Anda di halaman 1dari 11

MENGEJAR MIMPI HINGGA EROPA

Annisa Gita Srikandini

Sejak di bangku SMA saya punya cita-cita menjadi Duta Besar. Alasan nya sederhana saja;
setiap kali membaca koran, saya selalu tertarik membaca berita-berita internasional. Saya sangat
ingin tahu apa yang terjadi di luar Indonesia dan mempelajari bagaimana pola pikir orang-orang
di luar negeri. Datang dari keluarga menengah, saya tidak berani bermimpi untuk pergi keluar
negeri dengan biaya dari orang tua. Sebagai anak SMA, saya berpikir, diplomat merupakan
profesi yang memberi kesempatan ke luar negeri dengan dibiayai negara.
Dari bangku SMA N 4 Yogyakarta saya mulai meretas mimpi sebagai Duta Besar. Saya mulai
berpikir bahwa Jurusan Hubungan Internasional UGM adalah target saya setelah lulus SMA
nanti. Namun, mengejar mimpi benar-benar tidak semanis membayangkannya. Saya paham betul
tidak mudah masuk HI UGM, terutama jika lingkungan belajar di SMA tidak begitu mendukung.
Saya masih ingat bagaimana saya selalu sibuk mengerjakan kumpulan soal UM UGM disaat
teman-teman saya bercanda dan bolos kelas. Tidak salah, jika saya terkadang skeptis apakah
perjuangan saya membawa hasil. Namun, untuk mencapai sebuah mimpi, saya kira, tidak ada
pilihan lain selain bekerja keras. Malam sebelum UM UGM saya ingat betul bagaimana saya
menuntut Tuhan untuk mengubah nasib saya karena saya merasa sudah belajar keras. Dan
benar saja, Tuhan tidak pernah mengingkari janjinya. Saya kemudian diterima sebagai
mahasiswa HI UGM.

HI UGM
Pertanyaan pertama setelah menjadi mahasiswa HI UGM, whats next after this? Di awal
perkuliahan, saya memang sudah berkomitmen untuk menyelesaikan kuliah tepat waktu. Dengan
masa studi ini, saya berharap dapat memaksimalkan potensi diri salah satunya dengan aktif
dalam kegiatan kemahasiswaan dan ikut mendaftar beasiswa luar negeri. Secara akademis, sejak
semester satu, saya merasa HI merupakan pilihan yang tepat. Saya sangat menikmati semua
topik perkuliahan yang ditawarkan. Para staff pengajar HI UGM juga sangat inspiratif dalam
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

menyampaikan topik perkuliahan. Saya tidak bisa memungkiri hal inilah yang membuat saya
bersemangat kuliah. Saya pikir, ketertarikan terhadap topik perkuliahan merupakan faktor yang
esensial bagi seorang mahasiswa. Dengan inilah, mahasiswa bisa bertahan ditengah banyaknya
tantangan selama kuliah.
Selama menjadi mahasiswa UGM, saya aktif di beberapa kegiatan kampus melalui Korps
Mahasiswa Hubungan Internasional (KOMAHI), Bulaksumur Pos, Peace Generation sebuah
komunitas perdamaian anak muda. Dengan kegiatan extra kampus dan kewajiban kuliah,
manajemen waktu menjadi hal yang sangat penting bagi seorang mahasiswa. Guna mengatur
aktifitas inilah, saya selalu menggunakan buku agenda. Ini yang membantu saya tetap fokus
dengan apa yang saya kerjakan karena hampir setiap hari saya menuliskan target dan to do list
yang harus saya kerjakan. Check list ini membantu juga untuk bekerja secara efektif dan
memaksimalkan waktu yang ada setiap hari nya. Tidak itu saja, di awal semester, saya biasanya
menuliskan target yang ingin saya capai pada semester tersebut. Target inilah yang menjadi
track saya. Di akhir semester, saya juga melakukan evaluasi atas proses belajar yang saya lalui.
Ini yang mendorong untuk tetap berada pada fokus: lulus tepat waktu dengan hasil yang baik.
Selama kuliah ini, cita-cita saya untuk menjadi Duta Besar mulai berubah arah. Sebagai anak
sulung dengan dua adik yang juga duduk di bangku kuliah, saya paham betapa berat nya beban
finansial yang harus diemban orang tua. Saya kemudian menjadi sangat realistis untuk segera
lulus cepat dan bekerja di Perusahaan Multinasional yang akan menggaji saya besar. Dari titik
inilah, saya kemudian membuat rencana untuk memperpendek masa studi. Kebetulan, saya juga
sudah menyelesaikan Kuliah Kerja Nyata (KKN) Program Gempa saat masih semester 4. Inilah
yang membuat saya lebih bertekad untuk segera menyelesaikan studi. Konsekuensi dari pilihan
ini adalah saya tidak akan mengambil tawaran beasiswa luar negeri yang nantinya dapat
memperlama masa studi. Saya hanya fokus menyelesaikan kewajiban belajar yang tersisa. Pada
akhir semester 5 saya sudah mulai menyusun proposal skripsi yang diseminarkan di awal
semester 6. Di semester ini pula, saya mendapatkan kesempatan mengikuti Summer School
Asian Emporiums di University of Malaya, Malaysia selama 40 hari. Di program ini, saya
belajar mengenai Asia Tenggara dari konteks politik, sosial dan budaya. Tuhan benar-benar
memberikan yang terbaik. Keinginan saya untuk bisa belajar di luar negeri kesampaian tanpa
harus keluar dari rencana saya untuk lulus cepat. Sepulang dari Malaysia, saya kembali
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

menyelesaikan skripsi dan melakukan pendadaran sesuai dengan rencana. Dengan izin Tuhan
saya dinyatakan lulus dengan masa studi 3 tahun 9 hari. Di hari wisuda, saya dinyatakan sebagai
lulusan tercepat universitas dan lulusan terbaik Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM.
Sungguh sebuah hal yang tidak pernah bisa saya bayangkan mengingat betapa dulu keinginan
menjadi mahasiswa UGM saja sudah sebuah mimpi besar.
Secara akademis maupun kegiatan non kampus, saya merasa sangat puas dengan pencapaian ini.
Secara pribadi, saya merasa sangat berkembang. Saya belajar bagaimana melakukan manajemen
waktu dan bekerja secara efektif dengan hasil maksimal. Saya juga sangat bersyukur, UGM telah
memberikan lingkungan belajar yang sangat kondusif. Belajar dengan orang-orang pintar dari
seluruh Indonesia dan dididik oleh dosen-dosen yang berkualitas. Belum lagi, jaringan
internasional yang UGM miliki telah mampu memberi kesempatan bagi mahasiswa nya untuk
lebih aktif di level internasional. Kerja keras selama ini benar-benar terbayar ketika saya lulus,
UGM benar-benar memberikan kontribusi bagi pertumbuhan pola pikir dan karakter saya.

KEHIDUPAN SETELAH LULUS


Setelah lulus, saya pergi ke Jakarta untuk melamar pekerjaan di perusahaan multinasional. Saya
sempat mengikuti test bekerja di beberapa perusahaan. Namun selama mengikuti proses ini saya
merasa ini bukan panggilan saya. Ill die as a person if I work in this sector. Gumaman inilah
yang terngiang di kepala setiap saya memasuki gedung-gedung besar di Jakarta. Inilah yang
membuat saya kembali ke Jogja setelah hanya satu bulan mencoba peruntungan saya di ibukota.
Keinginan saya pulang ini juga karena saya mendapatkan informasi Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional akan membuka lowongan asisten dosen. Sambil menunggu bukaan resmi dari
Jurusan, Rektor UGM, Prof Ir Sudjarwadi M.Eng Ph.D meminta saya untuk membantu Kantor
Urusan Internasional (KUI) UGM. Perkenalan saya dengan Pak Rektor sendiri terjadi karena
saya nekad bertemu beliau dengan hanya bermodalkan lulusan tercepat UGM. Pada kesempatan
pertemuan tersebut, Pak Rektor menceritakan bahwa UGM sedang mempercepat kerjasama
internasional dengan universitas di luar negeri. Satu bulan semenjak saya lulus, saya kemudian
bekerja di KUI UGM sebagai Program Coordinator for Europe and Middle East.

UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

Tidak lama berselang setelah saya mulai bekerja di KUI, saya mengikuti ujian sebagai asisten
dosen di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UGM. Posisi ini menjadi jalan awal bagi saya
untuk merintis karier sebagai akademisi. Keinginan sebagai akademisi memang sempat terlintas
di kepala, namun hal ini tergerus dengan keinginan untuk bekerja di sektor swasta yang bergaji
besar. Maka saat saya diterima sebagai bagian dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, saya
bertekad untuk menjadi mandiri secara finansial. Sebagai asisten, saya bertugas untuk membantu
semua aktifitas akademik di jurusan. Pekerjaan ini saya lakukan bersamaan dengan tugas saya di
KUI. Pada titik ini pula, saya mulai berpikiran untuk melanjutkan studi S2 ke luar negeri. Bapak
Muhadi Sugiono, MA yang merupakan pembimbing skripsi saya yang pada saat itu menjadi
Kepala Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian (PSKP) UGM menawarkan beasiswa sekolah S2
program Peace Education ke University for Peace (UPeace), Costa Rica. Kesempatan ini ada
dalam skema kerjasama antara UGM dengan UPeace. Saya masih pikir-pikir mengingat sudah
ada beberapa dosen yang mendalami kajian perdamaian. Saya pribadi berharap dapat belajar area
baru di Hubungan Internasional. Bersamaan dengan ini, ada kesempatan untuk mendaftar
program Network on Humanitarian Action (NOHA) di Rijksuniversiteit of Groningen (RuG),
Belanda.
Karena ketertarikan saya dengan isu humanitarian action ditambah belum ada staff pengajar di
jurusan yang mendalami hal ini, maka saya meniatkan diri untuk mengirim aplikasi beasiswa ini.
Pak Rektor, Ibu Daniar Natakusumah, LL.M (Mantan Kepala KUI UGM), Bapak Dr Rachmat
Swiwijaya (Kepala KUI UGM) dan Bapak Muhadi Sugiono, MA merupakan beberapa pihak
yang sangat mendorong aplikasi beasiswa saya di Program NOHA Erasmus Mundus. Bahkan,
Pak Rektor dan Ibu Daniar dalam kunjungan kerja nya di RuG melakukan endorsement atas
aplikasi saya. Upaya banyak pihak ini berhasil meloloskan saya untuk sekolah S2 NOHA di RuG
(semester 1) dan Uppsala Universiteit, Swedia (semester 2) dengan beasiswa dari Uni Eropa.
Program NOHA merupakan kajian S2 multidisipliner dimana mahasiswa dapat mengikuti
kegiatan perkuliahan di dua universitas yang berbeda selama masa studi 16 bulan.

UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

STUDI DI EROPA
Saya berangkat ke Belanda pada Bulan Juli 2009. Program pertama yang harus saya ikuti adalah
NOHA Intensive Programme di Universit d'Aix-Marseille III, Prancis. Selama 10 hari,
mahasiswa dari 7 universitas network di NOHA dikumpulkan untuk mendapatkan pengantar
kuliah sebelum kembali belajar ke universitas masing-masing. Tujuh universitas NOHA adalah
Rijksuniversiteit of Groningen (Belanda), Universidad de Deusto

(Spanyol), Uppsala

Universitet (Sweden), Ruhr-Universitt Bochum (Jerman),University College Dublin (Irlandia),


Universit Catholique de Louvainin (Belgia) dan Universit d'Aix-Marseille III (Prancis).
Mahasiswa NOHA memiliki hak untuk mengambil kuliah di universitas yang berbeda dengan
semester pertama. Di semester satu, semua mahasiswa di tujuh universitas ini mempelajari
modul yang sama: International Law, Geopolitics, Public Health, Management, Anthropology,
Psychology. Sedangkan, di semester dua, setiap universitas ini memiliki kajian yang berbeda
Uppsala Universiteit tempat saya belajar di semester dua mengajarkan Conflict, Peace Studies
and Religion in Humanitarian Action.
Tantangan terberat saya selama belajar di Eropa, saya alami saat semester satu. RuG sangat
terkenal dengan tradisi keilmuwannya yang sangat tinggi dan berkualitas. Pada program NOHA
sendiri, RuG sangat terkenal ketat dalam memberikan banyak tugas. Hampir tiap malam saya
harus tidur larut karena mempersiapkan kelas keesokan paginya dan mengerjakan tugas kuliah.
Keluhan ini tidak hanya dirasakan oleh saya namun juga oleh hampir semua teman-teman
sekelas. Saya menyadari betul bahwa saya harus bekerja lebih keras mengingat teman-teman
yang mayoritas datang dari negara Eropa Barat pasti sudah sangat familiar dengan sistem
pengajaran. Ini harus saya lakukan jika saya tidak mau ketinggalan. Pernah suatu kali, ada tugas
debat untuk kuliah geopolitics. Kami dibagi ke dalam berbagai macam topik dan kelompok
(affirmative (mendukung topik debat) dan negative (oposisi terhadap topik debat)). Saya
kemudian berpartner dengan teman Belanda yang diharuskan mendukung sebuah topik debat
(affirmative). Saya menghubungi sahabat saya yang telah aktif sebagai debater untuk latihan
sebelum kelas dimulai. Dengan menggunakan media skype saya melakukan simulasi dengan
sahabat saya yang juga sedang mengambil S2 di Paris ini. Persiapan ini sangat membantu saya
mendapatkan nilai 8,5 (dari total 10). Dari 25 teman sekelas, kurang dari sepuluh orang
mendapatkan nilai diatas 8. Sekali lagi saya menyadari, bahwa preparation makes perfect.
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

Meskipun begitu, ada juga saat dimana saya down jika saya tidak memenuhi target belajar. Tapi,
apapun itu, everything goes for some good reasons, pasti ada alasan yang baik dibalik semua
hal yang terjadi. Dukungan dari teman-teman sekelas juga sangat membantu. Hal ini bisa
ditemukan dalam tugas kelompok yang mengambil porsi besar di semester awal di RuG. Tidak
jarang, kami saling back-up dan memberi masukan satu sama lain saat proses pengerjaan tugas.
Pada akhir Bulan Januari 2010, saya terbang ke Uppsala Universiteit, Swedia, untuk memulai
semester dua saya di universitas tersebut. Dari jauh-jauh hari, teman-teman saya sudah
mengingatkan tentang udara dingin di Swedia. Benar saja, cuaca adalah tantangan pertama saya
di negara tersebut. Saya datang di tengah musim dingin bersuhu minus 20. Uppsala yang
merupakan kota pelajar benar-benar tertutup oleh salju. Di bulan pertama, saya tidak sanggup
berjalan kaki karena udara yang sangat dingin sekali. Kebiasaan saya bersepeda di Belanda pun
harus saya kesampingkan. Namun dengan biaya transportasi yang cukup mahal, saya harus mulai
membiasakan diri untuk berjalan kaki. Maka dimulailah petualangan berjalan di antara gundukan
salju besar di kota yang hampir semua bangunan dan pepohonan nya tertutup salju. Pernah suatu
pagi, dengan sudah menggunakan dua sarung tangan, saya berangkat ke kampus. Saat tiba di
kampus, dua teman sekelas saya dari Amerika Serikat dan Skotlandia menyapa saya sambil
tersenyum dan bertanya: Selamat Pagi, Nisa, tahu tidak suhu diluar berapa? Saya yang baru
sampai di kelas hanya bisa menggeleng kepala. Lalu mereka sambil tersenyum berkata: Ini
minus 30. Sambil melepas sarung tangan, saya tersenyum kecil dan bilang ke teman Amerika
saya: Hei Peter, saya harus memberi reward ke diri saya sendiri, I survive. Di hari yang sama,
suhu di Jakarta 30 derajat. Sangat tidak terbayangkan saya terdampar di sebuah negara
Skandinavia yang suhunya sangat jauh berbeda dengan Indonesia. Keadaan ini membuat saya
benar-benar tertantang. Saya kemudian ikut keempat teman saya pergi mengunjungi Festival
Musim Dingin di Jokkmokk, Swedia Utara. Jokkmokk sendiri terletak persis di dalam garis
antartika. Perjalanan kesana ditempuh 14 jam dengan kereta dari Uppsala. Tantangan kedua
melawan cuaca adalah saat saya bersama teman-teman sekelas pergi ke Estonia dengan
menggunakan kapal pesiar dari Stockholm. Sesampai di Estonia, salah satu negara di Eropa
Timur, kami langsung ditantang badai salju. Benar-benar pengalaman tidak terlupakan.
Pengalaman belajar di Uppsala sedikit berbeda dengan di Belanda. Tugas-tugas yang diberikan
di Uppsala tidak sebanyak saat semester satu. Meskipun begitu, secara individu kami diberikan
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

tugas besar untuk melakukan riset mendalam mengenai sebuah konflik termasuk membuat
skema resolusi konflik nya. Tugas paper konflik analisis ini nantinya dipresentasikan di depan
kelas. Menurut professor saya di Uppsala, sistem kuliah di Swedia memberikan ruang bagi
mahasiswa nya untuk melakukan refleksi atas apa yang mereka pelajari, sedikit berbeda dengan
di Belanda dimana mahasiswa diberikan banyak tugas. Bahkan, pernah suatu ketika, professor
saya merevisi deadline pengumpulan ujian tulis yang pada awalnya hari Sabtu menjadi hari
Senin depan. Hal ini dikarenakan ada hukum di Swedia yang mengatur para pengajar untuk tidak
membebankan tugas kepada mahasiswa saat weekend. Pikir saya, benar-benar luar biasa negara
ini, hingga hal seperti itu sangat dihargai dan diatur.
Pada dasarnya, saya merasa lebih disiplin saat di Uppsala. Seperti kebiasaan saya semenjak
kuliah di UGM, saya merencanakan awal semester dengan target yang ingin saya capai, yang
nantinya saya rinci kecil-kecil kepada target mingguan dan harian. Selama di Swedia saya
berkomitmen untuk mulai mengerjakan thesis dan fokus mencari kemungkinan magang di
organisasi kemanusiaan. Program magang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
mahasiswa NOHA di semester 3. Saya memulai dua hal ini disaat belum ada teman satu kelas
saya memulai. Namun kembali lagi saya berpikir, dengan kemampuan mereka, saya yakin
mereka bisa lebih cepat bekerja. Jadi, agar nantinya saya tidak ketinggalan saya harus mulai
sedari awal. Pada Bulan Maret 2010, saya kembali ke Belanda selama satu minggu untuk
melakukan bimbingan thesis Bab 1 dan 2. Professor saya sempat bertanya bagaimana saya bisa
mengerjakan dua bab thesis disaat kuliah aktif berjalan di Uppsala. Dan sekali lagi, ini ada pada
manajemen waktu yang terkendali.
Pada kisaran periode itu juga, saya harus memulai mencari magang di organisasi kemanusiaan di
Eropa. Sebagai penerima beasiswa Erasmus Mundus, Komisi Uni Eropa meminta para awardee
untuk melakukan magang di Eropa. Ini artinya, saya harus berkompetisi dengan orang-orang dari
berbagai penjuru dunia untuk mendapatkan kesempatan magang di Eropa. Saya sendiri berharap
dapat melakukan magang di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ini bagian dari mimpi masa
kecil. Maka mulailah saya mencari informasi tentang organisasi PBB yang membuka
kesempatan magang. Aplikasi pertama, saya kirimkan ke United Nations Educational, Scientific
and Cultural Organization (UNESCO), Paris, Prancis. Tidak ada jawaban. Saya kemudian
berpikir, saya harus mempersiapakan lebih baik untuk aplikasi selanjutnya. Kemudian saya
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

mengirimkan aplikasi kedua ke United Nations Office for Coordination of Humanitarian Affairs
(UN OCHA), Jenewa, Swiss. Saya harus jujur, sejak awal saya pesimis bisa mendapatkan posisi
ini karena UN OCHA merupakan salah satu aktor utama dan penting di sektor humanitarian
action. Saya bahkan sudah meniatkan ini hanya latihan saja untuk seleksi magang selanjutnya.
Satu minggu setelah aplikasi saya masuk, saya dihubungi untuk mengikuti seleksi tertulis via
email. UN OCHA akan mengirimkan satu dokumen yang berisi laporan kemanusiaan mereka di
Haiti dan saya diminta menganalisis dari berbagai aspek koordinasi yang mereka sebutkan dalam
lembar pertanyaan. Saya diminta menjawab dengan mengacu pada dokumen yang mereka
berikan. Pertanyaan ini harus saya kirimkan dalam waktu satu jam sejak mereka mengirimkan
email pertanyaan beserta dokumennya. Saya tidak bisa berpikir hal lain kecuali mengerjakan apa
yang saya bisa. Beberapa hari setelah saya mengirimkan test tertulis ini, saya dihubungi untuk
wawancara. Saya kemudian diwawancara oleh empat orang via telepon dari Jenewa. Pertanyaan
berkisar apa yang bisa saya berikan pada UN OCHA, apa pengalaman Anda di humanitarian
action, apa rencana Anda setelah magang. Di akhir wawancara, mereka mengatakan, akan
memberi tahu hasil wawancara 3 hari kemudian. Namun hanya berselang beberapa jam, mereka
menghubungi bahwa saya diterima magang di UN OCHA, Jenewa, Swiss selama tiga bulan.
Saya sungguh sangat bersyukur mengingat tiga teman saya dari Belanda, Irlandia dan Nepal juga
mendaftar posisi yang sama. Saya mengakhiri studi saya di Swedia dengan indah seperti
pemandangan musim semi yang indah di akhir proses belajar saya di negara Skandinavia itu.
Saya mendapatkan magang di sebuah sebuah organisasi penting dan lulus di Uppsala dengan
predikat Very Good, nilai tertinggi di sistem pendidikan Swedia. Benar-benar tidak
terbayangkan.
Setelah dari Swedia saya sempat menikmati liburan musim panas di Prancis sebelum kembali ke
rutinitas yang baru: MAGANG. Saya terbang ke Jenewa awal Agustus. Sesuai rencana, saya
akan magang selama tiga bulan hingga Oktober. Sehari setelah saya tiba di Jenewa, saya
langsung bekerja. Saya datang disaat yang tepat, saat UN OCHA mulai mengirimkan personel
nya ke Pakistan. Saya magang di Surge Capacity Section yang bertanggung jawab terhadap
pengiriman personel ke daerah konflik atau pun bencana alam. Tugas pertama saya adalah
mencari Resolusi PBB yang mengatur tentang pengiriman personel. Hari berikutnya saya
diminta untuk membuat chart yang berisi informasi keberangkatan setiap personel yang dikirim
ke Pakistan. Chart ini akan menjadi acuan bagi UN OCHA untuk melihat kapasitas sumber daya
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

manusia yang mereka miliki. Tugas ini membuat saya menjadi orang yang memiliki informasi
komprehensif tentang pengiriman personel. Sebagai follow up atas tugas ini, saya juga diminta
untuk mempersiapkan briefing book bagi UN Under-Secretary General (UN USG) yang saat itu
akan berkunjung ke Pakistan. Tidak hanya itu, saya juga diminta untuk melakukan
korespondensi langsung terkait Memorandum of Understanding (MoU) dengan partner OCHA.
Tugas ini sangat menantang mengingat saya harus mengetahui betul apa yang menjadi hak dan
kewajiban OCHA dan partner di setiap klausul MoU. Saya juga ikut membantu OCHA dalam
menyeleksi independent consultant yang tertarik untuk dikirimkan sebagai personnel OCHA.
Saya langsung mengasisteni proses seleksi dan bisa mendapatkan akses untuk ikut serta dalam
proses pemilihan bersama panel seleksi yang terdiri dari OCHA New York, OCHA Geneva dan
OCHA di kantor regional (Panama/Dubai/Bangkok). Mendapatkan kesempatan magang di PBB
juga berarti mendapatkan akses untuk mengikuti rapat-rapat penting yang mereka lakukan. Di
awal terjadinya banjir di Pakistan, saya sempat mengikuti rapat koordinasi kemanusiaan antara
OCHA New York, OCHA Geneva dan OCHA Pakistan. Rapat koordinasi yang sebelumnya
hanya bisa saya bayangkan selama mengkuti kelas di RuG, sekarang bisa saya ikuti langsung.
Pengalaman ini membuka pemikiran saya untuk bisa bekerja lebih keras lagi, tidak hanya untuk
karier saya sendiri tapi juga untuk kemanusiaan. Paling tidak, dengan bencana alam yang sering
terjadi di Indonesia, kajian terhadap humanitarian action benar-benar sangat dibutuhkan.
Salah satu hal yang saya syukuri dari proses belajar di Eropa adalah mempelajari bagaimana etos
kerja orang Eropa. Kuliah di Belanda mengajarkan saya bagaimana menjadi pribadi yang lebih
organized. Orang Belanda sangat mengatur aktifitasnya per hari. Hampir semua orang Belanda
memiliki buku agenda kegiatan yang mencatat semua hal yang mereka laksanakan. Komitmen
pribadi ini juga ditunjukkan saat mereka berinteraksi. Berbeda sedikit dengan orang Belanda,
bekerja dengan orang Jerman menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Saya sangat menikmati
bekerja kelompok dengan orang Jerman yang sangat serius, detail, punctual dan pekerja keras.
Sejujurnya, saya belajar banyak dari teman saya orang Jerman yang mengatur segala aktivitas
kehidupannya dengan rigid. Jika dia memutuskan belajar, maka dia akan menghentikan segala
aktifitas yang tidak ada kaitannya dengan tugas kuliah. Orang Jerman sangat deterministik, salah
satu hal yang menurut saya, membuat mereka menjadi bangsa yang maju. Belajar di Uppsala
memberi kesempatan kepada saya untuk belajar bagaimana cara bekerja orang Swedia.
Dibandingkan orang Belanda dan Jerman, orang Swedia lebih fleksibel. Hal ini bisa ditunjukkan
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

dari bagaimana mereka memiliki academic hour (15 menit) untuk mengakomodasi
keterlambatan. Meskipun begitu, orang Swedia terkenal dengan integritas nya yang tinggi.
Tingkat kepercayaan satu sama lain juga sangat tinggi.
Setelah selesai magang, saya kembali ke Belanda untuk melakukan wawancara terkait proses
magang dengan dosen saya di RuG. Saya juga mengagendakan bertemu dengan dosen
pembimbing thesis. Situasi pada awal November benar-benar tidak kondusif karena saya sangat
tidak tenang dengan kondisi Gunung Merapi saat itu. Hampir tiap hari saya menelpon keluarga
saya yang tinggal 30 km dari Puncak Merapi. Kegelisahan saya ini sebenernya sudah bisa dicium
kolega saya di PBB yang sangat supportif dan rajin menanyakan kabar keluarga saya. Bahkan
mereka meminta saya untuk menggunakan telepon PBB sewaktu-waktu jika ada kondisi baru
yang terjadi. Hidup jauh dari keluarga disaat kondisi tidak menentu memang benar-benar
menyiksa. Dari sisi positif, ini menjadi motivasi saya untuk segera menyelesaikan urusan saya di
Belanda. Pada saat wawancara magang, dosen saya menginformasikan bahwa PBB menilai
kemampuan kerja saya sangat baik. Mereka dalam surat nya, bahkan sangat merekomendasikan
saya untuk dapat diterima di organisasi yang sesuai dengan profile saya. Fakta ini membuat saya
sangat lega. Terkait thesis, dosen saya mengaku sangat senang dengan hasil pekerjaan saya
meski ada beberapa revisi kecil yang harus saya perbaiki. Satu minggu setelah semua urusan
saya selesai, saya kemudian kembali ke tanah air.
Hingga detik ini saya tidak henti-hentinya bersyukur atas nikmat dan kemudahan yang Tuhan
berikan kepada saya. Sejak berjuang masuk UGM saya memang mengandalkan kerja keras
dengan persiapan yang memadai jika akan melakukan sesuatu. Hal ini saya lakukan karena saya
paham kapasitas dan kemampuan saya yang masih kalah jauh dari banyak orang. Ini mengapa
saya harus bisa mempersiapkan diri untuk bisa melangkah satu step lebih awal dari yang lain.
Saya harus berterima kasih kepada kedua orang tua saya yang sejak kecil mengajarkan
kedisiplinan dan pentingnya sebuah visi dalam menjalani hidup. Visi inilah yang kemudian saya
baca sebagai langkah awal untuk melihat pencapaian apa yang ingin saya raih. Setiap hari visi
ini dikerjakan melalui baby step yang harus saya jalani dengan komitmen kedisiplinan. Saya
ingin mewujudkan banyak mimpi di hidup saya. Ini mengapa saya harus siap untuk
memperjuangkannya. Seperti kata Paolo Coelho, yang membuat hidup ini menarik adalah
kemungkinan mewujudkan impian menjadi kenyataan (The Alchemist).
UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

10

TENTANG PENULIS
ANNISA GITA SRIKANDINI merupakan mahasiswi angkatan 2004 pada
Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIPOL) UGM. Annisa merupakan lulusan tercepat pada periode
kelulusan bulan November 2007, yaitu 3 tahun 9 hari dan predikat Cum
Laude dengan IPK tertinggi di antara mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional yang lulus pada periode tersebut. Annisa juga beberapa kali
mengikuti konferensi dan pelatihan tingkat internasional yang antara lain: Workshop for Peace
Educators in Southeast Asia, Miriam College, Filipina pada tahun 2009; Delegasi Indonesia pada
ASEAN Youth Summit 2008 di Bangkok, Thailand yang diselenggarakan oleh Kementrian Luar
Negeri Thailand; ASEAN Emporiums Class di University of Malaya, Malaysia pada tahun 2007.
Pada tahun 2010, Annisa telah berhasil memperoleh gelas masternya pada studi Humanitarian
Action yang merupakan salah satu Program dari Erasmus Mundus dari Rijkuniversiteit of
Groningen, Belanda dan Uppsala Universiteit, Swedia. Selain itu, Annisa juga berhasil
memperoleh kesempatan magang di United Nations Officer for Coordination of Humanitarian
Affairs (UN OCHA) Surge Capacity Section di Geneva, Swiss pada bulan Agustus sampai
Oktober 2010. Saat ini Annisa aktif sebagai staff pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan
Internasional UGM.

UGM Pelita Jalan Kami Indonesia Kami Datang

11

Anda mungkin juga menyukai