Talas
Talas
(Colocasia
esculenta
(L.)
Schott)
merupakan
salah
satu
Sifat Fisik
Daun berbentuk hati dengan ujung
pelepah daunnya tertancap agak
ketengah helai daun sebelah bawah.
Bunga terdiri atas tangkai seludang
dan tongkol. Bunga betinanya terletak
di pangkal tongkol, bunga jantan
disebelah atasnya, sedang diantaranya
terdapat bagian yang menyempit.
Tanaman dipanen setelah berumur 6-9
bulan. Hasil per rumpun sangat
bervariasi yaitu berkisar 0,25-6 kg.
Kimpul tergolong tumbuhan berbunga
Agiospermae dan berkeping satu
Monocotylae. Daunnya hijau muda
karena tangkai daunnya yang hijau
muda mempunyai garis ungu. Bentuk
umbi kimpul silinder hingga agak
bulat, terdapat ruas dengan beberapa
bakal tunas. Kulit umbi mempunyai
tebal sekitar 0,010,1 cm, sedangkan
korteksnya setebal 0,1 cm.
2.
Talas Kimpul
(Xanthosoma
sagitifolium)
3.
Talas Banten
(Xanthosoma
undipes K. Koch)
4.
5.
Talas Semir
6.
Talas Sutera
Jumlah
120,00
1,50
0,30
28,20
0,70
0,80
31,00
67,00
0,70
0
0,05
2,00
69,20
85,00
Na2C2O4 + CaCl2
natrium oksalat kalsium diklorida
Mi Instan
Dipasaran dikenal beberapa jenis mi, seperti mi segar/mentah, mi basah,
mi kering dan mi instan yang pada prinsipnya dibuat dengan cara yang sama.
Dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) nomor 3551-1994, mi instan
didefenisikan sebagai produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu
dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan
makanan yang diizinkan, berbentuk khas mi dan siap dihidangkan setelah dimasak
atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mi instan dikenal dengan
ramen (Astawan, 2008).
Dari segi kandungan airnya mi dapat dibedakan menjadi mi basah atau
segar dan mi kering. Mi basah digolongkan dalam produk intermedieate
moisture food (makanan semi basah) yaitu suatu makanan yang mempunyai
kadar air tidak terlalu tinggi dan juga tidak terlalu rendah antara 15-55% dengan
kisaran Aw antara 0,65-0,85. Mi kering mempunyai kadar air 2,5% sehingga
daya simpan mi kering lebih lama jika dibandingkan dengan mi basah. Mi kering
sering disebut dengan mi instan (Robsons, 1976).
Mi instan telah dikonsumsi sebagai makanan pokok pengganti nasi, oleh
sebagian
masyarakat
dan
merupakan
jenis
pangan
yang
sangat
luas
Komposisi Mi Instan
Nilai gizi mi pada umumnya dapat dianggap cukup baik karena selain
karbohidrat terdapat sedikit protein yang disebut glutein. Kandungan protein
utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mi adalah gluten. Gluten
dapat dibentuk dari gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam
tepung terigu untuk pembuatan mi harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya
mi menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya.
Mutu atau resep yang digunakan oleh pabrik sangat banyak sehingga nilai gizinya
pun sangat bervariasi (Judoadmijojo, 1985). Kandungan gizi mi secara umum
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Kandungan mi instan secara umum
Kandungan gizi
Komposisi per 100 g
Protein (g)
10
Lemak (g)
5
Kolestrol (mg)
max 3
Karbohidrat (g)
69
Kadar air (g)
max 11
Energi (Kkal)
362
Mineral (g)
6
bahan
makanan,
keempukan/kekenyalan
makanan,
kerenyahan
pangan yang dikonsumsi memiliki mutu yang tetap. Syarat mutu mi instan dapat
dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Syarat mutu mi instan
No
Kriteria uji
1
Keadaan
Tekstur
Aroma
Rasa
Warna
2
Benda asing
3
Keutuhan
4
Kadar air
Proses penggorengan
Proses pengeringan
5
Kadar protein
Mi dari terigu
Mi dari bukan terigu
6
Bilangan asam
7
8
9
Cemaran logam
Timbal (Pb)
Raksa (Hg)
Arsen (As)
Cemaran mikroba
Angka lempeng total
E. coli
Salmonela
Kapang
Satuan
Persyaratan
%b/b
Normal/dapat diterima
Normal/dapat diterima
Normal/dapat diterima
Normal/dapat diterima
Tidak boleh ada
Min. 90
%b/b
%b/b
Maks. 10,0
Maks. 14,5
%b/b
%b/b
mg
minyak
Min. 8,0
Min. 4,0
KOH/gram Maks. 2
mg/kg
mg/kg
mg/kg
Maks 2,0
Maks 0,05
Maks. 0,5
Koloni/g
APM/g
Koloni/g
terigu jenis ini memiliki kandungan gluten yang tinggi sehingga bisa
menghasilkan adonan yang elastis dan tidak mudah putus. Jumlah kadar gluten
sesuai dengan standar adalah minimal 9% dan maksimal 14% (Kent, 1983).
Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mi. Tepung terigu
diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu
mempunyai gluten yang tidak dimiliki oleh serealia lainnya. Gluten tersebut
berperan penting dalam membuat massa adonan tepung menjadi ulet dan
menyebabkan mi yang dihasilkan tidak mudah putus pada proses pencetakan dan
pemasakan. Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air
14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60%, dan gluten basah 24-36%
(Astawan, 2008).
Pada tepung, serat kasar lebih tinggi dibandingkan dengan pati. Penentuan
serat kasar pada bahan pangan sangat penting dalam penilaian kualitas bahan
pangan karena angka ini merupakan indeks dan menentukan nilai gizi bahan
makanan. Serat kasar mengandung selulosa, lignin, dan zat lain yang belum dapat
diidentifikasi dimana tidak dapat dicerna oleh pencernaan manusia dan binatang.
Serat kasar dapat dipakai untuk menentukan kemurnian bahan dan efisiensi proses
(Sudarmadji, dkk., 1989).
Hubungan antara tepung gandum (flour), protein, gluten jaringan, dan
produk adalah mutu produk yang dihasilkan ditentukan oleh kandungan gluten
jaringan tepung tersebut. Mutu jaringan tersebut ditentukan oleh kuat gluten (daya
ikat air oleh gluten). Kuat gluten ditentukan oleh jumlah protein yang ada dan
jumlah protein ditentukan oleh jenis tepung yang digunakan (Subagjo, 2007).
Komposisi kimia tepung terigu dihitung per 100 g bahan dapat dilihat pada
Tabel 5.
Tabel 5. Komposisi kimia tepung terigu per 100 g bahan
Komponen
Kadar air (%)
Karbohidrat (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Abu (%)
Kalori (kal)
Kadar
12,00
74,5
11,80
1,20
0,46
340
Tepung talas
Tepung merupakan bentuk hasil pengolahan bahan yang dilakukan dengan
memperkecil ukuran bahan menggunakan metode penggilingan sehingga luas
permukaan bahan meningkat dan kandungan air bahan menjadi rendah. Menurut
Winarno (1997), tepung merupakan produk yang memiliki kadar air rendah
sehingga daya awetnya pun tinggi. Proses penggilingan bahan disebabkan oleh
bahan yang ditekan dengan gaya mekanis dari alat penggiling. Tepung mekanis
pada proses penggilingan diikuti dengan peremukan bahan dan energi yang
dikeluarkan sangat dipengaruhi oleh kekerasan bahan dan kecenderungan bahan
untuk dihancurkan (Hubeis, 1984).
Kandungan protein suatu bahan mempengaruhi daya penyerapan air oleh
bahan karena protein memiliki gugus yang bersifat hidrofilik dan bermuatan
sehingga dapat mengikat air. Semakin banyak air yang diikat oleh tepung maka
semakin baik tekstur bahan pangan yang dihasilkan (Kusnandar, 2010).
Talas memiliki potensi untuk dapat digunakan sebagai bahan baku tepungtepungan karena memiliki kandungan pati yang tinggi, yaitu sekitar 70-80%
(Quach, dkk. 2000). Selain itu, tepung talas memiliki ukuran granula yang kecil,
yaitu sekitar 0,5-5 m. Ukuran granula pati yang kecil dapat membantu individu
yang mengalami masalah dengan pencernaannya karena talas mudah untuk
dicerna.
Secara umum, pengeringan dengan menggunakan alat pengering lebih
baik daripada menggunakan sinar matahari. Kelebihannya antara lain suhu
pengeringan dan laju alir udara panas yang dapat dikontrol, kebersihan yang lebih
terjaga, dan pemanasan terjadi secara merata. Proses pengeringan pada pembuatan
tepung merupakan salah satu tahapan yang krusial, karena menentukan kualitas
dan keawetan dari produk olahan selanjutnya dari tepung tersebut. Suhu dan
waktu pengeringan merupakan faktor penting dalam pengeringan yang akan
mempengaruhi mutu produk akhir (Heldman dan Lund, 2007). Penepungan talas
juga dapat mengurangi kerugian karena panen raya (Hartati dan Prana, 2003).
Sifat kimia tepung talas dan tepung terigu sebagai pembanding per 100 g dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Kandungan kimia tepung talas dan tepung terigu per 100 g
Jenis tepung
Sifat kimia
a
Talas
Terigub
Abu (% bk)
2,24
1,13
Lemak (% bk)
2,01
1,113
Protein (% bk)
3,9
10,2
Karbohidrat (% bk)
91,7
87,53
Serat Kasar (% bk)
2,7
0,34
Energi (kal)
400,91
377,55
Sumber: a = Lingga, dkk. (1990)
b = Direktorat Bina Gizi Masyarakat (1995)
kemudian digiling dengan pin disc mill. Pembuatan tepung talas memiliki
beberapa keuntungan yaitu awet, mudah diaplikasikan untuk bermacam-macam
produk serta mudah penyimpanannya.
Pati
Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan -glikosidik. Setiap
pati tidak sama sifatnya, tergantung dari panjang rantai C-nya, serta struktur lurus
atau bercabang rantai molekulnya. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat
dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi tidak larut
disebut amilopektin. Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan
-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan
-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5% dari berat total (Winarno, 2002b).
Pati digunakan dalam hampir setiap industri dalam berbagai bentuk. Pati
dapat memberikan tekstur, kekentalan, dan meningkatkan palatabilitas dari
berbagai makanan. Kegunaannya yang paling banyak adalah perekat, dalam
industri fermentasi digunakan sebagai bahan baku pembuatan sirup glukosa dan
kristal glukosa. Perubahan kimiawi dari pati ini dapat menambah kestabilan
terhadap keadaan pH yang ekstrim dan pemanasan (retorting), kestabilan dari
bentuk sol dan gel dari siklus cair-beku (freeze-thaw cyclus), kepekatan dalam
media bergula dan kemampuan bergabung dengan bahan makanan yang lain
(Buckle, dkk., 2009).
Proses gelatinisasi adalah proses dimana pati bersifat larut dalam air panas
sehingga mengembang dan membentuk pasta. Hal ini dikarenakan granula tempat
penyimpanan zat pati dalam sel membesar sehingga dapat bercampur dengan air.
Pati yang mengalami gelatinisasi dapat dikeringkan. Pati yang telah kering masih
penurunan daya serap air disebabkan penurunan kadar pati dalam adonan
(Widaningrum, dkk., 2005). Daya serap air mi instan dipengaruhi oleh
kemampuan mi dalam menyerap air. Nilai daya serap air yang terlalu tinggi tidak
diinginkan karena granula pati akan mudah pecah. Daya serap mi berbanding
lurus dengan nilai rehidrasi mi. Semakin tinggi rehidrasi mi kering maka semakin
besar daya serap air mi instan (Kusrini, 2008).
Pada dasarnya kehilangan padatan akibat pemasakan terjadi pada mi
disebabkan oleh sebagian pati lepas dari untaian mi pada saat pemasakan.
Kehilangan padatan akibat pemasakan juga disebabkan oleh kurang optimumnya
matriks
pati
tergelatinisasi
mengikat
pati
yang
tidak
tergelatinisasi
dapat dicegah. Penggunaan STPP yang diizinkan adalah 3 g per kg berat adonan
atau 0,3%. Batas penggunaan STPP tergantung dari jenis mi yang akan dibuat dan
bahan baku yang digunakan (Widyaningsih dan Murtini, 2006).
Fungsi penambahan garam alkali ke dalam pembuatan mi adalah sebagai
berikut:
a. Menguatkan struktur gluten sehingga menjadi mi yang lentur
b. Mengubah sifat pati tepung terigu sehingga menjadi lebih kenyal
c. Mengubah sifat zat warna (pigmen) dalam terigu sehingga lebih cerah
d. Semakin besar garam alkali yang digunakan maka mi semakin keras dan kenyal.
Namun penggunaan yang berlebihan akan menyebabkan bau yang tidak sedap pada
mi yang dihasilkan (Astawan, 2008).
Garam
Natrium klorida sangat berpengaruh dalam proses pengolahan bahan
pangan. Pada konsentrasi rendah mempengaruhi cita rasa yaitu persyaratan
terhadap organoleptik sedangkan pada konsentrasi tinggi garam sebagai pengawet
bahan makanan. Pada konsentrasi tinggi dapat mengubah beberapa faktor dalam
komponen gizi berbagai bahan pangan. Dalam pembuatan mi, penambahan garam
dapur untuk memberi rasa, memperkuat tekstur mi, meningkatkan fleksibilitas,
dan elastisitas mi, serta untuk mengikat air. Selain itu, garam dapur dapat
menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat
lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan, 2008).
Penggunaan garam 1-2% akan meningkatkan kekuatan lembaran adonan
dan mengurangi kelengketan, sehingga mempermudah proses pencetakan mi dan
menghasilkan mi yang elastisitas. Di Jepang, pembuatan mi pada umumnya
Rselulosa-ONa + HOH
Rselulosa-ONa + ClCH2COONa
Na-Kloroasetat
Rseluosa-CH2COONa + NaCl
Na-CMC
Air
Penambahan air dalam adonan berfungsi untuk membentuk konsistensi
adonan yang diinginkan. Umumnya air yang ditambahkan dalam pembuatan mi
antara 30-35%, suhu air yang disarankan untuk pembuatan mi sebesar 25-35oC,
untuk mengaktifkan enzim amilase yang akan memecah pati menjadi dekstrin dan
protease yang akan memecah gluten, sehingga menghasilkan adonan lembut dan
halus. Jika suhu kurang dari 25oC adonan menjadi keras, rapuh, dan kasar. Jika
suhu lebih dari 40oC akan menghasilkan mi dengan tingkat elastisitas yang
menurun dan kelengketannya meningkat (Bhusuk dan Rasper, 1994).
Air merupakan komponen penting dalam pengembangan gluten, selain itu
juga berfungsi sebagai media dalam pencampuran garam dan pengikatan
pengepres.
Dalam
mesin
pres,
adonan
akan
dibentuk
menjadi
lembaran-lembaran, dimana pada proses ini serat-serat gluten akan menjadi halus
(Astawan, 2008). Adonan mi yang telah terbentuk dimasukkan ke dalam alat pembuat
lembaran secara bertahap. Awalnya, lembaran yang terbentuk berupa lempengan
tebal. Penggilingan dilakukan beberapa kali sampai diperoleh lembaran agak tebal
yang kalis/merata. Penurunan ketebalan dilakukan secara bertahap. Hal ini
disebabkan jumlah penipisan akan berpengaruh terhadap sifat mi yang dihasilkan.
Lembaran mi yang terbentuk sebaiknya tidak sobek, permukaannya halus, dan merata
serta terjaga dari kotoran (Suyanti, 2008).
Dari lembaran tipis tersebut kemudian secara otomatis masuk ke dalam mesin
penyisir lembaran tipis membentuk untaian tali seperti pita dengan selera konsumen
(Ubaidillah, 1997). Lembaran mi dimasukkan ke dalam alat pemotong mi dan alat
diputar sampai lembaran mi terpotong habis. Potongan mi ditaburi dengan tepung
tapioka dan siap untuk dimasak atau disimpan (Suyanti, 2008). Mi dibuat dalam
bentuk pilinan (bergelombang) karena memiliki keuntungan, diantaranya adalah
mempercepat laju penguapan dan penggorengan karena adanya konduksi panas dan
sirkulasi panas dari minyak di dalamnya (Astawan, 2008).
Setelah melalui proses pencetakan dilakukan pemasakan mi dengan
pemanasan. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi dan koagulasi gluten. Menurut
Astawan (2008) gelatinisasi ini dapat menyebabkan :
Pati tergelatinisasi dan membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi
penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mi
Gelatinisasi pati dan koagulasi gluten terjadi pada proses pengukusan sehingga
dengan terjadinya dehidrasi air dari gluten akan menyebabkan timbulnya
kekenyalan mi. Hal ini disebabkan oleh putusnya ikatan hidrogen, sehingga rantai
ikatan kompleks pati dan gluten lebih rapat. Sebelum dikukus, ikatan bersifat
lunak dan fleksibel, tetapi setelah dikukus menjadi keras dan kuat.
Studi Pendahuluan
Tepung talas digunakan untuk substitusi tepung terigu pada pembuatan mi
basah. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rasio
tepung talas dan tepung terigu: (0:100, 10:90, 20:80, 30:70, 40:60, dan 50:50)%.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbandingan tepung talas dan tepung terigu
berpengaruh berbeda nyata pada kadar air, kadar abu, elastisitas, warna, dan rasa mi
basah. Dari hasil penelitian mi basah yang terbaik terdapat pada rasio 20:80
(Permatasari, dkk., 2009)
Pada penelitian ini digunakan rasio tepung talas, pati talas, dan tepung terigu
(80:0:20, 60:20:20, 40:40:20, 20:60:20, 0:80:20)% dengan penambahan CMC
(konsentrasi 1%, 2%, dan 3%) sebagai pengental untuk menggantikan fungsi gluten
pada pembuatan mi instan.