Anda di halaman 1dari 50

PAPER

MULTIPARADIGM OF PROFIT: PRIVATE SECTOR,


PUBLIC SECTOR, AND ENVIRONMENTAL PERSPECTIVES

(Disusun untuk Memenuhi Tugas Kelompok Matakuliah Sosiologi Akuntansi)

Oleh:
Elana Era Yusdita

(146020300111011)

Endang Tri Pratiwi

(146020300111012)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

ABSTRAK

Paper ini bertujuan untuk mengetahui sisi lain dari profit yang selama
ini digunakan sebagai indikator kinerja sebuah organisasi.
Karakteristik organisasi yang berbeda akan memerlukan indikator
kinerja yang berbeda pula. Penggunaan indikator kinerja yang terdiri
dari efektivitas, efisiensi, dan ekonomi dan penggunaan data
kuantitatif menimbulkan beberapa masalah. Salah satu solusi yang
ditawarkan untuk mengetahui kinerja selain profit adalah melalui
Corporate Social Reporting. Berbagai hambatan dan dukungan
mengikuti pengimplementasian CSR. Sudah banyak perusahaan yang
menggunakan CSR, salah satu contohnya adalah Program CSV Nestl
yang berbasis kewirausahaan sosial.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Akuntansi identik dengan sistem yang diatur untuk mengubah data
menjadi informasi untuk kemudian dikomunikasikan kepada beragam pengambil
keputusan. Informasi yang merupakan output proses akuntansi tersebut berupa
laporan keuangan. Komponen dalam laporan keuangan yang disorot dan dinilai
sangat berharga adalah profit. Perusahaan yang berlomba-lomba memaksimalkan
nilainya dengan tujuan akhir menyejahterakan para pemilik, akan berjuang untuk
meraih profit tertinggi. Seolah menerima sudut pandang perusahaan yang
berfokus pada kesejahteraan pemiliknya, sebagian besar dari masyarakat seolah
terbius oleh image profit, tanpa menyadari justru masyarakat juga memiliki
semacam hak terhadap perusahaan tersebut. Dengan tujuan utama meraih profit
tersebut, perusahaan seolah hanya menganggap hanya ada shareholder, dan
melupakan adanya stakeholder. Padahal ada pihak-pihak lain yang terpengaruh
oleh kegiatan perusahaan tersebut, selain investor dan kreditor.
Selama ini nilai perusahaan dianggap tercermin hanya pada harga
sahamnya, lalu muncullah pertanyaan bagaimana pihak-pihak di luar pasar modal
menilai perusahaan tersebut? Seperti yang kita ketahui, perusahaan berdiri di
sebuah lingkungan, berdampingan dengan masyarakat sekitar. Akan menjadi
sebuah tanda tanya jika perusahaan yang memiliki profit tinggi, namun
lingkungan hidup di sekitarnya menjadi mati dan masyarakatnya semakin
terpuruk, dinyatakan sebagai perusahaan yang berkinerja baik. Pentingnya
penyediaan ukuran untuk penilaian keberhasilan suatu perusahaan, selain besarnya
profit, jelas diperlukan.
Masih mengusung image profit yang dianggap sama dengan kinerja,
banyak dari kita yang menyamaratakan pengukuran keberhasilan dari antar
organisasi yang memiliki karakteristik berbeda. Ketika ukuran keberhasilan suatu
organisasi diseragamkan, tentunya ada poin-poin penting yang terlewatkan.
Dengan demikian, menarik untuk mengetahui ukuran keberhasilan dalam

organisasi jenis lain, khususnya pada sektor publik yang memiliki karakteristik
sangat amat berbeda dengan sektor swasta atau perusahaan.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Adapun rumusan masalah sesuai dengan latar belakang makalah ini
adalah:
1. Apa karakteristik profit dan hubungannya dengan kinerja?
2. Bagaimana sisi lain profit dan kinerja pada sektor publik?
3. Apakah implikasi dari indikator kinerja dan Value For Money (VFM)?
4. Bagaimana konsep Corporate Social Reporting (CSR)?
5. Bagaimana pengembangan pelaporan sosial perusahaan?
6. Apa saja masalah-masalah yang timbul dalam pelaporan sosial
perusahaan?
7. Bagaimana konsep environmentalism dalam pelaporan sosial perusahaan?
8. Bagaimana implementasi CSR pada sebuah perusahaan?

1.3. TUJUAN PENULISAN


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dari makalah ini
adalah:
1.

Untuk mengetahui karakteristik profit dan hubungannya dengan kinerja.

2.

Untuk memberi wawasan tentang sisi lain profit dan kinerja pada sektor
publik.

3.

Untuk mengetahui implikasi dari indikator kinerja dan Value For Money
(VFM).

4.

Untuk mengetahui konsep Corporate Social Reporting (CSR).

5.

Untuk mengetahui pengembangan pelaporan sosial perusahaan.

6.

Untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang timbul dalam pelaporan


sosial perusahaan.

7.

Untuk mengetahui konsep environmentalism dalam pelaporan sosial


perusahaan.

8.

Untuk mengetahui implementasi CSR pada sebuah perusahaan.

1.4. MANFAAT PENULISAN MAKALAH


Makalah ini bermanfaat bagi masyarakat, pada umumnya, dan para praktisi
akuntansi dan bisnis, pada khususnya, untuk:
1. Memberi pandangan yang lebih luas atas kinerja dan profit yang dihasilkan
oleh sebuah organisasi.
2. Memberi bukti bahwa akuntansi tak dapat dipisahkan dengan masyarakat
dan lingkungan, sehingga memungkinkan perkembangan indikator
keberhasilan mendatang yang melibatkan masyarakat.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Karakteristik Profit Dan Hubungannya Dengan Kinerja


Sebagian besar orang masih menganggap bahwa tujuan utama, bahkan
bagi sebagian orang merupakan satu-satunya tujuan, dari entitas bisnis adalah
untuk menghasilkan profit untuk keuntungan shareholders. Masyarakat juga
sering mengasumsikan bahwa organisasi yang profitable merupakan organisasi
yang efisien dan efektif, sedangkan organisasi yang tidak profitable merupakan
organisasi yang tidak efisien dan juga tidak efektif. Ada pula anggapan bahwa
sebuah organisasi yang profitable akan bertahan dan berkembang, sedangkan
yang tidak profitable akan gagal. Sebuah organisasi yang profitable akan menarik
investor, bahkan dalam kepentingan yang sifatnya nasional, berbagai sumber daya
akan menjadi semacam investasi milik organisasi yang paling efektif dan efisien.
Sebaliknya, organisasi yang tidak profitable akan kesulitan mendapatkan sumber
daya tambahan, maupun menggunakan sumber daya tersebut secara efisien dan
efektif. Sebagian besar orang juga percaya bahwa organisasi yang profitable itu
karena mereka memiliki prosedur untuk mengukur dan melaporkan profit, serta
didukung oleh standar akuntansi dan diaudit secara independen. Padahal anggapan
ini tak selamanya benar karena:
a. adanya ketidakjelasan tentang definisi dan pengukuran profit.
b. profit tidak selalu menunjukkan apa yang kita harapkan.
c. relevansi profit dipertanyakan untuk menilai kinerja berbagai macam
organisasi
Berikut akan dibahas satu persatu tentang profit yang bersifat menggoda
namun terdapat kontroversi di dalamnya.

A. Definisi dan pengukuran profit


Ketidakjelasan dalam definisi dan pengukuran profit ditunjukkan oleh
standar akuntansi yang terus berubah serta banyaknya yang mempraktikkan
akuntansi kreatif. Analis juga begitu memperhatikan kualitas laba karena
mereka tidak bisa mendapatkan gambaran profit pada nilai nominal pada laporan

keuangan. Lebih jauh lagi, Perks (1993) menyatakan analisis akademis dari teori
dan pengukuran pendapatan bisnis bahkan juga gagal menciptakan kesepakatan
tentang definisi profit. Profit, dengan gampang dapat didefinisikan sebagai hasil
pendapatan dikurangi dengan biaya, lalu muncul masalah dengan pendefinisian
pendapatan dan biaya. Profit juga bisa didefinisikan sebagai sebuah kenaikan
aset bersih setelah dikurangi modal baru dan ditambah dengan deviden yang telah
dibayarkan, namun kembali akan muncul masalah tentang pendefinisian aset
dan kewajiban. Untuk menyelesaikannya, bahkan kita harus melakukan
pemeriksaan rinci dan menyeluruh atas masalah definisi dan pengukuran di akun
yang lain, misalnya goodwill, saham, efek inflasi pada akun, dan lain sebagainya.

B. Ekspektasi atas profit


Masalah kandungan informasi yang tidak memadai yang disediakan oleh
profit dapat diibaratkan dengan expectation gap dalam auditing. Masyarakat
mungkin berharap mendapatkan banyak informasi pada sebuah angka profit
karena sebagai orang awam tak cukup menyadari apa saja yang ada di balik
profit.
ICAEW (1952) pada paragraf 28 menyatakan bahwa hasil yang
ditunjukkan oleh akun yang menggunakan dasar harga perolehan bukanlah suatu
ukuran kenaikan atau penurunan kekayaan dalam hal daya beli dan hasilnya juga
tidak selalu mewakili jumlah yang tersedia untuk didistribusikan, dan juga belum
tentu cocok untuk tujuan seperti penetapan harga, negosiasi upah, serta
perpajakan.
Jika ditelusuri lebih mendalam, di balik profit itu juga terdapat cerita dari
sebuah organisasi tentang bagaimana mereka mendapatkan profit itu sendiri.
Masyarakat yang melihat hanya dari jumlah nominal profit, tanpa mengetahui
seluk beluk di belakang profit, mungkin akan menilai sebuah perusahaan itu
berhasil. Beberapa perusahaan menghilangkan beberapa pekerjaan untuk
memotong biaya. Deegan (2009) menyatakan bahwa sistem tradisional dari
akuntansi keuangan mengabaikan biaya sosial, layaknya media yang mengabaikan
biaya sosial yang timbul sebagai hasil memecat karyawan dan membuat mereka
menjadi pengangguran. Mereka juga mengabaikan bahwa keuntungan yang

dihitung tersebut terikat pada metode akuntansi tertentu yang diaplikasikan dan
bahwa pemilihan metode akuntansi alternatif dapat menghasilkan hasil akuntansi
yang berbeda secara signifikan (namun masih dianggap benar dan adil oleh
auditor eksternal).
Profit mungkin dapat menjadi pengganti atau petunjuk atas suatu
informasi tertentu yang ingin kita ketahui. Misalnya saja dalam forecasting, untuk
meramalkan dividen dan harga saham masa depan, serta untuk mengetahui apakah
perusahaan akan segera dilikuidasi atau tidak. Dalam hal efisiensi dan efektivitas,
untuk mengetahui apakah perusahaan dikelola dengan baik, serta untuk
mengetahui apakah sumber daya yang dihasilkan lebih daripada yang dipakai, kita
meletakkan ekspektasi kita pada angka laba tunggal yang diungkapkan. Dari sudut
pandang investor, angka profit merupakan proksi yang paling mudah dan banyak
digunakan untuk memprediksi informasi arus kas masa depan. Dari sini, muncul
perdebatan, seperti bisa jadi arus kas masa lalu merupakan prediktor yang lebih
akurat, mungkinkah setiap investor mempunyai kebutuhan informasi yang
berbeda selain profit. Meskipun isu yang dibahas akuntan akademik dan profesi
semakin bervariasi, namun inti dasar akuntansi keuangan perusahaan tetap
menyangkut pelaporan laba.

C. Relevansi profit untuk mengukur kinerja berbagai macam organisasi


Pada sektor publik dan di banyak organisasi nirlaba, laba memiliki
relevansi yang kecil, kecuali organisasi tersebut diprivatisasi. Organisasi ini
biasanya didanai secara tunai dan tidak ada kebutuhan atas angka profit akrual
untuk dijadikan panduan bagi investor. Namun, di Indonesia, akuntansi untuk
sektor publik telah menggunakan basis akrual pada 2015 meskipun masih
kontroversial pada praktek yang sebenarnya1. Selain itu, tidak ada dividen dan
perhitungan laba yang diperlukan untuk menjadi landasan kebijakan dividen.
Organisasi sektor publik tidak mungkin bangkrut dan profit tidak diperlukan
sebagai indikator kelayakan keuangan. Mencapai keuntungan bukanlah tujuan
organisasi ini, melainkan organisasi ini diberi dana untuk memberi layanan

Tercantum pada Peraturan Pemerintah No 71 Tahun tentang Standar Akuntansi Pemerintahan


bahwa implementasi SAP berbasis akrual dimulai pada tahun 2015.

kepada masyarakat. Banyak organisasi sektor publik yang mengumpulkan dana


berdasarkan usaha mereka sendiri. Di Indonesia, organisasi semacam itu disebut
dengan BLU (Badan Layanan Umum), contohnya adalah Universitas Brawijaya2.
BLU akan menjadi semakin kapitalistik karena adanya pembatasan penggunaan
dana publik untuk belanja modal dan mereka didorong untuk menggunakan
tabungan atau profit yang mereka hasilkan. Hal yang harus diperhatikan di sini
adalah BLU tidak seharusnya membuat mencari profit sebagai tujuan utama
organisasi karena seharusnya mereka memberikan layanan kesehatan, pendidikan,
dan lain sebagainya. Karena itulah, profit merupakan indikator kerja yang tidak
pantas dalam organisasi semacam sektor publik. Artinya, profit tidak dapat
dijadikan acuan untuk kinerja semua organisasi dan dibutuhkan indikator lain
untuk mengukur kinerja.
Kinerja memiliki indikator, yang merupakan bagian dari data kuantitatif
yang dikumpulkan pada interval reguler untuk mengindikasikan kinerja sebuah
aspek tertentu dari sebuah organisasi atau sebuah bagian dari organisasi. Hal yang
diukur tersebut dapat berupa yang berhubungan dengan finansial maupun yang
non-finansial yang biasanya tergantung pada dua buah data yang:
1. salah satu dibagi dengan yang lainnya, misalnya cost per unit yang
diproduksi atau jumlah murid per anggota staf, atau
2. salah satu ditunjukkan sebagai sebuah persentase dari yang lainnya,
misalnya persentase unit yang tidak sempurna, biaya gaji dan upah sebagai
persentase dari income yang dihasilkan.

Indikator kinerja dapat menyajikan sebuah sejumlah fungsi yang berguna,


antara lain adalah:
1. Merupakan bagian proses akuntabilitas dengan cara pemantauan aspek
tertentu dari kinerja organisasi oleh publik atau oleh sebuah badan resmi
yang bertindak untuk kepentingan umum.

Pelaporan keuangan Badan Layanan Umum menggunakan dua standar, yaitu PSAK 45 tentang
Organisasi Nirlaba dan PP No 71 tentang SAP (Standar Akuntansi Pemerintahan).

2. Mereka dapat menyediakan informasi yang memeperbolehkan konsumen


membuat pilihan yang bermanfaat, misalnya tentang institusi pendidikan
yang diikuti atau area mana yang ditinggali.
3. Merupakan alat bagi manajemen untuk memantau, membandingkan, dan
memperbaiki aspek kinerja.
4. Syarat untuk menciptakan indikator kinerja mungkin membantu dalam
mendefinisikan tujuan organisasi dan aktivitas tertentu yang dilakukan di
dalamnya.
5. Mereka menyediakan informasi yang dapat digunakan oleh manajer,
lembaga pembiayaan, pengguna jasa dan lainnya untuk menginvestigasi
aspek kinerja yang muncul tak seperti biasanya bagus atau jelek.
6. Mereka dapat menyediakan sebuah dasar untuk pemerintah dan lembaga
pembiayaan untuk mengindentifikasi dimana letak perubahan-perubahan
pada level pendanaan yang paling cocok dan untuk mengimplementasikan
kebijakan yang bakal mendukung aspek tertentu dari kinerja.

Indikator-indikator dapat dipilih untuk mengindikasikan banyak aspek


yang berbeda dari kinerja. Efisien dan efektivitas adalah yang paling banyak
dicoba, namun, untuk mengukur kinerja aktivitas layanan. Sorensen dan Grove
(1977) dalam Perks (1993) mengajukan tujuh properti untuk fungsi layanan untuk
nantinya dapat menghasilkan indikator kinerja, yaitu:
1. Efisiensi, yang membandingkan sumber daya input dengan output yang
diproduksi. Hasilnya akan menunjukkan biaya per jam servis yang
dihasilkan, per klien yang dilayani, per mil yang perjalanan dan lain
sebagainya.
2. Efektivitas, yang membandingkan apa yang diperoleh sebuah organisasi
dengan apa yang diharapkan untuk dicapai. Efektivitas mengukur
kesuksesan dalam mencapai tujuan. Misalnya, jumlah pasien yang
disembuhkan.
3. Availability (ketersediaan), yang menunjukkan jumlah dan jenis layanan
yang diberikan.

4. Awareness (kepedulian), yang menunjukkan sejauh mana pemakai


potensial sebuah layanan mengetahui keberadaan, jangkauan layanannya,
dan pada kondisi yang seperti apa mereka hadir. Pengukurannya adalah
persentase perhatian pengguna dari layanan tertentu, dan bagaimana
pengguna mengetahui tentang layanan tertentu tersebut.
5. Accessibility (kebisaan untuk diakses), yang menunjukkan apakah servis
bisa didapat oleh kelompok yang cocok dan kemudahan untuk mencapai
layanan tersebut. Hal ini dapat dikur dengan ketersediaan tranportasi
umum, ketersediaan layanan tertentu untuk pengguna kursi roda.
6. Extensiveness, yang membandingkan kuantitas layanan yang diberikan
kepada latar belakang masalah. Contohnya adalah prosentase rumah yang
memiliki daya listrik, air, dan drainase.
7. Appropriateness, yang mengindikasikan apakah jenis dan jumlah layanan
yang disediakan cocok dengan masalah yang terjadi. Contohnya adalah
ketidaksesuaian antara diagnosis dan layanan yang disediakan.

Dari sudut pandang pengguna layanan, sebuah layanan dikatakan


berkualitas tinggi ketika ia mencapai sasarannya, dimana extensiveness,
availability, dan accessibility dapat dianggap sebagai indikator dari kualitas.
Kualitas tidak tampak langsung dalam indikator di atas, namun dapat dicerminkan
oleh indikator-indikator yang lain.
Tiga hal yang paling ditekankan dalam pengembangan indikator kinerja
adalah 3 E": Ekonomis, Efisiensi, dan Efektivitas. Berikut akan dibahas lebih
lanjut tentang masing-masing komponen 3E tersebut.
(i)

Ekonomis berkaitan dengan memperoleh jumlah tertentu dan kualitas


sumber daya dengan biaya sedikit. Sebuah organisasi dapat dikatakan
tidak ekonomis jika menggunakan peralatan dan sumber daya lain
yang berkualitas dan memiliki harga yang lebih tinggi daripada yang
diperlukan. Kadang muncul anggapan yang salah tentang ekonomis,
yaitu

penggunaan

sumber

daya

yang

paling

murah,

tanpa

memperhatikan aspek lainnya, misalnya sumber daya tersebut malah


menimbulkan kerusakan atau gagal mencapai tujuan sebenarnya. Jika

10

hanya ditinjau dari sisi murahnya saja, relatif mudah bagi akuntan dan
auditor untuk menilai organisasi manakah yang paling ekonomis.
(ii)

Efisiensi berkaitan dengan biaya untuk menyediakan apapun yang


dibutuhkan organisasi untuk menghasilkan sesuatu. Hal ini diukur
melalui output dan inputnya. Sebuah organisasi dikatakan efisien
apabila memiliki biaya per unit output yang rendah. Cara yang paling
jelas untuk meningkatkan efisiensi organisasi adalah mengurangi biaya
tanpa mengurangi jumlah output. Padahal selain cara itu, efisiensi
dapat ditingkatkan dalam salah satu cara berikut:
1. Dengan meningkatkan kedua input dan output, output yang
disediakan meningkat lebih dari input; potensi skala ekonomi
menunjukkan bahwa ini mungkin menjadi pilihan yang menarik.
2. Dengan meningkatkan output tanpa meningkatkan input.
3. Dengan mengurangi input tanpa mengurangi output.
4. Dengan mengurangi kedua input dan output, input yang disediakan
dikurangi lebih dari output.
Pada sektor publik, terdapat tekanan pada pendanaan di sektor publik
yang dapat diartikan pengurangan biaya yang diperlukan dan
tujuannya adalah untuk melakukan hal ini dengan sedikit atau tidak
ada pengurangan layanan atau output lainnya. Di beberapa daerah sulit
untuk mendapatkan pengukuran output yang berarti, bahkan
menggunakan pendekatan yang tak memuaskan untuk mengukur
efisiensi, seperti menggunakan sales atau penjualan sebagai output,
dan biaya dikaitkan dengan pendapatan untuk mengukur "efisiensi".
Hal ini dapat menjadi lebih seperti menggunakan profitabilitas sebagai
indikator.

(iii)

Efektivitas berkaitan dengan pencapaian tujuan. Sebuah organisasi


dikatakan efektif apabila berhasil melakukan atau menghasilkan apa
yang hendak dilakukan; semakin sukses dalam memproduksi output
yang benar-benar memenuhi tujuannya, maka organisasi tersebut
semakin efektif. Upaya untuk mengukur efektivitas bergantung pada
pengukuran output dicapai dan tujuan yang dimaksudkan. Efektivitas

11

dipandang sebagai hubungan antara output dan tujuan. Suatu


organisasi mungkin sangat efisien, tetapi apabila output yang
dihasilkan tidak mencapai tujuan yang dimaksud, maka unit ini
dikatakan tidak efektif.
Salah satu masalah di sektor publik adalah bahwa hal itu sering sangat
sulit untuk menentukan dengan tepat apa yang menjadi tujuan dari
kegiatan tertentu. Tujuan mungkin berhubungan dengan memberikan
kualitas pelayanan yang baik kepada pengguna potensial sebanyak
mungkin; atau mungkin menekan biaya dengan menyediakan layanan
seminimum mungkin; atau hati-hati menargetkan layanan kepada
mereka yang paling membutuhkan. Jika ada tujuan yang jelas yang
tidak bertentangan satu sama lain dan yang tidak sering berubah,
indikator kinerja dapat dikembangkan untuk menunjukkan beberapa
aspek efektivitas.

Tiga E adalah bahan utama dari setiap sistem penilaian kinerja. Pada
sektor publik, terutama selama pada tahun 1980-an, terdapat penekanan untuk
mencapai 'value for money', yang diartikan sebagai ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Diasumsikan bahwa sektor publik jika dibiarkan tidak akan cukup
mencapai 3 E dan audit VFM (Value For Money) diperlukan untuk mendorong
dan memantau kemajuan ke arah pencapaian tersebut.

2.2. Sisi Lain Profit Dan Kinerja Pada Sektor Publik


A. Pengukuran Kinerja Pada Sektor Publik dan Value For Money
Auditing
Selama perusahaan bertahan dan terlihat tidak melakukan sesuatu yang
ilegal, masyarakat tidak tidak akan mempermasalahkannya. Perhatian masyarakat
meningkat untuk isu corporate governance dan kemungkinan tindakan sewenangwenang dari pemimpin perusahaan kepada masyarakat karena adanya anggapan
bahwa dalam menjalankan perusahaan cenderung seperti memiliki kerajaan
pribadinya. Namun jika berhubungan dengan efisiensi, akan ada reaksi pasar
yang menanganinya, misalnya jika harga saham dari perusahaan yang tidak

12

efisien tersebut jatuh, seketika akan muncul pengambilalihan agresif, sehingga


direktur yang tidak efisien tersebut akan diberhentikan.
Berbeda dengan sektor publik, yang di dalamnya pemerintah pusat dan
pemerintah lokal memiliki proporsi substansial dari pendapatan nasional dan ada
tekanan yang tak dapat dinegosiasikan lagi tentang peningkatan belanja publik
(public expenditure). Tekanan lainnya muncul karena sumber pembiayaan
bersumber dari publik, sedangkan masyarakat menginginkan pajak yang rendah.
Masyarakat juga menuntut layanan yang lebih banyak dan berkualitas di bidang
kesehatan, pendidikan, transportasi, layanan sosial, dan masih banyak lagi yang
lainnya. Sektor publik dituntut lebih akuntabel, dikelola dengan lebih baik, dan
memberikan value for money yang lebih baik pula. Value For Money (VFM)
auditing dipandang memegang peranan yang penting.
Jadi, dapat dikatakan di dalam sektor privat (swasta) ada sedikit tekanan
untuk Value For Money (VFM) auditing daripada di dalam sektor publik. Jika
perusahaan tersebut profitable, mungkin tidak perlu dipertanyakan efektivitas,
efisiensi atau ekonominya. Dibutuhkan pertimbangan aspek lain selain
profitabilitas untuk kinerja yang menyangkut kepentingan publik.
Akuntabilitas dalam sektor publik ditujukan pada publik atau masyarakat,
meskipun dalam prakteknya pemerintah bertindak atas nama publik. Setiap bagian
dari sektor publik harus akuntabel, secara langsung atau tidak langsung, kepada
pemerintah pusat untuk kinerjanya dan atas penggunaan dana publik.
Akuntabilitas dari pemerintah pusat ditentukan dalam format tertentu dengan
penekanan kenaikan dalam indikator kinerja. Jika pemerintah pusat tidak puas
dengan kinerja sebuah bagian dari sektor publik, pusat akan mengurangi dana
yang diberikan pada bagian tersebut. VFM auditing berfungsi untuk memeriksa
apakah mekanisme ditempatkan untuk memonitor dan mengevaluasi kinerja serta
untuk mengimplementasikan peningkatan kinerja yang dibutuhkan. Auditor VFM
memberikan peranan dalam memperbaiki manajemen dan memastikan segala
kelemahan dalam manajemen dan kinerja sektor publik diidentifikasi dan diatasi.
Manajemen sektor publik dinilai kurang sukses daripada manajemen dalam sektor
privat. Ada banyak pihak dalam sektor publik yang dilayani. Seseorang mungkin

13

dianggap sukses dalam menyeimbangkan konflik yang terjadi di dalam sektor


publik, namun masih mendapat keluhan dari sisi yang berbeda.
Publik sektor biasanya lebih melayani dalam bentuk jasa daripada
memproduksi

barang.

Melayani

publik

dianggap

lebih

sulit

untuk

mencocokkannya dengan permintaan publik. Layanan yang cacat ,seperti layanan


pendidikan dan kesehatan, lebih besar dampaknya daripada produk cacat yang
dihasilkan perusahaan manufaktur. Selain itu, berbeda dengan perusahaan yang
tak dapat memuaskan konsumennya akan tidak dapat bertahan karena ditinggal
konsumennya, maka dalam sektor publik, organisasi yang memiliki kinerja sangat
buruk masih dapat bertahan.
Mencapai value for money merupakan tugas manajemen untuk organisasi
dan bukan merupakan tugas auditor. Auditor hanya fokus kepada:
1. Untuk memastikan bahwa organisasi sebagai satu kesatuan memberikan
perhatian kepada value for money dan sudah merancang pengawasan
untuk memonitor pencapaian 3E, dan untuk mengambil tindakan saat ada
kinerja yang tak memuaskan.
2. Untuk menginvestigasi area-area tertentu dari sebuah organisasi secara
detail untuk melihat apakah value for money sudah dicapai.

Auditor cenderung akan mencari jawaban untuk:


1. Apakah tujuan kebijakan ditetapkan dengan jelas?
2. Apakah manajemen memiliki prosedur mengenai sampai sejauh mana
tujuan kebijakan akan dicapai, memakai indikator kinerja yang sesuai
dengan efektivitas?
3. Apakah biayanya dikumpulkan secara tepat dan diklasifikasikan untuk
mengindikasikan biaya aktivitas tertentu?
4. Apakah biaya-biaya yang terkait dengan pengukuran output tersebut
mengindikasikan efisiensi?
5. Apakah perbandingan yang dibuat antara indikator kinerja organisasi itu
sendiri

dan

organisasi

lain

yang

dapat

dibandingkan

untuk

mengidentifikasi kinerja yang manakah yang tak sejalan?

14

6. Saat kinerja yang tak memuaskan terindikasi, apakah ada tindakan untuk
memperbaikinya, menjelaskan keanehan, perbedaan, perbedaan, dan jika
tepat, apakah ada kemungkinan mempertimbangkan kembali tujuan
kebijakan.

B. Pengukuran Kinerja Pada Industri yang Dinasionalisasi


Pemerintah memiliki masalah berkelanjutan dalam mengendalikan
masalah dalam industri yang dinasionalisasi karena mereka punya tujuan yang
beragam, berubah, dan saling berkonflik karena perusahaan diharapkan untuk
menghasilkan keuntungan, menjaga di dalam batasan keuangan eksternal,
menyediakan layanan khusus kepada publik, dan menyediakan kebutuhan
berdasarkan aturan makroekonomi tertentu seperti pembatasan kenaikan harga
dan upah, menggenjot investasi dan lapangan pekerjaan, dan membatasi impor.
Indikator kinerja juga mengindikasikan sejauh mana kesuksesan dalam
mempertemukan bermacam-macam tujuan nonprofit dengan jangkauan dan
kualitas layanan. Indikator kinerja juga harus dapat menjelaskan perubahan dalam
profitabilitas. Satu kesatuan indikator kinerja seharusnya juga dapat sampai sejauh
mana dan dengan cara apa bermacam-macam industri memenuhi ekspektasi
publik selain untuk tujuan keuntungan.
Akun-akun di dalam industri yang dinasionalisasi secara umum cenderung
menerbitkan data statistik yang tak memerlukan atau sedikit penyesuaian untuk
dianggap sebagai indikator kinerja. Indikator produktivitas tenaga kerja dapat
berdasarkan pengukuran kuantitatif sebagai hubungannya dengan angka upah
pekerja. Sedangkan indikator untuk kualitas lebih sulit untuk dihitung dan tidak
umum untuk disajikan. Pada prakteknya, indikator kinerja yang diterbitkan oleh
industri yang dinasionalisasi dianggap kurang memuaskan dan tidak dapat
memenuhi ekspektasi White Paper. White Paper pada tahun 1967 menyatakan
bahwa indikator kinerja harus menyediakan informasi reguler dan sistematis
tentang kesuksesan setiap industri dalam mengontrol biayanya, meningkatkan
efisiensi, dan mengekonomisasi penggunaan sumber daya manusia dan modal.
Industri yang dinasionalisasi ini dapat menghindari penerbitan informasi yang
lebih banyak, misalnya laporan semacam itu akan membutuhkan biaya yang lebih

15

banyak, berakibat pada penundaan rilis annual report, akan ada terlalu banyak
informasi dan akan overload bagi para pembacanya, angkanya akan sulit untuk
dihitung dan mungkin akan menimbulkan salah paham atau memberikan kesan
buruk.

C. Pengukuran Kinerja Pada Universitas


Indikator kinerja pada perguruan tinggi disorot semenjak adanya publikasi
Jarratt Report (1985) yang merekomendasikan bahwa universitas harus memiliki
manajemen dan struktur perencanaan yang lebih kuat, bekerja dengan tujuan yang
jelas, menghasilkan value for money dan membangun indikator kinerja yang
reliabel dan konsisten.
Ada 3 macam indikator kinerja, yaitu:
1. Indikator internal, yang menunjukkan input ke dalam institusi (seperti
keatraktifan pelajaran, daya tarik untuk dana riset) atau evaluasi internal
kepada institusi (seperti tingkat penghargaan, kualitas pengajaran).
2. Indikator eksternal, yang menunjukkan evaluasi kinerja institusi di
pasaran, seperti lulusannya yang bekerja atau publikasi riset.
3. Indikator operasional, yang menyertakan rasio produktivitas, seperti unit
cost, dan mencerminkan variabel seperti ketersediaan perpustakaan dan
fasilitas penunjang komputer, dan beban kerja pegawai.

Governments State Paper (DES, 1985) menyatakan bahwa indikator


kinerja haruslah berhubungan dengan tujuan yang dinyatakan; secara spesifik
dapat dikuantifikasi dan terstandar; sesederhana mungkin dan konsisten dengan
tujuan mereka, dapat diterima dan dipercaya karena dianggap bebas dari bias
sistematik; dan berguna serta dapat berfungsi sebagai petunjuk ke area dimana
pertanyaan yang berhubungan dengan operasi dapat dan seharusnya dijawab.
Pada kenyataannya, The White Paper (1987) berasumsi bahwa perguruan
tinggi relatif inefisien dan boros. Pemerintah membuat perguruan tinggi lebih
dikontrol oleh pemerintah pusat daripada oleh akuntabilitas terhadap masyarakat
luas. White Paper merekomendasikan bahwa data esensial pada kinerja di masingmasing institusi harus dipublikasikan, sehingga catatannya dapat dievaluasi oleh

16

lembaga pembiayaan, badan pemerintah. Padahal ada perbedaan kepentingan dari


kelompok yang berbeda di sini. Pemerintah tertarik pada pengurangan unit cost,
memhasilkan lebih banyak lulusan dengan hanya sedikit kenaikan pada biaya, dan
mungkin meningkatkan lulusan yang mendapat pekerjaan. Sedangkan universitas
tertarik pada pengaturan independensi mereka, unit sumber daya dengan mencoba
memastikan bahwa dana meningkat pada proporsi jumlah mahasiswa, serta
mungkin menekankan perbedaannya dari politeknik (khususnya pada riset sebagai
bagian dari justifikasi unit cost yang lebih besar).
The Committee of Directors of Polytechnics mengadopsi 6 indikator
utama pada tahun 1987, yaitu sebagai berikut:
1. Revenue cost per mahasiswa
2. Nilai tambah terhadap pencapaian mahasiswa
3. Rasio dari pemasukan riset eksternal terhadap pengeluaran riset; cara ini
digunakan untuk mengindikasikan pengakuan eksternal terhadap nilai
aktivitas riset, dalam artian semakin banyak proporsi pengeluaran riset
yang didanai pihak eksternal maka semakin tinggi pengakuan pihak
eksternal terhadap riset tersebut.
4. Capital investment per mahasiswa
5. Proporsi aktivitas yang dispesifikkan pada regional
6. Income generation and consultancy.
Indikator kinerja haruslah diinterpretasikan dengan hati-hati, dan mereka
biasanya butuh didukung dengan informasi tambahan.

2.3. Implikasi Dari Indikator Kinerja Dan Value For Money (VFM)
Meskipun sebuah organisasi harus mengukur kinerjanya selain dari profit
dan VFM auditing akan mendorong perkembangan pengukuran kinerja, namun
ada beberapa masalah yang muncul. Masalah-masalah tersebut antara lain adalah:
a. Definisi dan pengukuran output dan tujuan
Efektivitas memiliki definisi menghubungkan output dengan tujuan, tidak
mungkin memiliki pengukuran efektivitas tanpa pengukuran dari tujuan dan
output. Masalah ditemukan pada sektor publik dimana banyak bagian dari sektor
ini, manajer tidak memiliki tujuan yang jelas karena biasanya memiliki banyak

17

tujuan yang diantaranya tak dapat didefinisikan dengan jelas. Tentunya hal ini
juga berdampak pada auditor VFM yang akan menilai sampai sejauh mana tujuan
tersebut tercapai. Dan mungkin kesuksesan di salah satu bagian sektor
berhubungan dengan penurunan kesuksesan di bagian yang lain. Beberapa
pengukuran dari bisnis mungkin tak tersedia atau tidak cocok dalam aktivitas
publik sektor.
Efektivitas berarti bahwa klien mendapat apa yang dimaksudkan dan
pengukuran harus dihubungkan dengan keluaran yang berhasil. Namun, sangat
sulit untuk menentukan kesuksesan itu sendiri karena jawabannya akan tergantung
siapakah yang melakukan pengukuran dan apa yang mereka inginkan untuk
ditunjukkan.

b. Penekanan yang berlebihan pada biaya yang mudah diukur


Kesulitan dalam pendefinisian dan pengukuran mendorong untuk memberi
penekanan berlebihan biaya yang relatif mudah untuk diukur daripada aspek
lainnya dalam kinerja. Dalam sektor publik, hal yang sering ditekankan adalah
biaya tunai short-term pada entitas yang disorot, sedangkan biaya tunai yang
berkaitan dengan aset tetap biasanya tak dianggap. Sebuah unit dalam sektor
publik mungkin terlihat efisien atau efektif jika berhasil menurunkan biaya atau
menaikkan jumlah kliennya, namun bagian yang lain mungkin membutuhkan
dana yang lebih besar jika dihadapkan pada masalah yang sama.
Dalam sektor privat, penekanan berlebihan pada efisiensi dan pemotongan
biaya dapat dikatakan sebagai kinerja jangka pendek. Namun hal ini tidak cocok
untuk ditetapkan dalam sektor publik yang didominasi oleh pertimbangan jangka
panjang atas kepentingan publik.
Melihat kepentingan publik secara panjang itu sendiri membutuhkan
pertimbangan profesional, seperti guru, dokter, pekerja sosial, dan lain
sebagainya.

c. Implikasinya pada perilaku


Mereka yang sedang diukur kinerjanya, akan cenderung merubah caranya
untuk meraih skor yang lebih baik, walaupun itu artinya mereka melakukan

18

sesuatu yang berbeda dari apa yang seharusnya dilakukan. Seolah hal-hal yang
dianggap hanya merupakan hal-hal yang dapat dihitung saja. Tekanan bagi
organisasi untuk tampak sukses dapat mendorong pekerjanya hanya berfokus pada
tugas yang secara langsung meningkatkan skornya karena bagaimanapun efek
jangka panjangnya tidak akan langsung muncul dalam indikator kinerja. Indikator
tertentu bahkan diterima organisasi mungkin tergoda untuk kasus tertentu yang
prospeknya bagus.

d. Agenda politik diam-diam


Peningkatan kinerja, value for money yang lebih baik, serta ekonomi,
efisiensi, dan efektivitas yang lebih tinggi tidak terlihat sebagai dogma partai
politik tertentu, dan cenderung untuk mendapat dukungan yang luas di
masyarakat. Banyak akuntan muncul untuk menerima VFM auditing tidak, atau
bahkan tidak menjadi, bagian dari agenda politik.
Tetapi penekanan pada indikator kinerja dan VFM auditing mungkin
menyembunyikan agenda politik yang signifikan, yang terdiri dari asersi dan
peningkatan kekuatan pemerintah pusat, mengurangi pengeluaran publik, dan
mengomersialkan dan/atau memprivatisasi sektor publik. Contohnya manajemen
senior mungkin menggunakan ketentuan untuk menghasilkan indikator kinerja,
sebagai cara untuk menunjukkan kekuasaan dan prioritas mereka atas manajer
junior. Pemerintah pusat mungkin menggunakan pendekatan tertentu untuk
menegaskan kekuatan dan prioritasnya terhadap pemerintah daerah, industri yang
dinasionalisasi, perguruan tinggi, pelayanan kesehatan, dan lain sebagainya.

e. Membutuhkan lebih banyak indikator


Banyak masalah dan kritik yang muncul untuk VFM dari segi keterbatasan
dan biasnya indikator kinerja yang dikembangkan dan dipakai sejauh ini. Solusi
yang ditawarkan oleh Perks (1993) adalah pengembangan dan pemakaian
jangkauan yang lebih luas mengenai indikator kinerja. Resiko yang lain yang
muncul dari interpretasi yang terlalu sederhana dari jangkauan yang terbatas dari
indikator kinerja adalah dapat mendistorsi dan menyesatkan pembacanya.
Masalah lain yang ditimbulkan jika menciptakan indikator kinerja lain merupakan

19

hal yang harus diselidiki lebih lanjut. Tiap bagian data yang muncul untuk
menjelaskan kinerja abnormal membutuhkan penjelasan lebih lanjut dengan data
yang lebih banyak.

f. Masalah umum tentang kuantifikasi


Beberapa aspek dalam kinerja memang tak dapat diukur dengan
kuantifikasi (angka). Chwastiak dan Young (2003) bahkan mengkritisi annual
report dengan menunjukkan sisi lain yang tidak disorot di dalam laporan tahunan
perusahaan. Menurut mereka, di saat perusahaan berusaha memaksimalkan
keuntungan dan berbicara mengenai pencapaiannya, akibat yang muncul dari
aktivitas perusahaan jarang dibahas dalam laporan tahunan, dan perusahaan tidak
memikirkan konsekuensi sosial yang ditimbulkan dari kegiatannya. Berikut
beberapa pembungkaman (masalah yang tak tercermin dari angka laba) dalam
laporan tahunan yang diungkapkan oleh Chwastiak dan Young:
(i)

Dalam pembungkaman bumi, ada limbah dan sampah yang


menumpuk, intervensi manusia terhadap alam melalui monokultur dan
pupuk buatan.

(ii)

Pada bagian perdamaian dan perang, perusahaan kontraktor pertahanan


menganggap perdamaian itu buruk bagi bisnis karena hilangnya
kontrak, penjualan, dan pasar.

(iii)

Dalam a world of consumers, perusahaan dan media seolah


mendoktrin bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dari kegiatan
konsumsi.

(iv)

Keselamatan pekerja dan hak seseorang untuk mendapatkan pekerjaan


menjadi

prioritas

kesekian

perusahaan,

tentunya

di

bawah

maksimalisasi keuntungan.
Jika kita menilai keberhasilan sebuah organisasi atau perusahaan
berdasarkan angka laba, maka kita akan gagal menangkap apa yang terjadi saat
perusahaan tersebut berproses menghasilkan laba. Dengan pedoman mencapai
angka laba setinggi-tingginya, perusahaan dapat melakukan apapun agar dinilai
berhasil. Untuk itu diperlukan ukuran kinerja yang lain. Salah satu ukuran kinerja
selain profit yang dapat dikembangkan adalah corporate social reporting.

20

2.4. Konsep Corporate Social Reporting (CSR)


Secara tradisional, setiap perusahaan menerbitkan laporan keuangan
tahunan untuk mengkomunikasikan kinerja keuangan mereka. Namun informasi
yang tersaji dalam laporan keuangan tidak dapat memenuhi semuai informasi
yang dibutuhkan oleh para pemangku kepentingan khususnya yang berkaitan
dengan aspek non keuangan. Dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan para
pemangku kepentingan, hampir selama sepuluh tahun terakhir ini telah dibentuk
suatu usaha untuk mengembangkan apa yang disebut dengan Pelaporan Sosial
Perusahaan (Corporate Social Reporting atau CSR) atau Pelaporan Berkelanjutan
(Sustainability

Reporting).

Pelaporan

berkelanjutan

ditujukan

untuk

mengkomunikasikan kinerja ekonomi, sosial dan lingkungan atau yang disebut


dengan The Triple Bottom Line Reporting. Kinerja sosial dan lingkungan sering
disebut pertanggungjawaban sosial korporasi atau Corporate Social Responsibility
(CSR).

Global

Reporting

Initiative

(2006)

mendefinisikan

pelaporan

berkelanjutan sebagai suatu praktik pengukuran, pengungkapan dan akuntabilitas


bagi pemangku kepentingan internal dan eksternal terkait kinerja organisasi yang
mengarah pada pencapaian tujuan pengembangan berkelanjutan.
Corporate Social Reporting (CSR) meliputi pelaporan perusahan dan
organisasi lainnya terkait aspek sosial dan ekonomi terhadap kinerja perusahaan
daripada posisi keuangan dan profit perusahaan itu sendiri. CSR biasanya
dipandang sebagai pelaporan kelompok kepentingan yang lebih luas daripada
pelaporan terhadap pemegang saham dan kreditur termasuk karyawan dan
masyarakat secara keseluruhan. Terminologi pengungkapan sosial dan lingkungan
mungkin dapat dikaitkan dengan konsep "social audit" yang dikemukakan oleh
Elkington (1997). Menurut Elkington (1997) social audit adalah proses yang
memungkinkan organisasi untuk menilai kinerjanya berdasarkan harapan dan
persyaratan yang ditentukan masyarakat. Atas dasar definisi ini pengungkapan
sosial dan lingkungan merupakan proses yang digunakan oleh perusahaan untuk
mengungkapkan

informasi

berkaitan

dengan

kegiatan

perusahaan

dan

pengaruhnya terhadap kondisi sosial masyarakat dan lingkungan. Sampai saat ini
tidak ada konsensus berkaitan dengan informasi apa saja yang dimasukkan dalam
pengungkapan sosial dan lingkungan. Konsekuensinya, untuk menentukan apa

21

yang seharusnya diungkapkan. Penyusun laporan keuangan biasanya dihadapkan


pada masalah bagaimana mengukur dan mengklasifikasikan informasi dalam
pengungkapan sosial dan lingkungan.
Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang
berkomitmen tidak hanya untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara
finansial, melainkan pula untuk pembangunan sosial-ekonomi kawasan secara
holistik, melembaga dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki
kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving,
corporate philanthropy, corporate community relations, dan community
development. Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai
dimensi atau pendekatan CSR. Jika corporate giving bermotif amal atau charity,
corporate philanthropy bermotif kemanusiaan, dan corporate community
relations bernafaskan tebar pesona, maka community development lebih
bernuansa pemberdayaan (Briliant dan Rice, 1988; Burke, 1988; Suharto, 2007a).
Dalam konteks pemberdayaan, CSR merupakan bagian dari policy
perusahaan yang dijalankan secara profesional dan melembaga. CSR kemudian
identik dengan CSP (corporate social policy), yakni strategi dan roadmap
perusahaan yang mengintegrasikan tanggung jawab ekonomis korporasi dengan
tanggung jawab legal, etis, dan sosial sebagaimana konsep piramida CSR-nya
Archie B. Carol (Suharto, 2007a).
Beragam cara dilakukan perusahaan untuk menjalankan CSR. Ada
perusahaan yang melaksanakan CSR sendiri, mulai dari perencanaan hingga
implementasinya. Ada pula perusahaan yang mendirikan yayasan, bermitra
dengan pihak lain atau bergabung dalam konsorsium. Model mana yang dipilih
sangat tergantung pada visi dan misi perusahaan, sumberdaya yang dimiliki, serta
tuntutan eksternal (misalnya kondisi masyarakat lokal, tekanan pemerintah atau
LSM).

2.5.

Pengembangan Pelaporan Sosial Perusahaan


Keterlibatan akuntan dalam proses akuntabilitas pada awalnya sangat

memprihatinkan terutama berkaitan dengan akuntabilitas direksi kepada


pemegang saham dan perusahaan kepada kreditur. Sebagai perusahaan sampai

22

dilihat sebagai semakin kuat di masyarakat ada panggilan bagi perusahaan untuk
dibuat lebih bertanggung jawab kepada publik yang lebih luas. Pada tahun 1967
Companies Act memperkenalkan sebuah bentuk pengungkapan yang dipandang
dapat digunakan dalam pertanggungjawaban public daripada pertanggungjawaban
kepada pemegang saham, termasuk pengungkapan atas donasi pihak-pihak
tertentu.
The Accountancy Profession Corporate Report (AASC, 1975) dapat
dipandang sebagai langkah penting pertama dalam pengakuan atas tanggung
jawab akuntan yang lebih luas kepada masyarakat. Sehubungan dengan pelaporan
sosial perusahaan secara lebih umum mereka mengatakan bahwa hal ini nampak
menggiurkan untuk memacu entitas dalam mengungkapkan informasi yang
menunjukkan dampak aktivitasnya terhadap masyarakat dan pemerintah. Tapi
mereka menganggap hal itu sebagai tidak praktis pada saat itu karena tidak adanya
teknik pengukuran yang disepakati. Mereka mendefinisikan akuntansi sosial
sebagai pelaporan biaya-biaya dan manfaat. Yang mungkin atau tidak mungkin
dihitung dalam bentuk uang sebagai akibat dari kegiatan ekonomi dan substansial
yang ditanggung atau diterima oleh masyarakat kelompok tertentu yang tidak
memegang hubungan langsung dengan perusahaan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran tersendiri terhadap profesi akuntansi
dan direkomendasikan
Bahwa studi lebih lanjut perlu dilakukan dalam metode akuntansi sosial,
tetapi tidak ada kewajiban untuk melaporkan isu-isu sosial dan lingkungan
dikarenakan sampai adanya teknik pengukuran yang dapat diterima, obyektif
dan dapat diverifikasi telah dikembangkan yang akan mengungkapkan
pandangan objektif dari kedua dampak positif dan negatif dari ekonomi
kegiatan.
Mereka mengakui bahwa untuk tujuan hubungan masyarakat, perusahaan
akan cenderung untuk mengungkapkan pengeluaran yang dapat diidentifikasi
terutama untuk melindungi lingkungan atau manfaat

bagi masyarakat.

Kesimpulan ini dapat dipandang sebagai bentuk memberikan lampu hijau atas
public relations Hype dalam laporan tahunan. Hal ini juga mendorong banyak
penelitian metode pelaporan sosial oleh para akademisi yang tampaknya percaya

23

bahwa akan ada kemungkinan untuk mengembangkan teknik pengukuran yang


dapat diterima, obyektif dan dapat diverifikasi.
Pada tahun 1973, pemerintah Konservatif Edward Heath menerbitkan
White Paper pada Perusahaan Reformasi Hukum (DTI, 1973) yang menyerukan
pengungkapan informasi lebih lanjut oleh perusahaan-perusahaan. Pengungkapan
informasi dipandang sebagai bagian penting dari kerja sistem ekonomi yang bebas
dan adil. Keterbukaan tersebut adalah sarana mengamankan perilaku yang
bertanggung jawab oleh perusahaan. Pemerintah dimaksudkan untuk mewajibkan
perusahaan dalam melaporkan lebih luas yang jauh atas hal-hal yang dilakukan,
dan ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pemegang saham dan
masyarakat untuk menilai perilaku sosial perusahaan dan kriteria keuangannya.
Contoh persyaratan pengungkapan yang mungkin diberikan termasuk keselamatan
dan kesehatan karyawan perusahaan, jumlah keluhan konsumen yang diterima dan
bagaimana mereka ditangani serta pelaksanaan hubungan industrial. Jika
pemegang saham, karyawan, kreditur dan masyarakat umumnya diinformasikan
dengan baik, maka aktivitas yang benar akan diungkapkan dan aktivitas curang
akan terhambat.
Partai Buruh mendukung pengungkapan yang sama. Pada tahun 1974,
Green Paper (Partai Buruh, 1974) misalnya, mengusulkan bahwa Companies Act
harus sejauh "kontrol untuk kepentingan umum atas sektor swasta dengan ...
[antara lain] ... pelebaran lingkup pengungkapan, kepentingan umum dan
kepentingan karyawan. Penekanan Partai Buruh sedikit berbeda dari Konservatif.
Informasi untuk karyawan dan perwakilan mereka lebih penting, dan gagasan
yang membutuhkan informasi untuk mengendalikan organisasi sektor swasta
dapat dilihat sebagai alternatif untuk kepemilikan publik.
Penciptaan terhadap ukuran kinerja sosial, pengungkapan sosial dan
kinerja ekonomi mengalami beberapa kendala. Namun keberadaan teknik statistik
yang digunakan tampaknya menambah kredibilitas dalam menyimpulkan masingmasing ukuran tersebut. Beberapa kesimpulan yang berbeda terkait hal itu coba
dirangkum oleh Belkaoui dan Karpik (1989) yang menyatakan lebih lanjut tentang
keterbatasan studi tersebut daripada membahas tentang informasi apa yang harus
diungkapkan oleh perusahaan, bagaimana perilaku sosial yang ditunjukkan oleh

24

perusahaan atau dampak terhadap kinerja ekonomi pada kegiatan sosial dan
pengungkapan yang dilakukan oleh perusahaan.
Jika hal tersebut dapat menunjukkan

secara pasti bahwa peningkatan

kinerja ekonomi (jika hanya dalam hal harga saham yang lebih tinggi) dikaitkan
dengan tingginya tingkat pengungkapan sosial dan kinerja sosial yang 'baik', maka
perusahaan akan memiliki insentif untuk meningkatkan pengungkapan atas
informasi sosial yang relevan dan bahkan perilaku sosial perusahaan tersebut.
Hasilnya, studi tersebut tidak menyakinkan.
Pada tahun 1990-an, dua tema tertentu yang terkait dengan CSR yang
sangat menonjol adalah (1) Tindakan investasi etis, dan (2) Tindakan lingkungan.
Isu lingkungan menjadi perhatian investor

terkait etika, dan merupakan

komponen penting dari CSR secara umum. Memang, lingkungan tampaknya


menjadi perhatian akuntan dan semua partai politik.

2.6. Beberapa Masalah dalam Pelaporan Sosial Perusahaan


Pelaporan sosial perusahaan dapat mengambil berbagai bentuk. Setiap
keputusan untuk menerapkan CSR, baik secara umum atau organisasi tertentu,
akan membutuhkan jawaban atas sejumlah pertanyaan.
a) Apa yang seharusnya dilakukan oleh akuntan?
Akuntan ditempatkan dengan baik untuk menghasilkan laporan yang
dipandang sebagai perluasan dari pelaporan keuangan konvensional. Akuntan
juga memiliki keahlian dalam menjaga dan mengendalikan sistem informasi
yang diperlukan untuk menghasilkan data tertentu, dan dalam memverifikasi
informasi yang dihasilkan. Tetapi mereka tidak memiliki keahlian khusus
dalam menilai dampak sosial dan lingkungan. Dan akuntan mungkin bersikap
waspada terhadap keterlibatannya dalam isu-isu politik dan controversial yang
muncul jika hal ini memungkinkan dapat merusak kredibilitas mereka dalam
kaitannya dengan laporan keuangan konvensional.
b) Bentuk seperti apa yang seharusnya digunakan dalam laporan?
Akuntan memiliki kecenderungan alami untuk berpikir secara kuantitatif dan
sejumlah upaya untuk menghasilkan laporan biaya sosial yang menentang
manfaat sosial untuk menunjukkan semacam surplus sosial secara keseluruhan

25

atau defisit yang dibuat oleh perusahaan. Teknik seperti analisis biaya manfaat
dapat digunakan, tetapi pasti ada banyak subjektivitas dalam penilaian tersebut
(Gray et al., 1987 dalam Perks, 1993).
Meskipun sulit untuk membuat penilaian keuangan atau kuantitatif
keseluruhan kinerja sosial perusahaan, beberapa aspek tertentu yang relatif
mudah, dan cenderung ramah bagi akuntan. Laporan kerja misalnya, termasuk
banyak dari informasi kuantitatif cukup obyektif yang mudah diverifikasi.
Beberapa saran untuk dimasukkan dalam CSR, seperti jumlah keluhan
konsumen yang diterima, juga tampaknya dirancang untuk menarik akuntan.
Banyak informasi kuantitatif dan keuangan yang akan sesuai untuk
dimasukkan dalam CSR, seperti pengeluaran untuk keterlibatan masyarakat
atau gerakan lingkungan dapat relatif mudah dimanipulasi dan dapat disajikan
untuk meningkatkan citra perusahaan bukan menjadi penilaian obyektif
dampak sosial. Argumen serupa dapat digunakan terhadap informasi lain yang
termasuk dalam laporan perusahaan, tetapi akuntan dan auditor dan kerangka
peraturan di mana mereka beroperasi, menawarkan beberapa kepastian
mengenai keandalan dan objektivitas.
c) Haruskah CSRS Diaudit?
Tidak ada gunanya laporan sosial perusahaan yang diproduksi jika tidak ada
yang percaya pada apa yang diungkapkan. Keberadaan badan independen
auditor yang memenuhi syarat untuk memverifikasi isi laporan tersebut akan
menambah kredibilitas laporan social perusahaan. Pengaturan audit normal
yang berlaku untuk laporan keuangan bisa dipandang sebagai tepat, meskipun
ada keraguan tentang independensi auditor, dan apakah mereka memiliki
keahlian yang tepat untuk menangani banyak hal terkait kepedulian sosial dan
lingkungan.
d) Siapa yang membayar?
Biaya produksi dan audit laporan keuangan konvensional yang saat ini
dipenuhi oleh perusahaan itu sendiri. Demikian pula, sebagian besar pelaporan
sosial perusahaan sampai saat ini telah dibiayai oleh perusahaan yang
bersangkutan. Ini, tentu saja, meragukan netralitas laporan tersebut.
Perusahaan tidak mungkin bersedia untuk membiayai produksi laporan

26

tambahan kecuali hal ini dianggap sebagai keuntungan perusahaan. UndangUndang pelaporan sosial perusahaan yang konsisten sangat diperlukan untuk
menegakkan netralitas dan keterbandingan dari laporan social perusahaan itu
sendiri.
Beberapa upaya untuk menghasilkan CSRS (atau Audit Sosial) telah dibiayai
oleh kelompok-kelompok lain dari perusahaan yang merupakan subjek
laporan. Pada kondisi adanya kesulitan dalam memperoleh dan memverifikasi
informasi yang diperlukan, kelompok tertentu memproduksi laporan yang
biasanya memiliki bagian khusus untuk melakukan sesuatu. Laporan yang
dihasilkan oleh perusahaan dapat dipandang sebagai kekuatan dalam
menentukan persepsi perusahaan dan kegiatannya.
e) Apa yang harusnya diungkapkan?
Laporan sosial perusahaan dapat mencakup berbagai informasi berbeda yang
mungkin relevan dalam menilai kinerja perusahaan. Ini dapat disajikan baik
dalam bentuk narasi atau dalam istilah kuantitatif, yang melibatkan masalah
pengukuran yang signifikan, atau lebih biasanya mungkin kombinasi
keduanya. Kisaran informasi yang diungkapkan secara sukarela, menurut
Ernst (1978) yang mengadopsi klasifikasi berikut yang kemudian diikuti oleh
Survey ICAEW (Skerratt dan Tonkin, 1982):
Lingkungan meliputi kegiatan pengendalian pencemaran, pencegahan,
atau perbaikan kerusakan lingkungan dan pengungkapan lingkungan
lainnya.
Energi meliputi konservasi kebijakan energi dan efisiensi energi dari
produk.
Praktek bisnis yang adil termasuk kebijakan dan kegiatan yang berkaitan
dengan ras minoritas, wanita dalam pekerjaan, orang cacat, pekerjaan di
luar negeri, dan tanggung jawab kepada pemasok.
Sumber daya manusia meliputi kebijakan dan kegiatan yang berkaitan
dengan

kesehatan

dan

keselamatan,

pelatihan,

komunikasi

karyawan/partisipasi, dan pengobatan pensiunan.

27

Keterlibatan masyarakat termasuk kegiatan masyarakat, kegiatan yang


berkaitan dengan kesehatan, pendidikan dan seni, dan keterlibatan
masyarakat lainnya.
Produk meliputi keamanan produk, polusi dari penggunaan, dan informasi
sosial produk terkait lainnya.
Pengungkapan tanggung jawab sosial lainnya termasuk pernyataan
kebijakan sosial umum, dan ketersediaan informasi tambahan.
Tentu saja, perusahaan bebas untuk memasukkan informasi apapun yang
mereka inginkan dalam laporan tahunan mereka (selain itu yang diwajibkan
oleh hukum). Para pendukung CSR ingin melihat informasi lebih lanjut
diungkapkan. Berbeda dari pendukung yang menentang CSR cenderung
memiliki

masalah

terkait

kepemilikan

yang

berbeda

dan

berbagai

kemungkinan pengungkapan yang hampir tak terbatas. Oleh karena itu,


pertanyaan yang penting adalah bukan terletak pada apa yang harus
diungkapkan, tetapi siapa yang harus menentukan apa yang harus
diungkapkan?
f) Haruskah CSR menjadi kewajiban?
Setiap perusahaan dan setiap kelompok penekan cenderung mendukung
pengungkapan yang mereka lihat sebagai kepentingan khusus mereka. Jika
ada yang kredibel, komprehensif dan sebanding CSR, mungkin informasi
tersebut harus diwajibkan. Jika tidak, pihak yang paling optimal untuk
menghasilkan laporan tersebut (terutama perusahaan) akan cenderung
menghasilkan laporan yang sesuai dengan diri mereka sendiri. Pemerintah
pusat sangat cocok ditempatkan untuk bertindak atas nama masyarakat, tetapi
badan-badan internasional mungkin lebih efektif dalam menegakkan CSR.
Jumlah pengungkapan yang diperlukan oleh perusahaan cenderung meningkat,
jika penekanan yang diberikan kepada pengungkapan terutama pengungkapan
sosial cukup kecil, namun meningkat. Hal ini dapat dikatakan bahwa tidak ada
kebutuhan untuk CSR tersebut diwajibkan. Jika investor cukup khawatir
tentang kegiatan sosial perusahaan dan pelaporan, perusahaan akan merasakan
efek yang bergerak dalam harga saham. Jika perilaku sosial yang baik dan
pelaporan tercermin dalam harga saham yang lebih tinggi, maka pasar akan

28

mendorong perusahaan ke arah ini dan kebutuhan untuk paksaan dengan CSR
tidak akan muncul. Bukti pada reaksi harga saham sejauh ini cukup
meyakinkan.
g) Apa Tujuan dari CSR?
Mungkin hambatan terbesar untuk pengembangan sistem yang konsisten dan
dapat dibandingkan dalam pelaporan sosial perusahaan adalah kurangnya
kesepakatan tentang tujuan dari sistem tersebut. Banyak pihak yang
menganjurkan berbagai pengungkapan yang berbeda untuk alasan yang
berbeda. Tujuan mereka mungkin untuk:
Mengungkapkan manfaat sosial yang diciptakan oleh perusahaan, dan/atau
Paparan bahaya sosial yang dikenakan oleh perusahaan, dan/atau
Mengubah perilaku perusahaan.
Berdasarkan pengamatan terhadap praktik CSR selama ini, tidak semua
perusahaan mampu menjalankan CSR secara otentik sesuai filosofi dan konsep
CSR yang sejati. Tidak sedikit perusahaan yang terjebak oleh bias-bias CSR
berikut ini:
Kamuflase.
Perusahaan melakukan CSR tidak didasari oleh komitmen, melainkan hanya
sekadar menutupi praktik bisnis yang memunculkan ethical questions. Bagi
perusahaan seperti ini, CD bukan kepanjangan dari Community Development,
melainkan Celana Dalam yang berfungsi menutupi aurat perusahaan.
McDonalds Corporation di AS dan pabrik sepatu Nike di Asia dan Afrika
pernah tersandung kasus yang berkaitan dengan unnecessary cruelty to
animals, third world nations are exploited in producing these goods dan
mempekerjakan anak di bawah umur (Wikipedia, 2008; Supomo, 2004).
Generik.
Program CSR terlalu umum dan kurang fokus karena dikembangkan
berdasarkan template atau program CSR yang telah dilakukan pihak lain.
Perusahaan yang impulsif dan pelit biasanya malas melakukan inovasi dan
cenderung melakukan copy-paste (kadang dengan sedikit modifikasi)
terhadap model CSR yang dianggap mudah dan menguntungkan perusahaan.
Directive.

29

Kebijakan dan program CSR dirumuskan secara top down dan hanya
berdasarkan misi dan kepentingan perusahaan (shareholders) semata. Program
CSR tidak partisipatif sesuai prinsip stakeholders engagement yang benar.
Lip Service.
CSR tidak menjadi bagian dari strategi dan kebijakan perusahaan. Biasanya,
program CSR tidak didahului oleh needs assessment dan hanya diberikan
berdasarkan belas-kasihan (karitatif). Laporan tahunan CSR yang dibuat
Enron dan British American Tobacco (BAT), pernah menjadi sasaran kritik
sebagai hanya lip service belaka (Wikipedia, 2008).
Kiss and Run.
Program CSR bersifat ad-hoc dan tidak berkelanjutan. Masyarakat diberi
sentuhan berupa barang, pelayanan atau pelatihan, lantas ditinggalkan
begitu saja. Program yang dikembangkan umumnya bersifat myopic,
berjangka pendek dan tidak memerhatikan makna pemberdayaan dan investasi
sosial. CSR sekadar menanam jagung, bukan menanam jati.

Alhasil, CSR tidak dapat merespon kebutuhan masyarakat dan kurang


menyentuh perhatian publik. Salah satu karakter dasar CSR, yakni pemberdayaan
masyarakat, menjadi semakin jauh dari pencapaian tujuan CSR. Pelaksanaan CSR
yang terjebak bias-bias di atas dapat mengubah singkatan dan makna CSR
menjadi: Candu, Sandera dan Racun.
Candu.
CSR yang sebelumnya dimaksudkan untuk memberdayakan masyarakat,
malah hanya menciptakan ketergantungan masyarakat sebagai penerima
program;
Sandera.
CSR yang tadinya merupakan wujud kepedualian sosial perusahaan kepada
masyarakat, bergeser menjadi strategi masyarakat untuk menyandera
perusahaan dan menjadikannya sapi perahan.
Racun.
CSR yang tadinya untuk membangun citra perusahaan dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, berubah menjadi racun yang bukan saja merusak

30

reputasi perusahaan. Melainkan pula menghancurkan modal sosial, kearifan


lokal dan kemandirian masyarakat.

2.7. Enviromentalism
Pada awal tahun1990-an lingkungan menjadi perhatian utama dari mereka
yang tertarik dalam (anti) kegiatan sosial perusahaan dan yang ingin menegakkan
akuntabilitas publik untuk kegiatan tersebut. Tampaknya bagi banyak orang
bahwa pembangunan ekonomi saat ini dan kebijakan yang tidak berkelanjutan dan
krisis lingkungan utama sedang dalam perjalanan. Tekanan utama, yang dikatakan
meningkat secara eksponensial termasuk hal-hal seperti tingkat penipisan ozon,
penggurunan, penggundulan hutan, kejadian hujan asam, penipisan stok ikan,
erosi tanah, tingkat penggunaan sumber daya tak terbarukan, tingkat kepunahan
spesies dan sebagainya.
Akuntan harus telah terlibat dalam isu-isu lingkungan pada tingkat tertentu
setidaknya sejak publikasi The Corporate Report (1975). Sehubungan dengan isuisu lingkungan itu mengakui bahwa perusahaan mungkin ingin mengungkapkan
pengeluaran yang dilakukan untuk melindungi lingkungan dan kepentingan yang
berhubungan dengan masyarakat. Bahkan Gray et al. (1987) menyatakan bahwa
karya besar pelaporan sosial perusahaan mencakup referensi atas isu-isu
lingkungan. Karya utama The Institute of Chartered Accountants of Scotlands
pada pelaporan perusahaan (Making Corporate Reports Valuable, 1988) tidak
membuat referensi terhadap lingkungan.
Organisasi-organisasi lain dapat mengklaim memiliki minat terhadap isuisu lingkungan. The British Institute of Management misalnya, memproduksi
daftar tanggung jawab manajemen dalam kaitannya dengan lingkungan pada
tahun 1979. Sebuah pengembangan internasional yang penting adalah
pengembangan Prinsip 'Valdez', yang diadopsi oleh European INAISE
(International Association of Investor in the Social Economy), untuk organisasi:
Yang berinvestasi dalamu paya atas etika, ekologi, budaya dan mengelola
alam, termasuk upaya terhadap perempuan, etnis minoritas, penyandang
disabilitas, hidup sehat, damai dan Third World, serta upaya ekonomi sosial
pada umumnya.

31

Prinsip-prinsip ini diberi nama setelah Alaskan Oil Spillage dari Exon
Valdez, dan The United States Social Investment Forum yang mendorong ide
terhadap perusahaan dalam mematuhi prinsip-prinsip tersebut, yang pada
dasarnya termuat dalam sebuah Charter for Corporate Social Responsibility
(Miller, 1992):
a) Perlindungan terhadap Biosfer
Kami akan meminimalkan dan berusaha untuk menghilangkan pelepasan
polutan yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan udara, danau, rawa,
wilayah pesisir dan lautan dan akan meminimalkan berkontribusi terhadap
efek rumah kaca, penipisan lapisan ozon, hujan asam, atau asap.
b) Penggunaan Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan
Kami akan memanfaatkan sumber daya alam terbarukan seperti air, tanah dan
hutan. Kami akan melestarikan sumber daya alam tidak terbarukan melalui
penggunaan yang efisien dan perencanaan yang matang. Kami akan
melindungi habitat satwa liar, ruang terbuka dan padang gurun sekaligus
melindungi keanekaragaman hayati.
c) Pengurangan dan Pembuangan Limbah
Kami akan meminimalkan penciptaan limbah, terutama limbah berbahaya dan
dimanapun bahan daur ulang dimungkinkan. Kami akan membuang limbah
melalui metode yang aman dan bertanggung jawab.
d) Penggunaan Energi secara Bijak.
Kami akan melakukan segala upaya untuk menggunakan sumber energi yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan kita. Kami
akan berinvestasi dalam meningkatkan efisiensi energi dan konservasi dalam
operasi kami. Kami akan memaksimalkan efisiensi energi produk yang kami
produksi atau jual.
e) Pengurangan Risiko
Kami akan meminimalkan risiko kesehatan dan keselamatan lingkungan
terhadap karyawan dan masyarakat di mana kami beroperasi dengan
menggunakan teknologi yang aman dan prosedur operasi, serta dengan terusmenerus siap untuk keadaan darurat.
f) Pemasaran Produk dan Layanan yang Aman

32

Kami akan menjual produk dan jasa yang meminimalkan dampak lingkungan
dan aman bagi konsumen umum yang menggunakannya. Kami akan
menginformasikan konsumen dari dampak lingkungan dari produk dan
layanan kami.
g) Kerugian Kompensasi
Kami akan bertanggung jawab untuk setiap kerugian yang disebabkan
lingkungan dengan membuat setiap usaha untuk sepenuhnya memulihkan
lingkungan, dan untuk mengimbangi pihak-pihak yang terkena dampaknya.
h) Pengungkapan
Kami akan mengungkapkan kepada karyawan dan insiden publik yang
berkaitan dengan operasi kami yang menyebabkan kerusakan lingkungan atau
menimbulkan

bahaya

kesehatan

atau

keselamatan.

Kami

akan

mengungkapkan bahaya potensial terhada kesehatan atau keamanan


lingkungan yang ditimbulkan oleh operasi kami, dan kami tidak akan
mengambil tindakan apapun terhadap karyawan yang melaporkan kondisi
yang menciptakan bahaya bagi lingkungan atau menimbulkan bahaya
kesehatan dan keselamatan.
i) Direksi dan Manajer Lingkungan
Setidaknya satu anggota dewan direksi akan menjadi seseorang yang
memenuhi syarat untuk mewakili kepentingan lingkungan. Kami akan
mengikat sumber daya manajemen untuk menerapkan prinsip-prinsip ini,
termasuk pendanaan kantor wakil presiden untuk urusan lingkungan atau
posisi setara eksekuti, melapor langsung kepada CEO, untuk memantau dan
melaporkan upaya implementasi kami.
j) Penilaian dan Audit Tahunan
Kami akan melakukan dan membuat sebuah evaluasi diri tahunan tentang
kemajuan kita dalam melaksanakan prinsip-prinsip ini dan mematuhi semua
hukum dan peraturan yang berlaku di seluruh operasi kami di seluruh dunia.
Kami akan bekerja menuju terciptanya ketepatan waktu prosedur audit
lingkungan independen yang akan kita selesaikan setiap tahunnya dan tersedia
untuk umum.

33

Namun apa sebenarnya yang bisa dilakukan oleh akuntan dalam kaitannya
dengan

masalah

lingkungan?

Jawabannya

adalah

mereka

yang

ingin

menyelamatkan dunia dari bencana lingkungan cenderung lebih sedikit daripada


mereka yang memandang environmentalisme sebagai bentuk keprihatinan saat ini
baik akuntan yang ditempatkan untuk mendapatkan biaya maupun untuk
meningkatkan kesempatan kerja. Keduanya mungkin akan memandang bahwa
akuntan memiliki kemampuan dan teknik tertentu untuk menawarkan solusi yang
tepat dalam kaitannya dengan masalah lingkungan.
Akuntan tidak selalu baik ditempatkan untuk menentukan kebijakan
lingkungan seperti apa yang harus diadopsi, tetapi mereka mungkin memainkan
peran dalam menilai dampak lingkungan yang dapat didefinisikan, diukur dan
dilaporkan. Kebijakan lingkungan dapat disusun oleh pemerintah nasional atau
kesepakatan internasional; atau perusahaan dapat mengadopsi kebijakan mereka
sendiri, yang mungkin dapat didasarkan pada prinsip-prinsip Valdez. Setelah
kebijakan yang jelas, baik akuntan yang ditempatkan untuk membangun sistem
maupun kontrol yang diperlukan untuk menangkap data yang diperlukan,
melaporkan misalnya pada biaya pengendalian polusi, perbaikan lingkungan;
pengaturan anggaran lingkungan dan melaporkan pelaksanaannya dalam praktek
dan mencoba untuk mengukur serta menilai kerusakan lingkungan yang
ditimbulkan.
Akuntan juga dapat memiliki peran penting dalam audit. Audit dan audit
limbah energy diharapkan untuk menghasilkan penghematan bagi perusahaan
serta mengurangi kerusakan lingkungan. Auditor juga digunakan untuk
melaporkan audit lingkungan perusahaan sesuai dengan persyaratan resmi yang
menilai sejauh mana organisasi mengimplementasikan kebijakan lingkungan yang
telah diadopsi.
Tentu saja, isu lingkungan juga dapat menjadi elemen penting dari laporan
sosial perusahaan, di mana akuntan juga memiliki peran untuk melaksanakannya.
Laporan itu sendiri dapat dipandang sebagai produk akhir dari sistem akuntansi
yang mencatat dan mengklasifikasikan data didasarkan pada sistem dengan builtin controls dan menggunakan data yang diverifikasi oleh auditor independen jika
laporan diharapkan memiliki kredibilitas.

34

2.8. Implementasi CSR pada Perusahaan

CREATING SHARED VALUE (CSV) RURAL DEVELOPMENT SECTOR AT


PT NESTLE KEJAYAAN FACTORY: AN ETHNOGRAPHICAL STUDY OF
JABUNG AGRO NIAGA COOPERATIVE AND PUJON SAE
COOPERATIVE AS A REFERENCE DEVELOPMENT OF CORPORATE
SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) BASED ON SOCIAL
ENTREPRENEURSHIP
Nuruddin Ahmad Putra & Eko Ganis Sukoharsono
The Department of Accounting, University of Brawijaya

Abstrak
Nestle adalah perusahaan multinasional yang sangat peduli dengan kualitas
dan kegunaan dari penciptaan produk. Salah satu program utama CSV dari Nestle
adalah Pembangunan Pedesaan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
petani susu. Penelitian ini bertujuan untuk memahami pelaksanaan program CSV
Nestl di bidang pembangunan pedesaan sebagai referensi untuk merumuskan
sebuah kegiatan CSR alternatif berbasis pada kewirausahaan sosial.
Penelitian ini menggunakan metode etnografi dengan penggunaan dua
studi kasus pada mitra Nestle yakni Koperasi Jabung Agro Niaga dan Koperasi
Pujon SAE. Data yang digunakan dalam penelitian ini data primer, go native, dan
data sekunder, seperti hasil wawancara yang dilakukan dengan manajer dari kedua
koperasi dan laporan perusahaan serta publikasi lainnya.
Studi ini menyimpulkan bahwa Nestle telah menerapkan program
pembangunan pedesaan untuk meningkatkan kualitas hidup peternak sapi perah.
Keberhasilan dari program CSV Nestle dapat digunakan sebagai pedoman untuk
membuat program CSR lain berdasarkan Kewirausahaan Sosial. Koperasi Jabung
Agro Niaga dan Koperasi Pujon SAE mendapatkan keuntungan dengan
kewirausahaan sosial yang dilakukan oleh Nestl.
Keywords: CSR, Creating Shared Value (CSV), Community Development,
Social Entrepreneurship.

35

Pendahuluan
Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (selanjutnya, CSR) adalah kegiatan sosial
yang umum dilakukan oleh perusahaan sebagai bentuk kepedulian sosial terhadap
lingkungan dan masyarakat. Perkembangan CSR akhir-akhir ini direspon secara
positif, yang mulai mengubah paradigma bisnis dari profit oriented menjadi lebih
peduli pada lingkungan dan masyarakat. Di Indonesia baru-baru ini, banyak
perusahaan besar baik yang terdaftar maupun tidak terdaftar telah menerapkan
CSR. Perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR dalam praktek dengan
berbagai kegiatan di berbagai bidang teknologi, pendidikan, kesehatan dan
ekonomi. Meskipun kegiatan CSR tidak semua didasarkan pada kesadaran
perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab perusahaan, tetapi kebanyakan
hanya untuk meningkatkan kinerja perusahaan.
Penerapan CSR di Indonesia telah diatur dalam undang-undang dan keputusan
menteri. CSR untuk Perseroan Terbatas diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
tahun 2007. Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal 16 Agustus 2007. Pasal 74
ayat (1) menyatakan bahwa perusahaan yang menjalankan kegiatan usahanya di
bidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam diwajibkan untuk
melaksanakan tanggung jawab social dan lingkungan. Penjelasan Pasal 74 ayat (1)
menjelaskan bahwa kewajiban CSR dimaksudkan untuk menciptakan hubungan
kemitraan yang harmonis, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma,
dan budaya. Namun sayangnya, hal ini bukanlah bagian dari aturan yang menduga
terhadap pelanggaran CSR.. Tanggung jawab sosial untuk BUMN diatur oleh
pemerintah melalui Keputusan Menteri Nomor Kep-236 / MBU / 2003 tentang
Program Kemitraan Usaha Milik Negara dengan usaha kecil dan Program
Community Development. Mewajibkan CSR merupakan salah satu upaya
pemerintah dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
ekonomi. Pemerintah berharap CSR tidak hanya berupa kesukarelaan, tetapi itu
akan menjadi tanggung jawab hukum dan wajib dan dapat dipertahankan serta
diberlanjutkan.
Banyak perusahaan telah mencoba untuk mengembangkan konsekuensi sosial
dan lingkungan dari kegiatan usaha mereka untuk melaksanakan kegiatan CSR,
namun usaha mereka kadang-kadang tidak berjalan secara produktif seperti apa

36

yang mereka harapkan. Hal ini disebabkan oleh dua yakni pertama, perusahaan
menjalankan bisnisnya bertolak belakang dengan masyarakat dan lingkungan.
Kedua, kegiatan CSR perusahaan bersifat normatif, dan tidak disesuaikan dengan
strategi perusahaan. (Porter dan Kramer, 2006).
PT Nestle sebagai salah satu perusahaan terbesar di dunia adalah sebuah
perusahaan yang dikenal atas keunggulan dalam kegiatan CSR yang diungkapkan
dalam Creating Shared Value (CSV). Nestle memiliki prinsip bahwa keberhasilan
jangka panjang hanya dapat dicapai dengan menciptakan manfaat bagi para
pemangku kepentingan, baik pemasok bahan baku (suppliers), karyawan,
pelanggan, mitra bisnis, pemerintah dan masyarakat serta tentu saja para
pemegang saham dan perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, Nestle sangat
prihatin dengan perkembangan di bidang gizi, air dan pembangunan pedesaan.
Nestle juga menekankan pembangunan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam
Global Reporting Index (GRI) bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah
untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengurangi kemampuan
generasi mendatang dalam hal pemenuhan kebutuhan (World Commission on
Envirinment and Development, 1987).
Creating Shared Value (CSV) adalah strategi bisnis yang diterapkan oleh
Nestle berdasarkan kepatuhan dengan berbagai peraturan perundang-undangan,
dan praktek bisnis yang berkelanjutan. Nestle menyadari bahwa untuk mencapai
sukses jangka panjang, Nestle harus menciptakan manfaat bagi para pemangku
kepentingan lain seperti pemasok bahan baku, karyawan, pelanggan, mitra bisnis,
pemerintah dan masyarakat setempat, dan pada saat yang sama menciptakan
keuntungan bagi perusahaan dan pemegang saham. CSV itu sendiri adalah konsep
strategi bisnis yang diperkenalkan oleh Michael Porter dan Mark Kramer pada
tahun 2006 dalam artikel Harvard Business Review. Creating Shared Value
(CSV) menekankan pentingnya memasukkan isu-isu dan kebutuhan sosial dalam
desain strategi perusahaan. CSV menekankan kesempatan untuk membangun
keunggulan

kompetitif

dengan

memperkenalkan

isu-isu

sosial

sebagai

pertimbangan utama dalam merancang strategi perusahaan.


PT Nestle tidak sendirian dalam membangun bisnis, tetapi juga bekerjasama
dengan koperasi peternak sapi perah yang ada di Jawa Timur. Setidaknya ada dua

37

koperasi yang layak untuk diselidiki lebih lanjut yakni Koperasi Pujon SAE dan
Koperasi Jabung Agro Niaga. Koperasi Pujon SAE adalah koperasi petani susu
yang telah berdiri sejak tahun 70-an dan diresmikan oleh Presiden Soeharto pada
waktu itu. Sampai saat ini Koperasi Pujon SAE memiliki anggota petani susu
sekitar 6000 per hari dan dapat menghasilkan sebanyak 100 ton susu. Sementara
Koperasi Jabung Agro Niaga adalah koperasi petani susu yang telah menerima
berbagai penghargaan baik dari pemerintah maupun dari Nestle itu sendiri.
Meskipun Koperasi Jabung Agro mulai terlibat dalam bidang peternakan sapi
perah sampai tahun 1990-an, namun komitmen dan semangat untuk menjadi yang
terbaik dari seluruh dewan membuat koperasi tersebut menjadi langganan
penerima berbagai penghargaan.
Kewirausahaan sosial menjadi terkenal sejak Muhammad Yunus, pemenang
Hadiah Nobel Perdamaian dari Bangladesh mendirikan Grameen Bank.
Sebenarnya, kewirausahaan sosial telah dikembangkan oleh berbagai elemen
masyarakat, salah satunya adalah Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya yang
telah peduli tentang pembahasan kewirausahaan sosial. Arti sederhana dari
pengusaha sosial adalah seseorang yang mengerti permasalahan sosial dan
menggunakan kemampuan entrepreneurship terhadap perubahan sosial, terutama
mencakup kesejahteraan, pendidikan dan kesehatan (Santosa, 2007).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi bagaimana
pelaksanaan program CSV pada sektor Pembangunan Pedesaan oleh Nestle
Indonesia Kejayan Factory (Kemitraan dengan Koperasi Jabung Agro Niaga dan
koperasi Pujon SAE). Dan bagaimana bentuk kegiatan kewirausahaan sosial yang
dilaksanakan dalam CSR berdasarkan penelaahan atas Program CSR Nestl?

Program CSV Nestle Terhadap Sektor Pembangunan Pedesaan Pada PT


Nestle Kejayan Factory Sebagai Sebuah Pengembangan Referensi CSR
Berdasarkan Kewirausahaan Sosial
Profil Nestle
Nestle didirikan pada tahun 1866 di Velvety, Swiss oleh ahli gizi kebangsaan
Jerman bernama Henry Nestl. Awal Henry Nestle mengatur perusahaan ini
adalah ketika jumlah bayi yang meninggal sebelum usia satu tahun, karena wanita

38

tidak mau menyusui bayinya sendiri. Kemudian seorang teman bertemu dengan
Henry Nestle dengan bayi prematur yang dirawat. Oleh Henry Nestle, bayi diberi
makanan berupa olahan roti, susu dan gula, sampai kondisi bayi berangsur-angsur
membaik.
Sejak itu makanan olahan Henry Nestle diproduksi dengan nama "Nestle
Lacto Ferine" menjadi populer dan dipercaya, sebagai sesuatu yang terbukti
meningkatkan gizi dan mengurangi kematian bayi. Kemudian Henry Nestle
membuat nama "Nestle" yang dalam bahasa Jerman berarti sarang burung kecil
(sarang kecil) dan menjadi logo perusahaan. Oleh karena itu, Henry Nestle dikenal
sebagai First Swiss yang membangun industri modern yang focus pada
pentingnya citra merek dan perusahaan.

Visi dan Misi Nestle


PT Nestle Indonesia memiliki visi yang diringkas dalam tiga poin sebagai
berikut:
1) Mendapatkan kepercayaan dari konsumen, dan menjadi makanan dan gizi
terkemuka serta dihargai di Indonesia.
2) Memastikan profitabilitas dan kesinambungan pertumbuhan jangka panjang
dengan modal yang efisien bagi perusahaan, melalui layanan yang mampu
meningkatkan kualitas hidup konsumen.
3) Menjadi pemimpin pasar di setiap kategori.
Sementara itu, PT Nestle Indonesia memiliki misi untuk mewujudkan
masyarakat sehat melalui kualitas produk yang bergizi dan lezat. PT Nestle
Indonesia juga berusaha untuk selalu memikul tanggung jawab kepada
masyarakat dan menciptakan manfaat bagi orang lain.

Pelaksanaan CSV Sektor Pembangunan Pedesaan Pada PT Nestle Kejayan


Factory
Pendekatan CSV Nestle untuk membantu peternak sapi perah menjadi
pemasok yang baik, dengan kondisi kesejahteraan yang lebih baik. Kerjasama
tersebut memiliki dampak positif dalam keberlanjutan jangka panjang dan

39

produktivitas peternak, ketahanan pangan, pembangunan ekonomi dan kualitas


lingkungan hidup dan standar peternak sapi perah.
Peternak sapi perah adalah pemasok penting untuk proses produksi Nestle
Kejayan Factory, karena produksi peternak sapi perah Nestle bisa mendapatkan
bahan baku dengan kualitas yang lebih baik untuk dapat menghasilkan produk
yang berkualitas. Oleh karena itu, Nestle terus memberikan bimbingan pada
peternakan yang baik dan mencari bantuan teknis pada peningkatan produktivitas
dan kontrol kualitas produk pertanian.
Nestle berusaha mengubah pola pikir dan perilaku melalui program ini dalam
rangka memenuhi pengaturan kontrol kualitas, tidak hanya oleh Nestle tetapi
dengan industri pada umumnya. Munculnya profesionalisme yang diharapkan dari
petani sendiri dapat membuat mereka menjadi pemasok susu yang berkualitas dan
dapat dipercaya.

Kemitraan dengan Sapi Perah


Jauh sebelum PT Nestle Indonesia Kejayan Factory membeli susu dari sapi
peternak di Jawa Timur, mereka harus mengimpor susu bubuk untuk memenuhi
kebutuhan produksi. Tentu saja biaya untuk mengimpor susu cukup mahal,
sehingga membuat Nestle harus mencari cara lain agar dapat memperoleh susu
mentah untuk kepentingan produksi perusahaan tersebut.
Namun, kemudian berubah sejak tim ahli Agronomi yang menganalisis bahwa
susu segar dapat diproduksi di Jawa Timur. Hal ini bisa terjadi jika jaminan
kualitas dan kuantitas rantai pasokan (dari sapi ke pabrik Nestle) meningkatkan
kualitas. Mulai dari sini, Nestle secara tidak langsung menerapkan konsep yang
disebut dengan Creating Shared Value (CSV). Sebuah studi yang diterangkan oeh
perusahaan dijelaskan di bawah ini:
1) Nestle memberikan pinjaman lunak kepada koperasi susu di setiap daerah
sehingga mereka dapat membeli peralatan pendingin yang berguna untuk
memastikan bahwa susu dari petani tetap dalam kualitas terbaik.
2) Agro Service Department memberikan bantuan kepada petani terkait dengan
teknik manajemen pertanian yang baik untuk pelestarian kualitas susu yang

40

akan diberikan kepada Nestle dan juga untuk menjaga kesehatan ternak
mereka.
3) Dalam rangka untuk lebih memenuhi kepentingan peternak sapi perah, Nestle
merombak Agro Service Department ke Procurement Milk dan Dairy
Development Department (MPDD). Fokus departemen ini adalah untuk
meningkatkan kualitas susu yang dihasilkan oleh petani.
4) Nestle melalui departemen MPDD memfasilitasi pinjaman lunak untuk
perbaikan pengumpulan susu dan pusat transportasi, memberikan pelatihan
staf koperasi untuk menerapkan prosedur operasi standar di seluruh rantai
pasokan, dan pemeriksaan kepatuhan untuk memastikan standar kualitas susu
yang telah ditetapkan.
5) Memberikan pinjaman lunak kepada petani untuk meningkatkan jumlah sapi,
serta memberikan pengarahan pada manajemen ternak.
Inilah yang tiga puluh tahun terakhir telah dibuat oleh Nestle dan terus
melakukannya akan mencapai sebuah kegunaan bersama Nestle, peternak sapi
perah, dan pemangku kepentingan lainnya.
Penciptaan kegunaan bersama dalam jangka panjang akan membuat
masyarakat menjadi lebih mandiri dan berdaya secara ekonomi, menjadi tujuan
dari Creating Shared Value (CSV). Karena teori kapitalisme yang hanya
mementingkan keuntungan dari para pemegang saham tidak lagi relevan di dunia
saat

ini.

Michael

Porter

berpendapat

bahwa

dengan

memberdayakan

perekonomian masyarakat juga berarti menciptakan dunia bisnis yang lebih baik
lagi - tentu untuk kepentingan perusahaan juga. Karena keberhasilan suatu usaha
tidak akan terjadi tanpa iklim ekonomi yang sehat di masyarakat.
CSV yang diadopsi oleh Nestle telah terbukti meningkatkan kualitas hidup
bagi petani susu dan berpartisipasi dalam mengembangkan koperasi. Karena
pelaksanaan CSV bukan hanya bantuan atau sumbangan pada suatu waktu. Tapi
juga mengembangkan peternak sapi perah yang menjadi pemasok Nestle. Dengan
bantuan dan penerapan standar yang ketat, sehingga perubahan pola kerja menjadi
lebih profesional. Sehingga akan menciptakan hubungan timbal balik yang saling
menguntungkan, terutama bagi peternak dan koperasi.

41

Tanggung Jawab Sosial Perusahaan yang dibuat oleh Nestle jika dilihat dari
klasifikasi CSR oleh Profesor Porter, Nestle telah melakukan "Praktek Bisnis
yang Bertanggung Jawab secara Sosial (Socially Responsible Business Practice)".
Dimana kegiatan CSR telah melampaui dari apa yang harus dilakukan. Sehingga
dampak positif dari program ini sangat bermanfaat, juga bahkan dapat
menciptakan efek domino yang menyebabkan dampak positif lainnya. Jika hal-hal
ini dihitung, maka efek ganda yang dihasilkan dari kegiatan Nestle akan jauh
lebih besar.
Nestle telah berhasil membangun hubungan yang saling menguntungkan
antara para pemangku kepentingan, masyarakat dan pemerintah. Nestle
meminimalkan konflik kepentingan dalam hubungan bisnis, dengan menciptakan
sistem yang tidak hanya membawa manfaat bagi Nestle, tetapi juga untuk
masyarakat. Sehingga hubungan dibuat tidak hanya membeli dan menjual
hubungan, namun masyarakat yang menjadi mitra dari Nestle dapat meningkatkan
kualitas hidup.
Nestle memberikan manfaat lebih dari kerjasama dengan masyarakat dalam
bentuk peningkatan kualitas hidup dan membuka peluang bisnis dalam
masyarakat. Hal ini membuat Nestle juga mendapatkan keuntungan dengan
menerapkan CSR yang baik maka secara otomatis laporan umum akan lebih
berkualitas. Dan juga image publik terhadap Nestle juga akan positif. Nestle
menyadari bahwa membangun hubungan yang baik dengan masyarakat akan
berdampak yang baik bagi perusahaan sehalan dengan yang dinyatakan oleh
Profesor Porter, "Baik untuk masyarakat, juga Baik untuk bisnis (Good for
Community, is also Good For Business)".

CSR Berdasarkan Kewirausahaan Sosial


CSR merupakan salah satu alat yang dapat dimanfaatkan dan dimaksimalkan
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Karena pengembangan dan
pemberdayaan bukan hanya tanggung jawab negara saja, tetapi juga tanggung
jawab dari semua pihak di suatu negara. Oleh karena itu, perusahaan sebagai salah
satu pihak yang berkepentingan harus mengambil bagian di dalamnya. Gagasan
bahwa bisnis hanya bisnis harus dihapuskan dan diganti bahwa bisnis harus

42

membawa manfaat bagi masyarakat. Oleh karena itu, di samping laba usaha
perusahaan untuk pemegang saham harus juga membawa manfaat bagi
masyarakat. Salah satu caranya adalah dengan melaksanakan program-program
CSR bagi perusahaan tersebut.
Ada

banyak

metode

yang

dikembangkan

oleh

perusahaan

dalam

pengembangan dan penerapan CSR. Mulai dari kegiatan kedermawanan


(menyumbang panti asuhan, bersimpati pada anak jalanan) untuk melaksanakan
pembangunan masyarakat yang berkelanjutan. Perusahaan dapat mengadopsi
metode kewirausahaan sosial dalam kegiatan CSR mereka. Dengan mengambil
dan menerapkan prinsip-prinsip kewirausahaan sosial dan kemudian diterapkan
dalam kegiatan CSR perusahaan.
Kewirausahaan sosial mengidentifikasi masalah sosial yang terjadi di
masyarakat, dan mencoba untuk menemukan solusi kreatif dan solusi. Berbagai
masalah sosial yang ada di masyarakat adalah area kewirausahaan sosial untuk
mengambil bagian dalam penyelesaiannya. Sebagai salah satu metode alternatif
pemecahan masalah sosial akhir-akhir ini sedang banyak dibicarakan, maka tidak
ada salahnya bagi perusahaan melalui CSR dengan menggunakan kewirausahaan
sosial sebagai bentuk kontribusi nyata bagi masyarakat.
Oleh karena itu, penelitian ini membahas beberapa topik yang berisi tentang
isu-isu sosial, tantangan, dan beberapa hal yang perlu pengembangan lebih lanjut.
Studi ini merangkum topik buku berjudul "Kewirausahaan Sosial - Bagaimana
memulai CSR yang sukses" dan literatur lainnya, serta beberapa pengalaman
selama menjadi aktivis sosial. Harapannya dengan daftar topik bisa menginspirasi
perusahaan untuk mengembangkan CSR yang didasarkan pada Kewirausahaan
Sosial.

1. Energi Alternatif
Sama seperti yang telah dilakukan oleh Nestle Kejayan Factory, dengan
mengubah penggunaan bahan bakar minyak ke gas. Perusahaan lain juga dapat
mengganti bahan bakar untuk industri mereka ke bahan bakar yang lebih ramah
dan lebih peduli pada lingkungan. Saat ini penggunaan bahan bakar fosil telah
terbukti berkontribusi dalam pemanasan global yang menyebabkan perubahan

43

iklim drastis. Jadi, untuk membuatnya menjadi baik banyak ilmuwan, pemerintah
dan dunia usaha yang peduli lingkungan mencoba untuk mengganti penggunaan
bahan bakar fosil.
Penggunaan energi alternatif seperti gas alam dan bio-diesel yang lebih ramah
lingkungan, atau penggunaan energi surya sebagai sumber energi. Di beberapa
Negara telah mengembangkan pembangkit listrik menggunakan tenaga angin atau
air, dan bahkan beberapa energi prototipe dari air laut.
Perusahaan juga dapat mengembangkan teknologi baru untuk efisiensi
penggunaan bahan bakar fosil jika terasa tidak mungkin untuk menggantikan.
Dengan menggunakan teknologi yang diharapkan dari bahan bakar fosil dapat
dikurangi serendah mungkin untuk meminimalkan efeknya.

2. Pendidikan
Pendidikan di Indonesia adalah salah satu hal yang terus memunculkan
masalah baru dan menjadi masalah dalam setiap dekade. Mulai dari infrastruktur
yang tidak memadai, kualitas pendidikan yang tidak sama antara perkotaan dan
pedesaan, dan berbagai masalah lainnya. Nestle Kejayan Factory juga telah
mengembangkan sekolah percontohan yang terletak di pabrik-pabrik di
sekitarnya. Karena pendidikan adalah pintu gerbang bagi orang untuk menjadi
lebih beradab, perusahaan juga harus memperhatikan sektor ini. Seperti kata
Porter (2011) dari Universitas Harvard, bahwa kondisi orang yang berkehendak
baik memiliki dampak positif pada dunia bisnis (Porter, 2011).
Perusahaan dapat menginvestasikan dana CSR mereka untuk membangun
kedua infrastruktur pendidikan serta mengembangkan dan meningkatkan kualitas
pendidikan. Tidak hanya bisa membantu pendidikan anak-anak berkebutuhan
khusus dengan membangun sekolah atau menyediakan peralatan untuk mereka.
Perusahaan dapat memberikan pelatihan keterampilan yang akan membantu siswa
ketika mereka telah lulus dan siap untuk bekerja. Atau membuat program magang
dalam perusahaan yang bisa menjadi tambahan pengalaman bagi siswa.

3. Kesehatan dan Gizi

44

Kesehatan juga merupakan sesuatu yang paling membutuhkan perhatian,


terutama di negara seperti Indonesia. Masalah mahalnya akses untuk perawatan
kesehatan, peralatan yang tidak memadai di daerah yang jauh dari perkotaan, dan
tenaga medis yang tidak memadai menjadi masalah umum di negeri ini.
Perusahaan dapat memberikan bantuan kepada rumah sakit atau fasilitas
kesehatan milik pemerintah di seluruh perusahaan melakukan aktivitas. Dengan
dana yang disumbangkan dan pembelian peralatan medis yang memadai.
Kurangnya asupan makanan empat dari lima makanan bergizi dapat
disediakan oleh perusahaan jika lokasi perusahaan dekat dengan daerah yang
miskin. Dengan memberikan bantuan khusus untuk anak kurang gizi atau untuk
memberikan makanan bergizi tambahan di sela-sela mengajar dan kegiatan belajar
di sekolah.

4. Lingkungan
Konsumen sekarang mulai menyadari pentingnya menjaga lingkungan dan
lebih memilih produk ramah lingkungan. Kesadaran konsumen harus diantisipasi
dan dihargai oleh perusahaan dengan kebijakan perusahaan yang mempromosikan
perlindungan pengelolaan limbah tanaman dan konservasi alam.
Nestle memiliki sistem pengolahan air limbah yang sangat baik, dengan hasil
akhir dari limbah tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah petani di
sekitar pabrik. Produksi limbah sangat berbahaya bagi lingkungan, diproses secara
akurat dan hati-hati untuk menghasilkan air yang sama sekali tidak berbahaya
bagi lingkungan.
Pengolahan limbah dan produksi limbah merupakan hal penting yang kadangkadang banyak perusahaan tidak mau tahu tentang hal itu. Tentu saja salah satu
alasan adalah pengolahan limbah yang baik akan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit juga, begitu banyak perusahaan yang enggan untuk berinvestasi di
dalamnya. Meskipun masalahnya bukan hanya limbah, citra perusahaan bisa turun
jika tidak ditangani dengan baik, tapi yang paling penting adalah kondisi
ekosistem dan lingkungan sekitarnya. Perusahaan harus fokus pertama pada
strategi perusahaan pada pengolahan limbah yang baik untuk melestarikan
lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar.

45

5. Merawat Penyandang Cacat


Orang dengan cacat fisik seringkali sulit untuk mendapatkan akses ke
pekerjaan dan fasilitas umum lainnya. Karena daya saing tidak sama seperti orang
normal lainnya. Tetapi kadang-kadang semangat mereka tinggi tetapi tidak
diimbangi dengan kesempatan. Demikian pula, dalam hal ini fasilitas negara
untuk penyandang cacat dianggap sangat kurang jika dibandingkan dengan negara
lain.
Perusahaan dapat membangun badan usaha atau dana yayasan yang bertujuan
untuk membantu para penyandang cacat untuk menjadi mandiri, karena
membantu mereka untuk mendapatkan uang dengan keringat sendiri lebih
bermakna daripada memberikan sumbangan uang tunai. Perusahaan juga dapat
membangun fasilitas untuk penyandang cacat di perusahaan atau di tempat-tempat
umum. Atau menyumbangkan alat bantu bagi penyandang cacat seperti kursi
roda, buku Braille, kaki palsu, dan lain-lain.

6. Perlindungan Karyawan
Karyawan sering diremehkan oleh manajemen dan pemegang saham. Karena
pola pikir yang sudah melekat dalam dunia bisnis kapitalis yang hanya
keuntungan maksimum tanpa memperhatikan faktor-faktor sosial dan manusia.
Jadi kadang-kadang hak karyawan sering diabaikan oleh perusahaan.
Porter (2011) dari Harvard dalam Rethinking Kapitalisme mengatakan bahwa
bisnis yang baik akan membawa manfaat bagi semua pihak, terlebih oleh
karyawan. Serta yang dilakukan oleh Nestle dengan prinsip-prinsip bisnisnya
adalah memberikan penghargaan kepada karyawan. Kebijakan perusahaan dalam
mendukung karyawan dari jam kerja, fasilitas keselamatan kerja, makan siang,
bonus, dan kegiatan di luar kegiatan produksi sebagai sarana untuk lebih dekat
dengan karyawan dan perusahaan.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil studi etnografi, pertanyaan penelitian dijawab dan
kemudian dapat disimpulkan bahwa:

46

1. Pelaksanaan Program CSV Nestle Indonesia Kejayan Factory di Sektor


Pembangunan Desa berguna untuk mendukung peternak susu dan koperasi
susu karena menyediakan dana dan pelatihan yang diperlukan bagi
peningkatan kualitas hidup peternak susu dan untuk pengembangan koperasi
susu. Pelaksanaan CSV Nestle menyediakan beberapa manfaat nyata bagi
peternak sapi perah dan koperasi susu, yaitu:
a) Peningkatan kualitas hidup peternak.
b) Hubungan bisnis antara Nestle, koperasi dan peternak sapi perah telah
diperbaiki.
c) Menyediakan kemudahan dalam pemasaran susu.
d) Koperasi susu menjadi lebih maju.
e) Mengubah pola pikir masyarakat pedesaan menjadi lebih maju.
2. Program

CSV

Nestl

adalah

sebuah

langkah

fundamental

untuk

pengembangan Program CSR lainnya berdasarkan teori kewirausahaan sosial.


Ini mungkin jelas jika dilihat dari kompleksitas kegiatan CSV yang dilakukan
oleh Nestle, yang selalu terkait dengan pembangunan ekonomi, pelestarian
lingkungan, peningkatan kesehatan masyarakat dan pendidikan. Jadi para
aktivis CSR di masa depan dapat menciptakan kegiatan CSR berbasis
Kewirausahaan Sosial yang berfokus pada pengembangan kemandirian
masyarakat, pelestarian lingkungan, kesehatan masyarakat, peningkatan
kualitas pendidikan, dan orang-orang yang peduli dengan penyandang cacat.

47

BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Anggapan bahwa organisasi yang menghasilkan profit tinggi merupakan
organisasi yang memiliki kinerja tinggi merupakan asumsi yang kurang tepat,
karena adanya faktor ketidakjelasan tentang definisi dan pengukuran profit, profit
tidak selalu menunjukkan apa yang kita harapkan, relevansi profit dipertanyakan
untuk menilai kinerja berbagai macam organisasi. Oleh karena itu, dibutuhkan
indikator kinerja selain profit, terutama pada sektor publik yang tujuan utamnya
adalah untuk melayani masyarakat. Value for money yang merupakan konsep
pengelolaan organisasi berdasarkan 3E (ekonomi, efisiensi, dan efektivitas)
memiliki beberapa implikasi negatif, sehingga muncul gagasan untuk ukuran
kinerja non keuangan, yaitu corporate social reporting. Corporate Social
Reporting (CSR) merupakan pelaporan perusahan dan organisasi lainnya terkait
aspek sosial dan ekonomi terhadap kinerja perusahaan. Dalam perkembangannya,
CSR juga menemui beberapa masalah dan populer pada saat yang bersamaan
karena munculnya isu-isu lingkungan. Salah satu contoh praktek CSR yang dapat
dikembangkan adalah program CSV Nestle berdasarkan teori kewirausahaan
sosial, yang mengidentifikasi masalah sosial yang terjadi di masyarakat, dan
mencoba untuk menemukan solusi kreatif dan solusi.

48

DAFTAR PUSTAKA
Chwastiak, M. dan Young, J. J. 2003. Silences In Annual Reports. Critical
Perspectives on Accounting, Vol. 14, pp 533-552.
Deegan, C., 2009. Financial Accounting Theory. Third Edition. Sidney: McGraw
Hill Book Company.
Global Reporting Initiative. 2002. Sustainability Reporting Guidelines, Global
Reporting Initiative GRI, Boston, MA.
Handoko, Yunus. 2014. Implementasi Social and Environmental Disclosure
dalam Perspektif Teoritis. Jurnal JIBEKA Volume 8 No 1 Februari 2014.
STIE Asia Malang.
Peraturan Pemerintah No 71 Tahun tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
Perks, R.W. (1993). Accounting and Society. Chapman and Hall. UK.
Suharto, Edi. 2008. Corporate Social Responsibility: What is and Benefits for
Corporate. Disampaikan pada Seminar Dua Hari CSR (Corporate Social
Responsibility): Strategy, Management and Leadership, Intipesan, Hotel
Aryaduta Jakarta 13-14 February 2008.
Sukoharsono, Eko Ganis dan Nuruddin Ahmad Putra. 2013. Creating Shared
Value (CSV) Rural Development Sector at PT Nestle Kejayan Factory: An
Ethnographical Study of Jabung Agro Niaga Cooperative and Pujon SAE
Cooperative as a Reference Development of Corporate Social
Responsibility (CSR) Based on Social Entrepreneurship. Journal.
University of Brawijaya.

49

Anda mungkin juga menyukai