Oleh:
Elana Era Yusdita
(146020300111011)
(146020300111012)
ABSTRAK
Paper ini bertujuan untuk mengetahui sisi lain dari profit yang selama
ini digunakan sebagai indikator kinerja sebuah organisasi.
Karakteristik organisasi yang berbeda akan memerlukan indikator
kinerja yang berbeda pula. Penggunaan indikator kinerja yang terdiri
dari efektivitas, efisiensi, dan ekonomi dan penggunaan data
kuantitatif menimbulkan beberapa masalah. Salah satu solusi yang
ditawarkan untuk mengetahui kinerja selain profit adalah melalui
Corporate Social Reporting. Berbagai hambatan dan dukungan
mengikuti pengimplementasian CSR. Sudah banyak perusahaan yang
menggunakan CSR, salah satu contohnya adalah Program CSV Nestl
yang berbasis kewirausahaan sosial.
BAB I
PENDAHULUAN
organisasi jenis lain, khususnya pada sektor publik yang memiliki karakteristik
sangat amat berbeda dengan sektor swasta atau perusahaan.
2.
Untuk memberi wawasan tentang sisi lain profit dan kinerja pada sektor
publik.
3.
Untuk mengetahui implikasi dari indikator kinerja dan Value For Money
(VFM).
4.
5.
6.
7.
8.
BAB II
PEMBAHASAN
keuangan. Lebih jauh lagi, Perks (1993) menyatakan analisis akademis dari teori
dan pengukuran pendapatan bisnis bahkan juga gagal menciptakan kesepakatan
tentang definisi profit. Profit, dengan gampang dapat didefinisikan sebagai hasil
pendapatan dikurangi dengan biaya, lalu muncul masalah dengan pendefinisian
pendapatan dan biaya. Profit juga bisa didefinisikan sebagai sebuah kenaikan
aset bersih setelah dikurangi modal baru dan ditambah dengan deviden yang telah
dibayarkan, namun kembali akan muncul masalah tentang pendefinisian aset
dan kewajiban. Untuk menyelesaikannya, bahkan kita harus melakukan
pemeriksaan rinci dan menyeluruh atas masalah definisi dan pengukuran di akun
yang lain, misalnya goodwill, saham, efek inflasi pada akun, dan lain sebagainya.
dihitung tersebut terikat pada metode akuntansi tertentu yang diaplikasikan dan
bahwa pemilihan metode akuntansi alternatif dapat menghasilkan hasil akuntansi
yang berbeda secara signifikan (namun masih dianggap benar dan adil oleh
auditor eksternal).
Profit mungkin dapat menjadi pengganti atau petunjuk atas suatu
informasi tertentu yang ingin kita ketahui. Misalnya saja dalam forecasting, untuk
meramalkan dividen dan harga saham masa depan, serta untuk mengetahui apakah
perusahaan akan segera dilikuidasi atau tidak. Dalam hal efisiensi dan efektivitas,
untuk mengetahui apakah perusahaan dikelola dengan baik, serta untuk
mengetahui apakah sumber daya yang dihasilkan lebih daripada yang dipakai, kita
meletakkan ekspektasi kita pada angka laba tunggal yang diungkapkan. Dari sudut
pandang investor, angka profit merupakan proksi yang paling mudah dan banyak
digunakan untuk memprediksi informasi arus kas masa depan. Dari sini, muncul
perdebatan, seperti bisa jadi arus kas masa lalu merupakan prediktor yang lebih
akurat, mungkinkah setiap investor mempunyai kebutuhan informasi yang
berbeda selain profit. Meskipun isu yang dibahas akuntan akademik dan profesi
semakin bervariasi, namun inti dasar akuntansi keuangan perusahaan tetap
menyangkut pelaporan laba.
Pelaporan keuangan Badan Layanan Umum menggunakan dua standar, yaitu PSAK 45 tentang
Organisasi Nirlaba dan PP No 71 tentang SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan).
penggunaan
sumber
daya
yang
paling
murah,
tanpa
10
hanya ditinjau dari sisi murahnya saja, relatif mudah bagi akuntan dan
auditor untuk menilai organisasi manakah yang paling ekonomis.
(ii)
(iii)
11
Tiga E adalah bahan utama dari setiap sistem penilaian kinerja. Pada
sektor publik, terutama selama pada tahun 1980-an, terdapat penekanan untuk
mencapai 'value for money', yang diartikan sebagai ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Diasumsikan bahwa sektor publik jika dibiarkan tidak akan cukup
mencapai 3 E dan audit VFM (Value For Money) diperlukan untuk mendorong
dan memantau kemajuan ke arah pencapaian tersebut.
12
13
barang.
Melayani
publik
dianggap
lebih
sulit
untuk
dan
organisasi
lain
yang
dapat
dibandingkan
untuk
14
6. Saat kinerja yang tak memuaskan terindikasi, apakah ada tindakan untuk
memperbaikinya, menjelaskan keanehan, perbedaan, perbedaan, dan jika
tepat, apakah ada kemungkinan mempertimbangkan kembali tujuan
kebijakan.
15
banyak, berakibat pada penundaan rilis annual report, akan ada terlalu banyak
informasi dan akan overload bagi para pembacanya, angkanya akan sulit untuk
dihitung dan mungkin akan menimbulkan salah paham atau memberikan kesan
buruk.
16
2.3. Implikasi Dari Indikator Kinerja Dan Value For Money (VFM)
Meskipun sebuah organisasi harus mengukur kinerjanya selain dari profit
dan VFM auditing akan mendorong perkembangan pengukuran kinerja, namun
ada beberapa masalah yang muncul. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah:
a. Definisi dan pengukuran output dan tujuan
Efektivitas memiliki definisi menghubungkan output dengan tujuan, tidak
mungkin memiliki pengukuran efektivitas tanpa pengukuran dari tujuan dan
output. Masalah ditemukan pada sektor publik dimana banyak bagian dari sektor
ini, manajer tidak memiliki tujuan yang jelas karena biasanya memiliki banyak
17
tujuan yang diantaranya tak dapat didefinisikan dengan jelas. Tentunya hal ini
juga berdampak pada auditor VFM yang akan menilai sampai sejauh mana tujuan
tersebut tercapai. Dan mungkin kesuksesan di salah satu bagian sektor
berhubungan dengan penurunan kesuksesan di bagian yang lain. Beberapa
pengukuran dari bisnis mungkin tak tersedia atau tidak cocok dalam aktivitas
publik sektor.
Efektivitas berarti bahwa klien mendapat apa yang dimaksudkan dan
pengukuran harus dihubungkan dengan keluaran yang berhasil. Namun, sangat
sulit untuk menentukan kesuksesan itu sendiri karena jawabannya akan tergantung
siapakah yang melakukan pengukuran dan apa yang mereka inginkan untuk
ditunjukkan.
18
sesuatu yang berbeda dari apa yang seharusnya dilakukan. Seolah hal-hal yang
dianggap hanya merupakan hal-hal yang dapat dihitung saja. Tekanan bagi
organisasi untuk tampak sukses dapat mendorong pekerjanya hanya berfokus pada
tugas yang secara langsung meningkatkan skornya karena bagaimanapun efek
jangka panjangnya tidak akan langsung muncul dalam indikator kinerja. Indikator
tertentu bahkan diterima organisasi mungkin tergoda untuk kasus tertentu yang
prospeknya bagus.
19
hal yang harus diselidiki lebih lanjut. Tiap bagian data yang muncul untuk
menjelaskan kinerja abnormal membutuhkan penjelasan lebih lanjut dengan data
yang lebih banyak.
(ii)
(iii)
(iv)
prioritas
kesekian
perusahaan,
tentunya
di
bawah
maksimalisasi keuntungan.
Jika kita menilai keberhasilan sebuah organisasi atau perusahaan
berdasarkan angka laba, maka kita akan gagal menangkap apa yang terjadi saat
perusahaan tersebut berproses menghasilkan laba. Dengan pedoman mencapai
angka laba setinggi-tingginya, perusahaan dapat melakukan apapun agar dinilai
berhasil. Untuk itu diperlukan ukuran kinerja yang lain. Salah satu ukuran kinerja
selain profit yang dapat dikembangkan adalah corporate social reporting.
20
Reporting).
Pelaporan
berkelanjutan
ditujukan
untuk
Global
Reporting
Initiative
(2006)
mendefinisikan
pelaporan
informasi
berkaitan
dengan
kegiatan
perusahaan
dan
pengaruhnya terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan. Sampai saat ini
tidak ada konsensus berkaitan dengan informasi apa saja yang dimasukkan dalam
pengungkapan sosial dan lingkungan. Konsekuensinya, untuk menentukan apa
21
2.5.
22
dilihat sebagai semakin kuat di masyarakat ada panggilan bagi perusahaan untuk
dibuat lebih bertanggung jawab kepada publik yang lebih luas. Pada tahun 1967
Companies Act memperkenalkan sebuah bentuk pengungkapan yang dipandang
dapat digunakan dalam pertanggungjawaban public daripada pertanggungjawaban
kepada pemegang saham, termasuk pengungkapan atas donasi pihak-pihak
tertentu.
The Accountancy Profession Corporate Report (AASC, 1975) dapat
dipandang sebagai langkah penting pertama dalam pengakuan atas tanggung
jawab akuntan yang lebih luas kepada masyarakat. Sehubungan dengan pelaporan
sosial perusahaan secara lebih umum mereka mengatakan bahwa hal ini nampak
menggiurkan untuk memacu entitas dalam mengungkapkan informasi yang
menunjukkan dampak aktivitasnya terhadap masyarakat dan pemerintah. Tapi
mereka menganggap hal itu sebagai tidak praktis pada saat itu karena tidak adanya
teknik pengukuran yang disepakati. Mereka mendefinisikan akuntansi sosial
sebagai pelaporan biaya-biaya dan manfaat. Yang mungkin atau tidak mungkin
dihitung dalam bentuk uang sebagai akibat dari kegiatan ekonomi dan substansial
yang ditanggung atau diterima oleh masyarakat kelompok tertentu yang tidak
memegang hubungan langsung dengan perusahaan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri terhadap profesi akuntansi
dan direkomendasikan
Bahwa studi lebih lanjut perlu dilakukan dalam metode akuntansi sosial,
tetapi tidak ada kewajiban untuk melaporkan isu-isu sosial dan lingkungan
dikarenakan sampai adanya teknik pengukuran yang dapat diterima, obyektif
dan dapat diverifikasi telah dikembangkan yang akan mengungkapkan
pandangan objektif dari kedua dampak positif dan negatif dari ekonomi
kegiatan.
Mereka mengakui bahwa untuk tujuan hubungan masyarakat, perusahaan
akan cenderung untuk mengungkapkan pengeluaran yang dapat diidentifikasi
terutama untuk melindungi lingkungan atau manfaat
bagi masyarakat.
Kesimpulan ini dapat dipandang sebagai bentuk memberikan lampu hijau atas
public relations Hype dalam laporan tahunan. Hal ini juga mendorong banyak
penelitian metode pelaporan sosial oleh para akademisi yang tampaknya percaya
23
24
perusahaan atau dampak terhadap kinerja ekonomi pada kegiatan sosial dan
pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.
Jika hal tersebut dapat menunjukkan
kinerja ekonomi (jika hanya dalam hal harga saham yang lebih tinggi) dikaitkan
dengan tingginya tingkat pengungkapan sosial dan kinerja sosial yang 'baik', maka
perusahaan akan memiliki insentif untuk meningkatkan pengungkapan atas
informasi sosial yang relevan dan bahkan perilaku sosial perusahaan tersebut.
Hasilnya, studi tersebut tidak menyakinkan.
Pada tahun 1990-an, dua tema tertentu yang terkait dengan CSR yang
sangat menonjol adalah (1) Tindakan investasi etis, dan (2) Tindakan lingkungan.
Isu lingkungan menjadi perhatian investor
25
atau defisit yang dibuat oleh perusahaan. Teknik seperti analisis biaya manfaat
dapat digunakan, tetapi pasti ada banyak subjektivitas dalam penilaian tersebut
(Gray et al., 1987 dalam Perks, 1993).
Meskipun sulit untuk membuat penilaian keuangan atau kuantitatif
keseluruhan kinerja sosial perusahaan, beberapa aspek tertentu yang relatif
mudah, dan cenderung ramah bagi akuntan. Laporan kerja misalnya, termasuk
banyak dari informasi kuantitatif cukup obyektif yang mudah diverifikasi.
Beberapa saran untuk dimasukkan dalam CSR, seperti jumlah keluhan
konsumen yang diterima, juga tampaknya dirancang untuk menarik akuntan.
Banyak informasi kuantitatif dan keuangan yang akan sesuai untuk
dimasukkan dalam CSR, seperti pengeluaran untuk keterlibatan masyarakat
atau gerakan lingkungan dapat relatif mudah dimanipulasi dan dapat disajikan
untuk meningkatkan citra perusahaan bukan menjadi penilaian obyektif
dampak sosial. Argumen serupa dapat digunakan terhadap informasi lain yang
termasuk dalam laporan perusahaan, tetapi akuntan dan auditor dan kerangka
peraturan di mana mereka beroperasi, menawarkan beberapa kepastian
mengenai keandalan dan objektivitas.
c) Haruskah CSRS Diaudit?
Tidak ada gunanya laporan sosial perusahaan yang diproduksi jika tidak ada
yang percaya pada apa yang diungkapkan. Keberadaan badan independen
auditor yang memenuhi syarat untuk memverifikasi isi laporan tersebut akan
menambah kredibilitas laporan social perusahaan. Pengaturan audit normal
yang berlaku untuk laporan keuangan bisa dipandang sebagai tepat, meskipun
ada keraguan tentang independensi auditor, dan apakah mereka memiliki
keahlian yang tepat untuk menangani banyak hal terkait kepedulian sosial dan
lingkungan.
d) Siapa yang membayar?
Biaya produksi dan audit laporan keuangan konvensional yang saat ini
dipenuhi oleh perusahaan itu sendiri. Demikian pula, sebagian besar pelaporan
sosial perusahaan sampai saat ini telah dibiayai oleh perusahaan yang
bersangkutan. Ini, tentu saja, meragukan netralitas laporan tersebut.
Perusahaan tidak mungkin bersedia untuk membiayai produksi laporan
26
tambahan kecuali hal ini dianggap sebagai keuntungan perusahaan. UndangUndang pelaporan sosial perusahaan yang konsisten sangat diperlukan untuk
menegakkan netralitas dan keterbandingan dari laporan social perusahaan itu
sendiri.
Beberapa upaya untuk menghasilkan CSRS (atau Audit Sosial) telah dibiayai
oleh kelompok-kelompok lain dari perusahaan yang merupakan subjek
laporan. Pada kondisi adanya kesulitan dalam memperoleh dan memverifikasi
informasi yang diperlukan, kelompok tertentu memproduksi laporan yang
biasanya memiliki bagian khusus untuk melakukan sesuatu. Laporan yang
dihasilkan oleh perusahaan dapat dipandang sebagai kekuatan dalam
menentukan persepsi perusahaan dan kegiatannya.
e) Apa yang harusnya diungkapkan?
Laporan sosial perusahaan dapat mencakup berbagai informasi berbeda yang
mungkin relevan dalam menilai kinerja perusahaan. Ini dapat disajikan baik
dalam bentuk narasi atau dalam istilah kuantitatif, yang melibatkan masalah
pengukuran yang signifikan, atau lebih biasanya mungkin kombinasi
keduanya. Kisaran informasi yang diungkapkan secara sukarela, menurut
Ernst (1978) yang mengadopsi klasifikasi berikut yang kemudian diikuti oleh
Survey ICAEW (Skerratt dan Tonkin, 1982):
Lingkungan meliputi kegiatan pengendalian pencemaran, pencegahan,
atau perbaikan kerusakan lingkungan dan pengungkapan lingkungan
lainnya.
Energi meliputi konservasi kebijakan energi dan efisiensi energi dari
produk.
Praktek bisnis yang adil termasuk kebijakan dan kegiatan yang berkaitan
dengan ras minoritas, wanita dalam pekerjaan, orang cacat, pekerjaan di
luar negeri, dan tanggung jawab kepada pemasok.
Sumber daya manusia meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan
dengan
kesehatan
dan
keselamatan,
pelatihan,
komunikasi
27
masalah
terkait
kepemilikan
yang
berbeda
dan
berbagai
28
mendorong perusahaan ke arah ini dan kebutuhan untuk paksaan dengan CSR
tidak akan muncul. Bukti pada reaksi harga saham sejauh ini cukup
meyakinkan.
g) Apa Tujuan dari CSR?
Mungkin hambatan terbesar untuk pengembangan sistem yang konsisten dan
dapat dibandingkan dalam pelaporan sosial perusahaan adalah kurangnya
kesepakatan tentang tujuan dari sistem tersebut. Banyak pihak yang
menganjurkan berbagai pengungkapan yang berbeda untuk alasan yang
berbeda. Tujuan mereka mungkin untuk:
Mengungkapkan manfaat sosial yang diciptakan oleh perusahaan, dan/atau
Paparan bahaya sosial yang dikenakan oleh perusahaan, dan/atau
Mengubah perilaku perusahaan.
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua
perusahaan mampu menjalankan CSR secara otentik sesuai filosofi dan konsep
CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR
berikut ini:
Kamuflase.
Perusahaan melakukan CSR tidak didasari oleh komitmen, melainkan hanya
sekadar menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi
perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari Community Development,
melainkan Celana Dalam yang berfungsi menutupi aurat perusahaan.
McDonalds Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika
pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to
animals, third world nations are exploited in producing these goods dan
mempekerjakan anak di bawah umur (Wikipedia, 2008; Supomo, 2004).
Generik.
Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan
berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain.
Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan
cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi)
terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Directive.
29
Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top down dan hanya
berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program
CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Lip Service.
CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya,
program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan
berdasarkan belas-kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat
Enron dan British American Tobacco (BAT), pernah menjadi sasaran kritik
sebagai hanya lip service belaka (Wikipedia, 2008).
Kiss and Run.
Program CSR bersifat ad-hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi
sentuhan berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan
begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic,
berjangka pendek dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi
sosial. CSR sekadar menanam jagung, bukan menanam jati.
30
2.7. Enviromentalism
Pada awal tahun1990-an lingkungan menjadi perhatian utama dari mereka
yang tertarik dalam (anti) kegiatan sosial perusahaan dan yang ingin menegakkan
akuntabilitas publik untuk kegiatan tersebut. Tampaknya bagi banyak orang
bahwa pembangunan ekonomi saat ini dan kebijakan yang tidak berkelanjutan dan
krisis lingkungan utama sedang dalam perjalanan. Tekanan utama, yang dikatakan
meningkat secara eksponensial termasuk hal-hal seperti tingkat penipisan ozon,
penggurunan, penggundulan hutan, kejadian hujan asam, penipisan stok ikan,
erosi tanah, tingkat penggunaan sumber daya tak terbarukan, tingkat kepunahan
spesies dan sebagainya.
Akuntan harus telah terlibat dalam isu-isu lingkungan pada tingkat tertentu
setidaknya sejak publikasi The Corporate Report (1975). Sehubungan dengan isuisu lingkungan itu mengakui bahwa perusahaan mungkin ingin mengungkapkan
pengeluaran yang dilakukan untuk melindungi lingkungan dan kepentingan yang
berhubungan dengan masyarakat. Bahkan Gray et al. (1987) menyatakan bahwa
karya besar pelaporan sosial perusahaan mencakup referensi atas isu-isu
lingkungan. Karya utama The Institute of Chartered Accountants of Scotlands
pada pelaporan perusahaan (Making Corporate Reports Valuable, 1988) tidak
membuat referensi terhadap lingkungan.
Organisasi-organisasi lain dapat mengklaim memiliki minat terhadap isuisu lingkungan. The British Institute of Management misalnya, memproduksi
daftar tanggung jawab manajemen dalam kaitannya dengan lingkungan pada
tahun 1979. Sebuah pengembangan internasional yang penting adalah
pengembangan Prinsip 'Valdez', yang diadopsi oleh European INAISE
(International Association of Investor in the Social Economy), untuk organisasi:
Yang berinvestasi dalamu paya atas etika, ekologi, budaya dan mengelola
alam, termasuk upaya terhadap perempuan, etnis minoritas, penyandang
disabilitas, hidup sehat, damai dan Third World, serta upaya ekonomi sosial
pada umumnya.
31
Prinsip-prinsip ini diberi nama setelah Alaskan Oil Spillage dari Exon
Valdez, dan The United States Social Investment Forum yang mendorong ide
terhadap perusahaan dalam mematuhi prinsip-prinsip tersebut, yang pada
dasarnya termuat dalam sebuah Charter for Corporate Social Responsibility
(Miller, 1992):
a) Perlindungan terhadap Biosfer
Kami akan meminimalkan dan berusaha untuk menghilangkan pelepasan
polutan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan udara, danau, rawa,
wilayah pesisir dan lautan dan akan meminimalkan berkontribusi terhadap
efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, hujan asam, atau asap.
b) Penggunaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan
Kami akan memanfaatkan sumber daya alam terbarukan seperti air, tanah dan
hutan. Kami akan melestarikan sumber daya alam tidak terbarukan melalui
penggunaan yang efisien dan perencanaan yang matang. Kami akan
melindungi habitat satwa liar, ruang terbuka dan padang gurun sekaligus
melindungi keanekaragaman hayati.
c) Pengurangan dan Pembuangan Limbah
Kami akan meminimalkan penciptaan limbah, terutama limbah berbahaya dan
dimanapun bahan daur ulang dimungkinkan. Kami akan membuang limbah
melalui metode yang aman dan bertanggung jawab.
d) Penggunaan Energi secara Bijak.
Kami akan melakukan segala upaya untuk menggunakan sumber energi yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan kita. Kami
akan berinvestasi dalam meningkatkan efisiensi energi dan konservasi dalam
operasi kami. Kami akan memaksimalkan efisiensi energi produk yang kami
produksi atau jual.
e) Pengurangan Risiko
Kami akan meminimalkan risiko kesehatan dan keselamatan lingkungan
terhadap karyawan dan masyarakat di mana kami beroperasi dengan
menggunakan teknologi yang aman dan prosedur operasi, serta dengan terusmenerus siap untuk keadaan darurat.
f) Pemasaran Produk dan Layanan yang Aman
32
Kami akan menjual produk dan jasa yang meminimalkan dampak lingkungan
dan aman bagi konsumen umum yang menggunakannya. Kami akan
menginformasikan konsumen dari dampak lingkungan dari produk dan
layanan kami.
g) Kerugian Kompensasi
Kami akan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang disebabkan
lingkungan dengan membuat setiap usaha untuk sepenuhnya memulihkan
lingkungan, dan untuk mengimbangi pihak-pihak yang terkena dampaknya.
h) Pengungkapan
Kami akan mengungkapkan kepada karyawan dan insiden publik yang
berkaitan dengan operasi kami yang menyebabkan kerusakan lingkungan atau
menimbulkan
bahaya
kesehatan
atau
keselamatan.
Kami
akan
33
Namun apa sebenarnya yang bisa dilakukan oleh akuntan dalam kaitannya
dengan
masalah
lingkungan?
Jawabannya
adalah
mereka
yang
ingin
34
Abstrak
Nestle adalah perusahaan multinasional yang sangat peduli dengan kualitas
dan kegunaan dari penciptaan produk. Salah satu program utama CSV dari Nestle
adalah Pembangunan Pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
petani susu. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan program CSV
Nestl di bidang pembangunan pedesaan sebagai referensi untuk merumuskan
sebuah kegiatan CSR alternatif berbasis pada kewirausahaan sosial.
Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan penggunaan dua
studi kasus pada mitra Nestle yakni Koperasi Jabung Agro Niaga dan Koperasi
Pujon SAE. Data yang digunakan dalam penelitian ini data primer, go native, dan
data sekunder, seperti hasil wawancara yang dilakukan dengan manajer dari kedua
koperasi dan laporan perusahaan serta publikasi lainnya.
Studi ini menyimpulkan bahwa Nestle telah menerapkan program
pembangunan pedesaan untuk meningkatkan kualitas hidup peternak sapi perah.
Keberhasilan dari program CSV Nestle dapat digunakan sebagai pedoman untuk
membuat program CSR lain berdasarkan Kewirausahaan Sosial. Koperasi Jabung
Agro Niaga dan Koperasi Pujon SAE mendapatkan keuntungan dengan
kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh Nestl.
Keywords: CSR, Creating Shared Value (CSV), Community Development,
Social Entrepreneurship.
35
Pendahuluan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (selanjutnya, CSR) adalah kegiatan sosial
yang umum dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap
lingkungan dan masyarakat. Perkembangan CSR akhir-akhir ini direspon secara
positif, yang mulai mengubah paradigma bisnis dari profit oriented menjadi lebih
peduli pada lingkungan dan masyarakat. Di Indonesia baru-baru ini, banyak
perusahaan besar baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar telah menerapkan
CSR. Perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR dalam praktek dengan
berbagai kegiatan di berbagai bidang teknologi, pendidikan, kesehatan dan
ekonomi. Meskipun kegiatan CSR tidak semua didasarkan pada kesadaran
perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab perusahaan, tetapi kebanyakan
hanya untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Penerapan CSR di Indonesia telah diatur dalam undang-undang dan keputusan
menteri. CSR untuk Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
tahun 2007. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007. Pasal 74
ayat (1) menyatakan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk
melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan. Penjelasan Pasal 74 ayat (1)
menjelaskan bahwa kewajiban CSR dimaksudkan untuk menciptakan hubungan
kemitraan yang harmonis, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,
dan budaya. Namun sayangnya, hal ini bukanlah bagian dari aturan yang menduga
terhadap pelanggaran CSR.. Tanggung jawab sosial untuk BUMN diatur oleh
pemerintah melalui Keputusan Menteri Nomor Kep-236 / MBU / 2003 tentang
Program Kemitraan Usaha Milik Negara dengan usaha kecil dan Program
Community Development. Mewajibkan CSR merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
ekonomi. Pemerintah berharap CSR tidak hanya berupa kesukarelaan, tetapi itu
akan menjadi tanggung jawab hukum dan wajib dan dapat dipertahankan serta
diberlanjutkan.
Banyak perusahaan telah mencoba untuk mengembangkan konsekuensi sosial
dan lingkungan dari kegiatan usaha mereka untuk melaksanakan kegiatan CSR,
namun usaha mereka kadang-kadang tidak berjalan secara produktif seperti apa
36
yang mereka harapkan. Hal ini disebabkan oleh dua yakni pertama, perusahaan
menjalankan bisnisnya bertolak belakang dengan masyarakat dan lingkungan.
Kedua, kegiatan CSR perusahaan bersifat normatif, dan tidak disesuaikan dengan
strategi perusahaan. (Porter dan Kramer, 2006).
PT Nestle sebagai salah satu perusahaan terbesar di dunia adalah sebuah
perusahaan yang dikenal atas keunggulan dalam kegiatan CSR yang diungkapkan
dalam Creating Shared Value (CSV). Nestle memiliki prinsip bahwa keberhasilan
jangka panjang hanya dapat dicapai dengan menciptakan manfaat bagi para
pemangku kepentingan, baik pemasok bahan baku (suppliers), karyawan,
pelanggan, mitra bisnis, pemerintah dan masyarakat serta tentu saja para
pemegang saham dan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, Nestle sangat
prihatin dengan perkembangan di bidang gizi, air dan pembangunan pedesaan.
Nestle juga menekankan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam
Global Reporting Index (GRI) bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah
untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang dalam hal pemenuhan kebutuhan (World Commission on
Envirinment and Development, 1987).
Creating Shared Value (CSV) adalah strategi bisnis yang diterapkan oleh
Nestle berdasarkan kepatuhan dengan berbagai peraturan perundang-undangan,
dan praktek bisnis yang berkelanjutan. Nestle menyadari bahwa untuk mencapai
sukses jangka panjang, Nestle harus menciptakan manfaat bagi para pemangku
kepentingan lain seperti pemasok bahan baku, karyawan, pelanggan, mitra bisnis,
pemerintah dan masyarakat setempat, dan pada saat yang sama menciptakan
keuntungan bagi perusahaan dan pemegang saham. CSV itu sendiri adalah konsep
strategi bisnis yang diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada
tahun 2006 dalam artikel Harvard Business Review. Creating Shared Value
(CSV) menekankan pentingnya memasukkan isu-isu dan kebutuhan sosial dalam
desain strategi perusahaan. CSV menekankan kesempatan untuk membangun
keunggulan
kompetitif
dengan
memperkenalkan
isu-isu
sosial
sebagai
37
koperasi yang layak untuk diselidiki lebih lanjut yakni Koperasi Pujon SAE dan
Koperasi Jabung Agro Niaga. Koperasi Pujon SAE adalah koperasi petani susu
yang telah berdiri sejak tahun 70-an dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada
waktu itu. Sampai saat ini Koperasi Pujon SAE memiliki anggota petani susu
sekitar 6000 per hari dan dapat menghasilkan sebanyak 100 ton susu. Sementara
Koperasi Jabung Agro Niaga adalah koperasi petani susu yang telah menerima
berbagai penghargaan baik dari pemerintah maupun dari Nestle itu sendiri.
Meskipun Koperasi Jabung Agro mulai terlibat dalam bidang peternakan sapi
perah sampai tahun 1990-an, namun komitmen dan semangat untuk menjadi yang
terbaik dari seluruh dewan membuat koperasi tersebut menjadi langganan
penerima berbagai penghargaan.
Kewirausahaan sosial menjadi terkenal sejak Muhammad Yunus, pemenang
Hadiah Nobel Perdamaian dari Bangladesh mendirikan Grameen Bank.
Sebenarnya, kewirausahaan sosial telah dikembangkan oleh berbagai elemen
masyarakat, salah satunya adalah Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang
telah peduli tentang pembahasan kewirausahaan sosial. Arti sederhana dari
pengusaha sosial adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan
menggunakan kemampuan entrepreneurship terhadap perubahan sosial, terutama
mencakup kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan (Santosa, 2007).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana
pelaksanaan program CSV pada sektor Pembangunan Pedesaan oleh Nestle
Indonesia Kejayan Factory (Kemitraan dengan Koperasi Jabung Agro Niaga dan
koperasi Pujon SAE). Dan bagaimana bentuk kegiatan kewirausahaan sosial yang
dilaksanakan dalam CSR berdasarkan penelaahan atas Program CSR Nestl?
38
tidak mau menyusui bayinya sendiri. Kemudian seorang teman bertemu dengan
Henry Nestle dengan bayi prematur yang dirawat. Oleh Henry Nestle, bayi diberi
makanan berupa olahan roti, susu dan gula, sampai kondisi bayi berangsur-angsur
membaik.
Sejak itu makanan olahan Henry Nestle diproduksi dengan nama "Nestle
Lacto Ferine" menjadi populer dan dipercaya, sebagai sesuatu yang terbukti
meningkatkan gizi dan mengurangi kematian bayi. Kemudian Henry Nestle
membuat nama "Nestle" yang dalam bahasa Jerman berarti sarang burung kecil
(sarang kecil) dan menjadi logo perusahaan. Oleh karena itu, Henry Nestle dikenal
sebagai First Swiss yang membangun industri modern yang focus pada
pentingnya citra merek dan perusahaan.
39
40
akan diberikan kepada Nestle dan juga untuk menjaga kesehatan ternak
mereka.
3) Dalam rangka untuk lebih memenuhi kepentingan peternak sapi perah, Nestle
merombak Agro Service Department ke Procurement Milk dan Dairy
Development Department (MPDD). Fokus departemen ini adalah untuk
meningkatkan kualitas susu yang dihasilkan oleh petani.
4) Nestle melalui departemen MPDD memfasilitasi pinjaman lunak untuk
perbaikan pengumpulan susu dan pusat transportasi, memberikan pelatihan
staf koperasi untuk menerapkan prosedur operasi standar di seluruh rantai
pasokan, dan pemeriksaan kepatuhan untuk memastikan standar kualitas susu
yang telah ditetapkan.
5) Memberikan pinjaman lunak kepada petani untuk meningkatkan jumlah sapi,
serta memberikan pengarahan pada manajemen ternak.
Inilah yang tiga puluh tahun terakhir telah dibuat oleh Nestle dan terus
melakukannya akan mencapai sebuah kegunaan bersama Nestle, peternak sapi
perah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Penciptaan kegunaan bersama dalam jangka panjang akan membuat
masyarakat menjadi lebih mandiri dan berdaya secara ekonomi, menjadi tujuan
dari Creating Shared Value (CSV). Karena teori kapitalisme yang hanya
mementingkan keuntungan dari para pemegang saham tidak lagi relevan di dunia
saat
ini.
Michael
Porter
berpendapat
bahwa
dengan
memberdayakan
perekonomian masyarakat juga berarti menciptakan dunia bisnis yang lebih baik
lagi - tentu untuk kepentingan perusahaan juga. Karena keberhasilan suatu usaha
tidak akan terjadi tanpa iklim ekonomi yang sehat di masyarakat.
CSV yang diadopsi oleh Nestle telah terbukti meningkatkan kualitas hidup
bagi petani susu dan berpartisipasi dalam mengembangkan koperasi. Karena
pelaksanaan CSV bukan hanya bantuan atau sumbangan pada suatu waktu. Tapi
juga mengembangkan peternak sapi perah yang menjadi pemasok Nestle. Dengan
bantuan dan penerapan standar yang ketat, sehingga perubahan pola kerja menjadi
lebih profesional. Sehingga akan menciptakan hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan, terutama bagi peternak dan koperasi.
41
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang dibuat oleh Nestle jika dilihat dari
klasifikasi CSR oleh Profesor Porter, Nestle telah melakukan "Praktek Bisnis
yang Bertanggung Jawab secara Sosial (Socially Responsible Business Practice)".
Dimana kegiatan CSR telah melampaui dari apa yang harus dilakukan. Sehingga
dampak positif dari program ini sangat bermanfaat, juga bahkan dapat
menciptakan efek domino yang menyebabkan dampak positif lainnya. Jika hal-hal
ini dihitung, maka efek ganda yang dihasilkan dari kegiatan Nestle akan jauh
lebih besar.
Nestle telah berhasil membangun hubungan yang saling menguntungkan
antara para pemangku kepentingan, masyarakat dan pemerintah. Nestle
meminimalkan konflik kepentingan dalam hubungan bisnis, dengan menciptakan
sistem yang tidak hanya membawa manfaat bagi Nestle, tetapi juga untuk
masyarakat. Sehingga hubungan dibuat tidak hanya membeli dan menjual
hubungan, namun masyarakat yang menjadi mitra dari Nestle dapat meningkatkan
kualitas hidup.
Nestle memberikan manfaat lebih dari kerjasama dengan masyarakat dalam
bentuk peningkatan kualitas hidup dan membuka peluang bisnis dalam
masyarakat. Hal ini membuat Nestle juga mendapatkan keuntungan dengan
menerapkan CSR yang baik maka secara otomatis laporan umum akan lebih
berkualitas. Dan juga image publik terhadap Nestle juga akan positif. Nestle
menyadari bahwa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat akan
berdampak yang baik bagi perusahaan sehalan dengan yang dinyatakan oleh
Profesor Porter, "Baik untuk masyarakat, juga Baik untuk bisnis (Good for
Community, is also Good For Business)".
42
membawa manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, di samping laba usaha
perusahaan untuk pemegang saham harus juga membawa manfaat bagi
masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan melaksanakan program-program
CSR bagi perusahaan tersebut.
Ada
banyak
metode
yang
dikembangkan
oleh
perusahaan
dalam
1. Energi Alternatif
Sama seperti yang telah dilakukan oleh Nestle Kejayan Factory, dengan
mengubah penggunaan bahan bakar minyak ke gas. Perusahaan lain juga dapat
mengganti bahan bakar untuk industri mereka ke bahan bakar yang lebih ramah
dan lebih peduli pada lingkungan. Saat ini penggunaan bahan bakar fosil telah
terbukti berkontribusi dalam pemanasan global yang menyebabkan perubahan
43
iklim drastis. Jadi, untuk membuatnya menjadi baik banyak ilmuwan, pemerintah
dan dunia usaha yang peduli lingkungan mencoba untuk mengganti penggunaan
bahan bakar fosil.
Penggunaan energi alternatif seperti gas alam dan bio-diesel yang lebih ramah
lingkungan, atau penggunaan energi surya sebagai sumber energi. Di beberapa
Negara telah mengembangkan pembangkit listrik menggunakan tenaga angin atau
air, dan bahkan beberapa energi prototipe dari air laut.
Perusahaan juga dapat mengembangkan teknologi baru untuk efisiensi
penggunaan bahan bakar fosil jika terasa tidak mungkin untuk menggantikan.
Dengan menggunakan teknologi yang diharapkan dari bahan bakar fosil dapat
dikurangi serendah mungkin untuk meminimalkan efeknya.
2. Pendidikan
Pendidikan di Indonesia adalah salah satu hal yang terus memunculkan
masalah baru dan menjadi masalah dalam setiap dekade. Mulai dari infrastruktur
yang tidak memadai, kualitas pendidikan yang tidak sama antara perkotaan dan
pedesaan, dan berbagai masalah lainnya. Nestle Kejayan Factory juga telah
mengembangkan sekolah percontohan yang terletak di pabrik-pabrik di
sekitarnya. Karena pendidikan adalah pintu gerbang bagi orang untuk menjadi
lebih beradab, perusahaan juga harus memperhatikan sektor ini. Seperti kata
Porter (2011) dari Universitas Harvard, bahwa kondisi orang yang berkehendak
baik memiliki dampak positif pada dunia bisnis (Porter, 2011).
Perusahaan dapat menginvestasikan dana CSR mereka untuk membangun
kedua infrastruktur pendidikan serta mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan. Tidak hanya bisa membantu pendidikan anak-anak berkebutuhan
khusus dengan membangun sekolah atau menyediakan peralatan untuk mereka.
Perusahaan dapat memberikan pelatihan keterampilan yang akan membantu siswa
ketika mereka telah lulus dan siap untuk bekerja. Atau membuat program magang
dalam perusahaan yang bisa menjadi tambahan pengalaman bagi siswa.
44
4. Lingkungan
Konsumen sekarang mulai menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan
lebih memilih produk ramah lingkungan. Kesadaran konsumen harus diantisipasi
dan dihargai oleh perusahaan dengan kebijakan perusahaan yang mempromosikan
perlindungan pengelolaan limbah tanaman dan konservasi alam.
Nestle memiliki sistem pengolahan air limbah yang sangat baik, dengan hasil
akhir dari limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah petani di
sekitar pabrik. Produksi limbah sangat berbahaya bagi lingkungan, diproses secara
akurat dan hati-hati untuk menghasilkan air yang sama sekali tidak berbahaya
bagi lingkungan.
Pengolahan limbah dan produksi limbah merupakan hal penting yang kadangkadang banyak perusahaan tidak mau tahu tentang hal itu. Tentu saja salah satu
alasan adalah pengolahan limbah yang baik akan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit juga, begitu banyak perusahaan yang enggan untuk berinvestasi di
dalamnya. Meskipun masalahnya bukan hanya limbah, citra perusahaan bisa turun
jika tidak ditangani dengan baik, tapi yang paling penting adalah kondisi
ekosistem dan lingkungan sekitarnya. Perusahaan harus fokus pertama pada
strategi perusahaan pada pengolahan limbah yang baik untuk melestarikan
lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.
45
6. Perlindungan Karyawan
Karyawan sering diremehkan oleh manajemen dan pemegang saham. Karena
pola pikir yang sudah melekat dalam dunia bisnis kapitalis yang hanya
keuntungan maksimum tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial dan manusia.
Jadi kadang-kadang hak karyawan sering diabaikan oleh perusahaan.
Porter (2011) dari Harvard dalam Rethinking Kapitalisme mengatakan bahwa
bisnis yang baik akan membawa manfaat bagi semua pihak, terlebih oleh
karyawan. Serta yang dilakukan oleh Nestle dengan prinsip-prinsip bisnisnya
adalah memberikan penghargaan kepada karyawan. Kebijakan perusahaan dalam
mendukung karyawan dari jam kerja, fasilitas keselamatan kerja, makan siang,
bonus, dan kegiatan di luar kegiatan produksi sebagai sarana untuk lebih dekat
dengan karyawan dan perusahaan.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi etnografi, pertanyaan penelitian dijawab dan
kemudian dapat disimpulkan bahwa:
46
CSV
Nestl
adalah
sebuah
langkah
fundamental
untuk
47
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Anggapan bahwa organisasi yang menghasilkan profit tinggi merupakan
organisasi yang memiliki kinerja tinggi merupakan asumsi yang kurang tepat,
karena adanya faktor ketidakjelasan tentang definisi dan pengukuran profit, profit
tidak selalu menunjukkan apa yang kita harapkan, relevansi profit dipertanyakan
untuk menilai kinerja berbagai macam organisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan
indikator kinerja selain profit, terutama pada sektor publik yang tujuan utamnya
adalah untuk melayani masyarakat. Value for money yang merupakan konsep
pengelolaan organisasi berdasarkan 3E (ekonomi, efisiensi, dan efektivitas)
memiliki beberapa implikasi negatif, sehingga muncul gagasan untuk ukuran
kinerja non keuangan, yaitu corporate social reporting. Corporate Social
Reporting (CSR) merupakan pelaporan perusahan dan organisasi lainnya terkait
aspek sosial dan ekonomi terhadap kinerja perusahaan. Dalam perkembangannya,
CSR juga menemui beberapa masalah dan populer pada saat yang bersamaan
karena munculnya isu-isu lingkungan. Salah satu contoh praktek CSR yang dapat
dikembangkan adalah program CSV Nestle berdasarkan teori kewirausahaan
sosial, yang mengidentifikasi masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dan
mencoba untuk menemukan solusi kreatif dan solusi.
48
DAFTAR PUSTAKA
Chwastiak, M. dan Young, J. J. 2003. Silences In Annual Reports. Critical
Perspectives on Accounting, Vol. 14, pp 533-552.
Deegan, C., 2009. Financial Accounting Theory. Third Edition. Sidney: McGraw
Hill Book Company.
Global Reporting Initiative. 2002. Sustainability Reporting Guidelines, Global
Reporting Initiative GRI, Boston, MA.
Handoko, Yunus. 2014. Implementasi Social and Environmental Disclosure
dalam Perspektif Teoritis. Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014.
STIE Asia Malang.
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Perks, R.W. (1993). Accounting and Society. Chapman and Hall. UK.
Suharto, Edi. 2008. Corporate Social Responsibility: What is and Benefits for
Corporate. Disampaikan pada Seminar Dua Hari CSR (Corporate Social
Responsibility): Strategy, Management and Leadership, Intipesan, Hotel
Aryaduta Jakarta 13-14 February 2008.
Sukoharsono, Eko Ganis dan Nuruddin Ahmad Putra. 2013. Creating Shared
Value (CSV) Rural Development Sector at PT Nestle Kejayan Factory: An
Ethnographical Study of Jabung Agro Niaga Cooperative and Pujon SAE
Cooperative as a Reference Development of Corporate Social
Responsibility (CSR) Based on Social Entrepreneurship. Journal.
University of Brawijaya.
49