Batubara menjadi komoditas utama pemerintah daerah di pulau Kalimantan. Ini dapat
dilihat dari 73 persen produksi batubara Kalimantan Selatan dipasok untuk kebutuhan asing.
Sisanya, 27 persen hingga 29 persen utuk kebutuhan pulau jawa, Bali dan Sumatera.
Sementara hanya 1,69 persen untuk kebutuhan domestiknya. Janji kesejahteraan digunakan
pemerintah daerahmeninabobokan warganya. Dan industri keruk seolah satu-satunya jalan
bagi rakyat, yang memiliki cadangan batubara kedua setelah Kalimantan Timur ini, untuk
meraih kesejahteraan. Namun kenyataannya berbeda, masyarakat tidak mengalami kenaikan
perbaikan kualitas hidup yang signifikan. Belum lagi kehancuran lingkungan yang
semakinmeningkat, dan sumber-sumber produksi akibatkonversi lahan-lahan produktif,
seperti lahan-lahan pertanian yang berubah menjadi lubang-lubang luas menganga.
Tidak cukup disitu, dampak lainnya, pengerukan batubara melahirkan krisis lain
yakni hancurnya tatanan sosial masyarakat. Hampir dapat dipastikan, dalam setiap
pembukaan industri ekstraktif, akan selalu dibarengi masuknya pasar yang melahirkan
perubahan pola konsumsi masyarakat. Ini seringkali menempatkan masyarakat pada sebuah
pilihan yang mendukung industri, yang dalam waktu cepat bisa memenuhi pola konsumsinya.
Inilah salah satu realitas sosial masyarakat di tengah gempuran investasi. Masyarakat akan
meresponnya diluar yang sering dibayangkan oleh aktifis, atau gerakan lingkungan.
Pengerukan batubara banyak dilakukan dikawasan-kawasan hulu sungai, dan kawasan
tangkapan air utama di Kalimantan Selatan telah meningkatkan resiko terjadinya bencana
banjir, longsor hingga krisis air karena terganggunya daerah tangkapan air. Aktivitas
pengerukan batubara menyebabkan beberapa dampak yaitu:
1. Menyebabkan hancurnya eksistem sungai, yang merupakan urat nadi bagi kehidupan
dari sebagian besar masyarakat Kalimantan Selatan.
2. Menyebabkan krisis air bersih, akibat tercermarnya sumber-sumber air dan penurunan
muka air tanah yang mengeringkan sumur-sumur penduduk
3. Mengancam tingkat ketahanan pangan dan ekonomi rakyat, karena rusaknya lahan
pertanian, terutama sawah baik akibat dari krisis air, maupun pencemaran air, dan
perubahan fungsi lahan-lahan pangan produktif. Selain itu, polusi debu juga telah
menyebabkan menurunnya produktivitas tanaman pertanian dan perkebunan rakyat di
sekitar jalan-jalan yang dilalui truk-truk pengangkut batu bara.
4. Meningkatkan biaya kesehatan yang harus dikeluarkan oleh warga akibat polusi debu
oleh truktruk pengangkut batu bara. Ini berarti, beresiko meningkatkan biaya
Pemerintah mensubsidi dana kesehatan masyarakat, lewat Puskesmas dan rumah
sakit.
5. Meningkatkan biaya hidup penduduk karena meningkatnya harga-harga kebutuhan
pokok
6. Meningkatkan biaya perbaikan jalan-jalan rusak akibat truk-truk pengangkut batu
bara. Selain itu, kepadatan jalan ini telah meningkatkan angka kecelakaan jalan raya.
7. Meningkatkan potensi timbulnya wabah panyakit, seperti misalnya malaria karena
bekas galian yang dibiarkan terbuka yang digenani air menjadi tempat subur bagi
perkembangan nyamuk
8. Meningkatkan ketegangan dan konflik antara masyarakat dengan masyarakat,
masyarakat dengan aparat, masyarakat dengan swasta dan pemerintah, dan konflik
diantara sektor-sektor dalam pemerintah dan antara daerah dan pusat.
9. Menyuburkan korupsi dan penyimpangan-penyimpangan, sejak mulai perizinan
hingga pungutanpungutan tidak resmi, baik dijalan, alur sungai, maupun pelabuhan.