Makalah Ulumul Qur'an II
Makalah Ulumul Qur'an II
ULUMUL QURAN II
Tentang
Disusun Oleh :
DESTIWARNI
Nim. 1072371
MASADI
Nim. 1071297
DOSEN PEMBIMBING :
Prof. DR. Rusydi AM, Lc, MA
Pendahuluan
Al-Quran merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dengan penuh
kemukjizatan. Ayat-ayatnya memiliki kelebihan masing-masing. Tak satupun
yang bisa disia-siakan hanya karena alasan sudah ada penggantinya dari ayat
yang lain. Besar kemungkinan bahwa kemampuan manusia tidak bisa
menyingkap ibrah yang tersimpan di dalamnya sehingga dengan mudah
menganggap beberapa ayat cenderung membosankan karena memiliki redaksi
yang tidak jauh berbeda.
Tanpa perhatian yang intensif, tidak menutup kemungkinan seseorang
akan berasumsi bahwa banyaknya kemiripan dan kesamaan dalam beberapa
ayat al-Quran hanyalah merupakan sebuah tikrar ( pengulangan redaksi ).
Padahal, tidak jarang terdapat hikmah dalam kemiripan tersebut, bahkan hal
itu akan mengantarkan orang yang tekun dalam menganalisisnya pada sebuah
formulasi pemahaman dinamis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
penafsiran dengan metode yang bisa mengidentifikasi serta mengakomodasi
ayat-ayat yang dipandang mirip untuk kemudian dianalisis dan ditemukan
hikmahnya. Selain itu, pengungkapan makna di dalamnya juga akan mewarnai
dinamisasi kandungan al-Quran sehingga bisa dipahami bahwa setiap ayat
memiliki kelebihannya masing-masing.
Pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tafsir muqaran.
Untuk itu diharapkan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu untuk dapat
memberikan masukan demi kesempurnaan makalah kami ini.
B.
Qaththan, 1973: 323). Ada juga yang berpendapat bahwa tafsir secara
etimologi adalah menerangkan dan menjelaskan (Al-Dzahabi, 1976: I, 13).1
Menurut Dr. Abdul Hay Al Farmawi dalam kitabnya Al Bidayah Fi AlTafsir Al-Maudhui memberikan penjelasan tentang al-muqaran sebagai
penjelasan ayat-ayat alquran yang telah ditulis oleh sekelompok mufassirin.
Dalam persoalan ini mufassir melakukan pembahasan dengan cara
menyelidiki, meneliti kitab-kitab tafsir yang berhubungan dengan ayat-ayat
tersebut. Tafsir itu baik terkait dengan tafsir salaf maupun khalaf, naqli
maupun aqli. Kemudian diadakan perbandingan diantara bermacam-macam
aliran tafsir yang telah ada tersebut. Oleh karena itu obyek pokok pembahasan
tafsir al-muqaran ini sangat luas sekali, tidak hanya sekedar membandingkan
ayat dengan ayat ataupun ayat dengan hadist.2
Sedangkan Nasiruddin Baidan dalam bukunya metode penafsiran
alquran mengatakan bahwa ruang lingkup metode muqaran (komparatif)
memang amat luas, yakni meliputi perbandingan berbagai pendapat para
mufassir, aliran-aliran dan kecenderungan-kecenderungan mereka,
perbandingan ayat alquran dengan hadist nabi, dan perbandingan diantara
berbagai ayat yang mempunyai persamaan redaksi dalam satu kasus yang
sama ataupun berbeda.3
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai defenisi metode tafsir
muqarran ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasruddin Baidan. Dari
berbagai literature yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan
metode tafsir muqaran adalah :4
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan
memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama.
Rusydi AM, Metode Tafsir Muqarran (Komperatif) dan Aplikasinya, Jurnal Ilmu AlQuran dan Hadits ( http://tafsirhadisiainib.wordpress.com/) diakses tanggal 18-05-2011
2
Rachmat Syafei, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. 1, h. 279
3
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2005),h. 23
4
Ibid, h. 65
perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan
pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur'an.
C.
oleh
argumentasi
naqliyah,
siapa
yang
penafsirannya
dipengaruhi oleh paham-paham Asy'ariyah, atau Mu'tazilah, atau pahampaham tasawuf, atau teori-teori ilmiah.5
D.
Mai 2011
6
Artinya : Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala
bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi
(kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu
karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Artinya : Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala
bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira
dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Yang menjadi permasalan dalam ayat ini adalah mengapa
perbedaan yang disebutkan itu timbul? Apakah sekedar seni berbahasa,
atau dibalik perbedaan itu ada pesan khusus yang dikandungnya.
Jika dilihat dari asbabun nuzul turun ayat, terdapat ayat pertama
(Ali-Imran 126) diturunkan berkenaan dengan Perang Uhud. Sedangkan
ayat kedua (Al-Anfal : 10) mengenai Perang Badar. Itu berarti masingmasing redaksi menpunyai kasus yang berbeda, sebab situasi dan kondisi
yang dihadapi umat Islam dalam kedua peperangan itu tidak sama. Ketika
Perang Badar misalnya kaum muslimin belum sekuat ketika Perang Uhud
terjadi karena jumlah personil mereka amat kecil (sekitar 300 orang),
sebaliknya kekuatan personil musuh tiga kali lipat (sekitar 1000 orang). Di
samping kondisi yang demikian, Perang Badar ini tercatat sebagai perang
yang besar, sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam
pertempuran serupa itu. Jadi secara lahiriah umat Islam berada dalam
kondisi yang labil jika dibandingkan dengan kondisi mereka pada waktu
perang Uhud. Mengingat kondisi yang demikian, maka pada penutupan
ayat 10 surat Al-Anfal Allah memakai huruf ta'kid (Inna) untuk
memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Esa Perkasa
bersama mereka. Jadi tak perlu gentar menghadapi musuh yang jumlahnya
jauh lebih besar dari personil umat Islam. Sementara di dalam ayat 126
surat Ali-Imran tidak diperlukan huruf ta'kid karena kondisi mereka telah
makin baik dan kuat. Lagi pula mereka telah punya penggalaman
menghadapi orang-orang kafir ketika terjadi perang Badar, yang meskipun
jumlah mereka sangat kecil, mereka memenangkan perang.7
Sedangkan menurut Quraish Shihab perbedaan redaksi
didahulukan kata bihi atas qulubukum dalam surat Al-Anfal, agar hatimu
karena berita turunya malaikat menjadi tentram, adalah dalam konteks
mendahulukan berita yang menggembirakan, karena mendahulukannya
lebih utama dari pada menunda-nundanya, sekaligus untuk menunjukkan
perhatian yang besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Ini
beebeda dengan surat Ali-Imran 126, dimana berita itu disebut kemudian,
agar hati kamu menjadi tentram karenanya, sebab di sini tidak lagi
diperlukan penekanannya. Bukankah sebelum peristiwa Uhud, mereka
7
Ibid, h. 71
telah mengalami turunya malaikat? Itu pula sebabnya sehingga dalam surat
Ali-Imran, janji Allah tidak lagi diisertai dengan kata sesungguhnya
yang digunakan sebagai penguat berita, karena penguatan berita tidak
diperlukan disini. Berbeda dengan redaksi dalam surat Al-Anfal ayat 10
yang menggunakan kata sesungguhnya karena ketika itu belum ada
pengalaman tentang turunya malaikat, belum juga tampak sebelum itu
keperkasaan Allah keperpihakan-Nya dalam peperangan kepada kaum
Muslim. Ini dapat menimbulkan keraguan tentang kebenaran atau makna
janji itu, maka untuk menghilangkan keraguan itu diperlukan kata penguat,
dalam hal ini adalah sesungguhnya.
2. Perbandingan Ayat dengan Hadits
Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama dilakukan
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang tampak pada lahirnya bertentangan
dengan hadits-hadits Nabi yang diyakini shahih. Itu berarti hadits-hadits
yang sudah dinyatakan dha'if tidak perlu dibandingkan dengan Al-Qur'an
karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Jadi hanya hadits
shahih saja yang akan dikaji di dalam aspek ini dan diperbandingkan
dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam hal ini dapat ditempuh langkahlangkah sebagai berikut :
1. Menghimpun ayat-ayat pada lahirnya tampak bertentangan dengan
hadits-hadits Nabi SAW, baik ayat-ayat tersebut menpunyai kemiripan
redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.
2. Membandingkan dan menganalisis pertentang yang dijumpai di dalam
kedua teks ayat dan hadits
3. Memperbandingan antara berbagai pendapat para ulama tafsir dalam
menafsirkan ayat dan hadits tersebut.8
Contoh dalam Al-Qur'an Surat An-Naml ayat 23 :
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 196
( )
10
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007),h. 98
Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 98
Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Pandangan mata yang lemah peralatannya ini tidaklah dapat
mencapai untuk melihat Allah. Sebab itu janganlah pula kamu bodoh,
sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu tidak
dapat melihat dia. Yang dapat dicapai oleh penglihatan mata hanyalah
sedikit sekali dari ala mini. Beribu-ribu kali penglihatan mata terkecoh oleh
yang dilihat. Walaupun yang dilihat itu barang nyata. Berapa banyaknya
13
Ibid, h. 99
10
benda yang dari jauh kelihatan indah seumpama puncak gunung, tetapi
setelah kita lihat sampai kepuncaknya ternyata yang indah itu tidak ada.
Demikianlah kalau kita bicarakan dari hal nyata, tetapi tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, apa lagi Allah. Oleh sebab itulah maka Allah
selalu dalam Al-Qur'an menyuruh kita agar mempergunakan akal, pikiran,
faham dan fiqh. Karena dengan itulah baru kita akan dapat mencapai
keyakinan adanya Allah. Tetapi dia mencapai pemandangan-pemandangan
itu artinya, bahwa pandangan mata kita yang lemah ini tidaklah dapat
mencapai melihat Allah, tetapi Allah sendiri tetap mencapai dan melihat
penglihatan mata kita.14 Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa
pada hakikat-nya yang melihat bukannya bola mata, tetapi sesuatu yang
terdapat dibola mata itu. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak dapat
dijangkau oleh potensi penglihatan makhluk, sedangkan dia dapat
menjangkau yakni melihat dan menguasai segala sesuatu apa yang dapat
dilihat. Jika demikian ketidakmampuan makhluk melihat Allah dengan mata
kepala disebabkan kelemahan potensi kemampuan makhluk sendiri.
Kelelawar yang potensi matanya lebih lemah dari manusia tidak dapat
melihat di siang hari. Sebaliknya ada binatang seperti burung Rajawali yang
potensi matanya lebih terang dari manusia yang dapat melihat dari jarak
jauh dimana potensi manusia tidak dapat menjangkaunya. Disini lain perlu
diingat bahwa sesuatu yang tidak dapat dilihat bukan karena dia tidak ada,
tetapi boleh jadi karena dia terlalu kecil dan halus sehingga tersembunyi,
atau karena dia terlalu besar, terang dan jelas.15
Selanjutnya bagaimana makhluk dapat melihat Tuhan, padahal
makhluk adalah wujud yang fana bagi terbatas. Bagaimana mungkin sesuatu
yang fana lagi terbatas dapat menjangkau yang kekal lagi tidak terbatas. Jika
ia menjangkau-Nya, maka yang tidak terbatas beralih menjadi terbatas dan
itu adalah sesuatu yang mustahil.16
14
Ibid, h. 100
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 400
16
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 3, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 219
15
11
12
DAFTAR KEPUSTAKAAN
17
18
13
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
http://ashrilfathoni.Wordpress.com/2001/01/21perkembangan tafsir alquran/
diakses 21 Maret 2011
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2005)
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002)
Rachmat Syafei, Pengantar Ilmu Tafsir Bandung: Pustaka Setia, 2006, cet. 1
Rusydi AM, Metode Tafsir Muqarran (Komperatif) dan Aplikasinya, Jurnal Ilmu
Al-Quran dan Hadits ( http://tafsirhadisiainib.wordpress.com/
14