 Pengetahuan .....................................................................
2.7.1.4 Tingkat Ekonomi .............................................................
2.7.2 Tipe Kusta.....................................................................................
2.7.3 Riwayat Reaksi ............................................................................
2.7.3.1 Pengertian Reaksi ............................................................

10
10
11
12
14
14
15
15
17
18
20
20
20
21
22
22
23
23

ix
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2.7.3.2 Gejala dan Klasifikasi ......................................................


2.7.3.3 Hubungan Reaksi dan Kecacatan ....................................
2.7.4 Upaya Pencegahan Cacat Akibat Kusta ......................................
2.7.4.1 Pemeriksaan Fungsi Saraf secara Rutin ...........................
2.7.4.2 Penangan Reaksi dan Neuritis .........................................
2.7.4.3 Hubungan Upaya Pencegahan Cacat dengan Kecacatan .
2.7.5 Perawatan Diri .............................................................................
2.7.5.1 Perawatan Diri pada Mata ...............................................
2.7.5.2 Perawatan Diri pada Kulit ...............................................
2.7.5.3 Perawatan Diri pada Tangan dan Kaki ............................
2.7.5.4 Hubungan Perawatan Diri dengan Kecacatan .................
2.8 Program Pengawasan Penderita Kusta Setelah Selesai Pengobatan ......
2.8.1 Metode Pengamatan Aktif .............................................................
2.8.2 Metode Pengawasan Pasif .............................................................
2.8.3 Metode Pengamatan Semi Aktif ...................................................
2.8.4 Perbedaan Metode .........................................................................
2.9 Evaluasi Ekonomi ..................................................................................
2.9.1 Pengertian Evaluasi Ekonomi ......................................................
2.9.2 Metode Evaluasi Ekonomi............................................................
2.10 Biaya (Cost).............................................................................................
2.10.1 Klasifikasi Biaya...........................................................................
2.10.1.1 Pengaruh pada Skala Produksi ......................................
2.10.1.2 Lama Penggunaan ..........................................................
2.10.1.3 Fungsi atau Aktivitas Sumber Biaya .............................
2.10.1.4 Konsep Akibat Ekstern ..................................................
2.10.2 Penghitungan Biaya .....................................................................
2.11 Efektivitas (Outcome) ............................................................................
2.12 Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis) ........................

23
25
25
28
28
31
31
33
34
36
40
40
41
42
44
47
49
49
49
51
52
52
52
53
53
53
54
54

3. KERANGKA KONSEP ..............................................................................


3.1 Kerangka Teori ........................................................................................
3.2 Kerangka Konsep ....................................................................................
3.3 Hipotesis .................................................................................................

56
56
57
58

4. DESAIN PENELITIAN ..............................................................................


4.1 Desain Penelitian .....................................................................................
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian...................................................................
4.3 Populasi dan Sampel ...............................................................................
4.4 Definisi Operasional ................................................................................
4.5 Teknik Pengumpulan Data .....................................................................
4.6 Manajemen Data ....................................................................................
4.7 Analisis Data ..........................................................................................
4.7.1 Pencatatan dan Pemilahan ............................................................
4.7.2 Analisis Univariat dan Bivariat ...................................................

59
59
59
59
61
78
78
79
79
79

x
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

4.7.3 Analisis Multivariat ..................................................................... 82


4.7.4 Perhitungan ICER ........................................................................ 82
5. HASIL PENELITIAN ................................................................................. 84
5.1 Gambaran Umum .................................................................................... 84
5.1.1 Metode Pengamatan Semi Aktif .................................................. 85
5.1.2 Metode Pengamatan Pasif ........................................................... 88
5.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat ... 90
5.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan, Pencegahan
Cacat dan Perawatan Diri ....................................................................... 91
5.3.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan ... 91
5.3.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat ........ 92
5.3.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri ............. 93
5.4 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat ............................. 93
5.4.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat................. 93
5.4.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 94

5.5
5.6
5.7
5.8

5.4.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat


Cacat ........................................................................................... 95
5.4.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 95
5.4.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat ....... 96
5.4.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat . 97
5.4.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 98
5.4.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat .. 99
Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat 99
Biaya ....................................................................................................... 102
Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat ........................... 103
Rasio Efektivitas Biaya Tambahan dalam Pengendalian Tingkat Cacat 102

6. PEMBAHASAN ........................................................................................... 104


6.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat ... 104
6.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan, Pencegahan
Cacat, dan Perawatan Diri ...................................................................... 104
6.3 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat ............................. 105
6.3.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat................. 105
6.3.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat

xi
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

6.4
6.5
6.6
6.7

...................................................................................................... 105
6.3.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat ........................................................................................... 106
6.3.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
106
6.3.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat ....... 106
6.3.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat 107
6.3.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
...................................................................................................... 107
6.3.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat . 108
Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat 108
Biaya ....................................................................................................... 112
Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat ........................... 113
Keterbatasan Penelitian .......................................................................... 113

7. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................... 115


7.1 Kesimpulan ............................................................................................. 115
7.2 Saran ....................................................................................................... 115
7.2.1 Program ....................................................................................... 115
7.2.2 Penelitian Selanjutnya ................................................................ 116
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 117

xii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

DAFTAR TABEL

Tabel 1
Tabel 2.1
Tabel 2.2
Tabel 2.3
Tabel 2.4
Tabel 2.5
Tabel 2.6
Tabel 2.7
Tabel 2.8
Tabel 2.9
Tabel 2.10
Tabel 2.11
Tabel 2.12
Tabel 2.13
Tabel 2.14
Tabel 2.15
Tabel 2.16
Tabel 4
Tabel 5.1
Tabel 5.2
Tabel 5.3
Tabel 5.4
Tabel 5.5
Tabel 5.6
Tabel 5.7
Tabel 5.8
Tabel 5.9
Tabel 5.10
Tabel 5.11
Tabel 5.12

Prevalensi dan jumlah kasus baru kusta di 130 negara pada wilayah
WHO tahun 2010 ............................................................................ 1
Fungsi Saraf Tepi ............................................................................ 11
Klasifikasi Kusta berdasarkan Program Pengobatan ...................... 12
Dosis Obat Penderita PB ................................................................. 13
Dosis Obat Penderita MB ................................................................ 13
Tingkat Cacat Menurut WHO yang Disesuaikan untuk Indonesia . 17
Hasil Pemeriksaan Keadaan Cacat pada Kartu Penderita Kusta ..... 18
Hasil Penelitian Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
.......................................................................................................... 19
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 1 ................ 24
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 2 ................ 25
Kerusakan Fungsi Saraf Tepi .......................................................... 28
Pengobatan Reaksi Berat ................................................................. 29
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Mata .............................. 33
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Kulit .............................. 35
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Tangan dan Kaki .......... 37
Perbedaan Metode Pengamatan Setelah Selesai Pengobatan .......... 48
Tabel Pengukuran Biaya dan Konsekuensi pada Evaluasi Ekonomi 51
Definisi Operasional ........................................................................ 61
Distribusi Responden Berdasarkan Puskesmas di Kabupaten Pasuruan
Tahun 2012 ...................................................................................... 85
Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 90
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 91
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 92
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 93
Hubungan antara Umur dengan Pengemdalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 94
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 94
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 95
Hubungan antara Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 96
Hubungan antara Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 .................................................... 96
Hubungan antara Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ................................................ 97
Hubungan antara Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ..................................... 98

xiii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Tabel 5.13 Hubungan antara Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012 ................................................ 99
Tabel 5.14 Model Awal Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan
dengan Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun
2012 .................................................................................................. 100
Tabel 5.15 Model Akhir Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan
dengan Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun
2012 ................................................................................................. 100
Tabel 5.16 Gambaran Biaya Program dan Penderita pada Metode Pengamatan
Semi Aktif dan Metode Pengamatan Pasif di Kabupaten Pasuruan
Tahun 2012 ...................................................................................... 102

xiv
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Skema Proses Terjadinya Kecacatan Kusta ................................... 16


Gambar 2.2 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif ................ 43
Gambar 2.3 Alur Pertemuan Penderita dengan Petugas pada Metode Pengamatan
Semi Aktif ..................................................................................... 45
Gambar 2.4 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif ....... 47
Gambar 3.2 Kerangka Konsep .......................................................................... 57
Gambar 5.1 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif ....... 87
Gambar 5.2 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Dikunjungi oleh Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
....................................................................................................... 88
Gambar 5.3 Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
Datang ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif ................ 89

xv
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1
Lampiran 2
Lampiran 3
Lampiran 4
Lampiran 5
Lampiran 6
Lampiran 7
Lampiran 8

Kartu Penderita Kusta .............................................................. 122


Form POD ............................................................................... 126
Form Evaluasi Pengobatan Reaksi Berat ................................. 127
Kuesioner Puskesmas ............................................................. 129
Kuesioner Petugas Puskesmas ................................................ 132
Kuesioner Penderita ................................................................ 137
Hasil Analisis Bivariat ............................................................ 145
Hasil Analisis Multivariat ....................................................... 181

xvi
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

DAFTAR SNGKATAN

ALERT

: All Africa Leprosy, Tuberculosis and Rehabilitation Training Centre

BTA

: Bakteri Tahan Asam

CEA

: Cost-Effectiveness Analysis

CER

: Cost-Effectiveness Ratio

DDS

: Diamino Diphenyl Sulphone

ENL

: Erythema Nodosum Leprosum

GDP

: Gross Domestic Product

ICER

: Incremental Cost-Effectiveness Ratio

ILEP

: International Federation of Anti-Leprosy Associations

KPD

: Kelompok Perawatan Diri

MB

: Multi Basiler

MDT

: Multi Drugs Therapy

NCD

: New Case Detection

OR

: Odds Ratio

PB

: Pausi Basiler

PCC

: Pengawas Cegah Cacat

POD

: Prevention of Disability

RCT

: Randomized Clinical Trial

RFC

: Release From Control

RFT

: Release From Treatment

ST

: Sensory Test

UPBM

: Upaya Perawatan Berbasis Masyarakat

VMT

: Voluntary Muscle Testing

WHO

: World Health Organization

xvii
Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit kusta merupakan penyakit kronis dan menular yang telah
dikenal sejak tahun 2000 sebelum Masehi (Depkes RI, 2007). Namun hingga
tahun 2010, masih terdapat 130 negara di wilayah Afrika, Amerika, Asia
Tenggara, Mediterania Timur, dan Pasifik Barat yang memiliki beban
penyakit kusta tinggi. Data WHO (2011) menunjukkan bahwa Asia Tenggara
memiliki penderita kusta terdaftar (prevalensi) dan jumlah kasus baru (NCD)
terbanyak dibandingkan dengan empat wilayah lainnya, seperti yang
tercantum pada tabel berikut ini :
Tabel Prevalensi dan jumlah kasus baru kusta di 130 negara
pada wilayah WHO tahun 2010
Wilayah WHO
Afrika
Amerika
Asia Tenggara
Mediterania Timur
Pasifik Barat

Kasus Terdaftar
(prevalensi /10.000 penduduk)
27.111 (0,38)
33.953 (0,38)
113.750 (0,64)
9.046 (0,17)
8.386 (0,05)

Jumlah kasus baru (angka penemuan


kasus baru /100.000 penduduk)
25.345 (3,53)
37.740 (4.25)
156.254 (8,77)
4.080 (0,67)
5.055 (0,28)

Sumber : WHO, 2011

Selain besarnya jumlah kasus baru dan prevalensi, WHO (2009) juga
menyatakan bahwa lebih dari tiga juta orang di seluruh dunia diperkirakan
hidup dengan kecacatan akibat kusta. Besarnya jumlah kasus baru, prevalensi,
dan jumlah kecacatan tersebut menunjukkan tingginya beban kusta di dunia
pada tahun 2010.
Indonesia sebagai salah satu negara di Asia tenggara, memiliki beban
penyakit kusta yang cukup tinggi. Pada tujuh tahun terakhir, Indonesia
menempati urutan ketiga di dunia dan urutan kedua di wilayah Asia Tenggara
(WHO, 2011). Berdasarkan Kemenkes RI (2011), pada tahun 2010 jumlah

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

kasus baru kusta di Indonesia mencapai 17.012 kasus dengan kecacatan


tingkat 2 di antara penderita baru sebesar 10,71% (1822 kasus).
Kecacatan sebagai salah satu indikator beban penyakit kusta,
menimbulkan masalah yang kompleks. Kecacatan yang terjadi pada bagian
mata, tangan, atau kaki penderita seringkali tampak menyeramkan sehingga
menimbulkan ketakutan yang berlebihan terhadap kusta (leprofobia) dan
stigma di masyarakat (Wisnu dan Hadilukito, 2003). Stigma di masyarakat
menyebabkan penderita kusta dijauhi dan dikucilkan oleh masyarakat
walaupun penderita tersebut telah diobati dan telah dinyatakan selesai
pengobatan (Wisnu dan Gudadi, 1997).

Kecacatan menjadi penyebab

timbulnya stigma yang mengakibatkan terjadinya permasalahan kompleks,


tidak hanya terbatas pada masalah medis melainkan masalah sosial, ekonomi,
budaya, keamanan, dan ketahanan nasional (Depkes RI, 2007; Universitas
Sumatera Utara, 2008).
Risiko kecacatan akibat kusta tidak hanya terjadi pada kasus baru
kusta. Kecacatan dapat terjadi sebelum pengobatan, selama pengobatan,
bahkan setelah selesai pengobatan dan risiko cacat tersebut menurun bertahap
setelah tiga tahun berikutnya (Rodrigues dan Lockwood, 2011; Depkes RI,
2007; Health Ministry of Ethiopia, 1997). Laporan WHO Expert Committee
on Leprosy dari beberapa Negara menyatakan bahwa rata-rata setelah selesai
pengobatan kusta terdapat 75% penderita dengan kecacatan (Susanto, 2006).
Sedangkan hasil penelitian penilaian kecacatan terhadap 43 penderita setelah
selesai pengobatan yang dilakukan di kabupaten Subang provinsi Jawa Barat
pada tahun 2001, menunjukkan 21 % mengalami kenaikan tingkat kecacatan
(Hasibuan, 2002).
Risiko kecacatan pada penderita kusta setelah selesai pengobatan di
seluruh provinsi di Indonesia selama ini dipantau dengan menggunakan
metode pengamatan pasif (passive surveillance). Metode ini dilakukan selama
2 tahun setelah selesai pengobatan untuk tipe PB (pauci-baciler) dan 5 tahun
setelah selesai pengobatan untuk tipe MB (multi-baciler) tanpa pemeriksaan
laboratorium (Depkes RI, 2007). Metode ini disebut dengan pengamatan pasif
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

karena petugas tidak akan melakukan tindakan apabila penderita tidak datang.
Metode pengamatan pasif yang direkomendasikan oleh WHO ini, lebih
mengacu pada keaktifan penderita setelah selesai pengobatan untuk datang ke
puskesmas dan berkonsultasi dengan petugas puskesmas tiap tahun atau
kapan saja jika terdapat tanda-tanda relaps atau terdapat masalah-masalah lain
seperti terjadinya reaksi atau bertambah buruknya akibat kusta yang mereka
derita (Jacobson, 1994; Gebre dan Saunderson, 2001).
Setelah diterapkan, diketahui kerugian pada metode pengamatan pasif
adalah kesempatan untuk mendeteksi reaksi atau neuritis (terutama silent
neuritis) secara dini berkurang. ALERT melakukan penelitian di Ethiopia
pusat terhadap 116 penderita setelah selesai pengobatan yang dipantau oleh
metode pengamatan pasif selama 5 tahun. Hasil menunjukkan bahwa dari 116
penderita yang didorong untuk datang tiap tahun ke pelayanan kesehatan
untuk pemeriksaan fungsi saraf dan penilaian tingkat kecacatan, hanya sedikit
yang datang untuk tindak lanjut . Sebanyak 56,9% penderita tidak pernah
datang sama sekali dalam 5 tahun. Berdasarkan penelitian ini juga diperoleh
odds ratio (OR) terjadinya kondisi yang memburuk pada kecacatan (nilai
kecacatan Mata-Tangan-Kaki meningkat) apabila pengamatan aktif tidak
dilakukan adalah 1,9 (disesuaikan umur, jenis kelamin, klasifikasi) (Gebre
dan Saunderson, 2001).
Berdasarkan berkurangnya kesempatan mendeteksi reaksi secara dini
dan memburuknya kondisi kecacatan pada penderita dalam metode
pengamatan pasif, maka pada tahun 2009 dilakukan suatu proyek uji coba
pengamatan semi aktif (Semi Active Surveillance). Metode yang dilakukan di
Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Gorontalo ini disebut dengan
pengamatan semi aktif karena petugas puskesmas akan pasif menunggu
penderita datang ke puskesmas atau Kelompok Perawatan Diri (KPD)
berdasarkan perjanjian minimal 3 bulan sekali untuk memeriksakan diri.
Namun, petugas akan mengunjungi penderita secara aktif apabila penderita
tidak datang dan tidak dapat dihubungi dalam tempo 4 bulan dari waktu yang
dijanjikan. Saat penderita bertemu dengan petugas puskesmas atau KPD, akan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

dilakukan pemeriksaan tanda awal reaksi dan pencegahan cacat (pemeriksaan


fungsi saraf), penilaian kondisi kecacatan, pemberian informasi tentang
perawatan diri, serta identifikasi kebutuhan medis dan alat pelindung diri
yang dibutuhkan oleh penderita (Kemenkes RI, 2010)
Pengamatan semi aktif secara umum, bertujuan untuk mencegah
peningkatan tingkat kecacatan (tingkat tetap atau menurun) pada penderita
setelah selesai pengobatan dalam pengamatan selama 5 tahun. Sedangkan
tujuan khusus dari metode ini adalah penderita tetap memiliki hubungan
dengan petugas puskesmas selama penderita masih berisiko, penderita
mampu melakukan perawatan diri secara teratur tiap hari, dan penderita
mendapatkan bantuan dalam mengatasi masalah medis yang ada (Kemenkes
RI, 2010). Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan (2011), perlu
dilakukan kegiatan pengamatan semi aktif untuk mengurangi beban kecacatan
penderita kusta setelah selesai pengobatan. Kecacatan dapat dikurangi dan
penderita kusta dapat dibantu secara lebih efektif dan efisien dengan
menerapkan suatu sistem yang memungkinkan penderita kusta setelah selesai
pengobatan untuk tetap berhubungan dengan Puskesmas selama penderita
tersebut membutuhkan bimbingan untuk mengatasi kecacatan yang dialami.
Kedua metode pencegahan cacat setelah selesai pengobatan tersebut
memiliki tujuan yang sama, yaitu lebih spesifik untuk mencegah terjadinya
peningkatan tingkat cacat (timbulnya cacat baru dan kondisi cacat yang
bertambah parah). Namun dari kedua metode tersebut, belum dapat ditentukan
metode yang mana yang lebih efektif-biaya. Hal ini disebabkan karena metode
pengamatan semi aktif belum pernah dilakukan sebelumnya, baik di dalam
negeri maupun di luar negeri. Penelitian yang pernah dilakukan terkait dengan
metode pengamatan pasif adalah penelitian yang dilakukan oleh ALERT di
daerah Ethiopia pusat, pada penelitian ini metode pengamatan pasif
dibandingkan dengan metode pengamatan aktif. Hasil penelitian menunjukkan
pada kedua metode terdapat sedikit perbedaan efektivitas (mengurangi tingkat
kecacatan) namun biaya yang dibutuhkan pada metode pengamatan aktif lebih
mahal dibandingkan metode pengamatan pasif (Gebre dan Saunderson, 2001).
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Berdasarkan paparan tersebut, peneliti berpendapat bahwa diperlukan


metode yang tepat untuk dapat mengevaluasi secara menyeluruh terhadap
efektivitas dan biaya dari penerapan metode pengamatan pasif dan
pengamatan semi aktif. Peneliti akan menggunakan Analisis Efektivitas Biaya
(CEA) yaitu suatu analisis yang mencari bentuk intervensi mana yang paling
menguntungkan dalam mencapai suatu tujuan, dengan cara membandingkan
hasil suatu kegiatan dengan biayanya, dimana ukuran input diukur dalam nilai
moneter dan ukuran output-nya diukur dalam jumlah output yang
dihasilkannya (Drummond, 2001).
Input yang dimaksud dalam penelitian ini adalah besarnya biaya yang
terdiri biaya langsung maupun tidak langsung yang dikeluarkan oleh program
dalam mengendalikan nilai kecacatan pada penderita, sedangkan output yang
dimaksud adalah jumlah penderita yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan
sehingga tingkat cacat yang dimiliki tetap bahkan menurun. Selanjutnya
melalui penelitian yang akan dilakukan, akan diketahui metode mana yang
memiliki efektivitas biaya yang lebih tinggi dan menjadi suatu alternatif yang
sesuai untuk mengendalikan tingkat cacat pada penderita setelah selesai
pengobatan. Selain itu, peneliti juga akan melihat hubungan antara
pengendalian tingkat cacat dengan faktor-faktor yang berhubungan dengan
kecacatan seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat
ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri
(Moshioni,et.al, 2010; Universitas Negeri Semarang, 2009; Susanto, 2006;
Universitas Diponegoro, 2002).
Penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak baik orang yang pernah
mengalami kusta dan keluarga, masyarakat umum, peneliti dan bagi program
pengendalian penyakit kusta dan penelitian ini tidak merugikan masyarakat.
Harapan peneliti adalah penelitian ini dapat menghasilkan data yang akurat
yang dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk merencanakan dan
melaksanakan program pengendalian penyakit kusta terkait pencegahan cacat
akibat kusta pada penderita setelah selesai pengobatan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan, maka


dibutuhkan suatu penelitian yang dapat menentukan apakah metode
pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan dengan pengamatan
pasif dalam mengendalikan tingkat cacat.

1.2 Rumusan Masalah


Kecacatan merupakan salah satu indikator beban penyakit kusta.
Kecacatan dapat terjadi Kecacatan dapat terjadi sebelum pengobatan, selama
pengobatan, bahkan setelah selesai pengobatan (Rodrigues dan Lockwood,
2011; Depkes RI, 2007; Health Ministry of Ethiopia, 1997). Upaya dalam
pengendalian kecacatan pada penderita yang telah selesai pengobatan adalah
dengan menerapkan metode pengamatan. Sejak tahun 1982, telah diterapkan
metode pengamatan pasif di seluruh wilayah Indonesia. Namun pada
penerapan pengamatan pasif ini, terdapat kerugian dalam pengendalian cacat
yaitu berkurangnya kesempatan untuk mendeteksi reaksi atau neuritis
(terutama silent neuritis) secara dini (Gebre dan Saunderson, 2001). Guna
mengatasi kerugian tersebut, pada tahun 2009 dilakukan suatu proyek uji
coba pengamatan semi aktif (Semi Active Surveillance) pada Kabupaten
Pasuruan dan Gorontalo. Namun hingga saat ini belum diketahui apakah
metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan

dengan

metode pengamatan pasif yang telah diterapkan sebelumnya dalam


mengendalikan tingkat cacat.
Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian untuk melihat metode
yang lebih efektif biaya dalam pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta
setelah selesai pengobatan antara pengamatan pasif dan metode pengamatan
semi aktif. Penelitian ini akan dilakukan di Kabupaten Pasuruan pada Mei
2012 karena Kabupaten Pasuruan merupakan salah satu kabupaten yang
melaksanakan metode pengamatan semi aktif di 10 puskesmas dan metode
pengamatan pasif di 14 puskesmas. Selain itu, Kabupaten Pasuruan terletak di
Provinsi Jawa Timur yang merupakan provinsi dengan jumlah kasus kecacatan
terbanyak dibandingkan provinsi lain di Indonesia. Prosentase

kecacatan

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

tingkat 2 di antara kasus baru yang terdapat di Kabupaten Pasuruan mencapai


8,9% (Kemenkes, 2011).
1.3 Pertanyaan Penelitian
a. Bagaimana gambaran biaya, metode pengamatan, umur, tingkat
pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat
reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri, dan tingkat cacat pada penderita
kusta yang telah selesai pengobatan?
b. Bagaimana hubungan metode pengamatan dengan tingkat pengetahuan,
perawatan diri, dan pencegahan cacat pada penderita kusta yang telah
selesai pengobatan?
c. Bagaimana hubungan umur, tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan,
tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan
diri dengan pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta yang telah
selesai pengobatan?
d. Faktor-faktor apa yang paling dominan mempengaruhi pengendalian
tingkat cacat pada penderita kusta yang telah selesai pengobatan?
e. Bagaimana rasio efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif terhadap
metode pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat cacat pada
penderita kusta setelah selesai pengobatan?
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1

Tujuan Umum
Menganalisis efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif
terhadap metode pengamatan pasif setelah selesai pengobatan kusta dalam
pengendalian tingkat cacat.

1.4.2

Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi

biaya,

metode

pengamatan,

umur,

tingkat

pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat


Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri, dan tingkat cacat pada


penderita kusta yang telah selesai pengobatan.
b. Mengetahui hubungan antara metode pengamatan dengan tingkat
pengetahuan, perawatan diri, dan pencegahan cacat pada penderita
kusta yang telah selesai pengobatan.
c. Mengetahui hubungan antara umur, tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan
cacat, perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat pada penderita
kusta yang telah selesai pengobatan.
d. Mengetahui faktor-faktor apa yang paling dominan mempengaruhi
pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan.
e. Mengetahui rasio efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif
terhadap metode pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat cacat
pada penderita kusta setelah selesai pengobatan.
1.5 Manfaat Penelitian
a. Aplikatif
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pembuat
kebijakan dalam merumuskan alternatif terbaik dalam perencanaan dan
pelaksanaan pengendalian cacat pada program pengendalian penyakit
kusta.
b. Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pengembangan
penelitian tentang efektivitas biaya pada metode lain terkait pengendalian
cacat pada penyakit kusta.
c. Metodologis
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai metode
atau strategi yang tepat untuk mendapatkan metode yang lebih efektif dan
efisien dalam pengendalian cacat pada penyakit kusta.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

1.6 Ruang Lingkup Penelitian


Penelitian ini akan menganalisis efektivitas biaya intervensi terhadap
penderita kusta setelah selesai pengobatan melalui metode pengamatan pasif
dan metode pengamatan semi aktif di kabupaten Pasuruan pada bulan Mei
2012. Penelitian ini dilakukan pada penderita kusta setelah selesai pengobatan
di Kabupaten karena Kabupaten Pasuruan menerapkan metode pengamatan
pasif (14 puskesmas) dan metode pengamatan semi aktif (10 puskesmas).
Penelitian ini dilakukan dengan desain penelitian cross sectional.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian dan Diagnosis Penyakit Kusta


Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh bakteri
yang menyerang kulit dan saraf tepi (James Chin, 2009). Penyakit ini
disebabkan oleh bakteri Mycobacterium leprae dan ditularkan melalui
pernapasan atau kulit dengan kontak erat dan lama. Bakteri pada penyakit
kusta memiliki masa inkubasi yang cukup panjang yaitu 2 hingga 5 tahun
(Depkes RI, 2007).
Diagnosa penyakit kusta dapat dilakukan oleh petugas puskesmas
atau tenaga kesehatan yang telah mendapatkan pelatihan tentang penyakit ini.
Berdasarkan Pfaltzgraff dan Ramu (1994) dan Depkes RI (2007), diagnosa
penyakit kusta ditegakkan dengan ditemukannya salah satu tanda dari 3 tanda
utama yang umum disebut cardinal sign yaitu :
a. Lesi berwarna keputihan (hypopigentasi) atau kemerahan (erithematous)
yang mati rasa (anaesthesi).
b. Adanya penebalan saraf tepi disertai dengan adanya gangguan fungsi.
Gangguan fungsi saraf merupakan akibat dari peradangan kronis pada
saraf tepi (neuritis perifer).
c. Ditemukannya bakteri Mycobacterium leprae dari hasil pemeriksaan BTA
pada kerokan kulit.
Saraf tepi yang dimaksud dalam cardinal sign berikut dengan
fungsinya dapat dilihat pada tabel 2.1.

10

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

11

Tabel 2.1
Fungsi Saraf Tepi
Fungsi
Saraf

Motorik

Auricularis
magnus
Facialis

Ulnaris

Medianus

Radialis
Peroneus
communis
Tibialis
posterior

Sensorik
Mempersarafi
belakang telinga

Mempersarafi
kelopak mata
bisa menutup
Mempersarafi
manis dan
kelingking
Mempersarafi
jari, telunjuk,
jari tengah

Otonom
area

agar

jari Rasa raba telapak tangan


jari bagian jari kelingking dan Mempersarafi
kelenjar
separuh jari manis
keringat,
ibu Rasa raba telapak tangan
kelenjar
dan bagian ibu jari, telunjuk,
jari tengah, separuh jari minyak, dan
pembuluh
manis
darah
Kekuatan
pergelangan tangan
Kekuatan
pergelangan kaki
Mempersarafi jari- Rasa raba telapak kaki
jari kaki

Sumber : Depkes RI, 2007

2.2 Klasifikasi Kusta


Menurut Amirudin, Hakim, dan Darwis (2003), klasifikasi penyakit
kusta dilakukan untuk menentukan rejimen pengobatan, prognosis,
komplikasi, dan perencanaan operasional. Perencanaan operasional yang
dimaksud, misalnya menentukan pasien yang mempunyai nilai epidemiologis
tinggi sebagai target utama pengobatan, identifikasi pasien yang memiliki
peluang cacat.
Klasifikasi penyakit kusta yang umum digunakan antara lain
klasifikasi Madrid (1953), klasifikasi Ridley-Jopling (1962), dan klasifikasi
WHO (1981 dan modifikasi 1988). Klasifikasi Madrid merupakan klasifikasi
internasional yang membagi penyakit kusta menjadi 4 tipe yaitu intermediate
(I), tuberkuloid (T), borderline dimorphous (B), Lepromatosa (L).
Sedangkan klasifikasi Ridley-Jopling merupakan klasifikasi yang digunakan
untuk kepentingan riset yang membagi penyakit kusta menjadi tipe
tuberkuloid (TT), borderline tuberkuloid (BT), mid borderline (BB),
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

12

borderline lepromatous (BL), Lepromatosa (LL). Klasifikasi berikutnya


adalah klasifikasi WHO yang digunakan untuk kepentingan program
(memudahkan pengobatan di lapangan), yaitu tipe PB (pausibasilar) dan tipe
MB (multibasilar) dengan kriteria yang dijabarkan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2
Klasifikasi Kusta berdasarkan Program Pengobatan
Tanda Utama
Bercak Kusta
Penebalan Saraf Tepi yang
Disertai
dengan
Gangguan
Fungsi (mati rasa/ kelemahan
otot yang dipersarafi oleh saraf
yang bersangkutan)
Sediaan Apusan

PB

MB

Jumlah 1 5

Jumlah > 5

Hanya satu saraf

Lebih dari satu saraf

BTA Negatif

BTA Positif

Sumber : Depkes RI, 2007

2.3 Pengobatan Kusta


Pengobatan

pada

penderita

kusta

dapat

membunuh

bakteri

Mycobacterium leprae sehingga dapat memutus mata rantai penularan,


menyembuhkan penyakit pada penderita, dan mencegah terjadinya cacat atau
mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum pengobatan (Depkes
RI, 2007). Pengobatan dengan minyak chaulmoogra (hydnocarpus) dikenal
sebagai pengobatan pertama kali yang efektif untuk kusta. Kemudian pada
tahun 1945, pengobatan tersebut digantikan dengan pengobatan yang
menggunakan dapson (DDS). DDS tidak hanya mengobati penyakit kusta
pada suatu individu, namun juga mengontrol kusta pada masyarakat di daerah
endemik (McDougall, 1997). Berdasarkan Depkes RI (1993), DDS
digunakan sebagai pengobatan kusta di Indonesia sejak tahun 1951. Pada
tahun 1969, program kusta diintegrasikan di puskesmas.
Sejak tahun 1982, WHO merekomendasikan pengobatan baru untuk
penyakit kusta yaitu rejimen MDT (Multi Drugs Therapy). Pengobatan
dengan MDT diterapkan oleh program kusta di Indonesia pada tahun yang
sama (McDougall, 1997; Depkes RI, 1993). MDT diharapkan dapat
mengantisipasi terjadinya resistensi obat saat penderita kusta hanya
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

13

mengkonsumsi DDS dalam pengobatan penyakit kusta (Soebono dan


Suhariyanto, 2003).
MDT (Multi Drugs Therapy) merupakan kombinasi dua atau tiga obat
yang terdiri dari obat rifampisin, lampren (clofazimin), dan dapson (DDS).
Rifampisin bekerja sinergis mematikan bakteri Mycobacterium leprae,
sedangkan obat lampren dan DDS bekerja untuk melemahkan dan
menghancurkan sisa-sisa bakteri. Rincian mengenai dosis obat ditampilkan
pada tabel 2.3 untuk penderita PB dan 2.4 untuk penderita MB.
Tabel 2.3
Dosis Obat Penderita PB
Obat
Rifampisin

Umur 10-14 tahun

Umur 15 tahun

Keterangan

450 mg/bulan

600 mg/bulan

Minum hari ke 1 di
depan petugas

50 mg/bulan

100 mg/bulan

Minum hari ke 1 di
depan petugas

50 mg/hari

100 mg/hari

Minum hari ke 2 28
di rumah

DDS

Sumber : Depkes RI, 2007

Tabel 2.4
Dosis Obat Penderita MB
Obat
Rifampisin

Umur 10-14 tahun

Umur 15 tahun

Keterangan

450 mg/bulan

600 mg/bulan

Minum hari ke 1 di
depan petugas

50 mg/bulan

100 mg/bulan

Minum hari ke 1 di
depan petugas

50 mg/hari

100 mg/hari

Minum hari ke 2 28
di rumah

150 mg/bulan

300 mg/bulan

Minum hari ke 1 di
depan petugas

50 mg/ 2 hari

50 mg/hari

Minum hari ke 2 28
di rumah

DDS

Lampren

Sumber : Depkes RI, 2007

Informasi pada kedua tabel tersebut adalah rincian dosis pada paket
obat yang tersedia dalam bentuk blister, yaitu paket obat untuk orang dewasa
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

14
dan anak umur 10 14 tahun. Sedangkan untuk anak yang umurnya di bawah
10 tahun, dosis obat disesuaikan dengan berat badan sebagai berikut :
Rifampisin

: 10 15 mg/kgBB

DDS

: 1 2 mg/kg BB

Lampren

: 1 mg/kgBB

Pada awal rejimen MDT ini direkomendasikan, jumlah obat MDT


yang diberikan pada tipe PB adalah 6 blister dalam 6 9 bulan, sedangkan
pada tipe MB adalah 24 blister selama 24 36 bulan. Kemudian pada tahun
1997, muncul rejimen MDT generasi kedua oleh WHO sebagai hasil dari
penelitian terhadap pengobatan MDT pada tipe MB. Pada rejimen MDT
kedua ini, penderita MB direkomendasikan mendapatkan jumlah obat lebih
sedikit dari sebelumnya, yaitu 12 blister obat selama 12 18 bulan tanpa
meningkatkan

risiko

berkembangnya

resistensi

terhadap

rifampisin

(McDougall, 1997; Depkes RI, 2007).


2.4 Selesai Pengobatan atau RFT
Selesai pengobatan atau RFT (Release from Treatment) adalah istilah
untuk menyatakan penderita telah selesai pengobatan kusta. Penderita PB
yang telah minum 6 blister obat MDT dalam 6 9 bulan dan penderita MB
yang telah minum 12 blister obat MDT dalam 12 18 bulan dinyatakan telah
menyelesaikan pengobatan atau RFT oleh petugas puskesmas dan akan
memasuki masa pengamatan (Depkes RI, 2007).
2.5 Relaps atau Kambuh
Relaps adalah kembalinya penyakit kusta secara aktif pada penderita
yang telah menyelesaikan pengobatan MDT (RFT) dengan gejala meluas dan
menebalnya lesi yang telah ada atau terbentuknya lesi baru, penebalan atau
kekakuan saraf, adanya saraf baru yang mengalami penebalan disertai
gangguan fungsi, ditemukannya bakteri pada tempat yang sebelumnya negatif
atau pada lesi baru (Amirudin, Hakim, dan Darwis, 2003). Menurut Depkes
RI (2007), pernyataan relaps harus dikonfirmasikan ke dokter kusta yang
memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

15

Apabila relaps terjadi, maka penderita akan diobati kembali dengan


rejimen pengobatan yang sesuai dengan tipe kusta yang diderita berdasarkan
hasil pemeriksaan cardinal sign (Depkes RI, 2007). Pada saat pengobatan
dengan DDS dilakukan, relaps sering terjadi pada penderita setelah
pengobatan (RFT). Namun sejak pengobatan MDT dilaksanakan, angka
relaps setelah selesai pengobatan (RFT) sangat kecil, berkurang hingga
kurang dari 1 % (Lockwood, 2002).
2.6 Kecacatan Akibat Kusta
2.6.1 Penyebab Kecacatan
Kecacatan pada kusta dapat terjadi sebelum pengobatan, selama
pengobatan, bahkan setelah selesai pengobatan dan risiko cacat tersebut
menurun bertahap setelah tiga tahun berikutnya (Rodrigues dan Lockwood,
2011; Depkes RI, 2007; Health Ministry of Ethiopia, 1997). Kecacatan
dapat terjadi pada mata, tangan, dan kaki.

Skema proses terjadinya

kecacatan pada penderita penyakit kusta dapat dilihat pada gambar 2.1.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

16

Gambar 2.1
Skema Proses Terjadinya Kecacatan Kusta

Gangguan Fungsi Saraf Tepi

Kecacatan Primer

Kecacatan Sekunder

Sensorik

Motorik

Otonom

Anestesi
(Mati Rasa)

Kelemahan

Gangguan Kelenjar
Keringat, Kelenjar
Minyak, Aliran Darah

Tangan/
Kaki
Mati
Rasa

Kornea
Mati Rasa,
Refleks
Kedip
Berkurang

Luka

Infeksi

Jari-jari
bengkok/
kaku

Infeksi

Buta

Mutilasi/
Absorbsi

Buta

Mutilasi/
Absorbsi

Tangan/
Kaki
Lemah/
Lumpuh

Mata
Tidak
Bisa
Kedip

Kulit Kering
dan Pecahpecah

Luka

Infeksi

Sumber : Depkes RI, 2007; Wisnu dan Hadilukito, 2003

Pada skema tersebut, kecacatan berdasarkan penyebabnya terbagi


atas kecacatan primer dan kecacatan sekunder. Cacat primer adalah cacat
yang disebabkan langsung oleh aktivitas penyakit, yaitu melalui infiltrasi
langsung Mycobacterium leprae ke susunan saraf tepi dan organ atau dapat
juga melalui reaksi kusta. Aktivitas penyakit ini menyebabkan kerusakan
pada fungsi sensorik, motorik, dan otonom dari saraf tepi : facialis,
auricularis magnus, medianus, radialis, ulnaris, peroneus communis, dan
tibialis posterior. Infiltrasi bakteri pada kulit, jaringan subkutan, dan

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

17

jaringan lain juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan tersebut


(Depkes RI, 2007).
Cacat sekunder terjadi akibat adanya cacat primer. Kerusakan fungsi
saraf sensorik di bagian tubuh tertentu dapat menyebabkan terjadinya luka
apabila bagian tubuh tersebut mengalami trauma mekanis atau termis.
Kerusakan fungsi saraf motorik dapat menyebabkan kontraktur yang dapat
menimbulkan gangguan menggenggam atau berjalan. Kerusakan fungsi
saraf otonom akan mengakibatkan kulit mudah retak-retak dan dapat terjadi
infeksi sekunder (Universitas Sumatera Utara, 2008).
2.6.2 Penilaian Kecacatan
Guna menilai kualitas penanganan pencegahan cacat yang telah
dilakukan, seluruh penderita kusta dinilai tingkat kecacatannya sesuai
dengan petunjuk WHO. Tingkat kecacatan menurut WHO yang disesuaikan
untuk Indonesia, secara garis besar terbagi menjadi 3 tingkat. Perbedaan
tingkat kecacatan di Indonesia dengan tingkat kecacatan menurut WHO,
terletak pada adanya gangguan fungsi sensoris pada mata yang tidak
diperiksa (cacat tingkat 1 pada mata) karena keterbatasan pemeriksaan di
lapangan. Secara lengkap, penetapan tingkat kecacatan tersebut dapat dilihat
pada tabel 2.5.
Tabel 2.5
Tingkat Cacat Menurut WHO yang Disesuaikan untuk Indonesia
Tingkat
0
1

Mata
Telapak Tangan/Kaki
Tidak ada kelainan pada mata Tidak ada cacat pada tangan dan
akibat kusta.
kaki akibat kusta.
Anestesi, kelemahan otot pada
tangan dan kaki (tidak ada
kecacatan/
kerusakan
yang
kelihatan akibat kusta).
Ada lagophthalmos pada Ada
cacat/kerusakan
yang
mata (kelopak mata tidak kelihatan akibat kusta, misalnya
dapat menutup sempurna)
ulkus, jari kiting, kaki semper.

Sumber : Depkes RI, 2007

Pada penilaian kecacatan ini, suatu kecacatan yang bukan merupakan


akibat kusta tidak dihitung. Mati rasa pada bercak juga tidak dihitung
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

18

sebagai kecacatan tingkat 1 karena bukan disebabkan oleh kerusakan saraf


perifer utama tetapi rusaknya saraf lokal kecil pada kulit. (Depkes RI, 2005
dan 2007).
Pemeriksaan dan penilaian kecacatan pada penderita kusta dilakukan
saat mulai pengobatan dan pada saat selesai pengobatan (RFT). Nilai
tersebut dicatat pada kartu penderita yang wajib dimiliki oleh penderita baru
seperti yang terlihat pada tabel 2.6.
Tabel 2.6
Tabel Hasil Pemeriksaan Keadaan Cacat pada Kartu Penderita Kusta
WAKTU
PEMERIKSAAN

TINGKAT CACAT (WHO : 0.1.2)


TANGGAL

MATA
ka

ki

TANGAN
ka

ki

KAKI
Ka

ki

Nilai
Tertinggi

Jumlah
Nilai

Pertama
RFT
Sumber : PLKN, 2010

Pencatatan hasil pemeriksaan pada tabel tersebut, dimulai dengan


mengisi tanggal kemudian mencatat tingkat kecacatan menurut WHO
(nilai 02) pada kolom mata kanan, mata kiri, tangan kanan, tangan kiri,
kaki kanan, dan kaki kiri. Kolom nilai tertinggi diisi dengan nilai kecacatan
yang paling tinggi diantara kolom mata, tangan, dan kaki baik kiri maupun
kanan. Nilai tertinggi antara 02, nilai ini disebut dengan tingkat kecacatan.
Jumlah nilai diperoleh dengan menjumlahkan semua nilai dari kolom mata,
tangan, dan kaki. Jumlah nilai berkisar 012, nilai ini disebut dengan skor
kecacatan. Pada penelitian ini, nilai kecacatan yang digunakan sebagai
output adalah jumlah nilai kecacatan atau nilai kecacatan tertinggi,
tergantung pada hasil penelitian.
2.7 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kecacatan
Faktor - faktor diteliti hubungannya dengan kecacatan pada beberapa
penelitian yang dapat dilihat pada tabel 2.7.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

19

Tabel 2.7
Hasil Penelitian faktor-faktor yang berhubungan dengan Kecacatan
Hasil
No

Peneliti

Tahun

Variabel yang diteliti

kusta,
jenis

Variabel yang
Berhubungan

Umur, tipe
pendidikan

Variabel yang
Tidak
Berhubungan

Moshioni,et.al 2010

Umur, tipe
pendidikan,
kelamin

kusta, Jenis kelamin

Saputri
(UNS)

2009

Pengetahuan penderita
tentang
kecacatan,
sikap
penderita
terhadap
kecacatan,
perilaku pencegahan
cacat penderita kusta,
jenis
kelamin,
pendapatan,
keteraturan
berobat,
kelambatan berobat,
reaksi kusta, tingkat
pendidikan, jenis kusta

Pengetahuan
Tingkat
penderita
tentang pendidikan,
kecacatan,
sikap jenis kusta
penderita terhadap
kecacatan, perilaku
pencegahan
cacat
penderita
kusta,
jenis kelamin, status
ekonomi,
keteraturan berobat,
kelambatan berobat,
reaksi kusta

Susanto

2006

Umur, pendidikan, tipe


kusta,
reaksi,
pengetahuan,
keteraturan
berobat,
diagnosis, perawatan
diri, jenis kelamin,
lama sakit, lama kerja

Umur, pendidikan, Jenis kelamin,


tipe kusta, reaksi, lama sakit, lama
pengetahuan,
kerja
keteraturan berobat,
diagnosis,
perawatan diri,

Kurnianto
(UNDIP)

2002

Umur, jenis kelamin,


tingkat
pendidikan,
jenis pekerjaan, tingkat
penghasilan, riwayat
reaksi, tipe kusta, lama
sakit,
lokasi
lesi,
keteraturan
berobat,
motivasi
keluarga,
pencegahan
cacat,
perawatan diri

Jenis
pekerjaan, Umur,
jenis
tingkat
ekonomi, kelamin, tingkat
riwayat reaksi, tipe pendidikan, tipe
kusta, lama sakit, kusta
lokasi
lesi,
keteraturan berobat,
motivasi keluarga,
pencegahan cacat,
perawatan diri

Peneliti memilih faktor- faktor yang berhubungan berdasarkan pada


hasil penelitian yang pernah dilakukan minimal oleh dua peneliti dan
menunjukkan adanya hubungan antara variabel tersebut dengan kecacatan.
Faktor keteraturan berobat tidak diteliti sebagai faktor risiko karena populasi
yang diteliti pada penelitian ini adalah penderita yang telah menyelesaikan
pengobatan secara teratur. Faktor-faktor risiko kecacatan yang diteliti pada
penelitian ini adalah sebagai berikut :

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

20

2.7.1 Karakteristik Responden (Umur, Tingkat Pendidikan, Pengetahuan,


Tingkat Ekonomi)
2.7.1.1 Umur
Umur berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990),
diartikan sebagai lama waktu hidup seorang individu sejak dilahirkan.
Menurut Smith (1992) sebagaimana pada sebagian besar penyakit,
kecacatan pada kusta meningkat seiring dengan meningkatnya umur.
Penelitian membuktikan bahwa penderita usia lebih tua banyak mengalami
cacat dan memiliki kecacatan yang lebih serius daripada penderita yang
berusia muda (Guocheng, 1993). Pada usia lanjut terjadi penurunan
kemampuan hormonal, kemampuan sensorik, dan kemampuan motorik
(Courtright, 2002).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa umur 15 tahun
berhubungan dengan kecacatan (Susanto, 2006). Namun penelitian yang
lain menyatakan bahwa tidak hubungan antara umur dengan kecacatan
(Universitas Diponegoro, 2002).
2.7.1.2 Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan yang dimaksud pada penelitian ini adalah
tingkat pendidikan formal. Pendidikan formal adalah segenap bentuk
pendidikan atau pelatihan yang diberikan secara terorganisasi dan
berjenjang, baik yang bersifat umum

maupun yang bersifat khusus

(Depdikbud, 1990).
Menurut Moschioni, et al (2010), penderita yang telah menempuh
pendidikan formal lebih waspada terhadap apa yang mereka butuhkan
termasuk dalam perhatian mencari pelayanan kesehatan. Rendahnya
tingkat pendidikan menyebabkan lambatnya pencarian pengobatan
terhadap gejala dini kerusakan fungsi saraf yang dapat berkembang
menjadi kecacatan. Smith (1992) juga menyatakan bahwa rendahnya
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

21

tingkat pendidikan sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan


walaupun efek atau sebab tersebut masih belum dapat dimengerti secara
jelas.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat pendidikan
berhubungan dengan kecacatan (Susanto, 2006). Namun penelitian yang
lain menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan kecacatan (Universitas Diponegoro, 2002; Universitas Negeri
Semarang, 2009).
2.7.1.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui mengenai hal
tertentu (Depdikbud, 1990). Pengetahuan berisikan aspek positif atau
aspek negatif tentang suatu hal sehingga apabila seseorang lebih melihat
aspek positif daripada aspek negatif maka akan tumbuh sikap yang positif
terhadap hal tersebut, begitu pula sebaliknya (Ancok, 1987). Pengetahuan
mengenai terjadinya kecacatan pada kusta, reaksi, upaya pencegahan cacat,
dan perawatan diri pada seorang penderita akan mendorong timbulnya
sikap dan perilaku penderita tersebut untuk mencegah terjadinya kecacatan
apabila penderita dapat melihat kerugian yang disebabkan oleh kecacatan
dan reaksi serta melihat keuntungan dalam melakukan upaya pencegahan
cacat dan perawatan diri. Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa
pengetahuan penderita tentang kecacatan berhubungan dengan kecacatan,
OR 3,339 (Universitas Negeri Semarang, 2009; Susanto, 2006).
Menurut Arikunto (2006), pengetahuan dibagi dalam 3 kategori,
yaitu:
a. Baik

: Bila subyek mampu menjawab dengan benar 76% - 100% dari


seluruh petanyaan

b. Cukup : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 56% - 75% dari
seluruh pertanyaan
c. Kurang : Bila subyek mampu menjawab dengan benar 40% - 55% dari
seluruh pertanyaan

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

22

Pada penelitian ini, tingkat pengetahuan akan dibagi menjadi 2


kategori yaitu tinggi dan rendah. Kategori tingkat pengetahuan tinggi
mencakup pengetahuan yang baik dan cukup berdasarkan tingkat
pengetahuan menurut Arikunto. Sedangkan tingkat pengetahuan rendah
sama dengan kriteria pengetahuan yang kurang.
2.7.1.4 Tingkat Ekonomi
Menurut Smith (1992), status ekonomi yang kurang diidentifikasi
sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan walaupun efek atau
sebab tersebut masih belum dapat dimengerti secara jelas.
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekonomi
berhubungan dengan kecacatan dengan OR 5,8 (Universitas Diponegoro,
2002) dan 3,995 (Universitas Negeri Semarang, 2009).
2.7.2 Tipe Kusta
Klasifikasi penyakit kusta telah dipaparkan sebelumnya pada
tinjauan pustaka sub bab 2.1.2. Pada penelitian ini, klasifikasi kusta yang
akan dikaitkan sebagai faktor risiko kecacatan adalah klasifikasi WHO (tipe
PB dan MB) karena penelitian ini berkaitan dengan program.
Hasil

beberapa

penelitian

menunjukkan

bahwa

tipe

kusta

berhubungan dengan kecacatan (Susanto, 2006). Berdasarkan penelitian


yang dilakukan oleh Guocheng (1993), prosentase penderita kusta tipe MB
yang mengalami kecacatan (81,15%) lebih besar daripada prosentase
penderita kusta tipe PB yang mengalami kecacatan (53,4%). Hal ini
disebabkan banyaknya kuman kusta pada tipe MB yang dapat menginfiltrasi
langsung ke susunan saraf tepi yang dapat menyebabkan kerusakan fungsi
saraf (Depkes RI, 2007). Namun penelitian yang lain menyatakan bahwa
tidak hubungan antara tingkat penghasilan dengan kecacatan (Universitas
Diponegoro, 2002; Universitas Negeri Semarang, 2009).

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

23

2.7.3 Riwayat Reaksi


2.7.3.1 Pengertian Reaksi
Reaksi kusta adalah suatu episode dalam perjalanan kronis penyakit
kusta yang merupakan suatu reaksi kekebalan (cellular respons) atau reaksi
antigen-antibodi (humoral respons) dengan akibat merugikan penderita,
terutama jika mengenai saraf tepi karena menyebabkan gangguan fungsi
atau cacat (Depkes RI, 2007, p.90).
Reaksi oleh beberapa penulis dianggap sebagai penyakit yang
lazim dalam perjalanan penyakit kusta. Namun, dalam kondisi tertentu
reaksi dapat berlangsung serius dan merambah serta merusak organ lain
dalam tubuh. Reaksi dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak ditangani
dengan tepat (Martodihardjo dan Susanto, 2003).
Terjadinya reaksi seringkali berkaitan dengan perubahan daya
tahan tubuh penderita. Faktor-faktor yang dapat menjadi pencetus
timbulnya reaksi kusta adalah stres fisik (kehamilan, masa nifas, imunisasi,
penyakit infeksi, anemia, kurang gizi, kelelahan), stres mental (malu,
takut), kelelahan, kurang gizi, anemia, penyakit infeksi, sesudah imunisasi,
kehamilan dan setelah melahirkan, dan setelah pengobatan yang intensif
(Universitas Diponegoro, 2008; Depkes RI, 2007; Martodihardjo dan
Susanto, 2003).
2.7.3.2 Gejala dan klasifikasi
Reaksi dibagi menjadi 2 yaitu :
a. Reaksi tipe 1 atau reaksi reversal
Reaksi tipe 1 disebabkan karena meningkatnya kekebalan
seluler secara cepat sehingga menyebabkan terjadinya respon radang
pada daerah kulit dan saraf yang terkena penyakit ini. Apabila dilihat
dari sudut pandang penyerangan bakteri, peningkatan imun ini dapat
menguntungkan, namun radang yang terjadi pada jaringan saraf dapat
menyebabkan kerusakan/kecacatan jika tidak ditangani secara cepat dan
tepat. Reaksi tipe 1 ditandai dengan adanya lesi kulit yang memerah,
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

24

bengkak, nyeri, panas, neuritis, gangguan fungsi saraf tepi sering


terjadi, dan kadang disertai demam. Reaksi ini biasanya terjadi segera
setelah pengobatan, baik pada penderita PB maupun penderita MB
(Depkes RI, 2007). Berdasarkan tingkat keparahannya, reaksi tipe 1
terbagi menjadi reaksi ringan dan reaksi berat dengan gejala seperti
yang dipaparkan pada tabel 2.8.
Tabel 2.8
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 1
No

Gejala

Reaksi Ringan

Reaksi Berat
Bercak merah, tebal, panas,
nyeri yang bertambah parah
sampai pecah, dekat dengan
saraf
Nyeri pada perabaan, terdapat
gangguan fungsi

Kulit

Bercak merah,
tebal, panas, nyeri

Saraf Tepi

Keadaan
Umum
Gangguan
pada Organ
Lain

Tidak ada nyeri


pada perabaan,
tidak ada gangguan
fungsi
Tidak ada demam

Terkadang timbul demam

Tidak ada

Tidak ada

Sumber : Depkes RI, 2007

b. Reaksi tipe 2 atau ENL (Erythema Nodosum Leprosum)


Reaksi tipe 2 merupakan reaksi humoral ditandai dengan
kumpulan nodul kemerahan (ENL) yang lunak dan nyeri, neuritis,
gangguan fungsi saraf tepi, gangguan konstitusi, dan komplikasi pada
organ tubuh lainnya seperti mata, kelenjar getah bening, sendi, ginjal,
dan testis. Reaksi ini biasanya terjadi setelah mendapat pengobatan
yang lama (lebih dari 6 bulan) dan hanya terjadi pada penderita MB
(Depkes RI, 2007; Universitas Diponegoro, 2008). Berdasarkan tingkat
keparahannya, reaksi tipe 2 terbagi menjadi reaksi ringan dan reaksi
berat dengan gejala seperti yang dipaparkan pada tabel 2.9

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

25

Tabel 2.9
Perbedaan Reaksi Ringan dan Berat pada Reaksi Tipe 2
No

Gejala

Kulit

Saraf Tepi

Keadaan
Umum
Gangguan
pada Organ
Lain

Reaksi Ringan

Reaksi Berat

Nodul merah,
panas, nyeri
Tidak ada nyeri
pada perabaan,
tidak ada gangguan
fungsi
Terkadang timbul
demam
Tidak ada

Nodul merah, panas, nyeri yang


bertambah parah sampai pecah
Nyeri pada perabaan, terdapat
gangguan fungsi

Timbul demam
Terjadi peradangan pada mata,
testis, ginjal, kelenjar limfe,
gangguan pada tulang, hidung,
dan tenggorokan

Sumber : Depkes RI, 2007

2.7.3.3 Hubungan Reaksi dan Kecacatan


Prosentase penderita kusta yang mengalami kecacatan dengan
riwayat reaksi lebih besar daripada proporsi penderita kusta yang
mengalami kecacatan tanpa riwayat reaksi (Universitas Diponegoro, 2002;
Susanto, 2006) . Menurut Depkes RI (2007) reaksi merupakan salah satu
penyebab terjadinya kecacatan. Reaksi dapat merusak organ dalam tubuh
dan mengakibatkan kecacatan yang mendadak (Martodihardjo dan
Susanto, 2003).
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa reaksi berhubungan
dengan kecacatan dengan

OR

yang bervariasi

4,9

(Universitas

Diponegoro, 2002) dan 2,404 (Universitas Negeri Semarang, 2009).


Berdasarkan penelusuran peneliti, belum ada penelitian lain yang
menyatakan bahwa tidak hubungan antara reaksi dengan kecacatan.
2.7.4 Upaya Pencegahan Cacat Akibat Kusta
Upaya pencegahan cacat (prevention of disability) menurut Depkes
(2007) adalah penemuan penderita baru secara dini, pengobatan penderita
dengan MDT, deteksi dini adanya reaksi kusta dengan pemeriksaan fungsi
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

26

saraf secara rutin, penanganan reaksi, penyuluhan, perawatan diri,


penggunaan alat bantu, dan rehabilitasi.
Menurut Srinivasan (1994), terdapat empat tahap pencegahan cacat :
a. Tahap pertama yaitu mencegah terjadinya kecacatan primer yang belum
berkembang dan mencegah cacat sekunder yang berkembang dari
beberapa cacat primer. Upaya pencegahan cacat primer lebih
menekankan pada diagnosis dan terapi diantaranya diagnosis kusta secara
dini serta pengobatan secara teratur dan adekuat tanpa adanya
penundaan. Upaya pencegahan sekunder menekankan pada pendidikan
dan perawatan. Pendidikan diberikan agar penderita memahami
bagaimana kecacatan sekunder dapat terjadi dan bagaimana cara
menghindarinya. Perawatan yang dimaksud diantaranya perawatan diri
sendiri untuk mencegah luka, perawatan mata, tangan, dan atau kaki yang
anestesi atau mengalami kelumpuhan otot (Wisnu dan Hadilukito, 2003).
b. Tahap kedua adalah tindakan pencegahan cacat permanen. Beberapa
cacat pada kusta bersifat sementara namun dapat menjadi permanen
apabila diabaikan. Tindakan untuk mencegah cacat permanen yang dapat
dilakukan adalah diagnosis dini dan penatalaksanaan neuritis, diagnosis
dini dan penatalaksanaan reaksi. Selain itu perlu juga dilakukan
pemeriksaan fungsi sensorik, motorik, dan otonom oleh petugas
kesehatan. Penderita sebaiknya melaporkan perubahan-perubahan yang
terjadi terutama pada mata, tangan, dan kaki sesegera mungkin kepada
petugas kesehatan. Perubahan-perubahan yang dilaporkan penderita
tersebut sebaiknya dicatat oleh petugas kesehatan secara rutin setiap
bulan (Srinivasan, 1994; Wisnu dan Hadilukito, 2003).
c. Tahap Ketiga adalah pencegahan yang bertujuan untuk menghapuskan
kecacatan dengan membuat penderita yang cacat sedapat mungkin seperti
kondisi semula melalui fisioterapi, pembedahan korektif, dan alat bantu
seperti alas kaki khusus, orthesa, dan prosthesa.
d. Tahap Keempat adalah mencegah terjadinya pengucilan penderita dari
keluarga dan masyarakat. Pada tahap ini diupayakan agar penderita

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

27

memperoleh kembali kehormatannya

yang hilang, menghasilkan

kemampuan, dan berbaur kembali dengan keluarga dan masyarakatnya.


Upaya pencegahan cacat yang dimaksud sebagai faktor risiko
kecacatan pada penderita setelah selesai pengobatan adalah suatu upaya
yang dilakukan penderita sejak menyelesaikan pengobatan dalam mencegah
terjadinya kecacatan baru dan bertambah buruknya cacat yang telah ada.
Berdasarkan pada pengertian dan tahapan pencegahan yang telah
dipaparkan, upaya pencegahan cacat yang sesuai untuk digunakan dalam
penelitian ini adalah upaya pencegahan tahap kedua (diagnosis dini dan
penatalaksanaan neuritis melalui pemeriksaan fungsi saraf serta diagnosis
dini dan penatalaksanaan reaksi).
Upaya pencegahan cacat tahap pertama (kecuali perawatan diri),
ketiga, dan keempat tidak termasuk faktor risiko kecacatan dalam penelitian
ini. Pencegahan cacat tahap pertama berupa diagnosis dan pengobatan kusta
(pencegahan cacat primer) dilakukan untuk penderita baru kusta. Sedangkan
perawatan diri (pencegahan cacat sekunder), menjadi faktor risiko terhadap
kecacatan yang akan dibahas secara terpisah pada bagian selanjutnya.
Pencegahan cacat tahap ketiga (upaya rehabilitasi medik) dan tahap keempat
(upaya rehabilitasi sosial) tidak dimasukkan ke dalam penelitian ini karena
pencegahan cacat yang ditekankan pada penelitian ini hanya sampai pada
upaya pencegahan cacat primer dan sekunder.
Upaya pencegahan cacat dilihat dari bagaimana upaya penderita
setelah selesai pengobatan untuk memeriksakan diri secara dini dan teratur
mengenai reaksi dan neuritis yang sedang diderita kepada petugas
puskesmas. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Wisnu dan Hadilukito
(2003), penderita sebaiknya melaporkan perubahan-perubahan yang terjadi
terutama pada mata, tangan, dan kaki sesegera mungkin kepada petugas
kesehatan. Perubahan-perubahan yang dilaporkan penderita tersebut
sebaiknya dicatat oleh petugas secara rutin. Hasil pemeriksaan terhadap
penderita akan ditulis oleh petugas di lembar pemeriksaan atau dikenal
dengan form POD (Prevention of Disability). Contoh form POD terlampir.
Penderita yang diidentifikasi mengalami neuritis ataupun reaksi akan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

28

ditangani sesuai dengan pengobatan yang telah ditentukan oleh program.


Adapun penjelasan mengenai pemeriksaan fungsi saraf dan reaksi secara
rutin berikut dengan penanganannya akan diulas sebagai berikut :
2.7.4.1 Pemeriksaan Fungsi Saraf secara Rutin
Penyakit kusta dapat menyebabkan kerusakan fungsi saraf tepi
secara permanen, kerusakan yang dialami dipaparkan pada tabel 2.10.
Kerusakan saraf yang terjadi kurang dari 6 bulan, jika diobati prednison
dengan tepat tidak akan menyebabkan kerusakan saraf permanen. Untuk
itu, pemantauan kerusakan fungsi saraf melalui pemeriksaan fungsi saraf
secara rutin sangat penting sebagai upaya pencegahan dini cacat (Depkes
RI, 2007).
Tabel 2. 10
Kerusakan Fungsi Saraf Tepi
Saraf
Facialis
Ulnaris

Medianus

Radialis
Peroneus
communis
Tibialis
posterior

Fungsi
Motorik
Sensorik
Otonom
Kelopak mata tidak
menutup
jari manis dan jari Mati rasa telapak Kekeringan dan
kelingking
lemah/ tangan bagian jari kulit retak akibat
lumpuh /kiting
kelingking dan jari kerusakan kelenjar
keringat, kelenjar
manis
minyak, dan
Ibu jari, telunjuk, dan Mati rasa telapak
pembuluh
darah
jari tengah lemah/ tangan bagian ibu
lumpuh/ kiting
jari, telunjuk, dan jari
tengah
Tangan lunglai
Kaki semper
Jari kaki kiting

Mati
kaki

rasa

telapak

Sumber : Depkes RI, 2007

2.7.4.2 Penanganan Reaksi dan Neuritis


Sebelum melakukan penanganan reaksi yang dialami oleh
penderita kusta, terlebih dahulu harus mengidentifikasi tipe reaksi yang
dialami serta derajat keparahan reaksi untuk menentukan penanganan dan

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

29

obat yang tepat. Penentuan tipe reaksi dan adanya neuritis dapat dibantu
dengan mengisi form POD.
Prinsip penanganan reaksi ringan :
a. Berobat jalan, istirahat di rumah.
b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang jika perlu.
c. Jika masih dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis yang
sama seperti sebelumnya.
d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
Sedangkan prinsip penanganan reaksi berat dan neuritis, yaitu :
a. Imobilisasi lokal/ istirahat di rumah.
b. Pemberian analgetik/antipiretik, obat penenang jika perlu.
c. Jika masih dalam pengobatan, MDT tetap diberikan dengan dosis yang
sama seperti sebelumnya.
d. Menghindari/menghilangkan faktor pencetus.
e. Memberikan obat anti reaksi yaitu prednison dan lamprene. Obat
thalidomid yang juga merupakan obat anti reaksi tidak digunakan dalam
program.
f. Jika terdapat indikasi rawat inap, penderita dirujuk ke rumah sakit.
Pemberian obat prednison dan lampren terhadap kondisi reaksi
berat yang berbeda, secara rinci dapat dilihat pada tabel 2.11.
Tabel 2.11
Pengobatan Reaksi Berat
Tipe Reaksi

Pengobatan

Tipe 1 dan 2 Pemberian prednison pada pagi


Berat
hari sesudah makan:
2 Minggu ke 1 = 40 mg/hari
2 Minggu ke 2 = 30 mg/hari
2 Minggu ke 3 = 20 mg/hari
2 Minggu ke 4 = 15 mg/hari
2 Minggu ke 5 = 10 mg/hari
2 Minggu ke 6 = 5 mg/hari

Keterangan
Setiap 2 minggu penderita
diperiksa kembali fungsi
sarafnya.
Jika
kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

30

Tipe Reaksi
Neuritis

Pengobatan

Keterangan

Mencari dosis awal prednison


yaitu dengan memberikan 40
mg/hari pada pagi hari sesudah
makan selama 1 minggu
kemudian diperiksa kembali.
Jika tidak ada perbaikan, kondisi
maka dosis dinaikkan menjadi
50 sampai 60 mg/hari. Dosis
awal ini kemudian dipertahankan
selama 2 minggu.

Setelah
dosis
awal
ditemukan, setiap 2 minggu
penderita diperiksa kembali
fungsi sarafnya. Jika kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.

Tipe 1 dan 2 Pada anak, dosis awal prednison Setiap 2 minggu penderita
berat pada maksimal 1 mg/ kgBB.
diperiksa kembali fungsi
anak
sarafnya.
Jika
kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.
Total
lama
pengobatan maksimal 12
minggu.
ENL (tipe Pemberian prednison pada pagi
2)
berat hari sesudah makan:
berulang
2 Minggu ke 1 = 40 mg/hari
2 Minggu ke 2 = 30 mg/hari
2 Minggu ke 3 = 20 mg/hari
2 Minggu ke 4 = 15 mg/hari
2 Minggu ke 5 = 10 mg/hari
2 Minggu ke 6 = 5 mg/hari
Pemberian prednison didampingi
dengan pemberian lamprene
dosis dewasa :
2 bulan ke 1= 3 x 100 mg/hari
2 bulan ke 2 = 2 x 100 mg/hari
2 bulan ke 3 = 1 x 100 mg/hari

Pada pemberian prednison,


setiap 2 minggu penderita
diperiksa kembali fungsi
sarafnya.
Jika
kondisi
membaik, dosis diturunkan.
Jika kondisi tetap, dosis
yang sama dilanjutkan 1
minggu. Jika memburuk,
dosis dinaikkan satu tingkat
diatasnya.

Sumber : Depkes RI, 2007

Menurut Depkes RI (2007), hal yang perlu diperhatikan dalam


pemberian prednison pada penderita reaksi dan neuritis:
a. Pemberian prednison harus dalam pengawasan dokter puskesmas atau
petugas kusta kabupaten dan harus dicatat pada form evaluasi
pengobatan reaksi berat.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

31

b. Sebelum memulai pengobatan dengan prednison, terlebih dahulu


memeriksa kondisi penderita yang mungkin merupakan kontra indikasi
pemberian prednison (TBC, kencing manis, tukak lambung berat). Jika
kondisi tersebut berat maka penderita harus dirujuk ke rumah sakit.
c. Prednison diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari sesudah makan,
kecuali dalam kondisi terpaksa prednison dapat diberikan dengan dosis
terbagi misalnya 2 x 4 tablet/hari.
d. Penderita harus mematuhi aturan pemberian prednison karena
prednison dapat menyebabkan efek samping yang serius. Prednison
tidak boleh dihentikan secara mendadak karena dapat mengakibatkan
terjadinya rebound phenomena (demam, nyeri otot, nyeri sendi,
malaise). Sedangkan efek samping penggunaan jangka panjang adalah
gangguan cairan dan elektrolit, hiperglikemi, mudah terinfeksi,
perdarahan pada penderita tukak lambung, osteoporosis, dan cushing
syndrome (moon face, obesitas sentral, jerawat, pertumbuhan rambut
berlebihan, timbunan lemak).
2.7.4.3 Hubungan Upaya Pencegahan Cacat dengan Kecacatan
Hasil beberapa penelitian menunjukkan bahwa upaya pencegahan
cacat berhubungan dengan kecacatan, OR 3,429 (Universitas Negeri
Semarang, 2009).
2.7.5 Perawatan Diri
Penderita kusta dalam mencegah cacat perlu dilakukan perawatan
dan penggunaan alat bantu sebagai pelindung terhadap mata, tangan, dan
kaki yang berisiko. Jika terdapat kelemahan otot maka dilakukan latihan
secara aktif, namun jika kekuatan otot sudah hilang perlu dilakukan latihan
secara pasif. Bagian kaki dan tangan yang kontraktur, harus dilakukan
latihan peregangan. Kaki dan tangan yang tidak sensitif maka dilakukan
rendam-gosok-oles dan hindari benda tajam. Alat pelindung yang digunakan
dapat berupa kaca mata, sarung tangan, sepatu (Wisnu dan Hadilukito,
2003).
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

32

Menurut ILEP (2006), Orang yang harus mengembangkan kebiasaan


rawat diri kusta adalah orang yang menderita kerusakan saraf dan orang
yang berisiko mengalami reaksi (selama pengobatan dan selama
sekurangnya 2 tahun setelah pengobatan). Banyak orang yang menderita
kusta akan menderita kerusakan saraf permanen sehingga akan selalu
memiliki risiko mengalami kerusakan jaringan dan perubahan bentuk.
Apabila mempelajari kebiasaan rawat diri yang baik, orang yang menderita
kusta dapat melindungi dirinya dari kerusakan lebih lanjut. Walaupun
petugas kesehatan, keluarga, dan teman kadang dapat membantu,
sebenarnya untuk menjaga diri tiap hari tergantung pada orang itu sendiri.
Kebutuhan yang ditekankan pada perawatan diri adalah kesadaran, periksa
pandang, dan proteksi.
Perawatan diri perlu dilakukan pada tangan, kaki jika telah terjadi
kerusakan saraf

karena seringnya bagian-bagian tubuh ini mengalami

kecacatan. Masalah terpenting dalam kerusakan saraf akibat kusta adalah


hilangnya sensabilitas atau anestesi yang membuat orang mudah terluka
dalam aktivitas sehari-hari mereka. Kusta juga dapat menyebabkan
kerusakan pada saraf yang mengendalikan otot menyebabkan kelemahan,
clawing (jari bengkok), kekakuan sendi dan perubahan bentuk.
Petugas kesehatan seharusnya dapat mendorong para penyandang
kusta untuk dapat mengatasi komplikasi penyakit mereka sebisa mungkin di
rumah, tetapi juga siap untuk memberikan informasi dan nasehat jika
diperlukan. Perawatan diri dilakukan untuk menjaga agar mata yang susah
berkedip bebas dari cedera dan gangguan penglihatan, tangan dan kaki yang
mati rasa bebas dari luka, daerah kulit yang tidak berkeringat tetap lembut
dan bebas dari keretakan, mempertahankan mobilitas sendi walaupun ada
paralisis otot tangan atau kaki, melatih otot-otot penting yang mengalami
kelemahan untuk membuatnya kuat merencanakan perubahan kegiatan
sehari-hari guna mencegah berulangnya luka, serta membuat penderita
mampu menjaga tangan dan kaki mereka.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

33

2.7.5.1 Perawatan diri pada Mata


Jenis kecacatan yang terjadi pada mata dan perawatan diri yang
dapat dilakukan dijelaskan pada tabel 2.12.
Tabel 2.12
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Mata
Jenis
kecacatan

Keterangan

Lagophthalmos Kondisi mata tidak


dapat menutup dengan
sempurna karena otot
yang
berfungsi
menutup mata menjadi
lemah atau lumpuh
(paralisis)
akibat
terjadinya kerusakan
saraf facialis saat
reaksi kusta.
Tanda
berupa
keluarnya air mata
terus-menerus,
terkadang hilangnya
sensasi kornea yang
menyebabkan
hilangnya
refleks
kedip normal.
Menyebabkan kornea
mengalami
risiko
rusak
sehingga
warnanya
menjadi
kurang jernih dan
transparan

Perawatan Diri
Harus mengembangkan kebiasaan baru yang
disebut think blink atau pikir-kedip
(didorong untuk melakukan berkedip yang
dipaksakan tersebut kapan saja saat orang
melihat obyek/benda yang umum di sekitar
mereka yang dilakukan cukup lama)
Mengenakan kaca mata.
Mengenakan topi atau kerudung
Menggunakan kain atau kipas untuk mengusir
lalat
Menutup kepala dengan kain atau gunakan
kelambu saat tidur
Menjaga mata tetap bersih dan lembab
(menggunakan tetes mata yang mengandung air
mata buatan yang tersedia di pasaran atau
larutan saline steril yang diteteskan sepanjang
hari ke mata)
Tidak menggosok mata (terutama dengan
tangan mati rasa yang kasar atau dengan kain
yang kotor)
Menjaga daerah sekitar mata tetap bersih
dengan menggunakan kain bersih yang
basah/lembab
Memeriksa mata secara rutin tiap hari
(menggunakan cermin atau meminta bantuan
teman untuk melihat apakah ada tanda luka,
kemerahan atau bulu mata yang bengkok
masuk ke mata),
Memeriksa ketajaman penglihatan tiap hari
dengan melihat benda tetap yang sama yang
berjarak 6 meter
Melakukan latihan aktif tiap hari (penderita
mencoba keras menutup mata dengan erat)
Jika tidak dapat melakukan latihan aktif maka
penderita dapat melakukan latihan pasif tiap
hari untuk mencegah masalah berlanjut
(mencoba keras menutup mata dengan erat
kemudian meletakkan jari-jari di sudut luar dan
perlahan tarik ke luar hingga mata tertutup)

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

34

Jenis
kecacatan
Peradangan
(inflamasi)

Ulserasi
Kornea

Keterangan

Perawatan Diri

Tanda utama adalah


nyeri dan kemerahan
yang menetap pada
mata
Terjadi karena mata
terus terpapar debu
atau binatang kecil
Pada kornea terdapat
bintik putih dan mata
merah
Terjadi karena sensasi
pada
kornea
menghilang kemudian
terpapar benda seperti
pasir, serangga, atau
bulu mata
jika tidak ditangani
secepatnya
dapat
menimbulkan
kebutaan

Harus ditangani khusus oleh orang yang terlatih


dalam perawatan mata

Harus segera dirujuk ke spesialis mata

Sumber : ILEP, 2006

2.7.5.2 Perawatan Diri pada Kulit


Jenis kecacatan yang terjadi pada kulit dan perawatan diri yang
dapat dilakukan dijelaskan pada tabel 2.13.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

35

Tabel 2.13
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Kulit
Jenis
Kecacatan

Keterangan

Perawatan Diri

Kulit
Pecah
dan
Kalus

Disebabkan oleh Melakukan periksa pandang pada kulit sekurangnya


kulit
yang sekali sehari. Melihat apakah ada yang luka atau
dibiarkan menjadi pecah, daerah yang merah atau bengkak. Jika
terlalu kering
kesulitan dapat menggunakan cermin untuk
akibat
rusaknya membantu melihat. Guna mencegah terjadinya ulkus,
saraf
yang maka kaki dan tangan harus diistirahatkan saat
mengendalikan
terdapat tanda awal yang ditemukan pada saat periksa
pengeluaran
pandang
keringat
Pemeriksaan alas kaki yang dipakai juga dilakukan
Kulit
pecah tiap hari. Alas kaki diperiksa apakah ada batu atau
seringkali
benda keras lain yang mungkin terperangkap di
ditemukan
di dalamnya, atau benda tajam yang mungkin dapat
lengkungan/ lipatan menembus sol alas kaki. Periksa bagian bawah alas
tangan,
sekitar kaki, apakah ada benda tajam yang mungkin dapat
tumit, dan lipatan menembus sol saat alas kaki digunakan untuk berjalan
antar jari-jari kaki. Jika kulit lembut dan elastis, maka kemungkinan
Kulit yang pecah untuk retak karena tekanan (pembebanan atau
merupakan
luka gesekan) adalah kecil. Kalus akan terbentuk pada
yang tidak boleh bagian bawah kaki yang mengalami tekanan dan akan
diabaikankarena
lebih cepat muncul jika kulit mengalami kerusakan
dapat menjadi pintu sehingga penderita perlu melakukan aktivitas
masuknya infeksi.
merendam kaki dan tangan dengan air bersih dalam
Jika luka terinfeksi, waktu 20 hingga 30 menit, menggosok kulit kaki dan
bisa dengan mudah tangan yang kering dengan benda abrasif (batu apung,
menyebar ke sendi sabut kelapa, tongkol jagung, amplas, dan alat kikir),
dan tulang sehingga dan mengoleskan minyak dan salep pelembab pada
menyebabkan
kulit pecah dan kalus yang telah direndam sebelum
hilangnya jari
benar-benar kering

Kulit
Pecah
dan
Kalus

Jika
infeksi Apabila kalus tidak dapat hilang dengan melakukan
menyebar ke tulang kegiatan merendam, menggosok, dan mengoles atau
tumit, infeksi dapat terlalu banyak kulit bagian dalam yang retak maka
menghancurkan
petugas harus menghilangkannya dengan skapel
tulang
tersebut. Mengistirahatkan dan melindungi jari yang terluka
Jika tulang tumit menggunakan bidai agar tidak bergerak (dari plastik,
hancur atau rusak pipa karet, kayu, bambu). Bidai mencegah
berat,
ada pemendekan jari lunak (terutama sekitar daerah sendi)
kemungkinan
selama fase penyembuhan. Bidai melindungi luka dan
penderitanya
menahan jari pada posisi terbaik yang paling
kehilangan seluruh menguntungkan. Bidai tersebut dipakai selama 23 jam
kakinya
tiap hari, 1 jam bidai dilepas untuk memijat dan
menggerakkan sendi untuk mencegah kekakuan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

36

Jenis

Keterangan

Perawatan Diri

Penyebab
utama
kulit melepuh :
Panas
(sumber
kontak langsung
dengan
cairan
/permukaan
panas/ api)
Gesekan/ friksi
(gosokan
berulang
pada
kulit
dengan
permukaan keras
seperti alat yang
tidak dilapisi dan
sepatu tidak pas).
Seluruh luka terjadi
karena
jaringan
pada bagian tubuh
mati rasa mendapat
penekanan seperti :
Cedera
tiba-tiba
karena benda tajam
yang mengiris atau
menembus kulit
Tekanan berulang
dan
gesekan
(seperti ulkus di
kaki
karena
berjalan
Luka di tangan
akibat
tidak
menggunakan
pelindung
pada
peralatan
yang
dipegang tangan)
Terbakar.

Hal pertama yang dilakukan yaitu menentukan


penyebab terjadinya kulit melepuh dan meyakinkan
bahwa ada tindakan untuk mencegah berulangnya
kejadian tersebut.
Jangan membuka atau menusuk lepuhan.
Bersihkan perlahan dengan sabun yang lembut dan air
bersih mengalir tanpa memecahkan kulit, lalu
keringkan. Olesi dengan cairan iodium agar lepuh
mengering cepat. Tutup dengan pembalut tebal dari
kain atau kasa sebagai bantalan hingga sekelilingnya.
Istirahatkan bagian yang terluka. Jika lepuhan pecah
maka penanganan sama seperti luka terbuka

Kecacatan
Kulit
melepuh

Luka
terbuka
(ulkus)

Luka yang bersih, cairan jernih, dan superfisial


ditangani oleh petugas dan penderita bersama-sama
Luka lain (daerah luka merah, hangat, dan bengkak
dengan kelenjar limfe nyeri dan bengkak, eksudat
nanah, luka yang dalam) dapat mengalami komplikasi
akibat infeksi jaringan lunak atau tulang sehingga
harus dirawat di rumah sakit /dokter spesialis.
Hampir semua luka sembuh bila diistirahatkan dan
akan memburuk bila tidak diistirahatkan. Sepanjang
orang tersebut sehat, jaringan yang rusak akan
memperbaiki sendiri. Jika ulkus di kaki, lebih baik
berbaring di tempat tidur dengan kaki dinaikkan di
atas level jantung (tirah baring). Jika tidak dapat
sepenuhnya
istirahat,
sedapat
mungkin
mengistirahatkan bagian yang terluka dengan bidai
atau berjalan dengan kruk/tongkat.
Lingkungan luka bebas dari benda asing (bahan
pembalut tidak berlebihan, tidak menggunakan
kapas), bebas substansi beracun (mengikis jaringan
mati dari pinggir luka), bebas mikroorganisme
berbahaya, lembab tapi tidak terlalu basah (nanah atau
cairan dari luka harus didrainase, ganti pembalut yang
kotor akibat cairan yang keluar dari luka), tidak
kering, temperatur stabil (luka dibersihkan/direndam
dalam air yang suhunya mendekati suhu tubuh).
Higiene harus terjaga sehingga tidak menjadi sumber
infeksi terhadap luka.

Sumber : ILEP, 2006

2.7.5.3 Perawatan Diri pada Tangan dan kaki


Jenis masalah atau kecacatan yang terjadi pada tangan dan kaki
serta perawatan diri yang dapat dilakukan dijelaskan pada tabel 2.14.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

37

Tabel 2.14
Jenis Kecacatan dan Perawatan Diri pada Tangan dan Kaki
Jenis
Masalah
/Kecacatan

Keterangan

Perawatan Diri

Tekanan

Saat permukaan yang


keras digenggam terlalu
keras, tekanan dapat
menyebabkan luka pada
tangan.
Contoh
aktivitas
:
bekerja dengan sekop,
bajak, palu, atau saat
menggenggam
pegangan sepeda atau
motor.
Banyak orang tidak
mampu
mendistribusikan beban
tubuh secara merata
pada kaki sehingga area
tertentu
pada
kaki
mengalami
tekanan
lebih berat daripada
area lain. Tekanan
tersebut dalam waktu
tertentu
akan
mengakibatkan jaringan
rusak

Belajar memperhatikan dan memikirkan


aktivitasnya untuk bisa mencegah luka karena
tidak
memiliki
sensasi
yang
dapat
memperingatkan apabila ada kegiatan tertentu
yang tidak aman
Guna mencegah tekanan terjadi pada tangan,
pegangan yang keras dibungkus dengan
menggunakan kain atau material lain yang
lembut sehingga berfungsi sebagai bantalan
agar lebih lembut dipegang oleh tangan.
Guna mencegah tekanan terjadi pada kaki,
sepatu atau sandal diberi sol yang lembut pada
bagian dalamnya untuk dapat mambantu
mengurangi tekanan.
Apabila terjadi luka pada tangan dan kaki,
dapat
dilakukan
penanganan
seperti
penanganan luka/ulkus pada kulit.

Gesekan

Aktivitas dengan tangan


terus menerus meluncur
maju mundur di atas
permukaan keras dapat
menimbulkan gesekan
pada tangan sehingga
mengakibatkan lepuhan
Contoh
aktivitas
:
mendayung
perahu,
menggiling
jagung,
menumbuk tepung
Tali sandal dan bagian
atas
sepatu
bisa
menggesek kulit kaki
yang
menyebabkan
lepuh
dan
dapat
menimbulkan
luka
serius pada kaki yang
mati rasa dan kering

Belajar memperhatikan dan memikirkan


aktivitasnya untuk mencegah luka karena tidak
memiliki sensasi yang dapat memperingatkan
apabila ada kegiatan tertentu yang tidak aman
Guna mencegah gesekan terjadi pada tangan,
permukaan yang keras diberi bantalan agar
pegangannya kokoh dan mantap. Bantalan
karet sangat berguna untuk mencegah
slip/meluncurnya genggaman.
Guna mencegah gesekan terjadi pada kaki,
kulit dijaga senantiasa lembut dan elastis
dengan kegiatan merendam, menggosok, dan
mengoleskan minyak. Kemudian menghindari
penggunaan alas kaki yang terbuat dari bahan
yang keras yang tidak dapat membengkok
dengan mudah seperti kulit atau plastik cetak.
Apabila terjadi lepuhan pada tangan dan kaki,
dapat
dilakukan
penanganan
seperti
penanganan pada kulit lepuh.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

38

Jenis
Masalah
Keterangan
Perawatan Diri
/Kecacatan
Panas
Contoh : saat memasak, Belajar memperhatikan dan memikirkan
/terbakar
karena makanan atau aktivitasnya untuk bisa mencegah luka karena
minuman panas, duduk tidak
memiliki
sensasi
yang
dapat
di dekat api, merokok, memperingatkan apabila ada kegiatan tertentu
terkena knalpot. atau yang tidak aman
duduk dekat mesin yang Guna mencegah terbakar/ terkena panas maka
sedang menyala.
harus menemukan cara mencegah kontak kulit
dengan permukaan panas atau terlalu dekat
dengan api, contoh : menggunakan sendok
untuk makan, memakai tambahan di luar
cangkir/ gelas yang panas, menggunakan kain
tebal untuk memegang peralatan panas,
menggunakan pemegang pipa rokok, kaki
dilipat jika duduk dekat api.
Luka bakar diobati perak sulfadiazine atau
obat lain yang tersedia di puskesmas.
Luka akibat Benda tajam yang kasar Belajar memperhatikan dan memikirkan
benda tajam
seperti serpihan kayu, aktivitas untuk mencegah luka karena tidak
kaca, duri, seng, paku, memiliki sensasi yang dapat memperingatkan
alat tajam dapat melukai jika ada kegiatan tertentu yang tidak aman
tangan dan kaki.
Guna mencegah luka akibat benda tajam pada
tangan, tangan harus diproteksi dengan sarung
tangan atau kain saat melakukan aktivitas
yang berisiko melukai tangan. Orang harus
selalu mencoba dan menyadari bahwa
tangannya dalam bahaya.
Guna melindungi kaki, dapat menggunakan
alas kaki dengan sol luar yang keras.
Jika terjadi luka, maka dilakukan penanganan
seperti penanganan luka/ulkus pada kulit.
Tangan
Tangan yang lumpuh Tangan lumpuh/ lemah harus dijaga agar
lumpuh atau
atau lemah diakibatkan kulitnya tetap dalam kondisi baik dengan cara
lemah
adanya kerusakan pada merendam, menggosok, mengoleskan minyak.
saraf tepi pada tangan
Jari tangan yang lemah/ lumpuh harus dipijat
untuk mencegah kekakuan.
Latihan meluruskan jari-jari yang mulai
bengkok. Tangan yang lemah diletakkan di
atas permukaan datar dan lunak dengan
telapak menghadap ke atas. Bagian pinggir
tangan lain diletakkan kuat dan didorong
perlahan dari permulaan pergelangan tangan
hingga ke ujung jari yang lemah, tahan dalam
hitungan sepuluh. Latihan diulangi 3 kali
sehari.
Latihan ibu jari yang lemah. Letakkan tangan
yang ibu jarinya lemah di atas permukaan
datar dan lunak. Letakkan tangan yang kuat di
atas tangan yang ibu jarinya lemah. Lingkari
sekeliling ibu jari yang lemah dengan jari-jari
tangan lain, ibu jari diposisikan tegak,
kemudian tahan. Tanpa merubah posisi,
lakukan gerakan mengurut ke arah ujung ibu
jari yang lemah hingga lurus. Setelah di ujung
ibu jari tahan dalam hitungan sepuluh. Latihan
diulangi 3 kali sehari
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

39

Jenis
Masalah
/Kecacatan
Tangan
lumpuh atau
lemah

Keterangan

Kaki semper terjadi


jika
saraf
poplitea
lateralis
mengalami kerusakan
Jika mengalami kaki
semper, orang tidak
mampu
mengangkat
atau menahannya tetap
stabil sehingga ketika
tungkai diangkat, kaki
seakan
menjadi
tergantung lepas.
Kaki
semper
bisa
menimbulkan
serangkaian kerusakan
pada kaki jika kaki juga
kebetulan mengalami
gangguan sensasi (mati
rasa).

Perawatan Diri
Latihan meluruskan jari secara aktif. Caranya
adalah mengepalkan tangan yang mengalami
kelemahan kemudian memaksakan untuk
membuka dan tahan pada posisi membuka
dalam hitungan sepuluh. Latihan dilakukan
sekurangnya 3 kali sehari
Meluruskan jari yang telah bengkok secara
pasif dengan bidai minimal digunakan pada
malam hari. Bidai harus diberi bantalan serta
dilepas dan diperiksa secara reguler untuk
mencegah terjadinya luka akibat tekanan.
Bidai hanya diberikan pada orang yang dapat
memahami risiko dalam menggunakannya.
Menjaga kulit agar tetap dalam kondisi yang
baik dengan cara merendam, menggosok, dan
mengoleskan minyak.
Jika layanan rujukan dapat diakses, penderita
dirujuk untuk memperoleh pegas/ per atau
bidai posterior untuk kaki semper. Jika
layanan rujukan tidak dapat diakses, pegas
kaki semper dapat dibuat sendiri dengan
memasang ban dalam sepeda ke bagian
pengikat di betis sampai ke sepatu kemudian
menggunakan material yang kuat yang
dipaskan ke sekeliling sepatunya. Pegas
tersebut dapat melindungi kaki agar tidak
tergantung lepas saat berjalan.
Guna mencegah kaki tertarik melengkung ke
arah bawah karena tarikan otot di bagian
belakang kaki, maka dibutuhkan latihan. Bila
masih ada kekuatan dapat melakukan latihan
aktif. Sembari duduk, penderita mencoba
sedapat mungkin mengangkat kaki yang
lunglai. Bila masih ada kekuatan, memakai
beban dengan menggunakan kantong berisi
pasir. Latihan dilakukan 20 kali setiap latihan
pada pagi dan sore hari.
Guna menghindari pemendekan tendo achiles
pada kaki semper maka perlu dilakukan
latihan pasif. Kain dilingkarkan ke sekeliling
kaki. Kain tersebut ditarik untuk menarik kaki
ke arah atas. Kaki ditahan dalam posisi
tersebut, sementara menghitung hingga
sepuluh, kemudian baru dilemaskan. Lakukan
20 kali setiap latihan pada pagi dan sore hari.

Sumber : ILEP, 2006

Kecacatan yang telah terjadi pada kaki dapat terlindungi oleh alas
kaki dari masalah yang dapat menyebabkan memburuknya kecacatan
seperti yang dijelaskan pada tabel 2.14. Adapun alas kaki yang sesuai
untuk kaki yang mati rasa yaitu :
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

40

a. Bersol luar yang keras untuk mencegah penetrasi benda tajam dari
tanah
b. Sol dalam yang lembut (berguna mengurangi tekanan pada kaki saat
berjalan) dengan bahan dari karet mikroseluler (MCR) atau Ethyil
Vinyl Acetate (EVA) setebal 4 mm.
c. Kelengkungan yang cukup tinggi sekitar jari-jari kaki (terutama jika
orang tersebut memiliki jari-jari yang bengkok)
d. Jika penderitanya juga menderita kecacatan pada tangan atau mata,
disarankan untuk memilih sepatu dengan penutup berperekat (velcro) di
bagian depan kaki dan tali belakang yang menahan serta mudah
disesuaikan.
Alas kaki yang harus dihindari adalah :
a. Sepatu atau sandal dari plastik
b. Sepatu dengan paku di bagian bawahnya
c. Sepatu modis dengan tumit tinggi
d. Sandal yang tidak punya tali pengikat di bagian belakang
e. Alas kaki rusak yang telah diperbaiki lagi. Alas kaki yang diperbaiki
justru dapat berbahaya karena jahitan dan kulit yang kaku justru dapat
menyebabkan luka.
2.7.5.4. Hubungan Perawatan Diri dengan Kecacatan
Berdasarkan hasil beberapa penelitian terdapat hubungan antara
perawatan diri dengan kecacatan dengan OR 4,1 (Universitas
Diponegoro, 2002; Susanto, 2006).
2.8 Program Pengawasan Penderita Kusta Setelah Selesai Pengobatan
Surveilans (Surveillance) berasal dari bahasa Perancis Surveiller
yang berarti mengamati sesuatu dengan perhatian penuh disertai dengan
kemampuan dan seringkali kecurigaan. Menurut WHO, Surveilans adalah
proses pengumpulan, pengolahan, analisis dan interprestasi data secara
sistematik dan terus menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

41

membutuhkan untuk diambil

tindakan (Universitas Diponegoro, 2006b).

Surveilans yang dilakukan oleh program pengendalian penyakit kusta


terhadap penderita kusta setelah selesai pengobatan lebih dikenal dengan
istilah pengamatan atau pengawasan (Depkes RI, 1993). Pengamatan
dilakukan oleh petugas puskesmas sejak penderita dinyatakan RFT hingga
penderita dinyatakan RFC (Release from Control) untuk melihat kondisi
tertentu dari penderita kusta sesuai dengan tujuan program. RFC (Release
from Control) adalah istilah untuk menyatakan penderita telah selesai dari
masa pengawasan/pengamatan (Depkes RI, 2005). Masa pengamatan
terhadap penderita setelah selesai pengobatan dilakukan selama beberapa
tahun tergantung pada jenis pengamatan dan tujuan pengamatan.
Terdapat 3 metode pengamatan terhadap penderita setelah selesai
pengobatan yaitu metode pengamatan aktif, pasif, dan semi aktif.
2.8.1 Metode Pengamatan Aktif
Metode pengamatan aktif (Active Surveillance) adalah suatu metode
pengamatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas kepada penderita
setelah selesai pengobatan yang datang ke puskesmas atau dikunjungi oleh
petugas kusta secara rutin, yaitu sekali dalam 6 bulan. Penderita yang tidak
datang ke puskesmas dalam 6 bulan akan ditelusuri dan ditemui oleh
petugas puskesmas. Pada saat datang ke puskesmas atau dikunjungi,
penderita diperiksa secara klinis maupun laboratorium. Pengamatan
dilakukan selama 4 tahun untuk penderita PB dan 5 tahun untuk penderita
MB (Depkes RI, 1984).
Metode pengamatan aktif bertujuan untuk mengidentifikasi sedini
mungkin terjadinya kasus relaps (kambuh) pada penderita dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan fisik terhadap tanda
relaps dan kondisi kecacatan, serta pengobatan kembali sesuai dengan tipe
kusta jika penderita dinyatakan relaps (Gebre dan Saunderson, 2001).
Metode pengamatan aktif dihentikan pada masa penggantian
regimen DDS ke regimen MDT karena pada saat itu risiko terjadinya,
relaps sangat kecil (Srinivasan, 1995; Manjunath, 2001).
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

42

2.8.2 Metode Pengamatan Pasif


Metode pengamatan pasif (passive surveillance) adalah suatu metode
pengamatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas kepada penderita
setelah selesai pengobatan yang datang ke puskesmas minimal sekali dalam
setahun tanpa pemeriksaan laboratorium (Depkes RI, 2007; Depkes RI,
1993 ; Srinivasan, 1995). Penderita yang tidak datang ke puskesmas dalam 1
tahun tidak akan ditelusuri oleh petugas puskesmas dan dianggap tidak
memiliki keluhan akibat kusta. Metode pengamatan pasif bertujuan untuk
mengidentifikasi terjadinya reaksi, neuritis, dan relaps pada penderita
dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap kondisi kecacatan, tanda
reaksi dan neuritis, serta tanda relaps (Jacobson, 1994). Penderita yang
datang akibat adanya keluhan reaksi dan neuritis akan ditangani dengan
pengobatan prednisone dan lamprene sesuai dengan kebijakan program
mengenai penatalaksanaan reaksi. Penderita yang teridentifikasi relaps akan
diberikan pengobatan ulang sesuai dengan tipe kusta yang diderita (Depkes
RI, 2007). Sedangkan penderita yang mengalami luka akibat kusta akan
ditangani sesuai dengan tata cara perawatan luka seperti yang dipaparkan
oleh ILEP (2006) pada sub bab 2.7.5 mengenai perawatan diri. Selain
memberikan bantuan tindakan medis, petugas puskesmas juga memberikan
informasi tanda-tanda reaksi dan pentingnya perawatan diri. Alur kegiatan
penderita setelah selesai pengobatan kusta yang datang ke puskesmas pada
metode pengamatan pasif dapat dilihat pada gambar 2.2.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

43

Gambar 2.2
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif
Penderita
datang

Administrasi
Puskesmas

Membayar
administrasi
Mengambil
kartu
penderita

Penderita
pulang

Petugas
Kusta

Apotik/
Loket Obat

Mengambil kartu khusus penderita


kusta
Anamnesa
Pemeriksaan cardinal sign kusta
Pemeriksaan kecacatan dan
pengisian form POD
Penjelasan tanda-tanda reaksi dan
pentingnya perawatan diri
Penanganan reaksi/ neuritis akibat
kusta dan memberikan obat
lamprene secara langsung dan
meresepkan vitamin atau obat
prednisone untuk reaksi/ neuritis
jika dibutuhkan
Penanganan luka akibat kusta

Memberikan vitamin
atau obat prednisone
untuk reaksi/ neuritis

Metode pengamatan pasif diberlakukan pada masa penggantian


regimen DDS ke regimen MDT. Pada saat pengobaan MDT dimulai,
kejadian relaps menjadi sangat kecil (Srinivasan, 1995). Berdasarkan
penelitian, kejadian relaps menurun hingga kurang dari 1 % (Lockwood,
2002).
Metode pengamatan pasif hingga saat ini masih digunakan sebagai
metode pengamatan pada penderita setelah selesai pengobatan. Namun
berdasarkan hasil penelitian penilaian kecacatan terhadap

43 penderita

setelah selesai pengobatan yang dilakukan di kabupaten Subang provinsi


Jawa Barat pada tahun 2001, menunjukkan 21 % penderita mengalami
kenaikan tingkat kecacatan (Hasibuan, 2002). Tingkat kecacatan yang
memburuk pada penderita tersebut merupakan dampak dari kerugian yang
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

44

disebabkan oleh metode pengamatan pasif. Kerugian yang dimaksud adalah


berkurangnya kesempatan untuk mendeteksi reaksi atau neuritis (terutama
silent neuritis) secara dini yang merupakan hal terpenting pada program
pengobatan yang lebih pendek dengan terapi MDT (Gebre dan Saunderson,
2001). Kesempatan deteksi berkurang karena metode ini sangat tergantung
pada kewaspadaan dan kepedulian penderita untuk

melaporkan kondisi

dirinya (Manjunath, 2001).


Hasil penelitian ALERT di Ethiopia pusat (Gebre dan Saunderson,
2001) menunjukkan dalam metode pengamatan pasif, dari 116 penderita
setelah selesai pengobatan yang didorong untuk datang tiap tahun ke
pelayanan kesehatan selama 5 tahun untuk pemeriksaan VMT,ST, dan
penilaian tingkat kecacatan hanya sedikit yang datang untuk tindak lanjut
(56,9% tidak pernah datang sama sekali dalam 5 tahun). Sedikitnya
penderita yang datang pada pengamatan pasif di Ehiopia diperkirakan
karena jauhnya jarak antar rumah penderita dengan pelayanan kesehatan
terdekat. Odds ratio terjadinya kondisi yang memburuk (kerusakan) apabila
pengamatan aktif tidak dilakukan adalah 1,9 (disesuaikan umur, jenis
kelamin, klasifikasi). Berdasarkan hasil penelitian tersebut, juga diketahui
bahwa pengamatan aktif mahal jika dilakukan dan hanya sedikit mengurangi
kecacatan lebih lanjut. Penulis jurnal menyarankan untuk mengupayakan
pendidikan dan dukungan kepada penderita sebelum selesai pengobatan agar
dapat

memahami

kerusakan

yang

mungkin

terjadi,

bagaimana

mengenalinya, dan langkah apa yang harus diambil jika hal tersebut terjadi
(Gebre dan Saunderson, 2001).
2.8.3 Metode Pengamatan Semi Aktif
Metode pengamatan semi aktif (Semi Active Surveillance) adalah
suatu metode pengamatan yang dilakukan oleh petugas puskesmas kepada
penderita setelah selesai pengobatan yang datang ke puskesmas minimal
sekali dalam 3 bulan. Penderita yang tidak datang ke puskesmas dalam 3
bulan akan ditunggu selama 1 bulan oleh petugas di puskesmas. Jika pada 1
bulan tersebut penderita tetap tidak datang ke puskesmas, petugas akan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

45

menelusuri dan menemui penderita. Alur metode pengamatan semi aktif


digambarkan pada gambar 2.3.
Gambar 2.3
Alur Pertemuan Penderita dengan Petugas
pada Metode Pengamatan Semi Aktif

Penderita
diperiksa
Ya
Penderita RFT datang
ke puskesmas pada 3
bulan yang dijanjikan
kepada petugas

Petugas
menelusuri
alamat dan
menemui
penderita

Ya
Ya

Tidak

Petugas menunggu
selama 1 bulan,
penderita datang ke
puskesmas

Tidak

Metode pengamatan semi aktif merupakan suatu proyek uji coba


yang dilakukan di kabupaten Pasuruan dan Gorontalo yang dimulai sejak
bulan Agustus 2009 dan masih berlangsung hingga saat ini. Metode ini
secara umum bertujuan untuk mencegah bertambahnya dan memburuknya
kecacatan pada penderita kusta setelah selesai pengobatan dan untuk
meningkatkan kemampuan penderita untuk dapat mengontrol kecacatan
secara mandiri. Tujuan khusus dari metode ini adalah penderita tetap
memiliki hubungan dengan puskesmas selama masih memiliki risiko,
penderita mampu melakukan perawatan diri secara teratur tiap hari, dan
penderita mendapat bantuan dalam mengatasi masalah medis yang ada
(Kemenkes, 2010).
Menurut Dinas Kesehatan Kabupaten Pasuruan (2011), kecacatan
dapat dikurangi dan penderita kusta dapat dibantu secara lebih efektif dan
efisien dengan menerapkan suatu sistem yang memungkinkan penderita
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

46

kusta setelah selesai pengobatan untuk tetap berhubungan dengan


Puskesmas selama penderita tersebut membutuhkan bimbingan untuk
mengatasi kecacatan yang dialami. Sehingga perlu dilakukan kegiatan
Pengamatan semi aktif untuk mengurangi beban kecacatan penderita kusta
setelah selesai pengobatan. Kegiatan pengamatan semi aktif mengarah pada
identifikasi terjadinya reaksi, neuritis, dan relaps serta perilaku perawatan
diri pada penderita dengan melakukan pemeriksaan fisik terhadap kondisi
kecacatan, tanda reaksi dan neuritis, dan tanda relaps serta perilaku
perawatan diri. Penderita yang datang akibat adanya keluhan reaksi dan
neuritis akan ditangani dengan pengobatan prednison dan lampren sesuai
dengan kebijakan program mengenai penatalaksanaan reaksi. Penderita yang
teridentifikasi relaps akan diberikan pengobatan ulang sesuai dengan tipe
kusta yang diderita. Sedangkan penderita yang mengalami luka akibat kusta
akan ditangani dan diberikan informasi perawatannya di rumah secara rutin.
Selain memberikan bantuan tindakan medis, petugas puskesmas juga
memberikan informasi tanda-tanda reaksi dan pentingnya perawatan diri,
memberikan demo perawatan diri dan memberikan alat perawatan diri yang
sesuai dengan kebutuhan penderita, bantuan konseling psikologis. Alur
kegiatan penderita setelah selesai pengobatan kusta di puskesmas pada
metode pengamatan semi aktif digambarkan pada gambar 2.4.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

47

Gambar 2.4
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif

Penderita
datang

Penderita
pulang

Administrasi
Puskesmas

Membayar
administrasi
Mengambil
kartu
penderita

Petugas
Kusta

Apotik/
Loket Obat

Mengambil kartu khusus penderita


kusta
Anamnesa
Pemeriksaan cardinal sign kusta
Pemeriksaan kecacatan, hasil
perawatan diri, dan pengisian form
POD
Penjelasan tanda-tanda reaksi dan
pentingnya perawatan diri
Memberikan demo perawatan diri dan
memberikan alat perawatan diri yang
sesuai dengan kebutuhan penderita
Penanganan reaksi/ neuritis akibat
kusta dan memberikan obat lamprene
secara langsung dan meresepkan
vitamin atau obat prednisone untuk
reaksi/ neuritis jika dibutuhkan
Penanganan luka akibat kusta
Bantuan konseling psikologis

Memberikan vitamin atau


obat prednisone untuk
reaksi/ neuritis

2.8.4 Perbedaan Metode


Perbedaan mengenai 3 metode pengamatan penderita setelah selesai
pengobatan yang pernah diterapkan di Indonesia dipaparkan pada tabel 2.15.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

48

Tabel 2.15
Perbedaan Metode Pengamatan Setelah Selesai Pengobatan
Keterangan
Tahun
Pengobatan
Tujuan

Pengamatan Aktif
1945 - 1982
DDS
Memantau kejadian
relaps

Pengamatan Pasif

Pengamatan Semi Aktif

1982 saat ini


MDT
Memantau kejadian
relaps, neuritis, reaksi

2009 saat ini


MDT
Memantau kejadian
neuritis, reaksi,
perawatan diri
Penderita mengunjungi Penderita mengunjungi
puskesmas minimal 1
puskesmas minimal 1
kali dalam 1 tahun
kali dalam 3 bulan
untuk pemeriksaan dini
untuk pemeriksaan dini
terhadap relaps,
terhadap neuritis dan
neuritis, dan reaksi
reaksi dibantu oleh
dibantu oleh petugas
petugas puskesmas
puskesmas
Petugas wajib mencari
Petugas tidak
penderita dan
diwajibkan mencari dan
memeriksa penderita
memeriksa penderita
pada bulan selanjutnya
jika penderita tidak
jika penderita tidak
datang
datang hingga akhir
tribulan yang dijanjikan

Bentuk
Kegiatan

Penderita
dikunjungi oleh
petugas
puskesmas
minimal 1 kali
dalam 6 bulan
untuk
pemeriksaan dini
terhadap relaps
(diperiksa secara
klinis dan
laboratorium)

Kelebihan

Kondisi penderita Beban kerja yang ringan Kondisi penderita


setelah selesai
bagi petugas
setelah selesai
pengobatan (saat
Jumlah biaya yang
pengobatan (saat masa
masa pengawasan)
dikeluarkan
pengawasan) dapat
dapat dipantau dan
diperkirakan rendah
dipantau dan ditangani
ditangani dengan
dengan baik
baik
Jumlah biaya yang
dikeluarkan
diperkirakan tidak
terlalu tinggi
Beban kerja petugas
tidak terlalu tinggi
Penderita secara tidak
langsung didorong
untuk belajar mandiri
dan waspada terhadap
kondisi kesehatannya
Jumlah biaya
Kondisi penderita
yang dikeluarkan
setelah selesai
besar
pengobatan (masa
Beban kerja yang
pengawasan) sulit
tinggi bagi
dipantau bahkan tidak
petugas
dapat ditangani dengan
Penderita
baik karena penderita
memiliki
datang saat kondisi
ketergantugan
kesehatannya sudah
yang tinggi
memburuk
terhadap petugas Berdasarkan penelitian,
masih banyak
ditemukan penderita
yang kecacatannya kian
memburuk selama masa
pengawasan

Kelemahan

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

49

Keterangan
Rekomendasi

Pengamatan Aktif

Pengamatan Pasif

Pengamatan Semi Aktif

Dihentikan karena
jumlah kasus relaps
sedikit akibat
penggantian
regimen
pengobatan DDS
menjadi MDT

Diharapkan diganti
dengan metode yang
lebih efektif-biaya
sehingga dapat
memantau kondisi
penderita dengan baik
dengan biaya dan tenaga
yang relatif ringan

Diharapkan dapat lebih


efektif-biaya untuk
memantau kondisi
penderita akibat kusta
setelah selesai
pengobatan (dalam masa
pengawasan) termasuk
kondisi kecacatannya

2.9 Evaluasi Ekonomi


2.9.1 Pengertian Evaluasi Ekonomi
Evaluasi Ekonomi adalah penilaian dan interpretasi nilai suatu
intervensi layanan kesehatan dengan menguji hubungan antara biaya dan
outcome dari intervensi tersebut secara sistematik (Wonderling, 2005).
Sedangkan Brent (2003) menyatakan bahwa evaluasi ekonomi mencoba
menilai keinginan sosial dari suatu program relatif terhadap beberapa
alternatif lain.
Menurut Drummond (2005), evaluasi ekonomi penting dilakukan
karena tanpa analisis yang sistematik sulit untuk mengidentifikasi secara
jelas alternatif-alternatif yang sesuai. Tanpa adanya pengukuran dan
perbandingan output dan input, nilai yang dapat terlihat hanya sebatas nilai
uang yang dikeluarkan dan tidak sampai melihat keuntungan yang diperoleh
program atau alternatif-alternatif tersebut. Selain itu, melalui evaluasi
ekonomi dapat diperoleh alternatif yang sesuai dengan sudut pandang yang
diinginkan,

misalnya

sesuai

sudut

pandang

masyarakat,

anggaran

kementerian kesehatan yang tersedia, individu, institusi khusus, kelompok


target untuk layanan khusus.
2.9.2 Metode Evaluasi Ekonomi
Pada evaluasi ekonomi, terdapat beberapa metode analisis yang
digunakan yaitu :

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

50

a. Analisis Minimalisasi Biaya (Cost Minimization Analysis)


Suatu metode analisis yang digunakan untuk membandingkan
biaya bersih dari program-program yang menghasilkan outcome yang
sama (Gold, 1996).
b. Analisis Manfaat Biaya (Cost Benefit Analysis)
Suatu metode analisis untuk memperkirakan keuntungan sosial
bersih dari suatu program atau intervensi dimana keuntungan tambahan
program lebih sedikit dibandingkan tambahan biayanya, dengan seluruh
keuntungan dan biaya diukur dalam dolar (Gold, 1996).
c. Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis)
Analisis efektivitas biaya adalah suatu analisis yang mencari
bentuk intervensi mana yang paling menguntungkan dalam mencapai
suatu tujuan, dengan cara membandingkan hasil suatu kegiatan dengan
biayanya, dimana ukuran input diukur dalam nilai moneter dan ukuran
output-nya diukur dalam jumlah output yang dihasilkannya (Drummond,
2001). Sedangkan menurut Gold (1996), analisis efektivitas biaya
merupakan suatu metode analisis dimana biaya dan dampak dari suatu
program atau alternatif dihitung dan ditunjukkan dalam suatu rasio dari
tambahan biaya terhadap tambahan dampak yang berupa outcome
kesehatan.
d. Analisis Utilitas Biaya (Cost Utility Analysis)
Analisis Utilitas Biaya adalah suatu metode evaluasi ekonomi
yang konsekuensi intervensinya diukur dalam bentuk kuantitas dan
kualitas hidup (Coons dan Kaplan, 1996).
Perbedaan metode analisis pada evaluasi ekonomi dirangkum oleh
Drummond pada tabel 2.16.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

51

Tabel 2.16
Tabel Pengukuran Biaya dan Konsekuensi pada Evaluasi Ekonomi
Jenis Analisis

Analisis
Minimalisasi Biaya
Analisis Efektivitas
Biaya

Pengukuran /
Penilaian biaya
pada seluruh
alternative
Nilai moneter
Nilai moneter

Analisis Manfaat
Biaya

Nilai moneter

Analisis Utilitas
Biaya

Nilai moneter

Identifikasi
konsekuensi

Pengukuran /
penilaian konsekuensi

Identifikasi
semua aspek
Output yang
sama pada
berbagai
alternatif tetapi
tingkatan yang
dicapai berbeda

Tidak ada

Output sama
ataupun berbeda
dengan berbagai
tindakan
alternatif
Output sama
ataupun berbeda
dengan berbagai
tindakan
alternatif

Nilai satuan output


mengikuti hasil
(misalnya pertambahan
tahun hidup yg
diperoleh, hari
mengalami cacat yang
dapat diselamatkan,
penurunan angka
hipertensi,dan lain-lain)
Nilai moneter

Pertambahan tahun
hidup yang berkualitas

Sumber: Diterjemahkan dari Drummond, 2005

Berdasarkan uraian mengenai metode evaluasi ekonomi tersebut,


metode yang sesuai dengan penelitian adalah analisis efektivitas biaya
karena alternatif-alternatif yang dibandingkan memiliki output yang sama
namun dengan jumlah/tingkatan yang berbeda. Peneliti ingin mengetahui
alternatif mana yang lebih efektif biaya dengan melihat perbandingan
jumlah biaya yang dikeluarkan untuk menghasilkan setiap output.
2.10 Biaya (Cost)
Biaya adalah nilai dari sumber daya yang biasanya diekspresikan
dalam bentuk moneter (Wonderling, Gruen, dan Black, 2005).

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

52

2.10.1 Klasifikasi Biaya


Biaya dikelompokkan menurut beberapa kriteria yaitu berdasarkan:
2.10.1.1 Pengaruh pada skala produksi
Berdasarkan pengaruh pada skala produksi, biaya dibedakan
menjadi :
a. Biaya Tetap (Fixed Cost)
Merupakan biaya yang nilainya secara relatif tidak dipengaruhi
oleh besarnya produksi (output). Biaya ini harus tetap dikeluarkan
walaupun tidak ada pelayanan.
b. Biaya variabel (Variabel Cost)
Merupakan biaya yang nilainya dipengaruhi oleh banyaknya
output (produksi).
c. Biaya Total (Total Cost)
Merupakan jumlah biaya dari biaya tetap dan biaya variabel.
2.10.1.2 Lama penggunaan
Berdasarkan pengaruh pada skala produksi, biaya terbagi menjadi 3
yaitu :
a. Biaya Investasi (Investment Cost)
Merupakan biaya yang kegunaannya dapat berlangsung dalam
waktu yang relatif lama, biasanya lebih dari 1 tahun. Biaya tersebut
dihitung dari nilai barang investasi yang disetahunkan (biaya
penyusutan).
b. Biaya Operasional (Operational Cost)
Merupakan biaya yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan dalam suatu proses produksi dan memiliki sifat habis pakai
dalam kurun waktu singkat (kurang dari satu tahun).
c. Biaya pemeliharaan (Maintenance Cost)
Merupakan biaya yang dikeluarkan untuk mempertahankan
nilai suatu barang investasi agar tetap berfungsi.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

53

2.10.1.3 Fungsi atau aktivitas sumber biaya


Biaya menurut fungsi atau aktivitas sumber biaya dibedakan
menjadi :
a. Biaya Langsung (Direct Cost)
Merupakan biaya yang dibebankan pada sumber biaya yang
mempunyai fungsi atau aktivitas langsung terhadap output. Menurut
Gold (1996), biaya langsung adalah nilai dari seluruh barang, layanan,
dan sumber daya lain yang dikonsumsi dalam ketentuan dari suatu
intervensi atau dalam menangani efek samping atau konsekuensi lain
saat ini atau di masa mendatang yang terkait dengan hal tersebut.
b. Biaya Tidak Langsung (Indirect Cost)
Merupakan biaya yang dibebankan pada sumber biaya yang
memunyai fungsi penunjang (aktivitas tidak langsung) terhadap
output.
2.10.1.4 Konsep akibat ekstern
Biaya berdasrkan konsep akibat ekstern menurut Sukirno (2002)
dibagi menjadi :
a. Biaya pribadi
Merupakan biaya yang dibelanjakan oleh produsen yang
digunakan untuk menghasilkan barang.
b. Biaya sosial
Merupakan biaya yang dibelanjakan oleh masyarakat untuk
memperoleh barang dan biaya-biaya lain yang harus dibayar oleh
masyarakat akibat dampak yang ditimbulkan oleh aktivitas produsen
dalam menghasilkan barang.
2.10.2 Penghitungan Biaya
Perhitungan biaya menggunakan metode konvensional dengan
menjumlahkan kelompok biaya berdasarkan konsep akibat ekstern yaitu
biaya program atau biaya penderita pada masing-masing metode. Masingmasing biaya diperoleh dari penjumlahan biaya langsung dan tidak
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

54

langsung (biaya berdasarkan aktivitas sumber biaya). Menurut Muennig


(2002), terdapat 3 langkah untuk menghitung data yaitu mengidentifikasi
sumber daya yang digunakan, mengukur sumber daya yang digunakan,
dan memberi nilai pada sumber daya yang digunakan.
2.11 Efektivitas (Outcome)
Outcome adalah perubahan status sebagai hasil dari proses suatu
sistem. Pada konteks pelayanan kesehatan adalah perubahan status
kesehatan sebagai hasil dari pelayanan (Wonderling, 2005). Pada penelitian
ini yang menjadi efektivitas adalah pengendalian tingkat cacat.
2.12 Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis)
Analisis efektivitas biaya adalah suatu metode untuk mengevaluasi
outcome

dan

biaya

dari

intervensi-intervensi

yang

dibuat

untuk

meningkatkan kesehatan. Hasil analisis ini biasanya dirangkum dalam suatu


rasio efektivitas biaya yang menunjukkan biaya untuk mencapai satu unit
outcome kesehatan. Analisis efektivitas biaya menyediakan perkiraan
efektivitas dan biaya sehingga menunjukkan trade-off yang dilibatkan dalam
memilih di antara intervensi-intervensi atau variasi dalam suatu intervensi
(Russel et al, 1996).
Apabila intervensi yang akan diteliti lebih efektif dan biayanya lebih
sedikit daripada alternatifnya maka intervensi tersebut dinyatakan
mendominasi alternatif. Pada situasi tersebut, penghitungan rasio efektivitas
biaya tidak dibutuhkan. Analisis efektivitas biaya dilakukan pada intervensi
dengan biaya yang dikeluarkan lebih banyak dan lebih efektif daripada
alternatifnya. Pada pemahaman biaya saat ini, analisis efektivitas biaya juga
dapat memberikan informasi untuk memutuskan suatu intervensi baru mana
yang biayanya lebih sedikit tetapi sedikit kurang efektif daripada alternatif
yang ada (Garber et al, 1996).
Rasio efektivitas biaya merupakan ukuran inti yang digunakan
dalam analisis efektivitas biaya (Garber et al, 1996). Menurut Gold (1996),
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

55

rasio efektivitas biaya adalah biaya tambahan untuk memperoleh suatu


efek dampak kesehatan dari intervensi kesehatan, dibandingkan dengan
suatu alternatif. Rumus rasio efektivitas biaya berdasarkan McGuire
(2001) digambarkan sebagai berikut :
Average Cost Effectiveness Ratio (ACER)

Ca
ACER a =

(2.1)

Ea
Incremental Cost Effectiveness Ratio (ICER)

Ca Cb
ICER

C
=

Ea Eb

(2.2)
E

Intervensi dengan rasio efektivitas biaya rendah merupakan


intervensi yang baik dan akan menjadi prioritas tinggi sebagai sumber
daya (Garber et al, 1996).

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

BAB 3
KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori


Analisis Efektivitas Biaya (CEA) adalah suatu analisis yang mencari
bentuk intervensi mana yang paling menguntungkan dalam mencapai suatu
tujuan, dengan cara membandingkan hasil suatu kegiatan dengan biayanya,
dimana ukuran input diukur dalam nilai moneter dan ukuran output-nya diukur
dalam jumlah output yang dihasilkannya (Drummond, 2001).
Intervensi yang akan dianalisis pada penelitian ini adalah metode
pengamatan semi aktif dan metode pengamatan pasif. Efektivitas biaya pada
dua intervensi tersebut diperoleh dengan membandingkan jumlah biaya
sebagai input dan jumlah penderita yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan
sebagai output yang dihasilkan dari masing-masing metode selama 2 tahun
hingga 3 tahun. Biaya diperoleh dari total biaya baik biaya langsung maupun
tidak langsung yang dikeluarkan oleh program untuk dapat menghasilkan
suatu pengendalian tingkat cacat.
Penelitian ini juga melihat hubungan antara faktor-faktor seperti umur,
tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat sosial ekonomi, tipe kusta,
riwayat reaksi, pencegahan cacat, perawatan diri dengan pengendalian
tingakat cacat serta mengetahui faktor-faktor mana yang paling dominan
dalam mempengaruhi pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta yang
telah selesai pengobatan.

56

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

57

3.2 Kerangka Konsep


Variabel Independen

BIAYA
Biaya Program
Biaya Penderita

Variabel Dependen

INTERVENSI Pengamatan
Semi Aktif

FAKTOR BERHUBUNGAN
DENGAN KECACATAN
- Pengetahuan
- Pencegahan Cacat
- Perawatan Diri
LUARAN
Pengendalian
Tingkat Cacat

FAKTOR BERHUBUNGAN
DENGAN KECACATAN
- Umur
- Tingkat Pendidikan
- Tingkat Penghasilan
- Tipe Kusta
- Riwayat Reaksi

ICER
BIAYA
Biaya Program
Biaya Penderita

INTERVENSI
Pengamatan Pasif
FAKTOR BERHUBUNGAN
DENGAN KECACATAN
- Umur
- Tingkat Pendidikan
- Pengetahuan
- Tingkat Penghasilan
- Tipe Kusta
- Riwayat Reaksi
- Pencegahan Cacat
- Perawatan Diri

LUARAN
Pengendalian
Tingkat Cacat

Gambar 3. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka konsep tersebut, pengendalian tingkat cacat


berhubungan dengan faktor-faktor seperti umur, tingkat pendidikan, tingkat
pengetahuan, tingkat ekonomi, tipe kusta, riwayat reaksi, pencegahan cacat,
perawatan diri.
Faktor tingkat pengetahuan, pencegahan cacat, dan perawatan diri
pada kelompok penderita setelah selesai pengobatan yang dipantau dengan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

58

metode pengamatan semi aktif, dipengaruhi secara langsung oleh intervensi


pada metode tersebut. Pada metode pengamatan semi aktif, petugas puskesmas
akan datang jika penderita tidak datang pada waktu yang telah dijanjikan
sehingga penderita akan melakukan pengobatan atau konsultasi secara teratur.
Saat konsultasi, petugas memberikan informasi dan melakukan pemeriksaan
fungsi saraf serta tanda awal reaksi, memberikan informasi tentang perawatan
diri, mengidentifikasi kebutuhan medis dan alat pelindung diri yang
dibutuhkan oleh penderita.
3.2 Hipotesis
Hipotesis penelitian ini adalah metode pengamatan semi aktif lebih
efektif-biaya dari metode pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat
cacat pada penderita setelah selesai pengobatan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

59

BAB 4
DESAIN PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian


Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain penelitian
cross sectional. Penelitian cross sectional adalah penelitian non-eksperimental
dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko
dengan efek yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu (Pratiknya,
1996). Sedangkan menurut Gold (1996), penelitian cross sectional adalah
suatu penelitian yang melihat status seorang individu berdasarkan keberadaan
paparan dan penyakit yang dinilai pada saat yang sama. Peneliti menggunakan
desain cross sectional karena tidak terdapat data yang lengkap mengenai data
variabel independen maupun variabel dependen yang tercatat sebelumnya
sehingga data variabel independen dan dependen diambil pada saat yang sama.
4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan pada Mei 2012 di Kabupaten Pasuruan,
Jawa Timur.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian adalah penderita kusta setelah selesai
pengobatan. Sampel penelitian diambil dengan teknik purposive sampling
dengan kriteria
a. Inklusi :
1. Penderita kusta semua usia dan semua jenis kelamin.
2. Penderita kusta tipe PB ataupun tipe MB yang telah menyelesaikan
terapi obat MDT (RFT/ Release From Treatment) pada bulan Mei
2009 hingga bulan April 2010.
3. Penderita yang memiliki riwayat kecacatan atau riwayat reaksi, riwayat
nodul atau infiltrat, atau hasil pemeriksaan laboratorium BTA positif.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

60

b. Eksklusi :
1. Penderita kusta yang masih dalam pengobatan MDT.
2. Penderita yang telah menyelesaikan terapi obat MDT (RFT/ Release
From Treatment) sebelum bulan Mei 2009 atau setelah April 2010
karena efektivitas akan dinilai dari intervensi yang dilakukan 2 tahun
hingga <3 tahun setelah selesai pengobatan.
3. Penderita yang tidak memiliki riwayat kecacatan atau riwayat reaksi,
riwayat nodul atau infiltrat, atau BTA negatif.

Jumlah sampel yang diambil adalah 43 orang per metode dari rumus :
n =

{ Z1-/2 2 P (1-P) + Z1- P1 (1-P1) + P2 (1-P2) }2


(P1-P2)2

Dengan :

=5%

1 = 80 %
P1

= 0,97

P2

= 0,79

Pada penelitian ini, diperkirakan metode pengamatan semi aktif lebih


efektif-biaya dibandingkan metode pengamatan pasif. Berdasarkan hasil evaluasi
sementara pada bulan Juni 2011 (laporan pengamatan semi aktif, 2011),
prosentase kejadian cacat yang dapat dikendalikan (menetap bahkan membaik)
mencapai 97% (P1). Sedangkan pada metode pengamatan pasif, prosentase cacat
adalah 0,79% (P2). Prosentase ini diperoleh dari hasil penelitian yang dilakukan di
kabupaten Subang, Jawa Barat pada tahun 2001 (Hasibuan, 2002).

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

61

1.4 Definisi Operasional


Tabel 4 Definisi Operasional
No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Variabel Dependen
1

Tingkat Cacat

Pengendalian
Tingkat Cacat

Pengendalian
Tingkat Cacat
pada Metode
Pengamatan
Pasif

Keadaan Pemeriksaan
penderita

fisik Tingkat 0 2

Nilai tertinggi yang diperoleh


dari pemeriksaan fisik pada
mata, tangan, kaki penderita
kusta
yang
menyatakan
beratnya kondisi cacat.
Menetap atau menurunnya
tingkat
cacat
saat
pengambilan
data
dibandingkan tingkat cacat
saat penderita kusta baru
dinyatakan
selesai
pengobatan.

Tabel
Cacat

Rasio

Tabel
Keadaan
Cacat pada Kartu
penderita
dan
kuesioner

Membandingkan
Kategori :
Ordinal
tingkat cacat pada 0. Tingkat cacat dapat
kartu
penderita
dikendalikan
dengan tingkat cacat
(tetap/menurun)
pada kuesioner
1. Tingkat cacat tidak
dapat dikendalikan
(meningkat)

Pengendalian tingkat cacat


terhadap penderita kusta yang
telah
menyelesaikan
pengobatan 2 hingga kurang
dari 3 tahun yang datang ke
puskesmas minimal sekali
dalam setahun

Tabel
Keadaan
Cacat pada Kartu
penderita
dan
kuesioner

Membandingkan
Kategori :
Ordinal
tingkat cacat pada 0. Tingkat cacat dapat
kartu
penderita
dikendalikan
dengan tingkat cacat
(tetap/menurun)
pada kuesioner
1. Tingkat cacat tidak
dapat dikendalikan
(meningkat)
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

62

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

4.

Pengendalian
Tingkat Cacat
pada Metode
Pengamatan
Semi Aktif

Tabel
Keadaan
Cacat pada Kartu
penderita
dan
kuesioner

5.

Incremental
Cost
Effectiveness
Ratio (ICER)

Pengendalian tingkat cacat


terhadap penderita kusta yang
telah
menyelesaikan
pengobatan 2 hingga kurang
dari 3 tahun yang datang ke
puskesmas minimal sekali
dalam 3 bulan dan akan
dikunjungi oleh petugas
puskesmas jika tidak datang.
Perbandingan selisih biaya
dan selisih jumlah penderita
yang tingkat cacatnya dapat
dikendalikan pada metode
pengamatan semi aktif dan
pengamatan pasif.

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Membandingkan
Kategori :
Ordinal
tingkat cacat pada 0. Tingkat cacat dapat
kartu
penderita
dikendalikan
dengan tingkat cacat
(tetap/menurun)
pada kuesioner
1. Tingkat cacat tidak
dapat dikendalikan
(meningkat)

Perhitungan program Membandingkan


Jumlah
excel
selisih biaya dengan rupiah
selisih
jumlah
penderita yang tingkat
cacatnya
dapat
dikendalikan

biaya

dalam Rasio

Variabel Independen
6.

Umur

7.

Tingkat
Pendidikan

Waktu yang dihitung sejak Kuesioner


kelahiran responden sampai
saat responden dinyatakan
selesai pengobatan (RFT).
Jenjang pendidikan formal Kuesioner
yang telah ditempuh oleh
responden saat responden
dinyatakan
selesai
pengobatan (RFT).

Kuesioner

Kategori :
0. < 15 tahun
1. 15 tahun

Nominal

Kuesioner

Kategori :
Ordinal
0. Tinggi (SMP, SMA,
PT)
1. Rendah
(Tidak
sekolah, SD)
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

63

No

Variabel

8.

Tingkat
Pengetahuan

9.

Tingkat
Ekonomi

10.

Tipe Kusta

11.

Reaksi Kusta

Definisi Operasional
Pemahaman
responden
tentang terjadinya cacat pada
kusta, reaksi, pencegahan
cacat, dan perawatan diri
pada saat pengambilan data
Pengeluaran rata-rata yang
diperoleh setiap anggota
rumah tangga responden
setiap bulan
Tipe
penyakit
kusta
berdasarkan klasifikasi WHO
pada
responden
saat
responden
mendapatkan
pengobatan
Suatu reaksi kekebalan atau
reaksi antigen-antibodi akibat
kusta yang pernah dialami
responden
sejak
selesai
pengobatan (RFT) hingga
saat pengambilan data. Gejala
reaksi: timbulnya bercak kulit
atau nodul yang memerah,
bengkak, panas,
neuritis,
gangguan fungsi saraf, nyeri
yang bertambah parah sampai
pecah, dan demam.

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Kuesioner

Kuesioner

Kategori :
0. Tinggi (skor > 55)
1. Rendah (skor 55)

Ordinal

Kuesioner

Kuesioner

Kartu penderita

Pemeriksaan klinis

Kategori :
Ordinal
0. Tinggi (Rp 479.490)
1. Rendah(<Rp 479.490)
(BPS, 2012)
Kategori:
Nominal
0. PB
1. MB

Kuesioner

Kuesioner

Kategori :
Nominal
0. Tidak Pernah Reaksi
1. Pernah Reaksi

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

64

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

12.

Pencegahan
Cacat

Pemeriksaan fungsi saraf Kuesioner


minimal 1 tahun sekali serta
tata laksana reaksi atau
neuritis secara dini dan
teratur
yang
diperoleh
responden
sejak
menyelesaikan
pengobatan
(RFT)
hingga
saat
pengambilan data.

Kuesioner

Kategori :
Nominal
0. Mendapat
pencegahan cacat
1. Tidak
mendapat
pencegahan cacat

13.

Perawatan Diri

Perawatan dan perlindungan Kuesioner


yang dilakukan responden
setiap hari terhadap mata,
tangan, dan kakinya yang
berisiko
cacat
dengan
menggunakan alat bantu yang
sesuai dan aktif mencari
bantuan
ke
pelayanan
kesehatan untuk menangani
kecacatan
atau
masalah
terkait kusta yang dialami.
Tindakan
dilihat
sejak
responden
menyelesaikan
pengobatan (RFT) hingga
saat pengambilan data.

Kuesioner

Kategori :
Nominal
0. Melakukan
perawatan diri
1. Tidak
melakukan
perawatan diri

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

65

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

14.

Biaya
pada
Metode
Pengamatan
Semi Aktif

Total dari biaya yang


dikeluarkan oleh program
maupun
biaya
yang
dikeluarkan oleh penderita
untuk
menghasilkan
efektivitas
pada
metode
pengamatan semi aktif

Kuesioner penderita
dan
stakeholder,
dokumen
terkait
penderita
dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder

Wawancara
dengan Jumlah
penderita
dan rupiah
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder

biaya

dalam Rasio

15.

Biaya
pada
Metode
Pengamatan
Pasif

Total dari biaya yang


dikeluarkan oleh program
maupun
biaya
yang
dikeluarkan oleh penderita
untuk
menghasilkan
efektivitas
pada
metode
pengamatan pasif

Kuesioner penderita
dan
stakeholder,
dokumen
terkait
penderita
dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder

Wawancara
dengan Jumlah
penderita
dan rupiah
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder

biaya

dalam Rasio

16.

Biaya Program

Total dari biaya langsung


maupun biaya tidak langsung
yang
dikeluarkan
oleh
program meliputi biaya yang
dikeluarkan oleh pusat, NLR,
yayasan
kusta,
dinas
kesehatan,
puskesmas,
maupun
petugas
dalam
mengendalikan tingkat cacat.

Kuesioner penderita
dan
stakeholder,
dokumen
terkait
penderita
dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder

Wawancara
dengan Jumlah
penderita
dan rupiah
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

66

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

17.

Biaya
Langsung
Program

Biaya yang dibebankan pada


sumber
biaya
yang
mempunyai fungsi/aktivitas
langsung pada pengendalian
tingkat
cacat
yang
dikeluarkan oleh program
seperti biaya investasi, biaya
operasional,
dan
biaya
pemeliharaan.

Kuesioner penderita
dan
stakeholder,
dokumen
terkait
penderita
dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder

Wawancara
dengan Jumlah
penderita
dan rupiah
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder

biaya

dalam Rasio

18.

Biaya Investasi Biaya


dari
penggunaan
barang yang kegunaannya
dapat berlangsung dalam
waktu yang relatif lama,
biasanya lebih dari 1 tahun.
Biaya ini dihitung dari nilai
barang
investasi
yang
disetahunkan
(biaya
penyusutan), pada penelitian
ini adalah biaya pemakaian
ruang kusta dan biaya
pemakaian alat medis/non
medis.

Kuesioner
puskesmas
dan
daftar
inventaris
ruangan kusta di
puskesmas

Wawancara
dengan Jumlah
stakeholder,
rupiah
mengumpulkan daftar
inventaris
ruangan
kusta,
kemudian
menjumlahkan biaya
pemakaian
ruang
kusta
dan
biaya
pemakaian
alat
medis/non medis.

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

67

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

19.

Biaya
Pemakaian
Ruang Kusta

Biaya pembangunan ruang Kuesioner


kusta untuk melayani seluruh puskesmas,
kartu
responden yang telah selesai register penderita
pengobatan yang datang ke
puskesmas sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya adalah nilai ruang kusta
yang disetahunkan (biaya
penyusutan).

20.

Biaya
Pemakaian
Alat
Medis/Non
Medis

Biaya
pembelian
alat
medis/non
medis
untuk
melayani seluruh responden
yang telah selesai pengobatan
yang datang ke puskesmas
sejak Juni 2009 hingga Mei
2012. Besarnya biaya adalah
nilai alat medis/non medis
yang disetahunkan (biaya
penyusutan).

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Wawancara
dengan Jumlah
stakeholder,
rupiah
menghitung
biaya
pemakaian
ruang
kusta
berdasarkan
nilai ruang kusta yang
disetahunkan (biaya
penyusutan).

biaya

dalam Rasio

Kuesioner
Wawancara
dengan Jumlah
puskesmas,
daftar stakeholder,
rupiah
inventaris ruangan mengumpulkan daftar
kusta
inventaris
ruangan
kusta,
menghitung
biaya pemakaian alat
medis/non
medis
berdasarkan nilai alat
medis/non medis yang
disetahunkan (biaya
penyusutan).

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

68

No

Variabel

21.

Biaya
Operasional

22.

Definisi Operasional

Biaya yang dikeluarkan untuk


melakukan seluruh kegiatan
dalam suatu proses produksi
dan memiliki sifat habis pakai
dalam kurun waktu singkat
seperti biaya tenaga, bahan
habis
pakai,
obat,
transportasi,
komunikasi,
listrik-air, penyediaan alat
pelindung dan perawatan diri
untuk penderita.
Biaya Tenaga Biaya
tenaga
yang
Pelayanan
dikeluarkan petugas untuk
Kusta
memberikan pelayanan pada
seluruh
responden
yang
selesai pengobatan (datang ke
puskesmas maupun yang
dikunjungi) sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya diperoleh dari proporsi
responden yang datang ke
puskesmas maupun yang
dikunjungi terhadap jumlah
waktu
yang
diluangkan
petugas untuk pelayanan dan
kegiatan yang mengikuti.

Alat Ukur
Kuesioner
stakeholder
dan
penderita,
kartu
register
penderita,
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Wawancara
dengan Jumlah
stakeholder,
rupiah
mengumpulkan kartu
register penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder.

biaya

dalam Rasio

Kuesioner petugas Wawancara


dengan Jumlah
puskesmas,
kartu stakeholder,
rupiah
register penderita
mengumpulkan data
kunjungan responden
dari kartu register
penderita, kemudian
menghitung
biaya
tenaga
berdasarkan
proporsi
responden
yang
datang
ke
puskesmas terhadap
jumlah waktu yang
diluangkan
petugas
untuk
pelayanan
kepada responden.

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

69

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

23.

Biaya Bahan Biaya pemakaian bahan habis Kuesioner petugas


Habis Pakai
pakai oleh petugas untuk puskesmas,
kartu
memberikan
pelayanan register penderita.
kepada seluruh responden
yang telah selesai pengobatan
yang datang ke puskesmas
sejak Juni 2009 hingga Mei
2012.
Besarnya
biaya
diperoleh dengan menghitung
proporsi responden yang
datang
ke
puskesmas
terhadap jumlah bahan habis
pakai yang digunakan petugas
untuk pelayanan.

24.

Biaya
Pemakaian
Obat

Biaya pembelian obat untuk Kartu


diberikan kepada seluruh penderita.
responden yang telah selesai
pengobatan yang datang ke
puskesmas sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya
diperoleh
dengan
menghitung jumlah obat yang
diberikan kepada responden
saat menerima pelayanan di
puskesmas.

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Wawancara
dengan Jumlah
stakeholder,
rupiah
mengumpulkan data
kunjungan dari kartu
register
penderita,
menghitung
biaya
bahan habis pakai
berdasarkan proporsi
responden
yang
datang ke puskesmas
terhadap jumlah bahan
habis pakai yang
digunakan
petugas
untuk pelayanan.

biaya

dalam Rasio

register Mengumpulkan data Jumlah


kunjungan dari kartu rupiah
register
penderita,
menghitung
jumlah
obat yang diberikan
kepada responden saat
pelayanan
di
puskesmas.

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

70

No

Variabel

Definisi Operasional

25.

Biaya
Transportasi
Petugas

26.

Biaya Listrik Biaya pemakaian listrik dan


dan air
air
untuk
memberikan
pelayanan kepada seluruh
responden sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya
diperoleh
dengan
menghitung
proporsi
responden yang datang ke
puskesmas terhadap biaya
listrik dan air yang digunakan
untuk seluruh pelayanan di
puskesmas.

Alat Ukur

Biaya yang dikeluarkan oleh Kuesioner


petugas untuk mengunjungi puskesmas
seluruh responden sejak Juni penderita.
2009 hingga Mei 2012.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menghitung jumlah
kunjungan
ke
rumah
responden.

Cara Ukur

Hasil Ukur

petugas Wawancara
dengan Jumlah
dan penderita
dan rupiah
stakeholder, kemudian
menghitung
jumlah
kunjungan ke rumah
responden.

Kuesioner
puskesmas
dan
petugas puskesmas,
kartu
register
penderita, dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder

Wawancara
dengan Jumlah
stakeholder,
rupiah
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder dan
data kunjungan dari
kartu
register
penderita, menghitung
biaya listrik dan air
berdasarkan proporsi
responden
yang
datang ke puskesmas
terhadap biaya listrik
dan
air
yang
digunakan petugas di
ruang kusta untuk
pelayanan.

Skala

biaya

dalam Rasio

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

71

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

27.

Biaya
Komunikasi
dengan
Penderita

Biaya yang dikeluarkan oleh Kuesioner petugas Wawancara


dengan Jumlah
petugas untuk menghubungi puskesmas.
stakeholder, kemudian rupiah
seluruh responden sejak Juni
menghitung
jumlah
2009 hingga Mei 2012.
komunikasi.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menghitung jumlah
komunikasi
dengan
responden atau pihak yang
dapat
berkomunikasi
langsung dengan responden.

biaya

dalam Rasio

28.

Biaya
Pembelian
Alat
dan
Bahan
Perawatan dan
Perlindungan
Diri
untuk
Penderita

Biaya yang dikeluarkan oleh Kuesioner penderita.


program untuk membeli alat
dan bahan perawatan dan
perlindungan diri sesuai
dengan kebutuhan seluruh
responden sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya
diperoleh
dengan
menghitung jumlah dari
masing-masing jenis alat dan
bahan
yang
diterima
responden.

biaya

dalam Rasio

Wawancara
dengan Jumlah
penderita, kemudian rupiah
menghitung
jumlah
dari masing-masing
jenis alat dan bahan
yang
diterima
responden.

Skala

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

72

No
29.

30.

Variabel
Biaya
Pemeliharaan

Definisi Operasional

Biaya yang dikeluarkan oleh


program
untuk
mempertahankan nilai barang
investasi agar tetap berfungsi,
dalam hal ini adalah ruang
kusta dan alat medis/non
medis.
Besarnya
biaya
diperoleh
dengan
menjumlahkan
biaya
pemeliharaan dari masingmasing barang inventaris
yang
digunakan
dalam
pelayanan.
Biaya
Tidak Biaya yang dibebankan pada
Langsung
sumber
biaya
yang
Program
mempunyai
fungsi
penunjang/aktivitas
tak
langsung
terhadap
pengendalian tingkat cacat
yang
dikeluarkan
oleh
program seperti biaya untuk
tenaga pendukung, koordinasi
Dinkes Kabupaten dengan
puskesmas, monitoring dan
evaluasi Dinkes Provinsi,
pelatihan, administrasi umum

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Dokumen
pengeluaran
stakeholder.

Wawancara
dengan Jumlah
biaya stakeholder,
rupiah
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya
stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
dari masing-masing
barang inventaris yang
digunakan
dalam
pelayanan.

biaya

dalam Rasio

Kuesioner
dokumen
pengeluaran
stakeholder

dan Wawancara
dengan Jumlah
stakeholder
dan rupiah
biaya mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

73

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

31.

Biaya Tenaga Biaya


tenaga
yang
Pendukung
dikeluarkan pegawai dinkes
Program
kabupaten dan provinsi untuk
melaksanakan
kegiatan
terkait program dalam upaya
pengendalian tingkat cacat
penderita yang telah selesai
pengobatan kusta. Besarnya
biaya diperoleh dari proporsi
waktu yang diluangkan untuk
melakukan kegiatan terkait
program pada masing-masing
pengamatan.

Kuesioner
stakeholder
dokumen
pengeluaran
stakeholder.

Wawancara
dengan Jumlah
rupiah
dan stakeholder,
mengumpulkan
biaya dokumen pengeluaran
biaya
stakeholder,
kemudian menghitung
proporsi waktu yang
diluangkan
untuk
melakukan kegiatan
terkait program pada
masing-masing
pengamatan.

biaya

dalam Rasio

32.

Biaya
Koordinasi
Dinkes
Kabupaten
dengan
Puskesmas

Kuesioner
stakeholder
dokumen
pengeluaran
stakeholder.

Wawancara
dengan Jumlah
dan stakeholder,
rupiah
mengumpulkan
biaya dokumen pengeluaran
biaya
stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
seluruh
kegiatan
koordinasi.

biaya

dalam Rasio

Biaya yang dikeluarkan oleh


dinkes
kabupaten
untuk
menghubungi
pihak
puskesmas dalam rangka
melaksanakan
kegiatan
terkait program pengendalian
tingkat cacat pada penderita
yang
telah
selesai
pengobatan. Besarnya biaya
diperoleh
dengan
menjumlahkan biaya seluruh
kegiatan koordinasi.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

74

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

33.

Biaya
Monitoring
dan Evaluasi
Kegiatan
Dinkes
Provinsi

Biaya yang dikeluarkan oleh


dinkes
provinsi
untuk
melakukan
kegiatan
monitoring dan evaluasi
terhadap
pelaksanaan
kegiatan terkait program
pengendalian tingkat cacat
pada penderita yang telah
selesai pengobatan. Besarnya
biaya
diperoleh
dengan
menjumlahkan biaya seluruh
kegiatan monitoring dan
evaluasi.

Kuesioner
stakeholder
dokumen
pengeluaran
stakeholder.

Wawancara
dengan Jumlah
dan stakeholder,
rupiah
mengumpulkan
biaya dokumen pengeluaran
biaya
stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
seluruh
kegiatan
monitoring
dan
evaluasi.

biaya

dalam Rasio

34.

Biaya
Pelatihan

Biaya yang dikeluarkan oleh


seluruh pihak untuk melatih
petugas puskesmas dan pihak
yang terlibat dalam pelayanan
penderita yang telah selesai
pengobatan
dalam
pengendalian tingkat cacat.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menjumlahkan biaya
seluruh kegiatan pelatihan.

Kuesioner
stakeholder
dokumen
pengeluaran
stakeholder.

Wawancara
dengan Jumlah
dan stakeholder,
rupiah
mengumpulkan
biaya dokumen pengeluaran
biaya
stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
seluruh
kegiatan
pelatihan.

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

75

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

35.

Biaya
Administrasi
Umum

Biaya yang dikeluarkan oleh


seluruh pihak untuk kegiatan
pendukung
pelayanan
penderita yang telah selesai
pengobatan
dalam
pengendalian tingkat cacat.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menjumlahkan biaya
bahan habis pakai dan biaya
pemeliharaan yang tidak
terkait
langsung
dengan
pelayanan.

Kuesioner
stakeholder
dokumen
pengeluaran
stakeholder.

36.

Biaya
Penderita

Total dari biaya langsung


maupun biaya tidak langsung
yang
dikeluarkan
oleh
penderita
dalam
mengendalikan
tingkat
cacatnya.

Kuesioner penderita
dan
stakeholder,
dokumen
terkait
penderita
dan
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder

Cara Ukur

Hasil Ukur

Wawancara
dengan Jumlah
dan stakeholder,
rupiah
mengumpulkan
biaya dokumen pengeluaran
biaya
stakeholder,
kemudian
menjumlahkan biaya
bahan habis pakai dan
biaya
pemeliharaan
yang tidak terkait
langsung
dengan
pelayanan

Wawancara
dengan Jumlah
penderita
dan rupiah
stakeholder, dokumen
terkait penderita dan
dokumen pengeluaran
biaya yang berada di
stakeholder

Skala

biaya

dalam Rasio

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

76

No

Variabel

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

37.

Biaya
Langsung
Penderita

Biaya yang dibebankan pada


sumber
biaya
yang
mempunyai fungsi (aktivitas)
langsung
terhadap
pengendalian tingkat cacat
yang
dikeluarkan
oleh
penderita
pada
metode
pengamatan
semi
aktif,
seperti biaya tindakan dan
pengobatan ke pelayanan
kesehatan
dan
biaya
pembelian alat pelindung dan
perawatan diri.

Kuesioner penderita,
kuesioner
stakeholder,
dokumen
pengeluaran biaya
stakeholder.

Wawancara
dengan Jumlah
penderita
dan rupiah
stakeholder,
mengumpulkan
dokumen pengeluaran
biaya stakeholder,

biaya

dalam Rasio

38.

Biaya
Pengobatan
dan Tindakan
oleh Penderita

Biaya
yang
dikeluarkan Kuesioner penderita.
seluruh responden untuk
membayar pengobatan dan
tindakan yang telah diterima
saat datang ke pelayanan
kesehatan sejak Juni 2009
hingga Mei 2012. Besarnya
biaya
diperoleh
dengan
menghitung jumlah biaya
yang
dikeluarkan
saat
responden berkunjung di
pelayanan kesehatan.

Wawancara
dengan Jumlah
penderita, kemudian rupiah
menghitung
jumlah
biaya
yang
dikeluarkan
saat
responden menerima
pelayanan
di
pelayanan kesehatan.

biaya

dalam Rasio

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

77

No

Variabel

39.

Biaya
Pembelian
Alat
dan
Bahan
Perawatan dan
Perlindungan
Diri
oleh
Penderita

Biaya yang dikeluarkan oleh Kuesioner penderita.


responden untuk membeli alat
dan bahan perawatan dan
perlindungan diri sesuai
dengan kebutuhan sejak Juni
2009 hingga Mei 2012.
Besarnya biaya diperoleh
dengan menghitung jumlah
dari masing-masing jenis alat
dan bahan yang dibeli oleh
responden.

Wawancara
dengan Jumlah
penderita, kemudian rupiah
menghitung
jumlah
dari masing-masing
jenis alat dan bahan
yang
dibeli
oleh
responden.

biaya

dalam Rasio

40.

Biaya
Transportasi
Penderita

Biaya yang dikeluarkan oleh Kuesioner penderita Wawancara


dengan Jumlah
penderita untuk menjangkau dan kartu register penderita,
rupiah
pelayanan kesehatan sejak penderita.
mengumpulkan kartu
Juni 2009 hingga Mei 2012
register
penderita,
dalam rangka pengendalian
kemudian menghitung
tingkat cacatnya. Besarnya
jumlah kunjungan ke
biaya
diperoleh
dengan
pelayanan kesehatan.
menghitung
jumlah
kunjungan ke pelayanan
kesehatan.

biaya

dalam Rasio

Definisi Operasional

Alat Ukur

Cara Ukur

Hasil Ukur

Skala

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

78

4.5 Teknik Pengumpulan Data


Penelitian ini menggunakan data primer dan sekunder. Data primer
diperoleh langsung melalui pengisian kuesioner yang dipandu dan diajukan
oleh enumerator untuk penderita. Selain itu data juga diperoleh dari kuesioner
stakeholder (puskesmas dan petugas puskesmas, petugas dinas kesehatan
kabupaten, petugas dinas kesehatan provinsi). Data sekunder diperoleh dari
beberapa data yang telah tercatat pada dokumen-dokumen tertentu untuk
informasi tambahan. Dokumen yang menjadi sumber data sekunder pada
penelitian ini adalah kartu penderita, kartu monitoring khusus penderita pada
pengamatan semi aktif, form pencegahan cacat (POD), form tatalaksana reaksi
reaksi berat, simpus penderita, rincian biaya puskesmas, rincian biaya dinkes
kabupaten dan provinsi untuk kegiatan kusta, rincian biaya dari dana yang
diberikan oleh NLR untuk pengamatan semi aktif, daftar inventaris ruangan
kusta di puskesmas, catatan penerimaan alat bantu pelindung diri.

4.6 Manajemen Data


Manajemen data terdiri atas editing, coding, entry data, dan cleaning.
Editing adalah pengecekan data yang telah terkumpul untuk melihat adanya
kemungkinan data yang masuk meragukan atau tidak sesuai. Coding adalah
pemberian kode atau tanda pada tiap-tiap data yang termasuk dalam kategori
yang sama. Kode dibuat dalam bentuk angka atau huruf. Entry data adalah
memasukkan data yang diperoleh dalam sistem computer. Cleaning adalah
data yang telah masuk diperiksa kembali dan digunakan untuk membersihkan
data dari kesalahan-kesalahan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

79

4.7 Analisis Data


Berikut akan diuraikan langkah-langkah untuk mengolah data pada
penelitian ini.
4.7.1 Pencatatan dan Pemilahan
Langkah awal pengolahan data pada penelitian ini adalah pencatatan
dan pemilahan terhadap biaya, faktor-faktor yang berhubungan dengan
kecacatan sebagai variabel independen, efektivitas sebagai variabel
dependen yang diperoleh dari data primer dan sekunder. Data biaya diolah
dengan program excel, sedangkan data variabel dependen dan independen
diinput dan diolah dengan program SPSS.
4.7.2 Analisis Univariat dan Bivariat
Data variabel dianalisis univariat dan bivariat untuk melihat
distribusi dari masing-masing variabel baik variabel dan untuk mengetahui
adanya hubungan antara variabel dependen dengan independen dengan
menggunakan uji chi-square.
Penghitungan biaya dilakukan dengan metode konvensional. Seluruh
biaya dihitung dan diinput pada masing-masing komponen biaya dan
dijumlahkan sehingga diperoleh biaya untuk masing-masing metode
pengamatan. Komponen biaya dan cara memperoleh jumah biayanya pada
penelitian ini dirinci sebagai berikut :
a. Biaya Pemakaian Ruang Kusta
Biaya diperoleh dari nilai ruang kusta (yang disetahunkan). Data
diperoleh dari kuesioner petugas, kuesioner puskesmas.
b. Biaya Pemakaian Alat Medis/Non Medis
Biaya diperoleh dari nilai alat medis/non medis yang digunakan dalam
pelayanan terhadap responden (yang disetahunkan). Data diperoleh dari
daftar inventaris ruang kusta, kuesioner puskesmas.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

80

c. Biaya Tenaga Pelayanan Kusta


Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi responden yang datang ke
puskesmas maupun yang dikunjungi dikalikan proporsi jumlah waktu
yang diluangkan petugas untuk pelayanan dan kegiatan yang mengikuti
dikalikan dengan gaji petugas yang terlibat. Data diperoleh dari
kuesioner petugas puskesmas, kartu register penderita
d. Biaya Bahan Habis Pakai
Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi responden yang datang ke
puskesmas dikalikan dengan jumlah biaya bahan habis pakai yang
digunakan petugas untuk pelayanan. Data diperoleh dari kuesioner
petugas puskesmas, kartu register penderita.
e. Biaya Pemakaian Obat
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah obat yang diberikan kepada
responden saat menerima pelayanan di puskesmas dikalikan dengan
harga masing-masing obat dengan harga sesuai tahun yang dilakukan
confounding. Data diperoleh dari kartu register penderita.
f.

Biaya Transportasi Petugas


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah kunjungan ke rumah
responden dikalikan dengan biaya transport ke rumah masing-masing
responden. Data diperoleh dari kuesioner petugas dan penderita.

g.

Biaya Komunikasi dengan Penderita


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah komunikasi dengan
responden atau pihak yang dapat berkomunikasi langsung dengan
responden dikalikan dengan biaya komunikasi. Data diperoleh dari
kuesioner petugas puskesmas.

h. Biaya Pembelian Alat dan Bahan Perawatan dan Perlindungan Diri


untuk Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah dari masing-masing jenis
alat dan bahan yang diterima responden dikalikan dengan harga masingmasing jenis alat dan bahan. Data diperoleh dari kuesioner penderita.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

81

i.

Biaya Listrik dan Air


Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi responden yang datang ke
puskesmas dikalikan dengan proporsi ruang kusta dikalikan dengan
biaya listrik dan air yang digunakan untuk seluruh pelayanan di
puskesmas. Data diperoleh dari kuesioner puskesmas dan petugas
puskesmas, kartu register penderita, dokumen pengeluaran biaya
stakeholder.

j.

Biaya Pemeliharaan
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya pemeliharaan dari
masing-masing barang inventaris yang digunakan dalam pelayanan.
Data diperoleh dari dokumen pengeluaran biaya stakeholder.

k.

Biaya Tenaga Pendukung Program


Biaya diperoleh dengan menghitung proporsi waktu yang diluangkan
pegawai dinkes kabupaten dan provinsi untuk melakukan kegiatan
terkait program pada masing-masing pengamatan. Data diperoleh dari
kuesioner stakeholder dan dokumen pengeluaran biaya stakeholder.

l.

Biaya Koordinasi Dinkes Kabupaten dengan Puskesmas


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya seluruh kegiatan
koordinasi. Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan dokumen
pengeluaran biaya stakeholder.

m. Biaya Monitoring dan Evaluasi Kegiatan Dinkes Provinsi


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya seluruh kegiatan
monitoring dan evaluasi. Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan
dokumen pengeluaran biaya stakeholder.
n.

Biaya Pelatihan
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya seluruh kegiatan
pelatihan. Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan dokumen
pengeluaran biaya stakeholder.

o.

Biaya Administrasi Umum


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya bahan habis pakai
dan biaya pemeliharaan yang tidak terkait langsung dengan pelayanan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

82

Data diperoleh dari kuesioner stakeholder dan dokumen pengeluaran


biaya stakeholder.
p.

Biaya Pengobatan dan Tindakan oleh Penderita


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah biaya yang dikeluarkan saat
responden berkunjung ke pelayanan kesehatan. Data diperoleh dari
kuesioner penderita.

q.

Biaya Pembelian Alat dan Bahan Perawatan dan Perlindungan Diri oleh
Penderita
Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah dari masing-masing jenis
alat dan bahan yang dibeli oleh responden dikalikan dengan harga
masing-masing jenis alat dan bahan. Data diperoleh dari kuesioner
penderita.

r.

Biaya Transportasi Penderita


Biaya diperoleh dengan menghitung jumlah kunjungan ke pelayanan
kesehatan dikalikan biaya transport ke pelayanan kesehatan. Data
diperoleh dari kuesioner penderita dan kartu register penderita.

4.7.3 Analisis Multivariat


Seluruh variabel independen yang telah dinyatakan berhubungan
dengan variabel dependen pada analisis bivariat kemudian dimasukkan ke
dalam model dan dianalisis multivariat dengan menggunakan uji regresi
logistik ganda untuk mencari variabel independen yang paling berpengaruh
terhadap variabel dependen.
4.7.4 Perhitungan ICER
Kemudian dihitung rasio efektivitas biaya intervensi terhadap
penderita kusta setelah selesai pengobatan melalui pengamatan semi aktif
dan metode pengamatan pasif dengan membandingkan biaya pada kedua
metode dengan efektivitas berupa penderita dengan cacat yang dapat
dikendalikan pada kedua metode tersebut. Setelah diperoleh rasio efektivitas
biaya (ICER), dibandingkan dengan threshold ratio. Threshold ratio
berdasarkan WHO (2005) adalah Gross Domestic Product per capita (GDP
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

83

per capita) dengan tingkatan efektif biaya tinggi (kurang dari GDP per
capita), efektif biaya (antara satu hingga tiga kali GDP per capita), tidak
efektif biaya (lebih dari tiga kali GDP per capita). Berdasarkan data Bank
Dunia (World Bank) tahun 2011, current prices untuk GDP per capita untuk
Indonesia adalah US$ 3,495.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum


Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pasuruan, Provinsi Jawa
Timur. Pada tahun 2011, angka penemuan kasus baru di Kabupaten Pasuruan
sebesar 16,88 per 100.000 penduduk dengan prosentase penderita MB sebesar
78 %, kasus anak 16 %, dan cacat tingkat 2 sebesar 14 %. Prevalensi hingga
akhir tahun 2011 cukup tinggi yaitu 2,4 per 10.000 penduduk. Kasus kusta
tersebar di 26 puskesmas dari 33 puskesmas yang berada di wilayah
Kabupaten Pasuruan.
Kabupaten Pasuruan menerapkan metode pengamatan semi aktif
sebagai suatu proyek uji coba dalam pengamatan terhadap penderita kusta
yang telah menyelesaikan pengobatan (dinyatakan RFT) sejak tahun 2009.
Metode pengamatan semi aktif ini diterapkan di 10 puskesmas, sedangkan
puskesmas lainnya masih menerapkan metode pengamatan pasif. Pada
penelitian ini akan dibandingkan efektivitas biaya pada kedua metode tersebut.
Responden yang dipilih pada penelitian ini adalah penderita kusta yang
telah menyelesaikan pengobatan (dinyatakan RFT) sejak bulan Mei tahun
2009 hingga bulan Maret tahun 2010. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh
86 responden dari 23 puskesmas yang terbagi menjadi 2 intervensi (metode
pengamatan) yaitu 43 responden pada metode pengamatan semi aktif dan 43
responden pada metode pengamatan pasif. Adapun distribusi responden di 23
puskesmas yang menjadi lokasi penelitian disajikan pada tabel 5.1.

84

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

85

Tabel 5.1
Distribusi Responden Berdasarkan Puskesmas
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23

Nama Puskesmas
Pohjentrek
Winongan
Pasrepan
Grati
Wonorejo
Gempol
Kedaung Wetan
Nguling
Gondang Wetan
Beji
Sukorejo
Kejayan
Rembang
Kraton
Kepulungan
Purwosari
Lumbang
Lekok
Karangrejo
Rejoso
Ambal-ambil
Bangil
Ngempit
Total

Jumlah Responden
Pengamatan Semi Aktif
7
11
2
8
2
2
3
1
4
3
43

Jumlah Responden
Pengamatan Pasif
2
2
10
3
4
6
1
1
3
3
2
3
1
2
43

5.1.1 Metode Pengamatan Semi Aktif


Responden pada metode pengamatan semi aktif adalah penderita
kusta yang telah selesai pengobatan (dinyatakan RFT) yang tersebar di
10 puskesmas di Kabupaten Pasuruan. Pada metode pengamatan semi aktif,
terdapat 37 responden yang aktif datang ke puskesmas dan terdapat 41
responden yang pernah dikunjungi oleh petugas puskesmas.
Responden yang datang ke puskesmas mendaftarkan diri dan
mengambil kartu register keluarga (family folder) di loket tanpa membayar
biaya registrasi. Setelah mendapat kartu dari petugas loket, responden
kemudian menemui petugas kusta puskesmas di ruang pelayanan. Ruang
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

86

pelayanan untuk kusta di setiap puskesmas berbeda. Ada puskesmas yang


memiliki ruangan khusus untuk pelayanan kusta, ada pula yang menjadi satu
dengan ruang balai pengobatan, ruang laboratorium, atau ruang unit gawat
darurat. Waktu pelayanan petugas kusta kepada responden bervariasi,
berkisar 23 hingga 130 menit tergantung pada pelayanan apa saja yang
diberikan. Setiap petugas puskesmas memberikan pelayanan berupa
anamnesa, penjelasan mengenai reaksi, penjelasan mengenai perawatan diri,
melakukan pemeriksaan fungsi saraf dan tatalaksana reaksi sebagai
pencegahan cacat, perawatan luka, dan melakukan demo rawat diri kepada
responden. Beberapa petugas memberikan pelayanan tambahan yaitu
mengambil kartu kusta, melakukan pemeriksaan tanda utama kusta
(cardinal sign), memberikan alat untuk perawatan dan pelindung diri,
menyerahkan obat atau vitamin secara langsung, melakukan konseling, dan
memberikan motivasi untuk datang ke Kelompok Perawatan Diri (KPD).
Petugas kusta di tiga puskesmas dibantu oleh petugas apotik dalam
memberikan pelayanan penyerahan obat atau vitamin. Pelayanan tindakan
dan obat tidak dipungut biaya. Alur pelayanan pada metode pengamatan
semi aktif yang datang ke puskesmas dapat dilihat pada gambar 5.1.
Petugas kusta puskesmas yang akan berkunjung ke rumah responden
meluangkan waktu kurang lebih 5 hingga 15 menit untuk mempersiapkan
perlengkapan yang akan dibawa. Perlengkapan tersebut diantaranya adalah
kartu penderita, form pemeriksaan fungsi saraf dan tatalaksana reaksi, buku
catatan, bolpoin, leaflet, kapas, gunting, plester, kasa, obat-obatan, alat
bantu/pelindung,

bahan untuk perawatan diri, dan tensimeter. Hampir

seluruh petugas kusta puskesmas pada metode pengamatan semi aktif


menggunakan sepeda motor pribadi untuk mengunjungi rumah responden.
Waktu tempuh yang dibutuhkan adalah 15 hingga 30 menit dengan biaya
transpor yang dikeluarkan sebesar 5.000-30.000 rupiah.
Beberapa petugas kusta puskesmas mengunjungi responden bersama
dengan mitra kerja diantaranya bidan desa, tenaga admnistrasi, atau kader.
Seluruh petugas kusta saat berkunjung ke rumah responden memberikan
pelayanan berupa anamnesa, penjelasan mengenai reaksi, penjelasan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

87

mengenai perawatan diri, melakukan pemeriksaan fungsi saraf dan


tatalaksana reaksi sebagai pencegahan cacat, perawatan luka, dan
melakukan demo rawat diri kepada responden. Terdapat beberapa petugas
yang juga memberikan pelayanan tambahan seperti mengambil kartu
register keluarga (family folder), kartu kusta, melakukan pemeriksaan tanda
utama kusta (cardinal sign), memberikan alat untuk perawatan dan
pelindung diri, menyerahkan obat atau vitamin secara langsung, melakukan
konseling, dan memberikan motivasi untuk datang ke Kelompok Perawatan
Diri (KPD). Waktu yang diluangkan untuk memberikan pelayanan saat
berkunjung ke rumah responden berkisar 47 hingga 135 menit. Alur
pelayanan responden

pada metode pengamatan semi aktif saat petugas

melakukan kunjungan ke rumah penderita dapat dilihat pada gambar 5.2.


Gambar 5.1
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
Penderita
datang

Penderita
pulang

Administrasi
Puskesmas

Pendaftaran
Mengambil
kartu register
keluarga
(family folder)

Petugas
Kusta

Apotik/
Loket Obat

Anamnesa
Penjelasan tanda-tanda reaksi
Penjelasan pentingnya perawatan diri
Pemeriksaan fungsi saraf & tatalaksana reaksi
Perawatan luka akibat kusta
Demo perawatan diri

Memberikan
vitamin/ obat

Mengambil kartu khusus penderita kusta


Pemeriksaan tanda utama (cardinal sign) kusta
Penyerahan vitamin /obat secara langsung
Memberikan alat perawatan dan pelindung diri
Melakukan konseling
Memberikan motivasi untuk datang ke
Kelompok Perawatan Diri (KPD)
Keterangan :
= aktivitas pasti dilakukan
= aktivitas belum tentu dilakukan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

88

Gambar 5.2
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang
dikunjungi oleh Puskesmas pada Metode Pengamatan Semi Aktif
Persiapan
Petugas

Petugas
Datang

Petugas Kusta
di Rumah
Penderita

Petugas
Pulang

Anamnesa
Penjelasan tanda-tanda reaksi
Penjelasan pentingnya perawatan diri
Pemeriksaan fungsi saraf dan tatalaksana reaksi/ neuritis
Penanganan dan perawatan luka akibat kusta
Demo perawatan diri

Mengambil kartu register keluarga (family folder)


Mengambil kartu khusus penderita kusta
Pemeriksaan tanda utama (cardinal sign) kusta
Penyerahan vitamin atau obat secara langsung kepada penderita
Memberikan alat perawatan dan pelindung diri
Melakukan konseling
Memberikan motivasi untuk datang ke Kelompok Perawatan Diri
Keterangan :
= aktivitas pasti dilakukan
= aktivitas belum tentu dilakukan

5.1.2 Metode Pengamatan Pasif


Responden pada metode pengamatan pasif adalah penderita kusta
yang telah selesai pengobatan (dinyatakan RFT) yang tersebar di
14 puskesmas di Kabupaten Pasuruan. Pada metode pengamatan pasif,
terdapat 7 responden yang aktif datang ke 5 puskesmas.
Responden yang datang ke puskesmas langsung ke bagian loket
untuk mendaftarkan diri dan mengambil kartu register keluarga (family
folder) tanpa membayar biaya registrasi. Setelah mendapat kartu dari
petugas loket, responden kemudian menemui petugas kusta puskesmas di
ruang pelayanan. Seluruh puskesmas memiliki ruangan khusus untuk
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

89

pelayanan kusta. Waktu pelayanan petugas kusta kepada responden


bervariasi, berkisar 47 hingga 153 menit tergantung pada pelayanan apa saja
yang diberikan. Setiap petugas puskesmas mengambil kartu kusta,
melakukan anamnesa, memberikan penjelasan mengenai reaksi, penjelasan
mengenai perawatan diri, perawatan luka, dan menyerahkan obat atau
vitamin secara langsung kepada responden. Pelayanan tindakan dan obat
tidak dipungut biaya. Beberapa petugas memberikan pelayanan tambahan
yaitu, melakukan pemeriksaan tanda utama kusta, melakukan pemeriksaan
fungsi saraf dan tatalaksana reaksi sebagai pencegahan cacat, memberikan
alat untuk perawatan dan pelindung diri, melakukan demo rawat diri, dan
melakukan konseling. Alur pelayanan responden pada metode pengamatan
pasif yang datang ke puskesmas dapat dilihat pada gambar 5.3.
Gambar 5.3
Alur Kegiatan Penderita Setelah Selesai Pengobatan Kusta yang Datang
ke Puskesmas pada Metode Pengamatan Pasif
Penderita
datang

Administrasi
Puskesmas

Pendaftaran
Mengambil
kartu register
keluarga
(family folder)

Petugas
Kusta

Penderita
pulang

Mengambil kartu khusus penderita kusta


Anamnesa
Penjelasan tanda-tanda reaksi
Penjelasan pentingnya perawatan diri
Perawatan luka akibat kusta
Memberikan vitamin/ obat secara langsung
kepada penderita

Pemeriksaan tanda utama kusta


Pemeriksaan fungsi saraf & tatalaksana reaksi
Demo perawatan diri
Memberikan alat perawatan & pelindung diri
Melakukan konseling

Keterangan :
= aktivitas pasti dilakukan
= aktivitas belum tentu dilakukan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

90

Pada metode pengamatan pasif tidak ada responden yang mendapat


kunjungan dari petugas kusta puskesmas. Hal ini sesuai dengan deskripsi
pengamatan pasif bahwa petugas tidak diwajibkan melakukan kunjungan ke
rumah penderita apabila penderita kusta yang telah menyelesaikan
pengobatan dan masih dalam masa pengamatan tidak datang ke puskesmas
untuk memeriksakan diri secara dini.
5.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.2
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Metode Pengamatan
Semi Aktif
Metode Pengamatan
Pasif
Jumlah

Pengendalian Tingkat Cacat


Ya

Total

Tidak

OR
p
(95%CI) Value

n
42

%
97,7

n
1

%
2,3

n
43

%
100

35

81,4

18,6

43

100

77

89,5

10,5

86

100

9,6
(1,14580,517)

0,030

Tabel 5.2 menyajikan data distribusi dan hubungan metode


pengamatan dengan pengendalian tingkat cacat. Berdasarkan tabel tersebut,
dapat dilihat bahwa pada metode pengamatan semi aktif hanya ada 1
responden (2,3%) dari 43 responden yang tingkat cacatnya tidak dapat
dikendalikan. Sedangkan pada metode pengamatan pasif, dari 43 responden
masih terdapat 8 responden (18,6%) yang tingkat cacatnya tidak dapat
dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
p=0,030 maka dapat disimpulkan terdapat perbedaan pengendalian tingkat
cacat antara metode pengamatan semi aktif dengan metode pengamatan
pasif. Hasil uji juga menunjukkan nilai OR=9,6 yang berarti bahwa
penderita pada metode pengamatan pasif memiliki peluang 9,6 kali untuk
tidak dapat dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan penderita
pada metode pengamatan semi aktif.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

91

5.3 Hubungan

Metode

Pengamatan

dengan

Tingkat

Pengetahuan,

Pencegahan Cacat, dan Perawatan Diri


5.3.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan
Tabel 5.3
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Tingkat Pengetahuan
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Metode Pengamatan
Semi Aktif
Metode Pengamatan
Pasif
Jumlah

Tabel

5.3

Tingkat Pengetahuan
Total

Tinggi
n
%

Rendah
n
%

35

81,4

18,6

43

100

23

53,5

20

46,5

43

100

58

67,4

28

32,6

86

100

memperlihatkan

bahwa

OR (95% CI)
3,804
(1,436-10,078)

responden

pada

p
Value
0,011

metode

pengamatan semi aktif lebih banyak yang memiliki tingkat pengetahuan


tinggi mengenai kecacatan pada kusta yaitu sebanyak 35 orang (81,4%).
Pada metode pengamatan pasif, jumlah responden yang memiliki
pengetahuan tinggi mengenai kecacatan pada kusta (23 orang) tidak jauh
berbeda dengan jumlah responden yang memiliki pengetahuan rendah (20
orang).
Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh < 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa terdapat perbedaan antara tingkat pengetahuan
responden pada metode pengamatan semi aktif dengan tingkat pengetahuan
responden pada metode pengamatan pasif. Nilai OR=3,804 menyatakan
bahwa penderita pada metode pengamatan pasif memiliki peluang 3,8 kali
lebih rendah pengetahuannya daripada penderita pada metode pengamatan
semi aktif.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

92

5.3.2 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat


Tabel 5.4
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Pencegahan Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Metode Pengamatan
Semi Aktif
Metode Pengamatan
Pasif
Jumlah

Pencegahan Cacat
Ya
Tidak

Total

41

95,3

4,7

43

100

4,7

41

95,3

43

100

43

50

43

50

86

100

OR (95% CI)
420
(56,4673127,686)

p
Value
0,000

Pada Tabel tersebut dapat dilihat bahwa pada metode pengamatan


semi aktif, responden yang mendapat pencegahan cacat mencapai 95,3 %
(41 responden). Jumlah tersebut jauh lebih besar daripada jumlah responden
yang tidak mendapat pencegahan cacat (2 responden). Sebaliknya, pada
metode pengamatan pasif jumlah responden yang mendapat pencegahan
cacat hanya 4,7% (2 responden) dan responden yang tidak mendapat
pencegahan cacat sebanyak 95,3 % (41 responden).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
< 0,05 yaitu terdapat perbedaan perilaku pencegahan cacat antara metode
pengamatan semi aktif dengan metode pengamatan pasif. Nilai OR=420,250
menyatakan bahwa penderita pada metode pengamatan pasif memiliki
peluang 420 kali untuk tidak mendapat pencegahan cacat dibandingkan
penderita pada metode pengamatan semi aktif.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

93

5.3.3 Hubungan Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri


Tabel 5.5
Hubungan antara Metode Pengamatan dengan Perawatan Diri
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Metode
Pengamatan Setelah
Selesai Pengobatan
Kusta
Metode Pengamatan
Semi Aktif
Metode Pengamatan
Pasif
Jumlah

Perawatan Diri
Ya
Tidak

Total

42

97,7

2,3

43

100

23

53,5

20

46,5

43

100

65

75,6

21

24,4

86

100

OR (95% CI)
36,522
(4,601289,926)

p
Value
0,000

Berdasarkan tabel, responden pada metode pengamatan semi aktif


lebih banyak yang melakukan perawatan diri yaitu sebanyak 42 orang
(97,7%). Sedangkan pada metode pengamatan pasif, jumlah responden yang
melakukan perawatan diri (23 orang) tidak jauh berbeda dengan jumlah
responden yang tidak melakukan perawatan diri (20 orang).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, dapat dilihat
p value yang dihasilkan adalah 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan perilaku perawatan diri antara metode pengamatan semi
aktif dengan metode pengamatan pasif. Nilai OR yang dihasilkan adalah
36,522. Nilai tersebut menyatakan bahwa penderita pada metode
pengamatan pasif memiliki peluang 36 kali untuk tidak melakukan
perawatan diri dibandingkan dengan penderita pada metode pengamatan
semi aktif.
5.4 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
5.4.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Umur responden pada penelitian ini diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu kelompok umur < 15 tahun dan kelompok umur 15 tahun.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

94

Distribusi dan hubungan antara umur dengan pengendalian tingkat cacat


disajikan pada tabel 5.6.
Tabel 5.6
Hubungan antara Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Kelompok
Umur

Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

Total

OR

(95% CI)
-

< 15 Tahun

100

100

15 Tahun

74

89,2

10,8

83

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

p Value
1,000

Berdasarkan tabel tersebut, jumlah responden berumur < 15 tahun


yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan adalah 3 orang (100%) dan tidak
ada responden yang cacatnya tidak dapat dikendalikan. Sedangkan pada
responden yang berumur 15 tahun, terdapat 74 responden (89,2%) yang
cacatnya dapat dikendalikan dan 9 responden (10,8%) yang cacatnya tidak
dapat dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
> 0,05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara
umur dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.7
Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

(95% CI)

Tinggi

18

90,0

10

20

100

Rendah

59

89,4

10,6

66

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

Tingkat
pendidikan

Total

OR

p Value
1,000

Tabel tersebut menunjukkan bahwa 90% responden berpendidikan


tinggi (18 orang) dapat dikendalikan tingkat cacatnya dan terdapat 2
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

95

responden (10%) yang tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan. Pada


responden dengan tingkat pendidikan rendah, sebagian besar responden
(89,4%) dapat dikendalikan tingkat cacatnya dan hanya 7 orang (10,6%)
yang tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis, p value yang diperoleh adalah 1,000.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.3

Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat Cacat


Tabel 5.8
Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat
Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

(95% CI)

Tinggi

50

86,2

13,8

58

100

Rendah

27

96,4

3,6

28

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

Tingkat
Pengetahuan

Total

OR

p Value
0,260

Pada Tabel 5.8 dapat dilihat pada responden dengan tingkat


pengetahuan tinggi mengenai kecacatan pada kusta, lebih banyak responden
yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan (86%). Begitu pula dengan
responden yang memiliki tingkat pengetahuan rendah, jumlah responden
yang tingkat cacatnya dapat dikendalikan (27 orang) lebih banyak daripada
jumlah responden yang tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan (27
orang). Berdasarkan hasil analisis diperoleh p=0,260, artinya tidak ada
hubungan antara tingkat pengetahuan dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.4

Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat


Tingkat ekonomi responden pada penelitian ini diukur dari
besarnya biaya yang dikeluarkan rumah tangga responden per bulan per
orang. Pada tabel berikut, disajikan distribusi dan hubungan antara tingkat
ekonomi dengan pengendalian tingkat cacat.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

96

Tabel 5.9
Hubungan antara Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Tingkat Sosial
Ekonomi

Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

Total
n

Tinggi

100

100

Rendah

70

88,6

11,4

79

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

OR

p Value

(95% CI)
-

1,000

Pada tabel dapat dilihat bahwa jumlah responden dengan tingkat


sosial ekonomi tinggi adalah 7 responden dan ternyata tingkat cacat dari
seluruh responden dapat dikendalikan. Sedangkan pada responden dengan
tingkat ekonomi rendah, jumlah responden yang tingkat cacatnya dapat
dikendalikan adalah 70 orang (88,6%) dan 9 orang lainnya (11,4%) tidak
dapat dikendalikan tingkat cacatnya.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
> 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat
ekonomi dengan pengendalian tingkat cacat.
5.4.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.10
Hubungan antara Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat di
Kabupaten Pasuruan Tahun 2012

Tipe Kusta

Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

Total

OR

(95% CI)
-

PB

100

100

MB

75

89,3

10,7

84

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

p Value
1,000

Tabel 5.10 menggambarkan bahwa seluruh responden dengan tipe


PB (2 orang) dapat dikendalikan tingkat cacatnya. Pada penderita kusta tipe
MB, jumlah responden dengan tingkat cacat yang dapat dikendalikan (75
orang) lebih besar dibandingkan jumlah responden dengan tingkat cacat
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

97

tidak dapat dikendalikan (9 orang). Berdasarkan hasil uji statistik


menggunakan uji chi-square, diperoleh p value sebesar 1,000. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tipe kusta dengan
pengendalian tingkat cacat.
5.4.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tabel 5.11
Hubungan antara Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

(95% CI)

Tidak

56

87,5

12,5

64

100

Ya

21

95,5

4,5

22

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

Riwayat Reaksi

Total

OR

p Value
0,437

Pada responden yang tidak memiliki riwayat reaksi, jumlah


responden dengan tingkat cacat dapat dikendalikan lebih besar daripada
responden dengan tingkat cacat tidak dapat dikendalikan yaitu masingmasing sebanyak 56 responden dan 8 responden. Pada responden yang
memiliki riwayat reaksi, jumlah responden dengan tingkat cacat dapat
dikendalikan juga lebih besar yaitu sebanyak 21 responden (95,5%) dan
hanya ada 1 responden saja (4,5%) yang tingkat cacatnya tidak dapat
dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis, p value yang diperoleh sebesar 0,437
sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara riwayat reaksi
dengan tingkat cacat yang dapat dikendalikan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

98

5.4.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat


Tabel 5.12
Hubungan antara Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

(95% CI)

Ya

42

97,7

2,3

43

100

9,6
(1,145-80,517)

Tidak

35

81,4

18,6

43

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

Pencegahan
Cacat

Total

p
Value

OR

0,030

Pada Tabel 5.12 dapat dilihat bahwa pada responden yang mendapat
pencegahan cacat, terdapat 42 responden (97,7%) yang tingkat cacatnya
dapat dikendalikan dan hanya 1 responden (2,3%) yang tingkat cacatnya
tidak dapat dikendalikan. Pada responden yang tidak mendapat pencegahan,
terdapat 35 responden (81,4%) dengan tingkat cacat dapat dikendalikan dan
8 responden (18,6%) dengan tingkat cacat tidak dapat dikendalikan.
responden yang tidak mendapat pencegahan cacat sebanyak 95,3 % (41
responden).
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, diperoleh
p=0,030

sehingga

dapat

disimpulkan

bahwa

terdapat

perbedaan

pengendalian tingkat cacat antara penderita yang mendapat pencegahan


cacat dengan penderita yang tidak mendapat pencegahan cacat. Nilai
OR=9,6 menyatakan bahwa penderita yang tidak mendapat pencegahan
cacat memiliki peluang 9,6 kali untuk tidak dapat dikendalikan tingkat
cacatnya dibandingkan dengan penderita yang mendapat pencegahan cacat.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

99

5.4.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat


Tabel 5.13
Hubungan antara Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Pengendalian Tingkat
Cacat
Ya
Tidak
n
%
N
%

(95% CI)

Ya

64

98,5

1,5

65

100

39,385
(4,530-342,424)

Tidak

13

61,9

38,1

21

100

Jumlah

77

89,5

10,5

86

100

Perawatan
Diri

Total

OR

p Value

0,000

Pada tabel dapat dilihat bahwa pada responden yang melakukan


perawatan diri, lebih banyak responden yang tingkat cacatnya dapat
dikendalikan (64 orang) dibandingkan dengan responden yang tingkat
cacatnya tidak dapat dikendalikan (1 orang). Sedangkan pada responden
yang tidak melakukan perawatan diri, jumlah responden dengan tingkat
cacat dapat dikendalikan sebanyak 13 responden dan 8 responden yang
tingkat cacatnya tidak dapat dikendalikan.
Berdasarkan hasil analisis menggunakan uji chi-square, dapat dilihat
p value yang dihasilkan adalah 0,000. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
ada hubungan antara pengendalian nilai cacat dengan perawatan diri. Nilai
OR yang dihasilkan adalah 39,385. Nilai tersebut menyatakan bahwa
penderita yang tidak melakukan perawatan diri memiliki peluang 39 kali
untuk tidak dapat dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan
penderita yang melakukan perawatan diri.
5.5 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat
Sebelum melakukan analisis multivariat, faktor-faktor yang diprediksi
berhubungan telah dilakukan seleksi dengan analisis bivariat. Faktor-faktor
tersebut yang masuk pada model multivariat adalah faktor yang dari hasil uji
bivariatnya diperoleh p value 0,25. Tabel 5.14 menyajikan data mengenai
faktor yang berhubungan dengan pengendalian tingkat cacat yang masuk pada
model awal multivariat yaitu variabel perawatan diri dan pencegahan cacat.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

100

Tabel 5.14
Model Awal Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan dengan
Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
95,0% C.I.for EXP(B)

Step 1

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Lower

Upper

Cgh_cct

.060

1.490

.002

.968

1.062

.057

19.704

Rwt_diri

3.638

1.407

6.685

.010 38.005

2.411

598.993

Constant

-4.181

1.147 13.289

.000

.015

Setelah dilakukan analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi


logistik ganda, diperoleh model terakhir yang disajikan pada tabel berikut.
Tabel 5.15
Model Akhir Uji Multivariat terhadap Faktor yang Berhubungan dengan
Pengendalian Tingkat Cacat di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
95,0% C.I.for EXP(B)
B
a

Step 1 Rwt_diri
Constant

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

3.673

1.103

11.083

.001 39.385

-4.159

1.008

17.030

.000

Lower
4.530

Upper
342.424

.016

Berdasarkan tabel 5.15, dapat dilihat bahwa hanya terdapat 1 faktor


yang berhubungan signifikan dengan pengendalian tingkat cacat dari hasil
uji multivariat yaitu faktor perawatan diri dan tidak terdapat variabel
interaksi maupun variabel perancu (confounding). Nilai OR yang dihasilkan
adalah 39,385. Nilai tersebut menyatakan bahwa penderita yang tidak
melakukan perawatan diri memiliki peluang 39 kali untuk tidak dapat
dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan penderita yang
melakukan perawatan diri.
Hasil analisis hubungan bivariat dan multivariat, memperlihatkan
hubungan antara metode pengamatan dengan perawatan diri dan hubungan
anatara perawatan diri dengan pengendalian tingkat cacat. Hubungan
tersebut berikut proporsinya dapat disajikan pada Pohon Keputusan
(Decision Tree) gambar 5.4.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

101

Gambar 5.4
Pohon Keputusan (Decision Tree)
Probabilitas

Cacat Dapat
Dikendalikan
Melakukan
Perawatan
Diri
N=43 (0,54)

0,54

N=23 (1,0)

Cacat Tidak Dapat


Dikendalikan

N=23 (0)

Pengamatan
Pasif
N=43

Cacat Dapat
Dikendalikan
Tidak
Melakukan
Perawatan Diri
N=43 (0,46)

Penderita
Kusta Setelah
Selesai
Pengobatan

0,276

N=20 (0,6)

Cacat Tidak Dapat


Dikendalikan

0,184

N=20 (0,4)

Cacat Dapat
Dikendalikan
Melakukan
Perawatan
Diri
N=43 (0,98)

0,96

N=42 (0,98)

Cacat Tidak Dapat


Dikendalikan

0,02

N=42 (0,02)

Pengamatan
Semi Aktif
N=43

Cacat Dapat
Dikendalikan
Tidak
Melakukan
Perawatan Diri
N=43 (0,02)

0,02

N=1 (1,0)

Cacat Tidak Dapat


Dikendalikan

N=1 (0)
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

102

5.6 Biaya
Biaya metode pengamatan semi aktif dan pengamatan pasif pada
penelitian ini digambarkan pada tabel 5.16.
Tabel 5.16
Gambaran Biaya Program dan Penderita pada metode Pengamatan Semi Aktif
dan Metode Pengamatan Pasif di Kabupaten Pasuruan Tahun 2012
Jenis Biaya
I.

Biaya Program
A Biaya Langsung
1 Biaya Investasi
a Biaya Pemakaian Ruang Kusta
Biaya Pemakaian Alat Medis/ Non
b Medis
2 Biaya Operasional
a Biaya Tenaga Pelayanan Kusta
b Biaya Bahan Habis Pakai
c Biaya Pemakaian Obat
d Biaya Transportasi Petugas
e Biaya Komunikasi dengan Penderita
f Biaya Listrik dan Air
g Biaya Pembelian Alat dan Bahan
Perawatan dan Perlindungan Diri
untuk penderita
3 Biaya Pemeliharaan
B. Biaya Tidak Langsung
1 Biaya Tenaga (SDM Non Ptgs Kusta
Puskesmas, Dinkes atau Pusat)
2 Biaya Koordinasi Dinkes Kab dengan

Puskesmas
3 Biaya Monitoring dan Evaluasi kegiatan
Dinkes Prov
4 Biaya Pelatihan
5 Biaya Administrasi Umum
II Biaya Penderita
Biaya Langsung
1 Biaya Pengobatan dan Tindakan
2 Biaya Pembelian Alat dan Bahan
Perawatan dan Perlindungan Diri
3 Biaya Transportasi Penderita
Total Biaya

Pengamatan
Semi Aktif
360.872.024,63
250.657.161,85
126.546.736,10
75.503.874,85

Pengamatan
Pasif
65.123.361,49
56.669.438,95
49.650.866,30
28.394.554,15

51.042.861,26
117.897.262,86
22.557. 166,36
965.579,52
87.372.305,00
4.825.000,00
366.615,59
80.630,00

21.256.312,15
2.032.202,49
1.093.655,48
150.938,10
184.603,10
140.463,81
6.542,00

1.729.966,39
6.213.162,89
110.214.862,77

456.000,00
4.986.370,16
8.453.922,54

667.840,05

839.468,00

4.293.636,36

5.581.727,27

83.223.750,00
20.988.727,27
1.040.909,09
2.696.000,00
2.696.000,00
116.000,00

1.654.545,45
378.181,82
942.000,00
942.000,00
75.000,00

945.000,00
1.635.000,00
363.568.024,63

367.000,00
500.000,00
66.065.361,49

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

103

5.7 Rasio Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat


Rasio efektivitas biaya tambahan dalam pengendalian tingkat cacat
pada metode pengamatan semi aktif dengan pengamatan pasif adalah :
C
ICER =

(Rp 363.568.024,63 - Rp 66.065.361,49)


=

(41-23)

Rp 297.502.663,14
=

Rp 16.527.926

18
Berdasarkan hasil tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa rasio
efektivitas biaya untuk mengendalikan tingkat cacat pada seorang penderita
yang telah selesai pengobatan pada metode pengamatan semi aktif adalah
sebesar Rp 16.527.926. Biaya tersebut apabila dibandingkan dengan
threshold ratio berdasarkan WHO (GDP per capita = US$ 3,495), diperoleh
hasil bahwa rasio efektivitas biaya metode pengamatan semi aktif kurang dari
satu kali

GDP per capita. Metode pengamatan semi aktif merupakan

intervensi yang efektif biayanya tinggi terhadap pengamatan pasif dalam


mengendalikan tingkat cacat pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

BAB 6
PEMBAHASAN

6.1 Hubungan Metode Pengamatan dengan Pengendalian Tingkat Cacat


Hasil

analisis

bivariat

terhadap

metode

pengamatan

dengan

pengendalian tingkat cacat pada penelitian ini menunjukkan terdapat


hubungan yang signifikan dengan nilai OR sebesar 9,6. Hasil analisis ini
sesuai dengan tujuan pengamatan semi aktif menurut Dinas Kesehatan
Kabupaten Pasuruan (2011), yaitu menurunkan kejadian kecacatan atau
bertambah buruknya kecacatan pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan. Pengamatan semi aktif perlu dilakukan untuk mengurangi beban
kecacatan penderita kusta setelah selesai pengobatan. Kecacatan dapat
dikurangi dan penderita kusta dapat dibantu secara lebih efektif dan efisien
dengan menerapkan suatu sistem yang memungkinkan penderita kusta setelah
selesai pengobatan untuk tetap berhubungan dengan Puskesmas selama
penderita tersebut membutuhkan bimbingan untuk mengatasi kecacatan yang
dialami.
6.2 Hubungan

Metode

Pengamatan

dengan

Tingkat

Pengetahuan,

Pencegahan Cacat, dan Perawatan Diri


Berdasarkan hasil analisis bivariat terhadap variabel metode
pengamatan dengan variabel tingkat pengetahuan, pencegahan cacat, dan
perawatan diri diperoleh hubungan yang signifikan antara metode
pengamatan dengan 3 variabel tersebut. Responden pada pengamatan pasif
memiliki peluang untuk tidak melakukan perawatan diri, tidak mendapatkan
pencegahan cacat, dan lebih rendah tingkat pengetahuannya apabila
dibandingkan dengan metode pengamatan semi aktif. Metode pengamatan
semi aktif bertujuan agar penderita tetap memiliki hubungan dengan petugas
puskesmas selama penderita masih berisiko, penderita mampu melakukan
perawatan diri secara teratur tiap hari, dan penderita mendapatkan bantuan
dalam mengatasi masalah medis yang ada (Kemenkes RI, 2010).
104

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

105

Kepedulian petugas puskesmas untuk melakukan kunjungan ke rumah


penderita apabila penderita tidak datang ke puskesmas cukup mendukung
peningkatan pengetahuan, perilaku perawatan diri, dan pencegahan cacat.
Pada pengamatan semi aktif, petugas selalu melakukan pemeriksaan fungsi
saraf dan tata laksana reaksi serta memberikan demo perawatan diri kepada
penderita yang telah selesai pengobatan, baik di puskesmas maupun di rumah
penderita sebagaimana telah dijelaskan pada gambaran metode pengamatan
semi aktif (sub bab 5.1.1).
6.3 Hubungan Umur, Tingkat Pendidikan, Tingkat Pengetahuan, Tingkat
Sosial Ekonomi, Tipe Kusta, Riwayat Reaksi, Pencegahan Cacat, dan
Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
6.3.1 Hubungan Umur dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Analisis bivariat terhadap hubungan umur dengan pengendalian
tingkat cacat membuktikan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna.
Hasil pada penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Kurnianto (2002), namun bertentangan dengan Susanto (2006) dan
Moshioni (2010) yang menyatakan ada hubungan yang bermakna secara
statistik antara umur dengan tingkat cacat.
Hubungan yang tidak bermakna pada penelitian ini mungkin
disebabkan adanya distribusi umur yang tidak normal. Jumlah responden
usia < 15 tahun sangat sedikit yaitu hanya 3 orang dari 86 responden yang
diteliti, sehingga tidak dapat mewakili kelompok umur yang diteliti.
6.3.2 Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Berdasarkan hasil uji chi-square pada hubungan antara tingkat
pendidikan dengan pengendalian tingkat cacat disimpulkan tidak ada
hubungan yang signifikan. Hal ini bertentangan dengan penelitian Susanto
(2006) dan Moshioni (2010) yang menyatakan pendidikan sebagai faktor
yang berhubungan dengan tingkat cacat. Perbedaan hasil analisis mungkin
terjadi karena adanya perbedaan kriteria dalam mengelompokkan tingkat
pendidikan.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

106

6.3.3 Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Pengendalian Tingkat Cacat


Penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2009) menunjukkan bahwa
pengetahuan penderita tentang kecacatan berhubungan dengan kecacatan.
Namun hal ini tidak terbukti pada hasil analisis hubungan tingkat
pengetahuan dengan tingkat cacat pada penelitian ini karena p value yang
diperoleh adalah 0,260.
Hubungan yang tidak bermakna secara statistik antara tingkat
pengetahuan dengan pengendalian tingkat cacat dimungkinkan karena
tingkat pengetahuan responden tidak selalu mendorong timbulnya sikap dan
perilaku penderita dalam mencegah terjadinya cacat baru atau cacat yang
memburuk, dalam hal ini peran keluarga juga mempengaruhi (Universitas
Diponegoro, 2002).
6.3.4 Hubungan Tingkat Ekonomi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Menurut Smith (1992), status ekonomi yang kurang diidentifikasi
sebagai salah satu faktor risiko terjadinya kecacatan. Hal tersebut didukung
oleh penelitian yang dilakukan oleh Saputri (2009) dan Kurnianto (2002).
Pernyataan mengenai hubungan tingkat ekonomi dengan tingkat cacat tidak
terbukti pada penelitian ini. Berdasarkan hasil analisis bivariat, diperoleh
> 0,05 yang berarti tidak ada hubungan antara tingkat ekonomi dengan
pengendalian tingkat cacat. Hal ini mungkin disebabkan jumlah responden
yang memiliki tingkat ekonomi tinggi hanya 7 orang dari 86 orang yang
diteliti. Selain itu itu penentuan kriteria dalam pengelompokkan tingkat
ekonomi juga mempengaruhi perbedaan hasil analisis.
6.3.5 Hubungan Tipe Kusta dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Tipe kusta menjadi salah satu faktor yang dibuktikan berhubungan
dengan kecacatan pada penelitian Susanto (2006). Banyaknya kuman kusta
pada penderita tipe MB menyebabkan terjadinya infiltrasi langsung ke
susunan saraf tepi yang dapat menimbulkan kerusakan fungsi saraf (Depkes
RI, 2007). Namun adanya hubungan signifikan tersebut tidak dapat
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

107

dibuktikan pada penelitian ini. Nilai p value (1,000) yang dihasilkan dari
analisis bivariat menggunakan uji chi-square menyatakan tidak ada
hubungan antara tipe kusta pada penderita dengan pengendalian tingkat
cacat. Hal ini dikarenakan jumlah responden kusta tipe PB dalam penelitian
ini sangat sedikit (2 orang) dibandingkan jumlah responden kusta tipe MB
(84 orang).
6.3.6 Hubungan Riwayat Reaksi dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Hasil analisis bivariat antara riwayat reaksi dengan pengendalian
tingkat cacat pada penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan yang
signifikan. Hal ini tidak sesuai dengan hasil beberapa penelitian yang
menyatakan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara riwayat
reaksi dengan kecacatan (Universitas Diponegoro, 2002; Susanto, 2006;
Universitas Negeri Semarang, 2009).
Perbedaan hasil penelitian mungkin disebabkan reaksi yang terjadi
terhadap responden pada penelitian ini tidak berlangsung serius sampai
menimbulkan kecacatan. Sebagaimana dinyatakan oleh Martodihardjo dan
Susanto (2003), reaksi dapat menimbulkan kecacatan apabila tidak ditangani
dengan tepat. Pada penelitian ini, sebagian besar reaksi yang terjadi pada
responden telah ditangani dengan tepat.
6.3.7 Hubungan Pencegahan Cacat dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Pada hasil penelitiannya, Saputri (2009) dan Kurnianto (2002)
menyatakan adanya hubungan antara pencegahan cacat dengan kecacatan
yang terjadi. Penelitian ini juga membuktikan bahwa hubungan antara
pencegahan cacat dengan pengendalian tingkat cacat adalah bermakna
secara statistik, dengan OR sebesar 9,6. Responden yang tidak mendapatkan
pencegahan cacat memiliki peluang 9,6 kali untuk tidak dapat dikendalikan
tingkat cacatnya.
Menurut Srinivasan (1994), beberapa cacat pada kusta bersifat
sementara namun dapat menjadi permanen apabila diabaikan. Oleh karena
itu, diagnosis dini dan tatalaksana reaksi atau neuritis serta pemeriksaan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

108

fungsi saraf yang dilakukan oleh petugas sebagai bentuk pencegahan cacat
merupakan hal yang penting.
6.3.8 Hubungan Perawatan Diri dengan Pengendalian Tingkat Cacat
Perawatan diri merupakan salah satu faktor pada penelitian ini yang
dinyatakan memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan
pengendalian tingkat cacat. OR yang diperoleh dari uji chi-square adalah
39,385, yang artinya penderita yang tidak melakukan perawatan diri
memiliki peluang 39 kali untuk tidak dapat dikendalikan tingkat cacatnya.
Hasil dari penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh
Susanto (2006) dan Kurnianto (2002).
ILEP (2006) menyatakan bahwa orang yang menderita kusta dapat
melindungi dirinya dari kerusakan lebih lanjut apabila memiliki kebiasaan
rawat diri yang baik. Kebutuhan yang ditekankan pada perawatan diri
adalah kesadaran, periksa pandang, dan proteksi.
6.4 Faktor yang Paling Berpengaruh terhadap Pengendalian Tingkat Cacat
Berdasarkan hasil analisis bivariat diperoleh 2 variabel yang
berhubungan secara bermakna dengan pengendalian tingkat cacat, yaitu
variabel pencegahan cacat dan perawatan diri. Namun setelah diuji
multivariat menggunakan uji regresi logistik ganda, hasilnya menyatakan
bahwa hanya perawatan diri yang memiliki pengaruh terhadap pengendalian
tingkat cacat tanpa adanya variabel interaksi maupun variabel perancu
(confounding) dengan OR =39,385.
Variabel metode pengamatan berhubungan dengan pengendalian
tingkat cacat namun tidak mempengaruhi pengendalian tingkat cacat secara
langsung. Hasil analisis bivariat metode pengamatan dengan perawatan diri
diperoleh adanya hubungan yang signifikan (sub bab 5.3.3). Perbedaan
metode pengamatan mendorong perbedaan terjadinya perawatan diri yang
merupakan faktor tunggal yang mempengaruhi pengendalian tingkat cacat.
Pada metode pengamatan semi aktif, petugas tidak hanya memberikan
informasi mengenai pentingnya perawatan diri saat penderita datang ke
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

109

puskesmas tetapi juga memberikan contoh cara melakukan perawatan diri


(Gambar 5.1). Petugas juga melakukan kunjungan ke rumah untuk melihat
kondisi penderita apabila penderita tidak datang ke puskesmas pada waktu
yang telah dijanjikan. Hal tersebut menyebabkan penderita pada pengamatan
semi aktif lebih banyak yang melakukan perawatan diri.
Variabel pencegahan cacat juga dinyatakan berhubungan dengan
pengendalian tingkat cacat namun tidak berpengaruh saat dianalisis bersamasama dengan variabel perawatan diri. Hal ini kemungkinan karena adanya
hubungan antara perawatan diri dengan pencegahan cacat. Hasil analisis
bivariat menggunakan chi-square terhadap hubungan perawatan diri dengan
pencegahan cacat diperoleh p value=0,000 dengan OR = 36,522. Pada
penderita yang tidak melakukan perawatan diri memiliki peluang 36 kali
untuk tidak mendapat pencegahan cacat.
Adanya kesempatan untuk mendapat pencegahan cacat dari petugas
sangat tergantung dari ada atau tidaknya pertemuan antara penderita dengan
petugas. Responden yang melakukan perawatan diri biasanya menemui
petugas kusta saat mereka tidak mampu mengatasi komplikasi penyakit di
rumah dan meminta informasi dari petugas. Pada saat itulah petugas akan
memberikan pencegahan cacat sesuai dengan kebutuhan penderita.
Menurut ILEP (2006), orang yang harus mengembangkan kebiasaan
rawat diri kusta adalah orang yang menderita kerusakan saraf dan orang yang
berisiko mengalami reaksi (selama pengobatan dan selama sekurangnya 2
tahun setelah pengobatan). Penderita kusta akan selalu memiliki risiko
kerusakan jaringan dan perubahan bentuk. Apabila memiliki kebiasaan rawat
diri yang baik, orang yang menderita kusta dapat melindungi dirinya dari
kerusakan lebih lanjut.
Berdasarkan hasil penelitian, perawatan diri pada penderita yang telah
menyelesaikan pengobatan merupakan faktor yang paling penting untuk
ditingkatkan dan menjadi suatu kebutuhan bagi penderita agar dapat
mengendalikan tingkat cacat selama hidupnya. Guna mewujudkan hal
tersebut, penderita tidak mungkin dapat menggantungkan pencegahan cacat
selama hidupnya kepada petugas kusta atau tenaga medis lainnya. Perlu
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

110

dilakukan suatu inovasi yang efektif biaya untuk mendorong perilaku


perawatan diri pada penderita yang telah selesai pengobatan agar dapat
mengendalikan tingkat cacat secara mandiri.
Selain meningkatkan perawatan diri melalui metode pengamatan semi
aktif dan melalui Kelompok Perawatan Diri (KPD), perawatan diri di rumah
(home care) merupakan salah satu cara yang relatif murah. Namun untuk
meningkat efektivitasnya cara ini perlu dimodifikasi karena seringkali
penderita kurang termotivasi untuk melakukan perawatan diri di rumah.
Modifikasi perawatan diri dapat dilakukan dengan pemberdayaan dalam
bentuk Upaya Perawatan Berbasis Masyarakat (UPBM). Upaya Perawatan
Berbasis Masyarakat (UPBM) menekankan pada pemberian informasi,
pemberian kapasitas terhadap individu, dan kemandirian individu. Adapun
Upaya Perawatan Berbasis Masyarakat meliputi :
a. Informasi Risiko Kecacatan
Memberikan informasi kepada penderita yang akan selesai pengobatan
(RFT) mengenai faktor-faktor yang dapat menimbulkan kecacatan, tandatanda dini reaksi/neuritis atau luka yang dapat menyebabkan kecacatan,
dan bentuk kecatatan yang dapat dialami. Selain memberikan informasi
secara lisan, hendaknya terdapat poster yang dilengkapi dengan gambar
dan keterangan singkat yang mudah diingat oleh penderita. Dengan
demikian, penderita lebih waspada terhadap ancaman kecacatan.
b. Informasi Cara Perawatan Diri dan Pemberian Paket Perlengkapan
Memberikan informasi kepada penderita yang akan selesai pengobatan
(RFT) mengenai cara-cara perawatan diri yang sesuai dengan kecacatan
yang diderita atau sesuai dengan risiko kecacatan pada anggota tubuhnya.
Informasi diperkuat dengan memberikan contoh secara langsung,
memberikan paket lengkap alat dan perlengkapan perawatan diri untuk di
rumah, dan lembar balik tentang cara perawatan diri dan perlindungan diri.
Dengan demikian, penderita dapat melakukan perawatan diri secara
mandiri di rumah.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

111

c. Pembentukan Pengawas Cegah Cacat (PCC)


Membentuk Pengawas Cegah Cacat (PCC) dari pihak keluarga atau orang
terdekat dengan penderita yang bertugas membantu penderita untuk
mengenali faktor-faktor yang dapat menimbulkan kecacatan, tanda-tanda
dini reaksi/neuritis atau luka yang dapat menyebabkan kecacatan, dan
bentuk kecatatan yang dapat dialami penderita serta cara-cara perawatan
diri yang dapat dilakukan oleh penderita untuk mencegah hilangnya fungsi
anggota tubuh atau mengembalikan sebanyak mungkin fungsi anggota
tubuh. Sebaiknya Pengawas Cegah Cacat (PCC) ikut ke pelayanan
kesehatan saat penderita akan dinyatakan selesai pengobatan (RFT) dan
mendapatkan informasi langsung dari petugas kusta puskesmas. Pengawas
Cegah Cacat (PCC) tidak hanya berfungsi mengingatkan namun juga
memberikan motivasi bagi penderita.
d. Informasi Kontak Pertolongan Pencegahan Cacat
Memberikan informasi kepada penderita yang akan selesai pengobatan
(RFT) mengenai siapa yang harus dihubungi dan kemana mereka harus
datang apabila terdapat masalah terkait kecacatan yang tidak dapat mereka
tangani sendiri. Perlu adanya klinik-klinik khusus untuk perawatan luka
ataupun kecacatan yang menjadi bidang dari bagian keperawatan. Klinik
tidak hanya dapat menangani perawatan pada penderita kusta namun juga
dapat diintegrasikan untuk penanganan kasus kecelakaan umum,
kecelakaan akibat kerja, perawatan luka pada penderita diabetes, dan kasus
lain yang memerlukan perawatan secara intensif. Klinik sejenis ini telah
ada di wilayah pulau bali.
e. Pemantauan Terintegrasi
Petugas dapat juga memantau kondisi penderita yang telah selesai
pengobatan secara umum pada saat melakukan survei kontak untuk
mencari kasus baru. Integrasi kegiatan pemantauan dengan kegiatan
pencarian kasus baru dapat meminimalkan biaya pemantauan terhadap
penderita yang telah selesai pengobatan yang dapat digunakan untuk
kepentingan program.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

112

6.5 Biaya
Berdasarkan gambaran biaya yang dikeluarkan oleh kedua metode
pada tabel 5.16 pada Bab 5, biaya yang dikeluarkan oleh metode pengamatan
semi aktif relatif lebih besar dibandingkan biaya yang dikeluarkan oleh
metode pengamatan pasif. Komponen biaya yang paling besar adalah biaya
pemakaian obat (Rp 87.372.305,00) pada pengamatan semi aktif. Besarnya
biaya diakibatkan karena penderita pada pengamatan semi aktif lebih aktif
datang ke puskesmas untuk memeriksakan diri dan mendapatkan obat.
Apabila obat yang harus diminum telah habis, penderita akan kembali ke
puskesmas untuk memeriksakan diri dan mendapatkan obat jika masih
dibutuhkan.
Biaya yang paling besar setelah biaya pemakaian obat adalah biaya
monitoring dan evaluasi kegiatan dinas kesehatan provinsi pada pengamatan
semi aktif (Rp 83.223.750,00). Hal ini disebabkan karena pengamatan semi
aktif masih merupakan suatu uji coba sehingga kegiatannya masih dipantau
oleh dinas kesehatan provinsi.
Besarnya biaya pada kedua komponen tersebut mempengaruhi
besarnya biaya yang dibutuhkan dalam pengendalian kecacatan pada
penderita kusta yang telah selesai pengobatan. Perlu dilakukan analisis
sensitivitas untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya apabila kedua
biaya tersebut dapat ditekan atau dihilangkan. Biaya obat pada pengamatan
semi aktif dapat diturunkan dengan memberikan jumlah obat dan jenis obat
sesuai kebutuhan penderita. Sedangkan biaya monitoring dan evaluasi
kegiatan dinas kesehatan provinsi pada pengamatan semi aktif dapat
dihilangkan apabila metode pengamatan semi aktif bukan merupakan suatu
uji coba sehingga hanya dinas kesehatan kabupaten yang bertanggung jawab
atas monitoring dan evaluasi terhadap pelaksanaan metode ini. Namun,
walaupun pada penelitian ini tidak dilakukan analisis sensitivitas dan jumlah
biaya seperti yang dipaparkan pada tabel 5.16, metode pengamatan semi aktif
masih dinyatakan memiliki efektivitas biaya tinggi yang dibahas lebih lanjut
pada sub bab 5.7.
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

113

6.6 Efektivitas Biaya dalam Pengendalian Tingkat Cacat


Tingginya efektivitas biaya pada metode pengamatan semi aktif
terhadap pengamatan pasif menunjukkan bahwa efektivitas pada metode
pengamatan semi aktif sepadan dengan biaya yang dikeluarkan peda metode
tersebut dibandingkan dengan pengamatan pasif. Pengamatan semi aktif
meningkatkan pengetahuan, mendorong timbulnya perilaku perawatan diri,
dan meningkatkan pencegahan cacat pada penderita kusta yang telah selesai
pengobatan. Penderita lebih aktif datang ke puskesmas dan aktif melakukan
perawatan diri.
Keaktifan penderita pada pengamatan semi aktif menyebabkan
tingginya biaya operasional (Rp 117.897.262,86) hingga mencapai 58 kali
lipat dibandingkan biaya operasional pada pengamatan pasif. Selain itu,
keaktifan penderita datang ke puskesmas menyebabkan biaya transpor yang
dikeluarkan penderita pada pengamatan semi aktif secara kumulatif (Rp
1.635.000,00) tiga kali lebih besar dibandingkan biaya transpor penderita
pada pengamatan pasif (Rp 500.000,00). Keaktifan penderita dalam merawat
tubuhnya menyebabkan biaya untuk membeli alat dan bahan perawatan dan
perlindungan diri (Rp 945.000,00) hampir tiga kali lebih besar dibandingkan
biaya transpor penderita pada pengamatan pasif (Rp 367.000,00). Namun
besarnya biaya tersebut tidak menyebabkan metode pengamatan semi aktif
menjadi tidak efektif biaya. Rasio efektivitas biaya yang dihasilkan
(Rp 16.527.926) kurang dari 1 kali GDP per capita (US$ 3,495)sehingga
metode pengamatan semi aktif lebih efektif biaya dibandingkan metode
pengamatan pasif untuk mengendalikan tingkat cacat pada seorang penderita
yang telah selesai pengobatan di kabupaten Pasuruan.
6.7 Keterbatasan Penelitian
Pada penelitian ini dilakukan pengambilan data primer dan sekunder.
Pada pengambilan data primer terdapat keterbatasan dalam merekam data
biaya yang dikeluarkan oleh penderita. Peneliti mengandalkan ingatan
penderita terhadap aktivitas penderita terkait pengendalian tingkat cacat
dalam 2-3 tahun sebelum pengambilan data sehingga ada kemungkinan
Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

114

kesalahan nominal biaya atau biaya yang dicatat tidak lengkap. Selain itu,
biaya pembangunan gedung pada penelitian ini tidak diketahui nilai pada saat
gedung tersebut dibangun karena keterbatasan dokumen pendukung sehingga
nilai yang diambil adalah nilai saat ini tanpa penyusutan.
Sampel pada penelitian tidak sesuai dengan yang diperkirakan
sebelumnya karena pada saat pengambilan data, ditemukan adanya responden
yang pindah tempat tinggal dan sudah meninggal.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan
1. Metode pengamatan semi aktif adalah intervensi yang efektif biaya tinggi
dibandingkan pengamatan pasif dalam mengendalikan tingkat cacat pada
penderita kusta yang telah selesai pengobatan dengan rasio efektivitas
biaya kurang dari satu kali GDP per capita yaitu sebesar Rp. 16.527.926.
2. Faktor yang berhubungan dengan pengendalian tingkat cacat penderita
yang telah selesai pengobatan adalah metode pengamatan, pencegahan
cacat, dan perawatan diri.
3. Faktor yang paling mempengaruhi pengendalian tingkat cacat pada
penderita yang telah selesai pengobatan adalah perawatan diri. Penderita
yang tidak melakukan perawatan diri memiliki peluang 39 kali untuk tidak
dapat dikendalikan tingkat cacatnya dibandingkan dengan penderita yang
melakukan perawatan diri.
4. Metode pengamatan berhubungan dengan pengetahuan, pencegahan cacat,
dan perawatan diri.
7.2 Saran
7.2.1 Program
1. Metode pengamatan semi aktif direkomendasikan sebagai metode untuk
mengendalikan tingkat cacat penderita yang telah selesai pengobatan
karena terbukti sebagai intervensi dengan efektif biaya tinggi
dibandingkan dengan metode pengamatan pasif.
2. Program harus melakukan analisis dampak anggaran (Budget Impact
Analysis) apabila metode pengamatan semi aktif akan diterapkan di
seluruh Indonesia.

115

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

116

3. Perlu dilakukan suatu inovasi yang efektif biaya untuk mendorong


perilaku perawatan diri pada penderita yang telah selesai pengobatan agar
dapat mengendalikan tingkat cacat yaitu Upaya Perawatan Berbasis
Masyarakat (UPBM). Upaya ini meliputi pemberian informasi risiko
kecacatan dengan alat bantu poster, pemberian informasi cara perawatan
diri dengan alat bantu lembar balik, pemberian paket perlengkapan untuk
perawatan diri, pembentukan Pengawas Cegah Cacat (PCC) dari pihak
keluarga atau orang terdekat, pemberian informasi kontak klinik khusus
perawatan yang dapat memberikan pertolongan pencegahan cacat saat
penderita tidak mampu menangani, dan pemantauan terintegrasi.

7.2.2 Penelitian Selanjutnya


1. Penelitian selanjutnya diharapkan juga meneliti tentang faktor jenis
kelamin, pekerjaan, serta motivasi keluarga sebagai faktor yang
berhubungan dengan pengendalian tingkat cacat pada penderita kusta
yang telah selesai pengobatan.
2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengendalian tingkat
cacat pada penderita yang telah selesai pengobatan dengan desain kohort
dengan Randomized Clinical Trial (RCT) agar dapat mengontrol faktorfaktor yang berhubungan dengan kecacatan dan lebih mudah merekam
biaya yang dikeluarkan oleh program dan terutama oleh penderita untuk
menghindari recall bias.
3. Melakukan analisis sensitivitas terhadap biaya yang tidak berhubungan
secara langsung atau yang dapat dihemat dalam penerapan metode
pengamatan semi aktif.

Universitas Indonesia

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

117

DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaludin. (1987). Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta : Pusat


Penelitian Kependudukan UGM.
Amirudin, MD, Hakim, Zainal, dan Darwis, Emil. (2003). Diagnosis Penyakit Kusta.
Dalam E.S.S. Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi Kedua, hal. 12-32,). Jakarta : FKUI.
Arianto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi
VI. Dalam Universitas Bakti Indonesia Banyuwangi. KTI Tingkat Pengetahuan
Remaja Putri dalam Menggunakan Cairan Pembersih Genetalia di SMA Negeri 1
Glenmore Kecamatan Glenmore Kabupaten Banyuwangi. 12 Desember 2011.
http://bejocommunity.blogspot.com/2010/05/kti-tingkat-pengetahuan-remaja-putri.html

BPS Provinsi Jawa Timur. (2012). Statistik Daerah Provinsi Jawa Timur 2012. 5 Mei
2012. http://jatim.bps.go.id/e-pub/2012/statda2012/index.html
Brent, Robert J. (2003). Cost-Benefit Analysis and Health Care Evaluations.
Massachusetts : Edward Elgar Publishing Limited.
Chin, James. (2009). Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta : CV.
Infomedika.
Coons, Stephen Joel, dan Kaplan, Robert M. (2005). Cost-Utility Analysis. Dalam J.L
Bootman, R.J. Townsend, dan W.F. McGhan (Ed). Principles of
Pharmacoeconomics (3rd ed, pp. 117-148). Cincinnati : Harvey Whitney Books
Company.
Courtright, P. (2002, September). Eye disease in multibacillary leprosy patients at the
time of their leprosy diagnosis: findings from the Longitudinal Study of Ocular
Leprosy (LOSOL) in India, the Philippines and Ethiopia. Leprosy Review, 73 (3),
225-238.
Depdikbud RI. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Depkes RI. (1984). Petunjuk Kusta untuk Petugas Balai Pengobatan Umum dan Pusat
Kesehatan Masyarakat. Jakarta : Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (1993). Buku Pedoman Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Depkes RI. (2005). Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

118

Depkes RI. (2007). Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta :
Departemen Kesehatan RI.
Dinas Kesehatan Pasuruan. (2011, Mei) Pilot Project Semi Active Surveilance (SAS)
Kabupaten
Pasuruan.
16
November
2011.
http://dinkes.pasuruankab.go.id/media.php?module=detailberita&id=45
Drummond, F.M., et al. (2005). Methods for the Economic Evaluation of Health Care
Programmes (3rd Edition). New York : Oxford University Press.
Garber, A.M, et al. (1996). Theoretical Foundations of Cost-Effectiveness Analysis.
Dalam Marthe R. Gold, et al (Ed). Cost-Effectiveness in Health and Medicine (pp.
25-50). New York : Oxford University Press.
Gebre, Alemu, dan Saunderson, Paul. (2001). Comparative Value of Active and Passive
Surveillance Over Time in Treated Leprosy Patients, in The prevention of Further
Disability.
Leprosy
Review,
72,
221-223.
12
Desember
2011.
http://www.leprahealthinaction.org/ir/june01/lep221_223.pdf.
Gold, M.R., et al. (1996). Indentifying and Valuing Outcomes. Dalam Marthe R. Gold,
et al (Ed). Cost-Effectiveness in Health and Medicine (pp. 82-134). New York :
Oxford University Press.
Guoceng, Zhang, et al. (1993, June). An Epidemiological Survey of Deformities and
Disabilities among 14.257 Cases of Leprosy in 11 Countries. Leprosy Review, 64
(2), 143-149.
Hasibuan, Yamin. (2002, December). Problems Related to Physical Rehabilitation
Amongst PALS After Release From Treatment. International Journal of Leprosy ,
70 (4), 316A-317A.
ILEP.(2006). How to Prevent Disabilities in Leprosy. London : ILEP.
Jacobson, R.R. (1994). Treatment of Leprosy. Dalam Hastings, Robert C. Lerosy (2nd
ed, pp. 317-352). London : Churchil Livingstone.
Lockwood, Diana N.J. (2002, June). Chemotherapy. Leprosy Review, 73 (Supplement),
S27-S34.
Manjunath, R., et al. (2001, March). Modified Active Surveillance System(MASS); a
Novel Clinicopathological Evaluation of PB Leprosy Patients after RFT, in
Mangalore, India. Leprosy Review, 72 (1), 50-56.
Martodihardjo, Sunarko dan Susanto, R.S.D. (2003). Reaksi Kusta dan Penanganannya.
Dalam E.S.S.Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi kedua, hal.75-82). Jakarta : FKUI.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

119

McDougall, A.C. (1997, December). Recent Developments in The Chemotherapy of


Leprosy. Leprosy Review, 68 (4), 294-298.
McGuire, Alistair. (2001). Theoretical Concepts in The Economic Evaluation of Health
Care. Dalam M.F. Drummond dan A. McGuire (Ed). Economic Evaluation in
Health Care : Merging Theory with practice (pp. 1-21). New York : Oxford
University Press.
Ministry of Health Ethiopia. (1997, August). National Tuberculosis and Leprosy
Control Programme (First Edition). Ethiopia : Ministry of Health Ethiopia.
Moshioni, Cristiane, et.al. (2010, Jan/Feb). Risk factors for physical disability at
diagnosis of 19,283 new cases of leprosy. Revista da Sociedade Brasileira de
Medicina
Tropical
43
(1).
27
November
2011.
http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S003786822010000100005&script=sci_arttext
Muennig, Peter. (2002). Designing and Conducting Cost-Effectiveness Analysis in
Medicine and Health Care. San Fransisco : Jossey-Bass a Willey Company.
Pfaltzgraff, R.E. dan Ramu, Gopal. (1994). Clinical Leprosy. Dalam Robert C. Hastings
(Ed). Lerosy (2nd ed, pp. 237-290). London : Churchil Livingstone.
Pratiknya, A.W. (1996). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan
Kesehatan. Jakarta: Rajawali.
Pusat Pelatihan Kusta Nasional. (2010). Modul 5 : Pencatatan dan Pelaporan.
Makassar: Pusat Pelatihan Kusta Nasional.
Rodrigues, Laura C., dan Lockwood, Diana N. (2011, June). Leprosy Now :
Epidemiology, Progress, Challenges, and Research Gaps. The Lancet, 11, 464-470.
27 November 2011. http://www.thelancet.com/infection.
Russel, L.B., et al. (1996). Cost-Effectiveness Analysis as a Guide to Resource
Allocation in Health : Roles and Limitations. Dalam Marthe R. Gold, et al (Ed).
Cost-Effectiveness in Health and Medicine (pp. 3-24). New York : Oxford
University Press.
Smith, W.C.S. (1992, September). The Epidemiology of Disability in Leprosy Including
Risk Factors. Leprosy Review, 63 (Supplement 1), 23s-30s.
Soebono, Hardyanto dan Suhariyanto, Bambang. (2003). Pengobatan Penyakit Kusta
Dalam E.S.S. Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi Kedua, hal. 66-74,). Jakarta : FKUI.
Srinivasan, H. (1995, September). Deformities and Disabilities : Unfinished Agenda in
Leprosy Work. Leprosy Review, 66 (3), 193-200.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

120

Srinivasan, H. (1994). Disability, deformity, rehabilitation. Dalam Robert C. Hastings


(Ed). Lerosy (2nd ed, pp. 411-448). London : Churchil Livingstone.
Sukirno, S. (1988). Pengantar Teori Mikroekonomi Edisi Ketiga. Dalam Rifmi Utami,
dkk. Analisis Efektivitas Upaya Penderita Kusta Baru Secara Aktif dan Pasif
Menggunakan Metode Cost Effectiveness Analysis. Surabaya : Yayasan Sumber
Daya Manusia Bidang Kesehatan.
Susanto, Nugroho. (2006). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Tingkat Kecacatan
Penderita Kusta (Kajian di Kabupaten Sukoharjo). 27 November 2011. Universitas
Gajah Mada. http://nugrohosusantoborneo.files.wordpress.com/2010/02/150-nugrohosusanto-04-naspub.pdf.

Universitas Diponegoro. (2002). Faktor-faktor Risiko yang Berhubungan dengan


Kecacatan Penderita Kusta di Kabupaten Tegal. 4 Desember 2011.
http://eprints.undip.ac.id/14286/1/2002MIKM1809.pdf
Universitas Diponegoro. (2006). Faktor-faktor yang Berkaitan dengan Tingkat
Kecacatan Kusta di Kabupaten Brebes Tahun 2005. 27 November 2011.
http://eprints.undip.ac.id/4257/1/2873.pdf
Universitas Diponegoro. (2008). Faktor-faktor Risiko yang Berpengaruh terhadap
Terjadinya Reaksi Kusta (Studi di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Brebes).
27 November 2011. http://eprints.undip.ac.id/17745/2/PRAWOTO.pdf
Universitas Negeri Semarang. (2009). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Cacat Tingkat 2 (Studi Di Kampung Rehabilitasi Rumah Sakit Kusta Donorojo Jepara
tahun 2008). 27 November 2011. http://lib.unnes.ac.id/5561/1/4413A.pdf

Universitas Sumatera Utara. (2008). Pencegahan Kecacatan pada Tangan Penderita


Kusta.
29
Oktober
2011.
http://repository.usu.ac.id/bistream/123456789/3430/3/08E00072.pdf.txt
WHO.
(2005).
Cost-Effectiveness
Thresholds.
4
Januari
http://www.who.int/choice/costs/CER_thresholds/en/index.html

2013.

WHO. (2009). Enhanced Global Strategy for Futher Reducing the Disease Burden Due
to Leprosy. New Delhi : WHO
WHO (2011, 2 September). Weekly Epidemiological Record. 25 November 2011.
www.who.int/wer/2011/wer8636.pdf
Wisnu, I.M. dan Gudadi, (1997). Pencegahan Cacat Kusta. Dalam Adi Djuanda, dkk
(Ed). Kusta, Diagnosis, dan Penatalaksanaan. Jakarta : FKUI.
Wisnu, I.M. dan Hadilukito, Gudadi. (2003). Pencegahan Cacat Kusta. Dalam E.S.S.
Daili, dkk (Ed). Kusta (Edisi Kedua, hal. 83-93,). Jakarta : FKUI.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

121

Wonderling, David, Gruen, Reinhold, dan Black, Nick. (2005). Introduction to Health
Economics. England : Open University Press.
World Bank. (2011). GDP Per Capita (Current US$). 4 Januari 2013.
http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.PCAP.CD

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

122

Lampiran 1 : Kartu Penderita Kusta

KARTU PENDERITA
PROPINSI :
KABUPATEN/KOTA : ..
KECAMATAN : .

KLASIFIKASI
MB
PB

PUSKESMAS : .
TERDAFTAR TGL :
NOMOR TERDAFTAR :

MDT MULAI TGL. :


DINYATAKAN RFT TGL. :
MENINGGAL TGL. : .
DEFAULT TGL. : ..
DIPINDAHKAN TGL. :

KETERANGAN TENTANG SI SAKIT


NAMA : ..
JENIS KELAMIN : L / P
UMUR : .
TEMPAT LAHIR :
SUKU : .

ALAMAT :
.
(RT. ./RW.. )
DESA : .
KECAMATAN : ..
KABUPATEN/KOTA : ..
Pekerjaan : .

CARA PENEMUAN
PEMBERITAHUAN
SUKARELA
SURVAI KONTAK
SURVAI ANAK
SEKOLAH
CHASE SURVAI
SURVAI LAIN

KAMBUH
PINDAH DARI
LAIN-LAIN

RIWAYAT PENYAKIT
PERNAH BERGAUL DENGAN PENDERITA
: YA / TIDAK *)
SUDAH PERNAH BEROBAT SEBELUMNYA
: YA / TIDAK *)
BILA YA BERI KETERANGAN
: .
.
.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

123

KEADAAN SEKARANG (TGL 7/1/99


PEMERIKSAAN KULIT DAN URAT SYARAF
LUKISLAH KELAINAN-KELAINAN PADA GAMBAR TUBUH
DENGAN TANDA GAMBAR DI BAWAH INI

Di kerjakan oleh :
SIMBOL (TANDA GAMBAR) KELAINAN PADA KUSTA
1.

Hipopigmentasi

10.

Hidung plana

2.

Hipo/Anestesi (mati rasa)

11.

3.
tegas

Tanda 1 + 2 dengan batas tidak

4.

Tanda 1 + 2 dengan batas tegas

13.

Mutilasi (hilang sebagian)

5.

Infiltrat

14.

Ulkus

6.

Plaque (penebalan kulit yang lebar

15.

Drop (lunglai)

7.

Nodulus

16.

8.

Penebalan syaraf

17.

Eritema

9.

Madarosis (alis rontok)

18.

Lo

Lagopthalmos

12.

Kontraktur lemas
Kontraktur kaku

Ginekomasti

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

124

KEADAAN CACAT
WAKTU
PEMERIKSAA
N

TINGKAT CACAT (WHO : 0.1.2)


TANGGAL

MATA
ka

TANGAN

ki

ka

ki

KAKI
Ka

Nilai
Tertinggi

ki

Jumlah
Nilai

Pertama

RFT
PENGOBATAN MDT
PEMBERIAN OBAT TIAP BULAN
1
2
3
4
5
6
7

BULAN

10

11

12

TH.
TH. ..

TANGGAL

TH. .

N
o

Nama
Kontak

Penjelasan

U
m
u
r

PEMERIKSAAN KONTAK SERUMAH


L
2000
P

Tgl

Hasil

200
Tgl

Hasil

Pemeriksaan
200
200
Tgl

Hasil

Tgl

Hasil

Tulislah pada kolom hasil bila :


- Ternyata kusta dengan : PB atau MB.
- Suspek kusta dengan : S.
- Bukan kusta dengan : -

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

200
Tgl

Hasil

Keterangan

125

KONFIRMASI DIAGNOSIS OLEH :


Kepala Puskesmas/Wasor :
Tanggal/Bulan/Tahun :.. Tanda Tangan
:

Catatan :
TGL. .

Tahun .

TGL. .

Tahun .

TGL. .

Tahun .

TGL. .

Tahun .

TGL. .

Tahun .

TGL. .

Tahun .

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

126

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

127

Lampiran 3 : Form Evaluasi Pengobatan Reaksi Berat

Kesimpulan pemeriksaan:
1. Adakah bercak yang pecah / nodul
yang pecah ?
2. Adakah nyeri tekan pada saraf ?
3. Apakah kekuatan otot atau rasa raba
berkurang dalam waktu < dari 6 bulan
terakhir?
4. Apakah ada lagophthalmos yang baru
terjadi dalam waktu < dari 6 bulan
terakhir ?
5. Apakah ada bercak aktif di dekat saraf
tepi ?

Ya / tidak
Ya / tidak
Ya / tidak

Pemberian prednison : ( dosis tunggal)


- 40 mg selama 2 Minggu
- 30 mg selama 2 Minggu
- 20 mg selama 2 Minggu
- 15 mg selama 2 Minggu
- 10 mg selama 2 Minggu
5 mg selama 2 Minggu

Ya / tidak
Ya / tidak

Perawatan diri baru diberikan bila keadaan


penderita sudah membaik

FORM EVALUASI PENGOBATAN REAKSI BERAT


Petunjuk cara mengisi
Kolom 2
Kolom 3,9 10

: berapa mm celah
: (++) bila nyeri spontan atau
bila diraba sangat nyeri
(+) bila digulirkan nyeri
Kolom 7,8,12,13 : beri tanda X pada titik yang mati rasa

T
a
n
g
g
a
l

Tangan

Mata
Lagoph
thal
mos

Jari
5

Ibu
jari

per
gel

Ki

P
e
r
o
n
e
u
s

Kua

11

12

13

Ka
Ki

Kanan

Kiri

Ka
Ki

Kanan

Kiri

Ka
Ki

Ka
Ki

ulnar

Ke

Ka
Ki

Gangguan Rasa
Raba (titik)

Ka Ka
Ki Ki

Nyeri saraf
T
i
b
i
a
l
i
s
Pos
10

saraf

Kaki

Kekuatan Otot

Nyeri

Ka

Kolom 2 13 : hanya diisi kelainan yang ada


Kolom 4,5,6,11 : diisi K ( kuat ), S ( sedang )
L ( lumpuh )
Kolom 14 : diisi jenis obat, dosis & lama(hari) pemberian
Kolom 15 : diisi kelainan organ kulit yang ada

tan
otot

Gangguan Rasa
Raba (titik)

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Dosis
Obat
dan
lama
nya

Ket

14

15

128

T
a
n
g
g
a
l
1

Mata
Lagoph
thal
mos

Kaki
Tangan
Kekuatan Otot
Nyeri
saraf

Jari
5

Ibu
jar

per
gel

ulnar

Ka
Ki

Ka Ka
Ki Ki

Gangguan Rasa
Raba (titik)

Nyeri saraf

Ke

Per
one
us

Tib.
Pos

Kua
tan
otot

Gangguan Rasa
Raba (titik)

10

11

12

13

Ka
Ki

Ka
Ki

Kanan

Kiri

Ka
Ki

Ka
Ki

Ka
Ki

Kanan

Kiri

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Dosis
Obat
dan
lama
nya

Ket

14

15

129

Lampiran 4 : Kuesioner Puskesmas


Kuesioner Puskesmas
No :

Tanggal : ../.../

Pengisi Kuesioner :
I. Identitas Puskesmas
1. Puskesmas :
2. Alamat

3. No Telp

4. Lama berdiri : tahunbulan (sejak ../..)


5. Luas bangunan puskesmas : m2
6. Sumber air yang digunakan :
a. PAM
b. Sumur tanah

c. Mata Air
d. Lainnya, sebutkan

II. Ruang Pemeriksaan Penderita Kusta di Puskesmas


7. Saat penderita yang telah RFT datang ke puskesmas, di ruang manakah
penderita menemui petugas kusta?
a. Di ruang khusus pemeriksaan petugas kusta
b. Di tempat pemeriksaan yang menjadi satu dengan balai pengobatan
c. Lainnya, sebutkan
8. Berapa luas ruangan tersebut ?

m2

9. Apakah di ruangan tersebut terdapat :


No

Jenis Barang

Pilihan

Ukuran

Jumlah

Lama
Penggunaan

1)

Meja

a.Ya

b. Tidak

....x....x...

.. buah

. tahun

2)

Kursi

a.Ya

b. Tidak

.x....x...

.. buah

. tahun

3)

Lemari

a.Ya

b. Tidak

.x....x...

.. buah

. tahun

4)

Kipas Angin

a.Ya

b. Tidak

Besar/sedang/kecil

.. buah

. tahun

5)

Tempat Tidur

a.Ya

b. Tidak

....x....x...

.. buah

. tahun

6)

Gunting

a.Ya

b. Tidak

Besar/sedang/kecil

.. buah

. tahun

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

130

10. Apakah saat penderita kusta yang telah RFT menemui petugas kusta,
menggunakan barang habis pakai /jasa :
No

Nama Barang

Pilihan
a.Ya
b. Tidak

1)

Kertas/buku

2)

Administrasi

Rp ..

Bolpoin/Alat
tulis lain

a.Ya

b. Tidak

Administrasi

Rp ..

3)

Fotokopi/print

a.Ya

b. Tidak

Administrasi

Rp ..

4)

Perban/plester a.Ya
a.Ya
Kapas

b. Tidak

Tindakan

Rp ..

b. Tidak

Pemeriksaan

Rp ..

5)

Keterangan

Biaya per bulan

6)

Minyak
goreng

a.Ya

b. Tidak

Demo perawatan
diri

Rp ..

7)

Batu Apung

a.Ya

b. Tidak

Rp ..

8)

Ember/Bak

a.Ya

b. Tidak

Demo perawatan
diri
Demo perawatan
diri

Rp ..

III. Pembiayaan Puskesmas


11. Jumlah biaya untuk penggunaan listrik selama 1 bulan

Rp ...............

(Rata-rata tagihan bulanan listrik dalam 3 bulan terakhir)


12. Apakah dalam 3 tahun terakhir puskesmas mendapatkan dana operasional
khusus untuk penanganan penderita yang telah RFT dari :
No

Instansi

Pilihan

Jumlah Dana

Waktu
Penerimaan

1)

Dinas Kesehatan

a. Ya

b.Tidak

Rp

2)

BOK Puskesmas

a. Ya

b.Tidak

Rp

3)

Lainnya, sebutkan .

a. Ya

b.Tidak

Rp

4)

Lainnya, sebutkan..

a. Ya

b.Tidak

Rp

5)

Lainnya, sebutkan ..

a. Ya

b.Tidak

Rp

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

131

13. Apakah dalam 3 tahun terakhir terdapat dana operasional yang diterima
puskesmas yang dialokasikan untuk :
No

Instansi

Pilihan

Jumlah Dana

1)

Transpor mengunjungi rumah


penderita yang telah RFT

a. Ya

b.Tidak

Rp

2)

Transpor mengunjungi KPD dalam


pelayanan kepada penderita yang
telah RFT

a. Ya

b.Tidak

Rp

3)

Biaya menghubungi penderita yang


telah RFT yang belum datang ke
puskesmas

a. Ya

b.Tidak

Rp

4)

Biaya pembelian vitamin/obat untuk


penderita

a. Ya

b.Tidak

Rp

5)

Biaya pembelian alat perawatan diri


dan alat bantu untuk penderita

a. Ya

b.Tidak

Rp

6)

Membantu meningkatkan ekonomi


penderita

a. Ya

b.Tidak

Rp

7)

Lainnya, sebutkan ..

a. Ya

b.Tidak

Rp

8)

Lainnya, sebutkan ..

a. Ya

b.Tidak

Rp

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Sumber
Dana

132

Lampiran 5 : Kuesioner Petugas Puskesmas


Kuesioner Petugas Kusta Puskesmas
No :

Tanggal : ../.../

I. Identitas Tenaga Kesehatan


1.

Nama

: .....................................................................................................................

2.

No Telp/ HP

: ......................................................................................................................

3.

Umur

: ......................................................................................................................

4.

Jabatan

: ......................................................................................................................

(Jika petugas mengelola program kesehatan lebih dari 1, mohon ditulis dengan lengkap)
5.

Puskesmas

: ......................................................................................................................

6.

Lama bekerja di Puskesmas

: tahun bulan (sejak bulan tahun .. )

II. Pembiayaan Tenaga Kesehatan


7.

Sebagai seorang tenaga kesehatan di puskesmas, Saudara memiliki :


1) Jumlah gaji

: Rp . per bulan

2) Jumlah hari kerja

: . hari per minggu

3) Jumlah jam kerja

: Senin kamis = jam per hari


: Jumat

= jam per hari

: Sabtu

= jam per hari

4) Jumlah pasien umum yang ditangani sendiri

: ..... orang

per bulan
5) Jumlah penderita Kusta yang ditangani sendiri

: ..... orang

per bulan
6) Jumlah penderita kusta telah RFT yang ditangani sendiri

: ..... orang

per bulan
7) Waktu rata-rata untuk melayani 1 orang penderita kusta
yang telah RFT

: . jam / menit

8) Waktu untuk melayani penderita kusta yang RFT di luar


jam kerja puskesmas

: . jam

per bulan
9) Insentif yang diberikan untuk petugas dalam melayani
penderita kusta yang telah RFT

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

: Rp . per bulan

133

8.

Selain Saudara, tenaga kesehatan di wilayah kerja puskesmas yang rutin


membantu Saudara menangani penderita kusta yang telah RFT :

No

Jenis
Tenaga
Kesehatan

1)

a. Ya

b. Tidak orang

. jam

2)

Petugas
Puskesmas
Bidan Desa

Jumlah Jam
pelayanan penderita
kusta yang RFT
dalam 1 Minggu
. jam

a. Ya

b. Tidak

orang

. jam

. jam

3)

Kader

a. Ya

b. Tidak

orang

. jam

. jam

4)

Lainnya,

a. Ya

b. Tidak

orang

. jam

. jam

9.

Apakah Saudara pernah menghubungi penderita kusta yang telah RFT untuk

Pilihan

Jumlah Jam
Kerja dalam
1 Minggu

Jumlah

mengingatkan agar datang ke puskesmas?


a. Ya

b. Tidak

(Jika Jawaban Tidak, langsung ke pertanyaan no.11)


10. Bagaimana cara Saudara menghubungi penderita kusta yang telah RFT ?
No

Cara menghubungi

1)

Titip pesan kepada sanak


saudara atau tetangga penderita

b. Ya

Menghubungi via sms

b. Ya

2)

Pilihan
b. Tidak

Biaya
Rp ... per
bulan

b. Tidak

Rp ... per
bulan

3)

Menghubungi via telp

b. Ya

b. Tidak

Rp ... per
bulan

4)

Lainnya, Sebutkan .

b. Ya

b. Tidak

Rp ... per
bulan

11. Apakah Saudara pernah mengeluarkan dana pribadi untuk kegiatan pelayanan
penderita kusta yang telah RFT?
a. Ya

b. Tidak

(Jika Jawaban Tidak, langsung ke pertanyaan no.13 )

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

134

12. Dana pribadi tersebut apakah Saudara untuk kegiatan/kebutuhan apa saja ?
No
Cara menghubungi
1) Transpor mengunjungi penderita
yang telah RFT ke rumah

Pilihan
a. Ya b. Tidak

Biaya
Rp per bulan

2)

Transpor mengunjungi penderita


yang telah RFT ke KPD

a. Ya

b. Tidak

Rp per bulan

3)

Membeli vitamin/obat untuk


penderita

a. Ya

b. Tidak

Rp per bulan

4)

Membeli alat perawatan diri dan alat


bantu untuk penderita

a. Ya

b. Tidak

Rp per bulan

5)

Memberi bantuan ekonomi pada


penderita

a. Ya

b. Tidak

Rp per bulan

6)

Lainnya, Sebutkan .

a. Ya

b. Tidak

Rp per bulan

7)

Lainnya, Sebutkan .

a. Ya

b. Tidak

Rp per bulan

III. Proses Penderita setelah RFT yang berkunjung


13.

Saat penderita kusta yang telah RFT datang berkunjung ke puskesmas, apakah
penderita :
No

Kegiatan

1)

Melakukan pendaftaran

2)

Pilihan

Waktu
Ruangan Petugas yang
berlangsung / Tempat
bertugas

a. Ya

b. Tidak

. menit

Melakukan pembayaran
biaya administrasi awal

a. Ya

b. Tidak

. menit

3)

Melakukan pengambilan
Family folder (kartu riwayat
kesehatan keluarga)

a. Ya

b. Tidak

. menit

4)

Melakukan pengambilan
a. Ya
kartu penderita khusus kusta

b. Tidak

. menit

5)

Dilakukan anamnesa

a. Ya

b. Tidak

. menit

6)

Mendapat pemeriksaan
cardinal sign kusta

a. Ya

b. Tidak

. menit

7)

Medapat pemeriksaan
a. Ya
kecacatan, hasil perawatan
diri, dan pengisian form POD

b. Tidak

. menit

8)

Mendapat penjelasan tanda- a. Ya


tanda reaksi

b. Tidak

. menit

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

135

9)

Mendapat penjelasan
pentingnya perawatan diri

a. Ya

b. Tidak

. menit

10) Mendapat demo perawatan


diri

a. Ya

b. Tidak

. menit

11) Mendapat tindakan


perawatan luka akibat kusta
bagi penderita yang
memerlukan

a. Ya

b. Tidak

. menit

12) Melakukan pembayaran


biaya tindakan

a. Ya

b. Tidak

. menit

13) Mendapat alat perawatan diri a. Ya


yang sesuai dengan
kebutuhan penderita

b. Tidak

. menit

14) Mendapat penanganan


reaksi/ neuritis akibat kusta
dan mendapat resep obat

a. Ya

b. Tidak

. menit

15) Mendapatkan obat lamprene a. Ya


/vitamin/prednisone jika
dibutuhkan

b. Tidak

. menit

16) Melakukan pembayaran


biaya obat/vitamin

a. Ya

b. Tidak

. menit

17) Mendapat bantuan konseling a. Ya


psikologis

b. Tidak

. menit

18) Mendapat motivasi untuk


datang ke KPD

b. Tidak

. menit

a. Ya

IV. Proses petugas berkunjung ke rumah penderita yang telah RFT


14.

Apakah Saudara pernah mengunjungi penderita kusta yang telah RFT di:
No
1)

2)

Tempat

Pilihan

Waktu Kunjungan

Rumah
Penderita

a. Ya

a. Di dalam jam kerja

Kunjungan bersama
dengan Mitra Kerja
a. Ya, sebutkan.

b. Tidak

b. Di luar jam kerja

b. Tidak

KPD

a. Ya

a. Di dalam jam kerja

a. Ya, sebutkan.

b. Tidak

b. Di luar jam kerja

b. Tidak

15. Apa saja yang Saudara bawa jika akan mengunjungi penderita kusta yang telah
RFT ?
..................................................................................................................................................
..................................................................................................................................................
16. Berapa lama Saudara mempersiapkan barang barang tersebut ? .. menit

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

136

17. Saat Saudara mengunjungi rumah penderita yang telah RFT :


No

Tempat

Kendaraan
yang
Digunakan

Biaya
Transpor

Rata-rata Waktu
Tempuh Puskesmas
Rumah Penderita

1)

Rumah
Penderita

Rp

.menit

2)

KPD

Rp

.menit

18. Kegiatan apa saja yang dilakukan petugas kusta pada penderita yang telah RFT :
No

Kegiatan

Pilihan

Waktu
berlangsung

1)

Melakukan pengambilan Family folder (kartu riwayat


kesehatan keluarga)

a. Ya

b. Tidak

. menit

2)

Melakukan pengambilan kartu penderita khusus kusta

a. Ya

b. Tidak

. menit

3)

Dianamnesa

a. Ya

b. Tidak

. menit

4)

Mendapat pemeriksaan cardinal sign kusta

a. Ya

b. Tidak

. menit

5)

Medapat pemeriksaan kecacatan, hasil perawatan diri, a. Ya


dan pengisian form POD

b. Tidak

. menit

6)

Mendapat penjelasan tanda-tanda reaksi

a. Ya

b. Tidak

. menit

7)

Mendapat penjelasan pentingnya perawatan diri

a. Ya

b. Tidak

. menit

8)

Mendapat demo perawatan diri

a. Ya

b. Tidak

. menit

9)

Mendapat tindakan perawatan luka akibat kusta bagi


penderita yang memerlukan

a. Ya

b. Tidak

. menit

10) Melakukan pembayaran biaya tindakan

a. Ya

b. Tidak

. menit

11) Mendapat alat perawatan diri yang sesuai dengan


kebutuhan penderita

a. Ya

b. Tidak

. menit

12) Mendapat penanganan reaksi/ neuritis akibat kusta


dan mendapat resep obat

a. Ya

b. Tidak

. menit

13) Mendapatkan obat lamprene /vitamin/prednisone jika


dibutuhkan

a. Ya

b. Tidak

. menit

14) Melakukan pembayaran biaya obat/vitamin

a. Ya

b. Tidak

. menit

15) Mendapat bantuan konseling psikologis

a. Ya

b. Tidak

. menit

16) Mendapat motivasi untuk datang ke KPD

a. Ya

b. Tidak

. menit

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

137

Lampiran 6 : Kuesioner Penderita


Kuesioner Penderita
Pewawancara

:...............................

Puskesmas : ...............................

Kode Responden :...............................


I.

Tanggal

: ..............................

Identitas dan Karakteristik Responden


1. Nama

:...................................................

Jenis Kelamin : L / P

2. Umur

: ... tahun (lahir ./..../)

Tipe Kusta : PB/MB

3. Alamat

: .................................................

No Telp/HP : .............................

4. Pendidikan

a. Tidak sekolah

d. Tamat atau tidak tamat SMA/sederajat

b.Tamat atau tidak tamatSD/sederajat

e. Tamat atau tidak tamat akademi/PT/sederajat

c. Tamat atau tidak tamatSMP/sederajat


5. Jumlah penghasilan anggota keluargadalam 1 tahun :
No

Nama
Anggota
Keluarga

Hubungan
dengan
Responden

(a)

(b)

Bekerja
(c)

Penghasilan Tetap
Jumlah
(d)

Periode
(e)

Penghasilan Tambahan
Jumlah
(f)

Periode
(g)

1)

.......

... a. Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp Per ..

2)

.......

... a. Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp Per ..

3)

.......

... a. Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp Per ..

4)

.......

...

a. Ya b. Tidak Rp Per .. Rp Per ..

5)

.......

...

a.Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp Per ..
Rp Per .. Rp Per ..

6)

...

...

a.Ya b. Tidak

7)

...

...

a. Ya b. Tidak Rp Per .. Rp Per ..

8)

...

...

a.Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp Per ..

9)

...

...

a.Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp Per ..

...

a.Ya b. Tidak

Rp Per .. Rp .... Per ..

10) ...

Catatan :
- Pada kolom (a) ditulis nama anggota keluarga yang berada dalam satu rumah
- Pada kolom (b) diisi dengan pilihan : Istri/Suami, Anak, Orang Tua, Mertua, Kakak, Adik,
Ipar, Keponakan, Lainnya (sebutkan)
- Pada kolom (e) dan (g) diisi dengan pilihan : hari, minggu, bulan, atau tahun
- Kolom (f) untuk mencatat jumlah penghasilan di luar penghasilan tetap seperti :
tunjangan hari raya, insentif/ bonus dari tempat bekerja, hasil menyewakan rumah
/kendaraan/tanah, menerima bantuan atau sumbangan dari kerabat/orang lain

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

138

II. Pengetahuan Responden


6. Menurut Saudara, apakah penderita yang selesai pengobatan seperti Saudara
masih mendapat kemungkinan untuk menjadi cacat?
a. Ya

b. Tidak

7. Apa yang menyebabkan penderita kusta dapat menjadi cacat?


............................................................................................................................................
8. Apakah kecacatan akibat kusta dapat dicegah?
a. Ya

b. Tidak

9. Cara pencegahan apa saja yang dapat dilakukan agar seorang penderita kusta
tidak menjadi cacat ?
............................................................................................................................................
10. Menurut Saudara,apakahpenderita kusta yang telah selesai pengobatan perlu
menemui petugas kusta puskesmas ?
a. Ya, karena ..
b. Tidak
11. Menurut Saudara, apa yang harus dilakukan seorang penderita kusta jika
mengalami gejala reaksi seperti bercak/benjolan kecil pada kulit yang
memerah, bengkak, nyeri, panas, nyeri dangangguan fungsi pada saraf ?
............................................................................................................................................
III. Tindakan Pencegahan Cacat
12. Setelah selesai pengobatanpada bulan.tahun..., apakah Saudara pernah menemui
petugas kusta untuk memeriksakan diri terkait dengan penyakit kusta di :
No
Tempat
1) Puskesmas
2) KPD
3) Rumah (dikunjungi oleh
petugas)
4) Lainnya, sebutkan .

Pilihan
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak

Intensitas
..kali tiap bulan/tahun
..kali tiap bulan/tahun
..kali tiap bulan/tahun

a. Ya

..kali tiap bulan/tahun

b. Tidak

Jika jawaban responden pada no 1) - no 4) adalah Tidak, langsung ke


pertanyaan no.14
13. Kapan Terakhir kali Saudara menemui petugas kusta tersebut?
Bulan.. Tahun 20..

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

139

IV. Reaksi Kusta


14. Sejak Saudara selesai pengobatan MDT hingga saat ini,apakah Saudara pernah
mengalami gejala reaksi seperti bercak/ benjolan kecil pada kulit yang
memerah, bengkak, nyeri, panas, nyeri pada saraf, gangguan fungsi saraf, dan
demam ?
a. Ya

b. Tidak

Jika jawaban responden Tidak, langsung ke pertanyaan no.19


15. Berapa kali Saudara mengalami gejala tersebut? kali
16. Apa yang Saudara lakukan saat mengalami gejalatersebut ?
Tindakan

Pilihan

1) Dibiarkan saja
2) Istirahat/mengurangi kerja
3) Mengobatisendiri
4) Memeriksakan diri ke petugas
kusta dipuskesmas/KPD
5) Memeriksakan diri ke
pelayanan kesehatan lainnya
6) Lainnya, sebutkan .

a. Ya
a. Ya
a. Ya
a. Ya

b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak

.kali
.kali
.kali
.kali

Biaya
Transpor
Rp ...
Rp ...

a. Ya

b. Tidak

.kali

Rp ...

Rp ...

.kali

Rp ...

Rp ...

a. Ya

Intensitas

b. Tidak

Biaya
Obat/Vitamin
Rp ...
Rp ...

Jika responden hanyamelakukan tindakan no 1) dan 2), langsung ke pertanyaan no. 19


17. Selain biaya transpor dan biaya obat, apakah terdapat biaya lain yang Saudara
keluarkan?
a. Ya

b. Tidak

Jika jawaban responden Tidak, langsung ke pertanyaan no. 19


18. Apakah Saudara membayar :
No Jenis Biaya
1) Biaya Pendaftaran/Administrasi awal
2)
Biaya Tindakan :
-Tindakan
-Tindakan
3) Biaya lainnya, sebutkan ..
4) Biaya lainnya, sebutkan ..

Pilihan
a. Ya b. Tidak
a. Ya b. Tidak

a. Ya
a. Ya

b. Tidak
b. Tidak

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Jumlah Biaya
Rp .
Rp .
Rp .
Rp .
Rp .

140

V. Perawatan Diri
19. Sejak Saudara selesai pengobatan MDT hingga saat ini, apakah Saudara pernah
mengalami kecacatan/kelainan pada :
N Bagian
o Tubuh
(a)

Jenis Kelainan/
Kecacatan
Pilihan Waktu
(b)
(c)
(d)

1 Mata

Lagophthalmos a. Ya
(mata
tidak
dapat menutup b. Tdk
sempurna)

/20 a. Latihan menutup mata dan berpikir


(bulan kedip
yang
b. Membersihkan mata dengan kain basah
lalu)
c. Memeriksa mata dengan cermin /oleh
keluarga
d. Memeriksa ketajaman mata
e. Memberikan obat tetes mata
f. Menggunakan kain atau kipas untuk
mengusir lalat
g. Mengenakan kaca mata dan topi
h. Mengenakan tutup kepala atau kelambu
saat tidur
i. Tidak ada tindakan
j. Lainnya, sebutkan ..

Peradangan / a.
Ulserasi kornea a

/20 a.Y Memberi salep mata antibiotik dari


(bulan
puskesmas dan bebat mata
yang
b. Berobat ke dokter spesialis mata
lalu)
c. Tidak ada tindakan
d. Lainnya, sebutkan

b. Tdk

2 Tangan

Kulit pecah dan a.


kalus
a
b. Tdk

Luka
bakar a.
/Kulit melepuh
a
b. Tdk

Tindakan Perawatan Diri Kusta yang


Dilakukan
(e)

/20 a.YPeriksa pandang


(bulan b. Merendam, menggosok, mengoleskan
yang
minyak
lalu)
c. Mengeringkan dengan kain
d. Menggunakan bidai (spalk)
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan
/20
(bulan
yang
lalu)

a.YMembersihkan dengan sabun


b. Memberi obat dari puskesmas
c. Membalut dengan kain atau kasa
d. Memberi obat dari pelayanan kesehatan
lain
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan...

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Keterangan
(f)

Biaya
(g)

141

N Bagian
o Tubuh
(a)

Jenis Kelainan/
Kecacatan
(b)

2 Tangan

Luka terbuka a.
(ulkus)
a
b. Tdk

/20
(bulan
yang
lalu)

Lumpuh
lemah

/20 a.YMenjaga kulit (merendam, menggosok,


(bulan
mengoleskan minyak)
yang
b. Jari tangan dipijat agar tidak kaku
lalu)
c. Latihan meluruskan jari-jari yang mulai
bengkok
d. Latihan terhadap ibu jari yang lemah
e. Latihan meluruskan jari secara aktif
f. Latihan meluruskan jari secara pasif
yang sudah bengkok
g. Tidak ada tindakan
h. Lainnya, sebutkan.

3 Kaki

Pilihan Waktu
(c)
(d)

atau a.
a
b. Tdk

Tindakan Perawatan Diri Kusta yang


Dilakukan
(e)

a.Y Istirahat
b. Lindungi luka dengan pembalut/perban
c. Menjaga hygiene (kebersihan diri)
d. luka dibersihkan, jaringan yang mati
dikikis, dan perban diganti secara teratur
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan ..

Kulit pecah dan a.


kalus
a
b. Tdk

/20 a.YPeriksa pandang


(bulan b. Merendam, menggosok, mengoleskan
yang
minyak
lalu)
c. Mengeringkan dengan kain
d. Menggunakan bidai (spalk)
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan

Luka
bakar/ a.
Kulit melepuh
a
b. Tdk

/20
(bulan
yang
lalu)

a.Y Membersihkan dengan sabun


b. Memberi obat dari puskesmas
c. Membalut dengan kain atau kasa
d. Memberi obat dari pelayanan kesehatan
lain
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan...

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Keterangan
(f)

Biaya
(g)

142

N Bagian
o Tubuh
(a)

Jenis Kelainan/
Kecacatan
(b)

Tindakan Perawatan Diri Kusta yang


Dilakukan
(e)

3 Kaki

Luka terbuka a.
(ulkus)
a
b. Tdk

/20
(bulan
yang
lalu)

a.Y Istirahat
b. Lindungi luka dengan pembalut/perban
c. Menjaga hygiene (kebersihan diri)
d. luka dibersihkan, jaringan yang mati
dikikis, dan perban diganti secara teratur
e. Tidak ada tindakan
f. Lainnya, sebutkan ..

Kaki semper

/20
(bulan
yang
lalu)

a.Y Menjaga
kulit
(merendam,
menggosok, mengoleskan minyak)
b. Jari tangan dipijat agar tidak kaku dan
latihan terhadap ibu jari yang lemah
c. Latihan meluruskan jari-jari yang
mulai bengkok
e. Latihan meluruskan jari secara aktif
f. Latihan meluruskan jari secara pasif
yang sudah bengkok
g. Tidak ada tindakan
h. Lainnya, sebutkan.

Pilihan Waktu
(c)
(d)

a.
a
b. Tdk

Keterangan
(f)

Catatan :
- Lingkari jawaban Ya pada kolom (c) jika terjadi kelainan atau kecacatan sesuai dengan
kolom (b)
-

Pada kolom (d) ditulis bulan dan tahun kelainan/kecacatan tersebut terjadi

Lingkari jawaban yang sesuai pada kolom (e), jawaban boleh lebih dari satu

Pada kolom (f) dituliskan nama barang yang digunakan dalam perawatan diri tersebut
(minyak goreng/sayur/kelapa, batu apung, ember, perban, plester, kacamata, kain bersih, alat
bantu lainnya), nama obat yang digunakan, atau nama dari jenis pelayanan/jasa lain yang
digunakan untuk membantu responden dalam melakukan tindakan perawatan diri tersebut

Pada kolom (g) dituliskan jumlah biaya yang dikeluarkan oleh penderita untuk membeli
barang/obat/jasa serta biaya transpor untuk pembelian obat atau bahan tersebut (sesuai
dengan kolom (f)).

20. Apakah Saudara pernah mendapat bantuan alat bantu dan alat perawatan diri
kusta ?
a. Ya

b. Tidak

Jika jawaban responden Tidak, langsung ke pertanyaan no.22

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Biaya
(g)

143

21. Bantuan alat bantu dan alat perawatan diri kusta apa yang Saudara terima :
N
Bentuk Bantuan
Pilihan
Jumlah
o
1) Minyak goreng
a. Ya b. Tidak
. buah
2) Batu Apung
a. Ya b. Tidak
. buah
3) Ember
a. Ya b. Tidak
. buah
4) Lainnya, sebutkan ..
a. Ya b. Tidak
. buah
5) Lainnya, sebutkan ..
a. Ya b. Tidak
. buah

Pihak yang
Memberi

Catatan : pada kolom pihak yang memberi dapat diisi dengan Petugas kusta,
Puskesmas, KPD, Dinas Kesehatan, Pemerintah Daerah, LSM, Lainnya (sebutkan)

22. Apakah Saudara pernah mendapatkan bantuan ekonomi ?


a. Ya
b. Tidak
Jika jawaban responden Tidak, langsung ke pertanyaan no 24
23. Bantuan ekonomi apa yang Saudara terima :
N
o
1)
2)
3)
4)

Bentuk Bantuan

Pilihan

Uang
Sembako
Pinjaman dana usaha
Lainnya, sebutkan ..

a. Ya
a. Ya
a. Ya
a. Ya

Jumlah dalam
rupiah
Rp .
Rp .
Rp .
Rp .

b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak
b. Tidak

Pihak yang
Memberi

Catatan : pada kolom pihak yang memberi dapat diisi dengan Petugas kusta,
Puskesmas, KPD, Dinas Kesehatan, Pemerintah Daerah, LSM, Lainnya (sebutkan)

24. Jumlah pengeluaran keluarga dalam 1 tahun terakhir :


No

Pengeluaran Keluarga

Jumlah Pengeluaran

Periode

1)

Belanja bahan makanan

Rp ..

Per .

2)

Membeli makanan dan minuman jadi

Rp ..

Per .

3)

Membeli rokok, sirih

Rp ..

Per .

4)

Membeli pakaian, sepatu/sandal, topi, aksesoris, kosmetik

Rp ..

Per .

5)

Membeli perabot rumah tangga (TV,kulkas, kipas angin,

Rp ..

Per .

Rp ..

Per .

lemari, radio, HP, komputer, meja, kursi, dll)


6)

Membayar biaya pendidikan (iuran/sumbangan sekolah,


kursus, ekstra kurikuler, alat tulis dan buku pelajaran,
uang ujian)

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

144

No

Pengeluaran Keluarga

Jumlah Pengeluaran

Periode

Rp ..

Per .

Rp ..

Per .

9) Membeli minyak tanah, gas, bensin/solar, bahan bakar lain

Rp ..

Per .

10) Membeli barang berharga (perhiasan, surat berharga)

Rp ..

Per .

11) menabung

Rp ..

Per .

12) Memberikan sumbangan/bantuan, hibah, hadiah

Rp ..

Per .

13) Membayar sewa rumah, tanah, properti lain, kendaraan

Rp ..

Per .

14) Membeli rumah, tanah, properti lain, kendaraan

Rp ..

Per .

15) Membayar biaya listrik, air, telp rumah, pulsa HP

Rp ..

Per .

16) hari raya, upacara adat, naik haji)

Rp ..

Per .

17) Biaya lain, sebutkan

Rp ..

Per .

7)

Biaya Kesehatan (membeli obat/vitamin, membayar jasa


dokter/tenaga kesehatan/dukun, persalinan, imunisasi,

8)

KB)

Membayar pajak, iuran warga, premi asuransi, arisan,

Membiayai pesta atau upacara dari salah satu anggota


keluarga (perkawinan, khitanan, ulang tahun, perayaan

Biaya lain, sebutkan

Catatan :
-

Pada kolom periode diisi dengan pilihan : hari, minggu, bulan, atau tahun

Uang saku anak termasuk dalam poin membeli makanan dan minuman jadi

VI. Nilai Kecacatan


25. Jika Saudara tidak keberatan, kami akan melakukan pemeriksaan kondisi fisik Saudara
Tabel Penilaian Kondisi Kecacatan
TINGKAT CACAT (WHO : 0.1.2)
Waktu

Tanggal

Pemeriksaan

MATA
Kanan

RFT

. /.20

Saat
Pengabilan
Data

. /.20

TANGAN
Kiri

Kanan

Kiri

KAKI
Kanan

Kiri

Catatan :
-

pengisian kondisi kecacatan saat RFT diambil dari data kartu penderita

hasil penilaian kondisi kecacatan diisikan pada baris saat pengambilan data

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Nilai

Jumlah

Tertinggi

Nilai

145

Lampiran 7 : Hasil Analisis Bivariat


Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan tingkat
cacat yang dapat dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

15-Oct-2012 16:28:15

Comments
Input

Data

H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil


Olahan\Data Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data

86

File
Missing Value Handling

Definition of Missing

User-defined missing values are treated


as missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all


the cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.031

Elapsed Time

00:00:00.016

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

146

[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * tingkat cacat responden

86

100.0%

.0%

86

100.0%

dapat dikendalikan

Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * tingkat cacat responden dapat dikendalikan
Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
Kelompok

kelompok SAS

Count

pemantauan

% within Kelompok

terhadap penderita

pemantauan terhadap

yang telah RFT

penderita yang telah RFT


Kelompok PS

Count

Tidak

Total

42

43

97.7%

2.3%

100.0%

35

43

81.4%

18.6%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT
Total

Count
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

147

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.014

4.468

.035

6.835

.009

6.081
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.030

Linear-by-Linear Association

6.010

N of Valid Cases

.014

86

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for Kelompok


pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT

9.600

1.145

80.517

1.200

1.033

1.394

.125

.016

.957

(kelompok SAS / Kelompok


PS)
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan
= Ya
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan
= Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.015

148

Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan


pengetahuan

Crosstabs
Notes
Output Created

11-Nov-2012 16:26:07

Comments
Input

Data

H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil


Olahan\Data Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY Tk_pnget
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.016

Elapsed Time

00:00:00.045

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

149

[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * tingkat pengetahuan

86

responden tentang penyakit

100.0%

.0%

86

100.0%

kusta terhadap kecacatan dan


faktor risiko

Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * tingkat pengetahuan responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan faktor risiko Crosstabulation
tingkat pengetahuan responden
tentang penyakit kusta terhadap
kecacatan dan faktor risiko
tinggi
Kelompok

kelompok SAS

Count

pemantauan

% within Kelompok pemantauan

terhadap

terhadap penderita yang telah

penderita

RFT

yang telah
RFT

Kelompok PS

Count

rendah

Total

35

43

81.4%

18.6%

100.0%

23

20

43

53.5%

46.5%

100.0%

58

28

86

67.4%

32.6%

100.0%

% within Kelompok pemantauan


terhadap penderita yang telah
RFT

Total

Count
% within Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

150

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.006

6.408

.011

7.814

.005

7.626
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.011

Linear-by-Linear Association

7.537

N of Valid Cases

.006

86

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,00.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for Kelompok


pemantauan terhadap penderita
yang telah RFT (kelompok SAS

3.804

1.436

10.078

1.522

1.113

2.081

.400

.198

.808

/ Kelompok PS)
For cohort tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan
faktor risiko = tinggi
For cohort tingkat pengetahuan
responden tentang penyakit
kusta terhadap kecacatan dan
faktor risiko = rendah
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.005

151

Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan


pencegahan cacat

Crosstabs
Notes
Output Created

12-Jan-2013 13:53:11

Comments
Input

Data

E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY Cgh_cct
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.031

Elapsed Time

00:00:00.031

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

152

[DataSet1] E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * perilaku pencegahan
cacat yang dilakukan responden

86

100.0%

.0%

86

100.0%

sejak setelah RFT hingga saat


pengambilan data

Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * perilaku pencegahan cacat yang dilakukan
responden sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data Crosstabulation
perilaku pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
Ya
Kelompok pemantauan

kelompok SAS

Count

terhadap penderita yang

% within Kelompok

telah RFT

pemantauan terhadap

Tidak

Total

41

43

95.3%

4.7%

100.0%

41

43

4.7%

95.3%

100.0%

43

43

86

50.0%

50.0%

100.0%

penderita yang telah RFT


Kelompok PS

Count
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT

Total

Count
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

153

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.000

67.163

.000

86.866

.000

70.744
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.000

Linear-by-Linear Association

69.922

N of Valid Cases

.000

86

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for Kelompok


pemantauan terhadap penderita
yang telah RFT (kelompok SAS

420.250

56.467

3127.686

20.500

5.288

79.466

.049

.013

.189

/ Kelompok PS)
For cohort perilaku pencegahan
cacat yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Ya
For cohort perilaku pencegahan
cacat yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.000

154

Hubungan antara metode pengamatan setelah selesai pengobatan kusta dengan


perawatan diri

Crosstabs
Notes
Output Created

12-Jan-2013 13:55:59

Comments
Input

Data

E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Kelp BY Rwt_diri
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

155

[DataSet1] E:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

Kelompok pemantauan
terhadap penderita yang telah
RFT * perilaku perawatan diri
yang dilakukan responden sejak

86

100.0%

.0%

86

100.0%

setelah RFT hingga saat


pengambilan data

Kelompok pemantauan terhadap penderita yang telah RFT * perilaku perawatan diri yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data Crosstabulation
perilaku perawatan diri yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data
Ya
Kelompok pemantauan

kelompok SAS

Count

terhadap penderita yang

% within Kelompok

telah RFT

pemantauan terhadap

Tidak

Total

42

43

97.7%

2.3%

100.0%

23

20

43

53.5%

46.5%

100.0%

65

21

86

75.6%

24.4%

100.0%

penderita yang telah RFT


Kelompok PS

Count
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT

Total

Count
% within Kelompok
pemantauan terhadap
penderita yang telah RFT

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

156

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

df
a

.000

20.413

.000

26.707

.000

22.744
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.000

Linear-by-Linear Association

22.480

N of Valid Cases

.000

86

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for Kelompok


pemantauan terhadap penderita
yang telah RFT (kelompok SAS

36.522

4.601

289.926

1.826

1.377

2.422

.050

.007

.356

/ Kelompok PS)
For cohort perilaku perawatan
diri yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Ya
For cohort perilaku perawatan
diri yang dilakukan responden
sejak setelah RFT hingga saat
pengambilan data = Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.000

157

Hubungan antara Umur dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

11-Nov-2012 17:33:55

Comments
Input

Data

H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil


Olahan\Data Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Umur_olh BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.032

Elapsed Time

00:00:00.017

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

158

[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

kelompok Umur responden saat


RFT * tingkat cacat responden

86

100.0%

.0%

86

100.0%

dapat dikendalikan

kelompok Umur responden saat RFT * tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
kelompok Umur

<15

Count

responden saat

% within kelompok Umur

RFT

responden saat RFT


>=15

Count
% within kelompok Umur
responden saat RFT

Total

Count
% within kelompok Umur
responden saat RFT

Tidak

Total

100.0%

.0%

100.0%

74

83

89.2%

10.8%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

159

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

df
a

.547

.000

1.000

.676

.411

.363
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

1.000

Linear-by-Linear Association

.359

N of Valid Cases

.549

86

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,31.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

For cohort tingkat cacat


responden dapat dikendalikan =

1.122

1.041

1.209

Ya
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.715

160

Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

11-Nov-2012 17:40:13

Comments
Input

Data

H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil


Olahan\Data Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Tk_didik BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.031

Elapsed Time

00:00:00.014

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

161

[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

tingkat pendidikan * tingkat


cacat responden dapat

86

100.0%

.0%

86

100.0%

dikendalikan

tingkat pendidikan * tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation


tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
tingkat pendidikan

tinggi

Count
% within tingkat pendidikan

rendah

Count
% within tingkat pendidikan

Total

Count
% within tingkat pendidikan

Tidak

Total

18

20

90.0%

10.0%

100.0%

59

66

89.4%

10.6%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.938

.000

1.000

.006

.938

.006
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

1.000

Linear-by-Linear Association
b

N of Valid Cases

.006

.939

86

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,09.
b. Computed only for a 2x2 table

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.652

162

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value
Odds Ratio for tingkat
pendidikan (tinggi / rendah)

Lower

Upper

1.068

.203

5.603

1.007

.851

1.191

.943

.213

4.182

For cohort tingkat cacat


responden dapat dikendalikan =
Ya
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

163

Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

17-Dec-2012 22:17:48

Comments
Input

Data

F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Tk_pnget BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.063

Elapsed Time

00:00:00.046

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

164

[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

tingkat pengetahuan responden


tentang penyakit kusta terhadap
kecacatan dan faktor risiko *

86

100.0%

.0%

86

100.0%

tingkat cacat responden dapat


dikendalikan

tingkat pengetahuan responden tentang penyakit kusta terhadap kecacatan dan faktor risiko * tingkat cacat
responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
tingkat pengetahuan

tinggi

Tidak

Count

responden tentang penyakit

% within tingkat

kusta terhadap kecacatan

pengetahuan responden

dan faktor risiko

tentang penyakit kusta

Total

50

58

86.2%

13.8%

100.0%

27

28

96.4%

3.6%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

terhadap kecacatan dan


faktor risiko
rendah

Count
% within tingkat
pengetahuan responden
tentang penyakit kusta
terhadap kecacatan dan
faktor risiko

Total

Count
% within tingkat
pengetahuan responden
tentang penyakit kusta
terhadap kecacatan dan
faktor risiko

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

165

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.147

1.156

.282

2.485

.115

2.106
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.260

Linear-by-Linear Association

2.081

N of Valid Cases

.149

86

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,93.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for tingkat


pengetahuan responden tentang
penyakit kusta terhadap

.231

.027

1.950

.894

.789

1.013

3.862

.508

29.387

kecacatan dan faktor risiko


(tinggi / rendah)
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.140

166

Hubungan antara Tingkat Pengetahuan dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

17-Dec-2012 22:20:40

Comments
Input

Data

F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Tk_keluar BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

Dimensions Requested

Cells Available

174762

[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Percent

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Total
N

Percent

167

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

Tingkat pengeluaran rumah


tangga responden * tingkat

86

cacat responden dapat

100.0%

.0%

86

100.0%

dikendalikan

Tingkat pengeluaran rumah tangga responden * tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
Tingkat pengeluaran rumah

tinggi

Count

tangga responden

% within Tingkat pengeluaran


rumah tangga responden
rendah

rumah tangga responden

100.0%

.0%

100.0%

70

79

88.6%

11.4%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

Count
% within Tingkat pengeluaran
rumah tangga responden

Total

Count
% within Tingkat pengeluaran

Total

Tidak

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.345

.090

.764

1.618

.203

.891
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

1.000

Linear-by-Linear Association
b

N of Valid Cases

.880

.348

86

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,73.
b. Computed only for a 2x2 table

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.448

168

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

For cohort tingkat cacat


responden dapat dikendalikan =

1.129

1.043

1.221

Ya
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

169

Hubungan antara Tipe Kusta dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

11-Nov-2012 17:43:26

Comments
Input

Data

H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil


Olahan\Data Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Tipe_kus BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.032

Elapsed Time

00:00:00.015

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

170

[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

Tipe kusta berdasarkan program


yang diderita responden saat
menerima pengobatan * tingkat

86

100.0%

.0%

86

100.0%

cacat responden dapat


dikendalikan

Tipe kusta berdasarkan program yang diderita responden saat menerima pengobatan * tingkat cacat
responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
Tipe kusta berdasarkan PB
program yang diderita

Tidak

Count

Total

100.0%

.0%

100.0%

75

84

89.3%

10.7%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

% within Tipe kusta

responden saat

berdasarkan program yang

menerima pengobatan

diderita responden saat


menerima pengobatan
MB

Count
% within Tipe kusta
berdasarkan program yang
diderita responden saat
menerima pengobatan

Total

Count
% within Tipe kusta
berdasarkan program yang
diderita responden saat
menerima pengobatan

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

171

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

df
a

.625

.000

1.000

.448

.503

.239
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

1.000

Linear-by-Linear Association

.237

N of Valid Cases

.627

86

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,21.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

For cohort tingkat cacat


responden dapat dikendalikan =

1.120

1.040

1.206

Ya
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.801

172

Hubungan antara Riwayat Reaksi dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

11-Nov-2012 17:48:52

Comments
Input

Data

H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil


Olahan\Data Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Reaksi BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

173

[DataSet1] H:\Edit 7 Mei 2012 revisi ok\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

kejadian reaksi dari responden


yang pernah dialami sejak
setelah RFT hingga saat

86

pengambilan data * tingkat

100.0%

.0%

86

100.0%

cacat responden dapat


dikendalikan

kejadian reaksi dari responden yang pernah dialami sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
kejadian reaksi dari

Tidak

responden yang pernah

Tidak

Count

Total

56

64

87.5%

12.5%

100.0%

21

22

95.5%

4.5%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

% within kejadian reaksi dari

dialami sejak setelah

responden yang pernah

RFT hingga saat

dialami sejak setelah RFT

pengambilan data

hingga saat pengambilan data


Ya

Count
% within kejadian reaksi dari
responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data

Total

Count
% within kejadian reaksi dari
responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT
hingga saat pengambilan data

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

174

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.293

.420

.517

1.289

.256

1.106
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.437

Linear-by-Linear Association

1.093

N of Valid Cases

.296

86

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,30.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for kejadian reaksi


dari responden yang pernah
dialami sejak setelah RFT

.333

.039

2.829

.917

.805

1.044

2.750

.364

20.764

hingga saat pengambilan data


(Tidak / Ya)
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.272

175

Hubungan antara Pencegahan Cacat dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

17-Dec-2012 22:25:45

Comments
Input

Data

F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Cgh_cct BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

176

[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

perilaku pencegahan cacat yang


dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat

86

pengambilan data * tingkat

100.0%

.0%

86

100.0%

cacat responden dapat


dikendalikan

perilaku pencegahan cacat yang dilakukan responden sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data *
tingkat cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
perilaku pencegahan cacat

Ya

Count

yang dilakukan responden

% within perilaku

sejak setelah RFT hingga

pencegahan cacat yang

saat pengambilan data

dilakukan responden sejak

Tidak

Total

42

43

97.7%

2.3%

100.0%

35

43

81.4%

18.6%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

setelah RFT hingga saat


pengambilan data
Tidak

Count
% within perilaku
pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data

Total

Count
% within perilaku
pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat
pengambilan data

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

177

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction
Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

df
a

.014

4.468

.035

6.835

.009

6.081
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.030

Linear-by-Linear Association

6.010

N of Valid Cases

.014

86

a. 2 cells (50,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,50.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for perilaku


pencegahan cacat yang
dilakukan responden sejak

9.600

1.145

80.517

1.200

1.033

1.394

.125

.016

.957

setelah RFT hingga saat


pengambilan data (Ya / Tidak)
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.015

178

Hubungan antara Perawatan Diri dengan Tingkat Cacat yang Dapat Dikendalikan

Crosstabs
Notes
Output Created

17-Dec-2012 22:23:58

Comments
Input

Data

F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing.

Cases Used

Statistics for each table are based on all the


cases with valid data in the specified
range(s) for all variables in each table.

Syntax

CROSSTABS
/TABLES=Rwt_diri BY kndl_TkC
/FORMAT=AVALUE TABLES
/STATISTICS=CHISQ RISK
/CELLS=COUNT ROW
/COUNT ROUND CELL.

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

Dimensions Requested
Cells Available

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

2
174762

179

[DataSet1] F:\Pengolahan Data\Hasil Olahan\Data Penderita.sav


Case Processing Summary
Cases
Valid
N

Missing
Percent

Total

Percent

Percent

perilaku perawatan diri yang


dilakukan responden sejak
setelah RFT hingga saat

86

pengambilan data * tingkat

100.0%

.0%

86

100.0%

cacat responden dapat


dikendalikan

perilaku perawatan diri yang dilakukan responden sejak setelah RFT hingga saat pengambilan data * tingkat
cacat responden dapat dikendalikan Crosstabulation
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Ya
perilaku perawatan diri yang Ya

Count

dilakukan responden sejak

% within perilaku perawatan

setelah RFT hingga saat

diri yang dilakukan

pengambilan data

responden sejak setelah

Tidak

Total

64

65

98.5%

1.5%

100.0%

13

21

61.9%

38.1%

100.0%

77

86

89.5%

10.5%

100.0%

RFT hingga saat


pengambilan data
Tidak

Count
% within perilaku perawatan
diri yang dilakukan
responden sejak setelah
RFT hingga saat
pengambilan data

Total

Count
% within perilaku perawatan
diri yang dilakukan
responden sejak setelah
RFT hingga saat
pengambilan data

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

180

Chi-Square Tests

Value
Pearson Chi-Square
Continuity Correction

df

Likelihood Ratio

Exact Sig. (2-

Exact Sig. (1-

sided)

sided)

sided)

.000

18.904

.000

19.408

.000

22.638
b

Asymp. Sig. (2-

Fisher's Exact Test

.000

Linear-by-Linear Association

22.375

N of Valid Cases

.000

86

a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2,20.
b. Computed only for a 2x2 table

Risk Estimate
95% Confidence Interval
Value

Lower

Upper

Odds Ratio for perilaku


perawatan diri yang dilakukan
responden sejak setelah RFT

39.385

4.530

342.424

1.591

1.136

2.228

.040

.005

.304

hingga saat pengambilan data


(Ya / Tidak)
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Ya
For cohort tingkat cacat
responden dapat dikendalikan =
Tidak
N of Valid Cases

86

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.000

181

Lampiran 8 : Hasil Analisis Multivariat

Logistic Regression
Notes
Output Created

21-Dec-2012 11:01:40

Comments
Input

Data

F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing

Syntax

LOGISTIC REGRESSION VARIABLES


kndl_TkC
/METHOD=ENTER Cgh_cct Rwt_diri
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10)
ITERATE(20) CUT(0.5).

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

[DataSet1] F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


a

Unweighted Cases
Selected Cases

N
Included in Analysis
Missing Cases
Total

Unselected Cases
Total

Percent
86

100.0

.0

86

100.0

.0

86

100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

182

Dependent Variable
Encoding
Original
Value

Internal Value

Ya

Tidak

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square
Step 1

df

Sig.

Step

19.410

.000

Block

19.410

.000

Model

19.410

.000

Model Summary

Step

Cox & Snell R

Nagelkerke R

Square

Square

-2 Log likelihood

38.242

.202

.414

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter


estimates changed by less than ,001.

Classification Table

Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Observed
Step 1

Ya

tingkat cacat responden

Ya

dapat dikendalikan

Tidak

Percentage
Tidak

Correct

77

100.0

.0

Overall Percentage
a. The cut value is ,500

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

89.5

183

Variables in the Equation


95,0% C.I.for EXP(B)
B
Step 1

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Lower

Upper

Cgh_cct

.060

1.490

.002

.968

1.062

.057

19.704

Rwt_diri

3.638

1.407

6.685

.010

38.005

2.411

598.993

Constant

-4.181

1.147

13.289

.000

.015

a. Variable(s) entered on step 1: Cgh_cct, Rwt_diri.

Block 0: Beginning Block


Classification Table

a,b

Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Observed
Step 0

Percentage

Ya

Tidak

tingkat cacat responden dapat Ya


dikendalikan

Correct

77

100.0

.0

Tidak

Overall Percentage

89.5

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation


B
Step 0

Constant

-2.147

S.E.

Wald
.352

df

Sig.

37.130

Exp(B)
.000

Variables not in the Equation


Score
Step 0

Variables

df

Sig.

Cgh_cct

6.081

.014

Rwt_diri

22.638

.000

22.638

.000

Overall Statistics

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.117

184

Analisis :
Variables in the Equation
95,0% C.I.for EXP(B)
B
Step 1

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Lower

Upper

Cgh_cct

.060

1.490

.002

.968

1.062

.057

19.704

Rwt_diri

3.638

1.407

6.685

.010

38.005

2.411

598.993

Constant

-4.181

1.147

13.289

.000

.015

a. Variable(s) entered on step 1: Cgh_cct, Rwt_diri.

Berdasarkan tabel akan dikeluarkan variabel yang nilai p value > 0,25 sehingga variabel
cegah cacat akan dikeluarkan terlebih dahulu.
Tabel Perubahan OR :

Variabel

OR awal

Cgh cct

1,062

Rwt diri

38,005

OR

Perubahan OR

Setelah variabel cegah cacat dikeluarkan :

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

185

Logistic Regression
Notes
Output Created

21-Dec-2012 11:23:16

Comments
Input

Data

F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data


Penderita.sav

Active Dataset

DataSet1

Filter

<none>

Weight

<none>

Split File

<none>

N of Rows in Working Data File


Missing Value Handling

Definition of Missing

86
User-defined missing values are treated as
missing

Syntax

LOGISTIC REGRESSION VARIABLES


kndl_TkC
/METHOD=ENTER Rwt_diri
/PRINT=CI(95)
/CRITERIA=PIN(0.05) POUT(0.10)
ITERATE(20) CUT(0.5).

Resources

Processor Time

00:00:00.000

Elapsed Time

00:00:00.000

[DataSet1] F:\Lembar Tesis Lengkap\Data Olah\Data Penderita.sav

Case Processing Summary


a

Unweighted Cases
Selected Cases

N
Included in Analysis
Missing Cases
Total

Unselected Cases
Total

Percent
86

100.0

.0

86

100.0

.0

86

100.0

a. If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

186

Dependent Variable
Encoding
Original
Value

Internal Value

Ya

Tidak

Block 1: Method = Enter


Omnibus Tests of Model Coefficients
Chi-square
Step 1

df

Sig.

Step

19.408

.000

Block

19.408

.000

Model

19.408

.000

Model Summary

Step

-2 Log likelihood

38.244

Cox & Snell R

Nagelkerke R

Square

Square

.202

.414

a. Estimation terminated at iteration number 7 because parameter


estimates changed by less than ,001.

Classification Table

Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Observed
Step 1

Ya

tingkat cacat responden dapat Ya


dikendalikan

Percentage
Tidak

Correct

77

100.0

.0

Tidak

Overall Percentage
a. The cut value is ,500

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

89.5

187

Variables in the Equation


95,0% C.I.for EXP(B)
B
Step 1

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Rwt_diri

3.673

1.103

11.083

.001

39.385

Constant

-4.159

1.008

17.030

.000

.016

Lower

Upper

4.530

342.424

a. Variable(s) entered on step 1: Rwt_diri.

Block 0: Beginning Block


Classification Table

a,b

Predicted
tingkat cacat responden dapat
dikendalikan
Observed
Step 0

Ya

tingkat cacat responden

Ya

dapat dikendalikan

Tidak

Percentage
Tidak

Correct

77

100.0

.0

Overall Percentage

89.5

a. Constant is included in the model.


b. The cut value is ,500

Variables in the Equation


B
Step 0

Constant

-2.147

S.E.

Wald
.352

df

Sig.

37.130

Exp(B)
.000

Variables not in the Equation


Score
Step 0

Variables

Rwt_diri

Overall Statistics

df

Sig.

22.638

.000

22.638

.000

Analisis :

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

.117

188

Variables in the Equation


95,0% C.I.for EXP(B)
B
Step 1

S.E.

Wald

df

Sig.

Exp(B)

Rwt_diri

3.673

1.103

11.083

.001

39.385

Constant

-4.159

1.008

17.030

.000

.016

Lower
4.530

a. Variable(s) entered on step 1: Rwt_diri.

Setelah variabel cgh cct dikeluarkan, perubahan OR :

Variabel

OR saat Cegah
Cacat ada

OR saat Cegah
Cacat tdk ada

Cgh cct

1,032

Rwt diri

37,956

39,385

Perubahan OR

3,7 %

Setelah variabel cgh cct dikeluarkan, terlihat bahwa tidak ada perubahan OR > 10 % sehingga
variabel cgh cct tersebut dikeluarkan.
Tidak ada variabel confounding dan sepenuhnya variabel perawatan diri yang mempengaruhi
pengendalian terhadap cacat.

Analisis efektivitas..., Medita Ervianti, FKM UI, 2013

Upper
342.424

Anda mungkin juga menyukai

  • Sap Fix
    Sap Fix
    Dokumen26 halaman
    Sap Fix
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Chapter I PDF
    Chapter I PDF
    Dokumen12 halaman
    Chapter I PDF
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Lepra
    Lepra
    Dokumen52 halaman
    Lepra
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Chapter I PDF
    Chapter I PDF
    Dokumen12 halaman
    Chapter I PDF
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • OSTEOSARKOMA
    OSTEOSARKOMA
    Dokumen46 halaman
    OSTEOSARKOMA
    Sathias Sundari
    Belum ada peringkat
  • KANKER PANKREAS
    KANKER PANKREAS
    Dokumen32 halaman
    KANKER PANKREAS
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • JUDUL
    JUDUL
    Dokumen104 halaman
    JUDUL
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Adl 1 PDF
    Adl 1 PDF
    Dokumen216 halaman
    Adl 1 PDF
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Makalah Komunitas
    Makalah Komunitas
    Dokumen51 halaman
    Makalah Komunitas
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • PENTINGNYA Organisasi
    PENTINGNYA Organisasi
    Dokumen3 halaman
    PENTINGNYA Organisasi
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Cardio New
    Cardio New
    Dokumen25 halaman
    Cardio New
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • Anatomi Sistem Pencernaan2
    Anatomi Sistem Pencernaan2
    Dokumen9 halaman
    Anatomi Sistem Pencernaan2
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat
  • PENTINGNYA Organisasi
    PENTINGNYA Organisasi
    Dokumen3 halaman
    PENTINGNYA Organisasi
    Gilank Ramadhan
    Belum ada peringkat