Anda di halaman 1dari 40

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Gangguan Fungsi Ginjal / Kidney Disease


Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease/CKD) adalah kehilangan fungsi ginjal
secara progesif, yang terjadi berbulan-bulan sampai bertahun-tahun, yang dikarakterisasi
dengan perubahan struktur normal ginjal secara bertahap disertai fibrosis interstisial
(Sukandar, et.al, 2011).
The U.S National Kidney Foundations Kidney Disease Outcomes Quality Initiative
telah mengalami revisi dan menjelaskan stadium CKD. Stadium dibuat berdasarkan ada
tidaknya gejala dan progesivitas penurunan Laju filtrasi glomerulus (Glomerulus Filtration
Rate/GFR), yang dikoreksi per satuan tubuh (per1,73m 2). GFR normal pada dewasa sehat
kira-kira 120-130 mL per menit. Stadium penyakit ginjal adalah sebagai berikut (Corwin,
2009):
a) Stadium I : Kerusakan ginjal (kelainan atau gejala dari patologi kerusakan,
mencakup kelainan dalam pemeriksaan darah atau urine atau dalam pemeriksaan
pecitraaan) dengan GFR normal atau hamper normal, tepat atau di atas 90
mL/menit (75% dari nilai normal)
b) Stadium 2 : GFR antara 60 dan 89 mL/menit, dengan tanda kerusakan ginjal.
Stadium ini dianggap sebagai salah satu tanda penurunan cadangan ginjal.
Nefron yang tersisa dengan sendirinya sangat rentan mengalami kegagalan fungsi
saat terjadi kelebihan beban. Gangguan ginjal lainnya mempercepat penurunan
fungsi ginjal.
c) Stadium 3 : GFR antara 30 59mL/menit. Insufisiensi ginjal dianggap terjadi
pada stadium ini. Nefron terus menerus mengalami kematian.
d) Stadium 4 : GFR antara 15 -29 m/menit dengan hanya sedikit nefron yang
tersisa.
e) Stadium 5 : gaggal ginjal stadium lanjut dengan GFR <15 mL/menit. Nefron
yang masih berfungsi tinggal beberapa. Terbentuk jaringan parut dan atrofi
tubulus ginjal.
CKD stadium 5 dikenal sebagai penyakit ginjal tahap akhir (End Stage Renal
Disease/ESRD), terjadi ketika GFRturun kurang dari 15 mL/menit.Pasien dengan CKD stage
5 memerlukan dialysis berkepanjangan atau transplantasi ginjal untuk mengurangi gejala
uremik (Sukandar, et.al, 2011).

1.1 PATOFISIOLOGI GAGAL GINJAL KRONIK


Beberapa susceptibility faktor dapat meningkatkan resiko terjadinya gangguan ginjal,
namun tidak semua faktor tersebut menyebabkan kerusakan ginjal. Faktor tersebut
diantaranya usia lanjut, penurunan masssa ginjal dan kelahiran dengan bobot rendah, ras dan
etnik minoritas, riwayat keluaga, inflamasi sitemik, serta dislipidemia.
Faktor inisial mengawali kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi melalui terapi
obat.Faktor inisiasi tersebut diantanya diabetes mellitus, hipertensi, penyakit autoimun,
penyakit ginjal polycystic dan toksisitas obat.
Faktor progesif dapat memercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisiasi gagal
ginjal.Faktor-faktor tersebut diantaranya glikemia pada diabetes, protenuria, dan merokok.
Kebanyakan nefropati progesif berakhir pada jalur umum menuju kerusakan
parenkimal renal ireversibel dan ESRD. Elemen utamanya adalah kehilanagan massa nefron,
hipertensi kapilari glomerular dan protenuria (Sukandar, et.al, 2011).
1.2 GEJALA GAGAL GINJAL KRONIK
Pasien CKD stage 1 dan 2 umumnya tidak mengalami gejala atau gangguan
metabolik yang umumnya dialami pasien CKD stage 3 sampai 5 yakni anemia,
gangguan kardiovaskular, malnutrisi, serta abnormalitas cairan dan elektrolit yang
merupakan pertanda kerusakan fungsi ginjal.
Gejala uremik (lelah, lemah, nafas sesak, mual, muntah, pendarahan dan anoreksia)
umumnya tidak muncul pada CKD stage 1 dan 2
Pada pasien CKD stage 5 selain gejala uremik juga mengalami gatal, kenaikan berat
badan, dan neuropati perifer (Sukandar, et.al, 2011).

Gambar 1.Patofisiologi gagal ginjal (Sukandar, et.al, 2011)


1.3 PERANGKAT DIAGNOSTIK
Radiograft atau ultrasound akan memperlihatkan ginjal yang kecil dan atrofi
Nilai BUN serum, kreatinin, dan GFR tidak normal.
Hematokrit dan hemoglobin turun
pH plasma rendah (Corwin, 2009)
1.4 PENATALAKSANAAN
Tujuan Terapi :
o Memperlambat perkembangan CKD
o Minimalisasi perkembangan atau keparahan komplikasi
o Untuk CKD stage 5, tujuan terapi untuk optimalisasi kualitas hidup pasien.
Terapi Modifikasi Perkembangan Penyakit :
Penanganan CKD dapat dilakukan melalui terapi farmakologi dan non farmakologi
seperti di bawah ini (Sukandar, et.al, 2011):

Gambar 2. Modifikasi perkembangan penyakit gagal ginjal non diabetic (Sukandar,


et.al, 2011).
Terapi Non-Farmakologi
Diet rendah protein (0,6-0,75 g/kg/hari) dapat membantu memperlambat perkembangan
CKD pada pasien dengan atau tanpa diabetes (Sukandar, et.al, 2011).

Terapi Farmakologi
Pada Penderita Hipertensi
Kontrol tekanan darah yang memadai ( <130/80 mmHg) dapat mengurangi laju
penurunan GFR dan albumin dariapada pasien dengan atau tanpa diabetes.

Terapi anti hipertensi untuk pasien CKD sebaiknya diawali dengan Angiotensin
Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin Receptor blocker(ARB).
Calsium Chanel Blocker nondihidropiridin biasanya digunakan sebagai obat
antiproteinuria lini kedua apabila penggunaan ACEI atau ARB tidak dapat
ditoleransi.
Klirens ACEI menurun pada kondisi CKD sehingga sebaiknya terapi dimulai
dengan pemberian dosis rendahyang memungkinkan diikutidengan titrasi
meningkatuntuk mencapai target tekanan darah (Sukandar, et.al, 2011).
Abnormalitas Caira dan Elektrolit
Kemampuan ginjal untuk menyesuaikan perubahan cepat terhadap asupansodium
pada pasien dengan ESRD sudah hilang. Pembatasan sodium melalui pengaturan
makanan tanpa tambahan garam tidak direkomendasikan meskipun pasien
memiliki hipertensi/edema. Kondisi keseimbangan sodium yang negatif dapat
menurunkan perfusi ginjal dan menyebabkan penurunan GFR lebih lanjut.
Terapi menggunakan diuretik loop, apabila diberikan melalui infus kontinyu, dapat
meningkatkan volume urin dan ekskresi sodium ginjal. Meskipun diuretik thiazide
tidak efektif pada kondisi klirens kreatinin <30 mL/menit, penambahan diuretik
loop dapat meningkatkan ekskresi sodium dan air (Sukandar, et.al, 2011).
Anemia
Penyebab utama anemia pada pasien ESRD dan CKD adalah melalui eritropoetin.
Faktor lain yang berkontribusi adalah penurunan siklus hidup sel darah merah,
kehilangan darah, dan defisiensi besi (Sukandar, et.al, 2011).
ESRD
Pada penyakit stadium lanjut, terapi berupa dialysis atau transplantasi ginjal
(Corwin, 2009).
2. Hipetensi
2.1 DEFINISI HIPERTENSI
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan diukur paling tidak pada
tiga kesempatan yang berbeda (Corwin, 2009). Prevalensi penyakit ini meningkat dengan
bertambahnya usia. Hipertensi didefinisikan sebagai peningkatan tekanan terus-menerus

sebesar 140/90 mmHg, suatu criteria yang menunjukkan bahwa risiko penyakit
kardiovaskular yang berkaitan dengan hipertensi cukup tinggi sehingga perlu mendapat
perhatian medis (Goodman & Gilman, 2008).The Seventh Joint National Committee (JNC 7)
mengklasifikasikan tekanan darah pada orang dewasa sebagai berikut (National Institutes of
health, 2003):
KLASIFIKASI
Normal
Prehipertensi
Hipertensi stage I
Hipertensi stage II

SISTOLE (mmHg)
<120
120 139
140 - 159
160

DIASTOLE (mmHg)
<80
80 - 89
90 99
100

Hipertensi emergency merupakan meningkatnya tekanan darah secara akut ataupun


progresif yang dapat merusak organ dengan tekanan darah > 180/120 mmHg (Dipiro, 2008)
2.2 ETIOLOGI
Hipertensi merupakan suatu penyakit dengan kondisi medis yang beragam. Suatu
penyebab khusus hipertensi hanya dapat ditemukan pada 10-15% penderita (Katzung, 1998).
Pada kebanyakan pasien etiologi patofisiologinya tidak diketahui, dan disebut hipertensi
esensial atau hipertensi primer (Depkes 2006; Katzung 1998). Hipertensi primer tidak dapat
disembuhkan tetapi dapat dikontrol. Kelompok lain dari populasi dengan persentase rendah
mempunyai penyebab yang khusus, dikenal sebagai hipertensi sekunder. Banyak penyebab
hipertensi sekunder; endogen maupun eksogen. Bila penyebab hipertensi sekunder dapat
diidentifikasi, hipertensi pada pasien-pasien ini dapat disembuhkan secara potensial.
Hipertensi primer (esensial)
Lebih dari 90% pasien dengan hipertensi merupakan hipertensi esensial (hipertensi
primer). Literatur lain mengatakan, hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus
hipertensi. Beberapa mekanisme yang mungkin berkontribusi untuk terjadinya hipertensi ini
telah diidentifikasi, namun belum satupun teori yang tegas menyatakan patogenesis hipertensi
esensial tersebut. Hipertensi sering turun temurun dalam satu keluarga, hal ini setidaknya
menunjukkan bahwa faktor genetik memegang peranan penting pada patogenesis hipertensi
primer (Dipiro, 2008).
Etiologi multifaktor yang meliputi :

Kerentanan genetik

Aktivitas berlebihan sistem saraf simpatik

Membran transport Na/K yang abnormal

Penggunaan garam yang berlebihan

Sistem renin-angiotensin aldosteron yang abnormal

Hipertensi sekunder
Kurang dari 10% penderita hipertensi merupakan pasien hipertensi sekunder dari
penyakit komorbid atau obat-obat tertentu yang dapat meningkatkan tekanan darah. Pada
kebanyakan kasus, disfungsi renal akibat penyakit ginjal kronis atau penyakit renovaskular
adalah penyebab sekunder yang sering. Obat-obat tertentu, baik secara langsung ataupun
tidak, dapat menyebabkan hipertensi atau memperberat hipertensi dengan menaikkan tekanan
darah. Penyakit dan obat ini dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Penyakit
penyakit ginjal kronis
hiperaldosteronisme primer
penyakit renovaskular
sindroma Cushing
pheochromocytoma
koarktasi aorta
penyakit tiroid atau paratiroid

Obat
Kortikosteroid, ACTH
Estrogen (biasanya pil KB dg kadar

estrogen tinggi)
NSAID, cox-2 inhibitor
Fenilpropanolamine dan analog
Cyclosporin dan tacrolimus
Eritropoetin
Sibutramin
Antidepresan (terutama venlafaxine)

Gambar 1.Beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hipertensi (Vikrant & Tiwari,
2001).
2.3 PATOFISIOLOGI HIPERTENSI
Mekanisme Humoral
Beberapa kelainan humoral yang terlibat dalam pengembangan hipertensi esensial:
1. Sistem Renin Angiotensin-Aldosteron
Mekanisme patofisiologi hipertensi salah satunya dipengaruhi oleh sistem renin
angiotensin aldosteron, dimana hampir semua golongan obat anti hipertensi bekerja
dengan mempengaruhi sistem tersebut.Renin angiotensin aldosteron adalah sistem
endogen komplek yang berkaitan dengan pengaturan tekanan daraharteri.Aktivasi dan
regulasi sistem reninangiotensin aldosteron diatur terutamaoleh ginjal.Sistem renin
angiotensin aldosteron mengatur keseimbangan cairan, natrium dan kalium. Sistem ini
secara signifikan berpengaruh pada aliran pembuluh darah dan aktivasi sistem saraf
simpatik serta homeostatik regulasi tekanan darah (Dipiro, 2008).
Renin adalah enzim yang disimpan dalam sel juxtaglomerular, yang terletak di
arteriol aferen ginjal. Pengeluran renin dimodulasi oleh beberapa faktor: faktor
intrarenal (tekanan perfusi ginjal, katekolamin, angiotensin II) dan faktor ekstrarenal
(natrium, klorida, dan kalium).

Gambar 2. Mekanisme hipertensi terkait renin-angiotensin aldosteron (Dipiro,2008)


2. Hormon Natriuretik
Hormon natriuretik menghambat natrium dan kalium-adenosin tripospatase
sehingga mengganggu transportasi natrium di membran sel. Hormon ini mengurangi
kemampuan ginjal untuk mengekskresikan natrium dan menyebabkan volume darah
meningkat. Hormon ini diduga memblok transportasi aktif natrium keluar dari arteriol
sel otot polos, dan konsentrasi natrium intraseluler meningkat dan pada akhirnya akan
meningkatkan tonus pembuluh darah dan tekanan darah (Dipiro, 2008).
3. Resisten Insulin dan Hiperinsulinemia
Konsentrasi insulin meningkat dapat menyebabkan hipertensi karena retensi
natrium meningkat dan meningkatkan aktivitas sistem saraf sistematis. Selain itu,
insulin dapat menginduksi hipertrofi otot polos pembuluh darah. Insulin juga dapat
meningkatkan

tekanan darah dengan meningkatkan kalsium intraseluler, yang

mengarah ke meningkatnya resistensi vascular. Tidak diketahui mekanisme yang tepat


dimana resistensi insulin dan hiperinsulinemia (Dipiro, 2008).

2.4

FAKTOR RESIKO

2.5

Usia (55 tahun untuk laki-laki dan 65 tahun untuk wanita)


Diabetes Melitus
Dislipidemia
Microalbuminuria
Keluarga memiliki riwayat penyakit jantung
Obesitas
Perokok (Dipiro, 2008)
GEJALA
Pada pemeriksaan fisik, tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang

tinggi (Dipiro, 2008).


2.6 DIAGNOSA
Data diperoleh melalui anamnesis mengenai keluhan pasien, riwayat penyakit dahulu
dan penyakit keluarga, pemeriksaan fisik, tes laboratorium rutin, dan prosedur diagnostik
lainnya.
Pemeriksaan fisik termasuk pengukuran tekanan darah yang benar, pemeriksaan
funduskopi, perhitungan BMI (body mass index) yaitu berat badan (kg) dibagi dengan tinggi
badan (meter kuadrat), auskultasi arteri karotis, abdominal, dan bruit arteri femoralis; palpasi
pada kelenjar tiroid; pemeriksaan lengkap jantung dan paru-paru; pemeriksaan abdomen
untuk melihat pembesaran ginjal, massa intra abdominal, dan pulsasi aorta yang abnormal;
palpasi ektremitas bawah untuk melihat adanya edema dan denyut nadi, serta penilaian
neurologis.
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium rutin yang direkomendasikan sebelum memulai terapi
antihipertensi adalah urinalysis, kadar gula darah dan hematokrit; kalium, kreatinin, dan
kalsium serum; profil lemak (setelah puasa 9 12 jam) termasukHDL, LDL, dan trigliserida,
serta elektrokardiogram. Pemeriksaan opsional termasuk pengukuran ekskresi albumin urin
atau rasio albumin / kreatinin.Pemeriksaan yang lebih ekstensif untuk mengidentifikasi
penyebab hipertensi tidak diindikasikan kecuali apabila pengontrolan tekanan darah tidak
tercapai.
2.7

PENATALAKSANAAN
Tujuan umum pengobatan hipertensi adalah :

Penurunan mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan hipertensi.Mortalitas


dan morbiditas ini berhubungan dengan kerusakan organ target (misal: kejadian
kardiovaskular atau serebrovaskular, gagal jantung, danpenyakit ginjal)
Mengurangi resiko merupakan tujuan utama terapi hipertensi, dan pilihan terapi obat
dipengaruhi secara bermakna oleh bukti yang menunjukkanpengurangan resiko.
Target nilai tekanan darah yang di rekomendasikan dalam JNC VII :
Kebanyakan pasien < 140/90 mm Hg
Pasien dengan diabetes < 130/80 mm Hg
Pasien dengan penyakit ginjal kronis < 130/80 mm Hg

2.7.1

Terapi Nonfarmakologi (Depkes, 2006)


Modifikasi Gaya Hidup untuk Mengontrol Hipertensi
MODIFIKASI

REKOMENDASI

KIRA-KIRA PENURUNAN
TEKANAN DARAH

Penurunan berat badan Pemeliharaan berat badan


(BB)

(RANGE)
5-20 mmHg/kg penurunan BB

normal (BMI 18,5-24,9)

Adopsi

pola

DASH

makan Diet kaya dengan buah,


(Dietary

Approach

to

Stop

8-14 mmHg

sayur, dan produk susu


rendah lemak

Hypertension)
Aktifitas fisik

Aktifitas fisik reguler :


seperti

jalan

kaki

menit/hari,

2.8 mm Hg

30

beberapa

hari/minggu
2.7.2

Terapi Farmakologi (Depkes, 2006)


Kelas obat yang dianggap sebagai obat antihipertensi utama :

Diuretik,
Beta bloker,
Angiotensin Converting Enzym Inhibitor (ACEI),
Angitensin Reseptor Bloker (ARB)
Antagonis kalsium

Terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien


Petunjuk dari JNC 7 merekomendasikan diuretik tipe tiazid bila memungkinkan
sebagai terapi lini pertama untuk kebanyakan pasien, baik sendiri atau dikombinasi dengan
salah satu dari kelas lain (ACEI, ARB, penyekat beta, CCB).Diuretik tipe thiazide sudah
menjadi terapi utama antihipertensi pada kebanyakan trial.Pada trial ini, termasuk yang baru
diterbitkan Antihypertensive and Lipid-Lowering Treatment to Prevent Heart Attack Trial
(ALLHAT), diuretik tidak tertandingi dalam mencegah komplikasi kardiovaskular akibat
hipertensi.Kecuali pada the Second Australian National Blood Pressure Trial; dimana
dilaporkan hasil lebih baik dengan ACEI dibanding dengan diuretik pada laki-laki kulit putih.
Diuretik meningkatkan efikasi antihipertensi dari banyak regimen obat, berguna
dalam mengontrol tekanan darah, dan harganya lebih terjangkau dibanding obat antihipertensi
lainnya.Sayangnya disamping kenyataan ini, diuretik tetap kurang digunakan (underused)
(Depkes, 2006).
OBAT-OBAT ANTIHIPERTENSI YANG UTAMA (Depkes, 2006)
KELAS

NAMA OBAT

DOSIS

FREKUENSI

LAZIM

PEMBERIA

(MG/HARI

KOMENTAR

Diuretik

Klortalidon

)
6,25-25

Pemberian pagi hari untuk

tiazid

Hidroklortiazi

12,5-50

menghindari

malam

diuresis

hari;

gol.tiazid

lebih efektif dari diuretik


loop kecuali pada pasien
dengan

GFR

(ClCr<30

rendah
ml/min);

hiroklorotiazid (HCT) dan


klortalidon

lebih

disukai,dengan

dosis

efektif
mg/hari;

maksimum

25

klortalidon

hampir 2 kali lebih kuat


Loop

Furosemid

20 - 80

dibanding HCT.
Pemberian pagi dan sore

diuretik

untuk mencegah diuresis


malam hari; dosis lebih
tinggi

mungkin

diperlukan untuk pasien


dengan
Penahan

Tiamteren

50 - 100

1 atau 2

Kalium

GFR

sangat

rendah atau gagal jantung.


Pemberian pagi dan sore
untuk mencegah diuresis
malam

hari;

diuretik

lemah

biasanya

dikombinasi
diuretik

dengan

tiazid

untuk

meminimalkan
hipokalemia;

karena

hipokalemia dengan dosis


rendah tiazid tidak lazim,
obat-obat
pada

ini

diberikan

pasien

mengalami

yang

hipokalemia

akibat diuretik; hindari


pada

pasien

dengan

penyakit ginjal kronis (


ClCr<30 ml/min); karena
dapat

menyebabkan

hiperkalemia,

terutama

kombinasi dengan ACEI,


ARB
Antagonis
aldosteron

Spironolakton

25 - 50

atau

kalium.
Pemberian

suplemen
pagi

untuk

mencegah diuresis malam


hari;

diuretik

biasanya
dengan

ringan

dikombinasi
tiazid

meminimalkan

untuk
efek

hipokalemia; obat-obat ini


biasanya dipakai untuk
pasien dengan penyakit
ginjal

kronis

ClCr<30ml/min);

dapat

menyebabkan
hiperkalemia,

terutama

kombinasi dengan ACEI,


ARB,

atau

suplemen

ACE

Captopril

12, 5 150

2 atau 3

kalium)
dosis

inhibitor

Ramipril

10-80

1 atau 2

dikurangi

Enalapril

5 -40

1 atau 2

pasien yang sudah dapat

awal
50%

harus
pada

diuretik, yang kekurangan


cairan, atau sudah tua
sekali

karena

hipotensi;

resiko
dapat

menyebabkan
hiperkalemia pada pasien
dengan

penyakit

ginjal

kronis atau pasien yang


juga mendapat diuretik
penahan

kalium,

antagonis aldosteron, atau


ARB; dapat menyebabkan
gagal ginjal pada pasien
dengan

renal

arteri

stenosis; jangan diberikan


pada wanita hamil atau
pada
Angiotensi

Valsartan

80 - 320

pasien

dengan

sejarah angioderma
pemberian pagi untuk

n Reseptor

mencegah diuresis malam

Bloker

hari;

diuretik

ringan

Penyekat

biasanya

dikombinasi

reseptor

dengan

Angiotensi

meminimalkan

hipokalemia; obat-obat ini

tiazid

untuk
efek

biasanya dipakai untuk


pasien dengan penyakit
ginjal

kronis

ClCr<30ml/min);

dapat

menyebabkan
hiperkalemia,

terutama

kombinasi dengan ACEI,


ARB,
Beta

Kardio selektif

bloker

Atenolol

25 100

Bisoprolol

2,5 10

atau

suplemen

kalium)
Dosis

dikurangi50% pada pasien

awal

harus

yang sudah dapat diuretik,


yang kekurangan cairan,
atau

sudah

tua

karena

sekali
resiko

hipotensi;dapat
menyebabkan
hiperkalemia pada pasien
dengan

penyakit

ginjal

kronis atau pasien yang


juga mendapat diuretik
penahan

kalium,

antagonis aldosteron, atau


ACEI;

dapat

menyebabkan gagal ginjal


Non Selektif

pada pasien dengan renal

Propanolol

160 480

Nadalolol

40 -120

arteri

stenosis;

menyebabkan
kering

seperti

tidak
batuk
ACEI,;

jangan digunakan pada

perempuan hamil
Pemberhentian
dapat

tiba-tiba

menyebabkan

rebound hipertensi, dosis


rendah

s/d

sedang

menghambat reseptor 1,
pada

dosis

tinggi

menstimulasi reseptor 2;
dapat

menyebabkan

eksaserbasi

asma

selektifitas

hilang;

keuntungan
pada

bila

tambahan

pasien

dengan

takiaritmia
Antagonis

Amlodipin

2,5 - 10

kalsium

atau

preoperatif hipertensi
bekerja
cepat
(longacting) harus dihindari,
terutama

nifedipin

dan

nicardipin; dihidropiridin
adalahvasodilator perifer
yang

kuat

dari

pada

nondihidropiridin
dapat

dan

menyebabkan

pelepasan
reflex

simpatetik
(takhikardia),

pusing,
flushing,
perifer;

sakit

kepala,

dan

edema

keuntungan

tambahan pada sindroma


Raynaud

OBAT OBAT ANTI HIPERTENSI ALTERNATIF (DepKes, 2006)


KELAS

NAMA

DOSIS

FREKUEMSI

KOMENTAR

OBAT
Alfa bloker

Doxazosin
Terazosin

LAZIM

PEMBERIA

(MG/HARI)
1- 8
1- 20

N
1
1 atau 2

Beritahu

pasien

untuk

berdiri

perlahan

dari

posisi

duduk

atau

berbaring

untuk

meminimalkan

resiko

hipotensi

ortostatik:

keuntungan

tambahan

untuk laki-laki dengan


Benign
Agonis

Klonidin

0,1 0,8

Prostatic

hyperplasia
Pemberhentian

sentral alfa

dapat

rebound

tiba-tiba

menyebabkan
hipertensi,

paling efektif diberikan


bersam adiuretik untuk
Antagonis

Reserpin

0,05 0,25

1 atau 2

mengurangi retensi cairan


Gunakan
bersama

Adrenergik

diuretic

Perifer
Vasodilator

mengurangi retensi cairan


Gunakan bersama dengan

Hidralazin

20 -100

2-4

lansung

untuk

diuretic dan beta bloker


untuk mengurangi retensi
cairan

dan

reflex

takikardi
3. GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease)
Definisi
Berdasarkan Genval Workshop, definisi pasien GERD adalah semua individu yang
terpapar risiko komplikasi fisik akibat refluks gastroesofageal, atau mereka yang mengalami
gangguan nyata terkait dengan kesehatan (kualitas hidup) akibat gejala-gejala yang
terkait

dengan

refluks.

Secara

sederhana, definisi GERD adalah gangguan berupa

regurgitasi isi lambung yang menyebabkan heartburndan gejala lain.

Terdapat dua kelompok GERD. Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis
erosif), didefinisikan sebagai GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa
esofagus distal akibat refluks gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis
GERD erosif adalah endoskopi saluran cerna atas. Yang kedua adalah penyakit refluks
nonerosif (non-erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative
GERD, didefinisikan

sebagai

GERD

dengan

gejalagejala

refluks

tipikal

tanpa

kerusakan mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna. Saat ini, telah
diusulkan konsep yang membagi GERD menjadi tiga kelompok, yaitu penyakit refluks
non-erosif, esofagitis erosif, dan esofagus Barrett.
Patogenesis
Patogenesis PRGE meliputi ketidakseimbangan antara faktor ofensif dan faktor
defensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif antara lain disfungsi SEB atau
sfingter esophagus bawah (lower esophageal sphincter/LES), bersihan asam dari lumen
esofagus, dan ketahanan epitel esophagus. Bentuk anatomik SEB yang melipat berbentuk
sudut, dan kekuatan
menutup dari sfingter, menjadikan SEB berperan penting dalam mekanisme antirefluks.
Peningkatan tekanan intraabdomen (misalnya saat batuk), proses gravitasi saat berbaring, dan
kelainan anatomis seperti sliding hernia hiatal mempermudah terjadinya refluks.Bersihan
asam dari lumen esofagus adalah kemampuan esophagus untuk membersihkan dirinya dari
bahan refluksat. Kemampuan esophagus ini berasal dari peristaltik esofagus primer,
peristaltik esofagus sekunder (saat menelan), dan produksi saliva yang optimal. Ketahanan
epitel esofagus berasal dari lapisan mukus di permukaan mukosa, produksi mukus, dan
mikrosirkulasi aliran darah di post epitel.
Sementara yang menjadi faktor ofensif adalah peningkatan asam lambung, dilatasi
lambung, beberapa kondisi patologis yang mengakibatkan berkurangnya kemampuan
pengosongan lambung seperti obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying. Simptom
khas PRGE adalah heartburn,yaitu rasa terbakar di dada disertai nyeridan regurgitasi (rasa
asam pahit dari lambung terasa di lidah). Salah satu dari keduanya cukup untuk mendiagnosis
PRGE secara klinis. Selain kedua gejala tersebut, PRGE dapat menimbulkan keluhan nyeri
atau rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bawah, disfagia (kesulitan menelan
makanan), odinofagia (rasa sakit waktu menelan), mual dan rasa pahit di lidah. Keluhan

ekstraesofageal yang juga dapat ditimbulkan oleh PRGE adalah nyeri dada non kardiak, suara
serak, laringitis, erosi gigi, batuk kronis, bronkiektasis, dan asma.
Diagnosis
Diagnosis PRGE ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.
Pemeriksaan baku emas untuk mendiagnosis PRGE berdasarkan konsensus Montreal di tahun
2006 adalah pemantauan pH esophagus selama 24 jam. Namun pemeriksaan ini tidak mudah
dilakukan di banyak pusat kesehatan, karena memerlukan alat dan keahlian khusus. Di
Indonesia sendiri, konsensus nasional penatalaksanaan PRGE (2004) menetapkan endoskopi
SCBA sebagai standar baku untuk menegakkan diagnosis PRGE Pada endoskopi SCBA akan
didapatkan mucosal breaks diesophagus, dan pada biopsinya ditemukan esofagitis.

Penatalaksanaan Nonfarmakologi
Penatalaksanaan

GERD

tanpa

obat yang

saat

ini

direkomendasikan

karenadidasari oleh bukti penelitian yang cukup antara lain: 1) menurunkan berat badan
bagi pasien yang overweight (kelebihan berat badan)atau yang baru saja mengalami
peningkatan berat badan, serta 2) menaikkan posisi kepala pada saat tidur dan tidak makan
2-3 jam sebelum waktu tidur malam untuk pasien yang mengalami gejala refluks di malam
hari (nocturnalGERD).

Penatalaksanaan Farmakologi
Obat-obat yang digunakan dalam penatalaksanaan GERD antara lain: golongan
penghambat pompa proton (pr oton pump inhibitor s, PPIs) dan penghambat H2 [H2
blockers atau antagonis reseptor H2 (H2-receptor antagonists, H2RAs)]. Nama obat dari
golongan tersebut beserta dosisnya diberikan pada tabel. Algoritme penatalaksanaan
GERD diberikan pada gambar
Penghambat Pompa Proton dan Antagonis Reseptor H2

Obat-obat dari golongan penghambat pompa proton bekerja dengan cara memblok pompa
proton (H+, K+-ATPase) yang terdapat di membran sel

parietal lambung sehingga

menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal secara irreversibel. Penghambat pompa
proton merupakan prodrug yang tidak stabil dalam suasana asam. Setelah diabsorpsi dari
usus, golongan ini dimetabolisme menjadi bentuk aktifnya yang berikatan dengan pompa
proton. Sementara itu, obat-obat dari golongan antagonis reseptor H2 bekerja dengan cara
memblok reseptor histamin di membran sel parietal lambung. Selain hormon gastrin dan
asetilkolin, histamin adalah salah satu senyawa yang menstimulasi H+, K+-ATPase untuk
mensekresi asam lambung.

BAB II
ILUSTRASI KASUS
2.1 Identitas Pasien
Data Umum
No MR
Nama Pasien
Alamat
Jenis Kelamin
Umur
2.2 Anamnesa

335699
Asmiarti
Jalan Perintis
Kemerdekaan
Perempuan
62 tahun

Ruangan
Dokter yang merawat
Farmasis
Agama

VIP Ambun Suri


dr. khairullah, Sp. PD
Norris Sandy, S. Farm
Islam

Pekerjaan

Pensiunan Guru

Keluhan Utama
Nyeri abdomen 2 jam sebelum masuk IGD, mendesak ke ulu hati
Menganggu aktivitas OS
Menderita maag (+), muntah (+)
Merasakan mual (+), menggigil (+)
BAK tidak lancar dan tidak puas
Riwayat Penyakit Terdahulu

Sakit maag (+) 1 tahun lalu


Hipertensi (+) 2,5 tahun lalu
Kontrol ginjal dan pernah operasi batu ginjal

Diagnosa
GERD (Gastro Esophageal Reflux Disease)
Gangguan Faal Ginjal (Chronic Kidney Disease)
Hipertensi Stage I

2.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Hasil pemeriksaan Kimia Labor


Tanggal 01 April 2015
Parameter
Gluk
Urea
CREAT

Data Laboratorium
Hasil
135 mg/dL
46,5 mg/dL
2,5 mg/dL

Kadar Nilai
Normal
74 106
15,0 43,2
0,6 1,2

Tanggal 02 April 2015


Parameter
Alb
ALT
AST
Bili-D
Bili-T
C_Chol
Gluk
Urea
CREAT
TPROT

Data Laboratorium
Hasil
4,0 g/dL
12U/L
16 U/L
0,19 mg/dL
0,64
205 mg/dL
114 mg/dL
46,5 mg/dL
2,5 mg/dL
5,8 g/dL

Kadar Nilai
Normal
3,8 5,4
0 31
0 31
--- 0,20
--- 1,23
---201
74 106
15,0 43,2
0,6 1,2
6,3 8,4

Hasil data kimia Klinik


Tanggal 01 April 2015
Parameter
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW-SD
RDW-CV
WBC
PLT
PDW
MPV
P-LCR
PCT

Data Laboratorium
Hasil
11,0 g/dL
3,71 10^6/uL
28,2 %
76,0 fl
29,6 pg
39,0 g/dL
31,0 fL
11,5 %
7,11 L
353 L
7,9 fl
8,2 fL
12,5 %
0, 29%

Kadar Nilai Normal


12,0 -14 g/dL
4 5 10^6/uL
37 - 43 %
80-100 (fL)
28-34 pg/sel
32-36 g/dl
5 10 10^3/uL
150 400 10^3/uL

Tanggal 02 April 2015


Data Laboratorium
Hasil
9,7 g/dL
3,28 10^6/uL
25,5 %
77,7 fl
29,6 pg
38,0 g/dL
31,7 fL
11,6 %
5,20 L
330 L
9,0 fl
8,9 fL
16,3 %
0, 29%
30 mm/jam

Parameter
HGB
RBC
HCT
MCV
MCH
MCHC
RDW-SD
RDW-CV
WBC
PLT
PDW
MPV
P-LCR
PCT
LED

Kadar Nilai Normal


12,0 -14 g/dL
4 5 10^6/uL
37 - 43 %
80-100 (fL)
28-34 pg/sel
32-36 g/dl
5 10 10^3/uL
150 400 10^3/uL

< 15 mm/jam

Vital Sign pasien


Tanggal

TD

01/04/15

(mmHg)
150/100

02/04/15

130/70

03/04/15

110/80

04/04/15

130/80

05/04/15

130/80

06/04//15

130/80

Nafas(x/menit) Suhu (C)

Nadi (x/menit)
61

20

88

20

36

TERAPI YANG DIBERIKAN


Obat

Aturan

1/4

2/4

3/4

4/4

5/4

6/4

pakai
D 5% : EAS
Primer

Furosemid

1x1

stop

Ondansentron inj

2x1

stop

Amlodipin 5 mg

1x1

stop

Valsartan 160 mg

1x1

Aminefron

3x1

Lansoprazol

1x1

stop

Bicnat

3x1

As. Folat

2x1

(80

(80

mg)

mg)

BAB III
TINJAUAN OBAT

AMLODIPIN
Komposisi
Kelas Terapi
Mekanisme Kerja

: Amlodipin 10 mg.
: Calsium Channel Bloker.
: Menghambat ion kalsium ketika memasuki saluran lambat
atau area sensitif tegangan selektif pada otot polos vaskuler
dan miokardium selama depolarisasi, menghasilkan relaksasi
otot polos vaskuler koroner dan vasodilatasi koroner,
meningkatkan penghantaran oksigen pada pasien angina
vasospastik.

Dosis

:
Dewasa : dosis awal 5 mg sekali sehari, dosis maksimum 10
mg sekali sehari. Pada umumnya dilakukan titrasi dosis

Indikasi

dengan kenaikan 2,5 mg selama 7-14 hari.


: Pengobatan hipertensi, pengobatan gejala angina stabil
kronis, angina vasospastik, pencegahan hospitalisasi karena
angina dengan penyakit jantung koroner.

Efek Samping

: > 10%: Efek pada kardiovaskuler: edema perifer (2-5%


tergantung dosis.
1-10%: Kardiovaskuler : flushing (1-3%), palpitasi (1-4%).
SSP: sakit kepala (7,3%), pusing (1-3%), fatigue (4%),
palpitasi (1-4%). Dermatologi : rash (1-2%), pruritus (1-2%).
GI : mual (2,9%), sakit perut (1-2%), dyspepsia (1-2%),
hiperplasia gingival. Endokrin dan metabolisme : disfungsi
seksual pada pria (1-2%). Neuromuskular dan skeletal :
kram otot (1-2%), lemah (1-2%). Pernapasan : dyspnea (12%), edema pulmonary (15%).
<1%: gangguan tidur, agitasi, alopesia, amnesia, ansietas,
apathy,

aritmia,

depersonalisasi,
Interaksi Obat

ataksia,
depresi,

bradikardi,
eritema

gagal

jantung,

multiforma,dermatitis

eksfoliatif, symptom ekstrapiramidal.


: Amlodipin meningkatkan efek dari aminofilin, flufoksamin,
meksiletin, mirtazipin, ropinirol, teofilin, trifluoroperazin.
Efek amlodipin dapat ditingkatkan oleh antifungi golongan
azol, klaritromisin, diklofenak, doksisiklin, eritromisin,
imatinib,

isoniazid,

nefodazon,

nikardipin,

propofol,

inhibitor protease, kuinidin, telitromisin, verapamil.


Efek amlodipin dapat diturunkan oleh aminoglutetimida,
karbamazepin, nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin,
rifampisin.
Kontraindikasi

:
Hipersensitivitas terhadap amlodipine atau komponen lain
dalam sediaan. Blok AV derajat 2 atau 3.

Perhatian

:
Gagal jantung kongestif, disfungsi hati, gagal ginjal, hamil
dan laktasi.

Bentuk Sediaan

Edukasi

Tablet.
: Gunakan sesuai yang diresepkan, jangan menghentikan obat
tanpa konsultasi dengan dokter.
Beritahu pasien bahwa obat dapat menyebabkan kantuk,
hindari saat mengemudi atau melakukan tugas-tugas lain
yang membutuhkan kewaspadaan mental.
Anjurkan pasien untuk tidak mengambil obat otc / obat

bebas tanpa konsultasi dokter.


Pasien dianjurkan untuk mengontrol asupan natrium.
Pasien dianjurkan untuk mengontrol tekanan darah dan
selalu kontrol ke dokter untuk melanjutkan pengobatan,
penting untuk tetap menggunakan obat walaupun sudah
merasa sehat untuk membantu mengontrol hipertensi.
Pasien mungkin akan mengalami sakit kepala (jika tidak
dapat diatasi konsultasi ke dokter), mual dan muntah (makan
sejumlah kecil makanan mungkin dapat membantu), atau
konstipasi.
Sebelum menggunakan obat; perhatikan kondisi yang
mempengaruhi penggunaan, khususnya penggunaan pada
orang lanjut usia (waktu paruh obat meningkat, lebih sensitif
terhadap efek hipotensi), gigi (risiko terjadi hiperplasia
gingival), obat lain, kondisi kesehatan lain, khususnya
gangguan hipotensi.
Kesesuaian penggunaan obat; kepatuhan terhadap terapi
(penting untuk tidak menggunakan obat melebihi jumlah
yang diresepkan). Kesesuaian dosis : bila lupa minum obat
maka diminum sesegera mungkin, jangan diminum bila telah
mendekati

pemberian

dosis

selanjutnya,

jangan

menggandakan dosis. Kesesuaian penyimpanan obat : untuk


penggunaan sebagai antihipertensi, mungkin memerlukan
kontrol berat badan dan diet khususnya pemasukan natrium.
Pemberian

:
Bersama atau tanpa makanan, pada pagi hari.

FUROSEMID
Komposisi
Kelas Terapi
Mekanisme Kerja

: Furosemid 40 mg; 10 mg/ml (2 ml).


: Diuretik Kuat.
: Inhibisi reabsorpsi natrium dan klorida pada loophenle,
tubulus distal dan tubulus proximal ginjal. Mempengaruhi
sistem kotranspor ikatan klorida, selanjutnya meningkatkan

Dosis

ekskresi air, natrium, klorida magnesium dan kalsium.


: Edema :Dosis awal 20-80 mg/dosis sebagai dosis tunggal.
Dapat dititrasi lebih dari 600 mg/hari.

Hipertensi :40 mg, dua kali sehari, dosis maksimum 6


mk/kg.
Indikasi

CHF dan gagal ginjal kronis : 2 2,5 gram/hari.


: Penanganan edema yang berhubungan dengan gagal jantung

Efek Samping

koroner dan penyakit hati.


: Hipotensi ortostatik, tromboflebitis,
hipotensi

akut,

hiperglikemia,

aortitis

kronik,

hiperurisemia,

ketidakseimbangan elektrolit.
: Meningkatkan resiko toksisitas litium dan salisilat. Efek

Interaksi Obat

hipotensi dan efek lanjut pada ginjal dari inhibitor ACE dan
NSAID akan meningkatdengan adanya hipovolemia yang
diinduksi oleh furosemida. Colestipol, kolestiramin dan
sukralfat akan menurunkan efek furosemid. Metformin
dapat menurunkan konsentrasi furosemid.
: Hipersensitif terhadap furosemid, atau komponen lain dalam

Kontraindikasi

sediaan atau sulfonil urea, anuria, pasien koma hepatik atau


keadaan penurunan elektrolit parah sampai keadaannya
membaik.
: Monitor dengan ketat dan evaluasi dosis untuk mencegah

Perhatian

ketidakseimbangan cairan dan elektrolit.Berikan perhatian


pada penggunaan bersama obat nefrotoksik atau ototoksik,
: Tablet. Ampul.
: Pasien akan sering berkemih dan volumenya akan lebih

Bentuk Sediaan
Edukasi

banyak.
Janganlah dimanum sebelumtidur karena tidur akan
terganggu dengan seringnya urinasi.
Jika timbul nyeri otot, mual, pusing, radang pada pangkal
tenggorokan, ruam kulit, nyeri pada persendian, segeralah
ke dokter.
VALSARTAN
Golongan
Mekanisme
kerja

:
:

Angiotensin Reseptor Bloker


Valsartan memberikan efek langsung sebagai antagonisme
pada reseptor angiotensin II (AT2), berbeda dengan ACE
inhibitor.Valsartan menggeser angiotensin II dari reseptor
AT1. dan menghasilkan efek penurunan tekanan darah
melalui mengantagonis vasokonstriksi yang diinduksi AT1,

pembebasan aldosteron, katekolamin, vasopresin arginin,


pengambilan air dan respon hipertropik. Mekanisme ini
menghasilkan blokade yang lebih efisien terhadap efek
angiotensin II jantung dengan efek samping lebih sedikit
Sediaan
Indikasi

:
:

dibandingkan inhibitor ACE.


40 mg, 80 mg, 160 mg
Hipertensi ; infark miokardiak dengan kegagalah fungsi
ventrikel kiri atau disfungsi sistolik ventrikel kiri . Obat ini
digunakan sebagai alternatif bagi pasien yang tidak dapat
meneruskan pengobatan dengan ACE inhibitor karena batuk
persistent. Antagonis reseptor angiotensin II dapat digunakan
sebagai alternatif penggunaan inhibitor ACE pada

Dosis

pengobatan gagal jantung atau diabetes nefropati


Hipertensi, biasanya 80 mg sekali sehari (pasien usia lanjut
lebih dari 75 tahun, gangguan fungsi hati ringan sampai
sedang, kerusakan ginjal sedang sampai berat , penurunan
volume intravaskular, dosis awal 40 mg sekali sehari ; bila
perlu dosis ditingkatkan hingga 160 mg sehari minimal
setelah penggunaan 4 minggu. Infark miokardiak : dosis
awal 20 mg dua kali sehari , dosis dinaikkan setelah
pemakaian beberapa minggu hingga 160 mg dua kali sehari
apabila dapat ditoleransi (dosis rendah sebaiknya diberikan

Efek samping

pada pasien dengan gangguan hati ringan hingga sedang


Efek samping biasanya ringan. Hipotensi simptomatik
termasuk pusing dapat terjadi , terutama pada pasien dengan
penurunan volume intravaskular (seperti penggunaan dosis
tinggi diuretik,hiperkalemia kadang-kadang

Interaksi Obat

terjadi;angioedema.
Meningkatkan efek/toksisitas : kadar alsartan dalam darah
ditingkatkan oleh simetidin dan monoksidin ; efek klinik
tidak diketahui. Penggunaan bersama garam/suplemen
kalium, ko-trimoksazol (dosis tinggi), inhibitor ACE dan
diuretik hemat kalium (amilorid, spironolakton, triamteren)
dapat meningkatkan resiko hiperkalemia. Menurunkan efek:

Parameter

fenobarbital, ketokonazol, troleandomisin, sulfafenazol.


Elektrolit, fungsi ginjal, tekanan darah, serum kalium

monitoring
Informasi obat

Hindari penggunaan bersama dengan suplemen garam

yang mengandung kalium


Beritahu dokter jika selama menggunakan obat anda
mengalami : mulut kering; haus ; kelemahan; kurang
berenergi; mengantuk ; gelisah; kebingungan; kejang;
nyeri otot atau kram; lemah otot; denyut jantung
bertambah cepat; masalah pada lambung sepert mual

atau muntah.
Obat ini mengakibatkan pusing dan mengantuk. Hatihati pada saat mengemudi atau mengerjakan pekerjaan
lain

yang

membutuhkan

kewaspadaan

mental,

koordinasi dan ketangkasan fisik.


Perubahan pola hidup (seperti berhenti merokok,
menurunkan berat badan, olah raga, pembatasan asupan
garam) juga membantu menurunkan tekanan darah.

NATRIUM BICARBONAT
Komposisi
Kelas Terapi

: Natrium bikarbonat 500 mg.


: Antidot,
Antasida,

Mekanisme Kerja

product/alkalinizer,Elektrolit.
: Meningkatkan kadar ion bikarbonat yang dapat menetralkan

Urinary

tract

kadar ion hidrogen, sehingga pH darah dan pH urin


Dosis

meningkat, dan mengatasi metabolik asidosis.


: PO : 325 mg - 2 gram, 1 4 kali sehari.
DM untuk pasien < 60 tahun : 16 gram/hari

Indikasi

DM untuk pasien > 60 tahun : 8 gram/hari


: Mengobati matabolik asidosis, mengatasi overdosis obat

Efek Samping

tertentu seperti antidepresan trisiklik dan aspirin.


: Peregangan lambung, flatulen, pendarahan serebral, udem,
kejang tetanus, udem paru, hipernatremia, hiperosmolalitas,
hipokalsemia, hipokalemia, asidosis intrakranial, alkalosis

Interaksi Obat

metabolik.
: Dapat
meningkatkan

toksisitas/kadar

amfetamin,

efedrin,pseudoefedrin, flekainid, kuinidin, dan kuinin akibat


alkalinasi urin.
Dapat menurunkan efek/kadar litium, klorpropamid, dan

salisilat akibat alkalinasi urin.


Penggunaan bersama natrium bikarbonat dengan besi dapat
Kontraindikasi

menurunkan absorpsi besi (Lexi-comp's).


: Alkalosis metabolik maupun respiratori, hipokalsemia, pasien
yang mengalami banyak kehilangan klorida akibat muntah
maupun pembersihan gastrointestinal secara kontinyu, dan
pada pasien dengan risiko mengalami alkalosis hipokloremik
yang diinduksi oleh diuretik. Natrium bikarbonat secara oral
tidak boleh digunakan apabila digunakan sebagai antidotum

Peringatan

untuk mengatasi keracunan akut akibat asam mineralkuat.


: Suplemen natrium dapat meningkatkan tekanan darah atau
menyebabkan retensi cairan dan udem paru-paru pada
mereka yang berisiko; hipokalemia dapat memburuk. Bila
asidosis hiperkloremik berhubungan dengan kekurangan
kalium, sebagaimana pada beberapa gangguan tubular
ginjal dan saluran cerna, mungkin tepat untuk memberikan
kalium bikarbonat oral, walaupun defisiensi akut atau yang
berat harus ditangani dengan pemberian intravena.

Bentuk Sediaan
Edukasi

Hindari pada asidosis respiratori.

Sebaiknya dihindari pada pasien yang membatasi masukan

garam.
: Tablet.
: Pantau nilai pH, PaO2, PaCO2, dan kadar elektrolit secara
berkala.

Jika pasien mengalami edema, sulit bernafas, dan


hyperpnea, segera beritahu dokter.

Jika

pasien

muntah,

hentikan

pengobatan

dan

konsultasikan dengan dokter.

Peringati pasien untuk tidak mengkonsumsi obat ini


bersamaan dengan susu karena dapat meningkatkan
volume urin.

Sarankan kepada pasien untuk tidak menggunakan obat ini


secara terus menerus dan dalam jangka waktu lama.

ASAM FOLAT
Komposisi
Kelas Terapi
Mekanisme Kerja

: Asam folat 1 mg.


: Antianemia.
: Senyawa biokimia

asam folat yang bersifat inaktif

dikonversi oleh enzim dihidrofolat reduktase menjadi


metiltetrahidrofolat. Senyawa ini ditransport kedalam sel
melalui reseptor dengan cara endositosis. Hasil reduksi
asam folat dibutuhkan untuk mempertahankan fungsi
normal eritropoesis, yang berperan dalam reaksi-reaksi
biokimia esensial yang menyediakan prekursor-prekursor
untuk sintesis asam amino.
: Defisiensi asam folat ; dosis awal 0,25 1 mg sehari

Dosis

sampai terdapat respon klinis. Dosis penunjang 0,25 mg


sehari.
Suplemen pada wanita hamil 0,1 1 mg sehari. Pada
keadaan kebutuhan asam folat meningkat 0,5 1 mg
sehari.
Anemia megaloblastik : 0,5 1 mg sehari atau menurut
Indikasi

petunjuk dokter.
: Anemia megaloblastik dan makrositik yang disebabkan

Interaksi Obat

oleh defisiensi asam folat.


: Menurunkan kadar phenytoin dan phenobarbital didalam

Kontraindikasi

plasma.
: Anemia

pernisiosa.

Penderita

yang

hipersensitif

terhadapasam folat.pemberian jangka panjang untuk


penderita defisiensi kobalamin yang tidak diobati.
: Tablet.
: Jangan mengkonsumsi tablet asam folat kecuali ada saran

Bentuk Sediaan
Edukasi

dari dokter.
Jangan merubah atau berhenti mengkonsumsi dosis yang
dianjurkan tanpa saran dari dokter
D5% (DEXTROSE 5%)
Komposisi
Indikasi
Dosis
Kontra Indikasi

:
:
:
:

Dextrosa monohidrat.
Dehidrasi, penambahan kalori secara parenteral.
Bersifat individual, kecepatan infus 3 ml/kg BB/jam.
Hiperhidrasi, diabetes mellitus, gangguan toleransi
glukosa pasca operasi, sindroma malabsobsi glukosa dan

Perhatian

galaktosa.
: Asidosis laktat, gangguan ginjal, sepsis berat, fase awal

Efek Samping

pasca trauma.
: Demam, iritasi atau infeksi pada tempat injeksi,
trombosis atau flebitis yang meluas dari tempat injeksi
dan ekstravasasi, hiperglikemia pada bayi baru lahir.

LANSOPRAZOLE
Komposisi

Lansoprazol

Kelas terapi

Golongan PPI (Pump Proton Inhibitor)

Indikasi

Pengobatan jangka pendek pada tukak usus 12 jari,


tukak lambung dan refluks esofagitis erosiva.

Mekanisme

Mengontrol sekresi asam lambung dengan cara


menghambat pompa proton yang mentranspor ion H +

Kerja
Bentuk sediaan

keluar dari sel parietal lambung.


Kapsul 20 mg sebelum makan

Dosis

Pengobatan jangka pendek pada tukak usus 12 jari,


tukak lambung dan refluks esofagitis erosiva.

Kontra indikasi

:
Penderita hipersensitif terhadap Lansoprazole.

Efek samping

:
Umumnya

dapat

ditoleransi

dengan

baik.

Efek samping berikut biasanya ringan dan bersifat


sementara serta tidak mempunyai hubungan yang
konsisten dengan pengobatan. Mual, sakit kepala,
diare, konstipasi, kembung, ruam kulit, urtikaria,
pruritus jarang terjadi.
Interaksi Obat

Lansoprazol dapat memperpanjang eliminasi


diazepam, penitoin dengan warfarin. Dianjurkan
untuk

memantau

penderita

yang

mendapat

pengobatan warfarin atau atau fenitoin dan


penurunan dosis warfarin atau fenitoin mungkin
perlu

jika

Lansoprazol

ditambahkan

pada

pengobatan.

Absorpsi Lansoprazol tidak dipengaruhi oleh


alkohol atau makanan

AMINEFRON
Komposisi

: Alpha-keto isoleucine 67 mg, alpha-keto leucine 101 mg,


alpha-keto phenylalanine 68 mg, alpha-hydroxy methionine
59 mg, alpha-keto valine 86 mg, L-tryptophan 23 mg, Lthreonine 53 mg, L-histidine 38 mg, l- tyrosine 30 mg, L-

Mekanisme Kerja

lysine acetate 105 mg, Ca 50 mg.


: Ada 9 jumlah asam amino esensial termasuk histidin,
isoleusin, leusin, lisin, metionin, fenilalanin, treonin,
triptofan dan valin. Asam amino esensial tidak dapat
disintesis dalam jumlah yang cukup dalam tubuh, oleh
karena itu harus diberikan dalam makanan. Fungsi utama
mereka adalah sebagai kofaktor penting dalam berbagai
sistem enzim.
Keto- atau asam hidroksi yang ditransaminasi enzimatik
dengan asam amino L-terkait sedangkan kelompok urea
terurai.
Pada pasien yang menerima diet rendah protein, Aminefron
memungkinkan asupan asam amino esensial bebas nitrogen-;
menggunakan

kembali

dari

catabolites

mengandung

nitrogen; anabolisme protein dan pengurangan simultan urea


serum; peningkatan serum nitrogen dan ketidakseimbangan
Dosis

asam amino; pengurangan serum PO43


: Insufisiensi ginjal kronik 4-8 kapl 3 x/hr, & hrs diberikan
pd pasien dg laju filtrasi glomerulus 5-50 mL/mnt.

Indikasi

Sebaiknya diberikan bersama makanan.


: Terapi disfungsi ginjal kronik, dlm kombinasi dg diet tinggi

Efek Samping
Interaksi Obat

kalori rendah protein.


: Hiperkalsemia.
: MAOI non selektif dpt menyebabkan hipertensi. Jangan

digunakan bersama obat lain yg dpt membentuk lar


Kontraindikasi
Perhatian

kombinasi dg Ca (misalnya tetrasiklin).


: Hiperkalsemia.
: Kadar Ca dlm serum hrs diperiksa scr berkala. Anak. Hamil

Bentuk Sediaan

& laktasi.
: kaplet

ONDASENTRON
Komposisi

: Tiap 4 ml injeksi mengandung ondansetron hydrochloride

Kelas Terapi
Mekanisme Kerja

setara dengan 4 mg ondansetron.


: Antiemetik
: Ondansetron suatu antagonis reseptor 5HT3 yang bekerja
secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun
mengatasi mual dan muntah akibat pengobatan dengan

Indikasi

sitostatika dan radioterapi.


: Penanggulangan mual dan muntah karena kemoterapi dan

Efek Samping

radioterapi serta operasi.


: Persentase adalah pada orang dewasa. Efek pada sistem
saraf pusat: sakit kepala (9-27%), lemah/lelah (9-13%),
mengantuk (8%), demam (2-8%), pusing (4-7%), cemas
(6%), sensasi dingin (2%).3 Efek pada kardiovaskuler: nyeri
dada tak spesifik (2%), hipotensi (5%). Efek pada
gastrointestinal: konstipasi (6-11%), diare (2-7%). Efek pada
kulit: gatal (2-5%), rash (1%). Efek pada genitouri:
gangguan ginekologik (7%), retensi urin (5%). Efek pada
hepar: kenaikan ALT/AST (1-5%). Efek lokal: reaksi di
tempat injeksi (4%; rasa sakit, kemerahan, rasa terbakar).
Efek pada neuromuskuler dan skeletal: paresthesia (2%).

Interaksi Obat

Efek pada respiratori: hipoksia (9%).


: Ondansetron mengurangi efek analgesik tramadol sehingga
dosis tramadol perlu ditingkatkan menjadi minimum 2 kali
dosis awal. Hal ini menyebabkan efek emetik meningkat
sehingga ondansetron bukan antiemetik pilihan terbaik
untuk digunakan bersamaan dengan tramadol. Ondansetron
dapat meningkatkan efek hipotensi apomorfin; penggunaan
bersamaan adalah kontraindikasi. Interaksi dengan herbal:

Kontraindikasi

St. John's wort dapat mengurangi kadar ondansetron.


: Hipersensitif terhadap ondansetron, antagonis 5-HT3
lainnya, atau komponen lainnya dalam formulasi.

EAS PFRIMER
Komposisi

: Essensial asam amino, histidin.

Kelas Terapi

: Nutrisi Parenteral.

Indikasi

: Gagal ginjal akut, insuficiensi ginjal kronis tahap lanjut,


diberikan setelah dilakukan dialysis untuk
menggantikan asam amino yang hilang karena
dialysis,azotemia.

Dosis

: 250 mL/hari. Kecepatan infus maksimal 20 tetes/menit.

BAB IV
PEMBAHASAN

Pasien masuk kerumah sakit melalui IGD pada tanggal 01 April 2015, pasien dengan
keluhan: Nyeri abdomen kurang lebih 2 jam sebelum masuk IGD yang mendesak ke ulu hati
dan menganggu aktivitas. Pasien merasakan mual, muntah, dan menggigil. Pasien juga
menyatakan BAK yang tidak lancar dan tidak puas. Sebelumnya pasien mempunyai riwayat
sakit maag, hipertensi, dan juga pernah melakukan operasi batu ginjal dan kontrol ginjal.
Pasien masuk kerumah sakit pada tanggal 01 april 2015 dengan diagnosa gangguan
faal ginjal (Chronic Kidney Diesease), hipertensi, dan GERD (Gastroesophageal Reflux
Disease). Selama dirawat di IGD, pasien mendapatkan terapi obat furosemid, ondansentron
injeksi, amlodipin, lansoprazole, aminefron, natrium bicarbonat (Bicnat), dan infus RL.

Amlodipin digunakan sebagai antihipertensi untuk menurunkan tekanan darah pada pasien.
Furosemid diberikan untuk menurunkan tekanan darah pasien dan melancarkan buang air
kecil yang tidak lancar akibat retensi cairan dengan cara ekskresi natrium dan kalium,
sehingga dapat mengurangi vasokontriksi pembluh darah dan otot jantung. Ondansentron
diberikan untuk menghentikan mual dan muntah yang dirasakan oleh pasien. Lansoprazole
digunakan untuk mengobati GERD yang terjadi pada pasien. Pasien juga diberikan natrium
bicarbonat untuk mengobati nyeri abdomen yang dirasakan psien sampai ke ulu hati akibat
produksi asam lambung yang berlebih. Aminefron diberikan sebagai terapi untuk disfungsi
ginjal kronik. Infus RL digunakan untuk menggantikan kehilangan akut cairan tubuh dan
memudahkan dalam pemberian terapi obat-obat parenteral.
Pada tanggal 02 april pasien dipindahkan ke ruang rawat inap dan dilanjutkan terapi
pengobatannya. Obat-obat yang dihentikan penggunannya yaitu ondansentron karena pasien
tidak mengalami mual dan muntah, furosemid dihentikan karena pasien sudah merasakan
buang air kecil yang lancar dan tekanan darah pasien sudah mulai menurun, amlodipin
sebagai antihipertensi dihentikan penggunaannya dan kemudian digantikan dengan valsartan
dengan dosis 160 mg sehari karena penggunannya relatif lebih aman untuk pasien dengan
gannguan fungsi ginjal. Infus RL dihentikan dan diberikan infus D5% : EAS Primer (1:1)
sebagai nutrisi parenteral untuk insufisiensi ginjal kronis. Aminefron, lansoprazol, dan bicnat
tetap dilanjutkan penggunannya selama perawatan di rumah sakit. Pasien juga diberikan asam
folat sebagai antianemia untuk mengobati kurang darah yang diderita oleh pasien.karena
hemoglobin pasien yang rendah yaitu 9,7g/dL (kisaran normal yaitu 12-14 g/dL).
Tujuan terapi pengobatan untuk kasus ini adalah memperlambat perkembangan CKD,
menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat kerusakan organ target dengan cara
menurunkan/menormalkan

tekanan

darah

pasien,

menghilangkan

penyakit

refluks

gastroesofagus, dan meningkatkan kualitas hidup pasien. Tingkatan gangguan fungsi ginjal
yang diderita oleh pasien berdasarkan perhitungan kreatinin klirens yaitu
CrCl = 0,85 x

140umur
x berat badan
72 x Scr

CrCl = 0,85 x

14062
x 53 kg
72 x 2,5

CrCl = 19,52 ml/menit

Berdasarkan perhitungan diatas, pasien menderita Chronic Kidney Disease (CKD)


Stadium 4 yaitu GFR antara 15 -29 ml/menit dengan hanya sedikit nefron yang tersisa. gejala
yang dialami pasien yaitu anemia dan gangguan kardiovaskular (hipertensi). Tujuan terapi
pada penderita hipertensi dengan gangguan fungsi ginjal yaitu mengontrol tekanan darah
secara memadai ( <130/80 mmHg) dapat mengurangi laju penurunan GFR dan albumin
dariapada pasien dengan atau tanpa diabetes. Terapi anti hipertensi untuk pasien CKD
sebaiknya diawali dengan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) atau
Angiotensin Receptor blocker(ARB). Dalam kasus ini pasien diberikan valsartan dengan
dosis 160 mg untuk menurunkan tekanan darahnya, kemudian mulai hari kelima dosis mulai
diturunkan menjadi 80 mg karena tekanan darah sudah terkontrol menjadi 130/80 dan supaya
tekanan darah pasien tidak mengalami penurunan secara cepat dan tetap terkontrol.
Dalam kasus ini, penggunaan obat-obatan sudah tepat dengan indikasi. Terapi
pengobatan yang diberikan ke pasien sesuai untuk mengobati diagnosa dan gejala yang
dialami oleh pasien. Selektifitas pemilihan obat juga sesuai dengan mempertimbangkan lini
pertama untuk penyakit hipertensi dengan penurunan fungsi ginjal. Valsartan merupakan
antihipertensi golongan Angiostensin Reseptor Blocker (ARB) yang bekerja memberikan efek
langsung sebagai antagonisme pada reseptor angiotensin II (AT2), berbeda dengan ACE
inhibitor. Valsartan menggeser angiotensin II dari reseptor AT1. dan menghasilkan efek
penurunan tekanan darah melalui mengantagonis vasokonstriksi yang diinduksi AT1,
pembebasan aldosteron, katekolamin, vasopresin arginin, pengambilan air dan respon
hipertropik. ARB menurunkan tekanan darah dan juga mengurangi tekanan intraglomerular
yang lebih lanjut menurunkan fungsi ginjal. Terapi yang diberikan untuk pengobatan GERD
juga mempertimbangkan lini pertama dengan pemberian lansoprazol. Lansoprazol
merupakan golongan penghambat pompa proton yang bekerja dengan cara memblok pompa
proton (H+, K+-ATPase) yang terdapat di membran sel

parietal lambung sehingga

menghambat sekresi asam lambung oleh sel parietal secara irreversibel.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan

Pasien didiagnosa menderita Chronic Kidney Diesease (CKD) Stage IV, hipertensi,

dan GERD (Gastroesophageal Reflux Disease).


Jadwal pemberian, frekuensi, dosis, interval waktu dan cara pemberian obat dinilai
sudah mempertimbangkan efektifitas keamanan dan kenyamanan serta sesuai dengan
kondisi pasien.

5.2 Saran

Pasien harus menerapkan pola hidup sehat dengan cara menjaga pola makan (hindari
makanan pedas, makanan tinggi garam), melakukan olahraga ringan setiap pagi

seperti jalan pagi, istirahat yang cukup.


Pasien disarankan selalu mengontrol tekanan darah minimal satu kali dalam seminggu
setelah keluar dari rumah sakit

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2002. Handbook Of Clinical Drug Data Tenth Edition. (ed. Anderson, P.,
Knoben, J., & Troutman,W.). United States of America: The McGraw-Hill Companies.
Anonim. 2009. British National Formulary edition 57. London : BMJ Group and RPS
Publishing.
Anonim. 2009. Martindale The Complete Drug Reference Thirty-sixth edition.(ed:
Sweetman, S). London: Pharmaceutical Press.
Corwin, Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi.Jakarta :EGC.

Depkes RI. 2006. Pharmaceutical Care Untuk Pasien Hipertensi. Jakarta: Direktorat
Bina Farmasi Komunitas dan Klinik.
DiPiro, J., dkk. .2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Seventh
Edition. United States: The McGraw-Hill Companies, Inc.
Gerald K. McEvoy, Pharm.D. 2011. AHFS Drug Information Essentials.
Maryland:American Society of Health-System Pharmacists.
Harrison. 2008. Principles Of Internal Medicine Ed 17th. USA: McGraw-Hill.
Katzung, B.G. (2006). Basic and Clinical Pharmacology Ed 10th . San Fransisco: Mc
Graw Hill
National Institutes of Health. 2003. The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection, Eveluation, and Treatment of High Blood Pressure.
U.S.A : NIH Publication.
Vikrant, S & Tiwari, S.C. 2001. Essensial Hypertension Pathogenesis and
Pathophysiology. Journal Indian Academy of Clinical Medicine, Vol. 2, No.3, hal: 141-161.

Anda mungkin juga menyukai