Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

ULUMUL QURAN II
Tentang

METODE TAFSIR MUQARAN

Dipresentasikan Pada Mata Kuliah


Ulumul Al-Qur'an II

Disusun Oleh :
DESTIWARNI

Nim. 1072371

MASADI

Nim. 1071297

DOSEN PEMBIMBING :
Prof. DR. Rusydi AM, Lc, MA

PASCA SARJANA UNIVERSITAS


MUHAMMADIYAH SUMATERA BARAT
1432/2011
0

METODE TAFSIR MUQARRAN


A.

Pendahuluan
Al-Quran merupakan wahyu ilahi yang diturunkan dengan penuh
kemukjizatan. Ayat-ayatnya memiliki kelebihan masing-masing. Tak satupun
yang bisa disia-siakan hanya karena alasan sudah ada penggantinya dari ayat
yang lain. Besar kemungkinan bahwa kemampuan manusia tidak bisa
menyingkap ibrah yang tersimpan di dalamnya sehingga dengan mudah
menganggap beberapa ayat cenderung membosankan karena memiliki redaksi
yang tidak jauh berbeda.
Tanpa perhatian yang intensif, tidak menutup kemungkinan seseorang
akan berasumsi bahwa banyaknya kemiripan dan kesamaan dalam beberapa
ayat al-Quran hanyalah merupakan sebuah tikrar ( pengulangan redaksi ).
Padahal, tidak jarang terdapat hikmah dalam kemiripan tersebut, bahkan hal
itu akan mengantarkan orang yang tekun dalam menganalisisnya pada sebuah
formulasi pemahaman dinamis. Oleh karena itu, perlu adanya upaya
penafsiran dengan metode yang bisa mengidentifikasi serta mengakomodasi
ayat-ayat yang dipandang mirip untuk kemudian dianalisis dan ditemukan
hikmahnya. Selain itu, pengungkapan makna di dalamnya juga akan mewarnai
dinamisasi kandungan al-Quran sehingga bisa dipahami bahwa setiap ayat
memiliki kelebihannya masing-masing.
Pada kesempatan kali ini pemakalah akan membahas tafsir muqaran.
Untuk itu diharapkan kepada Bapak-bapak dan Ibu-ibu untuk dapat
memberikan masukan demi kesempurnaan makalah kami ini.

B.

Pengerian Tafsir Muqaran


Istilah tafsir muqaran merupakan kata majemuk yang terdiri dari dua
kata yaitu: tafsir dan muqaran. Tafsir secara etimologi adalah mashdar dari
kata -
-
yang berarti menjelaskan ( )membukakan
dan mengungkapkan makna atau maksud (( ) al-

Qaththan, 1973: 323). Ada juga yang berpendapat bahwa tafsir secara
etimologi adalah menerangkan dan menjelaskan (Al-Dzahabi, 1976: I, 13).1
Menurut Dr. Abdul Hay Al Farmawi dalam kitabnya Al Bidayah Fi AlTafsir Al-Maudhui memberikan penjelasan tentang al-muqaran sebagai
penjelasan ayat-ayat alquran yang telah ditulis oleh sekelompok mufassirin.
Dalam persoalan ini mufassir melakukan pembahasan dengan cara
menyelidiki, meneliti kitab-kitab tafsir yang berhubungan dengan ayat-ayat
tersebut. Tafsir itu baik terkait dengan tafsir salaf maupun khalaf, naqli
maupun aqli. Kemudian diadakan perbandingan diantara bermacam-macam
aliran tafsir yang telah ada tersebut. Oleh karena itu obyek pokok pembahasan
tafsir al-muqaran ini sangat luas sekali, tidak hanya sekedar membandingkan
ayat dengan ayat ataupun ayat dengan hadist.2
Sedangkan Nasiruddin Baidan dalam bukunya metode penafsiran
alquran mengatakan bahwa ruang lingkup metode muqaran (komparatif)
memang amat luas, yakni meliputi perbandingan berbagai pendapat para
mufassir, aliran-aliran dan kecenderungan-kecenderungan mereka,
perbandingan ayat alquran dengan hadist nabi, dan perbandingan diantara
berbagai ayat yang mempunyai persamaan redaksi dalam satu kasus yang
sama ataupun berbeda.3
Para ahli tidak berbeda pendapat mengenai defenisi metode tafsir
muqarran ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Nasruddin Baidan. Dari
berbagai literature yang ada, dapat dirangkum bahwa yang dimaksud dengan
metode tafsir muqaran adalah :4
a. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur'an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih dan
memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang sama.

Rusydi AM, Metode Tafsir Muqarran (Komperatif) dan Aplikasinya, Jurnal Ilmu AlQuran dan Hadits ( http://tafsirhadisiainib.wordpress.com/) diakses tanggal 18-05-2011
2
Rachmat Syafei, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2006), cet. 1, h. 279
3
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2005),h. 23
4
Ibid, h. 65

b. Membandingkan ayat Al-Qur'an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat


bertentangan.
c. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan AlQur'an.
Menurut Muhammad Quraish Shihab tafsir muqaran adalah:
Membandingkan ayat-ayat al-Quran satu dengan yang lainnya, yaitu
ayat-ayat yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua
masalah atau kasus yang berbeda atau lebih. Dan atau membandingkan ayatayat al-Quran dengan hadis nabi Muhammad SAW yang nampak
bertentangan serta membandingkan pendapat-pendapat ulama tafsir
menyangkut penafsiran al-Quran (Quraish Shihab, 1995: 118).
Dari defenisi itu terlihat jelas bahwa tafsir Al-Qur'an dengan
menggunakan metode ini mempunyai cakupan yang teramat luas, tidak hanya
membandingkan ayat dengan ayat melainkan juga memperbandingkan ayat
dengan hadits serta membandingkan pendapat para mufassir dalam
menafsirkan suatu ayat.
Yang menjadi objek pembahasan pada aspek ketiga ini adalah berbagai
pendapat yang dikemukakan sejumlah mufassir dalam suatu ayat, kemudian
melakukan penafsiran. Sedangkan yang dianalisis atau dikaji di dalam dua
aspek sebelumnya adalah perbandingan berbagai redaksi yang bermiripan dari
ayat-ayat Al-Qur'an atau antara ayat dengan hadits yang kelihatannya secara
lahiriah kontradiktif.
Hal itu disebabkan karena yang dijadikan bahan dalam
memperbandingkan ayat dengan ayat, atau dengan hadits adalah pendapat para
ulama tersebut, bahkan pada aspek yang ketiga, sebagaimana telah disebutkan
di atas, pendapat para ulama itulah yang menjadi sasaran perbandingan. Oleh
karena itu, jika suatu penafsiran dilakukan tanpa memperbandingkan berbagai
pendapat yang dikemukakan oleh para ahli tafsir, maka pola semacam itu tak
dapat disebut metode komparatif .
Dari uraian yang dikemukakan itu diperoleh gambaran bahwa dari segi
sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji di dalam tafsir

perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits dan
pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur'an.
C.

Langkah-langkah Metode Tafsir Muqaran


Adapun langkah-langkah dalam metode tafsir muqaran ini adalah
sebagai berikut :
a. Mengumpulkan sejumlah ayat Al-Qur'an
b. Mengemukakan penjelasan para mufassir, baik kalanagan salaf atau
kalangan khalaf, baik tafsirnya bercorak bi al-mat'sur atau bi ar-ra'yi
c. Membandingkan kecenderungan tafsir mereka masing-masing
d. Menjelaskan siapa diantara mereka yang menafsirkannya dipengaruhi
(secara subjektif) oleh mazhab tertentu, siapa penafsirannya ditujukan
untuk melegetimasi golongan atau mazhab tertentu, siapa yang mewarnai
latar belakang disiplin ilmu yang dimilikinya, seperti bahasa, fikih, atau
yang lainnya, siapa yang penafsirannya didominasi uraian-uraian yang
sebenarnya tidak perlu, seperti kisah-kisah yang tidak rasional dan tidak
didukung

oleh

argumentasi

naqliyah,

siapa

yang

penafsirannya

dipengaruhi oleh paham-paham Asy'ariyah, atau Mu'tazilah, atau pahampaham tasawuf, atau teori-teori ilmiah.5
D.

Ruang Lingkup Metode Tafsir Muqaran


1. Perbandingan Ayat dengan Ayat.
Perbandingan dalam aspek ini dapat dilakukan pada semua ayat,
baik pemakaian mufradat, uraian kata, maupun kemiripan redaksi semua
itu dapat dibandingkan. Juka yang akan dibandingkan itu kemiripan
redaksi, misalnya maka langkah-langkah sebagai berikut :6
a. Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat Al-Qur'an yang
redaksinya bermiripan sehingga diketahui mana yang mirip dan mana
yang tidak.
5

http://ashrilfathoni.Wordpress.com/2001/01/21perkembangan tafsir alquran/ diakses 18

Mai 2011
6

Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 69

b. Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan itu,


yang membicarakan satu kasus yang sama, atau kasus yang berbeda
dalam satu redaksi yang sama.
c. Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi
yang mirip, baik perbedaan tersebut mengenai konotasi ayat, maupun
redaksinya seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya
dalam ayat.
d. Memperbandingkan antara berbagai pendapat para mufassir tentang
ayat yang dijadikan objek bahasan.
Sebagai contoh pada surat Ali-Imran ayat 26 dengan surat Al-Anfal
ayat 10 :
Q.S. Ali-Imran ayat 126 :



Artinya : Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala
bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira bagi
(kemenangan)mu, dan agar tenteram hatimu
karenanya. dan kemenanganmu itu hanyalah dari
Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

QS. Al-Anfal ayat 10 :



Artinya : Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala
bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira
dan agar hatimu menjadi tenteram karenanya. dan
kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha
Bijaksana.
Yang menjadi permasalan dalam ayat ini adalah mengapa
perbedaan yang disebutkan itu timbul? Apakah sekedar seni berbahasa,
atau dibalik perbedaan itu ada pesan khusus yang dikandungnya.

Jika dilihat dari asbabun nuzul turun ayat, terdapat ayat pertama
(Ali-Imran 126) diturunkan berkenaan dengan Perang Uhud. Sedangkan
ayat kedua (Al-Anfal : 10) mengenai Perang Badar. Itu berarti masingmasing redaksi menpunyai kasus yang berbeda, sebab situasi dan kondisi
yang dihadapi umat Islam dalam kedua peperangan itu tidak sama. Ketika
Perang Badar misalnya kaum muslimin belum sekuat ketika Perang Uhud
terjadi karena jumlah personil mereka amat kecil (sekitar 300 orang),
sebaliknya kekuatan personil musuh tiga kali lipat (sekitar 1000 orang). Di
samping kondisi yang demikian, Perang Badar ini tercatat sebagai perang
yang besar, sebelumnya umat Islam belum punya pengalaman dalam
pertempuran serupa itu. Jadi secara lahiriah umat Islam berada dalam
kondisi yang labil jika dibandingkan dengan kondisi mereka pada waktu
perang Uhud. Mengingat kondisi yang demikian, maka pada penutupan
ayat 10 surat Al-Anfal Allah memakai huruf ta'kid (Inna) untuk
memperkuat keyakinan umat Islam bahwa Allah Yang Maha Esa Perkasa
bersama mereka. Jadi tak perlu gentar menghadapi musuh yang jumlahnya
jauh lebih besar dari personil umat Islam. Sementara di dalam ayat 126
surat Ali-Imran tidak diperlukan huruf ta'kid karena kondisi mereka telah
makin baik dan kuat. Lagi pula mereka telah punya penggalaman
menghadapi orang-orang kafir ketika terjadi perang Badar, yang meskipun
jumlah mereka sangat kecil, mereka memenangkan perang.7
Sedangkan menurut Quraish Shihab perbedaan redaksi
didahulukan kata bihi atas qulubukum dalam surat Al-Anfal, agar hatimu
karena berita turunya malaikat menjadi tentram, adalah dalam konteks
mendahulukan berita yang menggembirakan, karena mendahulukannya
lebih utama dari pada menunda-nundanya, sekaligus untuk menunjukkan
perhatian yang besar yang tercurah terhadap berita dan janji itu. Ini
beebeda dengan surat Ali-Imran 126, dimana berita itu disebut kemudian,
agar hati kamu menjadi tentram karenanya, sebab di sini tidak lagi
diperlukan penekanannya. Bukankah sebelum peristiwa Uhud, mereka
7

Ibid, h. 71

telah mengalami turunya malaikat? Itu pula sebabnya sehingga dalam surat
Ali-Imran, janji Allah tidak lagi diisertai dengan kata sesungguhnya
yang digunakan sebagai penguat berita, karena penguatan berita tidak
diperlukan disini. Berbeda dengan redaksi dalam surat Al-Anfal ayat 10
yang menggunakan kata sesungguhnya karena ketika itu belum ada
pengalaman tentang turunya malaikat, belum juga tampak sebelum itu
keperkasaan Allah keperpihakan-Nya dalam peperangan kepada kaum
Muslim. Ini dapat menimbulkan keraguan tentang kebenaran atau makna
janji itu, maka untuk menghilangkan keraguan itu diperlukan kata penguat,
dalam hal ini adalah sesungguhnya.
2. Perbandingan Ayat dengan Hadits
Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama dilakukan
terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang tampak pada lahirnya bertentangan
dengan hadits-hadits Nabi yang diyakini shahih. Itu berarti hadits-hadits
yang sudah dinyatakan dha'if tidak perlu dibandingkan dengan Al-Qur'an
karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Jadi hanya hadits
shahih saja yang akan dikaji di dalam aspek ini dan diperbandingkan
dengan ayat-ayat Al-Qur'an. Dalam hal ini dapat ditempuh langkahlangkah sebagai berikut :
1. Menghimpun ayat-ayat pada lahirnya tampak bertentangan dengan
hadits-hadits Nabi SAW, baik ayat-ayat tersebut menpunyai kemiripan
redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.
2. Membandingkan dan menganalisis pertentang yang dijumpai di dalam
kedua teks ayat dan hadits
3. Memperbandingan antara berbagai pendapat para ulama tafsir dalam
menafsirkan ayat dan hadits tersebut.8
Contoh dalam Al-Qur'an Surat An-Naml ayat 23 :

Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, Vol 2, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 196

Artinya : Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita


yang memerintah mereka, dan Dia dianugerahi
segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang
besar.
Hadits Rasulullah SAW :

( )



Artinya : Tidak pernah sukses (beruntung) suatu bangsa yang


menyerahkan semua mereka kepada wanita (HR. Bukhari).
Sepintas lalu, kedua teks itu tampak kontradiktif, karena Al-Qur'an
menginformasikan tentang keberhasilan seorang wanita yakni Ratu Bilqis
dalam memimpin negerinya, sehingga negerinya menjadi aman dan
makmur serta seluruh tunduk dan patuh dibawah pemerintahannya.
Sebaliknya di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari itu
dinyatakan, bahwa tidak akan sukses suatu bangsa jika yang memimpin
mereka seorang wanita.
Hadits yang dijadikan contoh diatas, menurut Musthafa Al-Siba'i
diucapkan Nabi ketika beliau mendapat informasi bahwa putri Raja Persia
telah dinobatkan menjadi ratu untuk menggantikan ayahnya yang telah
diangkat. Menurut Cahdidjah Nasution seperti yang dikutip Nashruddin
Baidan menerjemahkan hadits itu sebagai berikut Tidak akan beruntung
suatu bangsa yang yang menyerahkan pimpinan negaranya kepada seorang
wanita.9
Terjemahan itu jelas tidak sejalan dengan semangat ayat-ayat AlQur'an yang menggambarkan kemampuan wqanita dalam memimpin
Negara seperti Ratu Bilqis yang dikutip diatas. Disamping itu kalau
dihubungkan dengan sejarah dunia dan sejarah Islam yang sukses dalam
memimpin suatu bangsa seperti kepemimpinan Syajaruh Al-Durr pendiri
kerajaan Mamalik di Mesir.10

Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 93


Ibid, h. 97

10

Pemahaman semacam itu tak akan terjadi jika dalam memahami


teks hadis itu kondisi yang hidup di tengah masyarakat senantiasa
dijadikan salah satu pertimbangan. Oleh karena itu kita tidak perlu terlalu
terpengaruh oleh asbab al-wurud hadits tersebut karena yang dijadikan
tolak ukur dalam mengambil keputusan (istinbath al-hukm) menurut
mayoritas ulama adalah umum lafal, bukan khusus sebab (al-'ibrat
bi'umum al-lafazh la bi khusus al-sabab).11
Berangkat dari kaidah itu, meskipun latar belakang hadits itu
muncul dari kasus naiknya wanita jadi kepala Negara di Persia, lafal yang
dipakainya umum, tidak membicarakan secara khusus tentang kepala
Negara.
Setelah memperhatikan kaidah itu dan kemudian diterapkan pada
hadits Nabi tadi, maka Nasruddin Baidan menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan hadits Nabi adalah : suatu bangsa tidak pernah
memperoleh sukses jika semua urusan bangsa itu diserahkan (sepenuhnya
kepada kebijakan) wanita sendiri (tanpa melibatkan pria).12 Jadi bisa
dipahami bahwa maksud penerapannya adalah jika semua urusan
pemerintahan itu ditangani oleh wanita sendiri, tanpa melibatkan pria.
Semua urusan mulai dari yang terendah sampai yang tertinggi ditangani
waita sendiri. Jadi masuk akal mereka tidak akan beruntung karena mereka
menpunyai keterbatasan fisik maupun psikis.
Dari kasus diatas dapat dipahami bahwa pada hakikatnya yang
bertentangan adalah interpretasi atau pemahaman ulama terhadap kedua
teks tersebut bukan pertentangan antara teks.
3. Perbandingan Pendapat Mufassir
Apabila yang dijadikan sasaran pembahaan perbandingan adalah
pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan suatu ayat, maka metodenya
adalah :
11
12

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007),h. 98
Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 98

1. Menghimpun sejumlah ayat yang dijadikan objek studi tanpa menoleh


terhadap redaksinya menpunyai kemiripan atau tidak
2. Melacak berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat
tersebut
3. Membandingkan pendapat-pendapat mereka untuk mendapatkan
informasi berkenaan dengan identitas dan pola berfikir dari masingmasing mufassir, serta kecenderungan-kecenderungan dan aliran-aliran
yang mereka anut.13
Dengan menerapkan metode perbandingan seperti ini, maka dapat
diketahui kecenderungan dari pada mufassir. Penafsiran para mufassir akan
dipengaruhi oleh aliran maupun keahlian dan latar belakang para mufassir.
Kaum Mutakallimin cenderung menafsirkan Al-Qur'an sesuai konsep ilmu
kalam, kaum Fuqaha cenderung menafsirkan sesuai konsep-konsep hokumhukum fiqh, kaum sufi menurut tasawuf dan termasuk juga penafsiran itu
dipengaruhi situasi dan kondisis yang dihadapi para mufassir.
Sebagai contoh firman Allah dalam Al-qur'an Surat Al-An'am ayat :
103 :



Artinya : Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,
sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan
Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.
Pandangan mata yang lemah peralatannya ini tidaklah dapat
mencapai untuk melihat Allah. Sebab itu janganlah pula kamu bodoh,
sehingga kamu tidak percaya akan adanya Allah lantaran matamu tidak
dapat melihat dia. Yang dapat dicapai oleh penglihatan mata hanyalah
sedikit sekali dari ala mini. Beribu-ribu kali penglihatan mata terkecoh oleh
yang dilihat. Walaupun yang dilihat itu barang nyata. Berapa banyaknya

13

Ibid, h. 99

10

benda yang dari jauh kelihatan indah seumpama puncak gunung, tetapi
setelah kita lihat sampai kepuncaknya ternyata yang indah itu tidak ada.
Demikianlah kalau kita bicarakan dari hal nyata, tetapi tidak dapat
dicapai oleh penglihatan mata, apa lagi Allah. Oleh sebab itulah maka Allah
selalu dalam Al-Qur'an menyuruh kita agar mempergunakan akal, pikiran,
faham dan fiqh. Karena dengan itulah baru kita akan dapat mencapai
keyakinan adanya Allah. Tetapi dia mencapai pemandangan-pemandangan
itu artinya, bahwa pandangan mata kita yang lemah ini tidaklah dapat
mencapai melihat Allah, tetapi Allah sendiri tetap mencapai dan melihat
penglihatan mata kita.14 Sedangkan Quraish Shihab menjelaskan bahwa
pada hakikat-nya yang melihat bukannya bola mata, tetapi sesuatu yang
terdapat dibola mata itu. Ayat-ayat ini menjelaskan bahwa Allah tidak dapat
dijangkau oleh potensi penglihatan makhluk, sedangkan dia dapat
menjangkau yakni melihat dan menguasai segala sesuatu apa yang dapat
dilihat. Jika demikian ketidakmampuan makhluk melihat Allah dengan mata
kepala disebabkan kelemahan potensi kemampuan makhluk sendiri.
Kelelawar yang potensi matanya lebih lemah dari manusia tidak dapat
melihat di siang hari. Sebaliknya ada binatang seperti burung Rajawali yang
potensi matanya lebih terang dari manusia yang dapat melihat dari jarak
jauh dimana potensi manusia tidak dapat menjangkaunya. Disini lain perlu
diingat bahwa sesuatu yang tidak dapat dilihat bukan karena dia tidak ada,
tetapi boleh jadi karena dia terlalu kecil dan halus sehingga tersembunyi,
atau karena dia terlalu besar, terang dan jelas.15
Selanjutnya bagaimana makhluk dapat melihat Tuhan, padahal
makhluk adalah wujud yang fana bagi terbatas. Bagaimana mungkin sesuatu
yang fana lagi terbatas dapat menjangkau yang kekal lagi tidak terbatas. Jika
ia menjangkau-Nya, maka yang tidak terbatas beralih menjadi terbatas dan
itu adalah sesuatu yang mustahil.16

14

Ibid, h. 100
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984), h. 400
16
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Vol 3, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), h. 219
15

11

Dari kedua penafsiran diatas dapat dilihat kecenderungan dari kedua


tafsir diatas yang melihat adanya persamaan tentang adanya keterbatasan
kemampuan manusia untuk dapat memahami hakikat Tuhan. Namun kalau
kita lihat Hamka, beliau menafsirkannya sesuai dengan berlatar belakang
beliau sebagai seorang sastrawan dan tasawuf sedangkan Quraish Shihab
sebagai seorang yang hidup dalam lingkungan akademis maka corak
penafsirannya mengajak kita untuk berfikir secara akademis pula.
Dari kenyataan itu dapat disimpulkan bahwa tafsir Al-Qur'an
senantiasa dinamis dan sejalan dengan perkembangan zaman. Berkaitan
dengan itu pula dapat dipahami bahwa ayat-ayat Al-Qur'an sangat dinamis
dan fleksibel sehingga dapat dipahami dari berbagai sudut sebagaiman yang
tergambar dalam penafsiran diatas.
E.

Kelebihan dan Kekurangan Metode Tafsir Muqaran (Komparatif)


1. Kelebihan
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luas kepada para
pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain sebagaimana
terlihat di dalam contoh-contoh yang telah dikemukakan diatas.
Didalam penafsiran itu terlihat bahwa satu ayat Al-Qur'an dapat ditinjau
dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan sesuai dengan keahlian
mufassirnya. Dengan demikian terasa bahwa Al-qur'an itu tidak sempit,
melainkan amat luas dan dapat atau penafsiran yang diberikan itu dapat
diterima selama proses penafsirannya melalui metode dan kaidah yang
benar sebagaimana dicontohkan diatas.
b. Mebuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang
lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak
mustahil ada yang kontradiktif.
c. Tafsir dengan metode komparatif ini amat berguna bagi mereka yang
ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Oleh karena itu

12

penafsiran semacam cocok untuk mereka yang ingin memperluas dan


mendalami penafsiran Al-Qur'an bukan bagi para pemula.17
2. Kelemahan
a. Penafsiran yang memakai metode komparatif tidak dapat diberikan
kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada tingkat
sekolah menengah ke bawah.
b. Metode komparatif kurang dapat diandalkan untuk menjawab
permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat. Hal itu
disebabkan metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada
pemecahan masalah.
c. Metode komparatif terkesan lebih banyak menelusuri penafsiranpenafsiran yang pernah diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan
penafsiran-penafsiran baru. 18

DAFTAR KEPUSTAKAAN
17
18

Nashruddin Baidan, Op. Cit, h. 142


Ibid, h. 43

13

Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz VII, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984
http://ashrilfathoni.Wordpress.com/2001/01/21perkembangan tafsir alquran/
diakses 21 Maret 2011
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Quran, (Jakarta : Pustaka Pelajar,
2005)
Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2002)
Rachmat Syafei, Pengantar Ilmu Tafsir Bandung: Pustaka Setia, 2006, cet. 1
Rusydi AM, Metode Tafsir Muqarran (Komperatif) dan Aplikasinya, Jurnal Ilmu
Al-Quran dan Hadits ( http://tafsirhadisiainib.wordpress.com/

14

Anda mungkin juga menyukai