Dalam definisi tersebut secara jelas terlihat bahwa bukan unsur ekonomi saja
yang termasuk dalam cakupan pembangunan manusia. Bahkan kata "perluasan
spektrum pilihan manusia" mengisyaratkan munculnya orientasi pembangunan
yang lebih luas. Perluasan spektrum pilihan berarti juga demokratisasi. Dengan
demikian unsur politik masuk di dalamnya.
Hal itu secara jelas juga tercantum dalam Human Development Report 1994
(UNDP, 1994) yang menyebutkan bahwa:
"Development must enable all individuals to enlarge their human capabilities
to the fullest and to put those capabilities to the best use in all fields-economics,
social, cultural, and politics"
Salah satu kritik yang muncul terhadap definisi tersebut adalah bahwa
pengertian tersebut di atas cenderung menyiratkan penekanan pada aspek
pemerataan saja dan anti pertumbuhan. Padahal apabila dikaji lebih mendalam
maka hal tersebut tidak benar. Karena pada akhirnya pembangunan manusia
diharapkan mampu meningkatkan kemampuan manusia, termasuk di dalamnya
dalam produktivitas yang akhirnya akan menyebabkan peningkatan
pertumbuhan.
Dalam pengertian yang lebih operasional, sumber daya manusia dapat dilihat
dari beberapa dimensi yang di dalamnya mengandung beberapa konsekuensi.
Pertama, sumber daya manusia dapat dilihat dari aspek kuantitatif yang meliputi
jumlah, persebaran dan struktur, serta aspek kualitatif yang berkaitan dengan
mutu manusia misalnya pendidikan, ketrampilan, sikap, nilai, kesehatan dan gizi.
Kedua, sumber daya manusia juga dapat dilihat dari aspek makro (agregat)
maupun mikro (individu). Dengan demikian dalam membicarakan dua aspek
yang pertama, maka hal tersebut dapat pula dibahas dalam konteks makro
maupun mikro.
Pemahaman sumber daya manusia dari segi kuantitatif tidak menjadi
persoalan, karena variabelnya jelas terukur. Tetapi ketika yang dibicarakan adalah
aspek kualitatif maka sering kali sangat sulit untuk diukur, misalnya mengenai
sikap, nilai dan kepercayaan. Oleh karenanya pemahamannya perlu dilakukan
dengan hati-hati.
Dengan melihat pengertian tersebut maka setiap proses pembangunan yang
berorientasi "manusia" perlu memperhatikan aspek-aspek tersebut. Tidak bisa
hanya satu aspek saja yang diperhatikan, karena hanya akan menjadikan proses
pembangunan menjadi timpang.
1.3 Teori Modal Manusia
Dalam teori ini manusia dianggap sebagai suatu modal dalam suatu proses
produksi. Untuk peningkatan produksi, pendidikan dianggap sebagai suatu
investasi yang penting dan dominan dalam peningkatan kapasitas produksi
sumber daya manusia. Konsekuensinya adalah bahwa penduduk yang
berpendidikan merupakan penduduk yang produktif. Akibatnya, pendidikan
dipandang sebagai suatu intervensi yang sangat penting dalam rangka
peningkatan sumber daya manusia.
Pembangunan ekonomi yang cepat di Jepang, Korea dan Eropa Barat
biasanya digunakan sebagai contoh untuk menunjukkan bahwa sumber daya
manusia merupakan unsur penting dalam pembangunan. Bahkan pembangunan
sumber daya manusia dilakukan mendahului akumulasi modal fisik (Widarti,
1993).
Keberhasilan pembangunan memerlukan dua syarat, yaitu (a) kemajuan
teknologi dalam rangka untuk meningkatkan produksi, dan (b) sumber daya
manusia yang berpendidikan dalam rangka penerapan teknologi.
Kritik utama yang muncul terhadap teori ini adalah bahwa pendidikan
dianggap sebagai unsur utama dalam pembangunan sumber daya manusia.
Sebagai investasi, pendidikan tidak akan lepas dari sistim politik, kondisi sosial
dan kultural di suatu negara. Padahal teori tersebut beranggapan bahwa
karakteristik individu merupakan unsur penting dalam memacu pertumbuhan
ekonomi. Aspek struktur sosial, yang biasanya merupakan refleksi dari banyak
aspek, tidak diperhatikan. Dalam memandang terjadinya pembagian negara maju
dan negara terbelakang, teori ini mengatakan bahwa hal tersebut lebih berkaitan
dengan karakteristik masing-masing negara.
Argumentasi seperti itu jelas tidak benar. Teori dependensi mengatakan
bahwa munculnya negara maju dan tidak maju, terjadi karena sifat dependensi
negara tidak maju terhadap negara maju. Bahwa kondisi yang kurang
menguntungkan di suatu negara adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan
negara tersebut melepaskan sifat dependensinya kepada negara maju. Dengan
demikian maka perubahan terhadap karakteristik sumber daya manusia saja tidak
cukup untuk memacu laju pembangunan ekonomi. Lebih dari itu, harus ada usaha
untuk merubah sifat dependensi menjadi interdependensi.
Hal semacam ini tidak hanya terjadi dalam kasus negara, tetapi juga bisa
ditarik pada skala yang lebih sempit di dalam negara. Sebab justru hubungan antar
daerah lebih terlihat di dalam suatu negara.
1.4 Pembentukan Modal Manusia (PMM) dan Pengembangan Sumber Daya
Manusia (PSDM)
Kedua istilah itu pada prinsipnya sama. Keduanya mengandung pengertian
sebagai suatu proses perubahan kualitas manusia yang dipengaruhi oleh beberapa
faktor, yaitu pendidikan formal atau non-formal, latihan di tempat kerja, perbaikan
kesehatan, migrasi, gizi dan sebagainya (Widarti, 1993). Dengan perubahan
kualitas, diharapkan produktivitas sumber daya tenaga kerja juga meningkat.
Pengertian yang terakhir ini yang biasanya disebut dengan pengembangan sumber
daya manusia. Terdapat lima faktor sebagai unsur utama dalam pengembangan
sumber daya manusia, yaitu:
a. pendidikan
b. kesehatan dan gizi
c. lingkungan
d. pekerjaan
e. kebebasan politik dan ekonomi
Hal ini sejalan dengan arah baru pembangunan sebagaimana tercantum
dalam Human Development Report (1994), bahwa manusia merupakan alat dan
tujuan pembangunan. Sebagai alat, manusia merupakan modal yang sangat
penting dalam proses pembangunan dan sebagai tujuan pembangunan diarahkan
untuk menuju human security.
Dari pengertian tersebut jelas bahwa terdapat perbedaan yang mendasar
antara teori modal manusia dengan PPM atau PSDM. Pada pengertian yang kedua,
pendidikan hanya merupakan satu aspek dari sejumlah aspek yang perlu
diperhatikan dalam peningkatan kualitas untuk meningkatkan produktivitas.
Pengertian yang kedua ini juga membawa konsekuensi terhadap meluasnya titik
perhatian pembangunan nasional. Dalam pengertian yang lain, mengembangkan
sumber daya manusia kemudian tidak hanya meningkatkan pendidikan dan
ketrampilan saja, tetapi juga bagaimana mewujudkan manusia yang sehat,
berpendidikan dan secara ekonomi dan politik mempunyai kebebasan memilih.
Meskipun masih jauh dari sempurna, UNDP mencoba membuat indek untuk
melihat kualitas manusia, yang disebut dengan HDI (Human Development Indeks).
Indek ini sebenarnya sebagai respon terhadap munculnya PQLI (Physical Quality of
Life Index) yang dianggap masih kurang. Pada tahun 1990, HDI tersusun atas tiga
variabel, yaitu pendidikan, harapan hidup, dan pendapatan. Indeks ini dianggap
kurang sensitif terhadap variabel tertentu, misalnya jenis kelamin, kelompok etnis,
dan klas sosial. Oleh karena itu sejak tahun 1991, HDI dihitung dengan
memasukkan jenis kelamin dan distribusi pendapatan sebagai variabel pengontrol.
Pada tahun 1994 HDI dihitung berdasarkan empat variabel, yaitu angka harapan
hidup, angka melek huruf, rata-rata tahun sekolah, dan pendapatan per kapita.
Dengan HDI bisa dibuat komparasi antara satu daerah atau negara dengan daerah
atau negara yang lain.
Perlu dicatat bahwa angka HDI merupakan angka agregat yang
mencerminkan kondisi SDM pada suatu wilayah. Dalam menilai kondisi SDM, hal
itu perlu dilengkapi dengan indikator yang bersifat individual.
Dalam dua dekade terakhir, manusia telah diletakkan sebagai posisi sentral
dalam pembangunan nasional. Akibatnya paradigma sumber daya manusia dalam
pembangunan berubah secara drastis. Hal ini menuntut pemerintah untuk secara
jeli merumuskan orientasi pembangunan, agar apa yang diharapkan dalam
pengembangan sumber daya manusia (PSDM) bisa tercapai.
Secara operasional, akibat yang muncul dari perubahan tersebut adalah
tuntutan terhadap pelaksana pembangunan untuk memahami setiap aspek yang
tercakup dalam pengembangan sumber daya manusia. Hal tersebut mencakup
pengertian mengenai konsep dan definisi dan juga indikator sumber daya manusia.
Hal itu penting karena merupakan landasan yang fundamental dalam PSDM.
Salah satu kesulitan yang muncul misalnya dalam merumuskan indikator
SDM. Sejauh ini indikator yang diajukan masih mengacu pada pembangunan fisik
atau ekonomi. Dengan tuntutan untuk memperhatikan dimensi lain dalam SDM,
maka hal itu dipandang belum cukup. Untuk itu perlu dicari rumusan-rumusan
baru yang kemudian bisa digunakan untuk menilai kondisi SDM di suatu tempat.
1.6 Kualitas Sumber Daya Manusia
Pembahasan tentang pengukuran kualitas SDM dari waktu ke waktu selalu
menarik karena memerlukan suatu pendekatan yang komprehensif dari aspek
kualitas fisik maupun non fisik, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif.
Ini berarti indikator yang digunakan dalam mengukur kualitas SDM harus mampu
menggabungkan antara kualitas fisik dan nonfisik, baik itu yang bersifat kuantitatif
maupun kualitatif. Alasannya adalah bahwa kualitas penduduk tidak dapat
dipisah-pisahkan, baik yang bersifat fisik maupun nonfisik, kedua-duanya saling
menunjang dalam membentuk kualitas penduduk secara keseluruhan. Meskipun
argumen ini ada betulnya, namun indikator kualitas total penduduk tersebut
masih terlalu umum, sulit diukur, dan sulit pula untuk diberi intervensi. Sejalan
dengan hal ini maka pengukuran kualitas penduduk cenderung dilakukan secara
terpisah-pisah dan cara demikianlah yang banyak digunakan sampai saat ini
(Dahlan, 1992).
Perubahan kualitas SDM berhubungan erat dengan keberhasilan
pembangunan. Upaya penentuan indikator kemajuan pembangunan menjadi
penting dalam kerangka untuk mengetahui sasaran pembangunan yaitu
penduduk yang berkualitas. Bank Dunia melalui laporannya World Development
Report secara kontinu sejak tahun 1978 melaporkan bahwa pembangunan
mempunyai tujuan ganda yaitu pertumbuhan ekonomi dan mengurangi
kemiskinan. Indikator dari kedua aspek tersebut adalah Produk Nasional Bruto
(GNP) sebagai dasar penentuan urutan negara mulai dari yang paling miskin
sampai yang paling kaya. Cara ini dianggap sebagai indikator yang sangat penting
bagi proses modernisasi, apabila modernisasi disamakan artinya dengan
pembangunan. Pengukuran kualitas penduduk model seperti ini lebih
menekankan pada indikator ekonomi yang dalam beberapa hal mengabaikan
perikehidupan penduduk dalam suatu negara, dalam hal ini untuk hidup lebih
lama yang tercermin pada angka harapan hidup (Soetjipto, 1996).
Kelompok Neo-Malthusianis menganggap bahwa pertumbuhan ekonomi
berhubungan negatif dengan pertumbuhan penduduk. Pertumbuhan penduduk
yang rendah akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi yang identik
dengan kualitas penduduk yang baik. Pendekatan demografis dalam mengukur
kualitas penduduk melibatkan beberapa variabel mortalitas, fertilitas dan
urbanisasi secara sendiri-sendiri dan tidak digabung menjadi satu indeks
komposite. Indeks komposite yang dimaksud adalah merupakan gabungan dari
setiap variabel mortalitas, fertilitas dan urbanisasi yang digunakan dalam
pengukuran kualitas penduduk. Hal yang sama juga dialami oleh pendekatan
nondemografi yang secara terpisah-pisah menggunakan variabel pendidikan,
pendapatan, pengeluaran per kapita, ketenagakerjaan dan kecukupan kalori dan
protein dalam mengukur kualitas penduduk. Demikian pula Kantor Menteri
Demikian pula dengan angka fertilitas yang tinggi, prevalensi kontrasepsi maupun
urbanisasi yang rendah identik dengan kualitas penduduk yang rendah. Dengan
demikian kualitas penduduk yang tinggi akan tercermin pada rendahnya IMR,
CMR, MMR dan angka morbiditas, TFR dan angka perceraian serta tingginya
angka harapan hidup, prevalensi kontrasepsi, usia perkawinan pertama dan angka
urbanisasi. Sampai saat ini (sepengetahuan penulis) belum ditemukan suatu model
pendekatan demografi yang menggabungkan dari beberapa variabel demografi ke
dalam suatu indikator komposite obyektif secara komprehensive. Yang dilakukan
pada saat ini baru sampai pada karakteristik variabel demografi secara sendirisendiri yakni:
1. Angka Kematian Bayi (IMR)
2. Angka Kematian Anak (MR)
3. Angka Kematian Maternal (MMR)
4. Angka Harapan Hidup (eo)
5. Angka Morbiditas
6. Angka Fertilitas Total (TFR)
7. Angka Perceraian (DR)
8. Usia Perkawinan Pertama
9. Angka Prevalensi Kontrasepsi
10. Angka Urbanisasi.
Parameter fertilitas keluarga berencana, mortalitas dan morbiditas maupun
urbanisasi dapat diperoleh dari model-model estimasi secara tidak langsung
(indirect technique for demographic estimation) dari data yang dikumpulkan melalui
sensus penduduk, Supas, Susenas score dan modul. Masalah pokok yang dihadapi
dari model estimasi demografi ini adalah pemenuhan sejumlah asumsi dalam
perkiraan dan jumlah sampel yang dibutuhkan dalam perhitungan. Secara nasional
dan regional (propinsi) jumlah sampel yang dibutuhkan untuk estimasi telah
memadai, namun untuk lingkup Dati II dalam beberapa hal masih terlalu sedikit.
Sebagai akibatnya hasil estimasi parameter demografi seringkali tidak dapat
digunakan. Ketergantungan terhadap model estimasi akan terus berlangsung
apabila pelaksanaan sistem Registrasi Penduduk maupun Sistem Informasi
Penduduk dan Keluarga (Siduga) belum dapat berjalan dengan baik dalam arti
cakupan wilayah pendataan dan kualitas data. Kualitas penduduk dilihat dari
paramater demografi tersebut dapat dilihat di lampiran.
C. Kualitas Penduduk: Aspek NonDemograf
Sama halnya dengan pengukuran kualitas penduduk dari aspek demografi,
kualitas penduduk dan aspek nondemografi masih dilihat secara terpisah-pisah.
Beberapa variabel yang sering digunakan dalam pengukuran kualitas penduduk
mencakup aspek pendidikan seperti pendidikan tertinggi yang ditamatkan,
penduduk usia sekolah menurut status sekolah; pendapatan per kapita;
pengeluaran per kapita untuk keperluan bahan makanan dan bukan untuk bahan
makanan; kecukupan kebutuhan kalori dan protein maupun kecukupan gizi; dan
ketenagakerjaan yang mencakup angka partisipasi angkatan kerja, angka
pengangguran dengan berbagai jenis dan penduduk yang bekerja menurut sektor,
jenis dan status pekerjaan. Kualitas penduduk yang baik dapat dilihat dari
pendidikan yang relatif tinggi, kecukupan kebutuhan kalori dan protein,
pendapatan perkapita yang tinggi, proporsi pengeluaran untuk bukan bahan
makan lebih tinggi daripada untuk bahan makan, angka pengangguran yang
rendah dan sebagian besar pekerja yang bekerja pada sektor manufaktur dan jasa,
merupakan pekerja terampil dan bekerja pada sektor formal. Secara rinci
pendekatan nondemografi dalam mengukur kualitas penduduk melibatkan
beberapa variabel seperti berikut:
1. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
2. Penduduk usia sekolah menurut status sekolah
3. Kecukupan kalori-protein, status gizi
4. Pendapatan per kapita
5. Pengeluaran per kapita/bahan makan dan bukan bahan makan
6. Angka Partisipasi Angkatan Kerja
7. Angka pengangguran terbuka
8. Pekerja manurut sektor, jenis dan status pekerjaan
Dari delapan variabel yang digunakan tersebut hanya kecukupan kalori dan
protein serta pendapatan per kapita yang sudah ada standarnya untuk
membedakan antara yang baik dan yang kurang baik. Selain variabel ini belum ada
standar yang baku untuk membedakannya. Sebagai contoh berapa angka
8. Rasio kemandirian
9. Proporsi anak yang terpaksa bekerja
Aman - Bahagia mencakup 4 variabel:
10. Angka perceraian
11. Angka kriminalitas
12. Proporsi anak yang terlantar
13. Proporsi rumah tangga dengan kepala rumah tangga perempuan berumur
tua.
Seperti telah disebutkan sebelumnya, pengukuran kualitas penduduk yang
dilakukan oleh Menteri Negara Kependudukan masih dilakukan secara terpisahpisah dari ke 13 variabel yang digunakan. Bahkan di dalam mengukur aspek sehat
pun yang terdiri dari 4 variabel masih dilakukan secara sendiri-sendiri, belum
sampai pada penggabungan dari ke empat variabel ke dalam satu indek sehat.
Sama halnya dengan mengukur aspek mandiri-sejahtera, aman sejahtera, masingmasing masih merupakan variabel yang terpisah-pisah. Selain hal tersebut karena
banyaknya variabel yang digunakan dalam pengukuran maka sumber data yang
digunakan pun sangat beragam seperti sensus penduduk, survai kependudukan
dan survai yang dilakukan oleh departemen tertentu dengan rentang tahun
pengumpulan data yang berbeda-beda.
Indeks Mutu Hidup (PQLI)
Indeks Mutu Hidup (IMH) ini merujuk pada Physical Quality of Life Index
(PQLI) merupakan hasil pemikiran Morris sebagai alat pengukur hasil proses
pemerataan dalam pembangunan. Muncul sebagai jawaban terhadap kelemahankelemahan model pembangunan yang berpusat pada pertumbuhan ekonomi yang
diukur melalui produk national bruto (GNP). Indeks Mutu Hidup mempunyai
keunggulan daripada GNP sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan.
Nasikun (1992:69) menyebutkan ada tiga kelemahan pokok menggunakan GNP
sebagai ukuran kualitas penduduk yakni: 1. Hanya terdiri dari transaksi ekonomi
dan mengabaikan kegiatan yang terjadi di luar pasar. 2. Agregasi berbagai kegiatan
ke dalam nilai uang mengasumsikan bahwa isyarat harga merupakan petunjuk
yang netral terhadap kesejahteraan penduduk. 3. Tidak memperhatikan aspek
distribusi antarwarga masyarakat maupun kelompok penduduk, kesenjangan
e1 =
e1 38
3,9
Eo 1 + qo ( 1 ko )
1 - qo
e1 = angka harapan hidup usia satu tahun
eo = angka harapan hidup usia nol tahun/setelah dilahirkan
qo = IMR = angka kematian bayi
ko = rata-rata periode kelangsungan hidup selama tahun pertama
Pada waktu sasaran dari ketiga variabel ini disusun yakni pada tahun 1976 di
negara sedang berkembang rata-rata IMR sekitar 136 per seribu, angka harapan
hidup usia satu tahun adalah 48 tahun dan melek huruf dewasa 34 persen. Pada
tahun 2000 di mana IMH telah mencapai 100 rata-rata IMR kurang dari 50 per
seribu, angka harapan hidup satu tahun telah mencapai 65 tahun dan melek huruf
75 persen. Perubahan IMH menurut propinsi dapat dilihat pada lampiran. Pada
perkembangan selanjutnya ketiga variabel yang digunakan untuk menyusun IMH
terus mengalami perubahan sejalan dengan semakin meningkatnya derajat
kehidupan penduduk. Sebagai akibatnya, angka-angka minimal dan maksimal
dari angka harapan hidup satu tahun bertambah tinggi, demikian halnya dengan
angka melek huruf, dan di lain pihak semakin menurunnya angka kematian bayi,
menyebabkan angka-angka dasar berubah dari waktu ke waktu. Pada
perkembangan berikutnya tidak hanya terbatas pada angka dasar dari variabel
yang digunakan, tetapi ada upaya untuk menambah jumlah variabel lebih dari
tiga. Untuk Indonesia, Sayogyo (1984) pernah menyusun IMH dengan menambah
satu variabel yakni fertilitas sebagai unsur yang keempat. IMH dengan empat
unsur ini di kemudian hari lebih dikenal dengan IMH Plus. Fertilitas di masukkan
sebagai variabel ke empat ini dimaksudkan untuk menguji sampai sejauh mana
rencana standar keluarga kecil sejahtera yang sudah dicanangkan sejak Pelita I
dapat dicapai. Dengan proses penyusunan IMH Plus model Sayogya, fertilitas
diasumsikan sebesar 3 per wanita usia subur (TFR=3) sebagai angka dasar yang
akan dicapai pada tahun 2000. Angka IMH Plus diharapkan mampu
menggambarkan variasi fertilitas menurut propinsi. Distribusi IMH Plus di
Indonesia menurut propinsi dapat dilihat pada journal Prisma tahun XIII, No. 10,
1984:9-19.
Penyajian IMH dapat dilakukan dengan tiga pendekatan yaitu model angka
tahun dasar, model angka nasional dan model angka indeks tanpa
ditransformasikan. Pendekatan pertama menggunakan angka IMH pada tahun
dasar, misal tahun 1971 nilai IMH untuk DIY = 41 dianggap sama dengan indeks
100. Demikian pula untuk propinsi yang lain di mana nilai IMH pada tahun 1971
dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari 41 (DIY) juga dianggap sama dengan 100.
Dengan demikian indeks IMH pada tahun dasar = 100. Kemudian, untuk tahun
setelah tahun 1971 yakni 1980, 1985, 1990 dan 1995 angka IMH hasil perhitungan
ditransformasikan dengan nilai indeks 100 tersebut. Pendekatan kedua
mendasarkan angka IMH nasional dalam hal ini Indonesia untuk tahun 1971
misalnya dianggap sama dengan indeks 100. Kemudian untuk setelah tahun 1971
yakni 1980=100; 1985= 100; 1990=100 dan 1995=100. Nilai IMH regional akan
bergerak antara kurang dari 100, tepat 100 dan lebih dari 100. Pendekatan ketiga
yakni angka IMH disajikan seperti hasil perhitungan tanpa harus
ditransformasikan ke indeks 100, baik indeks propinsi maupun indeks Indonesia.
Dari ketiga pendekatan penyajian angka IMH ini sudah barang tentu mempunyai
keuntungan dan kerugian, tergantung tujuan perhitungan IMH itu sendiri.
Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Mutu Hidup yang diperkenalkan akhir dasawarsa 70-an
dimaksudkan untuk mengukur kualitas penduduk dalam lingkup sejauh mana
hasil pembangunan telah mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dari segi
peningkatan kualitas fisik kehidupan yang tercermin dari ketiga variabel. Pada
awal tahun 1990 suatu team dari UNDP mengembangkan tolok ukur baru sebagai
upaya untuk memperbaiki IMH dan diharapkan sebagai model pendekatan
pengukuran kualitas penduduk. Tolok ukur ini disebut Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) atau lebih dikenal dengan Human Development Index (HDI). Indeks
ini berusaha untuk mengetahui sampai sejauh mana pertumbuhan dan
pemerataan hasil pembangunan telah mampu secara nyata memberikan output
seperti peningkatan kebutuhan fisik dasar manusia dan perluasan kemampuan
manusia untuk melakukan pilihan-pilihan yang lebih baik. Pilihan-pilihan hidup
lebih baik ini tercermin pada usia harapan hidup yang semakin bertambah
panjang, lebih berpendidikan dan mampu memenuhi kebutuhan hidup yang
paling dasar (basic needs). Ketiga variabel yang dipilih untuk menyusun IPM adalah
usia harapan hidup, pendidikan dan pendapatan per kapita yang disesuaikan
dengan kemampuan daya beli masyarakat setempat. Ketiga variabel ini digabung
menjadi satu indeks dengan memberikan bobot nilai yang sama.
Dalam perhitungan IPM digunakan formula yang telah dipakai oleh UNDP
pada tahun 1990 melalui tiga tahap. Pertama, menentukan suatu ukuran deprivasi
dari tiga variabel dasar yaitu angka harapan hidup (X 1), melek huruf (X2) dan
pendapatan per kapita yang telah disesuaikan (X3). Nilai minimum dan
maksimum ditentukan untuk setiap variabel. Seberapa jauh suatu ukuran propinsi
dari nilai maksimum dapat digunakan untuk mengetahui keterbelakangan suatu
daerah. Untuk mengukur keterbelakangan suatu daerah secara relatif dapat
dihitung dengan cara:
Ipj
max ( Xj ) Xpj
max ( Xj ) min ( Xj )
p
= Propinsi 1, 2, 3, 4, dst-nya
j
= indikator 1, 2, dan 3
Xpj
= nilai indikator j untuk propinsi ke p
mak (Xj)
= nilai maksimum indikator j yang pernah dicapai
min (Xj)
= nilai minimum indikator j yang pernah dicapai
Kedua, menentukan rata-rata deprivasi dari ketiga ukuran deprivasi dari
ketiga variabel yaitu:
1 3
I p I pj
3 j 1
Ketiga, mengukur besarnya indeks pembangunan manusia
dengan
cara:
IPM = 1 - Ip
Hasil perhitungan IPM berkisar antara 0 sampai 1, dan oleh UNDP
dikelompokkan menjadi tiga golongan yakni: 1. Indeks Pembangunan Manusia
yang tinggi di mana nilainya 0,8 dan lebih. 2. Indeks Pembangunan Manusia
cukup/sedang nilainya antara 0,500 - 0,89 dan 3. Indeks Pembangunan Manusia
rendah nilainya kurang dari 0,5. Perkembangan nilai IPM Indonesia sejak tahun
1990 - 1995 dapat dilihat pada laporan Human Development Report, publikasi dari
United Nation Development Programme (UNDP) terbit setiap tahun. Dalam
perkembangan selanjutnya IPM dapat dihitung dengan menggunakan lebih dari
tiga variabel. Laporan UNDP 1994 dalam menghitung IPM menggunakan lima
variabel yakni angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah,
pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan pendapatan riil per kapita yang
disesuaikan. Tiga variabel pendidikan dibuat menjadi satu indeks. Dalam laporan
tersebut disajikan pula IPM yang disusun dengan menggunakan delapan variabel
yaitu angka harapan hidup, melek huruf dewasa, rata-rata tahun sekolah, indeks
melek huruf, indeks sekolah/ pendidikan, pendidikan tertinggi yang ditamatkan,
pendapatan riil per kapita dan pendapatan riil per kapita yang disesuaikan, urutan
IPM dan urutan pendapatan.
Indeks komposite yang disusun dari ketiga variabel atau lebih diharapkan
mampu menggambarkan tiga aspek kehidupan manusia yang penting yaitu dapat
hidup lebih lama, dengan pengetahuan yang cukup memadai untuk hidup layak.
Pada awal mulanya IPM yang dimulai dengan ukuran deprivasi untuk angka
harapan hidup tertinggi yang dicapai oleh Jepang. Kemudian target melek huruf
adalah 100 persen, sedangkan target pendapatan adalah logaritma batas
kemiskinan rata-rata dari negara maju yang dinyatakan dalam kemampuan daya
beli masyarakat. Pendapatan riil perkapita yang telah disesuaikan terhadap
kemampuan daya beli harus dapat mencerminkan kenaikan hasil yang semakin
berkurang dalam mentransformasikan pendapatan menjadi kemampuan manusia.
Ini berarti seseorang tidak memerlukan sumber keuangan yang berlebihan untuk
dapat memenuhi kehidupan yang layak. Dengan menggunakan logaritma
pendapatan per kapita yang disesuaikan ini diharapkan dapat mencerminkan
keadaan yang lebih baik terhadap kemampuan relatif untuk membeli komoditas
dan memiliki sumber daya yang diperlukan untuk hidup.
Kualitas Penduduk NonFisik
Indikator kualitas penduduk nonfisik sangat berbeda dengan kualitas fisik,
dan sebagian besar lebih banyak merupakan ukuran yang tidak langsung seperti
ukuran gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Ascobat Gani
(1984) menyebutkan bahwa kualitas nonfisik dapat dibedakan menjadi tiga sesuai
dengan kepribadian penduduk yakni unsur kecerdasan, unsur rasa dan unsur
budi. Unsur-unsur kecerdasan adalah kemampuan memahami, menganalisa secara
kritis/cermat serta menghasilkan gagasan-gagasan baru. Dilihat menurut sifatnya,
kecerdasan dapat dibedakan menjadi tiga yakni kecerdasan sosial yakni
kemampuan untuk berhubungan secara harmonis dengan orang lain; kecerdasan
konseptual yakni kemampuan memecahkan masalah yang bersifat abstrak dan
kecerdasan mekanik yaitu kemampuan mendayagunakan benda-benda.
Pengukuran kecerdasan dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.
Pengukuran langsung misalnya dengan melakukan psikotest yang lebih dikenal
dengan IQ (intelegent quotient). Pengukuran tidak langsung dapat dilakukan
dengan prestasi akademis mulai dari pelajar dan mahasiswa. Ada pula
pengukuran kecerdasan yang bersifat makro seperti memperhatikan pendidikan
tertinggi yang ditamatkan, perbedaan buta huruf antara penduduk laki-laki dan
perempuan.
Selanjutnya Ascobat Gani (1984) menyebutkan unsur rasa merupakan
kualitas emosi yang merupakan unsur dua arah yakni yang positif seperti bahagia,
senang, rasa aman, puas, sampai yang negatif seperti takut, gelisah, benci, khawatir
dan marah. Oleh karena pengukuran unsur rasa/emosional ini cukup rumit dan
kompleks, maka dilakukan pengukuran secara tidak langsung dengan melihat
kejadian neurosis atau psikosis, meliputi gangguan berupa cemas, histeris dan
sejenisnya. Penelitian Departement Kesehatan tahun 1980 menyebutkn angka
neurosis antara 20-60 per 1000 penduduk dan angka psikosis antara 1-3 per 1000
penduduk. Kemudian unsur budi, merupakan kualitas nonfisik penduduk yang
membatasi tingkah laku seseorang untuk senantiasa mematuhi norma.moral yang
berlaku. Dalam hal ini budi akan mencegah seseorang untuk bersifat destruktif
baik terhadap lingkungan sosial maupun dirinya sendiri. Kualitas budi dapat
secara tidak langsung dilihat dari angka kriminalitas sebagai aspek negatif dan
perbuatan kebijakan seperti beribadat misalnya sebagai aspek positif.
Penentuan indikator kualitas penduduk merupakan pekerjaan yang rumit
dan sulit karena kualitas penduduk tidak dapat dipisah-pisahkan, baik itu yang
bersifat fisik maupun nonfisik. Akan bertambah sulit lagi terutama dalam
mengukur kualitas non fisik karena kadangkala terpaksa menggunakan ukuran
gejala untuk memperkirakan keadaan yang sesungguhnya. Sejalan dengan ini
maka indikator kualitas nonfisik merupakan ukuran yang tidak langsung. Berbeda
halnya dengan kualitas fisik yang ukuran operasionalnya dapat mendekati
pengertian konsepsionalnya, akan tetapi pengembangannya menjadi lambat dan
banyak menimbulkan masalah selama sistem informasi kependudukan belum
dapat menggantikan dominasi model estimasi tidak langsung (indirect methods).
Ketergantungan pada data sensus dan survai dituntut oleh jumlah sampel yang
cukup besar, agar analisis kualitas penduduk menurut sub-regional (Dati II) dapat
ditampilkan. Pada sisi lain, semakin besar jumlah sampel semakin besar pula
jumlah biaya yang diperlukan. Dalam kerangka seperti ini pelaksanaan sistem
informasi kependudukan seperti registrasi penduduk, sistem informasi
kependudukan dan keluarga menjadi mutlak segera dibenahi untuk
mengumpulkan data secara cepat, akurat dan murah biayanya.
Pengukuran kualitas penduduk dapat dilihat dari aspek demografi, dan
nondemografi atau gabungan antara kedua aspek tersebut. Sampai saat ini kecuali
IMH dan IPM masih melakukan secara terpisah-pisah dalam mengukur kualitas
penduduk, baik itu aspek demografi maupun nondemografi. Artinya belum
ditemukan suatu indikator komposite obyektif yang merupakan gabungan dari
beberapa variabel, disusun dalam satu indeks kecuali IMH dan IPM dengan
berbagai keterbatasan-keterbatasannya. Memilih variabel yang akan digunakan
untuk mengukur kualitas penduduk bukan pekerjaan yang mudah, apalagi di
dalam menentukan variabel tersebut harus memenuhi beberapa kriteria seperti
yang disebutkan oleh Morris. Bagaimana caranya untuk memilih variabel yang
jumlahnya tidak terlalu banyak, mempunyai daya ungkit yang cukup besar, sudah
ada ukuran standarnya merupakan agenda diskusi yang cukup menarik dalam
penyusunan indikator.
Evaluasi
1.