PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Human immunodeficiency virus (HIV) adalah retrovirus yang menginfeksi sel-sel
sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak fungsinya. Selama infeksiberlangsung,
sistem kekebalan tubuh menjadi lemah, dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.
Tahap yang lebih lanjut dari infeksi HIV adalah acquired immunodeficiency syndrome
(AIDS). Hal inidapat memakan waktu 10-15tahun untukorang yangterinfeksi HIVhingga
berkembang menjadiAIDS; obat antiretroviral dapat memperlambat proses lebih jauh.HIV
ditularkan melalui hubungan seksual(anal atau vaginal), transfusi darah yang terkontaminasi,
berbagi jarum yang terkontaminasi, dan antara ibu dan bayinyaselama kehamilan, melahirkan
dan menyusui[8]
Kehamilan adalah keadaan mengandung embrio atau fetus didalam tubuh, setelah
penyatuan sel telur dan spermatozoon. Kehamilan ditandai dengan berhentinya haid; mual
yang timbul pada pagi hari (morning sickness); pembesaran payudara dan pigmentasi puting;
pembesaran abdomen yang progresif. Tanda-tanda absolut kehamilan adalah gerakan janin,
bunyi jantung janin, dan terlihatnya janin melalui pemerikasaan sinar-X, atau USG[9].
AIDS (Acquired Immuno Deficiency Syndrome) adalah sindrom gejala penyakit
infeksi oportunistik atau kanker tertentu akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh oleh
infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) (Fogel, 1996)[9].
Menurut laporan CDR (Center for Disease Control) Amerika mengemukakan bahwa
jumlah wanita penderita AIDS di dunia terus bertambah, khususnya pada usia reproduksi.
Sekitar 80% penderita AIDS anak-anak mengalami infeksi prenatal dari ibunya.
Seroprevalensi HIV pada ibu prenatal adalah 0,0-1,7%, saat persalinan 0,4-0,3% dan 9,429,6% pada ibu hamil yang biasa menggunakan narkotika intravena[10].
Wanita usia produktif merupakan usia yang berisiko tertular infeksi HIV. Dilihat dari
profil umur, ada kecendrungan bahwa infeksi HIV pada wanita mengarah ke umur yang lebih
muda, dalam arti bahwa usia muda lebih banyak terdapat wanita yang terinfeksi, sedangkan
pada usia di atas 45 tahun infeksi pada wanita lebih sedikit. Dilain pihak menurut para ahli
kebidanan bahwa usia reproduktif merupakan usia wanita yang lebih tepat untuk hamil dan
melahirkan. Hasil survey di Uganda pada tahun 2003 mengemukakan bahwa prevalensi HIV
di klinik bersalin adalah 6,2%, dan satu dari sepuluh orang Uganda usia antara 30-39 tahun
positif HIV-AIDS perlu diwaspadai karena cenderung terjadi pada usia reproduksi[10].
Kehamilan merupakan usia yang rawan tertular HIV-AIDS. Penularan HIV-AIDS
pada wanita hamil terjadi melalui hubungan seksual dengan suaminya yang sudah terinfeksi
HIV. Pada negara berkembang isteri tidak berani mengatur kehidupan seksual suaminya di
luar rumah. Kondisi ini dipengaruhi oleh sosial dan ekonomi wanita yang masih rendah, dan
isteri sangat percaya bahwa suaminya setia, dan lagi pula masalah seksual masih dianggap
tabu untuk dibicarakan[10].
Wanita hamil lebih berisiko tertular Human Immunodeficien Virus (HIV)
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Jika HIV positif, wanita hamil lebih sering
dapat menularkan HIV kepada mereka yang tidak terinfeksi daripada wanita yang tidak hamil
International Microbicides Conference 2010, abstract
#8). Peningkatan kerentanan untuk terinfeksi HIV selama kehamilan adalah mereka yang
berperilaku seks bebas dan mungkin karena penyebab biologis yang tidak diketahui[11].
Sebagaimana diketahui penderita HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS
(Acquired Immunodeficiency Syndrome) meningkat setiap tahunnya di seluruh dunia,
terutama di Afrika dan Asia. Diperkirakan dewasa ini terdapat puluhan juta penderita
HIV/AIDS. Sekitar 80% penularan terjadi melalui hubungan seksual, 10% melalui suntikan
obat (terutama penyalahgunaan narkotika), 5% melalui transfusi darah dan 5% dari ibu
melalui plasenta kepada janin (transmisi vertikal). Angka terjadinya transmisi vertikal
berkisar antara 13-48%[12].
Pada pemeriksaan antenalal (ANC), pada ibu hamil biasanya dilakukan pemeriksaan
laboratorium terhadap penyakit menular seksual. Namun, ibu hamil memiliki otonomi untuk
menyetujui atau menolak pemeriksaan terhadap HIV, setelah diberikan penjelasan yang
memuaskan mereka dan dokter harus menghormati otonomi pasiennya. Bagi ibu hamil yang
diperiksa dan ternyata HIV sero-positif, perlu diberi kesempatan untuk konseling mengenai
pengaruh kehamilan terhadap HIV, risiko penularan dari ibu ke anak, tentang pemeriksaan
dan terapi selama hamil, rencana persalinan, masa nifas dan masa menyusui[12].
Kerahasiaan perlu dijaga dalam melaporkan kasus-kasus HIV sero-positif. Dalam hal
ini diserahkan kepada ibu bersangkutan untuk menyampaikan hasilnya kepada pasangannya,
perlu dipertimbangkan untuk ruginya membuka rahasia pekerjaan dokter. Tentulah dalam
memabuka rahasia ini akan berpengaruh terhadap hubungannya dengan keluarga, temanteman, dan kesempatan kerja, juga berkurangnya kepercayaan pasien terhadap dokternya[12].
Untuk pasangan infertil yang menginginkan teknologi reproduksi yang dibantu dan
salah satu atau keduanya terinfeksi HIV adalah etis, jika kepada mereka diberikan pelayanan
tersebut. Dengan kemanjuan pengobatan masa kini, penderita HIV dapat hidup lebih panjang
dan risiko penularan dari ibu ke anak berkurang. Dokter dengan HIV positif tidak perlu
memberitahukan pasiennya tentang dirinya, tetapi harus berhati-hati melakukan tindakantindakan medik yang mengandung risiko, seperti pembedahan obstetrik dan ginekologi, serta
berhati-hati dengan alat-alat yang digunakan[12].
Kasus HIV dan AIDS disebabkan oleh transmisi heteroseksual. Kehamilan pada ibu
dengan AIDS menimbulkan dilema, yaitu perkembangan penyakit, pilihan penatalaksanaan,
dan kemungkinan transmisi vertikal pada saat persalinan. Transmisi infeksi lewat plasenta ke
janin lebih dari 80%. Antibodi ibu melewati plasenta, dan dapat diteliti melalui uji bayi
mereka. Uji antiboti bayi dapat menentukan status HIV ibu. Uji terbaru untuk bayi adalah
reaksi rantai polimer (polymerase chain reaction, PCR) yang mengidentifikasi virus HIV
neonatus. Diperlukan pemeriksaan virus HIV yang terintegrasi pada pemeriksaan rutin ibu
hamil untuk melindunginya[13].
2.2 Epidemiologi
Penyakit AIDS dewasa ini telah terjangkit dihampir setiap negara didunia (pandemi),
termasuk diantaranya Indonesia. Hingga November 1996 diperkirakan telah terdapat
sebanyak 8.400.000 kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta orang dewasa dan 1,7 juta anakanak. Di Indonesia berdasarkan data-data yang bersumber dari Direktorat Jenderal P2M dan
PLP Departemen Kesehatan RI sampai dengan 1 Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS
sebanyak 685 orang yang dilaporkan oleh 23 propinsi di Indonesia. Data jumlah penderita
HIV/AIDS di Indonesia pada dasarnya bukanlah merupakan gambaran jumlah penderita yang
sebenarnya. Pada penyakit ini berlaku teori Gunung Es dimana penderita yang kelihatan
hanya sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO mengestimasikan bahwa dibalik
1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200 penderita HIV yang belum
diketahui[2].
Sampai saat ini obat dan vaksin yang diharapkan dapat membantu memecahkan
masalah penanggulangan HIV/AIDS belum ditemukan. Salah satu alternatif dalam upaya
menanggulangi problematik jumlah penderita yang terus meningkat adalah upaya pencegahan
yang dilakukan semua pihak yang mengharuskan kita untuk tidak terlibat dalam lingkungan
transmisi yang memungkinkan dapat terserang HIV[2].
Epidemi HIV di Indonesia telah berlangsung 20 tahun. Sejak tahun 2000 epidemi
tersebut sudah mencapai tahap terkonsentrasi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalens > 5%), yaitu pengguna Napza suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Situasi demikian menunjukkan bahwa pada umumnya Indonesia berada
pada tahap concentrated epidemic. Situasi penularan ini disebabkan kombinasi transmisi HIV
melalui penggunaan jarum suntik tidak steril dan transmisi seksual di antara populasi berisiko
tinggi. Di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat), keadaan yang meningkat ini
ternyata telah menular lebih jauh, yaitu telah terjadi penyebaran HIV melalui hubungan
seksual berisiko pada masyarakat umum (dengan prevalens > 1%). Situasi di Tanah Papua
menunjukkan tahapan telah mencapai generalized epidemic[14].
Epidemi HIV yang terkonsentrasi ini tergambar dari laporan Departemen Kesehatan
(Depkes) tahun 2006. Sejak tahun 2000 prevalens HIV mulai konstan di atas 5% pada
beberapa sub-populasi berisiko tinggi tertentu. Dari beberapa tempat sentinel, pada tahun
2006 prevalens HIV berkisar 21% 52% pada penasun, 1%-22% pada WPS, dan 3%-17%
pada waria[14].
Situasi epidemi HIV juga tercermin dari hasil Estimasi Populasi Dewasa Rawan
Tertular HIV pada tahun 2006. Diperkirakan ada 4 juta sampai dengan 8 juta orang paling
berisiko terinfeksi HIV dengan jumlah terbesar pada sub-populasi pelanggan penjaja seks
(PPS), yang jumlahnya lebih dari 3,1 juta orang dan pasangannya sebanyak 1,8 juta.
Sekalipun jumlah sub-populasinya paling besar namun kontribusi pelanggan belum sebanyak
penasun dalam infeksi HIV. Gambaran tersebut dapat dilihat dari hasil estimasi orang dengan
HIV dan AIDS (ODHA) di Indonesia tahun 2006, yang jumlahnya berkisar 169.000-217.000,
dimana 46% diantaranya adalah penasun sedangkan PPS (Peria Penjajah Seks)14%[12].
Prevalensi HIV-AIDS menurun dikalangan wanita hamil pendapat ini berdasarkan
hasil survey di daerah perkotaan Kenya terutama di Busnia, Meru, Nakura, Thika, dimana
rata-rata prevalensi HIV menurun tajam dari kira-kira 28% pada tahun 1999 menjadi 9% pada
tahun 2003. Di wilayah India prevalensi secara nasional dikalangan wanita hamil masih
rendah di daerah miskin padat penduduk yaitu Negara bagian utara Uttar Pradesh dan Bihar.
Tetapi peningkatan angka penularan relatif kecil dapat berarti sejumlah besar orang terinfeksi
karena wilayah tersebut dihuni oleh seperempat dari seluruh populasi India. Prevalensi HIV
lebih dari 1% ditemukan dikalangan wanita hamil, di wilayah industri di bagian barat dan
selatan India[12].
Namun data terbaru dari Afrika Selatan memperlihatkan bahwa prevalensi HIV
dikalangan wanita hamil saat ini telah mencapai angka tertinggi, yaitu 29,5% dari seluruh
wanita yang mengunjungi
Prevalensi tertinggi adalah dikalangan wanita usia 25-34 tahun atau lebih yaitu satu dari tiga
wanita yang diperkirakan akan terinfeksi HIV. Tingkat prevalensi yang tertinggi melebihi
30% dikalangan wanita hamil masih terjadi juga pada empat Negara lain di wilayah
Botswana, Lesotho, Nambia dan Swaziland[10].
2.3 Etiologi
Penyebab AIDS adalah sejenis virus yang tergolong Retrovirus yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Virus ini pertama kali diisolasi oleh Montagnier dan kawankawan di Prancis pada tahun 1983 dengan nama Lymphadenopathy Associated Virus (LAV),
sedangkan Gallo di Amerika Serikat pada tahun 1984 mengisolasi (HIV) III. Kemudian atas
kesepakatan internasional pada tahun 1986 nama firus dirubah menjadi HIV[3].
Muman Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam bentuknya
yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau melukai sampai ia
masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T, karena ia mempunyai
reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel Lymfosit T, virus dapat
berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap hidup lama dalam sel dengan
keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh pengidap HIV selalu dianggap
infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat ditularkan selama hidup penderita
tersebut[3].
`
Secara mortologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan bagian
selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian RNA
(Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein. Bagian selubung
terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120 berhubungan dengan reseptor
Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus (lemak) tidak tahan panas, bahan kimia,
maka HIV termasuk virus sensitif terhadap pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar
matahari dan mudah dimatikan dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol,
jodium hipoklorit dan sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar
utraviolet[3].
Virus HIV hidup dalam darah, saliva, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh.
HIV dapat juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak[3].
2.4 Pathogenesis
HIV merupakan retrovirus yang ditransmisikan dalam darah, sperma, cairan vagina,
dan ASI. Cara penularan telah dikenal sejak 1980-an dan tidak berubah yaitu secara; seksual
hubungan seksual, kontak dengan darah atau produk darah, eksposur perinatal, dan menyusui.
HIV muncul sebagai epidemic global pada akhir tahun 1970. Pada tahun 2007 diperkirakan
33 juta orang diseluruh dunia hidup dengan HIV, 2 juta orang meninggal dari komplikasi
AIDS, dan 15 juta anak-anak menjadi yatim piatu akibat kehilangan salah satu atau kedua
orang tua mereka karena AIDS[6].
Secara umum ada 5 faktor yang perlu diperhatikan pada penularan suatu penyakit
yaitu sumber infeksi, vehikulum yang membawa agent, host yang rentan, tempat keluar
kuman dan tempat masuk kuman (portd entre)[3].
Transmisi human immunodefiency virus (HIV) terjadi terutama melalui pertukaran
cairan tubuh (misalnya darah, semen, peristiwa perinatal). Depresi berat pada sistem imun
selular menandai sindrom immunodefiensi didapat (AIDS). Walaupu populasi berisiko tinggi
telah didokumentasi dengan baik,semua wanita harus dikaji untuk mengetahui[16].
Begitu HIV memasuki tubuh, serum HIV menjadi positif dalam 10 minggu pertama
pemaparan. Walaupun perubahan serum secara total asimptomatik, perubahan ini disertai
viremia, respons tipe-influenza terhadap infeksi HIV awal. Gejala meliputi demam, malaise,
mialgia, mual, diare, nyeri tenggorok, dan ruam dan dapat menetap selama dua sampai tiga
minggu[16].
Virus HIV sampai saat ini terbukti hanya menyerang sel Lymfosit T dan sel otak
sebagai organ sasarannya. Virus HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh. Sebagai
vehikulum yang dapat membawa virus HIV keluar tubuh dan menularkan kepada orang lain
adalah berbagai cairan tubuh. Cairan tubuh yang terbukti menularkan diantaranya semen,
cairan vagina atau servik dan darah penderita[3].
Banyak cara yang diduga menjadi cara penularan virus HIV, namun hingga kini cara
penularan HIV yang diketahui adalah melalui[3]:
1. Transmisi Seksual
Penularan melalui hubungan seksual baik Homoseksual maupun Heteroseksual
merupakan penularan infeksi HIV yang paling sering terjadi. Penularan ini berhubungan
dengan semen dan cairan vagina atau serik. Infeksi dapat ditularkan dari setiap pengidap
infeksi HIV kepada pasangan seksnya. Resiko penularan HIV tergantung pada pemilihan
pasangan seks, jumlah pasangan seks dan jenis hubungan seks. Pada penelitian Darrow
(1985) ditemukan resiko seropositive untuk zat anti terhadap HIV cenderung naik pada
hubungan seksual yang dilakukan pada pasangan tidak tetap. Orang yang sering berhubungan
seksual dengan berganti pasangan merupakan kelompok manusia yang berisiko tinggi
terinfeksi virus HIV.
a. Homoseksual
Didunia barat, Amerika Serikat dan Eropa tingkat promiskuitas homoseksual
menderita AIDS, berumur antara 20-40 tahun dari semua golongan rusial.
Cara hubungan seksual anogenetal merupakan perilaku seksual dengan resiko tinggi bagi
penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari
seseorang pengidap HIV. Hal ini sehubungan dengan mukosa rektum yang sangat tipis dan
mudah sekali mengalami pertukaran pada saat berhubungan secara anogenital.
b. Heteroseksual
Di Afrika dan Asia Tenggara cara penularan utama melalui hubungan heteroseksual
pada promiskuitas dan penderita terbanyak adalah kelompok umur seksual aktif baik pria
maupun wanita yang mempunyai banyak pasangan dan berganti-ganti.
2. Transmisi Non Seksua
a. Transmisi Parenral
- Yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya (alat tindik) yang telah
terkontaminasi, misalnya pada penyalah gunaan narkotik suntik yang menggunakan jarum
suntik yang tercemar secara bersama-sama. Disamping dapat juga terjadi melaui jarum suntik
yang dipakai oleh petugas kesehatan tanpa disterilkan terlebih dahulu. Resiko tertular cara
transmisi parental ini kurang dari 1%.
- Darah/Produk Darah
Transmisi melalui transfusi atau produk darah terjadi di negara-negara barat sebelum tahun
1985. Sesudah tahun 1985 transmisi melalui jalur ini di negara barat sangat jarang, karena
darah donor telah diperiksa sebelum ditransfusikan. Resiko tertular infeksi/HIV lewat trasfusi
darah adalah lebih dari 90%.
b. Transmisi Transplasental
Penularan dari ibu yang mengandung HIV positif ke anak mempunyai resiko sebesar 50%.
Penularan dapat terjadi sewaktu hamil, melahirkan dan sewaktu menyusui. Penularan melalui
air susu ibu termasuk penularan dengan resiko rendah.
PENULARAN HIV DARI WANITA KEPADA BAYINYA
Penularan HIV ke ibu bisa akibat hubungan seksual yang tidak aman (biseksual atau
hommoseksual), pemakaian narkoba injeksi dengan jarum bergantian bersama penggidap
HIV, tertular melalui darah dan produk darah, penggunaan alat kesehatan yang tidak steril,
serta alat untuk menorah kulit. Menurut CDC penyebab terjadinya infeksi HIV pada wanita
secara berurutan dari yang terbesar adalah pemakaian obat terlarang melalui injeksi 51%,
wanita heteroseksual 34%, dtransfusi darah 8%, dan tidak diketahui sebanyak 7%[17].
Cara penularan virus HIV-AIDS pada wanita hamil dapat melalui hubungan seksual.
Salah seorang peneliti mengemukakan bahwa penularan dari suami yang terinfeksi HIV ke
isterinya sejumlah 22% dan isteri yang terinfeksi HIV ke suaminya sejumlah 8%. Namun
penelitian ain mendapatkan serokonversi (dari pemeriksaan laboratorium negatif menjadi
positif) dalam 1-3 tahun dimana didapatkan 42% dari suami dan 38% dari isteri ke suami
dianggap sama[10].
Penularan HIV dari ibu ke bayi dan anak bisa melalui darah, penularan melalui
hubungan seks. Penularan dari ibu ke anak karena wanita yang menderita HIV atau AIDS
sebagian besar (85%) berusia subur (15-44 tahun) sehingga terdapat resiko penularan infeksi
yang bisa terjadi saat kehamilan (in utero). Berdasarkan laporan CDC Amerika prevalensi
penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7%. Bila ibu baru terinfeksi HIv dan
belum ada gejala AIDS kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20-35%, sedangkan kalau
gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50%[17].
Penularan juga terjadi pada proses persalinan melalui transfuse fetomaternal atau
kontak antara kulit atau membrane mukosa bayi dan darah atau sekresi maternal saat
melahirkan. Semakin lama proses persalinan semakin besar resiko, sehingga lama persalinan
bisa dicegah dengan operasi section caesarea. Transmisi lain terjadi selama periode post
partum melalui ASI, resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10%[17].
Kasus
HIV-AIDS
disebabkan
oleh
heteroseksual.
Virus
ini
hanya
dapat
ditularkanmelalui kontak langsung dengandarah, semen, dan sekret vagina. Dan sebagian
besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual. HIV tergolong netrovirus yang
memiliki materi genetik RNA. Bilamana virus masuk kedalam tubuh penderita (sel hospes),
maka RNA diubah menjadi DNA oleh enzim reverse transcriptase. DNA provirus tersebut
diintegrasikan kedalam sel hospes dan selanjutnya diprogramkan untuk membentuk gen
virus[10].
Penularan secara vertikal dapat terjadi setiap waktu selama kehamilan atau pada
periode intrapartum atau postpartum. HIV ditemukan pada jaringan fetal yang berusia 12 dan
24 minggu dan terinfeksi intrauterin sejumlah 30-50% yang penularan secara vertikal terjadi
sebelum persalinan, serta 65% penularan terjadi saat intrapartum. Pembukaan serviks, vagina,
sekresi serviks dan darah ibu meningkatkan risiko penularan selama persalinan. Lingkungan
biologis, dan adanya riwayat ulkus genitalis, herpes simpleks, dan SST (Serum Test for
Syphilis) yang positif meningkatkan prevalensi infeksi HIV karena adanya luka-luka
merupakan tempat masuknya HIV. Sel-sel limfosit T4/CD4 yang mempunyai reseptor untuk
menangkap HIV akan aktif mencari luka-luka tersebut dan selanjutnya memasukkan HIV
tersebut ke dalam peredaran darah[10].
Perubahan anatomi dan fisiologi maternal berdampak pula pada perubahan uterus,
serviks dan vagina, dimana terjadi hepertropi sel otot oleh karena meningkatnya elastisitas
dan penumpukan jaringan fibrous, yang menghasilkan vaskularisasi, kongesti, udem pada
trimester pertama, keadaan ini mempermudah erosi ataupun lecet pada saat hubungan
seksual. Keadaan ini juga merupakan media untuk masuknya HIV. Penularan HIV yang
paling sering terjadi antara pasangan yang salah satunya sudah terinfeksi HIV mendekati 20%
setelah melakukan hubungan seksual dengan tidak menggunakan kondom[10].
Peneliti lain mengemukakan faktor yang dapat meningkatkan penularan HIV
heteroseksual dengan tidak menggunakan kondom pada saat melakukan hubungan seksual
dengan pasangan yang memiliki lesi pada organ vital, yang disebabkan oleh infeksi sifilis
atau herpes simpleks, meningkatkan transfer virus melalui lesi sehingga terjadi kerusakan
membran mukosa dan merangsang limfosit CD4 untuk bergabung dengan jaringan yang
mengalami inflamasi[10].
PERIODE PRENATAL
Insiden HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (ACOG, 1992a). Riwayat
kesehatan, pemeriksaan fisik, dan pemeeriksaan laboratorium harus meregleksikan perkiraan
ini jika wanita dan bayi baru lahir akan menerima perawatan yang tepat. Individu yang
berada pada kategori infeksi HIV meliputi[16]:
1. wanita dan pasangan dari daerah geografi tempat HIV umum terjadi;
2. wanita dan pasangan yang menggunakan obat-obatan intravena;
3. wanita dengan PMS persisten dan PMS rekuren;
4. wanita yang menerima transfuse darah antara tahun 1987 dan 1985;
5. setiap wanita yang yakin bahwa ia mungkin terpapar HIV.
Informasi tentang HIV dan ketersediaan pemeriksaan HIV harus ditawarkan kepada
wanita berisiko tinggi pada saat pertama kali mereka dating ke perawatan prenatal. Hasil
negative pada pemeriksaan HIV prenatal pertama bukan suatu garansi bahwa titer selanjutnya
akan negative[16].
Pemeriksaan prenatal juga dapat menunjukkan adanya gonrorea, C. trachomatis,
hepatitis B, Micobacterium tuberculosis, kandidiasis (infeksi orofaring atau infeksi vaginal
Demam
Malaise
Ruam
Myalgia
Sakit kepala
Meningitis
Kehilangan napsu makan
Berkeringat
dengan nodul-nodul kutan berwarna merah kebiruan, biasanya pada pada ekstremitas bawah
yang ukuran dan jumlahnya membesar dan menyebar ke daerah yang lebih proksimal)
Pneumoncystis
Wasting syndrome
Gejala infeksi HIV pada wanita hamil, uumnya sma dengan wanita tidak hamil atau
orang dewasa. infeksi HIV memberikan gambaran klinis yang tidak spesifik dengan spectrum
yang lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatik) pada stadium awal sampai pada
gejala-gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan
gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbl 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama
lagi[15].
Banyak orang yang terinfeksi HIV tidak menunjukkan gejala apapun. mereka merasa
sehat dan juga dari luar Nampak sehat-sehat saja. Namun orang yang terinfeksi HIV akan
menjadi pembawa dan penular HIV kepada orang lain[15].
Kelompok orang-orang HIV tanpa gejala dapat dibagi menjadi dua kelompok
yaitu[15]:
1. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tetapi tanpa gejala dan tes darahnya negatif. pada
tahap dini ini antibody terhadap HIV belum terbentuk. Waktu antara masuknya HIV disebut
window period yang memerlukan waktu antara 15 hari sampai 3 bulan setelah terinfeksi HIV.
2. kelompok yang sudah terinfeksi HIV, tanpa gejala tetapi tes darah positif. Keadaan tanpa
gejala ini dapat berlangsung lama sampai 5 tahun atau lebih.
CDC (Center for Disease Control, USA, 1986) menetapkan klasifikasi infeksi HIV
pada orang dewasa sebagai berikut[6]:
Kelompok I: infeksi akut
Kelompok II: infeksi asimptomatik
Kelompk III: Infeksi Limpadenopati Generalisata Persisten (LGP)
Hitung darah lengkap (HDL) dan jumlah limfosit total: Bukan diagnostic pada bayi baru
2.7 Penatalaksanaan
Pengalaman program yang signifikan dan bukti riset tentang HIV dan pemberian
makanan untuk bayi telah dikumpulkan sejak rekomendasi WHO untuk pemberian makanan
bayi dalam konteks HIV terakhir kali direvisi pada tahun 2006. Secara khusus, telah
dilaporkan bahwaantiretroviral (ARV) intervensi baik ibu yang terinfeksi HIV atau janin yang
terpapar HIVsecara signifikan dapat
melalui menyusui. Bukti ini memiliki implikasi besar untuk bagaimana perempuan yang
hidup dengan HIV mungkin dapat memberi makan bayi mereka, dan bagaimana para pekerja
kesehatan harus nasihati ibu-ibu ini. Bersama-sama, intervensi ASI dan ARV memiliki
potensi secara signifikan untuk meningkatkan peluang bayi bertahan hidup sambil tetap tidak
terinfeksi HIV[19].
Meskipun rekomendasi 2010 umumnya konsisten dengan panduan sebelumnya,
mereka mengakui dampak penting dariARV selama masa menyusui, dan merekomendasikan
bahwa otoritas nasional di setiap negarauntuk memutuskan praktik pemberian makan bayi,
seperti menyusui yaitu dengan intervensi ARVuntuk mengurangi transmisi atau menghindari
menyusui, harus dipromosikan dan didukung oleh layanan Kesehatan Ibu dan Anak mereka.
Hal ini berbeda dengan rekomendasi sebelumnya di mana petugas kesehatan diharapkan
untuk memberikan nasihat secara individual kepada semua ibu yang terinfeksi HIV tentang
berbagai macam pilihan pemberian makanan bayi, dan kemudian ibu-ibu dapat memilih cara
untuk pemberian makanan bayinya[19].
diketahui terinfeksi HIV sekarang direkomendasikan untuk menyusui bayi mereka setidaknya
sampai usia 12 bulan. Rekomendasi bahwa makanan pengganti tidak boleh digunakan kecuali
jikadapat diterima, layak, terjangkau, berkelanjutan dan aman (AFASS) [19].
Pemberian antiretroviral bertujuan agar viral load rendah sehingga jumlah virus yang
ada dalam darah dan cairan tubuh kurang efektif untuk menularkan HIV. Obat yang bisa
dipilih untuk negara berkembang adalah Nevirapine, pada saat ibu saat persalinan diberikan
200mg dosis tunggal, sedangka bayi bisa diberikan 2mg/kgBB/72 jam pertama setelah lahir
dosis tunggal. Obat lain yang bisa dipilih adalah AZT yang diberikan mulai kehamilan 36
minggu 2x300mg/hari dan 300mg setiap jam selama persalinan berlangsung [17].
Intervensi Terapetik Antiretrovirus
Terapi yang sekarang berlaku menghadapi masalah membidik berbagai harapan dalam
proses masuknya virus ke dalam sel dan replikasi virus, memanipulasi gen virus untuk
mengendalikan produksi protein virus, membangun kembali sistem imun, mengkombinasikan
terapi, dan mencegah resistensi obat. Dua pemeriksaan laboratorium, hitung sel T CD4+ dan
kadar RNA HIV serum, digunakan sebagai alat untuk memantau risiko perkembangan
penyakit dan menentukan waktu yang tepat untuk memulai atau memodifikasi regimen obat.
Hitung sel T CD4+ memberikan informasi mengenai status imunologik pasien yang sekarang,
sedangkan kadar RNA HIV serum (viral load) memperkirakan prognosis klinis (status hitung
sel T CD4+ dalam waktu dekat). Hitung RNA HIV sebesar 20.000 salinan/ml (2x104)
dianggap oleh banyak pakar sebagai indikasi untuk memberikan terapi antiretrovirus berapa
pun hasil hitung sel T CD4+. Pengukuran serial kadar RNA HIV dan sel T CD4+ serum
sangat bermanfaat untuk mengetahui laju perkembangan penyakit, angka pergantian virus,
hubungan antara pengaktivasian sistem imun dan replikasi virus, dan saat terjadinya resistensi
obat antiretrovirus disebabkan oleh penurunan kadar RNA HIV[20].
Tujuan utama terapi antivirus adalah penekanan secara maksimum dan berkelanjutan
jumlah virus, pemulihan atau pemeliharaan (atau keduanya) fungsi imunologik, perbaikan
kualitas hidup, dan pengurangan morbiditas an mortalitas HIV[20].
Prinsip pengobatan untuk infeksi HIV[20]
1. replikasi HIV yang berlangsung terus menerus menyebabkan sistem imun rusak dan
berkembang menjadi AIDS. Infeksi HIV selalu merugikan dan kesintasan jangka-panjang
sejati yang bebas dan disfungsi sistem imun sagat jarang terjadi.
2.
Kadar RNA HIV dalam plasma menunjukkan besarnya replikasi HIV dan berkaitan
dengan laju destruksi limfosit T CD4+ untuk yang terinfeksi oleh HIV, perlu dilakukan
pengukuran periodik berkala kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+ untuk
menentukan factor risiko perkembangan penyakit serta mengetahui saat yang tepat untuk
memulali atau memodifikasi regimen terapi antiretrovirus
3. Karena laju perkembangan penyakit berbeda diantara orang-orang yang terinfeksi HIV,
maka keputusan tentang pengobatan harus disesuaikan orang per orang berdasarkan tingkat
risiko yang ditunjukkan oleh kadar RNA HIV plasma dan hitung sel T CD4+.
4. Pemakaian terapi antiretrovirus kombinasi yang poten untuk menekan replikasi HIV
dibawah kadar yang dapat dideteksi oleh pemeriksaan-pemeriksaan RNA HIV plasma yang
sensitive akan membatasi kemungkinan munculnya varian-varian HIV resisten-penyakit.
Karena itu, tujuan terapi seyogyanya adalah penekanan replikasi HIV semaksimal yang dapat
dicapai.
5. Cara paling efektif untuk menekan replikasi virus dalam jangka panjang lama dalah
pemberian secara simultan kombinasi obat-obat anti-HIV yang efektif yang belum pernah
diterima oleh pasien dan tidak memperlihatkan resistensi silang dengan obat antiretrovirus
yang pernag diterima oleh pasien.
6. Setiap obat antiretrovirus yang digunakan dalam regimen terapi kombinasi harus selalu
dipakai sesuai jadwal dan dosis yang optimal.
7. Jumlah dan mekanisme kerja obat-obat antiretrovirus efektif yang tersedia masih
terbatas, karena telah terbukti adanya resistensi-silang di antara obat-obat spesifik. Karena
itu, setiap perubahan dalam terapi antiretrovirus meningkatkan pembatasan-pembatasan
terapetik di masa mendatang.
8. Perempuan harus mendapat terapi antiretrovirus yang oprimal, tanpa memandang status
kehamilan.
9. Prinsip terapi antiretrovirus yang sama juga berlaku pada anak, remaja dan dewasa yang
terinfeksi HIV, walaupun terapi pada anak yang terinfeksi oleh HIV memerlukan
pertimbangan farmakologik, virologik, dan imunologik tersendiri.
10. Individu yang terdeteksi pada infeksi HIV akut harus diterapi dengan terapi antiretrovirus
kombinasi untuk menekan replikasi virus sampai ke kadar batas deteksi pemeriksaan
pemeriksaan RNA HIV plasma sensitive.
11. Individu yang terinfeksi oleh HIV, walaupun dengan kadar virus yang dibawah batas yang
dapat dideteksi, harus terap dianggap menular. Dengan demikian, para pasien harus diberi
penyuluhan untuk menghindari perilaku seksual dan penyalahgunaan obat yang berkaitan
dengan penularan atau akuisisi HIV dan pathogen menular lainnya.
Tabel 1. Rekomendasi untuk pengobatan antiretroviral infeksi HIV selama kehamilan[21]
Kelas Obat
NRTI
NNRTI
Protease inhibitor
Entry inhibitor
Integrase
...
...
inhibitor
...
...
Rekomendasi
Direkomendasikan
Agen Pengganti
Ketidakcukupan
Data
Tidak
Zidovudine, lamividine
Didanosine,b emtricitabine,
stavudine,b abacavir
Tenofovir
...
Nevirapinea
...
Lopinavir/ritonavir
Indinavir, ritonavil, saquinavir hard
...
Efavirenz, delavirdine
fosamprenavir, tipranavir
...
...
Direkomendasikan
Sebaiknya hanya digunakan pada wanita dengan jumlah sel CD4 > 250sel/mm 3 jika
manfaatnya lebih banyak dari pada risiko yang berhubungan dengan hepatotoxicity.
b
Raltegravir
...
perkembanagan
resistensi
antiretroviral.
Pengobatan
ZDV
intravena
intrapartum
direkomendasikan untuk semua wanita yang terinfeksi HIV kecuali terdapat riwayat
hipersensitif terhadap ZDV[21].
Yang paling utama, dan mungkin sangat penting, langkah dalam mencegah MTCT
merupakan uji umum HIV dari seemua wanita yang hamil untuk diidentifikasi mana yang
berisiko menularkan virus untuk janinnya. Di negara berkembang, terapi kombinasi
antiretroviral direkomendasikan selama masa kehamilan tanpa memperhatikan jumlah sel
CD4 atau jumlah virus untuk menurunkan risiko penularan HIV kepada fetus. Jadwal operasi
caesar direkomendasikan untuk wanita hamil dengan muatan plasma RNA HIV > 1000 kopi/
mL. Di United States dan negara berkembang lainnya, hindarkan pemberian air susu
direkomendasikan untuk menurunkan lebih lanjut risiko penularan perinatal. Dari sumbernegara terbatas, penelitian yang sederhana dan singkat dari regimen antiretroviral juga
berperan dalam mengurangi transmisi MTCT. Terapi yang optimal untuk infeksi maternal
dalam kehamilan, dan perawatan untuk janin akan sukses dengan pendekatan multidisiplin
untuk merawat wanita hamil yang terinfeksi HIV[21].
Keterangan untuk obat yang digunakan pada pasien HIV/AIDS[23]:
3TC (nama dagang)
Lamivudine 150 mg
Indikasi: pengobatan HIV pada dewasa dengan progresive immunodefeciency dengan atau
tanpa pengobatan sebelumnya dengan antiretroviral, infeksi HIV pada anak-anak (umur 3
bulan) dengan progresif immunodefeciency dengan atau tanpa pengobatan sebelumnya
dengan retrovir
Norvir (nama dagang)
Ritonavir
Indikasi: monoterapi untuk infeksi HIV.
Kontra indikasi: Hipersensitifitas
Efek samping: astenia, gangguan GI dan neurologi, termasuk mual, muntah, diare, anoreksia,
nyeri abdomen, gangguan pengecapan, prestesis perifer dan sirkum oral
Dosis: kapsul/solid sehari 2 x 600mg
Reyataz (nama dagang)
Atazanavir sulfat
Indikasi: terapi untuk infeksi HIV-1 dalam kombinasi dengan obat antiretroviral lain.
Kontra indikasi: hipersensitifitas terhadapa atazanavir, kombinasi dengan midazolam,
dihiroergotamin, ergotamin, ergonovin, metilergonovin, cisapride, dan pimozid.
Efek samping: skit kepala, mual, ikterus, muntah, diare, nyeri abdomen, pusing, insomnia,
gangguan saraf perifer, ruam kulit.
Dosis: dewasa (pasien yang belum pernah mendapat terapi) sehari 1 x 400mg, dewasa (pasien
yang sudah pernah mendapat terapi) sehari 1 x 300mg, pasien ditambah dengan ritnovir
sehari 1 x 100mg + efavirenz.
Pengobatan untuk ibu hamil dengan HIV salah satunya dapat menggunakan obat antiHIV dimana menurut penelitian dapat mencegah terjadinya transmisi virus HIV kepada janin
dengan cara penggunaan sebagai berikut[23]:
hingga 10 sampai 18 bulan setelah lahir karena penyaluran IgG anti-HIV ibu menembus
plasenta. Karena itu, uji terhadap serum bayi untuk mencari ada tidaknya antibodi IgG
,erupakan hal yang sia-sia, karena uji ini tidak dapat membedakan antibody bayi dari
antibody ibu. Sebagian besar dari bayi ini, seiring dengan waktu, akan berhenti
memperlihatkan antibody ibu dan juga tidak membentuk sendiri antibody terhadap virus,
yang menunjukkan status seronegatif. Pada bayi, infeksi HIV sejati dapat diketahui melalui
pemeriksaan-pemeriksaan seperti biakan virus, antigen p24, atau analisis PCR untuk RNA
atau DNA virus. PCR DNA HIV adalah uji virologik yang dianjurkan karena sensitive untuk
mendiagnosis infeksi HIV selama masa neonatus[20].
Selama ini, mekanisme penularan HIV dari ibu kepada janinnya masih belum
diketahui pasti. Angka penularan bervariasi dari sekitar 25% pada populasi yang tidak
menyusui dan tidak diobati di negara-negara industri sampai sekitar 40% pada populasi
serupa di negara-negara yang sedang berkembang. Tanpa menyusui, sekitar 20% dari infeksi
HIV pada bayi terjadi in utero dan 80% terjadi selama persalinan dan pelahiran. Penularan
pascapartus dapat terjadi melalui kolostrum dan ASI dan diperkirakan menimbulkan
tambahan risiko 15% penularan perinatal[20].
Factor ibu yang berkaitan dengan peningkatan risiko penularan mencakup penyakit
ibu yang lanjut, kadar virus dalam serum yang tinggi, dan hitung sel T CD4+ yang rendah.
Pada tahun 1994, studi 076 dari the Pediatric AIDS Clinical Trials Group (PACTG)
membuktikan bahwa pemberian zidovudin kepada perempuan hamil yang terinfeksi HIV
mengurangi penularan ibu ke bayi sebesar dua pertiga dari 25% menjadi 8%. Di Amerika
Serikat, insiden AIDS yang ditularkan pada masa perinatal turun 67% dari tahun 1992 sampai
1997 akibat uji HIV ibu prenatal dan profilaksis prenatal dengan terapi zidovudin. Perempuan
merupakan sekitar 20% dari kasus HIV-AIDS di Amerika Serikat. Perempuan dari kaum
minoritas (Amerika Afrika dan keturunan Spanyol) lebih banyak terkena, merupakan 85%
dari seluruh kasus AIDS. Selain pemberian zidovudin oral kepada ibu positif HIV selama
masa hamil, tindakan-tindakan lain yang dianjurkan untuk mengurangi risiko penularan HIV
ibu kepada anak antaea lain[20]:
1.
seksio sesaria sebelum tanda-tanda partus dan pecahnya ketuban (mengurangi angka
immunodeficiency
virus(HIV)
terjadi
pada
anak-anak,
yang
90%
kehidupan,
sering
menyebabkan
kematian.
Untuk
pertemuandiadakan
untukmeninjaurekomendasioleh
WHOuntuk