KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan karuniaNyalah sehingga laporan kasus ini dapat diselesaikan tepat
pada waktunya.
Laporan kasus ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan
kelulusan dari Lab/ SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan, Fakultas
Kedokteran Universitas Mataram/ RSUD Praya. Dalam penyusunan laporan
Kasus yang berjudul Ketuban Pecah Dini ini penulis memperoleh bimbingan,
petunjuk serta bantuan moral dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. I G. N. Sutama, SpOG yang telah banyak
memberikan bimbingan kepada penulis.
Menyadari masih terdapat banyak kekurangan, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi kesempurnaan laporan
kasus ini. Semoga laporan kasus ini dapat memberikan manfaat dan tambahan
pengetahuan khususnya kepada penulis dan kepada pembaca dalam menjalankan
praktek sehari-hari sebagai dokter.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Ukuran keberhasilan suatu pelayanan kesehatan tercermin dari penurunan
angka kematian ibu (Maternity Mortality Rate) sampai pada batas angka terendah
yang dapat dicapai sesuai dengan kondisi dan situasi setempat serta waktu.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002/2003, angka
kematian ibu (AKI) di Indonesia masih berada pada angka 307 per 100.000 kelahiran
hidup atau setiap jam terdapat 2 orang ibu bersalin meninggal karena berbagai sebab.
Di Rumah Sakit Umum Swadana Sumedang angka morbiditas ibu dengan
ketuban pecah dini mengalami peningkatan pada tiap tahunnya. Insidensi KPD
berkisar 4,5 % sampai 7,6 % dari seluruh kehamilan. Insidensi di kalangan wanita
yang melahirkan bayi prematur berkisar antara 40 % - 60 % dan angka kematian
perinatal bayi prematur meningkat nyata jika terdapat ketuban pecah dini (KPD).
Sedang menurut De Cherney (2003) kasus KPD mencapai 10,7% dari seluruh
kehamilan. Menurut Oxorn (2003) insidensi terjadinya KPD antara 10% sampai 12%.
Ketuban pecah dini disebabkan oleh karena berkurangnya kekuatan
membrane atau meningkatnya tekanan intrauterin atau oleh kedua faktor tersebut.
Berkurangnya kekuatan membran disebabkan oleh adanya infeksi yang dapat berasal
dari vagina dan servik (Prawirohardjo, 2007). Ketuban pecah dini merupakan salah
satu factor penyebab asfiksia neonatorum dan infeksi. Hipoksia pada janin yang
menyebabkan asfiksia neonatorum terjadi karena gangguan pertukaran transport gas
O2 dari ibu ke janin sehingga terdapat gangguan dalam persediaan O2 dan dalam
menghilangkan CO2. Gangguan ini dapat berlangsung secara menahun akibat kondisi
atau kelainan pada ibu selama kehamilan atau secara mendadak karena hal-hal yang
diderita pada ibu dalam persalinan. Ketuban pecah dini merupakan sumber persalinan
prematuritas, infeksi dalam rahim terhadap ibu maupun janin yang cukup besar dan
potensiil. Bila persalinan tertunda sampai 24 jam kemungkinan terjadi infeksi sangat
besar (Depkes RI, 1996).
Oleh karena itu, tatalaksana ketuban pecah dini memerlukan tindakan yang
rinci sehingga dapat menurunkan kejadian persalinan prematuritas dan infeksi dalam
rahim.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Anatomi Membran Fetal
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan. Lapisan ini tidak mengandung
pembuluh darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion.
Lapisan paling dalam dan terdekat pada fetus ialah epitelium amniotik. Epitel
amniotik mensekresikan kolagen tipeIII, IV dan glikoprotein non kolagen (laminin,
nidogen dan fibronectin) dari membrane basalis, lapisan amnion disebelahnya.
Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrane basalis ini
membentuk skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta
disekresikan oleh sel mesenkim dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial (tipe I dan
III) mendominasi dan membentuk parallel bundles yang mempertahankan integritas
mekanik amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk koneksi filamentosa antara
kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial. Tidak ada interposisi dari materi
yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotic sehingga amnion dapat
mempertahankan tensile strength selama stadium akhir kehamilan normal
Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotic yang paling tebal terdiri dari
sel mesenkimal dan makrofag diantara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini
membentuk jaringan longgar dari glikoprotein non kolagenosa.
Lapisan intermediate (spongy layer atau zona spongiosa) terletak diantara
amnion dan korion. Lapisan ini banyak mengandung hydrated proteoglycan dan
glikoprotein yang memberikan sifat spongy pada gambaran histology. Lapisan ini
juga mengandung nonfibrillar meshwork yang terdiri sebagian besar dari kolagen tipe
III. Lapisan intermediate ini mengabsorbsi stress fisik yang terjadi.
Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength
yang lebih besar. Korion terdiri dari membrane epithelial tipikal dengan polaritas
langsung menuju desidua maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik diantara
lapisan korionik dari membrane fetal (bebas plasenta) mengalami regresi. Dibawah
lapisan sitotrofoblas (dekat janin) merupakan membrane basalis dan jaringan konektif
korionik yang kaya akan serat kolagen.
Membran fetal memperlihatkan variasi regional. Walaupun tidak ada bukti
yang menunjukkan adanya titik lemah dimana membran akan pecah, observasi harus
dilakukan untuk menghindari terjadinya perubahan struktur dan komposisi membran
yang memicu terjadinya ketuban pecah dini.
Vintziuleos
dalam
hipotesisnya
memandang
bahwa
cairan
amnion
panas
dan
perubahan
suhu,
meratakan
tekanan
intrauterin
dan
membersihkan jalan lahir bila ketuban pecah, peredaran air ketuban dengan darah
cukup lancar dan perputarannya cepat, kira-kira 350-500 cc.
Air ketuban bersal dari kencing janin (fetal urin), transudasi dari darah ibu,
sekresi dari epitel amnion, asal campuran (mixed origin). Cara mengenali air ketuban
adalah dengan lakmus, makroskopis, berbau amis, adanya lanugo dan verniks
kaseosa, bercampur mekonium, mikroskopis.
II.2 Epidemiologi
Ketuban pecah dini merupakan salah satu komplikasi kehamilan yang paling
sering dijumpai. Insiden ketuban pecah ini dilaporkan bervariasi dari 6% hingga 10%,
dimana sekitar 20% kasus terjadi sebelum memasuki masa gestasi 37 minggu. Sekitar
8 hingga 10% pasien ketuban pecah dini memiliki risiko tinggi infeksi intrauterine
akibat interval antara ketuban pecah dan persalinan yang memanjang. Ketuban pecah
dini berhubungan dengan 30 hingga 40% persalinan preterm dimana sekitar 75%
pasien akan mengalami persalinan satu minggu lebih dini dari jadwal. 1,2,4,5
II. 3 Etiologi
Walaupun banyak publikasi tentang KPD, namun penyebabnya masih belum
diketahui dan tidak dapat ditentukan secara pasti. Beberapa laporan menyebutkan
faktor-faktor yang berhubungan erat dengan KPD, namun faktor-faktor mana yang
lebih berperan sulit diketahui. Kemungkinan yang menjadi faktor predesposisi
adalah:
1. Infeksi. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun
asenderen dari vagina atau infeksi pada cairan ketuban bisa menyebabkan
terjadinya KPD.
2. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena
kelainan pada servik uteri (akibat persalinan, curetage).
3. Tekanan intra uterin yang meninggi atau meningkat secara berlebihan
(overdistensi uterus) misalnya trauma, hidramnion, gemelli. Trauma oleh
beberapa ahli disepakati sebagai faktor predisisi atau penyebab terjadinya
KPD. Trauma yang didapat misalnya hubungan seksual, pemeriksaan dalam,
maupun amnosintesis menyebabakan terjadinya KPD karena biasanya disertai
infeksi.
4. Kelainan letak misalnya sungsang, sehingga tidak ada bagian terendah yang
menutupi pintu atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap
membran bagian bawah.
5. Keadaan sosial ekonomi
6. Faktor lain
a.Faktor golonngan darah
Akibat golongan darah ibu dan anak yang tidak sesuai dapat
menimbulkan kelemahan bawaan termasuk kelemahan jarinngan kulit
ketuban.
b.Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu.
c.Faktor multi graviditas, merokok dan perdarahan antepartum.
d.Defisiensi gizi dari tembaga atau asam askorbat (Vitamin C).
Beberapa etiologi dari ketuban pecah dini antara lain:
II. 4 Diagnosis
II. 5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan ketuban pecah dini menurut Prawirohardjo (2007) dibagi menjadi
aktif dan konservatif. Penatalaksanaan aktif dilakukan pada KPD dengan kehamilan
lebih dari 37 minggu.
Bila
skor
pelvik
>
5,
induksi
persalinan,
partus
pervaginam.10,11
II. 6 Komplikasi
KPD seringkali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang
cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena
kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak
maju, partus lama dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus
KPD terutama pada pengelolaan konservatif. Komplikasi KPD pada aterm adalah
infeksi intrauterin selain itu adanya distosia (partus kering), dan tali pusat
menumbung10,11
BAB III
LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. S
Umur
: 25 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Alamat
: Janapria
Agama
: Islam
Suku
: Sasak
Pendidikan
: SMA
Berat badan
: 50 kg
Tinggi badan
: 155 cm
MRS tanggal
: 26/01/2015 (18.00)
II. ANAMNESIS
Keluhan utama: Nyeri Perut
Perjalanan penyakit:
Pasien rujukan Puskesmas Tanjung dengan G1P0A0H0 usia kehamilan 39
minggu tunggal/ hidup/ intra uterine dengan riwayat keluar air > 12 jam. Pasien
mengeluh nyeri perut sejak pukul 12.00 WITA tanggal 26 Januari 2015. Nyeri
perut dirasakan menjalar hingga ke pinggang, nyeri hilang timbul masih jarang
dirasakan, dengan frekuensi antara 1 sampai 2 kali dalam satu jam.
Pasien mengaku sudah keluar cairan dari jalan lahir sejak pk 06.00 tanggal
24 Januari 2015. Air yang keluar jernih, pada saat awal keluar jumlahnya cukup
membasahi satu celana dalam. bau tidak pasti tidak. Tidak ada keluhan demam.
Pergerakan janin seperti menendang masih dirasakan terakhir sekitar 30 menit
yang lalu.
Ini
: K/U : Baik
Kesadaran : kompos mentis
TD : 110/70 mmHg
Nadi: 80 x/mt
RR : 20 x/ mt
Suhu : 36,2C
TFU : 29 cm
Teak janin : letkep puka
Djj 146
10
: ivfd rl 20 tpm
Ampisilin 1g
- Observasi kesra ibu dan bayi
: 110/70 mmHg
: 80 x/ menit
RR
: 18 x/ menit
: 36,6C
Mata : anemis (-), icterus (-), tanda infeksi (-), oedem palpebra (-)
Pulmo : vesikuler, ronkhi (-), wheezing (-)
Cor
: bokong, TFU : 29 cm
L2
: punggung di kanan
L3
: Kepala
L4
: 4/5
TBJ
: 2480 gr
DJJ
: 13.14.14
His
: (-)
VT
: 1 cm, eff 10%, ketuban (-), jernih, teraba kepala, H1, tidak teraba
11
Pelvic score:
Pembukaan cervix : 1 cm
: 1 poin
Panjang cervix : 2 cm
: 1 poin
Station
: 0 poin
: H1
: 0 poin
Evaluasi panggul :
Promontorium : tidak teraba
Spina ischiadica : tidak menonjol
Os coccygeus mobile
Archus pubis :> 90
WBC
RBC
Hb
HCT
PLT
Hasil pemeriksaan
laboratorium :
: 9800 /l
: 4,34 x 106/l
: 12,3 g/dl
: 37,6 %
: 227000/l
HBSAg (-)
Diagnosis :
G1P0A0H0 36-37 minggu, tunggal, hidup, intrauteri, presentasi kepala dengan
KPD
Rencana tindakan:
Observasi kesejahteraan ibu dan janin
Cek DL, HBSAg
Lapor supervisor:
Usul:
CTG
PS
Terminasi induksi dengan oxytocin bila KPD > 12 jam dengan hasil
CTG yang reaktif dan PS 5
Inj. Ampicillin 1 gr
12
Persalinan:
Lahir bayi perempuan spontan pervaginam berat 2600 gram, APGAR Score 7-9
dengan cairan ketuban jernih volume sekitar 100 cc. Plasenta lahir sekitar 5 menit
kemudian, lahir lengkap. Tali pusat putih, panjang sekitar 50 cm. Episiotomi
derajat 2.
13
BAB IV
PEMBAHASAN
Ketuban pecah dini merupakan problematika yang sering terjadi dan
sering kali menimbulkan berbagai konsekuensi yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi kematian perinatal yang
cukup tinggi.
Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus bersikap aktif
terutama pada kehamilan aterm atau harus menunggu sampai terjadi proses
persalinan sehingga masa tunggu akan memanjang, berikutnya akan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif
ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan
tercapainya kematangan paru dan berat badan yang cukup.
Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa
yang positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkakn bayi terlalu
awal atau melakukan seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya
diagnosa yang negatif palsu berarti akan membiarkan ibu dan janin mempunyai
resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan janin, ibu atau keduanya. Oleh
karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Diagnosis KPD didasarkan
pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan laboratorium. Dari anamnesis 90% sudah
dapat mendiagnosa KPD secara benar. Pada pasien diatas anamnesis yang dapat
digali berupa, penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan
yang banyak secara tiba-tiba dari jalan lahir, Cairan bening dan berbau amis
berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna. Pengeluaran urin dan cairan
vagina yang banyak dapat disalahartikan sebagai ketuban pecah oleh pasien. Jadi
dalam menganamnesa kedua kondisi tersebut harus benar-benar dipastikan cairan
yang keluar tersebut bukan urine (kencing). Ketuban pecah dini merupakan
pecahnya ketuban tanpa diikuti oleh tanda-tanda persalinan, dari anamnesis juga
perlu di gali apakah ada tanda-tanda persalinan, seperti adanya darah bercampur
lendir, nyeri perut (kontraksi/his).
14
Pemeriksaan fisik pada pasien dengan KPD dapat dilakukan inspekulo dan
pemeriksaan dalam berupa vaginal toucher (VT). Pada inspekulo pasien diatas
tampak cairan merembes dari OUE dan cairan terkumpul pada fornix posterior.
Pada pemeriksaan VT didapatkan CD 1 cm, eff 10%, ketuban (-), denominator
belum jelas, teraba kepala turun H1, tidak teraba bagian kecil janin atau tali
pusat..
Mengenai
pemeriksaan
dalam
vagina
dengan
tocher
perlu
15
16
DAFTAR PUSTAKA
1. F. Gary Cunningham, F. Gant N.(et al), alih bahasa, Andry Hartono, Y.
Joko S. .(et al). Obstetri William. Edisi 21. Cetakan pertama. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. p1036-1037.
2. Moeloek, Farid Anfasa. (2003), Standar Pelayanan Medik Obstetri dan
Ginekologi, Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia, Jakarta.
3. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jilid 2. Jakarta:
17