Anda di halaman 1dari 43

TUGAS

HIDRAULIKA BANGUNAN SUMBER DAYA AIR

Disusun Oleh:
GALIH HABSORO SUNDORO, ST

PROGRAM STUDI MAGISTER TEKNIK PENGAIRAN


MINAT MANAJEMEN SUMBER DAYA AIR
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

DAFTAR ISI
Soal 1
Soal 2
Soal 3
Soal 4
Soal 5
Soal 6
Soal 7
Soal 8

SOAL 1:
Jelaskan jenis pemasangan krib secara inclinal dan declinal, disertai dengan
sketsanya!
JAWABAN 1:
Berdasarkan pemasangan dan arahnya, krib dibedakan menjadi 3 formasi dasar, yaitu
krib tegak lurus aliran (normal groyne/ deflecting groyne), krib condong kearah hulu
(inclined groyne/ repelling groyne), dan krib condong kearah hilir (declined groyne/
attracting groyne). (Sosrodarsono dan Tominaga, 1985; Przedwojski, dkk, 1995
dalam Donat, 1995). Oleh Ehrengruber (1989) dalam Donat (1995) 3 jenis formasi
krib tersebut digambarkan pada Gambar 1.1.
Dalam SNI 03-1724-1989, tentang Pedoman Perencaanaan Hidrologi Dan Hidraulik
Untuk Bangunan di Sungai, dijelaskan bahwa arah krib harus ditentukan berdasarkan
pertimbangan:
a. Unsur morfologi sungai yang harus diketahui dalam mendesain bangunan yaitu
gejala atau perilaku sungai, parameter gejala sungai, dan ukuran/ dimensi,
b. Fungsi yang hendak dicapai.

Sumber : Ehrengruber (1989) dalam Donat (1995)

Gambar 1.1. Formasi dasar pemasangan krib


a. Formasi krib tegak lurus (normal groyne/ deflecting groyne)
Formasi krib tegak lurus adalah formasi krib yang dibangun dengan arah tegak
lurus terhadap arah aliran. Pada formasi ini, aliran air akan dibelokkan
(deflected) oleh krib mengikuti jalur bergelombang di sebelah luar ujung krib.

Akan terbentuk pusaran air di hulu krib tersebut, namun tidak akan berdampak
kepada tebing sungai yang dilindungi. (Kabir, M.R.).
Krib impermeabel yang formasinya tegak lurus arus sungai, pada tingkat-tingkat
tertentu gerusan pada tebing sungai tidak dapat dihindarkan. Biasanya krib
dengan formasi tegak lurus arus baik yang permeabel maupun yang impemeabel
dapat berfungsi dengan baik pada bagian sungai yang dipengaruhi oleh pasangsurut air laut dan alirannya bolak-balik. (Sosrodarsono dan Tominaga, 1985).

Sumber : Kabir

Gambar 1.2. Sketsa aliran pada formasi krib tegak lurus


b. Formasi krib condong kearah hulu (inclined groyne/ repelling groyne)
Formasi krib condong kearah hulu adalah formasi krib yang dibangun dengan
arah ujung krib condong ke arah hulu membentuk sudut antara 60 - 75 dengan
tebing sungai yang dilindungi. Pada formasi ini akan terbentuk kantong
disebelah hulu krib yang akan terisi oleh sedimen. Pada formasi ini perlindungan
tebing sungai tambahan tidak diperlukan, karena aliran air tidak akan menyentuh
tebing sungai dan tidak terjadi efek erosi. (Kabir, M.R.).
Sosrodarsono dan Tominaga (1985), pada krib-krib permeable yang condong ke
hulu, turbulensi aliran akan terjadi di ujung depan krib tersebut, akan tetapi
pengendapan umumnya terjadi dekat tebing sungai dan aliran akan mengarah ke

tengah sungai, jadi krib dengan formasi condong ke hulu merupakan krib yang
sangat efektif untuk melindungi tebing sungai.

Sumber : Kabir

Gambar 1.3. Skema aliran pada formasi krib condong kearah hulu
c. Formasi krib condong kearah hilir (declined groyne/ attracting groyne)
Adalah formasi krib yang dibangun dengan arah ujung krib condong ke arah
hilir membentuk sudut antara 60 - 75 dengan tebing sungai yang dilindungi.
Pada formasi ini aliran air akan tertarik (attracted) menuju tebing sungai, dan
kecepatan aliran akan berkurang sampai batas sedemikian rupa sehingga tidak
dapat menyebabkan erosi apapun di tebing sungai. (Kabir, M.R.).
Pada krib permeabel yang condong ke hilir, aliran turbulensi di ujung depan krib
cenderung berkurang dan karenanya dapat terjadi pengendapan di sebelah hilir
ujung krib. Akan tetapi kadang-kadang mulai terjadi gerusan pada bagian tebing
sungai

dan

karenanya

krib-krib

dengan

formasi

demikian

kurang

menguntungkan ditinjau dari segi keamanan tebing sungai. Dan gerusan pada
tebing sungai cenderung meningkat pada krib impermeabel. Sifat-sifat krib
tersebut kadang-kadang dimanfaatkan untuk membantu meningkatkan fungsi
bangunan sadap pada sungai-sungai dengan arusnya yang tidak deras atau untuk
meningkatkan kedalaman air pada jalur lalu lintas air yang dilalui perahu-perahu
kecil. (Sosrodarsono dan Tominaga, 1985).
3

Sumber : Kabir

Gambar 1.4. Skema aliran pada formasi krib condong kearah hilir
REFERENSI:
Badan Standardisasi Nasional. 1989. SNI 03-1724-1989 Tentang Pedoman
Perencaanaan Hidrologi Dan Hidraulik Untuk Bangunan di Sungai.
Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Donat, M. 1995. Bioengineering techniques for streambank restoration. A review of
central European practices. Watershed Restoration Project Report No. 2.
Ministry of Environment, Lands and Parks, and Ministry of Forests.
Province of British Columbia.
Ehrengruber, C. 1989. Aspekte des naturnahen Flubbaus bei Buhnen. Masters thesis.
Universitt fr Bodenkultur. Vienna.
Kabir, M.R. Irrigaiton Structures 1. Lecture Notes of Irrigation & Flood Control
Chapters 8. Department of Civil Engineering, University of Asia Pacific.
Dhaka. http://www.uap-bd.edu/ce/Handouts/CE-461/Doc/Chapter-8.pdf.
6 Maret 2015.
Przedwojski, B., Blazejewski, R., dan Pilarczyk, K.W. (1995). River Training
Techniques-Fundamentals, Design and Application. Balkema. Rotterdam.
Sosrodarsono, S. dan Tominaga, M. 1985. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Pradya
Paramita. Jakarta.

SOAL 2:
Jelaskan tujuan dan apa saja yang harus diperhatikan dalam pemasangan krib!
JAWABAN 2:
Menurut Sosrodarsono dan Tominaga (1985), krib adalah bangunan yang dibuat dari
mulai tebing sungai kearah tengah guna mengatur arus sungai. Tujuan utama krib
antara lain: mengatur arah arus sungai, mengurangi kecepatan arus sungai sepanjang
tebing sungai, mempercepat sedimentasi, menjamin keamanan tanggul atau tebing
terhadap gerusan, mempetahankan lebar dan kedalaman air pada alur sungai, serta
mengonsentrasikan arus sungai dan memudahkan penyadapan.
Dalam SNI 03-1724-1989, tentang Pedoman Perencaanaan Hidrologi Dan Hidraulik
Untuk Bangunan di Sungai, dijelaskan bahwa fungsi krib harus didesain agar dapat
melindungi tebing sungai secara tidak langsung dari bahaya gerusan lokal karena
arus dan atau bahaya gejala meander, dan atau memindahkan/mengarahkan arus
sungai sesuai tujuannya. Selain itu krib juga berfungsi untuk memperdalam alur
sungai dengan cara mempersempit alur, yaitu dengan memasang serial krib.
Sosrodarsono dan Tominaga (1985) dalam bukunya menjelaskan bahwa secara
umum hal-hal yang perlu diperhatikan dalam perencanaan krib adalah sebagai
berikut:
a. Karena cara pembuatan krib sangat tergantung pada resim sungai, perlu
diperoleh data mengenai pengalaman pembuatan krib pada sungai yang sama
atau harnpir sarna, kemudahan pelaksanaanya dan besarnya pembiyayaan.
b. Untuk mengurangi turbulensi aliran pada sungai yang terlalu lebar, maka
permukaan air sungai normal harus dinaikan dengan krib yang panjang, dengan
memperhatikan biaya pelaksanaan dan pemeliharaannya.
c. Jika krib yang akan dibangun dimaksud pula untuk melindungi tebing sungai
terhadap pukulan air, panjflng krib harus dipehitungkan pula terhadap timbulnya
pukulan air pada tebing sungai di seberangnya.
d. Krib tidak berfungsi baik pada sungai keeil dan sempit alumya.

e. Apabila pembuatan krib dimaksudkan untuk menaikan permukaan normal air


sungai, perlu dipertimbangkan kapasitasnya disaat terjadinya debit yang lebih
besar atau debit banjir.
Penentuan tempat pemasangan krib, menurut SNI 03-1724-1989, harus disesuaikan
dengan fungsi dan tujuan yang ingin dicapai dalam pemasangan krib. Fungsi-fungsi
tersebut antara lain:
a. Pada tikungan luar sungai untuk melindungi tebing,
b. Pada tempat longsoran atau gerusan tebing untuk menormalkan kembali aliran,
atau
c. Pada alur sungai dengan debit kecil untuk memindahkan aliran, umpamanya
agar aliran dapat masuk ke bangunan pengambilan
Dimensi hidraulik krib, seperti: arah, tinggi, panjang, jarak, dan jumlah krib harus
didesain sedemikian rupa dengan berbagai pertimbangan teknis agar krib dapat
berfungsi dengan baik. Menurut Sosrodarsono dan Tominaga (1985) serta SNI 031724-1989, penentuan dimensi hidraulik krib harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
a. Penetapan arah krib
Arah krib harus ditentukan berdasarkan pertimbangan unsur morfologi sungai
yang harus diketahui dalam mendesain bangunan yaitu gejala atau perilaku
sungai, parameter gejala sungai, dan ukuran/ dimensi, serta fungsi yang hendak
dicapai.
b. Penetapan tinggi krib
Tinggi krib harus ditentukan berdasarkan elevasi bantaran sungai yang ada, atau
kira-kira setinggi elevasi muka air untuk debit dominan desain. Dalamnya
fondasi bangunan harus diletakkan di bawah elevasi kemungkinan gerusan lokal
dan degradasi terdalam yang akan terjadi. Untuk mengatasi masalah gerusan
lokal dan degradasi dasar sungai dapat dipasang lantai atau pelindung dasar
sungai. Umumnya akan lebih menguntungkan apabila evaluasi mercu krib dapat
dibuat serendah mungkin ditinjau dari stabilitas bangunan terhadap gaya yang
mempengaruhinya; sebaiknya elevasi mercu dibuat 0,50-1,00 meter diatas
elevasi rata-rata permukaan air rendah. Dari hasil pengamatan terhadap tinggi

berbagai jenis krib yang telah dibangun dan berfungsi dengan baik, diperoleh
angka perbandingan antara tinggi krib dan kedalaman air banjir (hg/h) sebesar
0,20 - 0,30.
c. Penetapan panjang dan jarak antar krib
Panjang dan jarak krib merupakan parameter hidraulik krib yang dalam
penentuannya saling mempengaruhi satu sama lain. Panjang dan jarak antar krib
ditetapkan secara empiris yang didasarkan pada pengamatan data sungai yang
bersangakutan antara lain situasi sungai, lebar sungai, kemiringan sungai, debit
banjir, kedalaman air, debit normal, transportasi sedimen dan kondisi sekeliling
sungai.
d. Penetapan jumlah krib
Di suatu tempat di sungai krib harus dibangun dalam suatu sistem dan tidak
boleh dibangun tunggal, karena krib tunggal tidak permit dapat berfungsi baik.
Tipe krib yang cocok untuk suatu lokasi haruslah ditentukan berdasarkan resim
sungai pada lokasi tersebut dengan memperhatikan tujuan pembuatannya, tingkat
kesulitan dan jangka waktu pelaksanaannya.
Jadi hal-hal yang perlu diperhatikan dan dipelajari adalah bentuk denah, kemiringan
memanjang dan bentuk penampung lintang krib, elevasi muka air, debit, kecepatan
arus bahan dasar dan arah pergeseran pada sungai. Selanjutnya tipe krib ditetapkan
berdasarkan fungsi hidrolika dari krib, pengalaman-pengalaman yang pemah ada dan
contoh-contoh bangunan krib-krib yang dibuat di waktu-waktu yang lalu. Dalam
proses penentuan tipe krib diperlukan perhatian khusus pada hal-hal sebagai berikut :
a. Krib permeabel yang rendah dengan konsolidasi pondasi biasanya cukup
memadai untuk melindungi tebing sungai.
b. Krib tidak cocok untuk sungai-sungai yang sempit alurya atau untuk sungaisungai kecil.
c. Krib permeabel bercelah besar, seperti krib tiang pancang.

REFERENSI:
7

Badan Standardisasi Nasional. 1989. SNI 03-1724-1989 Tentang Pedoman


Perencaanaan Hidrologi Dan Hidraulik Untuk Bangunan di Sungai.
Badan Standardisasi Nasional. Jakarta
Sosrodarsono, S. dan Tominaga, M. 1985. Perbaikan dan Pengaturan Sungai. Pradya
Paramita. Jakarta.

SOAL 3:
Apa saja yang dapat menyebabkan suatu PLTA menghasilkan output power yang
tidak memenuhi target output power rencana? Dan bagaimana pemecahan
masalahnya?
JAWABAN 3:
Prinsip PLTA dalam menghasilkan listrik adalah dengan cara konversi energi
potensial gerak jatuh air menjadi energi kinetik. Energi kinetik tersebut dikonversi
menjadi energi mekanik oleh turbin. Kemudian dari energi mekanik dikonversi
menjadi energi listrik dengan oleh generator.
Cara kerja PLTM dimulai dengan proses perubahan aliran air yang merupakan energi
potensial menjadi energi mekanis dalam bentuk putaran turbin, untuk kemudian
dikonversi menjadi energi listrik pada generator. Air yang mengalir pada kapasitas
tertentu, disalurkan pada ketinggian tertentu menuju rumah turbin. Turbin akan
menerima energi air tersebut, dan mengubahnya menjadi energi mekanik berupa
berputarnya poros turbin. Poros yang berputar kemudian ditransmisikan ke generator
dan akan dihasilkan energi listrik yang akan masuk ke sistem kontrol arus listrik
sebelum dialirkan ke rumah-rumah (QDC, Telecomunication and Power Instructure
Build and Invesment, 2014 dalam Harjanto, 2014).
Berdasarkan konstruksinya, ada dua cara pemanfaatan tenaga air untuk PLTA:
a. Membangun bendungan dan membuat reservoir untuk mengalirkan air ke turbin.
b. Memanfaatkan aliran air sungai tanpa membangun bendungan dan reservoir atau
yang sering disebut dengan Run-of-river Hydropower.
Arismunandar (1991) dalam Wibowo, dkk. menyatakan jika tinggi jatuh efektif
maksimum adalah Heff (m), Debit maksimum turbin adalah Q (m 3/dt), efisiensi dari
turbin dan generator masing-masing adalah t dan g maka daya yang dibangkitkan
oleh PLTA dapat dihitung dengan rumus berikut:
Daya Teoritis
Daya Turbin
Daya Generator

P = g x x Q x Hef (w)
P = g x x t x Q x Hef (w)
P = g x x g x t x Q x Hef (w)

Dengan:
P

= daya yang dihasilkan (kW)

= percepatan grafitasi = 9,81 (m/s2)

= massa jenis air = 1000 (kg/m3)

= debit pembangkit (m3/dtk)

Hef

= tinggi jatuh efektif (m)

= efisiensi turbin (ppm)

= efisiensi generator (rpm)

Sebagaimana dapat dipahami dari rumus tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan
bahwa berhasil tidaknya pembangkit listrik tenaga air tergantung pada usaha untuk
mendapatkan tinggi jatuh efektif dan debit yang benar sesuai dengan perhitungan
rencana. Selain itu pemilihan jenis turbin dan generator juga sangat berpengaruh
terhadap daya yang nantinya dihasilkan PLTA.
Dalam perencanaan sebuah PLTA terkait output power yang dihasilkan secara umum
dipengaruhi oleh hal-hal yang terkait desain hidraulik serta desain peralatan mekanik
dan elektrik. Perencanaan hidraulik meliputi: penentuan debit andalan, penentuan
kolam tando, penentuan bangunan pengambilan (intake), penentuan tinggi jatuh,
penentuan pipa pesat (penstock). Sedangkan perencanaan peralatan mekanik dan
elektrik meliputi: penentuan jenis turbin dan penentuan generator.
Terkait dengan tidak tercapainya output power PLTA sesuai rencana, kemungkinan
diakibatkan beberapa sebab berikut:
A. Penentuan Debit Andalan
Debit andalan didefinisikan sebagai debit yang tersedia guna keperluan tertentu
misalnya untuk keperluan irigasi, PLTA, air baku dan lain-lain sepanjang tahun,
dengan resiko kegagalan yang telah diperhitungkan. Setelah itu baru ditetapkan
frekuensi kejadian yang didalamnya terdapat paling sedikit satu kegagalan.
Dengan data cukup panjang dapat digunakan analisis statistika untuk mengetahui
gambaran umum secara kuantitatif besaran jumlah air (C.D. Soemarto,1986 dan

10

1987 dalam Tyas, dkk). Beberapa debit andalan untuk berbagai tujuan, antara
lain:
a. Penyediaan air minum 99%
b. Penyediaan air industri 95%-98%
c. Pusat Listrik Tenaga Air 85%-90%
Indarto, dkk. dalam laporannya, menjelaskan bahwa dalam perencanaan suatu
PLTA, debit perencanaan menggunakan debit andalan (dependable discharge).
Hal tersebut dimaksudkan guna menentukan debit yang diharapkan tersedia di
sungai untuk memperkirakan besarnya kapasitas terpasang.
Debit andalan ditentukan menggunakan lengkung durasi aliran (flow duration
curve) adalah suatu grafik yang memperlihatkan debit sungai dan selama
beberapa waktu tertentu dalam satu tahun. Lengkung durasi aliran digambarkan
dari data debit, sekurang-kurangnya selama 10 tahun.
Kesalahan dalam menentukan debit andalan berakibat tidak tercukupinya
kebutuhan air untuk memutar turbin. Hal ini berakibat pada tidak tercapainya
output power yang sesuai dengan rencana.
B. Penentuan Bangunan Pengambilan (Intake)
Bangunan pengambilan adalah bangunan air untuk mengelakkan air dari sungai
dalam jumlah yang diinginkan. Fungsi bangunan ini dalam perencanaan PLTA
adalah untuk membelokkan aliran air dari sungai dalam jumlah yang diinginkan
untuk kebutuhan PLTA. Besarnya bukaan pintu tergantung dengan kecepatan
aliran masuk yang diinginkan. Kecepatan ini tergantung pada ukuran butir bahan
yang diangkut.
Widiyanto dan Chakim (2010) menyatakan bahwa kapasitas pengambilan harus
sekurang-kurangnya 120% dari kebutuhan pengambilan (dimension requirement)
guna menambah fleksibilitas dan agar dapat memenuhi kebutuhan yang lebih
tinggi selama umur proyek. Hubungan antara debit rencana dan dimensi pintu
ditunjukkan dalam persamaan berikut:

11

Qn=1.2 Q
Qn= . a . b 2 gz
Dimana:
Qn = debit rencana (m3/s)
Q = kebutuhan air di (m3/s)

= koefisien debit

= tinggi bukaan (m)

= lebar bukaan (m)

= gaya gravitasi = 9,81 m/det2

= kehilangan tinggi energi pada bukaan antara 0,15 0,30 m

Kesalahan dalam perencanaan dimensi pintu maupun operasi bukaan pintu dapat
mengakibatkan debit air untuk memenuhi kebutuhan PLTA menjadi tidak
optimal. Tidak optimalnya kebutuhan air mengakibatkan tidak terpebuhinya
output power sesuai dengan rencana karena kemampuan air untuk memutar
turbin kurang maksimal.
C. Penentuan Dimensi Kolam Tando
Widiyanto dan Chakim (2010) menjelaskan bahwa pemakaian listrik selama
sehari atau 24 tidak tetap. Umumnya di Indonesia dapat disimpulkan bahwa
pemakaian listrik pada malam hari jauh lebih besar daripada pemakaian pada
siang hari. Misal pada siang hari debit yang diambil dari sungai lebih besar atau
melebihi kebutuhan sedangkan pada malam hari lebih kecil dari pada kebutuhan.
Karena itu pada siang hari debit disimpan pada reservoir harian untuk dipakai
malam hari ketika terdapat kekurangan air untuk memenuhi kebutuhan ataupun
sebaliknya. Dengan demikian grafik unit load curve selama sehari merupakan
dasar dalam perencanaan reservoir harian.
Volume storage kolam adalah besarnya volume penyimpanan di dalam kolam
tando untuk memenuhi keperluan PLTA. Volume kolam berfungsi untuk dapat
menjamin air tetap cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap saat baik untuk
debit rendah maupun debit puncak. Volume Kolam Tando adalah selisih antara

12

debit Ketersediaan dan Kebutuhan pada total waktu yang sama. Dalam hal ini
juga diperlukan grafik unit load curve sebagai faktor penetu besar kecilnya
volume kolam tando harian.
Kesalahan dalam menentukan tampungan kolam tando berakibat tidak
tercukupinya kebutuhan air untuk memutar turbin. Hal ini berakibat pada tidak
tercapainya output power yang sesuai dengan rencana.
D. Penentuan Tinggi Jatuh Effektif
Daya yang dihasilkan oleh PLTA sangat tergantung pada tinggi jatuh efektif atau
net head. Tinggi jatuh efektif adalah selisih antara elevasi muka air pada
bangunan pengambilan atau waduk (EMAW) dengan tail water level (TWL)
dikurangi dengan total kehilangan tinggi tekan (Ramos, 2000 dalam Tyas).
Persamaan tinggi jatuh efektif adalah:
Hef = EMAW TWL hl
Dimana:
Hef

= tinggi jatuh efektif (m)

EMAW = elevasi muka air waduk atau hulu bangunan pengambilan (m)
TWL
hl

= tail water level (m)


= total kehilangan tingi tekan (m)

Sumber: Tyas, dkk.

13

Gambar 3.1. Sketsa Tinggi Jatuh Effektif (Net Head)


Dari persamaan diatas dapat diketahui bahwa tinggi jatuh efektif dipengaruhi
oleh kehilangan tinggi tekan (head loss) yang terjadi di sepanjang saluran.
Kesalahan dalam menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi kehilangan
tinggi tekan dapat mengakibatkan tekanan air yang dihasilkan tidak sesuai lebih
kecil dari rencana. Analisa terhadap faktor-faktor yang mengakibatkan
kehilangan tinggi tekan harus dilakukan dengan cermat.
Perhitungan kehilangan tinggi tekan dibedakan dalam dua bagian yaitu
kehilangan tinggi tekan pada saluran terbuka dan kehilangan tinggi tekan pada
saluran tertutup (Widiyanto dan Chakim, 2010; Indarto, dkk.; Tyas, dkk.; dan
Triatmodjo, 1993).
a. Kehilangan tinggi tekan pada saluran terbuka
Kehilangan tinggi tekan pada saluran terbuka biasanya terjadi pada intake
pengambilan, saluran penghantar, dan penyaring (trashrack).
b. Kehilangan tinggi tekan pada saluran tertutup
Terjadi dua macam kehilangan energi pada saluran tertutup (penstock), yaitu
major losses dan minor losses. Major losses adalah kehilangan energi yang
timbul akibat gesekan dengan dinding pipa. Sedangkan minor losses
diakibatkan oleh tumbukan dan turbulensi, misal tejadi pada saat melewati
kisi-kisi (trashrack), perubahan penampang, belokan, sambungan, katub,
dll. (Widiyanto dan Chakim, 2010 dan Triatmodjo, 1993).
Persamaan umum kehilangan tinggi tekan menurut Linsley (1985) dalam Indarto
adalah sebagai berikut:
hl=k

V2
2g

Dimana :
hl = kehilangan tinggi tekan
V = kecepatan (m/s)
g = percepatan gravitasi (m/s2)

14

k = nilai koefisien kehilangan tinggi tekan, meliputi: koefisien kehilangan


tinggi tekan akibat saringan (trashrack), akibat pemasukan (entrance
losses), akibat belokan, akibat mulut pipa, akibat katup, akibat gesekan
(friction losses), dll.
E. Penentuan Pipa Pesat (Penstock)
Pipa pesat adalah pipa yang berfungsi untuk mengalirkan air dari tanki atas
(head tank) atau langsung dari bangunan pengambilan sampai ke turbin. Pipa
pesat ditempatkan di atas atau di bawah pernukaan tanah sesuai dengan keadaan
geografis dan geologi di mana pipa tersebut ditempatkan. Pipa merupakan
penyalur yang berhubungan langsung dengan runner turbin sehingga mulai titik
tersebut energi bisa direncanakan (Widiyanto dan Chakim, 2010). Perhitungan
awal diameter minimum penstock dapat diestimasi dengan persamaan:
D=0.72 Q
Dimana :
Q = debit rencana (m3/s)
F. Penentuan Jenis Turbin
Penentuan jenis turbin yang tepat juga berpengaruh terhadap daya yang nantinya
dihasilkan oleh PLTA. Energi mekanis putaran turbin nantinya akan dikonversi
oleh generator menjadi energi listrik. Adapun jenis-jenis turbin yang biasa
dipakai dalam PLTA adalah : Pelton Wheel atau Turgo Wheel, turbin Francis,
turbin Crossflow, turbin Propeller atau Kaplan.
Widiyanto dan Chakim (2010) menjelaskan bahwa pemilihan jenis turbin dapat
diperhitungkan dengan mempertimbangkan parameter parameter khusus yang
mempengaruhi sistem operasi turbin yaitu :
a. Tinggi jatuh efektif (net head) dan debit yang akan dimanfaatkan untuk
operasi turbin,
b. Daya (power) yang diinginkan berkaitan dengan head dan debit yang
tersedia,
15

c. Kecepatan putaran turbin.


Ketiga faktor diatas dinyatakan sebagai kecepatan spesifik turbin (Ns), dari
kecepatan spesifik dapat diketahui jenis turbin :
a. Ns = 9 s/d 25 untuk turbin Pelton dengan satu pancaran
b. Ns = 25 s/d 60 untuk turbin Pelton dengan lebih dari satu pancaran
c. Ns = 40 s/d 400 untuk turbin Francis
d. Ns = 260 s/d 860 untuk turbin Kaplan
e. Ns = 340 s/d 860 untuk turbin Propeller
Perbandingan karakteristik turbin dapat kita lihat pada grafik head dengan flow
(gambar 3.2) yang mengklasifikasikan turbin berdasarkan perbandingan tinggi
jatuh efektif dengan debit aliran.

Sumber: Sumber : Patty, O. 1995 dalam Wibowo

Gambar 3.2. Grafik Hubungan Head dan Flow


G. Penentuan Generator
Generator merupakan suatu alat yang dapat merubah energi gerak (mekanis) dari
putaran turbin menjadi energi listrik. Penggunaan generator yang kurang tepat
akan menghasilkan output power yang tidak sesuai dengan rencana.
Selain faktor-faktor diatas, sebab lain seperti perubahan tata gunalahan, saluran yang
tersumbat, dll bisa mempengaruhi ketersediaan debit air yang masuk ke PLTA.

16

Dalam menangani suatu PLTA yang memiliki output power tidak sesuai dengan
rencana (lebih kecil), maka perlu dilakukan evaluasi terhadap berbagai faktor
penyebabnya diatas. Tahapan dalam evaluasi adalah sebagai berikut:
a. Pastikan kembali perhitungan debit andalan sudah benar. Termasuk kelengkapan
data hidrologinya. Pastikan data yang digunakan untuk perhitungan benar-benar
mewakili kondisi sebenarnya.
b. Pastikan kembali dimensi dan operasi bukaan pintu intake. Apakah jumlah dan
tinggi bukaan pintu sudah dapat mengalirkan air sesuai dengan debit
perencanaan untuk mengisi kolam tando dan menjaga tinggi muka air di kolam
tando tetap stabil.
c. Pestikan kembali

dimensi

kolam

tando

terhadap

kemampuannya

penampungannya, apakah antara debit yang masuk dan keluar sudah seimbang
sehingga tinggi muka air dalam kolam tando tetap stabil. Hal ini untuk menjaga
besarnya tinggi jatuh effektif, sehingga energi untuk memutar turbin tetap stabil.
d. Pastikan perhitungan tinggi jatuh effektif sudah dihitung dengan benar. Pastikan
semua faktor kehilangan tinggi tekan sudah dimasukkan ke dalam hitungan.
e. Pastikan ukuran penstock sudah sesuai dengan kebutuhan berdasarkan debit
yang rencana dan tinggi jatuh effektifnya.
f. Pastikan kembali jenis turbin yang digunakan sudah sesuai dengan kebutuhan
dan memiliki kecepatan efektif yang tepat.
REFERENSI:
Harjono, Samuel. 2014. Studi Perencanaan Pembangkit Listrik Tenaga Air Tipe Run
Off River di Sungai Kladen Pacitan Menggunakan Metode Flow Duraton
Cuvre Majemuk. Universitas Brawijaya. Malang.
Indarto, A., Juwono, P. T., dan Rispningati. Kajian Potensi Sungai Srinjing Untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Brumbung di
Kabupaten Kediri. Universitas Brawijaya. Malang.
Triatmodjo, B. 1993. Hidraulika II. Cetakan ke 9 tahun 2013. Beta Offset.
Yogyakarta.
Tyas, E. C., Marsudi, S., dan Andawayanti, U. Studi Perencanaan Pembangkit Listrik
Tenaga Air di Bendungan Pandanduri Swangi Lombok Timur Nusa
Tenggara Barat. Universitas Brawijaya. Malang.

17

Wibowo, N. A., Dermawan, V., Harisuseno, D. Studi Perencanaan Pembangkit


Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Wamena di Kabupaten Jayawijaya
Provinsi Papua. Universitas Brawijaya. Malang.
Widiyanto, S. dan Chakim, S. 2010. Perencanaan Plta I Pada Kali Tuntang.
Universitas Diponegoro. Semarang.

18

SOAL 4:
Bagaimana perbedaan menghitung debit di saluran terbuka, aliran dalam tanah, dan
aliran limpasan?
JAWABAN 3:
A. Menghitung debit di saluran terbuka
Saluran terbuka (open channel flow) adalah saluran dimana air mengalir dengan
muka air bebas (Triatmodjo, 1993). Menurut Goodwill dan Sleigh (2005) beberapa
karakteristik aliran saluran terbuka adalah sebagai berikut:
a. aliran di saluran terbuka berhubungan langsung dengan atmosfer, sehingga
kondisi alirannya dipengaruhi oleh tekanan udara secara langsung.
b. Aliran saluran terbuka terjadi karena adanya pengaruh gravitasi (energi
potensial).
c. Pada aliran saluran terbuka kondisi aliran sangat dipengaruhi oleh kemiringan
saluran.
d. Pada aliran saluran terbuka garis kemiringan hidraulis tepat berada pada
permukaan air.
e. Kecepatan maksimum pada aliran saluran terbuka terjadi pada jarak sedikit di
bawah permukaan air.
f. Pada aliran saluran terbuka bentuk profil kecepatan aliran tergantung pada
kekasaran saluran.
Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu
penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam hitungan praktis, rumus yang
banyak digunakan untuk menghitung debit pada saluran terbuka adalah persamaan
kontinuitas. Pada persamaan ini debit sepanjang saluran dianggap seragam dengan
kata lain aliran bersifat kontinu. Persamaan kontinuitas adalah sebagai berikut:
Q= A . V

A 1 V 1= A2 V 2

konstan

Dimana :
A

= Luas basah penampang melintang saluran (m2)


19

= Kecepatan rata-rata aliran (m/s)

= Debit aliran (m3/s)

Dari persamaan diatas maka dapat diketahui bahwa variabel pembentuk debit (Q)
adalah kecepatan (V) dan luas tampang basah (A).
Besarnya kecepatan aliran pada saluran terbuka memiliki banyak variabel yang
selalu berubah, maka dari itu perhitungan kecepatan pada aliran saluran terbuka
banyak dikembangkan rumus-rumus empiris. Beberapa rumus-rumus empiris yang
banyak digunakan untuk menghitung kecepatan pada saluran terbuka adalah sebagai
berikut:
a. Rumus Chezy
Chezy berusaha mencari hubungan bahwa zat cair yang melalui saluran terbuka
akan menimbulkan tegangan geser (tahanan) pada dinding saluran, dan akan
diimbangi oleh komponen gaya berat yang bekerja pada zat cair dalam arah
aliran. Di dalam aliran seragam, komponen gaya berat dalam arah aliran adalah
seimbang dengan tahanan geser, dimana tahanan geser ini tergantung pada
kecepatan aliran (Triatmodjo, 1993). Setelah melalui beberapa penurunan rumus,
akan didapatkan persamaan umum :
V =C RI
R=

A
P

Dimana:
V

= Kecepatan rata-rata aliran (m/s)

= Koefisien Chezy

= Kemiringan memanjang saluran

= Jari-jari hidraulis saluran (m)

= Luas Penampang basah (m2)

= Keliling Penampang basah (m)

20

Dari persamaan diatas banyak ahli yang mengembangkan beberapa bentuk


koefisien Chezy (C). Koefisien tersebut tergantung pada bentuk tampang
melintang, bahandinding saluran, dan kecepatan aliran.
b. Rumus Bazin
Bazin mengusulkan pengembangan persamaan koefisien Chezy (C) dengan
rumus sebagai berikut:
87
C=
B
1+
R
Dimana:
C

= Koefisien Chezy

B = Koefisien kekasaran Bazin (tergantung pada kekasaran dinding)


R

= Jari-jari hidraulis saluran (m)


Tabel 4.1. Koefisien Kekasaran Bazin
Jenis Dinding
Dinding sangat halus (semen)

B
0.06

Dinding halus (papan, batu, bata)

0.16

Dinding batu pecah

0.46

Dinding tanah sangat teratur

0.85

Saluran tanah dengan kondisi biasa

1.30

Saluran tanah dengan dasar batu pecah da tebing rumput

1.75

a. Rumus Manning
Robert Manning mengusulkan pengembangan persamaan koefisien Chezy (C)
dengan rumus sebagai berikut:
1
C= R1 /6
n
Dengan koefisien tersebut maka rumus kecepatan aliran menjadi:
1 2/ 3 1/ 2
V= R I
n
Dimana:
V

= Kecepatan rata-rata aliran (m/s)


21

= Koefisien Chezy

= Kemiringan memanjang saluran

= Jari-jari hidraulis saluran (m)

= Koefisien Manning (fungsi dari bahan dinding saluran)


Tabel 4.2. Harga Koefisien Manning

Besi tuang dilapis

n
0.014

Kaca

0.010

Saluran beton

0.013

Bata dilapis mortar

0.015

Pasangan baru disemen

0.025

Saluran tanah bersih

0.022

Saluran tanah

0.030

Saluran dengan dasar batu dan tebing rumput

0.040

Saluran pada galian batu padas

0.040

Bahan

b. Rumus Ganguillet-Kutter
Ganguillet dan Kutter mengusulkan pengembangan persamaan koefisien Chezy
(C) dengan rumus sebagai berikut:
0.00155 1
23+
+
I
n
C=
0.00155 n
1+ 23+
I
R

Dimana:
C

= Koefisien Chezy

= Kemiringan memanjang saluran

= Jari-jari hidraulis saluran (m)

= Koefisien Manning

Pada rumus ini untuk nilai kemiringan memanjang saluran kecil (dibawah
0.0001) nilai 0.00155/I menjadi besar dan rumus tersebut menjadi kurang teliti.
c. Rumus Strickler

22

Stricler mencari hubungan antara nilai koefisien (n) dari rumus Manning dan
rumus Ganguillet-Kutter, sebagai fungsi dari dimensi material yang membentuk
dinding saluran. Untuk dinding (dasar dan tebing) dari material yang tidak
koheren, koefisien Strickler ks diberikan oleh rumus berikut:
1 /6
1
R
k s= =26
n
d 35

( )

Dengan koefisien tersebut tersebut, maka rumus kecepatan aliran menjadi:


V =k s R 2/ 3 I 1/ 2
Dimana:
V

= Kecepatan rata-rata aliran (m/s)

= Koefisien Chezy

= Kemiringan memanjang saluran

= Jari-jari hidraulis saluran (m)

= Koefisien Manning (fungsi dari bahan dinding saluran)

ks = Koefisien Strickler
d35 = Diameter yang berhubungan dengan 35% berat dari material dengan
diameter yang lebih besar (m)
B. Menghitung debit aliran dalam tanah
Menurut Kodoatie dan Sjarif (2005) air tanah selalu bergerak dari daerah yang lebih
tinggi yang biasa disebut sebagai recharge area (pada umumnya berapa pada tempat
dimana air hujan terserap dipermukaan tanah/ tersaring melalui butir-butir tanah)
menuju ke daerah yang lebih rendah yang biasa disebut discharge area (tempat
dimana air tanah muncul ke permukaan dalam bentuk mata air, rembesa/ seepage,
atau limpasan pada sumur).
Rembesan air dalam tanah hampir selalu berjalan secara linier, yaitu jalan atau garis
yang ditempuh merupakan garis dengan bentuk yang teratur (smooth curve)
(Hamzah, dkk., 2008). Pada tahun 1856, Darcy memperkenalkan suatu persamaan
sederhana yang digunakan untuk menghitung debit aliran air tanah yang mengalir
dalam tanah jenuh (dinamakan Hukum Darcy), dinyatakan sebagai berikut:

23

q=

Q
h
=k
A
l

Dimana:
q

= Satuan debit (unit discharge) atau debit spesifik (spesific discharge) sama
dengan Q/A (m/s). q (flux) dapat disebut juga laju aliran dibagi luas potongan
melintang dan mempunyai dimensi sama dengan kecepatan. Oleh karen aitu
kadang-kadang dikenal sebagai kecepatan Darcy atau Darcy Flux.

Q = Debit aliran (m3/s)


A

= Luas suatu potongan (m2)

= Keinggian hidraulik (hydraulic head) (m)

= jarak 2 potongan yang ditinjau (m)

-k = Konduktifitas hidraulik (hydraulic conductivity) (m/s), besarnya bervariasi


tergantung dari jenis tanah, mulai dari 10-13 10-10 m/s untuk lempung (clay),
10-8 10-5 m/s untuk lanau (silt), 10-5 10-2 m/s untuk pasir (sand), 10-2 1
m/s untuk kerikil (gravel).
Dari persamaan diatas maka debit aliran dalam tanah dapat dihitung menggunakan
rumus:
Q=V . A

Q= k

h
A
l

C. Menghitung debit aliran limpasan


Metode rasional banyak digunakan untuk memperkirakan debit puncak yang
ditimbulkan oleh hujan deras pada daerah tangkapan (DAS) kecil. Suatu DAS
disebut kecil apabila distribusi hujan dapat dianggap seragam dalam ruang dan
waktu, dan biasanya durasi hujan melebihi waktu konsentrasi. Beberapa ahli
memandang bahwa luas DAS kurang dari 2.50 km 2 dapat dianggap sebagai DAS
kecil (Ponce, 1989 dalam Triatmojo, 2008).

24

Pemakaian metode rasional sangat sederhana, dan sering digunakan dalam


perencanaan drainasi perkotaan. Beberapa parameter hidrologi yang diperhitungkan
adalah intensitas hujan, durasi hujan, frekwensi hujan, luas DAS, abstraksi
(kehilangan air akibat evaporasi, intersepsi, infiltrasi, tampungan permukaan) dan
konsentrasi aliran. Metode rasional didasarkan pada persamaan berikut:
Q=0.278 CIA

Dimana:
Q = Debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan dengan intensitas, durasi, dan
frekwensi tertentu (m3/s)
I

= Intensitas hujan (mm/jam)

= Luas daerah tangkapan (km2)

= Koefisien aliran yang tergantung pada jenis permukaan lahan, yang nilainya
seperti pada Tabel 4.3. berikut:
Tabel 4.3. Koefisien Limpasan untuk Metode Rasional.

25

Sumber: Mc Guen, 1989 dalam Suripin 2003

REFERENSI:
Goodwill, I.M. dan Sleigh, A. 2005. Fluid Mecanics Section 2: Open Channel
Hydraulics. Full Notes Lectures. School of Civil Engineering University

of

Leeds.

Leeds.

http://www.efm.leeds.ac.uk/CIVE/

CIVE2400/OpenChannelHydraulics2.pdf. 7 Maret 2015.


Hamzah, S. M. dkk. 2008. Pemodelan Perembesan Air Dalam Tanah. Semnas
Matematika dan Pendidikan Matematika 2008. P: 1-346 1-353
Kodoatie, R. J, dan Sjarif, R. 2005. Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu. Edisi
Revisi Tahun 2008. Penerbit Andi. Yogyakarta.
Suripin, 2003. Sistem Drainase Kota Yang Berkelanjutan. Penerbit Andi. Yogyakarta.

26

Susilo, H. Rekayasa Hidrologi, Modul 10, Air Tanah. Universitas Mercu Buana.
Jakarta
Triatmodjo, B. 1993. Hidraulika II. Cetakan ke 9 tahun 2013. Beta Offset.
Yogyakarta.
Triatmodjo, B. 2008. Hidrologi Terapan. Cetakan ke 3 tahun 2013. Beta Offset.
Yogyakarta.

27

SOAL 5:
Hydraulic jump apakah selalu terjadi pada bangunan pengatur tingi muka air atau
pintu air (sluice gate)? Apa yang mempengaruhi hydraulic jump?
JAWABAN 5:
Hydraulic jump atau loncat air terjadi apabila tipe aliran disaluran berubah dari aliran
superkritis menjadi subkritis. Loncat air merupakan salah satu contoh dari aliran
berubah cepat (rapidly varied flow). Sketsa terjadinya loncat air ditunjukkan dalam
Gambar 5.1. dimana menunjukkan tampang memanjang saluran dengan kemiringan
berubah dari kemiringan curam menjadi landai. Aliran di bagian hulu adalah
superkritis sedang di bagian hilir adalah subkritis. Diantara kedua tipe aliran tersebut
terdapat daerah transisi dimana loncat air terjadi (Triatmojo, 1993).

Sumber: Triatmodjo, 1993

Gambar 5.1. Loncat Air


Pada loncat air, kecepatan berkurang secara mendadak dari V1 menjadi V2. Sejalan
dengan itu kedalaman aliran juga bertambah dengan cepat dari y1 menjadi y2
(Gambar 5.2.).

Gambar 5.2. Perubahan Kecepatan dan Kedalaman Aliran Pada Loncat Air

28

Pada loncat air dapat dilihat olakan air yang sangat besar, yang disertai dengan
berkurangnya energi aliran. Setelah loncat air, aliran menjadi tenang dengan
kedalaman besar dan kecepatan kecil.
Chow (1959), berdasarkan nilai angka Froude (Fr), loncat air pada saluran datar/
horisontal dapat dibedakan menjadi 5 tipe; Fr yang dimaksud di sini adalah Fr1
(sebelum loncat air). Lima tipe tersebut meliputi:
a. Tipe loncatan berombak/ undular jump
Terjadi pada Angka Froude, Fr1 = 1 - 1.7, loncat air yang terjadi hanya berupa
deretan gelombang berombak di permukaan air; pembuangan energi yang terjadi
hanya berkisar 5 %.
b. Tipe loncatan lemah/ weak jump
Terjadi pada Froude, Fr1 = 1.7 - 2.5, pada kondisi ini gulungan ombak mulai
pecah, dan akan timbul loncatan air yang lemah; pembuangan energi yang terjadi
berkisar 5 % - 15 %.
c. Tipe loncatan berosilasi/ oscillating jump
Pada angka Froude, Fr1 = 2.5 - 4.5 akan terjadi loncatan berosilasi (oscillating
jump), yang berupa loncat air dengan gelombang dibelakangnya; pembuangan
energi yang terjadi berkisar 15 % - 45 %.
d. Tipe loncatan tunak/ steady jump
Loncatan yang terbaik dalam peredaman energi adalah loncat air dengan Angka
Froude, Fr1 = 4.5 - 9.0, yang disebut sebagai loncatan tetap (steady jump); pada
loncatan ini tidak terjadi gelombang air di hilir; pembuangan energi yang terjadi
berkisar 45 % - 70 %.
e. Tipe loncatan kuat/ strong jump
Untuk nilai Angka Froude, Fr1 > 9, maka akan terjadi loncatan kuat (strong
jump) yang menimbulkan gelombang air di hilirnya; pembuangan energi yang
terjadi berkisar 70 % - 85 %.

29

Sumber: Chow, 1959

Gambar 5.3. Berbagai Macam Tipe Loncat Air


Pada kondisi di lapangan loncat air sering terjadi di sebelah hilir bangunan pelimpah
atau disebelah hilir pintu air. Loncat air ini dipengaruhi oleh perubahan angka Froude
aliran. Dimana Fr < 1 adalah aliran subkritik, Fr > 1 adalah aliran superkritik, dan Fr
= 1 adalah aliran kritik. Perhitungan angka Froude (Fr) tiap tampang melintang pada
kasus loncat air seperti Gambar 5.2. dapat dihitung sesuai dengan persamaan berikut:
Fr1 =

V1
g y1
dimana

1
y 2= y 1 ( 1+ 8 Fr 121 )
2
Dimana:
Fr1 = Angka Froude disebelah hulu
V1 = Kecepatan aliran disebelah hulu (m/s)
g

= Percepatan grafitasi (m/s2)

y1 = Kedalaman air di sebelah hulu (m)


y2 = Kedalaman air di sebelah hilir (m)
Pada pintu air, dimana tinggi muka air di hulu dan di hilir selalu terjadi perbedaan
akibat operasi buka-tutup pintu air, maka peluang terjadinya loncat air juga sangat
besar. Secara umum skema terjadinya loncat air pada pintu air digambarkan pada
Gambar 5.4. berikut:

30

Gambar 5.4. Skema Terjadinya Loncat Air Pada Pintu Air (Sluice Gate).
Sesuai dengan konsep terjadinya loncat air, akibat adanya perubahan tipe aliran di
saluran dari aliran superkritis menjadi subkritis. Adanya perubahan tipe aliran ini
sangat dipengaruhi oleh tinggi bukaan pintu yang pada akhirnya mengakibatkan
adanya perubahan tinggi muka air di hulu maupun di hilir pintu air.
Menurut Turner (1973) loncat air pada pintu air dapat terjadi di hilir maupun di hulu
pintu air. Loncat air di hilir pintu dapat terjadi sesuai dengan skema pada Gambar
5.4. pada kondisi ini pintu air dibuka sebagian sehingga air keluar lewat bagian
bawah pintu dan menghasilkan aliran superkritik dengan Fr > 1. Ketika aliran ini
bertemu dengan aliran subkritik dengan Fr > 1 di hilir pintu maka transisi kedua tipe
aliran ini menjadi loncat air. Kondisi ini oleh beberapa ahli disebut juga dengan
standing hydraulics jump, karena posisi terjadinya dan panjang loncat air berada
pada kondisi tetap.
Loncat air di hulu bendung dapat terjadi ketika sebuah saluran air mengalir bebas
dengan kondisi aliran superkritis dengan Fr > 1, kemudian dilakukan penutupan
pintu secara tiba-tiba. Hal ini mengakibatkan tinggi muka air di hulu pintu
mengalami peningkatan dan menimbulkan gelombang yang bergerak ke arah hulu
hingga pada suatu kondisi tertentu dimana tinggi muka air di hulu pintu menjadi
stabil dan berubah menjadi aliran subkritik dengan Fr > 1. Karena lompat air yang
ditimbulkan mengalami pergerakan ke arah hulu, maka beberapa ahli menyebut
kondisi ini dengan travelling hydraulics jump. Kondisi ini juga bisa disebut dengan
back water.

31

Pada pintu air terkadang juga tidak mengalami loncat air sama sekali. Hal ini terjadi
karena aliran air yang mengalir di bawah pintu air mengalir bebas tanpa ada
hambatan dari aliran air di hilir. kejadian ini bisa terjadi pada kondisi dimana ketika
pintu air di buka, disebelah hilirnya dalam kondisi tidak ada air (atau kering).
Kesimpulan :
a. Pada pintu air, loncat air tidak selalu bisa terjadi.
b. Loncat air bisa terjadi di hilir maupun di hulu pintu. Loncat air di hilir pintu
disebut standing hydraulics jumpsedangkan loncat air di hulu pintu disebut
travelling hydraulics jump.
REVERENSI:
Chow, Ven Te. 1959. Open-Channel Hydraulics. Mc Grow-Hill Book Company.
London.
Triatmodjo, B. 1993. Hidraulika II. Cetakan ke 9 tahun 2013. Beta Offset.
Yogyakarta.
Turner, J. S. 1973. Buoyancy Effects in Fluids. Cambridje University Press. New
York.

32

SOAL 6:
Faktor apa saja yang mempengaruhi panjang hydraulics jump?
JAWABAN 6:
Panjang loncat air dapat didefinisikan sebagai jarak yang diukur dari suatu titik tepat
sebelum (hulu) loncatan air (pusaran) sampai dengan suatu titik tepat di belakang
(hilir) pusaran. Panjang loncat air tidak bisa ditentukan dengan rumus teoritis, namun
banyak ahli hidraulika yang telah melakukan penelitian tentang panjang loncat air ini
(Chow, 1973; Triatmojo, 1993). Beberapa penelitian yang telah dilakukan mengenai
panjang loncat air di saluran horizontal disajikan pada Tabel 6.1. berikut:
Tabel 6.1. Hasil Penelitian Mengenai Panjang Loncat Air

Jika kemiringan dasar saluran cukup besar maka rumus loncat air yang diperoleh
pada saluran horisontal tidak dapat digunakan, karena adanya komponen berat zat
cair (aliran) pada dasar saluran miring yang tidak dapat diabaikan. Loncat air pada
saluran miring dapat dibedakan menjadi beberapa tipe (Peterka, 1963; Rajaratnam,
1967) disajikan dalam Tabel 6.2. berikut:
Tabel 6.2. Tipe Loncat Air pada Saluran Miring
No.
1

Tipe Loncat Air


Loncat Air Tipe A

Gambar

Awal loncat air terjadi pada pertemuan


antara saluran miring dan saluran
datar.

33

No.
2

Tipe Loncat Air


Loncat Air Tipe B

Gambar

Awal loncat air terjadi pada saluran


miring, dan akhir loncat air terjadi
pada saluran datar
3

Loncat Air Tipe C


Loncat air berada pada saluran miring,
dengan akhir loncat air terjadi pada
pertemuan saluran miring dan saluran

datar
Loncat Air Tipe D
Semua bagian loncat air berada pada
saluran miring; saluran datar berada di
bagian hilirnya

Loncat Air Tipe E


Loncat air pada saluran miring (tanpa
saluran datar)

Loncat Air Tipe F


Loncat air yang terjadi pada saluran
dengan

kemiringan

dasar

negatif

(adverse)
Penentuan loncat air Tipe A, B, C, D dapat dilakukan dengan persamaan dibawah ini
dengan skema pengaliran seperti pada Gambar 6.1.
y2 1

y1 2

1 8G

2
1

Dimana menurut Rajaratnam, dalam derajat


G1 = K Fr1 K = 10
y1

d1
cos

34

0.027

y2
1

y1
2

1 8 Fr

2
1

maka
Dimana:
Lj

= Panjang loncat air (m)

y1 = Kedalaman di sebelah hulu (m)


yt = Kedalaman di sebelah hilir/ tail water depth (m)
y2 = kedalaman air subkritik yang diberikan dengan rumus loncat air pada saluran
miring (m)
y2* = Kedalaman air subkritik yang diberikan dengan rumus loncat air pada saluran
horisontal (m)

Loncat air tipe A

Loncat air tipe B

Loncat air tipe C

Loncat air tipe D

Gambar 6.1. Skema Loncat Air Pada Saluran Miring


Adapun langkah-langkah dalam penentuan tipe loncat air terbeut sesuai dengan
bagan alir Gambar 6.2. berikut:

35

Gambar 6.2. Bagan Alir Penentuan Tipe Loncat Air pada Saluran Miring
Kesimpulan:
Hal-hal yang mempengaruhi panjang dan posisi terjadinya loncat air, antara lain:
perbedaan tinggi muka air di hulu dan di hilir, kecepatan aliran, serta bentuk
penampang memanjang aliran(saluran miring atau horizontal).
REVERENSI:
Chow, Ven Te. 1959. Open-Channel Hydraulics. Mc Grow-Hill Book Company.
London.
Triatmodjo, B. 1993. Hidraulika II. Cetakan ke 9 tahun 2013. Beta Offset.
Yogyakarta.

36

SOAL 7:
Transformasi aliran dari subkritis ke superkritis dan aliran dari superkritis ke
subkritis terjadi pada apa? Beri penjelasan!
JAWABAN 7:
Triatmodjo (1993) berpendapat aliran melalui saluran terbuka dapat dibedakan
mejadi aliran subkritis (mengalir) dan aliran superkritis (meluncur). Diantara kedua
tipe aliran tersebut adalah aliran kritis. Aliran disebut subkritis apabila suatu
gamngguan (misalnya batu dilempar kedalam aliran sehingga menimbulkan
gelombang) yang terjadi di suatu titik pada aliran dapat menjalar ke arah hulu. Aliran
subkritis dipengaruhi oleh kondisi hilir, dengan kata lain keadaan di hilir akan
mempengaruhi aliran di sebelah hulu. Apabila kecepatan aliran cukup besar sehingga
gangguan yang terjadi tidak menjalar ke hulu maka aliran ini adalah aliran
superkritis. Dalam hal ini kondisi di hulu akan mempengaruhi aliran di sebelah hilir.
Penentuan tipe aliran dapat didasarkan pada nilai angka Froude (Fr), yang
mempunyai bentuk Fr = V/

gy

, dengan V dan y adalah kecepatan dan

kedalaman aliran. Sebuah aliran disebut subkritis apabila Fr < 1, kritis apabila Fr =
1, dan superkritis apabila Fr > 1.
Menurut Suroso, perubahan kondisi aliran dari subkritis ke aliran superkritis atau
dari superkritis ke subkritis pada jarak yang pendek dikenal sebagai gejala lokal
(local phenomenon). Gejala lokal yang sering ditemui adalah:
a. Penurunan hidraulik (hydraulics drop) berupa loncatan bebas (free overfall)
Penurunan hidraulik terjadi apabila tipe aliran disaluran berubah dari aliran
subkritis menjadi superkritis dalam jarak yang pendek. Penurunan hidraulik
terjadi akibat dasar saluran tiba-tiba terputus (terjunan). Penurunan hidraulik
biasanya terjadi pada saluran dengan kemiringan kecil dimana kedalaman
kritisnya adalah 1.4 kali kedalaman ditepi (yc = 1.4 y0). Pada penurunan hidraulik
letak kedalaman kritis berada 3 yc hingga 4 yc dari tepi terjunan. Penurunan
hidraulik pada umunya terjadi pada pelimpah bendung dengan ambang tajam

37

serta alat ukur debit dengan ambang tajam seperti Thompson dan Rechbock.
Skema terjadinya penurunan hidraulik seperti pada Gambar 7.1.

Gambar 7.1. Penurunan Hidraulik Ditafsirkan dari Lengkung Energi Spesifik.


b. Loncat air/ loncatan hidralik (hyraulics jump)
Hydraulic jump atau loncat air terjadi apabila tipe aliran disaluran berubah dari
aliran superkritis menjadi subkritis. Loncat air merupakan salah satu contoh dari
aliran berubah cepat (rapidly varied flow). Sketsa terjadinya loncat air
ditunjukkan dalam Gambar 7.2. dimana menunjukkan tampang memanjang
saluran dengan kemiringan berubah dari kemiringan curam menjadi landai.
Aliran di bagian hulu adalah superkritis sedang di bagian hilir adalah subkritis.
Diantara kedua tipe aliran tersebut terdapat daerah transisi dimana loncat air
terjadi (Triatmojo, 1993). Loncat air biasa terjadi pada kolam olakan di hilir
bendung, spillway, maupun pintu air. Fenomena loncat air dimanfaatkan untuk
meredam energi aliran agar tidak terjadi gerusan di hilir kolam olakan. Skema
terjadinya penurunan hidraulik seperti pada Gambar 7.3.

Sumber: Triatmodjo, 1993

38

Gambar 7.2. Loncat Air

Gambar 7.1. Loncat Air Ditafsirkan dari Lengkung Energi Spesifik.


REVERENSI:
Suroso, Agus. Mekanika Fluida dan Hidraulika. Pusat Pengembangan Bahan Ajar
Universitas Mercu Buana. Jakarta.
Triatmodjo, B. 1993. Hidraulika II. Cetakan ke 9 tahun 2013. Beta Offset.
Yogyakarta.

39

SOAL 8:
Apakah tsunami termasuk translatory wave? Beri penjelasan!
JAWABAN 8:
Sugito, (2008) menjelaskan bahwa istilah tsunami berasal dari bahasa Jepang. Tsu
berarti pelabuhan dan nami berarti gelombang, sehingga tsunami dapat diartikan
sebagai gelombang pelabuhan. Tsunami adalah sebuah ombak yang terjadi setelah
terjadinya gempa bumi, gempa laut, gunung meletus, atau hantaman meteor di laut.
Tsunami tidak terlihat saat masih berada jauh di tengah laut. Begitu mencapai
wilayah dangkal, gelombang tsunami yang bergerak cepat ini akan semakin
membesar. Tenaga setiap tsunami adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan
kelajuannya. Apabila gelombang menghampiri pantai, ketinggiannya meningkat
sementara kelajuannya menurun.
Gelombang tersebut bergerak pada kelajuan tinggi. Gelombang tsunami hampir tidak
dapat dirasakan efeknya oleh kapal laut (misalnya) saat melintas di laut dalam, tetapi
ketinggiannya meningkat hingga 30 meter atau lebih di daerah pantai. Gerakan
vertikal dari dasar laut akan menaikkan atau menurunkan air yang berada di atasnya.
Kejadian itu akan mendorong gelombang bergerak keluar. Gerakan yang semula
tidak terasa dari dalam laut, tiba-tiba muncul sebagai tsunami yang menghantam
pinggir pantai.
Dalam Webber (1971) dijelaskan bahwa translatory wave atau gelombang translasi
adalah gelombang akibat gravitasi yang mengalir dalam saluran terbuka dan
mengakibatkan pergantian air pada arah yang paralel dengan aliran. Salah satu
contoh gelombang translasi adalah gelombang banjir.
Seperti halnya gelombang banjir, gelombang tsunami juga mengalami perambatan
gelombang dari sumber terjadinya gelombang (pada kasus tsunami sumber
gelombang bisa berupa gempa bumi, gempa laut, gunung meletus, atau hantaman
meteor di laut) menyebar menuju ke area sekitarnya. Pada tsunami gelombang yang
terjadi menyebar kearea sekitar, sedangkan gelombang banjir bergerak searah alur
sungai. Hal ini dikarenakan pergerakan gelombang banjir di sungai tertahan oleh

40

batasan badan sungai, sehingga air gelombang bergerak menuju daerah dengan
tekanan lebih kecil (ke arah hilir).
Berdasarkan karakteristik gelombang pada tsunami, maka dapat di simpulkan bahwa
tsunami merupakan salah satu bentuk dari gelombang translasi, namun dalam skala
besar.
REVERENSI:
Sugito, N. T. 2008. Tsunami. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung
Webber, N, B. 1971. Fluids Mecanics for Civil Engineers. Chapman & Hall. London.

41

Anda mungkin juga menyukai