Anda di halaman 1dari 7

2. Perbedaan Demensia, Delirium dan Depresi berdasarkan Patofisiologi dan Gejala Klinis ?

a. Demensia
1. Definisi
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang dapat
mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita demensia seringkali menunjukkan
beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian (behavioral symptom)
yang mengganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu (non-disruptive) (Volicer, L.,
Hurley, A.C., Mahoney, E. 1998).
Demensia adalah satu penyakit yang melibatkan sel-sel otak yang mati secar
abnormal.Hanya satu terminologi yang digunakan untuk menerangkan penyakit otak
degeneratif yang progresif. Daya ingatan, pemikiran, tingkah laku dan emosi terjejas
bila mengalami demensia. Penyakit ini boleh dialami oleh semua orang dari berbagai
latarbelakang pendidikan mahupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat sebarang
rawatan untuk demensia, namun rawatan untuk menangani gejala-gejala boleh
diperolehi.
Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya berkembang
secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian dan kemampuan
untuk

memusatkan

perhatian,

dan

bisa

terjadi

kemunduran

kepribadian.
Pada usia muda, demensia bisa terjadi secara mendadak jika cedera hebat,
penyakit atau zat-zat racun (misalnya karbon monoksida) menyebabkan hancurnya
sel-sel otak.
Tetapi demensia biasanya timbul secara perlahan dan menyerang usia diatas 60
tahun. Namun demensia bukan merupakan bagian dari proses penuaan yang normal.
Sejalan dengan bertambahnya umur, maka perubahan di dalam otak bisa
menyebabkan hilangnya beberapa ingatan (terutama ingatan jangka pendek) dan
penurunan

beberapa

kemampuan

belajar.

Perubahan

normal

ini

tidak

mempengaruhi fungsi.
2. Patofisiologi
3. Gejala Klinis
Ada dua tipe demensia yang paling banyak ditemukan, yaitu tipe Alzheimer
dan
Vaskuler.
1. Demensia Alzheimer

Gejala klinis demensia Alzheimer merupakan kumpulan gejala


demensia akibat gangguan neuro degenaratif (penuaan saraf) yang
berlangsung

progresif

lambat,

dimana

akibat

proses

degenaratif

menyebabkan kematian sel-sel otak yang massif. Kematian sel-sel otak ini
baru menimbulkan gejala klinis dalam kurun waktu 30 tahun. Awalnya
ditemukan gejala mudah lupa (forgetfulness) yang menyebabkan penderita
tidak mampu menyebut kata yang benar, berlanjut dengan kesulitan
mengenal benda dan akhirnya tidak mampu menggunakan barang-barang
sekalipun yang termudah. Hal ini disebabkan adanya gangguan kognitif
sehingga timbul gejala neuropsikiatrik seperti, Wahan (curiga, sampai
menuduh ada yang mencuri barangnya), halusinasi pendengaran atau
penglihatan, agitasi (gelisah, mengacau), depresi, gangguan tidur, nafsu
makan dan gangguan aktifitas psikomotor, berkelana.
Stadium demensia Alzheimer terbagi atas 3 stadium, yaitu :
Stadium I Berlangsung 2-4 tahun disebut stadium amnestik dengan gejala
gangguan memori, berhitung dan aktifitas spontan menurun. Fungsi
memori yang terganggu adalah memori baru atau lupa hal baru yang
dialami.
Stadium II Berlangsung selama 2-10 tahun, dan disebutr stadium demensia.
Gejalanya antara lain, Disorientasi gangguan bahasa (afasia) penderita
mudah bingung penurunan fungsi memori lebih berat sehingga penderita
tak dapat melakukan kegiatan sampai selesai, tidak mengenal anggota
keluarganya tidak ingat sudah melakukan suatu tindakan sehingga
mengulanginya lagi. Dan ada gangguan visuospasial, menyebabkan
penderita mudah tersesat di lingkungannya, depresi berat prevalensinya 1520%,.
Stadium III Stadium ini dicapai setelah penyakit berlangsung 6-12 tahun.
Gejala klinisnya antara lain: Penderita menjadi vegetatif tidak bergerak dan
membisu daya intelektual serta memori memburuk sehingga tidak
mengenal keluarganya sendiri tidak bisa mengendalikan buang air besar/
kecil

kegiatan

sehari-hari

membutuhkan

kematian terjadi akibat infeksi atau trauma


2. Demensia Vaskuler

bantuan

ornag

lain

Untuk gejala klinis demensia tipe Vaskuler, disebabkan oleh


gangguan sirkulasi darah di otak. Dan setiap penyebab atau faktor resiko
stroke dapat berakibat terjadinya demensia,. Depresi bisa disebabkan
karena lesi tertentu di otak akibat gangguan sirkulasi darah otak, sehingga
depresi itu dapat didiuga sebagai demensia vaskuler. Gejala depresi lebih
sering dijumpai pada demensia vaskuler daripada Alzheimer. Hal ini
disebabkan karena kemampuan penilaian terhadap diri sendiri dan respos
emosi tetap stabil pada demensia vaskuler.
b. Delirium
1. Definisi
Delirium adalah suatu sindrom mental organik akut dengan gejala utama
adanya penurunan kesadaran (kesadaran berkabut/clouding of conciousness) yang
disertai dengan gangguan atensi, persepsi, orientasi, proses pikir, daya ingat
(memori), perilaku psikomotor (agitasi) dan siklus tidur.
Sindrom ini juga dikenali oleh nama-nama lain seperti acute confusional
state, acute brain syndrome, metabolic encephalopathy, toxic psychosis, cerebral
insufisiency syndrome dan acute brain failure.
2. Patofisologi
3. Gejala Klinis
Gangguan kesadaran adalah pusat keadaan klinis keadaaan delirium.
Kesulitan dalam bergerak, memfokuskan diri dan menjaga perhatian terhadap
stimulus lingkungan di mata pada pasien delirium. Semua komponen perhatian
kritis diubah : kewaspadaan, kesiapan merespon stimulus, fokus dan selektifitas.
Perubahan tersebut dideskripsikan sebagai kesadaran yang berkabut. Individu
yang mengalami delirium memperlihatkan ledakan stimulus yang datang dimana
dia tidak mampu mengatur input yang datang secara selektif. Pemeriksaan secara
luas sepertinya terhalang oleh pasien yang tidak dapat memelihara hubungan erat
yang bermakna dengan dokternya. Pasien delirium tampak seperti tidak mengalir
atau seperti menyerap dan merespon hanya sepotong-sepotong dari suatu dialog.
Gangguan kognisi merupakan bagian dari delirium. Pasien delirium sering
mengalami gangguan daya ingat. Manifestasinya yaitu kesulitan dalam menerima,
menahan, dan mengulang informasi, dengan usaha yang dibuat untuk menunjukkan
defisit ini selama evaluasi. Teknik-teknik termasuk di dalamnya yaitu meminta
pasien untuk mengulang tiga kata yang tidak berhubungan dan mengulang kembali
beberapa menit kemudian; seri aritmatika, seperti pengurangan angka-angka;
pengulangan angka (berpikirlah untuk mengulang nomor telepon) dan mengeja

lima kata secara terbalik. Ingatan jangka panjang sering relatif utuh (diluar dugaan
pemeriksa). Pasien setelah itu dapat mengulang kembali sedikit dan sepotong
pengalaman selama delirium. Disorientasi waktu juga biasa terjadi, disorientasi
tempat tidak begitu sering, dan disorientasi diri sendiri jarang terjadi- pertanyaan
mengenai orientasi merupakan bagian penting dalam pemeriksaan klinis.
Kegagalan berbahasa dapat terlihat menonjol namun lebih sering merupakan
penemuan yang sulit. Kemampuan untuk menilai dan menyelesaikan masalah
mengalami penurunan secara dramatis. Tipe lain dari disfungsi kognitif-sebagai
contoh, kegagalan dalam merencanakan dan memutuskan

tugas-tugas yang

abstrak/kompleks atau disfungsi eksekutif, apraksia atau kesulitan untuk tugas


motorik yang kompleks atau ketidakmampuan untuk mengenali suatu objek
meskipun fungsi sensoriknya utuh atau agnosia- dapat ditemukan dalam
pemeriksaan, akan tetapi tidak perlu atau merupakan aspek karakteristik yang biasa
pada delirium.
Abnormalitas persepsi merupakan aspek psikiatri yang paling benar pada
delirium. Hal ini meliputi kesalahan interpretasi, ilusi dan halusinasi. Pengalaman
pasien merupakan oneiroid atau memiliki kesan seperti mimpi. Mungkin
penurunan kesadaran digambarkan sebagai akibat dari perjuangan untuk menerima
atau mendapatkan kembali kepuasan dari suatu situasi. Kesalahan yang tidak
familiar untuk sesuatu yang umum merupakan bentuk dari misinterpretasi. Selama
pemeriksaan atau ketika pelayanan disampaikan, keanehan tampak seperti
ketidakkenalan kepada anggota keluarga dan rumah sakit sebagai rumahnya.
Kesalahan persepsi yang mengubah ketidaktahuan menjadi suatu yang familiar
tampaknya menyesuaikan. Kekurang nyamanan merupakan kecenderungan untuk
merasa sesuatu menjadi terlalu besar, terlalu kecil, bergerak-gerak atau mengalir
bersama. Pasien juga cenderung salah membaca atau salah mengenal objek: titik
untuk serangga, lipatan sprei unntuk ular, atau tempat tidur untuk senapan.
Meskipun ilusi tersebut merupakan visual yang khas, namun hal-hal tersebut dapat
melibatkan berbagai macam indera. Halusinasi merupakan persepsi sensoris yang
salah. Halusinasi visual terjadi hampir di semua delirium. Halusinasi auditori dan
taktil lebih jarang terjadi. Yang terpenting, halusinasi bukan merupakan
diagnostik atau patognomonik untuk delirium. Ditambah lagi hal-hal tersebut dapat
membedakan antara delirium dan demensia meskipun gangguan kognitif ini lebih
tampak seperti berhubungan dengan halusinasi visual dari pada skizofrenia atau

gangguan afektif psikotik (mood) yang mana mungkin lebih berhubungan dengan
halusinasi auditori. Pasien cenderung untuk mempercayai bahwa halusinasi
tersebut adalah nyata. Waham yang biasa melibatkan perasaan menyiksa, kadang
tampak

didorong

oleh

pengalaman

halusinasi.

Sebagaimana

mekanisme waham bersifal sementara yang tidak begitu kompleks dalam delirium,
berkebalikan dengan kasus yang sering diamati ketika memeriksa pasien dengan
skizofrenia atau gangguan afektif psikotik. Tanpa melihat hal tersebut, gejalagejala psikotik yang sedang mengganggu pasien dan dapat menimbulkan
komplikasi perawatan.
Onset cepat (jam sampai hari) dan perjalanan penyakit yang fluktuatif
merupakan aspek penting dalam mekanisme delirium yang berasal dari gangguan
psikiatrik

lainnya,

terutama

demensia. Terjadinya delirium yang

akut sangat

membantu dalam membedakan delirium dari demensia, terutama ketika gejala


yang kompleks tumpang tindih dengandemensia, karena demensia merupakan
penyakit kronis. Perjalanan penyakit yang fluktuatif sedikit membantu paaien
dengan

delirium

dan

demensia serta dapat

memburuk

pada

malamhari

(sundouning). Perjalanan penyakit yang fluktuatif lebih membantu dalam


membedakan delirium dari skizofrenia dan gangguan afektif karena gangguan
tersebut relatif stabil. Terutama dengan memperhatikan gejala intrinsik delirium
(kesadaran, kognisi, persepsi). Perjalanan yang fluktuatif dapat memicu delirium
ke arah perbaikan.
c. Depresi
1. Definisi
Depresi merupakan satu masa terganggunya fungsi manusia yang berkaitan
dengan alam perasaan yang sedih dan gejala penyertanya, termasuk perubaha pada
pola tidur dan nafsu makan, psikomotor, konsentrasi, anhedonia, kelelahan, rasa
putus asa dan tidak berdaya, serta bunuh diri (Kaplan, 2010).
2. Patofisiologi
Timbulnya depresi dihubungkan dengan peran beberapa neurotransmiter
aminergik. Neurotransmiter yang paling banyak diteliti ialah serotonin. Konduksi
impuls dapat terganggu apabila terjadi kelebihan atau kekurangan neurotransmiter
di celah sinaps atau adanya gangguan sensitivitas pada reseptor neurotransmiter
tersebut di post sinaps sistem saraf pusat.

Beberapa peneliti menemukan bahwa selain serotonin terdapat pula sejumlah


neurotransmiter lain yang berperan pada timbulnya depresi yaitu norepinefrin,
asetilkolin dan dopamin. Sehingga depresi terjadi jika terdapat defisiensi relatif
satu atau beberapa neurotransmiter aminergik pada sinaps neuron di otak, terutama
pada sistem limbik. Oleh karena itu teori biokimia depresi dapat diterangkan
sebagai berikut :
1. Menurunnya pelepasan dan transport serotonin atau menurunnya kemampuan
neurotransmisi serotogenik.
2. Menurunnya pelepasan atau produksi epinefrin, terganggunya regulasi
aktivitas norepinefrin dan meningkatnya aktivitas alfa 2 adrenoreseptor
presinaptik.
3. Menurunnya aktivitas dopamin.
4. Meningkatnya aktivitas asetilkolin.
Teori yang klasik tentang patofisiologi depresi ialah menurunnya
neurotransmisi akibat kekurangan neurotransmitter di celah sinaps. Ini didukung
oleh bukti-bukti klinis yang menunjukkan adanya perbaikan depresi pada
pemberian obat-obat golongan SSRI (Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor) dan
trisiklik yang menghambat re-uptake dari neurotransmiter atau pemberian obat
MAOI (Mono Amine Oxidasi Inhibitor) yang menghambat katabolisme
neurotransmiter oleh enzim monoamin oksidase.
Belakangan ini dikemukakan juga hipotesis lain mengenai depresi yang
menyebutkan bahwa terjadinya depresi disebabkan karena adanya aktivitas
neurotransmisi serotogenik yang berlebihan dan bukan hanya kekurangan atau
kelebihan serotonin semata. Neurotransmisi yang berlebih ini mengakibatkan
gangguan pada sistem serotonergik, jadi depresi timbul karena dijumpai gangguan
pada sistem serotogenik yang tidak stabil. Hipotesis yang belakangan ini
dibuktikan dengan pemberian anti depresan golongan SSRE (Selective Serotonin
Re-uptake Enhancer) yang justru mempercepat re-uptake serotonin dan bukan
menghambat. Dengan demikian maka turn over dari serotonin menjadi lebih cepat
dan sistem neurotransmisi menjadi lebih stabil yang pada gilirannya memperbaiki
gejala-gejala depresi.
3. Gejala Klinis

Depresi pada lansia adalah proses patoligis, bukan merupakan proses normal dalam
kehidupan. Umumnya orang-orang akan menanggulanginya dengan mencari dan
memenuhi rasa kebahagiaan. Bagaimanapun, lansia cenderung menyangkal bahwa
dirinya mengalami depresi. Gejala umumnya, banyak diantara mereka muncul
dengan menunjukkan sikap rendah diri, dan biasanya sulit untuk didiagnosa
(Evans, 2000).
Perubahan Fisik

Penurunan nafsu makan.


Gangguan tidur.
Kelelahan dan kurang energy
Agitasi.
Nyeri, sakit kepala, otot keran dan nyeri, tanpa penyebab fisik.
Merasa bingung, lambat dalam berfikir, penurunan konsentrasi dan sulit

mengungat informasi.
Sulit membuat keputusan dan selalu menghindar.
Kurang percaya diri.
Merasa bersalah dan tidak mau dikritik.
Pada kasus berat sering dijumpai adanya halusinasi ataupun delusi.
Adanya pikiran untuk bunuh diri.

Perubahan Perasaan

Penurunan ketertarikan ddengan lawan jenis dan melakukan hubungan

suami istri.
Merasa bersalah, tak berdaya.
Tidak adanya perasaan.
Merasa sedih.
Sering menangis tanpa alas an yang jelas.
Iritabilitas, marah, dan terkadang agresif.

Perubahan pada Kebiasaan Sehari-hari

Menjauhkan diri dari lingkungan sosial, pekerjaan.


Menghindari membuat keputusan.
Menunda pekerjaan rumah.
Penurunan aktivitas fisik dan latihan.
Penurunan perhatian terhadap diri sendiri.
Peningkatan konsumsi alcohol dan obat-obatan terlarang

Anda mungkin juga menyukai