Anda di halaman 1dari 3

Demokrasi "Roller Coaster" Oleh: Budiarto Danujaya

Pasca-Dekrit Presiden 1959, perjalanan konstitusi kita mirip roller coaster Dunia Fantasi
Ancol. Mula-mula dikerek amat perlahan bak bergeming, lalu melewati satu titik,
mendadak meluncur cepat, bebas, dan terontang-anting sehingga banyak penumpangnya
merasa mual dan lalu menganggapnya kebablasan.
Di masa Orde Baru, UUD 1945 amat dikeramatkan sehingga ketidakmungkinan
perubahannya merupakan bagian absolutisme penataran Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila. Di masa Reformasi, perubahan justru terjadi bertubi-tubi, dalam
arti repetitif maupun ekstensif; entahlah dalam hal intensif. Azyumardi Azra mencatat,
empat kali perubahan dari 1999 sampai 2002 menghasilkan 174 ketentuan ubahan dari
seluruh 199 ketentuan yang tercakup dalam UUD 1945 Perubahan. (Kompas, 27/3) Jadi,
tak kurang dari 87,5 persen sehingga banyak pihak merasa pangling.
Persoalannya, konstitusi bukanlah sejenis roller coaster. Di sisi lain, konstitusi juga bukan
sejenis kuil keramat yang harus diberhalakan. Konstitusi, termasuk yang tertulis seperti
UUD 1945, merupakan dasar acuan hukum bagi segenap peraturan dan ketentuan
perundangan yang mengatur seluruh sistem pemerintahan dan kehidupan sosial-politik.
Meski demikian, konstitusi tertulis juga hanya merupakan produk sekelompok manusia
pada selarik masa sehingga bersifat fana belaka.
Dinamika dan kepastian hukum
Jelas, masalahnya bukan apakah UUD 1945 perlu berubah sekali lagi, boleh terus
berubah, atau tidak boleh berubah sama sekali dan sebaiknya kembali ke UUD 1945 yang
asli. Masalahnya, lebih pada seberapa mendesak perubahan perlu dilakukan pada sebuah
konstitusi sebagai produk "keadaan materiil dan spirituil dari masa ia dibuat", dalam arti
seberapa pejal masih mampu menghadapi dinamika perubahan zaman. (M Budiardjo:
2000)
Perubahan konstitusi adalah soal dinamika masyarakat yang sah dan alamiah sehingga
wajar belaka. Mungkin yang mengundang kernyit dahi adalah masih wajarkah jika dalam
waktu kurang dari tiga tahun terjadi perubahan empat kali dan akan diubah satu kali lagi?
Betapapun, konstitusi merupakan produk sebuah proses politik, dan sebaliknya
merupakan panduan sekaligus koridor bagi pengembangan kerangka kerja politik. Di sini
kita berbicara tentang dasar-dasar hukum bagi sistem pemerintahan dan kehidupan sosialpolitik 200 juta jiwa warga, yang sosialisasinya bukan perkara sehari dua hari. Menilik
hal itu, seyogianya sebuah konstitusi tidak kelewat gampang berubah-ubah mengikuti
irama genderang perubahan politik agar lebih dapat memberi kepastian hukum bagi
segenap warganya. Jika diadakan angket, diyakinibahkan hasil amandemen yang
pertama sekalipunbelum tersosialisasikan kepada 1 persen penduduk negeri ini.

Sempit dan sesaat


Kekhawatiran itu satu tema dengan kecemasan Fareed Zakaria atas situasi demokrasi
"overdosis" politik dunia saat ini. Pemerintahan, khususnya pengejawantahan kebijakan,
menjadi sulit efektif karena terus direcoki politik harian atas nama "demokrasi" dalam
perwujudan formalistiknya pada permainan angka yang disebut pungutan suara. (F
Zakaria: 2004)
"Atas nama rakyat"Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lebih suka menyebut
"kehendak rakyat"sebagai acuan, merupakan label artikulasi politik yang terlalu mudah
diucapkan di negeri ini, termasuk terkait tuntutan perubahan konstitusi. Repotnya, kita
tak pernah sungguh tahu kehendak Rakyat selain agar beras lebih murah, harga BBM
dan listrik tidak naik, lapangan kerja lebih lapang, atau ganti rugi Lapindo dan bantuan
bencana jangan cuma jadi wacana.
Zakaria mengingatkan, alih-alih identik dengan kehendak Rakyat, para wakil rakyat itu
tak lebih dari minoritas elite Tocquevillean. Maksudnya, sekelompok kecil elite politik
yang dengan mengatasnamakan rakyat berpotensi tiwikrama menjadi tirani mayoritas
lewat demokrasi angka, seperti kecemasan masyhur Alexis de Tocqueville saat melawat
ke AS hampir dua abad silam. (A de Tocqueville: 1969)
John Dewey percaya, penyakit demokrasi hanya bisa disembuhkan dengan menambah
dosis demokrasi. Dalam banyak kasus, Zakaria melihat sebaliknya: perlu dikurangi. Salah
satu contohnya, undang-undang pajak pendapatan federal AS. Undang-undang ini
berrevolusi dari 14 menjadi 2.000 halaman plus 6.000 halaman peraturan, dengan 480
lembar formulir pajak plus 280 lembar penjelasannya, yang setiap tahun membebani
rakyat AS 100 miliar dollar AS (lebih dari Rp 900 triliun). Padahal, menurut perhitungan
Dale Jorgenson, Kepala Departemen Ekonomi Harvard, jika menerapkan pajak konsumsi
model flat-rate saja, pendapatan pajaknya justru akan meningkat dua kali lipat plus ekstra
pertumbuhan ekonomi lebih dari 200 miliar dollar AS per tahun.
Undang-undang ini berkembang menjadi kompleks, buang waktu, dan mahal karena satu
alasan: politik demokrasi. Terlalu banyak sisipan akibat kepentingan politik sesaat dan
sempit dari para politisi untuk menggolkan klausul-klausul yang menguntungkan
program-program, kelompok-kelompok, maupun perusahaan-perusahaan favorit mereka.
Sebaliknya, banyak lembaga, seperti Uni Eropa atau Federal Reserve AS, justru efektif
karena disekat dari tekanan politik harian. Demokrasi perlu lebih meluangkan delegasi
karena pengejawantahan kebijakan sering punya tuntutan teknis, spesialisasi, maupun
ekspertis tinggi, sementara proses politik harian sering amat diwarnai kepentingan
sempit, sesaat, dan dipenuhi orang-orang yang sebetulnya amatir dalam bidang yang
dibahas. Baginya, proses politik seyogianya berhenti pada menggariskan garis besar
panduan, konteks menyeluruh dan jangka panjang, lalu mendelegasikan pengejawantahan
pada birokrasi atau instansi yang diberi kelapangan independensi dari terlalu banyak
campur tangan politik harian.

Kesimpulan akhir itu sebaiknya ditaruh dalam tanda kurung dulu mengingat demokrasi
Indonesia masih bocah dan rapuh sehingga bisa mengundang pemerintahan otoriter
kembali. Meski demikian, kecemasan akan bahaya kepentingan sempit dan perspektif
jangka pendek politik harian ini kiranya juga menggema dalam konteks politik kita.
Berbagai perubahan UUD 1945 dan pertikaian artikulasi politik di baliknya bukan hanya
kerap diwarnai kepentingan politik sempit dan perspektif jangka pendek, tetapi juga
terkesan grusa-grusu. Perubahan yang terus berulang dalam waktu pendek, dan kembali
diragukan banyak pihak, kiranya sudah bertutur dengan sendirinya. Usulan dan
perdebatan bahkan sempat memunculkan kembali ide-ide yang menunjukkan
kemunduran ke era konsolidasi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan
mengancam kesadaran akan kemajemukan masyarakat kita.
Ke depan, kita berharap rancangan perubahan semacam ini menghadirkan paket utuh
yang saksama, multifaset, menyeluruh, dan berjangka panjang sehingga sanggup bertahan
lama guna mengoridori sistem pemerintahan dan kehidupan sosial politik kita karena
pejal terhadap dinamika masyarakat. Tentu tak ada konstitusi yang tak lapuk dimakan
umur, tetapi setidaknya jangan sampai kita harus berjumpalitan menyesuaikan diri
dengan perubahan konstitusi setiap pergantian rezim.
Zakaria menandaskan, dalam situasi sekrisis perang sekalipun, tak ada demokrasi yang
pernah mengendalikan lewat pungutan suara setiap pekan. Demokrasi bukan cuma
perkara angka, tetapi nilai, semangat, dan prinsip.
URL Source: http://kompas.com/kompas-cetak/0704/04/opini/3425096.htm
BUDIARTO DANUJAYA Pengajar Filsafat Politik Departemen Filsafat UI
Keterangan Artikel
Sumber: Kompas
Tanggal: 03 Apr 07
Catatan: URL Artikel : http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=7918&coid=3&caid=3
Copyright 2007 Uni Sosial Demokrat, http://www.unisosdem.org

Anda mungkin juga menyukai