Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ibnu Said

NPM : 1206274260
Review Bisnis dan Politik

Changing Patterns of Chinese Big Business in Southeast Asia oleh Jamie Mackie
The Role of Elites in Creating Capitalist Hegemony in Post-Oil Boom Indonesia oleh Yoon
Hwan Shin
Hubungan Penguasa-Pengusaha Dimensi Politik Ekonomi Pengusaha Klien di Indonesia oleh
Yahya A. Muhaimin

Tulisan Changing Patterns of Chinese Big Business in Southeast Asia membahas


mengenai para konglomerat Cina yang terdapat di Asia Tenggara. Jamie Mackie menjelaskan
bagaimana para konglomerat Cina yang mulai bermunculan sejak tahun 1930-an memulai bisnis
mereka di wilayah wilayah Asia Tenggara. Jamie Mackie memfokuskan tulisannya dengan
mengambil tiga contoh Negara yaitu Malaysia, Thailand, dan Indonesia. Para konglomerat cina
tersebut memiliki strategi masing masing dalam mendapatkan kekuasaan di tiap Negara
tersebut.
Kehadiran pengusaha Cina yang merintis bisnis dari nol mengalami hambatan pada
awalnya karena terbentur dengan kebijakan kebijakan yang diterapkan oleh tiap tiap
pemerintah yang bersifat represif. Kurangnya dukungan dari pemerintah membuat para pebisnis
dari kelas social ekonomi yang tingkat menengah sulit untuk berkembang, kecuali pebisnis yang
memiliki hubungan politik dengan pemerintah. Namun seiring dengan perkembangan zaman
para pebisnis Cina kini mulai mendapatkan tempat yang strategis khususnya di Malaysia,
Thailand, dan Indonesia.
Proses perkembangan pebisnis Cina di tiap tiap Negara berbeda, umumnya para
pebisnis Cina menggunakan strategi dengan memanfaatkan kebijakan pemerintah. Di Negara
Thailand terdapat kebijakan ekonomi yang bertoleransi kepada para pengusaha baik pengusahan
yang berasal dari Thailand itu sendiri maupun para pebisnis Cina. Kebijakan yang diterapkan
oleh Thailand tersebut memudahkan para pebisnis Cina menjadi rekan kerja di dunia
perdagangan di Thailand. Kasus kedua di Malaysia proses perkembangan para pebisnis Cina
lebih mudah karena banyaknya populasi warga Cina dan system pendidikan serta struktur
ekonomi yang sudah lebih berkembang membuat modernisasi perusahaan dengan jangkauan
koneksi internasional yang lebih luas, tidak hanya itu perdagangan saham yang relative stabil
juga mempercepat proses korporatisasi di Malaysia. Terakhir di Indonesia, sebagai Negara yang
plural hal tersebut dapat memungkinkan para pebisnis Cina dalam meguasai pasar domestic,
1

namun pada era Orde Baru kedekatan pebisnis Cina dengan pemerintah menjadi factor penting
dalam mengembangkan bisnis di Indonesia.
Meskipun secara prosesnya berbeda terdapat kesamaan yang signifikan dari para pebisnis
cina dalam memimpin bisnisnya untuk mendapat kekayaan, hal itu didapatkan dari dominasi
uang yang dilakukan, keturunan dari keluarga yang relatif berciri khas kewirausahaan, serta
transaksi dalam properti dan adanya koneksi politik. Modal asing tidak menentukan peran kaum
Cina dalam mengelola bisnis. Terlepas dari pentingnya usaha kerjasama, beberapa perusahaan
berfokus kepada multinasional dan beberapa lainnya pindah ke area komersial internasional, jika
terdapat modal asing untuk mengurangi ketergantungan bisnis Cina pada dukungan sumber
lokal, maka itu dapat meningkatkan peluang yang besar untuk politik dan keuangan. Biasanya
kelompok yang membiayai modal dapat memainkan peran sentral dalam pengembangan bisnis,
contohnya sektor bisnis bank.
Artikel kedua yang ditulis oleh Yoon Hwan Shin pertama pertama yaitu
menggambarkan bagaimana perkembangan perekonomian yang terjadi di Indonesia beriringan
dengan kemunculan aktor aktor kapitalis. Aktor aktor kapitalis tersebut di dominasi oleh etnis
Cina dibandingkan dengan orang asli Indonesia yang akhirnya berdampak pada sector ekonomi
di Indonesia.
Banyaknya atau dominasi yang dilakukan oleh kapitalis etnis Cina berujung dengan
upaya pembentukan ideology dimana orang asli Indonesia-lah yang seharusnya menggantikan
kaum kapitalis Cina tersebut. Pembentukan ideology tersebut menjadikan pebisnis Cina tidak
lagi menjadi kelompok eksklusif dan kini didalam tiap tiap perusahaan yang dipegang oleh
pebisnis Cina mulai terdapat orang asli Indonesia sebagai manager dan shareholders.
Kebijakan yang dibentuk menumbuhkan kapitalis kapitalis baru yang berasal asli dari
Indonesia. Serupa dengan yang dikemukakan oleh Yoon bahwa pengusaha pribumi atau orang
asli Indonesia dapat mendominasi dengan dukungan dari kelas atas, pebisnis lainnya, serta aparat
aparat pemerintahan. Pembentukan KADIN (Kamar Dagang Indonesia) juga merupakan jalan
untuk memberikan legitimasi dalam membantu perusahaan kecil dan menengah yang dimiliki
oleh kelopok pribumi. Yoon juga menambahkan pemerintah bertindak sebagai bapak angkat
terhadap pengusaha pribumi atau dengan kata lain pemerintah wajib memberikan dukungan
terhadap pengusaha pribumi baik dalam bentuk modal, masukan dari pemerintah, atau dalam hal
pelatihan tenaga kerja.
Kebijakan nasionalis dan diskriminatif yang ditegakan ataupun tidak menimbulkan
kekhawatiran mengenai manfaatnya menjadi alasan utama dalam membentuk hubungan kerja
antar ras, seperti yang ditulis oleh Yoon, kebijakan tersebut menimbulkan dampak terhadap
bisnis besar yang dimiliki etnis Cina. Pembauran bisnis yang terjadi menjadi hasil dari realisasi
kesadaran kapitalis baru yang dapat berguna bagi para pebisnis pribumi maupun Cia dalam
meraih keuntungan. Salah satu kelompok yang paling diuntungkan dari kebijakan nasionalis
ialah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Mereka menyadari dengan adanya
2

bantuan dan dukungan dari pebisnis Cina kelompok HIPMI dapat mewujudkan program propribumi.
Tulisan The Role of Elites in Creating Capitalist Hegemony in Post-Oil Boom Indonesia
juga membahas mengenai perbedaan jenis monopoli dan oligopoly dari penjelasan Wibisono.
Monopoli lebih menekankan dari atas dengan adanya back up politik dan mekanisme komando,
tipe ini biasanya ditemukan di sektor publik. Tipe lainnya ialah oligopoli pasar, yang
menekankan untuk adanya persaingan sehat yang jujur, sehat, bebas, dan terbuka, serta
merefleksikan efisiensi produktivitas dan kreativitas. Selain itu, oligopoli juga menguntungkan
konsumen dengan cara menyediakan layanan yang positif sesuai kebutuhan yang ada, contohnya
industri dalam kompetisi bebas, seperti di industri manufaktur dalam era kapitalis baru.
Kesuksesan utama dalam meningkatkan derajat pribumi di Indonesia ketika Keputusan
Presiden tahun 1984 dikeluarkan. Keputusan Presiden tersebut memberikan prioritas atau status
eksklusif bagi kelompk ekonomi lemah untuk mendapatkan beberapa bantuan pemerintah dalam
bentuk kontrak kerja. Untuk proyek pemerintah dan pembelian pemerintah yang bernilai di
bawah Rp. 25 juta, hanya kelompok ekonomi lemah yang dapat berpartisipasi dalam tender
tersebut. Untuk proyek senilai Rp. 25 juta Rp. 50 juta, pemerintah akan memberikan 5% bonus
untuk harga penawaran terendah oleh kontraktor. Walaupun program ini sukses pada awalnya,
namun pada akhirnya kurang efektif setelah masa Oil Boom di Indonesia. Hal itu dikarenakan
munculnya korupsi, kebingungan interprestasi, kurangnya koordinasi antar departemen,
perusahaan Ali Baba, dan tekanan perusahaan besar yang muncul karena ketidakadilan
pemerintah terhadap perusahaan besar tersebut. Pada akhirnya, Soeharto menghapuskan Keppres
tersebut.
Artikel ketiga ditulis oleh Yahya A. Muhaimin, dalam tulisannya dijelaskan mengenai
kondisi ekonomi politik Indoneia pada masa pascakolonial. Yahya mengatakan bahwa kebijakan
ekonomi pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaan cenderung mengarah kepada
penguasaan atas aset negara oleh perusahaan negara (BUMN) dan pengusaha swasta pribumi.
Kebijakan ekonomi Indonesia pada masa itu dianggap gagal karena adanye hubungan patronase
antara pemerintah dengan pengusaha.
Dalam Jangka waktu pende, hubungan patronas antara pemerintah dengan pengusaha bias
dibilang baik. Hal ini tercermin dari hubungan antara pemerintah sebagai pembuat kebijakan dan
pengusaha yang mampu memenuhi kepentngan para pengusaha secara rinci. Distribusi sumber
daya yang tidak terjangkau oleh pemerintah dapat dijangkau oleh para pengusaha sehingga
sumber daya dapat teralokasi dengan baik. Akan tetapi dalam jangka waktu yang panjang Yahya
melihat bahwa hubungan tersebut dapat menimbulkan kerugian karena hubungan tersebut dapat
menyebabkan bentrokan antara kepentingan pengusaha kapitalis yang telah berkembang akibat
adanya proses kebijakan yang memihak mereka dengan pemerintah yang memiliki tujuan
kebijakan dalam pembangunan ekonomi.

Pada bagian terakhir Yahya menjelaskan bahwa dalam membangun ekonomi


industrialisasi dibutuhkan peran Negara dalam pengusaha swasta pribumi serta control
pemerintah yang kuat. Yahya juga berargumen, penciptaan birokrasi yang bersih dan efektif,
iklim kebijakan yang dapat menumbuhkan wiraswasta, dan demokratisasi politik merupakan
kebijkan yang penting untuk menghindarkan dampak negative dari hubungan patronase.
Hubungan antara pengusaha dengan pemerintah membutuhkan perhatian khusus dalam
deregulasi sector moneter dan riil melali penegakan hukum. Dengan demikian, hubungan antara
pemerintah dengan pengusaha akan memperkuat komitmen dalam menuju pembangunan
nasional.

Anda mungkin juga menyukai