Pengaruh Fisiografis DAS Tehadap Respon Debit
Pengaruh Fisiografis DAS Tehadap Respon Debit
Disusun Oleh:
ASEP SULAEMAN
GALIH HABSORO SUNDORO
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini
tepat pada waktunya. Makalah ini berisi tentang kajian mengenai pengaruh
fisiografis daerah aliran sungai.
Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyusunan makalah ini. Terima kasih juga kami haturkan kepada Bapak
Dr. Eng. Donny Harisuseno, ST, MT selaku dosen pengampu mata kuliah
Hidrologi Teknik Lanjut yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita
semua. Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu kami berharap adanya
kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang.
Malang,
Penulis
Maret 2015
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI........................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................iii
DAFTAR TABEL...................................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................1
1.1. Latar Belakang...................................................................................1
1.2. Identifikasi Masalah............................................................................2
1.3. Lingkup Pembahasan.........................................................................3
1.4. Tujuan................................................................................................3
BAB II LANDASAN TEORI...................................................................................4
2.1. Siklus Hidrologi...................................................................................4
2.2. Daerah Aliran Sungai..........................................................................6
2.3. Aliran Permukaan...............................................................................9
2.3.1. Faktor Meteorologi..............................................................11
2.3.2. Faktor Karakteristik DAS.....................................................12
2.4. Hidrograf...........................................................................................14
BAB III ANALISA DAN PEMBAHASAN...............................................................19
3.1. Pengaruh Bentuk DAS Terhadap Respon Debit...............................19
3.2. Pengaruh Luas DAS terhadap Respon Debit...................................22
3.3. Pengaruh Topografi DAS Terhadap Respon Debit............................24
3.4. Pengaruh Tataguna Lahan Terhadap Respon Debit.........................26
BAB IV KESIMPULAN........................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................30
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.
Siklus Hidrologi................................................................................
Gambar 2.
Gambar 3.
Gambar 4.
Gambar 5.
Gambar 6.
Gambar 7.
Gambar 8.
Gambar 9.
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Intersepsi Pada Berbagai Tipe Vegetasi................................................
Tabel 2. Koefesien Limpasan Untuk Metode Rasional........................................
Tabel 3. Karakteristik DAS..................................................................................
Tabel 4. Hasil Hidrograf Banjir Pada Berbagai DAS dan Variasi Nilai CN
......................................................................................................
Tabel 5. Hubungan Antara Luas DAS dengan Debit Puncak Banjir....................
Tabel 6. Klasifikasi Kelas Kelerengan di DAS.....................................................
Tabel 7. Karakteristik DAS Dalam Penelitian Safarina, 2012..............................
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Dalan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2013 dijelaskan bahwa
Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah
daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak
sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang
berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat
merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan
yang masih terpengaruh aktivitas daratan.
DAS dalam hubungannya dengan sistem hidrologi mempunyai pengaruh
yang besar terhadap semua proses hidrologi yang terjadi di dalamnya. Asdak
(1995) menyatakan bahwa unsur utama DAS yang memiliki keterkaitan terhadap
sistem hidrologi adalah jenis tanah, tataguna lahan, topografi, kemiringan, dan
panjang lereng. Karakteristik biofisik DAS tersebut dalam merespon curah hujan
yang jatuh di dalam wilayah DAS tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap
besar-kecilnya evapotranspirasi, infiltrasi, perkolasi, air tanah, aliran permukaan,
kandungan air tanah, dan aliran sungai.
DAS merupakan satu kesatuan tata air yang saling terkait, dan apabila
terjadi perubahan pada salah satu komponennya maka akan mengakibatkan
terganggunya keseluruhan kinerja sistem dalam DAS tersebut. Paimin dkk
(2006) dalam Handayani dan Indrajaya (2011) menyebutkan bahwa DAS dapat
dipandang sebagai suatu sistem, dimana komponen input berupa curah hujan,
prosesor adalah DAS itu sendiri yang di dalamnya terdiri dari komponen biotik
dan abiotik, dan output berupa produksi, limpasan, erosi, dan sebagainya. Input
dan prosesor tersebut sangat bervariasi pada setiap tempat dan waktu (temporal
dan spasial), sehingga akan menghasilkan perilaku output yang juga berbedabeda.
Respon DAS terhadap curah hujan dapat bersifat positif/ memberikan
manfaat maupun negatif/ merugikan bagi kehidupan manusia. Baik-buruknya
respon suatu DAS terhadap masukan curah hujan tergantung kepada
karakteristik fisiografis DAS yang bersangkutan. Permasalahan yang sering
timbul akibat respon negatif DAS terhadap masukan curah hujan adalah banjir
dan kekeringan. Kejadian banjir dan kekeringan selain diakibatkan oleh faktor
iklim, perubahan yang terjadi di DAS juga menjadi faktor yang sangat
berpengaruh. Oleh karena itu dalam suatu pengelolaan DAS, kajian terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi sistem hidrologi di dalam DAS, terutama faktor
fisiografis DAS, penting untuk dilakukan agar terwujud kelestarian dan
keserasian ekosistem serta meningkatnya kemanfaatan sumberdaya alam bagi
manusia secara berkelanjutan di dalam DAS.
1.2.Identifikasi Masalah
Setiap DAS memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda antara satu
dengan lainnya. Begitu juga dengan respon yang diberikan terhadap masukan
parameter hidrologi. Faktor fisiografis DAS yang mempengaruhi hidrograf banjir
menurut Hadisusanto (2011) adalah karakteristik DAS (bentuk, ukuran,
kemiringan lereng, kondisi lembah, elevasi dan kerapatan aliran), karakteristik
infiltrasi (tata guna lahan dan vegetasi penutup; jenis tanah dan kondisi geologi;
dan keberadaan danau, rawa dan simapanan air lainnya) dan karaktersitik
sungai (penampang melintang, dan kekasaran).
1.3.Lingkup Pembahasan
Dalam kajian ini untuk mempelajari karakteristik fisiografis DAS terhadap
respon debit digunakan data hasil penelitian-penelitian terdahulu yang terkait.
Lingkup pembahasan dalam kajian ini hanya dititik beratkan pada pengaruh
faktor fisik DAS yang meliputi:
a.
b.
c.
d.
Bentuk DAS.
Luas DAS.
Topografi
Tata guna lahan
1.4.Tujuan
Tujuan dari kajian ini adalah untuk mengidentifikasi parameter fisiografis
DAS dan pengaruhnya terhadap respon hidrologi yang terjadi di suatu DAS.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
Siklus Hidrologi
Air yang ada di bumi ini pada prinsipnya memiliki jumlah yang sama, tidak
bertambah maupun berkurang, hanya berubah bentuk dan berpindah tempat
mengikuti suatu aliran yang dinamakan siklus hidrologi. Siklus hidrologi menurut
Triatmodjo (2008) adalah proses kontinyu dimana air bergerak dari bumi ke
atmosfer dan kemudian kembali ke bumi lagi. Secara sederhana siklus hidrologi
ditunjukkan pada Gambar 1.
dengan evapotranspirasi.
Apabila kelembaban air tanah sudah cukup jenuh maka sebagian air hujan
yang baru masuk kedalam tanah akan bergerak secara lateral/ horizontal
(interflow) mengisi air tanah yang selanjutnya pada tempat tertentu akan
j.
Karakteristik
DAS
dapat
dibedakan
menjadi
dua,
yaitu
daerah aliran sungai radial, hidrografnya lebih tajam serta periode kejadian
banjirnya lebih pendek dibandingkan dengan bentuk DAS bulu burung.
Aliran Permukaan
Selama peristiwa hujan, sebagian air hujan ditahan oleh tanaman
sebelum mencapai permukaan bumi (interception). Air ini sebagian pada
akhirnya akan jatuh ke bumi dan sebagian akan menguap. Pada kawasan hutan
yang rimbun, sebagian besar hujan ditangkap oleh dedaunan dan ranting. Jika
kapsitas dedaunan sudah penuh, air akan turun melalui cabang batang pohon
dan menetes ke bawah (Brown and Barker, 1970; Regerson and Byrnes, 1968;
Helvey, 1967 dalam Suripin, 2004). Laju intersepsi sangat dipengaruhi oleh tipe
vegetasi yang membangun suatu kawasan hutan atau pertanian, angka-angka
intersepsi oleh beberapa vegetasi disajikan dalam Tabel 1.
Laju intersepsi terbesar terjadi pada awal kejadian hujan dan menurun
terus secara eksponensial terhadap waktu. Jika hujan yang terjadi pendek dan
tidak lebat, sebagian air hujan tertahan oleh tanaman. Sebaliknya jika hujannya
lama dan lebat, hanya sebagian kecil yang tertahan oleh tanaman. Apabila hujan
jatuh di tanah yang porus maka air akan meresap ke dalam tanah yang disebut
infiltrasi. Kapasitas infiltrasi berbeda bukan saja pada tanah yang berbeda tetapi
10
berbeda juga untuk tanah yang sama dengan kelembaban berbeda. Kapasitas
infiltrasi untuk tanah kering lebih tinggi daripada tanah yang basah.
Jika intensitas hujan yang terjadi lebih rendah dari kapasitas infiltrasi
maka semua air hujan yang jatuh ke tanah akan terinfiltrasi. Sementara jika
intensitas hujan yang jatuh kepermukaan bumi lebih besar daripada kapasitas
infiltrasi maka pada awal kejadian hujan air akan terinfiltrasi, setelah laju infiltrasi
turun dibawah intensitas hujan air akan menggenang diatas permukaan tanah.
Kemudian aliran permukaan akan terjadi seiring menurunnya laju infiltrasi dan
kapasitas depresi sudah terpenuhi.
Tabel 1. Intersepsi Pada Berbagai Tipe Vegetasi
Tipe Vegetasi
Alfalfa
Jagung
Kedele
Oats
Pinus Putih
Pinus Merah
Curah hujan
(mm atau %)
274,6 mm
180,8 mm
158,8 mm
172,0 mm
100 %
100 %
Intersepsi
(mm atau %)
35,8 mm
15,6 mm
14,6 mm
6,9 mm
26 %
29 %
Aliran batang
(%)
4%
3 %s
11
a. Intensitas hujan
Intensitas hujan mempunyai pengaruh yang besar apabila melebihi
laju infiltrasi. Intensitas hujan yang melebihi laju infiltrasi akan menyebabkan
limpasan permukaan yang sejalan dengan peningkatan intensitas hujan.
b. Durasi hujan
Total limpasan dari suatu hujan berkaitan langsung dengan durasi
hujan dan intensitas hujan tertentu. Pada suatu kejadian hujan laju infiltrasi
akan menurun sejalan dengan bertambahnya waktu, oleh karena itu hujan
dengan durasi singkat tidak banyak menghsilkan aliran permukaan. Hujan
yang mempunyai intensitas sama tapi dengan durasi yang lebih lama akan
menyebabkan aliran permukaan yang lebih besar.
c. Durasi curah hujan
Hujan yang tersebar merata pada seluruh bagian DAS akan
menghasilkan laju dan volume aliran permukaan yang lebih besar
dibandingkan hujan yang tidak merata untuk intensitas yang sama. Laju dan
volume aliran permukaan suatu DAS akan mencapai angka terbesar jika
semua bagian DAS memberikan kontribusi terhadap aliran. DAS yang
distribusi curah hujannya merata akan mengakibatkan limpasan yang lebih
besar dibandingkan dengan daerah aliran sungai yang distribusi hujannya
tidak merata karena itu berarti kondisi kejenuhan tanah juga merata
sehingga limpasan dapat meningkat.
12
parit
ataupun
luasan
cekungan-cekungannya.
DAS
yang
mempunyai kemiringan lahan yang curam dan parit yang rapat akan
memberikan dampak laju dan volume aliran permukaan lebih tinggi
dibandingkan dengan DAS yang landai dan paritnya renggang.
c. Tataguna Lahan
Tata guna lahan merupakan faktor penting dalam mempengaruhi laju
dan volume aliran permukaan. Tata guna lahan merupakan nisbah antara
besarnya aliran permukaan dan intensitas hujan. Tata guna lahan dalam
13
Koefesien aliran
Business
Perkotaan
Pinggiran
Perumahan
Rumah tunggal
Multi unit, terpisah
Multi unit, tergabung
Perkampungan
Apartemen
Industri
Ringan
Berat
Perkerasan
Aspal dan beton
Batu bata, paving
Atap
Halaman, Tanah berpasir
Datar 2 %
Rata-rata, 2 7 %
0,70 - 0,95
0,50 0,70
0,30 0,50
0,40 - 0,60
0,60 0,75
0,25 0,40
0,50 0,70
0,50 - 0,80
0,60 0,90
0,70 0,95
0,50 0,70
0,75 0,95
0,05 0,10
0,10 0,15
14
Koefesien aliran
Curam 7%
Halaman, tanah berat
Datar 2 %
Rata-rata 2 7%
Curam, 7 %
Halaman kereta api
Taman tempat bermain
Taman, pekuburan
Hutan
Datar, 0 5 %
Bergelombang, 5 10 %
Berbukit, 10 30 %
0,15 0,20
0,13 0,17
0,18 0,22
0,25 0,35
0,10 0,35
0,20 0,35
0,10 0,40
0,10 0,40
0,25 0,50
0,30 0,60
2.4.
Hidrograf
Kondisi
aliran
permukaan
yang
beragam
akibat
dari
pengaruh
meteorologi dan karakteristi DAS dapat dilihat dengan memperhatikan hidrografhidrograf yang terjadi pada DAS. Hidrograf didefinisikan sebagai hubungan
antara salah satu unsur aliran terhadap waktu.
Hidrograf tersusun dari dua komponen, yaitu aliran permukaan dan aliran
dasar (base flow). Aliran dasar berasal dari air tanah yang pada umumnya
mempunyai respon yang lambat terdadap hujan. Hujan juga dapat dianggap
terbagi dua komponen, yaitu hujan efektif dan kehilangan. Hujan efektif adalah
bagian hujan yang menjadi aliran permukaan, sementara kehilangan adalah
bagian hujan yang menguap, masuk kedalam tanah dan simpanan air tanah.
Hidrograf aliran langsung dapat diperoleh dengan memisahkan hidrograf dari
aliran dasarnya (Suripin, 2004). Apabila kita menganggap proses limpasan
sebagai hasil dari curah hujan yang diagihkan secara seragam dalam waktu dan
luas pada suatu tangkapan, proses terjadinya limpasan bisa digambarkan dalam
lima tahapan (Seyhan, 1977) seperti pada Gambar 5, yang meliputi:
a. Tahapan I : Periode Tidak hujan
15
1). Air tanah memberikan air terhadap sungai sebagai aliran dasar dan
karena itu muka air tanah menurun.
2). Evapotranspirasi menambah meningkatnya defisiensi lengas tanah
(kapasitas tanah lapangan minus kandungan air aktual).
3). Hidrograf hanya merupakan suatu kurva deplesi dan limpasan sungai
adalah 100% dari air tanah.
b. Tahapan II : Periode hujan awal
1). Sebagian curah hujan ditahan oleh intersepsi
2). sebagian dari hujan ditahan sebagai cadangan depresi
3). hampir tidak terdapat limpasan permukaan. Air hanya untuk membasahi
tanah.
4). Hidrograf berubah dari kurva deplesi ke cabang naik.
c. Tahapan III : Kejadian hujan
1). Cadangan depresi berada pada kapasitas maksimum
2). Infiltrasi mulai terjadi
3). Limpasan permukaan mulai terjadi (Qs) dan menyebabkan peningkatan
yang terus menerus pada tinggi muka air sungai.
4). Defisiensi lengas tanah menurun, diduga bahwa perkolasi belum
berlangsung. Oleh karena itu, muka air tanah tetap pada tinggi muka air
yang sama karena tidak terdapat pengisian kembali.
d. Tahapan IV : Berhentinya hujan
1). Air yang masih tersisa di atas tanah mengalir sebagai limpasan
permukaan sungai
2). Infiltrasi berlanjut
3). Limpasan sungai disebabkan oleh air dalam kanal, cadangan kanal (R)
dan menurun seiring waktu
4). Pada titik Z, cadangan kanal adalah nol dan limpasan sungai
disebabkan oleh air yang dipasok oleh air tanah. Hal ini juga merupakan
akhir dari limpasan permukaan.
e. Tahapan V : Periode setelah hujan
1). Lengas tanah berada pada kapasitas lapangan
2). Akifer diisi kembali, karena itu air tanah mulai menambah limpasan
sungai.
3). Kurva deplesi yang baru berlanjut.
16
hujan
yang
berbeda
tetapi
memliki
durasi
sama
akan
17
lipat dalam suatu waktu tertentu akan menghasilkan suatu hidrograf dengan
ordinat sebesar n kali lipat.
c. Prinsip super posisi dipakai hidrograf yang dihasilkan oleh hujan efektif
berintensitas seragam yang memiliki periode-periode yang berdekatan
dan/atau tersendiri. Jadi hidrograf yang mempresentasikan kombinasi
beberapa kejadian aliran permukaan adalah jumlah dari ordinat hidrograf
tunggal yang memberi kontribusi.
Suripin (2004) memberikan tanggapan bahwa ketiga asumsi ini secara
tidak langsung menyatakan bahwa tanggapan DAS terhadap hujan adalah linear,
walaupun sebenarnya kurang tepat. Namun demikian penggunaan hidrogarf
satuan telah banyak memberikan hasil yang memuaskan untuk berbagai kondisi.
Begitu hidrograf satuan untuk suatu DAS sudah diturunkan, hidrograf satuan
tersebut dapat dipakai untuk memperkirakan limpasan permukaan untuk
sembarang hujan melalui proses konvulsi. Gambar 6. memperlihatkan hidrograf
satuan dan proses konvulsinya.
18
19
BAB III
ANALISA DAN PEMBAHASAN
3.1.
adalah
bentuk
DAS.
Bentuk
DAS
yang
berbeda-beda
memberikan respon yang berbeda-beda pula terhadap laju dan volume aliran
permukaan yang akan berpengaruh terhadap hidrograf satuan yang terbentuk.
Berdasarkan penelitian Wirosoedarmo, dkk. (2010) mengenai pengaruh
bentuk DAS terhadap hidrograf aliran langsung akibat hujan satu satuan
(hidrograf satuan) diketahui bahwa bentuk DAS sangat berpengaruh tehadap
hidrograf satuan yang terjadi. Dalam penelitian ini digunakan tiga lokasi DAS di
wilayah Pulau Sabu, NTT yaitu DAS Daieko, DAS Ladeke, dan DAS Raikore
yang kemudian dilakukan simulasi secara numerik menggunakan software
SIMODAS untuk mendapatkan hidrograf banjir dari masing-masing DAS.
Pada simulasi hujan ini terdapat tiga perlakuan dengan menggunakan
nilai Curve Number yang berbeda, yaitu CN 50, CN 70, dan CN 90. Curve
Number (CN) merupakan suatu bilangan atau angka yang menunjukkan keadaan
tata guna lahan di suatu daerah. CN 50 menunjukkan keadaan tata guna lahan
yang sebagian besar masih berupa hutan. CN 70, lahan diasumsikan sebagai
20
50% masih berupa hutan dan 50% lainnya sudah berupa pemukiman. CN 90
lahan diasumsikan sebagian besar adalah berupa pemukiman.
Dari ketiga DAS yang digunakan dalam penelitian ini dibagi lagi menjadi 9
sub DAS untuk mendapatkan hasil yang lebih detail (Gambar 7). DAS Daieko
dan Daieko 2 mempunyai bentuk bulu burung dengan pola jaringan drainase
memanjang. DAS Ladeke, Ladeke 2, Ladeke 3, dan Ladeke 4 mempunyai
bentuk radial dengan pola jaringan drainase menyebar. Sedangkan DAS
Raikore, Raikore 2, Raikore 3 mempunyai bentuk paralel dengan pola jaringan
drainase parallel.
21
DAS
Daieko
Daieko 2
Ladeke
Ladeke 2
Ladeke 3
Ladeke 4
Raikore
Raikore 2
Raikore 3
CN 50
Q
t puncak
puncak
(menit)
(m3/dt)
1,06
460-470
1,03
500-510
1,28
410-420
1,22
430
0,96
420-430
1,12
480-490
0,96
500-510
0,93
490-500
1,14
460-470
CN 70
Q puncak t puncak
(m3/dt)
(menit)
16,07
15,99
17,89
17,45
14,05
16,75
15,38
15,14
16,48
220
230
200
200
200
220
230
230
220
CN 90
Q puncak t puncak
(m3/dt)
(menit)
61,46
60,55
67,63
66,19
53,75
63,39
58,57
57,94
62,76
150
150
140
140
140
150
150
150
150
22
3.2.
23
berasal dari hujan (Safarina, 2009). Luas DAS merupakan salah sato faktor yang
mempengruhi respon DAS terhadap masukan curah hujan.
Safarina (2009) telah meneliti mengenai hubungan luas DAS terhadap
repon yang dihasilkan terhadap debit. Dalam penelitian tersebut dibandingkan 9
buah DAS di Propinsi Jawa Barat yang merupakan sub DAS dari sungai-sungai
besar yaitu S.Citarum, S.Ciliwung dan S.Cimanuk. Hasil penelitian ditunjukkan
dalam Tabel 5 dan Gambar 8.
Tabel 5. Hubungan Antara Luas DAS dengan Debit Puncak Banjir
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nama DAS
Citarum-Nanjung
Cisangkuy-Kamasan
Cikapundung-Pasirluyu
Ciliwung-Sugutamu
Ciliwung-Katulampa
Cimanuk-Leuwidaun
Cikeruh-Jatiwangi
Cilutung-Damkamun
Cilutung-Bantarmerak
Luas
(Km2)
1762,59
203,38
112,13
254,00
151,00
450,68
115,76
628,86
324,38
Debit Puncak
(m3/dt)
47,11
5,50
1,14
9,92
9,64
19,94
5,29
14,11
16,07
24
linier dengan luas DAS, dengan gradien positif. Artinya, semakin luas suatu DAS,
semakin besar pula debit puncaknya.
3.3.
Luas
(%)
0-8
3-15
15-25
25-40
>40
(%)
22,38
11,73
9,78
15-99
40,12
Keterangan
Datar
Landai
Agak Curam
Curam
Sangat Curam
25
Dari
penelitian
tersebut
diperoleh
kesimpulan
bahwa
pengaruh
3.4.
26
harinya. Perubahan tataguna lahan dalam sebuah DAS tentu saja memiliki
hubungan yang sangat erat dengan respon yang dihasilkan terhadap input curah
hujan di dalam DAS.
Perubahan tataguna lahan yang tidak teratur dan tidak terencana dengan
baik memberikan andil besar terhadap kenaikan tajam debit sungai sebagai
saluran drainasi alami. Misal suatu Daerah Pengaliran Sungai (DPS) yang
semula berupa hutan mempunyai debit 10 m3/detik apabila diubah menjadi
sawah, maka debit sungainya akan menjadi antara 25 sampai 90 m 3/detik atau
ada kenaikan debit sebesar 2,5 sampai 9 kali dari debit semula. Bila hutan
diubah menjadi kawasan perdagangan atau perindustrian maka debitnya yang
semula 10 m3/detik akan meningkat tajam menjadi antara 60 sampai 250 m3/detik
atau meningkat menjadi 6 sampai 25 kali debit semula. Perubahan yang paling
besar adalah apabila kawasan hutan dijadikan daerah beton/beraspal maka
hujan yang turun semuanya akan mengalir di permukaaan dan tidak ada yang
meresap ke dalam tanah. Debit berubah dari 10 m3/detik menjadi 6,3 sampai 35
kalinya. Apabila daerah pengaliran sungai berupa pesawahan kemudian
dijadikan kawasan perindustrian maka debit sungai akan naik menjadi 2-3
kalinya, debit sungai yang awalnya 25 sampai 90 m 3/detik untuk sawah menjadi
60 samapai 250 m3/detik untuk daerah industri (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002).
Sementara Prince Georges County Maryland (1999) menyebutkan
bahwa untuk kawasan yang masih natural dan belum dibangun menghasilkan
aliran permukaan berkisar antara 10 30 % dari total air hujan. Apabila kawasan
itu dibangun akan memberikan dampak kenaikan aliran permukaan sampai 50 %
dari total air hujan. Variasi aliran permukaan akibat peningkatan areal impervious
bisa dilihat pada Gambar 10.
27
28
29
BAB IV
KESIMPULAN
30
DAFTAR PUSTAKA
Asdak, Chay. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah
Mada University Press. Yogyakarta
Hadisusanto, Nugroho. 2011. Aplikasi Hidrologi. Yogyakarta: Jogja Mediautama.
Handayani, W. dan Indrajaya, Y. 2011. Analisis Hubungan Curah Hujan Dan Debit
Sub Sub DAS Ngatabaru, Sulawesi Tengah. Jurnal Penelitian Hutan dan
Konservasi Alam. 8 (2): 143-153.
Pawitan, Hidayat. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya Terhadap
Hidrologi Daerah Aliran Sungai. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2012 Tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
Sekretariat Negara. Jakarta.
Ruhendi, Heru. Analisa Banjir Jakarta Tahun 2012-2013. Diambil: 29 Maret 2015.
Dari: www.konservasidasciliwung.wordpress.com: https://konservasidas
ciliwung.wordpress.com/banjir-ciliwung/makalah-banjir-ciliwung/3875-2/
Safarina, Ariani Budi. 2009. Kajian Pengaruh Luas Daerah Aliran Sungai
Terhadap Debit Banjir Berdasarkan Analisa Hydrograf Satuan Observasi
Menggunakan Metoda Konvolusi (Studi Kasus: DAS Citarum, DAS
Ciliwung, DAS Cimanuk). ULTIMATE Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, Vol. 6,
N0. 1, Juli 2009.
Safarina, Ariani Budi. 2012. Pengaruh Topografi dan Pola Tata Guna Lahan
Terhadap Abstraksi dan Debit Banjir Daerah Aliran Sungai di Jawa Barat.
Seminar Pembangunan Jawa Barat 2012.
Soemarto, 1995, Hidrologi Teknik, Gramedia, Jakarta.
Suripin (2004). Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Yogyakarta: Andi.
Susilowati, Sri Indah. 2007. Evaluasi Penataan Ruang Kawasan Lindung dan
Resapan Air di Daerah Aliran Sungai (Studi Kasus DAS Ciliwung Bagian
Hulu, Bogor). Tugas Akhir. Institut Teknologi Bandung. Bandung
Sutapa, I Wayan. 2006. Studi Pengaruh dan Hubungan Variabel Bentuk DAS
Terhadap Parameter Hidrograf Satuan Sintetik (Studi Kasus: Sungai
Salugan, Taopa dan Batui di Sulawesi Tengah). Jurnal SMARTek, 4 (4):
224 232.
Triatmodjo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset. Yogyakarta.
Wirosoedarmo, R, dkk. 2010. Studi Bentuk, Jaringan Drainase, dan Hidrograf
Daerah Aliran Sungai Menggunakan Simodas (Studi Kasus Di Pulau
Sabu - Nusa Tenggara Timur). Jurnal Teknologi Pertanian, 11 (2): 123130.
31
Seyhan, 1977
McGuen, 1989
Sherman (1932)
Kodoatie dan Sugiyanto, 2002
Prince Georges County Maryland (1999)